Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

Kerajaan Tulang Bawang dan Kerajaan Kapur

Disusun Oleh:

Nama : Nur Relistia


Rahma Aulia
Sahilda
Suci Rahmawati
Kelas : X IPS 2

SMAN 1 KOTA BANGUN


2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini
dapat tersusun sampai dengan selesai.

Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya. Penulis sangat berharap semoga
makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap
lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Indonesia, Maret 2022

Penyusun
Daftar isi

KATA PENGANTAR………………………………………………………………………………………………. i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………………………………… ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang………………………………………………………………………………………………… 1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………………………………… 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah Kerajaan Tulang Bawang…………………………………………………………………… 2


B. Sejarah Kerajaan Kapur………………………………………………………………………………….. 5

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan……………………………………………………………………………………………………… 8
B. Saran……………………………………………………………………………………………………………….. 8
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam sejarah kebudayaan dan perdagangan di Nusantara, Tulang
Bawang digambarkan merupakan salah satu kerajaan tertua di Indonesia,
disamping kerajaan Melayu, Sriwijaya, Kutai, dan Tarumanegara. Meskipun
belum banyak catatan sejarah yang mengungkapkan keberadaan kerajaan ini,
namun catatan Cina kuno menyebutkan pada pertengahan abad ke-4 seorang
pejiarah Agama Budha yang bernama Fa-Hien, pernah singgah di sebuah
kerajaan yang makmur dan berjaya, To-Lang P’o-Hwang (Tulang Bawang) di
pedalaman Chrqse (pulau emas Sumatera). Sampai saat ini belum ada yang
bisa memastikan pusat kerajaan Tulang Bawang, namun ahli sejarah Dr. J. W.
Naarding memperkirakan pusat kerajaan ini terletak di hulu Way Tulang
Bawang (antara Menggala dan Pagardewa) kurang lebih dalam radius 20 km
dari pusat kota Menggal.
Seiring dengan makin berkembangnya kerajaan Che-Li-P’o Chie
(Sriwijaya), nama dan kebesaran Tulang Bawang sedikit demi sedikit semakin
pudar. Akhirnya sulit sekali mendapatkan catatan sejarah mengenai
perkembangan kerajaan ini.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah kerajaan Tulang Bawang?
2. Bagaimana kehidupan sosial budaya kerajaan Tulang Bawang?
3. Bagaimana kehidupan agama kerajaan Tulang Bawang?
4. Bagaimana kehidupan ekonomi kerajaan Tulang Bawang?
5. Bagaimana sejarah kerajaan kota kapur?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Kerajaan Tulang Bawang


Kerajaan Tulangbawang adalah salah suatu kerajaan yang pernah berdiri
di Lampung. Kerajaan ini berlokasi di sekitar Kabupaten Tulang Bawang,
Lampung sekarang. Tidak banyak catatan sejarah yang memberikan
keterangan mengenai kerajaan ini. Musafir Tiongkok yang pernah
mengunjungi Nusantara pada abad VII, yaitu I Tsing yang merupakan seorang
peziarah Buddha, dalam catatannya menyatakan pernah singgah di To-Lang
P’o-Hwang (“Tulangbawang”), suatu kerajaan di pedalaman Chrqse (Pulau
Sumatera). Namun Tulangbawang lebih merupakan satu Kesatuan Adat.
Tulang Bawang yang pernah mengalami kejayaan pada Abad ke VII M. Sampai
saat ini belum ada yang bisa memastikan pusat kerajaan Tulang Bawang,
namun ahli sejarah Dr. J. W. Naarding memperkirakan pusat kerajaan ini
terletak di hulu Way Tulang Bawang (antara Menggala dan Pagardewa) kurang
lebih dalam radius 20 km dari pusat kota Menggala.
Seiring dengan makin berkembangnya kerajaan Che-Li-P’o Chie
(Sriwijaya), nama Kerajaan Tulang Bawang semakin memudar. Tidak ada
catatan sejarah mengenai kerajaan ini yang ada adalah cerita turun temurun
yang diketahui oleh penyimbang adat, namun karena Tulang Bawang
menganut adat Pepadun, yang memungkinkan setiap khalayak untuk berkuasa
dalam komunitas ini, maka Pemimpin Adat yang berkuasa selalu berganti
ganti Trah. Hingga saat ini belum diketemukan benda benda arkeologis yang
mengisahkan tentang alur dari kerajaan ini.
Kerajaan Tulang Bawang merupakan salah satu Kerajaan hindu tertua di
Nusantara. Tidak banyak catatan sejarah yang mengungkap fakta tentang
kerajaan ini. Sebab, ketika Che-Li-P‘o Chie (Kerajaan Sriwijaya) berkembang,
nama dan kebesaran Kerajaan Tulang Bawang justru pudar. Menurut catatan
Tiongkok kuno, sekitar pertengahan abad ke-4 pernah ada seorang Bhiksu dan
peziarah bernama Fa-Hien (337-422), ketika melakukan pelayaran ke India dan
Srilangka, terdampar dan pernah singgah di sebuah kerajaan bernama To-
Lang P‘o-Hwang (Tulang Bawang), tepatnya di pedalaman Chrqse (Sumatera).
Sumber lain menyebutkan bahwa ada seorang pujangga Tiongkok
bernama I-Tsing yang pernah singgah di Swarna Dwipa (Sumatera). Tempat
yang disinggahinya ternyata merupakan bagian dari Kerajaan Sriwijaya. Ketika
itu, ia sempat melihat daerah bernama Selapon. Ia kemudian memberi nama
daerah itu dengan istilah Tola P‘ohwang. Sebutan Tola P‘ohwang diambil dari
ejaan Sela-pun. Untuk mengejanya, kata ini di lidah sang pujangga menjadi
berbunyi so-la-po-un. Orang China umumnya berasal dari daerah Ke‘. I-Tsing,
yang merupakan pendatang dari China Tartar dan lidahnya tidak bisa
menyebutkan So, maka ejaan yang familiar baginya adalah To. Sehingga, kata
solapun atau selapon disebutkan dengan sebutan Tola P‘ohwang. Lama
kelamaan, sebutan itu menjadi Tolang Powang atau kemudian menjadi Tulang
Bawang.

