Anda di halaman 1dari 5

MAKALAH FILSAFAT NUSANTARA

Tugas ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Nusantara dari dosen pengampu
Bapak EndrizalS.Fill.I.,MA

Disusun oleh

Karisma Nur Aini

08101121

(Kelas A)

FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN

PROGRAM STUDI FOTOGRAFI

2021
1.Jelaskan pengertian filsafat nusantara dan yang menjadi ciri khas dari filsafat
nusantara tersebut?
Filsafat nusantara adalah ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan
epistemologi yang diselidiki dan diketahui dengan akal budi mengenai asal, hakikat,
hukum, dan sebab segala yang ada di Indonesia yang kemudian menghasilkan teori yang
mendasari suatu kegiatan alam pikiran nusantara. Filsafat Nusantara berusaha untuk
mengungkap "kejati dirian" alam pikiran nusantara. Landasan yang digunakan sebagai
sumber dari pemikiran filsafat nusantara adalah kebudayaan yang terdapat dalam lingkup
geografis.
Ciri khas dari filsafat:
1. Berkaitan dengan hal2 adi kodrati atau supranatural.
2. Berhubungan dengan hal yang menyangkut alam semesta.
3. Berorientasi pada tujuan akhir (dunia setelah dunia ini)
4. Menonjolkan sikap kebersamaan daripada individualisme

2.Apa yang saudara ketahui tentang filsafat madura, jelaskan?


3 Wujud kebudayaan madura:
1. Adat Perkawinan Nyalabar
➢ Menurut adat, tahap-tahap dalam proses perkawinan di Madura dimulai dengan mencari
gadis bagi jodoh anak laki yang disebut nyalabar.
➢ Tahap ini dilanjutkan dengan menghubungi pihakwanita (narabas pagar), dan kalau
dapat diterima dilanjutkan dengan pertunangan yang diikatdengan penyengset.
2. Tanean Lanjang
➢ Masyarakat Madura dikenal sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi tali
kekerabatan, dan salah satu simbolyang mendukung tentang tali kekerabatan ini, dapat
dilihat dari denah sebuah rumah yangmasih bersifat tradisional atau rumah–rumah adat
yang terdapat di Madura.
➢ Permukiman tradisional masyarakat madura memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda
dengan permukiman–pemukiman masyarakat lainnya, hal ini lebih dikenal dengan
model atau sebutan TaneanLanjang adalah permukiman tradisional masyarakat madura
yang dihuni oleh keluarga besar yangmasih satu keturunan.
➢ Permukiman model seperti ini hanya dimungkinkan oleh keluargamampu, yang mampu
menyediakan rumah bagi keturunannya.
➢ Kelompok yang tinggal ditanean lanjang merupakan satu kelompok geneologis,
pasangan yang sudah menikah diharuskan tinggal di tanean lanjang bersama dengan
orangtua pihak perempuan dalam satu rumah khusus yang dibangun oleh mereka.
3. Carok
➢ Carok adalah sebuah pembelaan hargadiri ketika seseorang merasa martabatnya
terinjak-injak oleh orang lain, yang berhubungan ketersinggungan tentang persoalan
atau sengketa harta, tahta, dan wanita.
➢ Intinya adalah demi kehormatan, (dari pada hidup menanggung perasaan malu, lebih
baik mati berkalang tanah)yang sering disuarakan menjadi motivasi untuk melakukan
carok.
➢ Menurut Wiyata, banyak orang mengartikan bahwa setiap bentuk kekerasan, baik
berakhir dengan kematian atau tidak, terutama yang dilakukan orang Madura, disebut
carok (A. LatiefWiyata dalam Taufiqurrahman, 2011: 9)
➢ Ada proses yang mengiringi sebelum berlangsungnya carok.
➢ Pelaku carok harus membunuh lawannya dari depan dan ketika lawannya jatuh
tersungkur, maka posisi mayat menentukan proses kelanjutan dari sebuah carok.
➢ Jika mayat jatuh dengan posisi terlentang, maka keluarga si mayat dipandang berhak
melakukan balas dendam.
➢ Akan tetapi, jika posisi mayat telungkup dengan muka menghadap tanah maka balas
dendam menjadi tabu untuk dijalankan oleh keluarga yang menjadi korban carok.

