Anda di halaman 1dari 166

BAHAN AJAR

ESTETIKA KARAWITAN

Oleh

Djoko Purwanto

JURUSAN SENI KARAWITAN


FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN
ISI SURAKARTA
2011
KATA PENGANTAR

Bahan ajar ini disusun karena dua alasan yang mendasar. Pertama berkat
dorongan, komitmen dan tanggungjawab saya sebagai pengajar (dosen) di Jurusan
Karawitan yang mengampu matakuliah estetika karawitan sejak beberapa tahun
terakhir ini, saya memandang perlunya segera menyusun bahan ajar. Dorongan
kedua adalah, saya merasa bahwa dengan adanya bahan ajar ini sedikit banyak
membantu mahasiswa dalam memahami permasalahan-permasalahan yang
melingkupi estetika pada umumnya dan khususnya estetika karawitan secara lebih
mendetail dan mendalam. Jika mahasiswa hanya mengandalkan dari penyampaian
materi yang dilakukan di kelas, sebetulnya masih banyak materi yang belum
tersampaikan secara mendetail. Bahan ajar tentang estetika pada saat ini sudah
lumayan banyak, namun masih berserakan di beberapa buku, jurnal, makalah dan
lain sebagainya. Berdasarkan pengalaman dan pantauan saya selama ini, buku,
jurnal, makalah dimaksud tidak atau belum tersedia semua di perpustakaan
jurusan karawitan. Dengan demikian mudah-mudahan bahan ajar ini dapat
membantu mahasiswa untuk lebih bisa mendalami.

Bahan ajar ini sama sekali bukan hasil tulisan saya. Saya sendiri hanya
sebatas sebagai pengumpul dari bahan-bahan yang sudah ada. Bahan-bahan
tersebut kemudian saya susun kembali berdasarkan kebutuhan (kepentingan)
pembelajaran terutama kajian estetika karawitan. Konsep penyusunannya
diusahakan diawali dari permasalahan yang lebih umum dan kemudian mengarah
ke permasalahan yang lebih mengkhusus. Oleh sebab itu dari buku-buku, jurnal,
makalah yang sudah terkumpul lalu dipilih dan dipilah sesuai dengan urutan
konsep pembahasannya seperti yang tersusun pada analisis instruksional (AI).
Beberapa pembahasan yang diperlukan juga di ambil dari browsing internet.
Bahan dari internet tesebut kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Daftar buku, jurnal, dan atau makalah yang digunakan dalam penyusunan bahan
ajar ini, dapat dilihat di bagian daftar pustaka di halaman akhir. Pada pembagian
pembahasan (per bab) biasanya diterangkan sumber tulisannya atau penulis
aslinya.

Khusus mengenai buku Marc Benamou yang berjudul “Rasa”; Affect and
Intuition in Javanese Musical Aesthetics, tidak semuanya diterjemahkan tetapi
penyusun memilih beberapa topik yang sangat erat dengan estetika karawitan
kemudian diterjemahkan secara bebas dalam arti diambil inti pembahasannya.
Sedangkan rangkuman dari setiap bab adalah rangkuman yang saya buat
berdasarkan bahan bacaan pada bab tersebut. Demikain juga tentang latihan soal,
adalah soal yang saya susun berdasarkan materi dari bab itu juga.

Untuk lebih memperdalam dan memperluas pengetahuan, mahasiswa


dianjurkan membaca buku-buku, atau jurnal-jurnal aslinya (lihat daftar pustaka).
Karena bahan ajar yang diambil untuk keperluan ini hanya sebagian saja. Masih
banyak hal-hal lain dalam buku atau jurnal tersebut yang sangat erat hubungannya
dengan estetika karawitan yang belum atau tidak ada dalam bahan ajar ini.
Dengan demikian gambaran secara luas dan utuh serta mendalam dapat diperoleh
melalui membaca buku aslinya.

Bahan ajar ini disusun untuk memenuhi kebutuhan; mahasiswa dapat


belajar tanpa harus didampingi dosen atau teman lain; mahasiswa dapat belajar
kapan saja dan dimana saja; mahasiswa dapat belajar dengan kebutuhannya
masing-masing; membantu mahasiwa untuk mengembangkan potensi dirinya
menjadi pembelajar yang mandiri. Dengan demikian bahan ajar ini diharapkan
dapat membantu mahasiswa untuk belajar sendiri tanpa harus didampingi dosen
atau mahasiswa lain, kapan dan dimana saja.

Terselesaikannya penyusunan bahan ajar ini tidak lepas dari dukungan


dana dari Institusi ISI Surakarta melalui Direktur P3AI ISI Surakarta, Drs.
Achmad Sumiadi, M.Hum., oleh sebab itu ucapan terima kasih disampaikan
kepada beliau beserta seluruh jajarannya yang telah memberikan kesempatan,
dorongan, dan fasilitas lain yang diperlukan untuk penyusunan bahan ajar ini.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada pembimbing Dr. Suyanto, S.Kar.,
M.A., yang telah mengarahkan, memberi masukan, dan memberikan saran serta
kritikan, sehingga penyusunan bahan ajar ini dapat diselesaikan. Akhirnya
penyusun berharap sekali kepada seluruh pembaca untuk memberikan kritik dan
saran demi sempurnanya bahan ajar ini.

Desember 2011
Djoko Purwanto
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN
Tinjauan Matakuliah Estetika Karawitan
Pendahuluan
Model Pembelajaran
Kontrak Kuliah
Penyekat Bab II

BAB II
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP ESTETIKA
Pendahuluan
Pengertian
Ruang Lingkup Estetika
Medium Seni
Unsur Seni
Penutup
Rangkuman Bab II
Penyekat Bab III

BAB III
KAJIAN ESTETIKA
Penahuluan
Dua Pendekatan
Alasan Untuk Mempelajarinya
Refleksi Filsafat Mengenai Keindahan
Manusia Modern dan Kerinduannya Akan yang Afektif
Penutup
Rangkuman Bab III
Penyekat Bab IV

BAB IV
ESTETIKA BARAT DAN TIMUR
Pendahuluan
Estetika Barat
Estetika Timur
Abstraksi dan Simbolik Sebagai Realitas
Ilmu dan Kebijaksanaan
Kesatuan Dengan Alam
Harmoni
Penutup
Rangkuman Bab IV
Penyekat Bab V

BAB V
PEMIKIRAN ESTETIKA DI INDONESIA
Pendahuluan
Keluhuran Budi dan Moralitas
Citra dan Orisinalitas
Budaya Yang Hidup
Keindahan Yang Membumi
Historisitas
Mencumbui Makna
Penutup
Rangkuman Bab V
Penyekat Bab VI

BAB VI
ESTETIKA JAWA DAN SENI PERTUNJUKAN
Pendahuluan
Estetika Jawa
Bersifat Kontemplatif – Transedental
Bersifat Simbolistik
Bersifat Filosofis
Seni Pertunjukan
Seni Pedalangan
Unsur-unsur Pagelaran Wayang Kulit
Dunia Ini Adalah Sebuah Panggung
Drama Kehidupan Manusia
Kajian Estetika Pakeliran
Seni tari
Pertemuan Antar Budaya Dalam Karya tari
Kreativitas tari Dalam Pertemuan Antar Budaya
Penutup
Rangkuman bab VI
Penyekat Bab VII

BAB VII
UNSUR PEMBENTUK ESTETIKA KARAWITAN
Pendahuluan
Unsur Utama Pembentuk Estetika Karawitan
Saran Fisik
Laras dan lagu
Seniman
Unsur Khusus Pembentuk Estetika Karawitan
Irama
Laya
Cengkok
Pola
Pathet
Garap
Dinamika
Waktu Jeda
Vokal
Budaya
Penutup
Rangkuman Bab VII
Penyekat Bab VIII