Kerajaan Sriwijaya merupakan federasi atau gabungan antara Kerajaan


Melayu dan Kerajaan Tulang Bawang (Lampung). Pada masa kekuasaan
Sriwijaya, pengaruh ajaran agama Hindu sangat kuat. Orang Melayu yang
tidak dapat menerima ajaran tersebut, sehingga mereka kemudian menyingkir
ke Skala Brak. Namun, ada sebagian orang Melayu yang menetap di Megalo
dengan menjaga dan mempraktekkan budayanya sendiri yang masih eksis.
Pada abad ke-7, nama Tola P‘ohwang diberi nama lain, yaitu Selampung, yang
kemudian dikenal dengan nama Lampung.

Hingga kini, belum ada orang atau pihak yang dapat memastikan di
mana pusat Kerajaan Tulang Bawang berada. Seorang ahli sejarah, Dr. J. W.
Naarding memperkirakan pusat kerajaan ini terletak di Way Tulang Bawang,
yaitu antara Menggala dan Pagar Dewa, yang jaraknya sekitar radius 20 km
dari pusat Kota Menggala. Jika ditilik secara geografis masa kini, kerajaan ini
terletak di Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung. Sekitar abad ke-15,
Kota Manggala dan alur Sungai Tulang Bawang dikenal sebagai pusat
perdagangan yang berkembang pesat, terutama dengan komoditi pertanian
lada hitam. Konon, harga lada hitam yang ditawarkan kepada serikat dagang
kolonial Belanda atau VOC (Oost–indische Compagnie) lebih murah
dibandingkan dengan harga yang ditawarkan kepada pedagang-pedagang
Banten.

Oleh karenanya, komoditi ini amat terkenal di Eropa. Seiring dengan


perkembangan zaman, Sungai Tulang Bawang menjadi dermaga “Boom” atau
tempat bersandarnya kapal-kapal dagang dari berbagai penjuru Nusantara.
Namun, cerita tentang kemajuan komoditi yang satu ini hanya tinggal
rekaman sejarah saja. Kerajaan Tulang Bawang tidak terwariskan menjadi
sistem pemerintahan yang masih berkembang hingga kini. Nama kerajaan ini
kemudian menjadi nama Kabupaten Tulang Bawang, namun sistem dan
struktur pemerintahannya disesuaikan dengan perkembangan politik modern.

1). Kehidupan Sosial Budaya


Ketika ditemukan oleh I-Tsing pada abad ke-4, kehidupan masyarakat
Tulang Bawang masih tradisional. Meski demikian, mereka sudah pandai
membuat kerajinan tangan dari logam besi dan membuat gula aren. Dalam
perkembangan selanjutnya, kehidupan masyarakat Tulang Bawang juga masih
ditandai dengan kegiatan ekonomi yang terus bergeliat. Pada abad ke-15,
daerah Tulang Bawang dikenal sebagai salah satu pusat perdagangan di
Nusantara. Pada saat itu, komoditi lada hitam merupakan produk pertanian
yang sangat diunggulkan. Deskripsi tentang kehidupan sosial-budaya
masyarakat Tulang Bawang lainnya masih dalam proses pengumpulan data.

