Pelaksanaan hari raya, seperti Galungan, Kuningan, Saraswati, dan Pagerwesi. Selain hal
tersebut perlu juga diketahui bahwa pada prinsipnya yajña harus dilandasi oleh Sraddhā, ketulusan,
kesucian, dan pelaksanaannya sesuai sastra agama serta dilaksanakannya sesuai dengan desa, kala, dan
patra (tempat, waktu, dan keadaan). Dilihat dari kuantitasnya maka yajña dibedakan menjadi berikut:
a. Nista, artinya yajña tingkatan kecil. Tingkatan nista ini dibagi menjadi 3, yaitu :
Nistaning nista adalah terkecil di antarayang kecil
Madyaning nista adalah sedang di antara yang kecil
Utamaning nista adalah terbesar diantara yang kecil
Keberhasilan sebuah yajña bukan dari besar kecilnya materi yang dipersembahkan, namun
sangat ditentukan oleh kesucian dan ketulusan hati. Selain itu juga ditentukan oleh kualitas dari yadnya
itu sendiri. Dalam Kitab Bhagavadgītā, XVII. 11, 12, 13 disebutkan ada tiga pembagian yajña yang
dilihat dari kualitasnya, yaitu:
1. Tamasika yajña adalah yadnya yang dilaksanakan tanpa mengindahkan petunjuk-petunjuk sastra,
mantra, kidung suci, daksina dan sradha.
2. Rajasika yajña adalah yadnya yang dilaksanakan dengan penuh harapan akan hasilnya dan bersifat
pamer serta kemewahan.
3. Satwika yajña adalah yadnya yang dilaksanakan beradasarkan sraddhā, lascarya, sastra agama,
daksina, mantra, gina annasewa, dan nasmita.
Pelaksanaan yajña di atas merupakan tingkatan korban suci yang dalam hal ini tergantung dari
orang yang melakukan korban suci tersebut. Dari tiga kuliatas pelaksanaan yajña diatas, dijelaskan ada
tujuh syarat yang wajib dilakasakan untuk mewujudkan sattwika yajña, yaitu sebagai berikut:
1. Sraddhā, artinya melaksanakan yajña dengan penuh keyakinan.
2. Lascarya, artinya yajña yang dilaksanakan dengan penuh keiklasan.
3. Sastra, artinya melaksanakan yajña dengan berlandaskan sumber sastra, yaitu Sruti, Smrti, Sila,
Acara dan Atmanastuti
4. Daksina, artinya pelaksanaan yajña dengan sarana upacara (benda dan uang)
5. Mantra dan gita artinya yajña yang dilaksanakan dengan melantunkan lagu lagu suci untuk
pemujaan
6. Annasewa, artinya yajña yang dilaksanakan dengan persembahan jamuan makan kepada para tamu
yang menghadiri upacara
7. Nasmita, artinya yajña yang dilaksanakan dengan tujuan bukan untuk memamerkan kemewahan
dan kekayaan.
Dari unsur sarana atau upakara juga telah dijelaskan dalam kitab Bhagavadgītā, IX. 26, sebagai
berikut:
Terjemahan:
Siapa yang sujud kepada-Ku dengan persembahan setangkai daum, sekuntum bunga, sebiji buah
buahan atau seteguk air, Aku terima sebagai bhakti persembahan dari orang yang berhati suci (Pendit,
2002: 248).
Pelaksanaan korban suci yang tercantum dalam kitab suci Bhagavadgītā ini merupakan petunjuk dari
sastra. Akan tetapi, mengingat bahwa ajaran Hindu bersifat fleksibel maka adanya berbagai sarana
upakara yang digunakan oleh umat Hindu yang ada di Nusantara merupakan kekayaan kearifan lokal
yang ada, sehingga penambahan ornamen seperti adanya canang, daksina, prayascita, durmanggala dan
yang lainnya, ini merupakan produk budaya yang ada pada setiap daerah di Nusantara.