BAB VIII
RASANING GENDHING
Pendahuluan
Rasa Sebagai Suatu Kemampuan
Rasa Sebagai Kualitas
Kata lain dari rasa
Sulit dan Bahaya Dalam Menyusun Istilah Secara Umum
Empat Belas Istilah Penting
Penutup
Rangkuman Bab VIII

BAB IX
PENUTUP

Lampiran I
Analisis Instruksional

Lampiran II
Gari Besar Program Pengajaran (GBPP)
BAB I

TINJAUAN MATAKULIAH ESTETIKA KARAWITAN


Pendahuluan

Matakuliah ini membahas konsep dasar Estetika Karawitan yang meliputi bidang-
bidang kajian estetika, dan hal-hal yang terkait dengan estetika bidang kajian seni
pertunjukan terutama kajian seni karawitan. Mata kuliah ini mengkaji dan
menghubungkan setiap pokok bahasan dengan realitas sosial kemasyarakatan
dengan menggunakan contoh-contoh yang berlaku di era sekarang.
Tujuan Instruksional yang ingin dicapai setelah selesai mengikuti matakuliah ini
mahasiswa diharapkan;
1. Mampu menjelaskan konsep dasar dan ruang lingkup estetika karawitan.
2. Mampu menjelaskan persoalan dan bidang kajian estetika seni pertunjukan
utamanya seni pedalangan, seni tari, dan seni karawitan.
3. Mampu menjelaskan keterkaitan antara estetika karawitan dengan
persoalan pemikiran tentang estetika pada umumnya.
4. Mampu menganalisis konsep estetika karawitan yang terkait dengan
bidang ilmunya.
Penulisan bahan ajar estetika karawitan ini ditulis dalam delapan bab dan bab ke
sembilan sebagai penutupnya. Adapun rician dalam setiap bab adalah sebagai
berikut.
Bab I Membahas Tinjauan matakuliah estetika karawitan yang meliputi;
model pembelajaran dan kontrak kuliah.
Bab II Membahas tentang pengertian dan ruang lingkup estetika, yang
meliputi; pengertian, ruang lingkup estetika, medium seni , dan
unsur seni.
Bab III Membahas kajian estetika yang meliputi; dua pendekatan; alasan
untuk mempelajari; refleksi filsafati mengenai keindahan; manusia
modern dan kerinduannya akan yang afektif.
Bab IV Membahas pendekatan estetika barat dan timur yang meliputi;
pemikiran estetika barat, pemikiran estetika timur yang terdiri dari –
abstraksi dan simbolik sebagai realitas, - ilmu dan kebijaksanaan, -
kesatuan dengan alam, - harmoni.
Bab V Membahas pemikiran estetika di Indonesia yang meliputi; -
keluhuran Budi dan moralitas, - citra dan orisinalitas, - budaya yang
hidup, - keindahan yang membumi, - historisitas, - mencumbui
makna.
Bab VI Membahas estetika Jawa yang meliputi; sifat kontemplatif –
transendental; sifat simbolistik; sifat filsafat. Estetika seni
pertunjukan; seni pedalangan, dan seni tari.
Bab VII Membahas unsur pembentuk estetika karawitan yang meliputi unsur
utama; Sarana fisik; Laras dan Lagu; Seniman; Unsur khusus dalam
karawitan terdiri dari; - irama, - laya, - cengkok, - pola, - pathet, -
garap, dinamika, - waktu jeda, - vokal, - budaya.
Bab VIII Membahas rasaning gendhing yang meliputi; - rasa sebagai suatu
kemampuan, - rasa sebagai kualitas, - kata lain dari rasa, - sulit dan
bahaya dalam menyusun istilah secara umum, - empat belas istilah
penting.
Bab IX Penutup.
Penyampaian materi dalam perkuliahan ini menggunakan metode ceramah, tugas
terstruktur pengamatan (mendengarkan), dan diskusi serta pengamatan langsung
beberapa pertunjukan karawitan di luar kampus yang teralokasi dalam 2 SKS yang
setara dengan 100 menit. Alokasi waktu untuk setiap kali pertemuan adalah 70
menit pengajar menyampaikan materi kuliahnya, 20 menit berikutnya untuk
diskusi. Sedangkan 10 menit pada menjelang akhir kuliah mahasiswa diminta
untuk membuat rangkuman. Rangkuman ini dimaksudkan sebagai feed back untuk
pengajar (Dosen) dan sekaligus untuk mengetahui apakah mahasiswa bisa
menyerap dan memahami materi kuliah yang telah disampaikan.
Model Pembelajaran

Model pembelajaran matakuliah estetika karawitan menggunakan model personal


dengan pembelajaran pertemuan kelas. Model pembelajaran ini lebih memusatkan
perhatian pada pandangan dan kajian personal terhadap salah satu topik
pembahasan. Dengan model ini diharapkan pembahasan sebuah topik dapat lebih
terfokus dan mendalam.
Selain model pertemuan kelas, matakuliah ini juga menggunakan model
pengamatan di luar kelas. Pertemuan kelas digunakan untuk memperdalam materi
secara teori dan juga mendengarkan contoh-contoh yang berupa audio tape.
Pertemuan di luar kelas dimaksudkan untuk pengamatan terhadap fenomena
keindahan karawitan secara langsung. Pengamatan secara langsung akan
memberikan wacana dan pengalaman yang berbeda bagi mahasiswa terhadap
estetika karawitan. Dalam prosesnya mahasiswa dibebaskan untuk mengamati
gendhing-gendhing yang disajikan oleh para empu karawitan yang sedang
mengadakan pagelaran baik di Keraton Kasunan, Pura Mangunegaran, atau di
Radio Republik Indonesia (RRI) Surakarta. Setelah mengamati, setiap mahasiswa
diminta membuat laporan estetika karawitan menurut hasil
hayatan/pengamatannya yang kemudian diserahkan kepada dosen pengampu
untuk dikoreksi atau dikomentari oleh pengajar pada pertemuan kelas minggu
berikutnya.

Kontrak Kuliah
Kode Matakuliah :
Pengajar : Djoko Purwanto, S.Kar., M.A.
Semester : VI (S-1) Seni karawitan
Hari Pertemuan :
Tempat :
Manfaat Matakuliah

Kenyataan kehidupan kesenian dewasa ini terutama seni karawitan sudah


mengalami perubahan yang sangat hebat. Perubahan tersebut banyak yang
mengarah kepada terdegradasi, pendangkalan, penurunan, kemerosotan, hayatan
seni karawitan. Banyak pergelaran karawitan yang lebih mengarah pada hiburan
semata yang bersifat vulgar, sedangkan sajian yang mengarah kepada pengkayaan,
pendalaman rasa yang serius kurang mendapatkan tempat. Dengan mempelajari
estetika karawitan diharapkan mahasiswa mendapatkan bekal tentang konsep dan
nilai estetika karawitan yang memadahi. Pada akhirnya dapat memperkaya rasa
keindahan (estetika) dalam diri mahasiswa yang pada gilirannya dapat
mempertebal, memperdalam, memperkaya perasaan (pengalaman jiwa) untuk
membangun sikap, watak, dan jiwa yang berbudi luhur, mempertebal rasa
toleransi, tenggang rasa yang tinggi, tingkah laku yang lebih baik, saling asah,
asih, dan asuh. Pembentukan manusia berkarakter salah satunya adalah melalui
penghayatan kesenian khususnya karawitan.

Deskripsi Matakuliah

Matakuliah ini memberikan bekal kepada mahasiswa terhadap pemahaman


konsep-konsep estetika seni pertunjukan khususnya estetika karawitan untuk
memahami makna dan estetika karya seni karawitan.