2). Kehidupan Agama


Sungguhpun kita telah dididik diajar digembleng dan diresapi oleh
Agama Islam yang sudah berabad-abad lamanya ini, namun pengaruh
Animisme Hindu nampaknya sampai pada dewasa ini masih belum juga dapat
dikuras habis. Dimana-mana lebih-lebih di Kampung-kampung dan di
pedalaman hal ini masih dipraktikkan oleh Rakyat di sana. Mereka masih
meyakinkan bahwa Roh-roh itu masih aktif, masih bekerja masih tetap
mengawasi anak-cucunya di mana saja berada. Mereka masih meyakinkan
bahwa kayu-kayu besar, gunung-gunung besar mempunyai penunggu dan
penjaganya, inilah yang dinamakan animisme.

3). Kehidupan Ekonomi


Semua alat-alat pertanian seperti: pacul, gobek, kapak, dibuat dari besi,
demikian juga alat senjata: tombak, badik, keris dan sebagainya bukankah ini
dari besi. Di atas telah penulis singgung pada tahun 671 Pendeta Tiongkok I
Tsing pernah mengadakan pencatatan-pencatatan tentang Kerajaan Tulang
Bawang, bahwa didapatinya Rakyat di sana sudah maju, pandai membuat gula
dan membuat besi.
Jelas disini gula aren yang kita minum sekarang, demikian juga senjata-
senjata dari besi adalah dari Zaman Hindu dari Kerajaan Tulang Bawang
asalnya, malahan di Pagar Dewa sekarang ini masih ada pandai besi (tukang
membuat senjata) badik, keris, dan sebagainya. Malahan menurut keterangan
Batu Tempaan Kuno ada pada orang tersebut, orang Kalianda mengakui atas
kebenaran ini, mereka punya bahannya (besi segelungan), Pagar Dewa punya
tepaannya. bahkan di Lampung pembuatan sarung-sarung dari pada senjata-
senjata ini yang dikenal hanya Pagar Dewalah tempat pembuatan sarung
badik yang terbaik, berita ini sampai sekarang masih disebut-sebut.

B. Sejarah Kerajaan Kapur

Jika dilihat darihasil temuan dan penelitian tim arkeologi yang


dilakukan di Kota Kapur, Pulau Bangka, yaitu pada tahun 1994,
dapat diperoleh suatu petunjuk mengenai kemungkinan adanya
sebuah pusat kekuasaan di daerah tersebut bahkan sejak masa
sebelum kemunculan Kerajaan Sriwijaya. Advertisement Pusat
kekuasaan tersebut meninggalkan banyak temuan arkeologi
berupa sisa-sisa dari sebuah bangunan candi Hindu (Waisnawa)
yang terbuat dari batu lengkap dengan arca-arca batu, di
antaranya yaitu dua buah arca Wisnu dengan gaya mirip dengan
arca-arca Wisnu yang ditemukan di daerah Lembah Mekhing,
Semenanjung Malaka, dan Cibuaya, Jawa Barat, yang berasal dari
masa sekitar abad ke-5 dan ke-7 masehi. Sebelumnya, di situs
Kota Kapur selain telah ditemukan sebuah inskripsi batu dari
Kerajaan Sriwijaya yang berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi),
telah ditemukan pula peninggalan - peninggalan lain yaitu di
antaranya sebuah arca Wisnu dan sebuah arca Durga
Mahisasuramardhini. Dari peninggalan-peninggalan arkeologi
tersebut nampaknya kekuasaan di Pulau Bangka pada waktu itu
bercorak Hindu-Waisnawa, seperti halnya di Kerajaan
Tarumanegara di Jawa Barat. Temuan lain yang penting dari situs
Kota Kapur ini adalah peninggalan berupa benteng pertahanan
yang kokoh berbentuk dua buah tanggul sejajar terbuat dari
timbunan tanah, masingmasing panjangnya sekitar 350 meter
dan 1200 meter dengan ketinggian sekitar 2-3meter.
Penanggalan dari tanggul benteng ini menunjukkan masa antara
tahun 530 M sampai 870 M. Benteng pertahanan tersebut yang
telah dibangun sekitar pertengahan abad ke-6 tersebut agaknya
telah berperan pula dalam menghadapi ekspansi Sriwijaya ke
Pulau Bangka menjelang akhir abad ke-7. Penguasaan Pulau
Bangka oleh Sriwijaya ini ditandai dengan dipancangkannya
inskripsi Sriwijaya di Kota Kapur yang berangka tahun 608 Saka
(=686 Masehi), yang isinya mengidentifikasikan dikuasainya
wilayah ini oleh Sriwijaya. Penguasaan Pulau Bangsa oleh
Sriwijaya ini agaknya berkaitan dengan peranan Selat Bangsa
sebagai pintu gerbang selatan dari jalur pelayaran niaga di Asia
Tenggara pada waktu itu. Sejak dikuasainya Pulau Bangka oleh
Sriwijaya pada tahun 686 maka berakhirlah kekuasaan awal yang
ada di Pulau Bangka.