3.Apa yang saudara ketahui tentang filsafat Batak, Jelaskan?


Yang saya ketahui tentang filsafat Batak adalah yaitu:
1.Berpijak pada keyakinan kosmologi religius.
Falsafah hidup orang Toba berpijak pada keyakinan kosmologi religius mereka. Kosmologi
Batak mengenal alam yang terbagi atas tiga banua, yakni banua ginjang atau dunia atas,
banua tonga atau dunia tengah dan Mitologi Batak mengisahkan bahwa banua ginjang
dihuni oleh debata tertinggi Opung Mulajadi Nabolon, yang tinggal di langit ketujuh.
Banua ginjang, selain dihuni oleh Opung Mulajadi Nabolon, juga ada Tuan Batara Guru
Doli, Tuan Sorimangaraja, Tuan Papan tinggi dan debata Asiasi. Keempat debata ini tinggal
di langit keenam. Para dewa ini adalah sumber berkat bagi manusia.
2.Anakni raja dan boruni raja. Orang Batak Toba, sebagai keturunan dewata yang
bergelar raja, memahami jari diri sebagai pribadi yang bermartabat rajawi. Identitas ini
terangkum dalam gelar anakni raja atau putra raja dan boruni raja atau putri raja. Orang Toba
meyakini bahwa Dewata Si Raja Ihat Manisia adalah awal mula generasi manusia, karena
itu martabat rajawi ini menjangkau semua orang. Universalitas martabat rajawi ini
ditegaskan dalam pepatah Toba, ‘raja ni ro, raja ni jabu’ atau raja yang datang dan raja juga
yang menunggu.
Istilah raja, sekarang dikaitan dengan garis keturunan marga. Orang Batak Toba memberi
gelar kehormatan raja kepada opung atau kakek dalam garis patrilineal yang menjadi peletak
dasar suatu marga. Gelar kehormatan ini juga didasarkan pada kesadaran tentang asal usul
ilahi. Gelar ini berimplikasi pada kesadaran tentang kepemilikan martabat rajawi dari
keturunannya. Kesadaran ini berkembang menjadi bahasa formal dalam setiap ritual adat.
Raja parhata atau juru bicara adat dan pihak-pihak yang berbicara selalu menyapa lawan
bicara dengan raja nami atau raja kami.
2.Anakni raja dan boruni raja. Orang Batak Toba, sebagai keturunan dewata yang
bergelar raja, memahami jari diri sebagai pribadi yang bermartabat rajawi. Identitas ini
terangkum dalam gelar anakni raja atau putra raja dan boruni raja atau putri raja. Orang Toba
meyakini bahwa Dewata Si Raja Ihat Manisia adalah awal mula generasi manusia, karena
itu martabat rajawi ini menjangkau semua orang. Universalitas martabat rajawi ini
ditegaskan dalam pepatah Toba, ‘raja ni ro, raja ni jabu’ atau raja yang datang dan raja juga
yang menunggu.Istilah raja, sekarang dikaitan dengan garis keturunan marga. Orang Batak
Toba memberi gelar kehormatan raja kepada opung atau kakek dalam garis patrilineal yang
menjadi peletak dasar suatu marga. Gelar kehormatan ini juga didasarkan pada kesadaran
tentang asal usul ilahi. Gelar ini berimplikasi pada kesadaran tentang kepemilikan martabat
rajawi dari keturunannya. Kesadaran ini berkembang menjadi bahasa formal dalam setiap
ritual adat. Raja parhata atau juru bicara adat dan pihak-pihak yang berbicara selalu menyapa
lawan bicara dengan raja nami atau raja kami.
Kekerabatan di suku batak:
Dalihan Na tolu merupakan salah satu kekayaan budaya masyarakat Batak Toba.
Bagaimana sistem kekerabatan dan pola hubungan dalam kehidupan sehari-hari baik
dengan Tuhan, leluhur, keluarga dekat, tetangga, kerabat, dan sesama telah diatur
sedemikian rupa di dalam falsafah Dalihan Natolu.
Istilah dalihan na tolu dapat diterjemahkan dengan tiga tungku atau tiang penyangga
kekerabatan. Ketiga tiang kekerabatan itu adalah hula hula, dongan tubu dan boru.

4.Apa yang saudara ketahui tentang Filsafat Bugis, Jelaskan?


Yang saya ketahui tentang filsafat bugis adalah:
perikehidupan manusia Bugis sejak dahulu, merupakan bagian integral dan tidak dapat
dipisahkan secara dikotomik dari pengamalan aplikatif pangaderrang.
Makna pangaderrang dalam konteks ini adalah keseluruhan norma yang meliputi
bagaimana seseorang harus bertingkah laku terhadap sesama manusia dan ter-hadap pranata
sosialnya yang membentuk pola tingkah laku serta pandangan hidup. Demikian melekat-
kentalnya nilai ini di kalangan orang Bugis, sehingga dianggap berdosa jika tidak
melaksanakan. Dalam konteks ini, inklusif di dalamnya ade’ (ada’, Makassar) atau adat
istiadat, yang berfungsi sebagai pandang-an hidup (way of life) dalam membentuk pola pikir
dan mengatur pola tingkah laku manusia dalam kehidupan ber-masyarakat dan bernegara.
Dalam sistem sosial masyarakat Bugis, dikenal ade’ (adat), rapang (undang-undang), wari
(perbedaan strata) dan bicara (bicara atau ucapan), serta sara’ atau hukum ber-landaskan
ajaran agama.
Eksistensi Falsafah Hidup: Pentingnya peran adat (ade’) sebagai falsafah hidup, di
antaranya tercermin melalui kalimat: “Maradeka To WajoE Adenami Napopuang” (hanya
tanah atau negeri yang abadi yang siempunya tanah merdeka semua, hanya adat yang
mereka pertuan). Hal ini sejak lama menjadi prinsip dan kewajiban dalam kontrak sosial
antar Arung Matowa (raja) dengan rakyatnya.
Eksisnya nilai sosio-kultural yang terkandung dalam pangaderrang, sehingga tetap bertahan
dan menjadi pandangan hidup manusia Bugis disebabkan dua faktor.
Pertama, bagi manusia Bugis yang telah menerima adat secara total dalam kehidupan sosial
budaya atau lainnya, konsisten atau percaya dengan teguh bahwa hanya dengan berpedoman
pada adat, ketentraman dan kebahagiaan setiap anggota dapat terjamin.
Kedua, implementasi dengan berpedoman pada adat itulah yang menjadi pola tingkah laku
dan pandangan hidup bermasyarakat.
Falsafah orang Bugis yang pada gilirannya menjadi pandangan hidup dan pola perilaku,
sebagian dapat kita temukan melalui Lontarak Pammulanna Wajo yang memuat petuah-
petuah Puang ri Maggalatung.
Tentang etos kerja orang Bugis disinyalir merupakan bagian makna siri’ dalam
implementasinya.
Nilai-nilai filosofis tersebut, sebagian diwariskan dalam bentuk tertulis melalui lontarak,
dan ada pula melalui pesan-pesan (Pappaseng) dan petuah (pappangaja).
Sekadar untuk diketahui bahwa beberapa pendukung kebudayaan di Sulsel juga mengenal
dan menghargai pesan leluhur, seperti: orang Toraja menyebutnya dengan aluktudolo, orang
Kajang mengistilahkan dengan pasang, orang Bugis menamakan pappaseng, dan lain-lain .

5.Coba saudara jelaskan 4 pilar filsafat Bugis?


4 Azaz (Pilar) Falsafah Bugis
1. Asas mappasilasae, yakni memanifestasikan ade’ bagi keserasian hidup dalam
bersikap dan bertingkah laku memperlakukan diri-nya dalam pangaderrang;
2. Mappasisaue, yakni diwujudkan sebagai manifestasi ade’ untuk menimpahkan deraan
pada tiap pelanggaran ade’ yang dinyatakan dalam bicara. Azas ini menyatakan
pedoman legalitas dan represi yang dijalankan dengan konsekuen;
3. Mappasenrupae, yakni mengamal-kan ade’ bagi kontinuitas pola-pola terdahulu yang
dinyatakan dalam rapang;
4. Mappalaiseng, yakni manifestasi ade’ dalam memilih dengan jelas batas hubungan
antara manusia dengan institusi-institusi sosial, agar terhindar dari
masalah (chaos) dan instabilitas lainnya. Hal ini dinyatakan dalam wari untuk setiap
variasi perilakunya manusia Bugis.

Anda mungkin juga menyukai