Tujuan Instruksional Umum

Setelah menyelesaikan matakuliah ini, mahasiswa dapat mengiplementasikan


konsep-konsep estetika dalam menganalisis nilai-nilai estetik di dalam seni
karawitan

=+=
Penyekat Bab II

TIK: Pada akhir pertemuan ini mahasiswa diharapkan mampu;


1. menjelaskan pengertian estetika
2. menjelaskan ruang lingkup estetika
3. menjelaskan medium seni dan unsur seni

Pokok Bahasan: Pengertian estetika, ruang lingkup estetika, medium seni, dan
unsur seni.

Deskripsi Singkat: Dalam pertemuan ini dibahas tentang pengertian estetika,


ruang lingkup estetika, medium seni dan unsur-unsur seni. Pemahaman terhadap
hal-hal tersebut sebagai dasar untuk memahami dan mengikuti perkuliahan
berikutnya tentang estetika dan estetika karawitan pada khususnya.

Bahan Bacaan.

1. Agus Sachari, (2002), Estetika; Makna, Simbol dan Daya. ITB Bandung.
2. A. A. M. Djelantik (1999), Estetika Sebuah Pengantar. Masyarakat Seni
Pertunjukan Indonesia.
3. The Liang Gie, (1976), garis Besar Estetik (Filsafat Keindahan), Karya
Kencana, Yogyakarta.
4. The Liang Gie, (1996), Filsafat Seni (Sebuah Pengantar), Pusat Belajar
Ilmu Berguna (PUBIB), Yogyakarta.
5. Jakob Sumardjo, (2000), Filsafat Seni, Bandung.
6. De Witt H. Parker, (T.T.) Dasar-Dasar Estetika. (terjemahan Gendhon
Humardani) Surakarta; Akademi Seni Karawitan Indonesia.
7. Wikipedia The Free Encyclopedia

=+=
BAB II
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP ESTETIKA

Pendahuluan

Pada bab ini dipaparkan pengertian dasar mengenai estetika yang ditulis oleh
beberapa pakar estetika. Selain itu juga disampaikan batasan-batasan atau ruang
lingkup kajian estetika yang dipetakan menjadi empat bagian yaitu Yunani kuno,
abad pertengahan, modern, dan post modern. Dalam bab ini juga dijelaskan
tentang beberapa medium seni serta unsur seni dari beberapa cabang seni.
Beberapa pengertian dan batasan tentang estetika, medium dan unsur seni ini
adalah sebagai salah satu dasar atau pijakan untuk memahami estetika secara
umum. Dengan mengikuti serta memahami beberapa pemikiran ini diharapkan
mahasiswa dapat mengikuti dan mengetahui posisi estetika pada saat ini. Untuk
menjelaskan permasalahan ini diambil artikel-artikel dari Wikipedia The Free
Encyclopedia (dipilih artikel yang relevan dan kemudian diterjemahkan) dan juga
tulisan dari Agus Sachari, serta AAM Djelantik.

Penyajian
Pengertian
Secara etimologi, estetika berarti; sensitif, dan atau sadar. Pada awalnya istilah
estetika digunakan pertama kali dalam bahasa Jerman Æsthetik (ejaan baru
Ästhetik) oleh Alexander Baumgarten pada tahun 1735. Kata ini berasal dari
bahasa Yunani, yaitu kata αἰσθητικός yang berasal dari kata αἰσθάνομαι
(aisthanomai, yang artinya “Saya mempersepsikan, merasa, mengerti")
(Wikipedia The Free Encyclopedia). Dengan berkembangnya pemikiran yang
dilakukan oleh para pemerhati, seniman, budayawan, penulis, dan kritikus seni
dan budaya tentang masalah keindahan maka estetika dapat pula diartikan;
• Estetika adalah sebuah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang
berkaitan dengan keindahan, mempelajari semua aspek dari apa yang kita
sebut keindahan (Djelantik, hal. 9)
• Estetika merupakan suatu telaah yang berkaitan dengan penciptaan,
apresiasi, dan kritik terhadap karya seni dalam konteks keterkaitan seni
dengan kegiatan manusia dan peranan seni dalam perubahan dunia (van
mater Ames, Colliers Encyclopedia, vol. 1) (Agus Sachari, hal. 3)
• Estetika mempersoalkan hakikat keindahan alam dan karya seni,
sedangkan filsafat seni mempersoalkan hanya karya seni atau benda seni,
atau artifak yang disebut seni (Jakob Sumardjo, hal. 25)
• Estetika adalah filsafat yang membahas esensi dari totalitas kehidupan
estetik dan artistik yang sejalan dengan zaman (Agus Sachari, hal. 4)
• Estetika merupakan salah satu cabang ilmu filsafat yang menyangkut sifat
keindahan, seni, dan selera, serta kreasi dan apresiasi keindahan
(Wikipedia The Free Encyclopedia)
Beberapa pemikiran, pandangan, deskripsi tentang estetika di atas, selalu
mengalami pergeseran, perubahan, perkembangan, sesuai konsep estetik pada
masanya. Perkembangan itu juga diikuti oleh kajian-kajian estetika berikutnya
seperti dikatakan oleh Agus Sachari bahwa estetika hanya mengkaji segala hal
yang indah (cantik dan gaya seni), telah lama dikoreksi. Artinya bahwa estetika
dewasa ini mengkaji berbagai hal tentang keindahan yang juga menekankan pada
makna dan aksi mental (Agus Sachari, hal. 3).

Ruang Lingkup Estetika

Estetika dipetakan menjadi 4 bagian yaitu Yunani Kuno, Abad


Pertengahan, Modern, dan Post Modern (diambil dan diterjemahkan dari
Wikipedia The Free Encyclopedia). Pada masa Yunani Kuno, alam menjadi pusat
dari segalanya. Yang menjadi pusat dan sakral adalah alam sehingga disebut
kosmosentris. Alam adalah makrokosmos dan manusia adalah mikrokosmos.
Semua makhluk tunduk terhadap alam. Plato, salah satu tokoh yang berasal dari
masa Yunani Kuno memiliki pengajaran yang berdasarkan pada ide. Ide adalah
pemikiran dimana setiap benda atau makhluk di dunia ini memiliki sebuah esensi
yang mengacu pada benda tersebut. contohnya sebuah kursi bukan karena
bentuknya seperti kursi sehingga kita mengetahui bahwa itu kursi, tetapi karena
esensi yang dimilikinya sebagai sebuah kursi. Plato juga memandang bahwa karya
seni hanyalah tiruan. Teori ini disebut teori mimesis yang memaparkan bahwa
karya seni hanyalah tiruan dari realitas dan ide.
Pada abad pertengahan sosok Tuhan mulai menjadi pandangan yang baru.
Agama kristen mulai berkembang dan menyebar di seluruh dunia. Pemikiran ini
disebut teosentris dimana Tuhan adalah pusat dari segalanya. Manusia dan segala
makhluk tunduk pada Tuhan yang menciptakan dunia ini. Berbeda dengan zaman
Yunani Kuno, alam tidak lagi menjadi pusat pemikiran dan kehidupan. Namun
masa ini juga disebut dark age, dimana agama kristen disebarluaskan denga
segala cara. Bahkan dengan membunuh yang tidak sepaham sekalipun.
Sesungguhnya ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat pada masa ini, namun
tidak dapat dinikmati oleh semua orang. Segala macam pengetahuan hanya
diajarkan di dalam tembok - tembok gereja.
Pada masa modern, manusia menjadi pusat dari segalanya. Kini pemikiran
manusia tidak lagi terpusat pada alam maupun Tuhan namun manusia menjadi
titik pusat dari segalanya. Pemikiran ini disebut antroposentrisme yang banyak
berkembang berkat humanisme dan renaisans yang terjadi di Italia dan Eropa.
Konsep yang berkembang adalah Homo Mensura yaitu man the measure of all
things. Maksudnya adalah manusia menjadi ukuran dari segalanya yang
merupakan konsep dari pemikiran Protagoras.
Berbeda lagi dengan post modern yang menolak anggapan universal dari ilmu
alam, rasionalitas objektif, instrumental dan reduktif. Post modernis menolak
komitmen yang berhubungan dengan modernis yang anti humanisme dan kritik
terhadap subjek. Post modern dalam seni memiliki kecenderungan ambiguitas,
bermain bentuk lampau dalam bentuk tiruan. Beberapa kelompok dalam post
modern adalah 'New Age' yang ingin menggali pemikiran kuno baik timur maupun
barat, kelompok dalam dunia sastra dan linguistik yang mengangkat masalah
utama dekonstruksi, dan kelompok ketiga yang diwakili oleh pemikiran David
Bohm, Frederick Ferre dan lainnya yang ingin merevisi modernisme dengan
memperbarui premis - premis modern. Salah satu contoh aliran yang
mencerminkan post modern adalah dadaisme.
Dalam pemetaan ini sangat jelas dapat terlihat bahwa manusia mengalami
perkembangan yang sedemikian rupa sehingga dapat merubah sejarah.
Sesungguhnya pemikiran yang paling masuk akal adalah kosmosentrisme yang
menganggap alam sakral. Pada masa sekarang, manusia sering bertindak
sewenang-wenang baik terhadap alam maupun sesamanya. Padahal manusia
hanyalah bagian yang sangat kecil dalam jagat raya ini. Konsep adanya 'Tuhan'
juga merupakan lambang keegoisan manusia dimana mereka mencari sosok untuk
dipersalahkan dan dimintai pertolongan. Seringkali manusia sulit melihat apa
yang sesungguhnya terjadi karena terlalu dibutakan ajaran agama.
Pembagian empat kategori diatas memperlihatkan fungsi estetika dan sumber
estetika berasal. Memasuki masa post modern ini estetika berkembang pesat baik
dari segi kajiaan, fungsi, maupun sumber-sumbernya. Namun dari segala bentuk
kajian dimaksud tetap keindahan adalah unsur terpenting. Kajian keindahan
menurut Djelantik ada dua yaitu keindahan alam dan keindahan buatan manusia.
Secara lengkap keduanyan dijelaskan sebagai berikut.
Keindahan meliputi keindahan alam dan keindahan buatan manusia yang pada
umumnya kita sebut kesenian. Dengan demikian kesenian, dapat dikatakan
merupakan salah satu wadah yang mengandung unsur-unsur keindahan. Untuk
bisa mengetahui lebih dalam tentang keindahan, kita hendaknya mengetahui
tentang unsur-unsur keindahan yang bagaimana, karena keindahan itu terdiri dari
komponen-komponen yang masing-masing mempunyai ciri-ciri dan sifat-sifat,
yang menentukan taraf dari keindahan keindahan itu. Taraf keindahan unsur-unsur
itu akan menentukan mutu keseniannya.
Secara ringkas, Djelantik mengelompokkan hal-hal yang indah dalam dua
golongan, yakni:
Pertama, keindahan alami yang tidak dibuat oleh manusia, misalnya gunung, laut,
pepohonan, bunga, kupu-kupu, serta barang-barang yang memperoleh wujud
indah akibat peristiwa alam seperti Pulau Tanah lot, yang memperoleh bentuknya
akibat pukulan pukulan ombak laut berabad-abad lamanya, lereng-lereng bukit
yang terbentuk indah oleh air hujan, sungai yang mengiris tanah menjadi jurang
dalam bertebing curam seperti di Banjar Agkan atau Ngarai Sihanok di Bukit
Tinggi. Disamping keindahan alam yang dirajut oleh binatang seperti sarang
burung manyar. Keindahan alam dapat kita nikmati saat matahari terbit atau
terbenam, melihat perpaduan bentuk-bentuk awan, warna langit dan jatuhnya sinar
matahari, yang mempertegas benda-benda yang disinari dengan warna-warni yang
mempesona. Keindahan bunga anggrek, mawar, kembang sepatu, selalu
menggugah perasan manusia.
Keindahan bentuk makhluk hidup ciptaan Tuhan, seperti kuda, ayam, sapi,
menjangan, bermacam-macam burung, berbagai anjing ras, dan berbagai jenis
ikan (terutama ikan hias), tubuh manusia sendiri yang keindahannya telah
dimuliakan dalam kesenian Yunani sejak beberapa abad sebelum Masehi, juga
termasuk hal-hal indah alami, yang tidak dibuat oleh manusia. Keindahan tubuh
manusia diketemukan kembali dalam masa Renaissance (pencerahan) di Eropa;
dan sejak itu selalu diabadikan oleh para seniman dalam karya-karyanya (seni
Iukis, seni patung). Masa kini kita sering menikmati keindahan tubuh dan gerak
manusia sewaktu menyaksikan olah raga, senam dan seni tari.
Kedua, hal-hal indah yang diciptakan dan diwujudkan oleh manusia. Mengenai
keindahan barang-barang buatan manusia secara umum kita menyebutnya sebagai
barang kesenian. Akan tetapi disamping itu banyak barang-barang yang dibuat
manusia untuk keperluan sehari-hari apalagi yang dibuat untuk hiasan, yang tidak
kurang keindahannya daripada barang-barang kesenian. Barang-barang yang
demikian disebut barang kerajinan langan. Sebutan ini sama sekali tidak
menyangkut peniIaian tentang keindahan barang-barang itu, hanya
menggolongkan jenis dari barang indah tersebut. Perbedaannya adalah bahwa
barang kesenian ada maksud dari sang pencipta untuk menuangkan perasaan di
dalamnya atau suatu pesan tertentu, sementara barang kerajinan tangan
mempunyai penggunaan praktis disamping dibuat untuk menarik dan memberikan
kepuasan rasa indah belaka. Dalam kata lain sebutan yang berbeda mengacu pada
maksud dan proses dari penciptaan dan perwujudan barang-barang tersebut. Pada
umumnya apa yang kita sebut indah di dalam jiwa kita dapat menimbulkan rasa
senang, rasa puas, rasa aman, nyaman dan bahagia, dan bila perasaan itu sangat
kuat, dapat merasa terpaku, terharu, terpesona, serta menimbulkan keinginan
untuk mengaIami kembali perasaan itu, walaupun sudah dinikmati berkali-kali.
(Dalam bahasa Bali: kelangen)
Tahap pertama, yakni menafsirkan akan unsur-unsur keindahan itu, sebagai suatu
masalah yang praktis, masalah yang menyentuh pada pelaksanaan kesenian kita.
Bila kita telah mengenal unsur-unsur apakah yang dapat ditemukan; mengenal
tentang ciri-ciri dan sifat-sifat dari unsur-unsur itu, serta dapat menerapkan semua
pengetahuan itu dalam kegiatan kita; maka kita akan sampai pada renungan dan
pemikiran tentang kesenian dan keindahan itu sendiri.
Tahap kedua, mencakup filsafat keindahan dan filsafat kesenian. Pada tahap ini
dapat kita jumpai beberapa macam permasalahan mengenai teori kesenian dan
keindahan. seperti yang difahami oleh beberapa filsuf dari zaman dahulu sampai
sekarang.
Untuk melengkapi penjelasan diatas berikut ini dijelaskan tentang kesenian
menurut Djelantik. Kesenian adalah hal-hal yang diciptakan dan diwujudkan oleh
manusia, yang dapat memberi rasa kesenangan dan kepuasan dengan penikmatan
rasa-indah, kita sebut dengan kata seni (Ing: art). Termasuk dalam hal ini adalah
barang-barang hasil kerajinan tangan (handicraft). Apa yang kita maksudkan
dengan barang kesenian tidak hanya meliputi yang nampak pada mata sebagai
lukisan, patung atau melalui pendengaran kita seperti gamelan, musik, nyanyian
dan sebagainya. Ada yang perwujudannya hanya dapat dikenal dengan khayalan
(bayangan, imajinasi) seperti kalau kita membaca novel, roman atau puisi. Pada
saat membaca, kita sudah bisa membayangkan keindahan kata-kata, irama dan
indah isi cerita tersebut. Penikmatan keindahan seperti itu memerlukan keaktifan
mental dan spiritual dari pembacanya.
Dengan sendirinya, muncul pertanyaan tentang apakah yang terkandung dari
sekian macam kesenian itu yang menimbulkan rasa nikmat-indah kita? Walaupun
jenis dari barang-barang kesenian sangat beraneka ragam, kita ingin mengetahui
apakah ada kesamaan di antara yang beraneka ragam itu, serta kesamaan yang
bagaimanakah yang merangsang dan menimbulkan rasa-indah kita.
Semua benda atau peristiwa kesenian mengandung tiga aspek yang mendasar,
yaitu:
A. Wujud atau rupa
B. Isi atau bobot
C. Penyajian, penampilan
A. Wujud/Rupa
Untuk menghindari salah faham, perlu diuraikan dari permulaan bahwa istilah
wujud mempunyai arti yang lebih luas daripada rupa yang laizm dipakai dalam
kata seni rupa atau kalimat batu itu mempunyai rupa seperti burung. Dalam
kedua kalimat di atas, kata rupa dimaksudkan tentang sesuatu bagaimana
nampaknya dengan mata kita (itula mengapa seni rupa dalam bahasa Inggris
disebut visual arts). Dalam kesenian banyak hal lain yang tidak nampak dengan
mata seperti misalnya suara gamelan, nyanyian, yang tidak mempunyai rupa,
tetapi jelas mempunyai wujud. Baik wujud yang nampak dengan mata (visual
maupun wujud yang nampak melalui telinga (akustis) bisa diteliti dengan analisa,
dibahas tentang komponen-komponen yang menyusunnya, serta dari segi
susunannya itu sendiri.
Dengan itu kita sampai pada pembagian mendasar atas pengertian (konsep) wujud
itu, yakni bahwa semua wujud terdiri dari:
• Bentuk (form) atau unsur yang mendasar
• Susunan, struktur (structure)

B. Isi/Bobot

Isi atau bobot dari benda atau peristiwa kesenian meliputi bukan hanya yang
dilihat semata-mata tetapi apa yang dirasakan atau dihayati sebagai makna dari
wujud kesenian itu. Bobot kesenian mempunyai tiga aspek:
• Suasana (mood)
• Gagasan (idea)
• Ibarat, pesan (message)
C. Penyajian/Penampilan

Dengan penampilan dimaksudkan cara bagaimana kesenian itu disajikan,


disuguhkan kepada yang menikmatinya, sang pengamat. Untuk penampilan
kesenian tiga unsur yang berperan:
• Bakat (talent)
• Ketrampilan (skill)
• Sarana atau media (medium atau vehicle)
Medium Seni
Sesuatu medium tidak besifat serba guna. Setiap jenis seni mempunyai
mediumnya tersendiri yang khas dan tidak dapat dipakai untuk jenis seni lainnya.
Misalnya bahan cat tidak dapat digunakan untuk menggubah lagu. Sebaliknya
nada sebagai medium seni tidak dapat digunakan untuk menciptakan karya
pahatan. Perunggu sebagai medium seni pahat tidak dapat digunakan untuk
menggubah sajak, demikian seterusnya. The Liang Gie menjelaskan beberapa
medium pokok dari cabang-cabang seni, seperti berikut ini.
Ciri pokok berikutnya dari medium ialah bahwa apa yang diungkapkan dalam
suatu medium tidak dapat diterjemahkan ke medium lainnya. Masing-masing
karya seni memang merupakan pengungkapan bahasa perasaan, tetapi bahasa-
bahasa perasaan dari berbagai seni itu tidak dapat saling diterjemahkan. Sebagai
contoh seorang (asing) tidak menguasai bahasa Indonesia, ia tidak dapat
menangkap keindahan puisi tentag gunung merapi yang dibacakan kepadanya.
Tetapi, ia dapat mencerap keindahannya dari karya lukisan yang dilihatnya. Kalau
seorang buta, ia juga tidak dapat mencerap keindahan gunung Merapi dari karya
lukisan itu, tetapi ia dapat menangkap keindahannya dari karya sastra yang
dibacakan (The Liang Gie 1996).
Dua ciri negatif tersebut di atas (tidak serba guna dan tidak dapat saling
diterjemahkan) tidak berlaku untuk medium karya seni seumumnya. Ciri-ciri
lainya harus ditengok pada medium dari masing-masing jenis seninya. satu demi
satu yang akan dipaparkan secara singkat.
1. Seni Lukis
Medium seni lukis ialah permukaan datar yang dapat terbuat dari apa saja seperti
kanvas, sutra, papan, kertas, kaca dan sebangsanya. Medium lainnya adalah bahan
cat dan sejenisnya dalam bentuk cair, cat atua bahan kapur. Oleh karena hasil seni
lukis itu merupakan lukisan yang bidang permukaannya terbatas an diletakkan
secara diam, tampaknya isinya hanya mengungkapkan sesuatu pokok soal diam.
Namun, seorang seniman dapat membuat lukisan yang sepenuhnya sadar dan
berisi serta punya makna.
Kalau seniman pelukis membuat lukisan batik dengan motif, pola dan kombinasi
yang belum pernah dilukis oleh seseorang pelukis lain, maka karyanya adala seni.
Kalau seseorang hanya melukis ulang karya batik yang telah dilukis oleh orang
lain, maka karyanya hanyalah suatu kerajinan batik dan bukan seni. Perbedaan
pokok antara seni dengan kerajinan ialah dalam segi kreativitas itu.
2. Seni Pahat
Medium seni pahat ialah semua benda keras alami atau bikinan manusia seperti
misalnya batu, perunggu, pualam, kayu dll. hasilnya adalah benda pahat berbentuk
3 dimensi yang sepenuhnya sadar dan memunjukkan gerak. Seorang seniman
dapat membuat pahatan yang sepenuhnya sadar dan berisi serta punya makna.
Tapi halnya bila sekarang dibangun sebuah candi yang persis Candi Borobudur,
walaupun candi ini karena teknologi yang canggih tampak lebih indah seperti
misalnya permukaannya halus berkilat, karya ini hanyalah suatu kerajinan batu
bukan seni.
3. Seni Musik
Kalau seni lukis dan seni pahat sepenuhnya termasuk seni penglihatan karena
untuk menikmatinya harus dilihat, maka seni musik sepenuhnya seni
pendengaran. Orang yang tidak bisa melihat dapat menimati seni musik.
Mediumnya ialah nada dan suara yang umumnya dikeluarkan dari alat-alat musik.
Keistimewaan seni musik ialah karyanya pada umumnya dapat dimengerti oleh
semua orang di seluruh dunia seperti misalnya kalau lagu yang dimainkan
bercorak riang gembira atau bernada sedih pilu atau bersemangat gairah seperti
lagu mars.
4. Seni tari
Seni tari merupakan penggabungan seni penglihatan–pendengaran. Mediumnya
adalah tubuh penari. Kemampuan tubuh manusia baik secara sendirian maupun
dalam kelompok untuk menjadi medium sepenuhnya dan sumber pengungkapan
ekspresif. Kekhususan seni tari ialah ada seniman penciptanya (koreografer) dan
ada seniman pelaksananya (penari) yang dapat berbeda orangnya.
5. Seni Sastra
Seni sastra merupakan suatu seni tersendiri yang bersifat khusus dan tidak
bercorak penglihatan maupun pendengaran, walaupun mata atau telinga perlu
dipakai sebagai alat untuk membaca novel atau mendengar pembacaan puisi.
Mediumnya adalah kata-kata dalam bahasa biasa dan kata-kata adalah suara
(kalau dibaca keras) atau goresan pena (kalau ditulis) yang mengandung arti-arti
tertentu. Jadi, tanpa kemampuan pikiran untuk memahami arti-arti dari kata-kata,
maka orang tidak dapat menikmati kesenangan dari karya sastra. Berdasarkan hal
ini, ada filsuf yang berpendapat bahwa medium seni sastra adalah arti kata-kata.
6. Seni Drama
Seni drama menimbulkan suatu persoalan tersendiri. Sebagian ahli seni
berpendapat bahwa mediumnya adalah tindakan psikis dan pengembangannya.
Sebagian lain berpendapat bahwa mediumnya adalah pemanggungan. Dengan
berlangsungnya kemajuan teknologi terutama teknologi cahaya, muncul suatu
pendapat baru yang menyatakan bahwa medium seni drama adalah
pemanggungan menyeluruh (total staging). Ini menyatukan secara satu padu
semua komponen akting, penyutradaraan, panggung, cahaya, dan tindakan-
tindakan psikis maupun fisik.
Unsur Seni
Berbicara unsur seni tidak mungkin membicarakannya seperti halnya mediun seni.
Unsur-unsur seni hanya dapat dibahas menurut jenis seninya sendiri-sendiri.
Unsur seni musik misalnya ialah irama, keselerasan, tempo cepat atau perlahan,
serta macam-macam warna-nada, titi-nada dan paduan-nada maupun melodi.
Tergolong dalam pengertian unsur musik kiranya ialah ketiadaan nada atau diam.
Ada filsuf seni yang menyanggah bahwa ketiadaan nada (diam) merupakan suatu
unsur dari seni musik. Tetapi, penganutnya memakai perbandingan dengan seni
lukis bahwa ruang kosong dalam karya lukisan merupakan suatu unsur. Dengan
demikian, ketiadaan nada dalam sebuah lagu juga merupakan unsur seni musik.
Sebagai contoh lagu-lagu gubahan Beethoven seperti kuartetnya yang terakhir,
khususnya gerakan yang lambat tidak dapat dipahami tanpa memasukkan
ketiadaan nada (diam) sebagi unsurnya.
Seni yang sesungguhnya senantiasa kreatif, selalu menghasilkan sesuatu yang
baru. Seni sebagai suatu rangkaian kegiatan manusia selalu menciptakan suatu
realitas yang baru, sesuatu apa pun (lukisan, pahatan, lagu, tarian, sajak, bangunan
arsitektur, drama atau film) yang tadinya belum ada atau belum pernah muncul
dalam gagasan seseorang.
Seni senantiasa dilakukan oleh seseorang individu tertentu dan hasilnya juga
merupakan suatu individualitas tertentu yang khas. Sebuah seni kolektif atau seni
massa tidaklah ada. Menurut pendapat filsuf Polandia Stefan Morawski, bidang
keberadaan seni terdiri dari tiga faktor yang berlainan tetapi saling bergantung,
yaitu seniman, karya seni, dan pemirsa. Seniman dan karya seninya masing-
masing merupakan suatu individualitas tertentu. Demikian pula penikmatan
terhadap sesuatu karya seni oleh pemirsa juga bersifat individual. Pengalaman
estetis dalam menikmati suatu karya seni adalah pengalaman dari masing-masing
individu yang bisa sama, tetapi bisa juga berbeda.
Apa yang diungkapkan oleh seniman dalam atau melalui karya seninya adalah
emosi tertentu yang muncul atau diperoleh dari pengalaman hidupnya. Demikian
pula, apa yang digetarkan oleh karya seni pada diri seseorang pemirsa adalah
emosi tertentu pula. Sifat karya seni yang menyangkut perasaan manusia itu
disebut dengan istilah ekspresif. Setiap seni harus ekspresif dalam penciptaannya
maupun penikmatannya. Seni adalah bahasa perasaan yang melakukan
komunikasi di antara seniman dengan permirsa melalui karya seni dengan
perasaan pula. Karya seni juga harus ekspresif dengan emosi estetis baik sebagai
suatu kebulatan atau masing-masing unsurnya.
Kalau ciri pokok ekspresif tersebut di atas dapat diterima, maka penilaian
terhadap karya seni harus dilakukan bedasarkan ukuran-ukuran perasaan estetis
dan nilai-nilai estetis. Bagi karya seni tidaklah ada pengertian benar atau salah
menurut perhitungan akal seperti halnya dalam bidang keilmuan. Demikian pula,
bagi karya seni tidak ada pengertian baik atau buruk menurut pertimbangan
kemauan seperti halnya dalam bidang kesusilaan. Oleh karena itu, tidaklah tepat
menilai dan menghakimi sesuatu karya seni berdasarkan berbagai ukuran
kebenaran, kesusilaan, keagamaan, dan semua hal lainnya yang non-estetis.
Sesuatu karya seni paling baik dinilai menurut ukuran atau pertimbangan estetis,
yang bersifat ekspresif atau tidak ekspresif, dapat atau tidak dapat menimbulkan
emosi estetis pada para pemirsa.
Seni muncul di mana-mana dan tumbuh sepanjang masa, karena manusia
memiliki perasaan dan seni adalah bahasanya yang melakukan komunikasi antar
manusia dengan perasaan di sampingnya dengan bahasa pergaulan sehari-hari.
Sesuatu suku bangsa paling primitif di pelosok dunia manapun mungkin tidak
mengenal huruf, tidak bisa berhitung, dan tidak memiliki agama, tetapi tentu
mempunyai dan mengembangkan sesuatu seni, misalnya seni tari, seni nyanyian
bersama, seni hias pada tubuh atau alat tombaknya, ataupun hanya seni memukul
genderang bertalu-talu. Jadi, karya seni diciptakan dan dikembangkan secara
universal dan terus-menerus di seluruh dunia. Hal ini terjadi karena tentunya seni
mempunyai nilai dan manfaat bagi kehidupan manusia.
=+=
Penutup
Pada bab ini telah disampaikan materi estetika yang membicarakan asal usul kata
estetika, arti estetika, dan maksud-maksud penggunaannya serta pembahasan
tentang unsur-unsur keindahan dalam kesenian. Estetika pada masa Yunani kuno,
alam menjadi pusat dari segalanya. Tuhan menjadi inti topik pada pembahasan
estetika pada abad pertengahan. Sementara itu pada masa modern manusia
menjadi inti pembahasan estetika. Sedangkan post modern dalam seni memiliki
kecenderungan ambiguitas, bermain bentuk lampau dalam bentuk tiruan.

Untuk mengetahui apakah materi yang disampaikan dapat dipahami oleh


mahasiswa, pada akhir perkuliahan mahasiswa diminta (wajib) membuat
rangkuman. Rangkuman yang disusun oleh mahasiswa ini adalah sebagai umpan
balik kepada dosen pengampu matakuliah sekaligus untuk pembenahan materi di
masa mendatang. Materi dasar tentang estetika ini merupakan fondasi bagi para
mahasiswa untuk bisa memahami materi-materi berikutnya dan sekaligus sebagai
pijakan untuk lebih bisa memahami materi berikutnya yaitu kajian estetika yang
terdiri dari pendekatan estetika, alasan mempelajari estetika, dan refleksi
keindahan. Untuk mengukur dan mengetahui keberhasilan penyerapan materi bagi
mahasiswa berikut disampaikan tes formatif yang wajib dikerjakan oleh
mahasiswa. Berikut beberapa contoh soal untuk dijawab oleh mahasiswa.
Latihan Soal
1. Siapakan pencetus istilah estetika pertama kali? Dan pengertian estetika
pada waktu itu, jelaskan!
2. Apakah ruang lingkup yang dibahas dalam estetika, jelaskan!
3. Dalam kamus Wikipedia dijelaskan ada 4 peta atau pembagian estetika,
sebutkan dan jelaskan masing-masing bagian secara singkat!
4. Menurut A.A.M. Djelantik keindahan dibagi menjadi dua golongan,
jelaskan masing-masing golongan secara singkat.
5. Terdapat tiga aspek atau unsur dasar dalam peristiwa kesenian, jelaskan
dari setiap unsur atau aspek dimaksud!
6. Apa yang dimaksud dengan medium seni, dan bagaimana kedudukan
medium seni dengan medium seni lainnya, jelaskan!
7. Apa yang dimaksud dengan unsur seni, jelaskan!
=+=
Rangkuman Bab II
1. Kajian Estetika pada dasarnya mempelajari berbagai hal tentang keindahan
yang menekankan pada makna dan aksi mental. Keindahan disini juga
dimaksudkan keindahan buatan dan juga keindahan alami. Keindahan buatan
adalah hasil karya manusia sedangkan keindahan alami adalah ciptaan Tuhan.
2. Estetika dipetakan menjadi 4 bagian yaitu Yunani Kuno; Abad Pertengahan,
Modern, dan post Modern. Estetika pada masa Yunani kuno, Plato adalah
salah satu tokoh pada jaman itu mengatakan bahwa karya seni hanyalah tiruan
dari realitas dan ide, yang kemudian dikenal dengan teori mimesis. Plato
mengajarkan bahwa “Ide adalah pemikiran dimana setiap benda atau makhluk
di dunia ini memiliki sebuah esensi yang mengacu pada benda tersebut.
3. Abad pertengahan sosok Tuhan menjadi pandangan baru. Tuhan adalah pusat
dari segalanya (Teosentris). Manusia dan segala makhluk tunduk pada Tuhan
yang menciptakan dunia ini. Alam tidak lagi menjadi pusat pemikiran dan
kehidupan.
4. Masa Modern manusia menjadi pusat dari segalanya. Mada masa ini
pemikiran manusia tidak lagi terpusat pada alam dan Tuhan namun manusia
menjadi titik pusat dari segalanya. Manusia menjadi ukuran dari segalanya.
Pemikiran ini disebut antroposentrisme.
5. Post Modern dalam seni memiliki kecenderungan ambiguitas, bermain bentuk
lampau dalam bentuk tiruan.
6. Semua benda atau peristiwa kesenian mengandung tiga aspek mendasar yaitu;
wujud atau rupa, bobot atau isi, penyajian atau penampilan.
7. Setiap jenis seni mempunyai mediumnya sendiri-sendiri yang khas dan tidak
dapat dipakai untuk jenis lainnya. Ungkapan dari sebuah medium tidak dapat
diterjemahkan ke medium lainnya.
8. Unsur seni hanya dapat dibahas menurut jenis seninya sendiri-sendiri.
9. Ungkapan seniman dalam karya seninya adalah emosi tertentu yang muncul
atau diperoleh dari pengalaman hidupnya. Penikmatan terhadap suatu karya
seni oleh penghayat juga bersifat individu. Pengalaman estetis dalam
penikmatan suatu karya seni adalah pengalaman dari masing-masing individu
yang bisa sama tetapi juga bisa berbeda.
10. Penilaian terhadap suatu karya seni yang berdasarkan ukuran kebenaran,
kesusilaan, keagamaan, dan semua hal yang non estetis adalah tidak tepat.
Semua karya seni paling baik dinilai menurut ukuran atau pertimbangan
estetis yang bersifat ekspresif atau tidak eskpresif, dapat atau tidak dapat
menimbulkan emosi estetis pada pemirsa.
=+=
Penyekat Bab III
TIK: Pada akhir pertemuan ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan kajian
estetika yang meliputi;
a. Pendekatan Estetika
b. Alasan Mempelajari Estetika
c. Refleksi Filsafat mengenai keindahan
d. Manusia Modern dan Kerinduan akan yang Afektif

Pokok Bahasan: Kajian estetika

Deskripsi Singkat: Dalam pertemuan ini dibahas tentang Pendekatan estetika,


alasan mempelajari estetika, refleksi filsafat mengenai keindahan, manusia
modern dan kerinduan akan yang afektif. Pemahaman terhadap hal-hal tersebut
sebagai dasar untuk memahami materi berikutnya yaitu pemikiran estetika barat
maupun estetika timur.

Bahan Bacaan.

1. Mudji Sutrisno dan Christ Verhaak, 1993, Estetika, Filsafat Keindahan,


Kanisius Yogyakarta.
2. The Liang Gie, (1996), Filsafat Keindahan, Pusat Belajar Ilmu Berguna
(PUBIB), Yogyakarta.
3. A.A. M. Djelantik (1999), Estetika Sebuah Pengantar. Masyarakat Seni
Pertunjukan Indonesia.
4. The Liang Gie, (1976), garis Besar Estetik (Filsafat Keindahan), Karya
Kencana, Yogyakarta.
5. Agus Sachari, (2002), Estetika; Makna, Simbol dan Daya. ITB Bandung.
=+=