1). Letak Kerajaan Kota Kapur

Terletak di Desa Kota Kapur Kecamatan Mendo, Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka 
Belitung. Untuk mencapai lokasi, dapat mengambil transportasi umum dari jantung K
abupaten Bangka Barat - Kecamatan Mendo . Sayangnya, akses ke Desa Kota Kapur
melalui Kecamatan Mendo sulit dijangkau.

2). Prasasti Kerajaan Kota Kapur

1). Keberhasilan! (disertai mantra persumpahan yang tidak dipahami artinya)


2). Wahai sekalian dewata yang berkuasa, yang sedang berkumpul dan melindungi Kadātuan Śrīwijaya ini;
kamu sekalian dewa-dewa yang mengawali permulaan segala sumpah !
3) Bilamana di pedalaman semua daerah yang berada di bawah Kadātuan ini akan ada orang yang
memberontak yang bersekongkol dengan para pemberontak, yang  berbicara dengan pemberontak, yang
mendengarkan kata pemberontak. 
4). Yang mengenal pemberontak, yang tidak berperilaku hormat, yang tidak takluk, yang tidak setia pada
saya dan pada mereka yang oleh saya diangkat sebagai datu;  biar orang-orang yang menjadi pelaku
perbuatan-perbuatan tersebut mati kena kutuk  biar sebuah ekspedisi untuk melawannya seketika di bawah
pimpinan datu atau beberapa datu Śrīwijaya, dan biar mereka.
5) Dihukum bersama marga dan keluarganya. Lagipula biar semua perbuatannya yang  jahat; seperti
mengganggu :ketenteraman jiwa orang, membuat orang sakit, membuat orang gila, menggunakan
mantra, racun, memakai racun upas dan tuba, ganja.

6). Saramwat, pekasih, memaksakan kehendaknya pada orang lain dan sebagainya, semoga perbuatan-
perbuatan itu tidak berhasil dan menghantam mereka yang  bersalah melakukan perbuatan jahat itu; biar
pula mereka mati kena kutuk. Tambahan  pula biar mereka yang menghasut orang.

7). supaya merusak, yang merusak batu yang diletakkan di tempat ini, mati juga kena kutuk; dan dihukum
langsung. Biar para pembunuh, pemberontak, mereka yang tak  berbakti, yang tak setia pada saya, biar
pelaku perbuatan tersebut.

8). mati kena kutuk. Akan tetapi jika orang takluk setia kepada saya dan kepada mereka yang oleh saya
diangkat sebagai datu, maka moga-moga usaha mereka diberkahi, juga marga dan keluarganya.

9). dengan keberhasilan, kesentosaan, kesehatan, kebebasan dari bencana, kelimpahan segalanya untuk
semua negeri mereka ! Tahun Śaka 608, hari pertama paruh terang bulan Waisakha (28 Februari 686
Masehi), pada saat itulah.

10). kutukan ini diucapkan; pemahatannya berlangsung ketika bala tentara Śrīwijaya  baru berangkat untuk
menyerang bhūmi jāwa yang tidak takluk kepada Śrīwijaya. Prasasti ini dipahatkan pada sebuah batu yang
berbentuk tugu bersegi-segi dengan ukuran tinggi 177 cm, lebar 32 cm pada bagian dasar dan 19 cm pada
bagian puncak.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kerajaan Tulangbawang adalah salah suatu kerajaan yang pernah berdiri
di Lampung. Kerajaan ini berlokasi di sekitar Kabupaten Tulang Bawang,
Lampung sekarang. Tidak banyak catatan sejarah yang memberikan
keterangan mengenai kerajaan ini. Dalam perkembangan selanjutnya,
kehidupan masyarakat Tulang Bawang juga masih ditandai dengan kegiatan
ekonomi yang terus bergeliat. Pada abad ke-15, daerah Tulang Bawang
dikenal sebagai salah satu pusat perdagangan di nusantara.
Mereka masih meyakinkan bahwa roh-roh itu masih aktif, masih bekerja
masih tetap mengawasi anak-cucunya di mana saja berada. Mereka masih
meyakinkan bahwa kayu-kayu besar, gunung-gunung besar mempunyai
penunggu dan penjaganya, inilah yang dinamakan animisme.

B. Saran
Saran untuk para siswa agar jangan melupakan sejarah bangsa kita, dan
berusaha menjaga dan melestarikan peninggalan sejarah yang ada di
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai