Anda di halaman 1dari 40

Keyakinan

Agama Hindu tidak memiliki seorang pendiri dan tidak berpedoman pada satu kitab suci.
Meskipun demikian, ada keyakinan yang kerap dijumpai dalam berbagai tradisi Hindu.
Perihal yang umum dijumpai dalam berbagai keyakinan masyarakat Hindu—namun tidak
untuk terbatas pada beberapa hal tersebut—meliputi kepercayaan akan zat Yang Mahakuasa
(dapat disebut sebagai Iswara, Awatara, Dewata, Batara, dan lain-
lain), darma (etika/kewajiban), samsara (siklus kelahiran, kehidupan, kematian, dan
kelahiran kembali yang berulang-ulang), karma (sebab dan akibat), moksa (kebebasan
dari samsara), dan berbagai yoga (jalan atau praktik spiritual).
Konsep ketuhanan

Agama Hindu memiliki konsep Nirguna-brahman (esensi alam semesta; realitas sejati; atau
Tuhan impersonal), sementara sebagian mazhab menganut konsep Saguna-brahman (zat ilahi
yang berkepribadian; Tuhan personal yang memiliki kasih sayang), yang menyebut Tuhan
dengan nama Wisnu, Siwa, atau bahkan Sakti (kualitas feminin dari Tuhan),
contohnya Saraswati (gambar).
Agama Hindu merupakan sistem kepercayaan yang kaya, mencakup keyakinan yang
bersifat monoteisme, politeisme, panenteisme, panteisme, monisme, dan ateisme. Konsep
ketuhanannya bersifat kompleks dan bergantung pada nurani setiap umatnya atau pada tradisi
dan filsafat yang diikuti. Kadang kala agama Hindu dikatakan
bersifat henoteisme (melakukan pemujaan terhadap satu Tuhan, sekaligus mengakui
keberadaan para dewa), tapi istilah-istilah demikian hanyalah suatu generalisasi berlebihan.
Mazhab Wedanta dan Nyaya menyatakan bahwa karma itu sendiri telah membuktikan
keberadaan Tuhan. Nyaya merupakan suatu perguruan logika, sehingga menarik kesimpulan
"logis" bahwa [keberadaan] alam semesta hanyalah suatu "akibat", maka pasti ada suatu
"penyebab" di balik semuanya.
Agama Hindu mengandung suatu konsep filosofis yang disebut Brahman, yang sering
didefinisikan sebagai kenyataan sejati, esensi bagi segala hal, atau sukma alam semesta yang
menjadi asal usul serta sandaran bagi segala sesuatu dan fenomena. Tetapi, umat Hindu tidak
menyembah Brahman secara harfiah. Pada zaman Brahmanisme, Brahman adalah istilah
yang disematkan bagi suatu kekuatan yang membuat yadnya (upacara) menjadi efektif, yaitu
kekuatan spiritual dari ucapan-ucapan suci yang dirapalkan para ahli Weda, sehingga mereka
disebut brahmana. Kadang kala, Brahman dipandang sebagai Yang Mahamutlak atau
Mahakuasa, atau asas ilahi bagi segala materi, energi, waktu, ruang, benda, dan sesuatu di
dalam atau di luar alam semesta. Sebagai hasil dari berbagai kontemplasi tentang Brahman,
maka Ia dapat dipandang sebagai Tuhan dengan atribut (Saguna-brahman), Tuhan tanpa
atribut (Nirguna-brahman), dan/atau Tuhan Mahakuasa (Parabrahman), tergantung mazhab
dan aliran.
Mazhab dan aliran Hindu-dualistis—seperti Dwaita dan tradisi Bhakti—menyembah Tuhan
yang berkepribadian (memiliki guna atau "atribut ketuhanan", yaitu supremasi dari sifat-sifat
baik manusia seperti Maha-penyayang, Maha-pemurah, Maha-pelindung, dan sebagainya),
sehingga mereka memujanya dengan nama Wisnu, Siwa, Dewi, Dewata, Batara, dan lain-
lain, tergantung aliran masing-masing. Dalam tradisi Hindu pada umumnya, Tuhan yang
dipandang sebagai zat mahakuasa dengan supremasi dari sifat baik manusia—daripada
dianggap sebagai asas semesta yang tak terbatas—disebut Iswara, Bhagawan,
atau Parameswara. Meski demikian, ada beragam penafsiran tentang Iswara, mulai dari
keyakinan bahwa Iswara sesungguhnya tiada—sebagaimana ajaran Mimamsa—sampai
pengertian bahwa Brahman dan Iswara sesungguhnya tunggal, sebagaimana yang diajarkan
mazhab Adwaita. Dalam banyak tradisi Waisnawa, Ia disebut Wisnu, sedangkan kitab
Waisnawa menyebutnya sebagai Kresna, dan kadang kala menyebutnya Swayam Bhagawan.
Sementara itu, dalam aliran Sakta, Ia disebut Dewi atau Adiparasakti, sedangkan dalam
aliran Saiwa, Ia disebut Siwa. Ajaran Smarta yang monistis memandang bahwa seluruh
nama-nama ilahi seperti Wisnu, Siwa, Ganesa, Sakti, Surya,
dan Skanda sesungguhnya manifestasi dari Brahman yang Maha Esa.
Mazhab Adwaita Wedanta menolak teisme dan dualisme dengan menegaskan bahwa pada
hakikatnya Brahman tidak memiliki bagian atau atribut. Menurut mazhab ini, Tuhan yang
berkepribadian atau menyandang atribut tertentu adalah salah satu fenomena maya, atau
kekuatan ilusif Brahman. Pada hakikatnya, Brahman tidak dapat dikatakan memiliki sifat-
sifat kemanusiaan seperti pelindung, penyayang, perawat, pengasih, dan sebagainya. Menurut
mazhab ini, pikiran manusia yang terperangkap maya menyebabkan Brahman terbayangkan
sebagai Tuhan dengan sifat atau atribut tertentu, yang dapat disebut
sebagai Iswara, Bhagawan, Wisnu, dan nama-nama lainnya. Mazhab ini menegaskan bahwa
tiada larangan untuk membayangkan Tuhan dengan sifat-sifat tertentu, tapi tujuan hidup
sejati adalah untuk merasakan bahwa "sesuatu yang nyata" dalam tiap makhluk sesungguhnya
tiada berbeda dengan Brahman. Mazhab Adwaita dapat dikatakan
sebagai monisme atau panteisme karena meyakini bahwa alam semesta tidak sekadar berasal
dari Brahman, tapi pada "hakikatnya" sama dengan Brahman.
Doktrin ateistis mendominasi aliran Hindu seperti Samkhya dan Mimamsa. Dalam
kitab Samkhyapravachana Sutra dari aliran Samkhya dinyatakan bahwa keberadaan Tuhan
(Iswara) tidak dapat dibuktikan sehingga (keberadaan Tuhan) tidak dapat diakui. Samkhya
berpendapat bahwa Tuhan yang abadi tidak mungkin menjadi sumber bagi dunia yang
senantiasa berubah. Dikatakan bahwa Tuhan merupakan gagasan metafisik yang dibuat untuk
suatu keadaan. Pendukung dari aliran Mimamsa—yang berdasarkan pada ritual
dan ortopraksi—menyatakan bahwa tidak ada cukup bukti untuk membuktikan keberadaan
Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa kita tidak perlu membuat postulat tentang suatu
"pencipta dunia", sebagaimana kita tidak perlu memikirkan siapa penulis Weda atau Tuhan
apa yang dibuatkan upacara. Mimamsa menganggap bahwa nama-nama Tuhan yang tertulis
dalam Weda sebenarnya tidak mengacu pada wujud apa pun di dunia nyata, dan hanya untuk
keperluan mantra belaka. Atas pemahaman tersebut, mantra itulah yang sebenarnya
merupakan "kekuatan Tuhan", sehingga Tuhan tiada lain hanyalah kekuatan mantra belaka.
Atman dan jiwa
Diagram yang menunjukkan lapisan penyelubung atman:
• annamayakosa (lapisan badan kasar yang mengandung daging dan kulit)
• pranamayakosa (lapisan tenaga kehidupan)
• manomayakosa (lapisan pikiran atau indra yang menerima rangsangan)
• wijanamayakosa (lapisan nalar, akal budi, atau kecerdasan)
• anandamayakosa (lapisan kebahagiaan atau tubuh kausal)
Dalam agama Hindu terdapat keyakinan bahwa ada "sesuatu yang sejati" dalam tiap individu
yang disebut atman, sifatnya abadi atau tidak terhancurkan. Taittiriya-
upanishad mendeskripsikan bahwa atman individu diselimuti oleh lima
lapisan: annamayakosa, pranamayakosa, manomayakosa, wijanamayakosa,
dan anandamayakosa. Istilah atman dan jiwa kadang kala dipakai untuk konteks yang sama.
Dalam suatu pengertian, atman adalah percikan dari Brahman, sedangkan jiwa adalah
penggerak segala makhluk hidup.
Menurut teologi Hindu yang monistis/panteistis (seperti mazhab Adwaita Wedanta), sukma
individu sama sekali tiada berbeda dari Brahman. Sukma individu disebut jiwatman,
sedangkan Brahman disebut paramatman. Maka dari itu, ajaran ini disebut aliran non-dualis.
Ketika tubuh individu hancur, jiwa tidak turut hancur. Sebaliknya, ia berpindah ke tubuh baru
melalui reinkarnasi (samsara). Jiwa mengalaminya karena diselubungi oleh awidya atau
"ketidaksadaran" bahwa dirinya sesungguhnya sama dengan Paramatman. Tujuan kehidupan
menurut mazhab Adwaita adalah untuk mencapai kesadaran bahwa atman sesungguhnya
sama dengan Brahman. Kitab Upanishad menyatakan bahwa siapa pun yang merasakan
bahwa atman merupakan esensi dari tiap individu, maka ia akan menyadari kesetaraan
dengan Brahman, sehingga mencapai moksa (kebebasan atau kemerdekaan dari proses
reinkarnasi/samsara).
Yoga dari Resi Patanjali—sebagaimana yang diuraikan dalam Yogasutra—berbeda
dengan monisme yang diuraikan dalam filsafat Adwaita. Menurut yoga, pencapaian spiritual
tertinggi bukanlah untuk menyadari bahwa segala kemajemukan di alam semesta merupakan
maya. Jati diri yang diperoleh saat mencapai pengalaman religius tertinggi bukanlah atman
belaka. Itu hanyalah salah satu jati diri yang ditemukan oleh individu. Meruntuhkan "tembok
alam sadar manusia" untuk membangun "persatuan" jati diri individu (jiwatman) dengan
sukma alam semesta (paramatman), merupakan tujuan praktik yoga.
Menurut pemahaman dualistis seperti mazhab Dwaita, jiwa merupakan entitas yang berbeda
dengan Tuhan, tapi memiliki kesamaan. Jiwa bergantung kepada Tuhan, sedangkan
pencapaian moksa (lepas dari samsara) bergantung kepada cinta pada Tuhan serta kasih
sayang Tuhan.
Para dewa dan awatara

Lukisan dari akhir abad ke-18, menggambarkan tiga dewa utama Hinduisme—
Brahma, Wisnu, dan Siwa—beserta sakti (pasangan) masing-masing.
Umat dari berbagai sekte agama Hindu memuja dewa-dewi tertentu yang tak terhitung
banyaknya dan mengikuti aneka upacara untuk memuja dewa-dewi tersebut. Karena
merupakan agama Hindu, maka para penganutnya memandang kekayaan tradisi tersebut
sebagai ungkapan dari suatu realitas yang kekal. Dewa-dewi yang memanggul senjata
dipahami oleh umatnya sebagai simbol-simbol dari suatu realitas sejati yang tunggal.
—Brandon Toropov & Luke Buckles, The Complete Idiot's Guide to World Religions.

Susastra Hindu menyebutkan suatu kelompok entitas ilahi yang


disebut dewa (atau dewi dalam bentuk feminin, sedangkan dewata bersinonim dengan dewa),
bermakna "yang bersinar", atau dapat diterjemahkan sebagai "makhluk surgawi". Para dewa
merupakan bagian integral dalam kebudayaan Hindu dan ditampilkan
dalam kesenian (lukisan, patung, relief), arsitektur, dan ikon. Cerita mitologis mengenai
keberadaan mereka terkandung dalam sejumlah sastra Hindu, terutama wiracarita
Hindu dan Purana.
Keberadaan banyak dewa diyakini sebagai manifestasi dari Brahman.
Pustaka Weda dan Upanishad tidak mengajarkan panteisme ataupun politeisme,
melainkan monoteisme dan monisme. Ada banyak dewa, tapi mereka merupakan manifestasi
berbagai aspek dari suatu "kenyataan sejati". Keberadaan konsep monisme dan monoteisme
berjalin-jalin. Dalam banyak sloka, kenyataan sejati dikatakan imanen, sedangkan dalam
sloka lainnya dikatakan transenden. Secara monisme, kenyataan sejati tersebut adalah
Brahman, sedangkan pandangan monoteisme lebih berfokus pada wujud-wujud beratribut
(Saguna) dari Brahman.
Biasanya pengertian dewa dibedakan dengan Iswara (Tuhan Yang Maha Esa), meskipun
banyak umat Hindu menyembah Iswara dalam suatu perwujudan tertentu (seolah-olah ada
Tuhan yang berbeda) sebagai istadewata (iṣṭa devatā), yaitu sosok ideal (dewa-dewi tertentu)
dari Tuhan yang cenderung dipuja. Pilihan tersebut bergantung pada preferensi seseorang
atau menurut tradisi regional dan keluarga.
Dalam kitab suci Regweda disebutkan adanya 33 dewa atau dewata, dan Purana menjelaskan
bahwa sebagian di antaranya merupakan para putra Dewi Aditi dan Bagawan Kasyapa, dan
merupakan murid dari Wrehaspati. Menurut mitologi Hindu dalam Purana, sebelum
memperoleh keabadian melalui tirta amerta (minuman keabadian), dewata adalah golongan
makhluk yang berseteru dengan para asura atau raksasa dan dapat gugur dalam pertempuran.
Kekuatan dewata berbeda dengan tiga dewa utama yang abadi—Brahma, Wisnu, Siwa.
Siwa dan Wisnu dimuliakan sebagai Mahadewa karena kemasyhuran mereka dalam kitab
suci dan pemujaan. Mereka berdua, beserta Brahma, dipandang sebagai Trimurti—tiga aspek
dari Yang Mahakuasa. Ketiga aspek tersebut melambangkan seluruh siklus samsara menurut
agama Hindu: Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pelindung atau pemelihara, dan Siwa
sebagai pelebur. Dua di antara tiga dewa tersebut, yaitu Wisnu dan Siwa memiliki pengikut
dengan jumlah banyak sehingga membentuk dua aliran utama (Waisnawa dan Saiwa) dalam
tubuh agama Hindu. Dalam kajian tentang Trimurti, Sir William Jones menyatakan bahwa
umat Hindu "menyembah Tuhan dalam tiga wujud: Wisnu, Siwa, Brahma … Gagasan
fundamental agama Hindu, bahwa metamorfosis, atau transformasi, dicontohkan melalui
[konsep] awatara."
Tridewi ("Tiga Dewi") dalam agama Hindu memiliki peran penting sebagaimana Trimurti
dan berfungsi sebagai pasangan bagi Trimurti. Brahma adalah Sang Pencipta, sehingga ia
membutuhkan pengetahuan atau Dewi Saraswati. Wisnu adalah Sang Pelindung, sehingga ia
membutuhkan kemakmuran, yang dimanifestasikan sebagai Dewi Laksmi (Sri). Sedangkan
Siwa adalah Sang Pelebur, sehingga ia membutuhkan Dewi Parwati, Durga, atau Kali sebagai
kekuatannya. Para dewi tersebut adalah manifestasi dari satu entitas, yaitu Sakti.
Wiracarita Hindu dan Purana menceritakan beberapa kisah tentang turunnya Tuhan ke dunia
(inkarnasi) dalam wujud fana demi menegakkan di masyarakat dan menuntun manusia
mencapai moksa. Inkarnasi itu disebut pula awatara. Beberapa awatara terkenal merupakan
perwujudan Wisnu, meliputi Rama (tokoh utama Ramayana) dan Kresna (tokoh penting
dalam Mahabharata).
Karma dan reinkarnasi

Dua sadu di Kuil Pahupatinatha, Nepal.


Sadu adalah istilah bagi kaum yogi yang sedang menempuh Rajayoga, yaitu jalan
pengendalian pikiran, demi melepaskan diri dari belenggu duniawi sehingga dapat mencapai
kesadaran spiritual tingkat tinggi atau bahkan moksa.
Karma diterjemahkan secara harfiah sebagai tindakan, kerja, perbuatan, dan dapat
dideskripsikan sebagai "hukum moral sebab–akibat". Menurut hukum karma, nasib baik
berasal dari tindakan baik terdahulu, dan nasib buruk berasal dari tindakan buruk terdahulu,
yang merupakan suatu sistem aksi-reaksi dan membentuk suatu siklus reinkarnasi. Fenomena
sebab-akibat tersebut tidak hanya berlaku bagi dunia material, tapi juga terhadap pikiran,
perkataan, tindakan, dan tindakan yang dilakukan berdasarkan perintah seseorang.
Menurut kitab Upanishad, suatu jiwa membentuk sanskara (kesan) dari tindakan, baik secara
fisik atau mental. Linga-sarira (tubuh yang lebih halus daripada tubuh fisik namun lebih
kasar daripada jiwa) dilekati kesan-kesan tersebut, dan membawanya ke kehidupan
selanjutnya, sehingga menciptakan jalan kehidupan tersendiri bagi setiap orang. Maka dari
itu, konsep karma—yang universal, netral, dan tak pernah meleset—berkaitan
dengan reinkarnasi, demikian pula kepribadian, watak, dan keluarga seseorang. Karma
menyatukan konsep kehendak bebas dan nasib.
Karena agama Hindu meyakini bahwa jiwa tidak dapat dihancurkan, maka kematian tidak
dipandang sebagai momok bagi kehidupan karena merupakan fenomena alami. Maka dari itu,
seseorang yang sudah meninggalkan ambisi dan keinginannya, tidak memiliki tanggung
jawab lagi di dunia, atau terjangkiti penyakit mematikan dapat mengusahakan kematian
dengan cara Prayopavesa.
Siklus aksi, reaksi, kelahiran, kematian, dan kelahiran adalah proses berkesinambungan yang
disebut samsara (reinkarnasi). Pemahaman akan reinkarnasi dan karma merupakan premis
kuat dalam filsafat Hindu. Dalam kitab Bhagawadgita (II:22) tertulis:
Seperti halnya seseorang memakai baju baru dan menanggalkan baju yang lama, demikian
pula jiwa memasuki tubuh yang baru, meninggalkan tubuh yang lama.
Dalam kepercayaan Hindu, samsara memberikan kesempatan bagi manusia untuk menikmati
kesenangan sesaat pada setiap kelahiran. Selama manusia terlena untuk terus menikmati
kesenangan tersebut, maka mereka akan dilahirkan kembali. Akan tetapi, pelepasan diri dari
belenggu samsara (melalui moksa) diyakini dapat memberikan kebahagiaan dan kedamaian
abadi. Menurut kepercayaan ini, setelah mengalami reinkarnasi berkali-kali, pada akhirnya
suatu atman akan mencari persatuan dengan sukma alam semesta (Brahman/Paramatman).
Dalam agama Hindu, tujuan hidup sejati—yang disebut sebagai moksa, nirwana, atau semadi
—dipahami dalam berbagai arti: realisasi penyatuan jiwa dengan Tuhan; realisasi hubungan
kekal dengan Tuhan; realisasi dari penyatuan seluruh hal yang ada; wawas diri sempurna
serta pengetahuan akan diri yang sejati; pencapaian atas kedamaian batin yang sempurna; dan
pelepasan dari segala keinginan duniawi. Realisasi semacam itu membebaskan seseorang dari
samsara dan mengakhiri siklus lahir kembali.
Konseptualisasi moksa berbeda-beda tergantung mazhab atau aliran Hinduisme. Sebagai
contoh, mazhab Adwaita Wedanta berpedoman bahwa setelah mencapai moksa, atman tidak
lagi mengenali dirinya sebagai individu, melainkan menyadari bahwa Brahman identik dalam
segala hal, termasuk kesamaannya dengan atman. Pengikut mazhab Dwaita (dualistis)
memandang individu sebagai bagian dari Brahman, dan setelah mencapai moksa, mereka
yakin akan memperoleh kekekalan di loka bersama dengan manifestasi Iswara yang
dipilihnya. Maka dari itu, dianalogikan bahwa pengikut dwaita berharap untuk "menikmati
gula", sementara pengikut Adwaita berharap untuk "menjadi gula".
Tujuan hidup manusia
Filsafat Hindu klasik mengakui empat hal yang harus dipenuhi sebagai tujuan hidup manusia
—sebagaimana dijabarkan di bawah ini—yang disebut purusarta:
 Darma: Darma adalah prinsip yang tak boleh diabaikan oleh umat Hindu. Darma dapat
dipandang sebagai kewajiban (dalam hal kegiatan duniawi ataupun rohani), hukum, keadilan,
tindakan benar, dan berbagai kualitas yang mendukung harmoni segala
sesuatu. Brihadaranyaka-upanishad memandang darma sebagai prinsip universal—tentang
aturan, kewajiban, dan harmoni—yang berasal dari Brahman. Darma berlaku sebagai prinsip
moral bagi alam semesta. Darma merupakan sat (kebenaran), ajaran pokok dalam agama
Hindu. Hal ini berpangkal pada pernyataan dalam Regweda bahwa "Ekam Sat," (Kebenaran
Hanya Satu), dari keyakinan bahwa Brahman itu sendiri merupakan "Satcitananda"
(Kebenaran-Kesadaran-Keberkatan). Darma tidak hanya sekadar aturan atau harmoni, tapi
kebenaran murni. Dalam Mahabharata, Kresna mendefinisikan darma sebagai penegak
perkara di dunia manusia dan dunia lain (Mbh 12.110.11). Kata Sanātana berarti 'kekal', 'tak
mati', atau 'selamanya'; maka, agama Hindu sebagai Sanātana-dharma bermakna suatu darma
yang tidak berawal atau berakhir.
 Arta: Arta adalah upaya mencari harta demi penghidupan dan kemakmuran. Hal ini juga
mencakup usaha mencari pekerjaan, berpolitik, memelihara kesehatan, dan mencari
kesejahteraan material. Arta dibutuhkan demi mencapai kehidupan yang makmur sentosa,
terutama bagi umat yang sudah berumah tangga. Ajaran tentang arta disebut Arthashastra,
dan yang termasyhur di antaranya adalah Arthashastra karya Kautilya.
 Kama: Kama berarti hasrat, keinginan, gairah, kemauan, dan kenikmatan panca indra. Kama
dapat pula berarti kesenangan estetis dalam menikmati kehidupan (seni, hiburan,
kegembiraan), kasih sayang, ataupun asmara. Akan tetapi, kama dalam hubungan asmara atau
percintaan hanya dapat dipenuhi melalui hubungan pernikahan. Kama dibutuhkan dalam
membangun kehidupan rumah tangga, atau grehasta.
 Moksa: Moksa atau mukti adalah tujuan hidup yang utama bagi umat Hindu. Moksa adalah
keadaan yang sama sekali berbeda dengan pencapaian surga. Moksa adalah suatu kondisi saat
individu menyadari esensi dan realitas sejati dari alam semesta, sehingga individu mengalami
kemerdekaan dari kesan-kesan duniawi, tanpa suka ataupun duka, lepas belenggu samsara,
serta lepas dari hasil perbuatan (karma) yang melekati individu selama mengalami
proses reinkarnasi.

Jalan menuju Tuhan


Karmayoga

Bhaktiyoga

Jnanayoga
Rajayoga
Empat jalan spiritualitas (caturmarga) dalam agama Hindu. Setiap jalan menyediakan cara
yang berbeda untuk mencapai moksa.

Umat Hindu memenuhi tujuan hidupnya dengan menempuh jalan yang berbeda-beda. Jalan
tersebut merupakan yoga. Yoga di sini dapat diartikan sebagai disiplin fisik, mental, dan
spiritual demi memperoleh kedamaian dan ketenangan pikiran. Dalam konteks dan tradisi
lain, yoga dapat pula didefinisikan sebagai "upaya mengendalikan pikiran agar [pikiran] tidak
liar", atau "[usaha] mempersatukan diri dengan Tuhan".Ajaran tentang pelaksanaan yoga
dihimpun dan diuraikan oleh para resi atau orang bijak. Kitab yang memuat ajaran yoga
meliputi Bhagawadgita, Yogasutra, Hathayoga-pradipika, dan Upanishad sebagai basis
filosofis dan historisnya. Yoga mengarahkan umat Hindu untuk mencapai tujuan hidup yang
spiritual (moksa, samadhi, atau nirwana), baik secara langsung maupun tidak langsung.
Empat macam jalan (yoga) utama yang sering disinggung yakni:
1. Karmayoga (melaksanakan kewajiban sebaik-baiknya dengan ikhlas)
2. Bhaktiyoga (mencintai Tuhan dan menyayangi segala makhluk)
3. Jnanayoga (mencari pengetahuan dan berkontemplasi tentang Tuhan)
4. Rajayoga (mengendalikan pikiran dengan meditasi, sikap tubuh, atau semacamnya)

Seseorang dapat memilih salah satu atau beberapa yoga sekaligus, sesuai dengan
kecenderungan dan pemahamannya. Beberapa aliran Hinduisme yang menekankan
pengabdian mengajarkan bahwa bhakti adalah satu-satunya jalan praktis untuk mencapai
kesempurnaan spiritual bagi masyarakat awam, berdasarkan kepercayaan bahwa dunia
sedang berada pada masa Kaliyuga (salah satu jangka waktu dalam siklus Yuga yang kini
sedang berlangsung). Melaksanakan salah satu yoga tidak berarti mengabaikan yang lainnya.
Banyak mazhab Hinduisme mengajarkan bahwa berbagai yoga secara alami berbaur dan
mendukung pelaksanaan yoga lainnya. Contohnya praktik jnanayoga, yang dianggap pasti
mengarahkan seseorang untuk memberikan kasih sayang murni (tujuan utama bhaktiyoga),
dan demikian sebaliknya. Seseorang yang mendalami meditasi tingkat tinggi (seperti yang
ditekankan raja yoga) harus mewujudkan prinsip pokok dari karmayoga, jnanayoga,
dan bhaktiyoga, baik secara langsung maupun tak langsung.
Pustaka suci

Menurut tokoh spiritual Hindu Swami Vivekananda, agama Hindu berdasarkan kepada
himpunan pedoman spiritual yang ditemukan oleh orang yang berbeda-beda pada zaman
yang berbeda-beda. Selama berabad-abad, pedoman itu diwariskan secara lisan dalam bentuk
syair agar dapat dihafalkan, sampai akhirnya dituliskan. Selama berabad-abad,
para resi menyaring ajaran tersebut dan memperluas dalil-dalilnya. Pada masa setelah Periode
Weda dan menurut keyakinan Hindu masa kini, banyak pustaka Hindu tidak untuk ditafsirkan
secara harfiah. Yang diutamakan adalah etika dan makna metaforis yang terkandung di
dalamnya. Di antara pustaka suci tersebut, Weda merupakan yang paling tua, yang diikuti
dengan Upanishad sebagai susastra dasar yang sangat penting dalam mempelajari filsafat
Hindu. Sastra lainnya yang menjadi landasan penting dalam ajaran Hindu
adalah Tantra, Agama, Purana, serta dua wiracarita,
yaitu Ramayana dan Mahabharata. Bhagawadgita adalah ajaran yang dimuat
dalam Mahabharata, merupakan susastra yang dipelajari secara luas, yang sering disebut
sebagai intisari Weda. Banyak pustaka Hindu yang ditulis dalam bahasa Sanskerta. Pustaka-
pustaka tersebut digolongkan menjadi dua kelas: Sruti dan Smerti.
Sruti

Regweda adalah salah satu kitab suci tertua di dunia. Naskah Regweda dalam foto ini ditulis
dengan aksara Dewanagari.
Sruti (artinya "apa yang didengar") terutama mengacu kepada kumpulan Weda, yang
merupakan bentuk pustaka Hindu tertua. Banyak umat Hindu mengagungkan Weda sebagai
kebenaran abadi yang diwahyukan kepada para resi purbakala, sementara umat yang lain
tidak menyangkutpautkan penyusunan Weda dengan Tuhan atau seseorang. Umat Hindu
meyakini kumpulan Weda sebagai pedoman bagi dunia spiritual, yang akan ada selama-
lamanya, bahkan tetap ada jika seandainya tidak pernah diwahyukan kepada para resi. Umat
Hindu memiliki kepercayaan demikian karena mengimani bahwa kebenaran spiritual
dalam Weda bersifat kekal, yang dapat terus diungkapkan dengan cara-cara yang baru.
Ada empat kitab Weda,
yaitu Regweda (Ṛgveda), Samaweda (Sāmaveda), Yajurweda (Yajurveda),
dan Atharwaweda (Atharvaveda). Kitab Regweda adalah kitab Weda yang pertama dan
terpenting. Setiap Weda dibagi menjadi empat bagian: yang utama—Weda yang baku—
adalah Samhita (Saṃhitā), yang menghimpun mantra-mantra. Tiga bagian lainnya
membentuk seperangkat golongan suplemen bagi Samhita, biasanya dalam bentuk prosa dan
dipercaya berusia lebih muda daripada Saṃhitā. Adapun tiga bagian tersebut
adalah Brahmana (Brāhmaṇa), Aranyaka (Āraṇyaka), dan Upanishad. Dua bagian pertama
disebut Karmakanda (Karmakāṇḍa; porsi ritual), sedangkan yang terakhir
disebut Jnanakanda (Jñānakāṇḍa; porsi pengetahuan). Kumpulan Weda berfokus kepada
pelaksanaan upacara, sementara kumpulan Upanishad berfokus kepada pandangan spiritual
dan ajaran filosofis, serta memperbincangkan Brahman dan reinkarnasi.
Smerti
Kitab-kitab Hindu yang tak termasuk Sruti digolongkan ke dalam Smerti (ingatan). Kitab
Smerti yang terkenal yaitu wiracarita India (Itihasa), terdiri
dari Mahabharata (Mahābhārata) dan Ramayana (Rāmāyaṇa). Itihasa adalah suatu bagian
dari kesusastraan Hindu yang menceritakan kisah kepahlawanan para raja dan kesatria Hindu
pada masa lampau dan dikombinasikan dengan filsafat keagamaan, mitologi, dan cerita
tentang makhluk supernatural.
Kitab Bhagawadgita (Bhagavadgītā) merupakan suatu bagian integral dalam Mahabharata,
dan merupakan salah satu kitab suci Hindu yang masyhur. Kitab tersebut mengandung ajaran
filosofis yang dinarasikan oleh Kresna—sebagai awatara Wisnu—kepada Arjuna,
menjelang perang di Kurukshetra. Bhagawadgita terdiri dari delapan belas bab dan berisi ±
650 sloka. Setiap bab menguraikan jawaban-jawaban yang diajukan oleh Arjuna kepada
Kresna. Jawaban-jawaban tersebut merupakan wejangan suci sekaligus pokok-pokok
ajaran Weda. Akan tetapi, kitab yang termasuk Gita—kadang kala disebut Gitopanishad—
sering kali digolongkan ke dalam Sruti, karena konteksnya bersifat Upanishad.
Kitab-kitab Purana (Purāṇa)—yang menguraikan ajaran-ajaran Hindu melalui kisah-kisah
yang gamblang—tergolong ke dalam Smerti. Purana memuat mitologi, legenda, dan kisah-
kisah zaman purba yang diyakini kebenarannya oleh umat Hindu. Kata Purana berarti
"sejarah kuno" atau "cerita kuno". Penulisan kitab-kitab Purana diperkirakan dimulai sekitar
tahun 500 SM. Terdapat delapan belas kitab Purana yang disebut Mahapurana.
Kitab lain yang tergolong ke
dalam Smerti meliputi Dewimahatmya (Devīmahātmya), Tantra, Yogasutra, Tirumantiram, S
iwasutra, dan Agama (Āgama). Selain itu, ada kitab Manusmerti, yang merupakan kitab
hukum preskriptif yang mendasari aturan kemasyarakatan dan stratifikasi sosial yang
kemudian menuntun masyarakat membentuk sistem kasta di India. Kitab Tantra memuat
tentang cara pemujaan masing-masing aliran dalam agama Hindu. Kitab Tantra juga
mengatur tentang pembangunan tempat suci Hindu dan peletakkan arca.
Kitab Nitisastra memuat ajaran kepemimpinan dan pedoman untuk menjadi seorang
pemimpin yang baik. Kitab Jyotisha merupakan kitab yang memuat ajaran
sistem astronomi tradisional Hindu. Kitab Jyotisha berisi pedoman tentang benda langit dan
peredarannya. Kitab Jyotisha digunakan untuk meramal dan memperkirakan datangnya
suatu musim.
Sejarah

Periodisasi
James Mill (1773–1836), dalam bukunya The History of British India (1817), membagi
sejarah India menjadi tiga tahap, yaitu peradaban Hindu, Muslim, dan Britania. Periodisasi ini
menuai kritik karena kesalahpahaman yang ditimbulkannya. Periodisasi lainnya memilah-
milah menjadi periode kuno, klasik, pertengahan, dan modern. Smart dan
Michaels tampaknya mengikuti periodisasi menurut Mill,[j] sedangkan Flood dan
Muesse mengikuti periodisasi yang terbagi menjadi periode kuno, klasik, pertengahan, dan
modern.

Periode-periode yang berbeda ditentukan sebagai masa Hinduisme Klasik:

 Smart menyatakan rentang waktu antara 1000 SM dan 100 M sebagai "praklasik". Itu
merupakan periode formatif bagi Upanishad dan Brahmanisme,[k] Jainisme, dan Buddhisme.
Menurut Smart, "periode klasik" berlangsung dari 100 M hingga 1000 M, dan bertepatan
dengan suburnya "Hinduisme Klasik", serta pertumbuhan dan kemunduran Buddha
Mahayana di India.
 Menurut Michaels, rentang waktu antara 500 SM dan 200 SM adalah masa "Reformisme
Asketis", sedangkan rentang waktu antara 200 SM dan 1100 M adalah masa "Hinduisme
Klasik", karena adanya titik balik antara agama Weda dan agama Hindu.
 Muesse menyatakan perbedaan rentang waktu yang lebih jauh, yaitu antara 800 SM dan 200
SM, yang ia sebut sebagai "Periode Klasik". Menurut Muesse, beberapa konsep dasar agama
Hindu, yaitu karma, reinkarnasi, serta pencerahan dan transformasi seseorang—yang tidak
ditemui dalam agama Weda—berkembang pada periode tersebut.

Michaels
Smart Muesse Flood
Umum Detail

Peradaban Lembah Peradaban Lembah


Agama-Agama Pra-Weda
Sungai Indus Sungai Indus
(prasejarah–ca. 1750 SM)
Peradaban (3300–1400 SM) (ca. 2500–1500 SM)

Lembah Sungai Periode Weda


Indus Awal
dan (ca. 1750–
Periode Weda Agama 1200 SM) Periode Weda
(ca. 3000–1000 Weda Periode Weda (1600–800 SM)
SM) Periode Weda
Kuno Pertengahan
(ca. 1500–500 SM)
(ca. 1750– (dari 1200
500 SM) SM)

Periode Weda
Akhir
Periode Klasik
(dari 850 SM)
(800–200 SM)
Periode Praklasik Reformisme Asketis Periode Epos dan Purana
(ca. 1000 SM– (ca. 500–200 SM) (ca. 500 SM–500 M)
100 M) Hinduisme Hinduisme Periode Epos dan Purana
Klasik Praklasik (200 SM–500 M)
(ca. 200 (ca. 200 SM–
SM–1100 300 M)

Periode Klasik M) "Zaman


(ca. 100 M–1000 Kejayaan"
M) (Kemaharajaan
Gupta)
(ca. 320–650
M)
Hinduisme-
Klasik Akhir Periode-Purana Periode-Purana
(ca. 650–1100 Pertengahan dan Akhir Pertengahan dan Akhir
M) (500–1500 M) (500–1500 M)

Peradaban Penaklukan Muslim dan


Hindu-Islam Kemunculan Sekte-Sekte
(ca. 1000–1750 Hinduisme
Abad Modern Abad Modern
M) (ca. 1100–1850 M)
(1500–kini) (ca. 1500–kini)
Periode Modern Hinduisme Modern
(ca. 1750–kini) (sejak ca. 1850)
Agama-Agama Pra-Weda

Artefak yang disebut cap Shiva-pashupati (Siwa sang penguasa satwa), berasal dari
masa Peradaban Lembah Sungai Indus.
Ras manusia pertama yang menduduki India (ca. 40.000–60.000 tahun yang lalu, saat
periode Paleolitik) adalah Australoid yang mungkin memiliki hubungan dengan penduduk
asli Australia. Ada dugaan bahwa ras tersebut hampir punah atau terdesak oleh gelombang
migrasi pada masa berikutnya.
Setelah pendudukan oleh Australoid, maka ras Kaukasoid (meliputi bangsa Elamo-
Dravida [ca. 4000 hingga 6000 SM] dan Indo-Arya [ca. 2000 hingga 1500 SM])
dan Mongoloid (Sino-Tibet) bermigrasi ke India. Bangsa Elamo-Dravida[l] ada kemungkinan
berasal dari Elam, kini merupakan wilayah Iran.
Agama prasejarah tertua di India—yang mungkin meninggalkan jejaknya pada agama Hindu
—berasal dari zaman mesolitik dan neolitik. Beberapa agama suku di India masih bertahan,
mendahului dominansi agama Hindu, tapi tidak harus dianggap bahwa ada banyak kemiripan
antara masyarakat suku pada zaman prasejarah dengan masa kini.
Menurut antropolog Gregory Possehl, peradaban lembah sungai Indus (2600–1900 SM)
mengandung titik pangkal yang logis, atau mungkin arbitrer, bagi beberapa aspek pada tradisi
Hindu di kemudian hari. Agama pada masa tersebut mengandung pemujaan kepada Dewa
Yang Mahakuasa, yang dibandingkan oleh beberapa ahli (terutama John Marshall)
sebagai proto-Siwa, dan mungkin sesosok Ibu Dewi, yang mendasari figur Sakti. Praktik-
praktik lain dari zaman peradaban lembah sungai Indus yang berlanjut ke periode Weda
meliputi pemujaan kepada air dan api. Akan tetapi, hubungan antara dewa-dewi dan praktik
agama lembah sungai Indus dengan agama Hindu masa kini telah menjadi subjek perselisihan
politis serta perdebatan para ahli.
Periode Weda

Peta dataran subur India Utara.


Periode Weda—yang berlangsung dari ca. 1750 sampai 500 SM—disebut demikian karena
berdasarkan agama berbasis Weda yang dianut oleh bangsa Indo-Arya, yang bermigrasi ke
India barat daya setelah mundurnya peradaban lembah sungai Indus (ada kemungkinan
dari stepa Asia Tengah). Bangsa ini membawa serta bahasadan agama mereka. Agama
mereka berkembang lebih jauh ketika bermigrasi ke dataran India Utara setelah ca. 1100 SM
dan menjadi pastoralis.
Meskipun kepercayaan dan praktik pada masa Hinduisme Praklasik boleh jadi berasal dari
bahan-bahan agama Proto-Indo-Eropa (yang masih hipotesis), sastra yang mendasari tradisi
pada masa itu adalah Weda Samhita, sehingga periode tersebut dinamai demikian. Kitab
tertua di antara sastra Weda tersebut adalah Regweda, yang diperkirakan telah disusun pada
periode 1700–1100 SM.[p] Sastra Weda memusatkan pemujaan kepada para dewa
seperti Indra, Baruna, dan Agni, serta melangsungkan upacara Soma. Kurban dengan api,
yang disebut yadnya (yajña) dilaksanakan dengan merapalkan mantra-
mantra Weda. Sastra Weda dikodifikasi ketika bangsa Indo-Arya mulai menduduki dataran
India Utara yang subur, kemudian melakukan transisi dari masyarakat penggembala menuju
masyarakat agraris, sehingga kebutuhan akan organisasi yang lebih terstruktur mulai timbul.
Masyarakat baru tersebut melibatkan penduduk yang lebih dahulu bermukim di dataran subur
tersebut. Mereka dimasukkan ke dalam sistem warna menurut bangsa Arya, dengan otoritas
politik dan keagamaan berada di tangan kaum brahmana dan kesatria.
Selama Periode Weda Awal (ca. 1500–1100 SM), suku-suku penganut Weda merupakan
suku penggembala, berkelana di sekitar India sebelah barat laut. Setelah 1100 SM, seiring
ditemukannya besi, suku-suku penganut Weda berpindah ke dataran India Utara sebelah
barat, dan mengadaptasi gaya hidup agraris. Bentuk-bentuk wilayah berdaulat yang belum
sempurna mulai muncul, dan yang paling menonjol atau berpengaruh adalah kerajaan suku
Kuru. Kerajaan tersebut merupakan ikatan kesukuan, yang kemudian berkembang menjadi
masyarakat setingkat negara—yang pertama kali tercatat dalam sejarah Asia Selatan—sekitar
1000 M. Secara terang-terangan, mereka mengubah warisan budaya dari Periode Weda
sebelumnya, mengumpulkan himne-himne Weda menjadi suatu himpunan, dan
mengembangkan upacara-upacara baru yang menonjol dalam peradaban India sebagai
upacara-upacara srauta, yang berkontribusi bagi "sintesis klasik" atau "sintesis Hindu".
Pada abad ke-9 dan ke-8 SM terjadi penyusunan kitab-
kitab Upanishad tertua. Upanishad membentuk suatu dasar teoretis bagi Hinduisme Klasik
dan dikenal sebagai Wedanta (kesimpulan dari Weda). Kitab-kitab Upanishad kuno
menangkal intensitas upacara-upacara yang kian bertambah. Spekulasi monistis yang
beragam dari ajaran Upanishad disintesiskan menjadi suatu kerangka teistis dalam kitab suci
Hindu Bhagawadgita.
Etika dalam kitab-kitab Weda berdasarkan konsep satya dan reta. Satya adalah
prinsip integrasi yang berakar pada kemutlakan. Reta adalah ungkapan dari satya, yang
meregulasi dan mengkoordinasi jalannya alam semesta beserta segala sesuatu di dalamnya.
Kesesuaian dengan reta akan memungkinkan sesuatu berjalan sebagaimana mestinya,
sedangkan penyimpangan akan mengakibatkan hal yang tidak
diinginkan. Istilah dharma sudah digunakan dalam filsafat-filsafat Brahmanis, yang
dipandang sebagai aspek dari reta. Istilah reta juga dikenal dalam agama Proto-Indo-Iran,
yaitu agama orang-orang Indo-Iran sebelum kehadiran kitab-kitab Weda (Indo-Aryan)
dan Zoroastrianisme (Iran). Asha (aša) adalah istilah dalam bahasa Avesta yang mirip
dengan ṛta dalam Weda.
Kitab-kitab Weda merupakan pustaka bagi golongan atas, dan tidak semata-mata
mengungkapkan gagasan atau praktik yang populer. Agama berbasis Weda pada periode
selanjutnya hadir berdampingan dengan agama-agama lokal seperti pemujaan Yaksa dan ia
sendiri merupakan hasil dari campuran antara kebudayaan Indo-Arya dengan Harrapa.
Reformisme Asketis

Mahavira

Siddhartha Gautama
Dua tokoh terkemuka dari golongan Sramana, tradisi yang tidak mengakui kewenangan
sastra Weda. Di kemudian hari, Mahavira menjadi figur utama dalam Jainisme, sedangkan
Siddhartha Gautama dalam Buddhisme.

Artikel utama: Sramana

Peningkatan urbanisasi di India pada abad ke-7 dan ke-6 SM telah mendukung terjadinya
gerakan asketis atau Sramana yang menentang fanatisme terhadap berbagai upacara.
Mahavira (ca. 549–477 SM, pemuka Jainisme) dan Buddha Gautama (ca. 563–483 SM,
penggagas tradisi Buddhisme) adalah tokoh-tokoh terkemuka dalam gerakan tersebut.
Menurut Heinrich Zimmer, Jainisme dan Buddhisme adalah bagian dari warisan kebudayaan
pra-Weda, yang juga meliputi Samkhya dan Yoga:
Jainisme tidak berasal dari sumber-sumber [budaya] Brahman-Arya, tetapi
mencerminkan kosmologi dan antropologi masyarakat kuno pra-Arya golongan atas [yang
tinggal] di India bagian timur laut–dengan berpangkal pada dasar-dasar yang sama tentang
spekulasi metafisis kuno seperti Yoga, Sankhya, dan Buddhisme, yaitu ajaran-ajaran India
lainnya yang tidak berbasis Weda.

Dalam suatu bagian, tradisi Sramana mengajarkan konsep siklus kelahiran dan kematian
(siklus reinkarnasi), konsep samsara, dan konsep pencarian kebebasan (dari reinkarnasi
tersebut), yang menjadi karakteristik Hinduisme.
James B. Pratt dalam bukunya The Pilgrimage of Buddhism and a Buddhist
Pilgrimage menulis bahwa Oldenberg (1854–1920), Neumann (1865–1915),
dan Radhakrishnan (1888–1975) percaya bahwa Tripitaka Buddhis mendapat pengaruh dari
kitab-kitab Upanishad, sedangkan la Vallee Poussin menyatakan ketiadaan pengaruh apa
pun, dan ahli lainnya menegaskan bahwa pada bagian-bagian tertentu, Sang Buddha
menyatakan antitesis secara langsung kepada Upanishad.
Hinduisme Klasik
Periode Hinduisme Klasik diawali dengan periode Hinduisme Praklasik, dilanjutkan dengan
zaman kejayaan Hindu pada masa Dinasti Gupta, lalu ditutup dengan periode Hinduisme
Klasik Akhir. Periode Hinduisme Klasik ini disusul dengan kedatangan agama Islam ke Asia
Selatan, lalu diikuti dengan pendirian aliran atau sekte dalam agama Hindu.
Hinduisme Praklasik
Pada periode dari 500hingga 200 SM, dan ca. 300 M, terjadi "sintesis Hindu", yang menyerap
pengaruh-pengaruh Sramana dan Buddha, serta kemunculan tradisi bhakti dalam balutan
Brahmanisme melalui pustaka Smerti. Sintesis ini timbul di bawah tekanan perkembangan
agama Buddha dan Jainisme.
Menurut Embree, beberapa tradisi keagamaan lainnya hadir berdampingan dengan agama
berbasis Weda. Agama-agama pribumi tersebut akhirnya menemukan tempat di bawah
naungan agama Weda. Ketika Brahmanisme mulai kehilangan pamornyadan harus bersaing
dengan Buddhisme dan Jainisme, agama-agama yang populer mendapat kesempatan untuk
menonjolkan ajarannya. Menurut Embree:
Para Brahmanis tampaknya bergiat untuk memperluas perkembangan [agamanya] sebagai
maksud untuk menghadapi gempuran aliran-aliran yang lebih heterodoks. Pada saat yang
sama, di kalangan agama-agama pribumi yang ada, kesetiaan terhadap kewenangan
sastra Weda telah memberikan suatu tali persatuan yang tipis—namun begitu signifikan—di
antara kemajemukan dewa-dewi dan praktik keagamaan [yang ada].

Menurut Larson, para brahmana menanggapinya dengan asimilasi dan konsolidasi. Hal
tersebut tercerminkan dalam pustaka Smerti yang mulai disusun pada periode itu. Kitab-kitab
Smerti dari periode 200 SM–100 M mempermaklumkan kewenangan Weda, sehingga
pengakuan terhadap kewenangan Weda menjadi kriteria utama untuk membedakan
Hinduisme dengan aliran heterodoks yang menolak Weda.[301] Sebagian besar gagasan
dasar dan praktik Hinduisme Klasik berasal dari pustaka Smerti, yang kemudian menjadi
inspirasi dasar bagi kebanyakan umat Hindu.
Dua wiracarita India terkemuka—Ramayana dan Mahabharata—yang tergolong ke dalam
Smerti, disusun dalam periode panjang selama akhir zaman Sebelum Masehi dan awal zaman
Masehi. Pustaka tersebut mengandung cerita mitologis tentang para pemimpin dan
peperangan pada zaman India Kuno, dan diselingi dengan filsafat dan ajaran agama.
Sastra Purana yang disusun pada masa berikutnya mengandung cerita tentang para dewa-
dewi, interaksi mereka dengan manusia, dan pertempuran mereka melawan para rakshasa.
Kitab Bhagawadgita memperkuat keberhasilankonsolidasi agama Hindu, dengan
memadupadankan gagasan-gagasan Brahmanis dan Sramana menjadi suatu kebaktian
yang teistis.
Pada awal zaman Masehi, beberapa mazhab filsafat Hindu dikodifikasikan secara formal,
meliputi Samkhya, Yoga, Nyaya, Waisesika, Purwamimamsa, dan Wedanta.
"Zaman Kejayaan"

Candi Dashavatara di Deogarh, negara bagian Uttar Pradesh, India. Candi ini dibangun
pada abad ke-6, era Dinasti Gupta.
Selama periode ini, kekuasaan atas India disentralisasi, seiring dengan berkembangnya
perdagangan ke negeri yang jauh, standardisasi prosedur legal, dan pemberantasan buta
huruf. Buddhisme aliran Mahayana menyebar, sedangkan kebudayaan Brahmana ortodoks
mulai disegarkan kembali di bawah perlindungan Dinasti Gupta, yang dipimpin para raja
penganut Waisnawa. Kedudukan para brahmana diperkuat kembali dan kuil-kuil Hindu mulai
didirikan sebagai dedikasi untuk dewa-dewi Hindu. Selama pemerintahan Dinasti Gupta,
sastra Purana mulai ditulis, digunakan untuk menyebarkan ideologi keagamaan umum di
kalangan masyarakat pribumi dan buta huruf yang menjalani akulturasi. Para raja Gupta
melindungi tradisi Purana yang mulai berkembang demi perbawa wangsa mereka. Hal ini
menyebabkan timbulnya Hinduisme-Puranis (Puranic Hinduism), yang berbeda
dengan Brahmanisme sebelumnya yang mengacu pada Dharmasastra dan Smerti.
Gerakan Bhakti muncul pada periode ini. Gerakan Bhakti merupakan perkembangan
tradisi bhakti yang tumbuh sangat cepat, bermula di Tamil Nadu (India Selatan).
Para Nayanar dari aliran Saiwa (abad ke-4 – ke-10) serta para Alwar dari
aliran Waisnawa (abad ke-3 – ke-9) menyebarkan puisi dan tradisi bhakti ke berbagai penjuru
India dari abad ke-12 hingga ke-18.
Menurut P.S. Sharma, periode Gupta dan Harsha membentuk—dari segi intelektual—kurun
waktu paling gemilang dalam perkembangan filsafat India, ketika filsafat Hindu dan Buddha
tumbuh subur secara berdampingan. Carwaka, mazhab materialisme ateistis, tampil di India
Utara sebelum abad ke-8.
Hinduisme Klasik Akhir
Setelah runtuhnya kemaharajaan Gupta dan Harsha, kekuasaan di India
mengalami desentralisasi. Beberapa kerajaan besar mulai berdiri, dengan negeri
taklukan yang sangat banyak. Kerajaan-kerajaan tersebut dipimpin dengan sistem feodal.
Kerajaan yang lebih kecil bergantung pada kerajaan yang lebih besar. Maharaja sulit
dijangkau, sangat diagungkan dan didewakan, sebagaimana yang digambarkan
dalam mandala Tantra, dan kadang kala raja digambarkan sebagai pusat mandala.
Perpecahan kekuasaan pusat juga mengarah kepada regionalisasi religiositas, serta persaingan
religius. Kultus dan bahasa lokal lebih diutamakan, dan pengaruh Hinduisme-Brahmanis
ritualistis (ritualistic Brahmanic Hinduism) berkurang. Gerakan rakyat dan kebaktian mulai
bermunculan, seiring dengan [tumbuhnya] aliran Saiwa, Waisnawa, Bhakti, dan Tantra,
meskipun pengelompokan menurut sekte hanya terjadi saat permulaan perkembangan aliran-
aliran tersebut. Gerakan keagamaan berkompetisi untuk memperoleh pengakuan dari
penguasa lokal. Agama Buddha kehilangan pamornya setelah abad ke-8, lalu mulai memudar
di India. Hal tersebut tersirat dari penghentian ritus puja Buddhis di lingkungan istana-istana
India pada abad ke-8, ketika dewa-dewa Hindu menggantikan peran Buddha sebagai
pelindung kerajaan
Sastra Purana kuno disusun untuk menyebarkan ideologi keagamaan yang awam di kalangan
masyarakat pribumi yang mengalami akulturasi. Seiring dengan dadal yang dialami Dinasti
Gupta, tanah-tanah perawan dikumpulkan oleh para brahmana, yang tidak hanya menjamin
keuntungan agraris dari eksploitasi tanah yang dimiliki para raja, tetapi juga memberikan
status bagi kelas penguasa yang baru.[319] Para brahmana menyebar ke berbagai penjuru
India, berinteraksi dengan warga lokal yang menganut kepercayaan dan ideologi berbeda.
Para brahmana menggunakan Purana untuk mengajak berbagai klan menjadi masyarakat
agraris, serta mengikuti agama dan ideologi para brahmana.[64] Menurut Flood, para
brahmana yang mengikuti agama berbasis Purana kemudian dikenal sebagai Smarta, artinya
orang yang bersembahyang berdasarkan Smerti, atau Pauranika, yaitu
penganut Purana. Kepala suku dan warga lokal diserap ke dalam sistem warna, demi
mengendalikan tindak tanduk kaum "kesatria dan sudra baru" tersebut. Kelompok-kelompok
brahmana semakin besar dengan mengikutsertakan orang lokal, seperti pendeta dan
rohaniwan lokal. Hal ini mengarah ke stratifikasi bagi kaum brahmana, sehingga ada
golongan brahmana yang memiliki derajat lebih tinggi dibandingkan brahmana
lainnya. Penarapan sistem kasta lebih sesuai bagi Hinduisme Puranis daripada aliran-
aliran Sramana (Buddha atau Jaina). Pustaka Purana mencantumkan suatu riwayat
silsilah yang luas sehingga dapat memberikan status kesatria baru bagi suatu golongan.
Sementara itu, ajaran Buddha menggambarkan pemerintah sebagai suatu kontrak antara
orang yang terpilih dengan rakyat, dan chakkavatti Buddhis adalah konsep yang berbeda
dengan model penaklukkan yang dilakukan para kesatria dan kaum Rajput Hindu.
Lukisan Kresna sebagai Gowinda atau "pelindung para sapi", dari abad ke-19.
Brahmanisme berdasarkan pustaka Dharmasastra dan Smerti mengalami transformasi radikal
di tangan para penyusun Purana, mengakibatkan munculnya Hinduisme Puranis (Puranic
Hinduism), bagaikan "raksasa" yang melangkahi "cakrawala keagamaan", yang kemudian
melintangi segala agama-agama yang ada. Hinduisme Puranis merupakan sistem kepercayaan
yang terdiri dari banyak bagian yang tumbuh dan meluas dengan menyerap dan memadukan
gagasan-gagasan bertentangan dan berbagai tradisi pemujaan. Agama ini berbeda dengan
Smarta yang menjadi pangkalnya. Perbedaan itu terletak pada ketenaran, pluralisme teologis,
pluralisme sekte, pengaruh Tantra, dan pengutamaan bhakti.
Banyak kepercayaan dan tradisi lokal yang diasimilasi ke dalam Hinduisme
Puranis. Wisnu dan Siwa tampil sebagai dewa yang utama, berdampingan
dengan Sakti/Dewi. Pemujaan kepada Wisnu akhirnya menimbulkan
kultus Narayana, Jagatnata, Wenkateswara, dan lain-lain. Menurut Nath:
Beberapa inkarnasi Wisnu seperti Matsya, Kurma, Waraha, dan bahkan Narasinga membantu
pemaduan simbol-simbol totem populer dan mitos penciptaan, khususnya yang berkaitan
dengan babi hutan, yang umumnya meresapi mitologi [masyarakat] prapustaka, sedangkan
[inkarnasi] lainnya seperti Kresna dan Balarama menjadi alat untuk mengasimilasi kultus dan
mitos lokal yang berpusat pada dewa-dewa pedesaan dan pertanian.

Rama dan Kresna menjadi pujaan utama dalam tradisi bhakti, yang terutama diungkapkan
dalam Bhagawatapurana. Tradisi pemujaan Kresna melibatkan beberapa kultus
berbasis naga, yaksa, bukit, dan pepohonan. Siwa menyerap kultus-kultus lokal dengan
menambahkan kata Isa atau Iswara pada nama dewa-dewa lokal,
contohnya Buteswara, Hatakeswara, Candeswara. Dalam lingkungan keluarga raja pada
abad ke-8, puja terhadap Buddha mulai tergantikan oleh puja terhadap dewa-dewi Hindu.
Pada periode itu pula, Buddha dimasukkan sebagai salah satu awatara Wisnu.
Mazhab Adwaita Wedanta yang non-dualistis—yang mendapat pengaruh agama Buddha
dirumuskan kembali oleh Adi Shankara dengan membuat sistematisasi karya-karya para
filsuf pendahulunya. Pada masa kini, karena pengaruh Orientalisme Barat
dan Perenialisme terhadap Neo-Wedanta India dan nasionalisme Hindu, Adwaita Wedanta
mendapatkan sambutan yang luas dalam kebudayaan India dan di luar India sebagai contoh
paradigmatis dari spiritualitas Hindu.
Kehadiran Islam dan sekte Hindu

Reruntuhan Candi Somnath pada tahun 1869. Candi ini pernah didirikan dan dihancurkan
berkali-kali selama periode penaklukan India oleh Muslim, sampai akhirnya dipugar pada
tahun 1951.
Meskipun Islam sudah datang ke India sejak awal abad ke-7 (seiring dengan kedatangan para
pedagang Arab dan penaklukan Sindhu), agama tersebut menjadi agama utama selama
periode penaklukan Islam di Asia Selatan pada masa selanjutnya. Pada periode
tersebut, agama Buddha memudar secara drastis, dan banyak umat Hindu pindah agama ke
Islam. Banyak penguasa muslim beserta panglimanya, seperti Aurangzeb dan Malik
Kafur yang menghancurkan tempat ibadah umat Hindu dan menindas kaum non-muslim akan
tetapi, beberapa penguasa muslim seperti Akbar bersikap lebih toleran.
Agama Hindu mengalami reformasi besar-besaran karena pengaruh Guru Ramanuja yang
terkemuka, serta Guru Madhwa, dan Sri Caitanya. Pengikut gerakan Bhakti beralih dari
konsep Brahman yang abstrak—yang dianjurkan oleh filsuf Adi Shankara berabad-abad
sebelumnya—dengan tradisi kebaktian yang lebih bersemangat terhadap pemujaan
para awatara yang lebih mudah dibayangkan, terutama Kresna dan Rama. Menurut
Nicholson, antara abad ke-17 dan ke-16, beberapa cendekiawan tertentu mulai
menarik benang merah pada kanekaragaman ajaran filosofis
dalam Upanishad, wiracarita, Purana, dan mazhab filsafat yang dikenal sebagai "enam
sistem" (saddarsana) dari filsafat Hindu yang umum. Lorenzen menentukan bahwa asal mula
identitas ke-Hindu-an yang khas berawal dari interaksi antara muslim dan umat Hindu, dan
dari suatu proses pencarian jati diri yang membedakan diri dengan muslim, yang sudah
dimulai sebelum 1800-an. Baik cendekiawan India ataupun Eropa—yang mempopulerkan
istilah "Hinduisme" pada abad ke-19—telah mendapat pengaruh dari filsafat tersebut.
Michaels menggarisbawahi bahwa historisasi muncul sebelum nasionalisme di kemudian
hari, yang menyuarakan gagasan kejayaan agama Hindu dan masa lampau.
Hinduisme masa kini
Di tengah kekuasaan British Raj (penjajahan Inggris atas India), Renaisans Hindu mulai
bangkit pada abad ke-19, yang memberi perubahan besar bagi pemahaman akan agama
Hindu, baik di India ataupun di Barat. Indologi (disiplin ilmiah tentang kajian kebudayaan
India dari sudut pandang Eropa) didirikan pada abad ke-19, dipimpin oleh para ahli
seperti Max Müller dan John Woodroffe. Mereka memboyong filsafat dan
pustaka Weda, Purana, dan Tantra ke Eropa. Para orientalis mencari-cari "hakikat" agama-
agama di India, dan menemukannya pada pustaka Weda, sambil membuat gagasan bahwa
"Hinduisme" adalah suatu kesatuan dari berbagai adat keagamaan dan gambaran populer
mengenai ‘India yang mistis’. Gagasan tersebut diambil alih oleh beberapa gerakan reformasi
Hindu seperti Brahmo Samaj, yang didukung untuk sesaat oleh Gereja Unitarian, bersama
dengan gagasan Universalisme dan Perenialisme, yaitu gagasan bahwa seluruh agama
memiliki dasar mistisisme yang sama. "Modernisme Hindu", dengan tokoh terkemuka
seperti Vivekananda, Aurobindo, serta Radhakrishnan menjadi panutan dalam pemahaman
populer mengenai agama Hindu.
Tokoh Hindu yang berpengaruh pada abad ke-20 adalah Ramana Maharshi, B.K.S.
Iyengar, Paramahansa Yogananda, Swami Prabhupada (pendiri ISKCON), Sri Chinmoy,
dan Swami Rama, yang menerjemahkan, merumuskan ulang, dan memperkenalkan pustaka
dasar agama Hindu bagi khalayak awam masa kini dengan imla yang baru, mengangkat
pandangan tentang Yoga dan Wedanta di Dunia Barat, serta menarik pengikut baru dan
perhatian masyarakat di India dan negara lainnya.
Pada abad ke-20, agama Hindu juga mendapatkan keunggulan sebagai kekuatan politis dan
acuan bagi jati diri bangsa India. Sejak pendirian Hindu Mahasabha pada 1910-an, banyak
gerakan bertumbuh dengan perumusan dan perkembangan ideologi Hindutva pada dekade-
dekade berikutnya; pendirian Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS) pada tahun 1925; dan
percabangan RSS—yang kemudian berhasil—yaitu Jana Sangha dan Bharatiya Janata
Party (BJP) dalam politik pemilu pada masa pascakemerdekaan India. Religiositas Hindu
juga memainkan peran penting dalam gerakan nasionalis.
Pranata

Caturwarna
Sekelompok pendeta Hindu suku Tengger, Jawa Timur. Foto dari tahun 1910-an.
Artikel utama: Warna dalam agama Hindu

Masyarakat Hindu dikategorikan menjadi empat kelas, disebut warna, yaitu sebagai berikut:
 Brahmana: pendeta dan guru kerohanian
 Kesatria: bangsawan, pejabat, dan tentara
 Waisya: petani, pedagang, dan wiraswasta
 Sudra: pelayan dan buruh

Kitab Bhagawadgita menghubungkan warna dengan kewajiban seseorang (swadharma),


pembawaan (swabhāwa), dan kecenderungan alamiah (guṇa). Berdasarkan
pengertian warna menurut Bhagawadgita, tokoh spiritual Hindu Sri Aurobindo membuat
doktrin bahwa pekerjaan seseorang semestinya ditentukan oleh bakat dan kapasitas alaminya.
Dalam kitab Manusmerti terdapat pengelompokan kasta-kasta yang berbeda.
Mobilitas dan fleksibitas dalam warna menampik dugaan diskriminasi sosial dalam sistem
kasta, sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa sosiolog, meskipun beberapa ahli tidak
sependapat. Para ahli memperdebatkan apakah sistem kasta merupakan bagian dari
Hinduisme yang diatur oleh kitab suci, ataukah sekadar adat masyarakat. Berbagai ahli
berpendapat bahwa sistem kasta dibangun oleh rezim kolonial Britania. Menurut guru rohani
Hindu Sri Ramakrishna (1836–1886):
Para pencinta Tuhan tidak tergolong dalam kasta tertentu … Seorang brahmana tanpa cinta
pada Tuhan bukanlah brahmana lagi. Dan seorang paria tanpa cinta pada Tuhan bukanlah
paria lagi. Melalui bhakti (pengabdian kepada Tuhan), seorang hina dina dapat menjadi suci
dan derajatnya pun meningkat.

Menurut sastra Wedanta, orang yang berada di luar warna disebut "warnatita". Para ahli
seperti Adi Sankara menegaskan bahwa tidak hanya Brahman yang melampaui seluruh
warna, tapi seseorang yang dapat bersatu dengan-Nya juga dapat melampaui seluruh
perbedaan dan pembatasan kasta-kasta.
Jenjang kehidupan
Upacara pernikahan umat Hindu menurut adat di Orissa, India.
Secara tradisional, kehidupan umat Hindu terbagi menjadi
empat āśrama atau caturasrama (empat fase atau empat tahapan). Bagian pertama dalam
kehidupan seseorang adalah Brahmacari, yaitu masa menuntut ilmu. Tahap ini dilaksanakan
sebelum masa kawin, untuk dapat berkontemplasi secara murni dan bijaksana di bawah
bimbingan Guru, demi membangun pikiran dan fondasi spiritual. Tahap berikutnya
adalah Grehasta, yaitu tahap membangun kehidupan rumah tangga, dilaksanakan dengan cara
menikah dan memenuhi kāma (kenikmatan indria) dan arta (kemakmuran). Setelah berumah
tangga, kewajiban moral yang dilaksanakan meliputi: mengasuh anak, merawat orang tua,
menghormati tamu dan orang suci.
Setelah berumah tangga dalam jangka waktu tertentu, umat Hindu kemudian menempuh
tahap Wanaprasta, yaitu masa pensiun atau masa melepaskan diri dari kesibukan duniawi.
Tahap ini dapat dilaksanakan dengan cara menyerahkan tanggung jawab kepada keturunan,
agar pensiunan mendapatkan lebih banyak kesempatan untuk melakukan aktivitas keagamaan
dan mengunjungi tempat-tempat suci. Tahap yang terakhir adalah Sannyasa, yaitu masa
menghabiskan sisa hidup dengan melakukan tapa brata, atau berusaha melepaskan diri dari
ikatan duniawi. Pelepasan tersebut dilakukan dalam rangka menemukan Tuhan, serta untuk
mencari cara meninggalkan tubuh fana secara damai, agar mencapai suatu kondisi yang
disebut moksa.
Praktik keagamaan

Praktik keagamaan Hindu biasanya bertujuan untuk mencari kesadaran akan Tuhan, dan
kadang kala mencari anugerah dari para dewa. Maka dari itu, ada beragam praktik
keagamaan dalam tubuh Hinduisme yang dimaksudkan untuk membantu seseorang dalam
upaya memahami Tuhan dalam kehidupan sehari-hari.

Persembahyangan
Seorang praktisi Bhaktiyoga sedang bermeditasi.
Dalam banyak praktik keagamaan dan ritual, umat Hindu biasanya mengucapkan mantra.
Mantra adalah seruan, panggilan, atau doa yang membantu umat Hindu agar dapat
memusatkan pikiran kepada Tuhan atau dewa tertentu, melalui kata-kata, suara, dan cara
pelantunan. Pada pagi hari, di tepi sungai yang dikeramatkan, banyak umat Hindu yang
melaksanakan upacara pembersihan sambil melantunkan Gayatri Mantra atau mantra-
mantra Mahamrityunjaya. Wiracarita Mahabharata mengagungkan japa (lagu-lagu pujaan)
sebagai kewajiban terbesar pada masa Kaliyuga (zaman sekarang, 3102 SM–kini). Banyak
aliran yang mengadopsi japa sebagai praktik spiritual yang utama.
Praktik spiritual Hindu yang cukup populer adalah Yoga. Yoga merupakan ajaran Hindu
yang gunanya melatih kesadaran demi kedamaian, kesehatan, dan pandangan spiritual. Hal
ini dilakukan melalui seperangkat latihan dan pembentukan posisi tubuh untuk
mengendalikan raga dan pikiran.
Bhajan merupakan praktik pelantunan lagu-lagu pujian. Praktik ini memiliki bentuk beragam:
dapat berupa mantra semata atau kirtan, atau berupa dhrupad atau kriti dengan musik
berdasarkan raga dan tala menurut musik klasik India. Biasanya, bhajan mengandung syair
untuk mengungkapkan cinta kepada Tuhan. Istilah tersebut sepadan dengan bhakti yang
artinya "pengabdian religius", menyiratkan pentingnya bhajan bagi gerakan bhakti yang
menyebar dari India bagian selatan ke seluruh subkontinen India pada masa Moghul.
Penggalan cerita dari kitab suci, ajaran para orang suci, serta deskripsi para dewa telah
menjadi subjek bagi pelaksanaan bhajan. Tradisi dhrupad, qawwali Sufi, dan kirtan atau lagu
dalam tradisi Haridasi berkaitan dengan bhajan. Nanak, Kabir, Meera, Narottama
Dasa, Surdas, dan Tulsidas adalah para pujangga bhajan terkemuka. Tradisi
dalam bhajan seperti Nirguni, Gorakhanathi, Vallabhapanthi, Ashtachhap, Madhura-bhakti,
dan Sampradya Bhajan dari India Selatan memiliki repertoar dan cara pelantunan masing-
masing.
Upacara
Upacara choroonu (nama lain dari annaprashan) di Kerala.
Banyak umat Hindu dari berbagai aliran yang melaksanakan ritual keagamaan sehari-hari.
[365][366] Banyak umat Hindu yang melaksanakannya di rumah, tetapi pelaksanaannya
berbeda-beda tergantung daerah, desa, dan kecenderungan umat itu sendiri. Umat Hindu yang
saleh melaksanakan ritual sehari-hari seperti sembahyang subuh sehabis mandi (biasanya di
kamar suci/tempat suci keluarga, dan biasanya juga diiringi dengan menyalakan pelita serta
menghaturkan sesajen ke hadapan arca dewa-dewi), membaca kitab suci berulang-ulang,
menyanyikan lagu-lagu pemujaan, meditasi, merapalkan mantra-mantra, dan lain-lain. Ciri
menonjol dalam ritual keagamaan Hindu adalah pembedaan antara yang murni dan sudah
tercemar. Ada aturan yang mengisyaratkan bagaimana kondisi-kondisi yang dikatakan
tercemar atau tak murni lagi, sehingga pelaksana upacara harus melakukan pembersihan atau
pemurnian kembali sebelum upacara dimulai. Maka dari itu, penyucian—biasanya dengan air
—menjadi ciri umum dalam kebanyakan aktivitas keagamaan Hindu. Ciri lainnya meliputi
kepercayaan akan kemujaraban upacara dan konsep pahala yang diperoleh melalui
kemurahan hati atau keikhlasan, yang akan bertumpuk-tumpuk dari waktu ke waktu sehingga
mengurangi penderitaan di kehidupan selanjutnya.
Ritus dengan sarana api (yadnya) kini tidak dilakukan sesering mungkin, meskipun
pelaksanaannya sangat diagungkan dalam teori. Akan tetapi, dalam upacara pernikahan dan
pemakaman adat Hindu, pelaksanaan yadnya dan perapalan mantra-mantra Weda masih
disesuaikan dengan norma.[368] Beberapa upacara juga berubah seiring berjalannya waktu.
Sebagai contoh, pada masa beberapa abad yang lalu, persembahan tarian dan musik sakral
menurut kaidah Sodasa Upachara yang standar—sebagaimana tercantum
dalam Agamashastra—tergantikan oleh persembahan dari nasi dan gula-gula.
Peristiwa seperti kelahiran, pernikahan, dan kematian melibatkan seperangkat tradisi Hindu
yang terperinci. Dalam agama Hindu, upacara bagi "siklus kehidupan"
meliputi Annaprashan (ketika bayi dapat memakan makanan yang keras untuk pertama
kalinya), Upanayanam (pelantikan anak-anak kasta menengah ke atas saat mulai menempuh
pendidikan formal), dan Śrāddha (upacara menjamu orang-orang dengan makanan karena
bersedia melantunkan doa-doa kepada "Tuhan" agar jiwa mendiang mendapatkan
kedamaian). Untuk perihal pernikahan, bagi sebagian besar masyarakat India, masa
pertunangan pasangan muda-mudi serta tanggal dan waktu pernikahan ditentukan oleh para
orang tua dengan konsultasi ahli perbintangan. Untuk perihal kematian, kremasi merupakan
kewajiban yang harus dilaksanakan oleh kerabat mendiang, kecuali bila mendiang
adalah sanyasin, hijra, atau anak di bawah lima tahun. Biasanya, kremasi dilakukan dengan
membungkus jenazah dengan pakaian terlebih dahulu, lalu membakarnya dengan api unggun.
Ahimsa

Mahatma Gandhi adalah tokoh Hindu dari India yang memilih untuk menerapkan praktik
ahimsa dalam upaya menentang pemerintah kolonial Inggris pada masa Gerakan
Kemerdekaan India.
Umat Hindu menganjurkan praktik ahimsa (ahiṃsā; artinya "tanpa kekerasan") dan
penghormatan kepada seluruh bentuk kehidupan karena mereka meyakini bahwa "percikan
dari Tuhan" juga meresap ke dalam setiap makhluk hidup, termasuk tumbuhan dan hewan.
Istilah ahimsa disebutkan dalam kitab-kitab Upanishad dan wiracarita Mahabharata. Ahimsa
adalah yang pertama di antara lima yama (pancayamabrata; lima prinsip pengendalian diri)
dalam Yogasutra Patanjali, dan menjadi prinsip pertama bagi seluruh
anggota Warnasramadarma (brahmana, kesatria, waisya, dan sudra) menurut Manusmerti.
Konsep ahimsa dalam Hinduisme tidak seketat agama Buddha dan Jainisme, karena jejak
keberadaan praktik-praktik pengorbanan dapat ditelusuri dalam kitab-kitab Weda, contohnya
mantra-mantra untuk kurban kambing (dalam Regweda), kurban kuda (Aswameda,
dalam Yajurweda), dan kurban manusia (Purusameda, dalam Yajurweda), sedangkan dalam
ritus Jyotistoma ada tiga hewan yang dikurbankan melalui upacara yang masing-masing
disebut Agnisomiya, Sawaniya, dan Anubandya. Yajurweda dianggap
sebagai Weda pengorbanan dan ritual, serta menyebutkan beberapa ritus pengurbanan hewan,
contohnya mantra dan prosedur pengurbanan kambing putih kepada Bayu, seekor anak lembu
kepada Saraswati, seekor sapi bertutul kepada Sawitr, seekor banteng kepada Indra, seekor
sapi yang dikebiri kepada Baruna, dan lain-lain.
Tanggapan yang menentang pelaksanaan kurban datang dari aliran Carwaka yang menuliskan
kritik mereka dalam Barhaspatyasutra (abad ke-3 SM) sebagai berikut:
"Jika hewan yang dikurbankan dalam ritus Jyotistoma akan segera mencapai surga,
mengapa si pelaksana tidak segera mengurbankan ayahnya saja?"

Pada masa perkembangan Hinduisme dan Buddhisme di India, para raja Buddhis
seperti Ashoka memengaruhi rakyatnya dengan larangan pelaksanaan kurban. Pada masa
pemerintahan Ashoka, sebuah titah diberlakukan dan dituliskan pada sebuah batu, dengan
kata-kata sebagai berikut:
"Ini adalah titah dari orang yang disayangi para dewa, Raja Piyadasi. Tindak pembunuhan
kepada hewan tidak boleh dilakukan untuk seterusnya."

Dari sini, reaksi sosial berkenaan dengan kitab tata cara pengorbanan (Brahmana) dapat
ditelusuri. Menurut Panini, ada dua macam Brahmana, yaitu Brahmana Lama dan Brahmana
Baru. Dalam Brahmana Lama—seperti Aitareya Brahmana untuk Regweda—pengorbanan
benar-benar dilakukan, tapi dalam Brahmana Baru seperti Shatapatha Brahmana, hewan
kurban dilepaskan setelah terikat pada tiang pengorbanan. Hal ini merupakan reaksi dari
kebangkitan agama-agama Sramana—seperti agama Buddha dan Jainisme—yang berakibat
pada peletakan konsep ahimsa di kalangan praktisi kitab Brahmana.
Vegetarianisme

Masakan vegetarian khas India Utara yang disajikan di suatu restoran di Tokyo, Jepang.
Sesuai dengan konsep ahimsa, maka banyak umat Hindu yang
mengikuti vegetarianisme (tidak makan daging) demi menghormati bentuk kehidupan yang
tingkatannya tinggi. Sejumlah umat justru pantang makan daging hanya pada hari-hari
tertentu. Budaya makan juga bervariasi sesuai komunitas dan kawasan. Sebagai contoh,
beberapa kasta memiliki sedikit penganut vegetarianisme, sedangkan masyarakat pesisir
cenderung bergantung kepada masakan laut. Perkiraan jumlah lakto-
vegetarian di India (mencakup umat seluruh agama di sana) bervariasi antara 20% dan 42%.
[v]
Dalam agama Hindu, kemurnian makanan bersifat sangat penting karena ada keyakinan
bahwa makanan mencerminkan tiga kualitas sifat (triguna) yang umum, yaitu: kesucian
(satwam), semangat (rajas), dan kelambanan (tamas). Maka dari itu, aturan makan yang sehat
akan menjadi sesuatu yang turut membersihkan hati seseorang. Berdasarkan alasan tersebut,
umat Hindu dianjurkan untuk menghindari atau meminimalkan konsumsi makanan yang
tidak meningkatkan kebersihan hati. Beberapa contoh makanan yang dimaksud
adalah bawang merah dan bawang putih, yang diyakini mengandung sifat rajas (keadaan
yang dicirikan oleh sifat suka menentang dan egois), serta daging (daging dari hewan apa
pun), yang diyakini mengandung sifat tamas (keadaan yang dicirikan oleh kemarahan,
kerakusan, dan iri hati).
Vegetarianisme dianjurkan oleh sejumlah aliran Hinduisme meliputi Waisnawa dan Saiwa
yang melarang pengorbanan hewan, tetapi tidak dianjurkan oleh aliran Hinduisme yang
mengizinkan pengorbanan hewan. Pada umumnya, pengorbanan hewan dilakukan oleh umat
Hindu dari aliran Sakta, (beberapa) komunitas Hindu dari golongan sudra dan
kesatria, penganut aliran Hinduisme di India Timur, serta penganut aliran Hinduisme di Asia
Tenggara.
Pada umumnya, umat Hindu yang mengonsumsi daging tidak akan mau memakan daging
sapi. Dalam masyarakat Hindu, sapi dipercaya sebagai pengasuh manusia serta merupakan
figur keibuan, dan mereka menghormatinya sebagai lambang kasih tak bersyarat. Maka dari
itu, praktik penyembelihan sapi dilarang secara resmi di hampir seluruh negara bagian di
India.
Pada masa kini, ada banyak kelompok keagamaan Hindu yang menekankan praktik
vegetarianisme yang ketat. Salah satu contoh yang terkenal adalah
gerakan ISKCON (International Society for Krishna Consciousness), yang mewajibkan
pengikutnya untuk tidak hanya pantang makan daging (termasuk ikan dan unggas), tetapi
juga menghindari sayuran/tumbuhan tertentu yang dianggap dapat memberikan pengaruh
negatif, seperti bawang merah, bawang putih, dan jamur. Contoh yang kedua adalah
gerakan Swaminarayan. Pengikut gerakan ini juga sangat setia untuk tidak mengkonsumsi
daging, telur, dan ikan.
Pertapaan

Tiga petapa Hindu di Lapangan Durbar, Kathmandu.


Sejumlah umat Hindu memilih untuk hidup sebagai petapa (Sanyāsa) dalam upaya mencapai
"moksa" ataupun bentuk kesempurnaan spiritual lainnya. Para petapa berkomitmen untuk
hidup sederhana, tidak berhubungan seksual, tidak mencari harta duniawi, serta
berkontemplasi tentang Tuhan. Petapa Hindu disebut sanyasin, sadu, atau swāmi, sedangkan
yang wanita disebut sanyāsini.
Orang yang melepaskan diri dari ikatan duniawi memperoleh respek yang tinggi dalam
masyarakat Hindu karena egoisme dan ikatan duniawi yang mereka lepaskan menjadi
inspirasi bagi umat yang masih berkeluarga untuk berjuang dalam pengendalian pikiran.
Beberapa petapa tinggal di tempat suci atau asrama, sedangkan yang lainnya berkelana dari
satu tempat ke tempat lain dengan keyakinan bahwa hanya Tuhan yang dapat memenuhi
keinginan mereka. Bagi umat Hindu awam, menyediakan makanan dan kebutuhan untuk para
petapa atau sadu merupakan jasa yang sangat besar. Sebaliknya, para sadu menerimanya
dengan rasa hormat dan simpati—tanpa memedulikan orang miskin atau kaya, baik atau jahat
—tanpa perlu memuji, mencela, menunjukkan rasa senang, ataupun sedih.
Tempat suci

Tempat suci atau tempat peribadatan umat Hindu pada umumnya disebut kuil. Beberapa
istilah lokal untuk menyebut tempat suci Hindu
meliputi candi, pura, mandir, devasthana, ksetram, dharmakshetram, koil, deula, wat, balai
basarah, dan bale keramat. Pembangunan kuil dan tata cara persembahyangan diatur dalam
beberapa kitab berbahasa Sanskerta yang disebut Agama, yang berhubungan dengan dewa-
dewi individual. Ada perbedaan substansial dalam arsitektur, adat, ritual, dan tradisi
mengenai kuil di berbagai wilayah India.
Umat Hindu dapat menyelenggarakan puja (persembahyangan atau kebaktian) di rumah atau
kuil. Untuk peribadatan di rumah, biasanya umat Hindu membuat kamar suci atau kuil kecil
dengan ikon atau altar yang didedikasikan bagi dewa atau dewi tertentu (istadewata),
misalnya Kresna, Ganesa, Durga, dewa-dewi lokal, atau entitas lainnya yang dihormati
(misalnya leluhur atau roh pelindung). Umat Hindu melakukan persembahyangan melalui
suatu murti atau pratima, dapat berupa arca, lingga, atau sesuatu lainnya—sebagai lambang
dari dewa yang dipuja—yang disakralkan/disucikan terlebih dahulu melalui suatu upacara.
Biasanya, bangunan kuil didedikasikan sebagai tempat pemujaan kepada suatu dewa utama
beserta dewa-dewi sekunder yang terkait. Adapula bangunan kuil yang didedikasikan untuk
beberapa dewa sekaligus. Bagi sebagian besar umat Hindu di India, mengunjungi kuil
bukanlah suatu kewajiban, dan banyak umat yang mengunjungi kuil hanya pada saat ada
perayaan/hari raya. Murti atau pratima dalam kuil berperan sebagai medium antara umat dan
Tuhan.[401] Pencitraan murti dianggap sebagai perwakilan atau manifestasi dari Tuhan,
sebab umat Hindu meyakini bahwa Tuhan ada di mana-mana. Meskipun demikian, ada
golongan umat Hindu yang tidak melakukan persembahyangan dengan murti dalam bentuk
apa pun; contoh yang terkemuka adalah aliran Arya Samaj.


Akshardham, pemegang rekor Guiness sebagai kuil Hindu terbesar di dunia, terletak di New
Delhi, India.

Angkor Wat di Kamboja, dibangun oleh Suryavarman II pada abad ke-12, merupakan kuil
Hindu terluas di dunia.

Kuil Brihadiswara yang termasuk Situs Warisan Dunia UNESCO, terletak di Thanjavur,
negara bagian Tamil Nadu, India.

Pura Besakih, kompleks kuil Hindu terbesar di seluruh Bali, Indonesia.


Kuil Siwa-Parwati di Lapangan Durbar, Kathmandu, Nepal. Di belakangnya (berjajar) Kuil


Taleju, Kuil Degutale, dan Kuil Bhagawati.

Belur Math di Kolkata, Benggala Barat, India. Kuil ini didirikan oleh Swami
Vivekananda dari Misi Ramakrishna.

Kuil Hindu Shri Swaminarayan di London, Inggris. Kuil ini merupakan kuil Hindu terbesar
di Eropa.

Kuil bergaya jor-bangla atau char-chala dari Benggala Barat, didedikasikan untuk Krishna-
Gouranga.

Kuil Surya di Konark, negara bagian Odisha, India.

Kuil Baglamukhi di Gulariya, Nepal.


Balai Basarah Induk Intan Kaharingan di Muara Teweh, Kalimantan Tengah.

Kuil Sri Kamadachi Ampal di Hamm, Jerman.

Anda mungkin juga menyukai