BAB III
Kajian Estetika
Pendahuluan
Materi bab ini merupakan kelanjutan dari materi sebelumnya, dan sebagai
penunjang materi berikutnya pada bab IV yaitu pendekatan Estetika Barat dan
Estetika Timur. Kajian estetika pada tahap ini (bab III) dipaparkan pendekatan
dan alasan perlunya untuk mempelajari estetika yang ditulis oleh Mudji Sutrisno.
Menurut Mudji Sutrisno kajian estetika (keindahan) dapat lihat melalui; 1.
Pendekatan yang terdiri dari dua hal yaitu (a) langsung meneliti keindahan itu
sendiri (b) menyoroti situasi kontemplasi rasa indah; 2. Alasan untuk
mempelajarinya; bahwa karya seni baik yang alami maupun yang buatan adalah
begitu berharga sehingga perlu di teliti, dikaji, dan dipelajari; 3. Refleksi filsafati
mengenai keindahan; bahwa pengalaman estetika berkait dengan soal perasaan,
dan pengalaman akan yang indah berhubungan dengan Sang sumber keindahan. 4.
Manusia modern dan kerinduannya akan yang afektif; bahwa dalam kebudayaan
modern, pengalaman “yang ilahi” atau Yang indah dicurigai, karena afeksi emosi
dianggap sebagai ilusi (kebutaan jatuh cinta). Paparan ke-empat topik tersebut
selengkapnya adalah sebagai berikut.
Penyajian
1. Dua Pendekatan
Dalam estetika dikenal 2 pendekatan:
a. langsung meneliti keindahan itu dalam obyek-obyek atau benda-benda atau
alam indah serta karya seni.
b. menyoroti situasi kontemplasi rasa indah yang sedang dialami oleh si
subyek (pengalaman keindahan dalam diri orangnya).
Para pemikir modern cenderung memberi perhatian pada yang kedua: pengalaman
keindahan. Sebabnya kiranya karena karya seni mampu memberi pengalaman
keindahan dari zaman ke zaman. Kita sebagai subyek dan karya seni sebagai
obyek, saling berhadapan. Dalam diri kita muncul reaksi-reaksi yang pusatnya
dalam rasa lalu menggumpal dalam pengalaman-pengalaman.
Oleh karena itu, tidak heran bila Clive Bell mempunyai credo sebagai berikut:
Estetika mesti berangkat dari pengalaman pribadi yang berupa rasa khusus atau
istimewa (bdk. "Art" , London, 1914, hlm, 6). Lalu apa maksud pengalaman
pribadi? Sebuah pengalaman merupakan pengalaman pribadi bila pengalaman itu
dirasakan oleh seorang pribadi. Dan khusus mengenai rasa keindahan (rasa
estetis), Clive Bell menyatakan bahwa orang hanya bisa tahu apa itu kalau pernah
mengalaminya dan bukan karena diberitahu.
Kini, apa yang dimaksudkan dengan "rasa istimewa atau khusus" itu? Istimewa di
sini bukan sekedar aneh atau ganjil, tetapi rasa yang unik pas. Pas dengan apa?
Yaitu pas yang selaras ketika orang berhadapan dengan karya seni. Rasa pas
khusus itu hanya muncul bila karya seni itu memiliki wujud yang berarti atau
bermakna. Karena itu Clive Bell merumuskan dictum estetiknya sebagai berikut:
"Ke-indahan (apa itu keindahan) hanya dapat ditemukan oleh orang yang dalam
dirinya sendiri punya pengalaman yang bisa mengenali wujud bermakna dalam
satu benda atau karya seni tertentu dengan getaran atau rangsangan keindahan".
Tidak cukuplah hanya mempunyai rangsangan atau getar keindahan. Tidak cukup
pula kalau cuma mengenali bentuk atau wujud bermakna. Keduanya harus terjadi
berbarengan (serentak) serta saling mengisi secara pas. Tentu saja akan terjadi
kesempatan-kesempatan khusus seperti ketergeseran masuk galeri (tempat pamer)
atau menyapu lukisan dengan pandangan sepintas di mana orang tahu bahwa ia
akan merasa lebih terkesan mendalam oleh bentuk yang memukau (bermakna)
kalau ia menikmatinya lebih lama, lebih hening. Kadang kita malahan kerap
mengenal secara tergesa-gesa kehadiran bentuk yang memukau namun tidak
sempat punya waktu untuk mengalami getaran (estetisnya). Tetapi soal-soal ini
tak dipedulikan oleh pendapat Clive Bell. Persoalan mengenai dasar pengalaman
estetis muncul sejak abad ke-18 setelah berkembangnya matematika. Semua
pemikir cenderung mencari dasar-dasar kuat yang bersifat matematis untuk moral,
politik maupun estetika. Oleh karena itu, pertanyaan yang dilontarkan adalah
bagaimana kita bisa mengenal, bagaimana kita bisa pasti mengenai itu? David
Hume misalnya, menjawabnya dengan prinsip asosiasi. Yang kita kenal itu hanya
serentetan ide-ide atau kesan-kesan yang disatukan lalu disimpulkan. Misalnya:
ungkapan saya melihat kuda sebenarnya rangkuman yang berasal dari kesan
mengenai binatang yang berwarna coklat, ditambah kesan tentang ringkik
suaranya dan dari kebiasaan lalu kita ungkapkan rangkuman kesan itu: saya
melihat kuda.
Oleh karena itu, mengenai keindahan dan selera, pertanyaan yang mesti timbul
adalah mana sumber dari ide kita mengenai keindahan dan apa yang ada dalam
pengalaman kita mengenai dasar-dasar yang memberi variasi dalam selera? Itu
berarti orang yang berminat dan tertarik pada keindahan lebih dahulu berpikir
mengenai seni dan keindahan dan punya penghargaan (apresiasi) bahwa baiklah
untuk mempelajarinya.
2. Alasan Untuk Mempelajarinya
Pertama mengikuti kajian G.E. Moore. Ada beberapa motif untuk mempelajari
seni, dan dapat diringkaskan sebagai berikut, karya-karya seni baik yang alami
maupun yang buatan begitu berharga sehingga orang mempelajari ciri-ciri
khasnya demi karya-karya seni itu sendiri.
Kedua pengalaman keindahannya (pengalaman mengenai karya-karya seni) itu
begitu berharga baik untuk kelompoknya maupun masing-masing anggotanya
sehingga karya seni itu mesti dipelajari. Cara mempelajarinya: dari sudut pandang
apakah kualitas-kualitas karya ini mencapai tujuannya.
Ketiga, G.E. Moore berpandangan bahwa pengalaman ini begitu bernilai pada
dirinya sendiri sehingga membutuhkan pengujian dan penelitian mengenai
kualitas-kualitas karya seni itu.
Inilah pokok pendapat G.E. Moore yang mengikutkan pula penegasan bahwa
berkontemplasi penuh kagum pada keindahan itu merupakan salah satu nilai dari
masyarakat berbudaya (G.E. Moore, Principia Ethica, Cambridge, 1903, hlm. 188
dst.).
Dari pendekatan-pendekatan di atas lalu jelas ada dua jenis tolok ukur untuk
pengalaman keindahan. Pada kelompok yang pertama, karya-karya seni itu
berharga dan bisa dialami sebagai keindahan melulu karena karya itu sendiri
bernilai. Nilai keindahannya terletak pada hakikat benda seni, karya itu sendiri
(atau karena ada tanda khusus yang bermakna di balik karya itu). Pada kelompok
lain, pengalaman estetis akan suatu karya seni itu amat tergantung pada subyek
pemiliknya. Dari segi subyek yang mengalami pengalaman estetis baik Aristoteles
maupun Plato hanya menyoroti bagaimana pengaruh pengalaman keindahan itu
pada watak si subyek dan dari dia bagaiamana tersalur pengaruh kemasyarakat.
Aristoteles misalnya bilang: seni itu berperan katharsis: membersihkan kembali
jiwa manusia yang mengalami keindahan.
Sementara itu, pendapatnya Plato mengenai hasil seni alam (natural objects) amat
negatif: mereka ini tak lebih cuma mitasi dari realita ideal yang lebih sejati, lebih
benar, lebih indah; oleh karena itu, nilainya kecil. Sedang pengalaman estetis
dipandang lebih rendah lagi karena tidak lain cuma imitasi dari imitasi itu.
Maksudnya: pengalaman keindahan itu cuma reaksi yang berupa tiruan pada
benda-benda seni alam (yang sudah lebih dulu merupakan tiruan dari INDAH
yang sejati).
Pada abad pertengahan, pengalaman keindahan dikaitkan dengan kebesaran alam
ciptaan Tuhan, sehingga apa saja yang indah (benda seni, karya seni) dipandang
sebagai simbol-simbol dari kuasa dan kebaikan Tuhan serta perhatian kasih-Nya
untuk manusia. Pada masa ini pengalaman estetis amat dikaitkan dengan
pengalaman religius. Yang indah dialami dalam 2 kata kunci: Yang pertama
sebagai "yang terang, yang benderang jernih" dan yang kedua: sebagai "yang
memukau".
Dalam jaman modern, pengalaman keindahan dikaitkan dengan tolok ukur: yang
memberi kepuasan, berharga pada dirinya sendiri, pada cirinya sendiri pada tahap
kesadaran rasa tertentu. Kelemahan tolok ukur ini: mengaitkan estetika dengan
tahap kesadaran rasa tertentu dengan akibat orang bertanya-tanya samakah rasa
ini dengan rasa "mabuk kepayang" karena obat bius? Samakah dengan" ekstase
saat dihipnotis?
A. Richards misalnya secara umum setuju pada pandangan modern di atas.
Baginya tak ada yang dinamakan rasa estetis: semua rasa tetap sama, antara saat
masih jalan-jalan di jalan raya dengan saat di dalam galeri menikmati pameran
lukisan. (Principles of Literary Criticism, London, 1925, hlm.2). Kendati
demikian menurut Ruth L. Shaw ada beda besar antara 2 situasi keseluruhan tadi:
Situasi di jalan, kacau banyak suara, mobil dan macam-macam gangguan. Jadi
ada "chaos", kekacauan: macam-macam ide, reaksi, suara yang sulit menemukan
titik akhir yang memuaskan. Situasi di alam pameran, atau di gedung kesenian,
kita mendengar, merasa, menikmati sesuatu yang membawa keteraturan lalu
menggiring yang tak teratur dari rasa kita jadi tertata dan memberi pengalaman
yang memuaskan.
T.E. Hulme misalnya meradikalkannya dalam musik: pengalaman estetis dalam
musik memberi satu jenis keselarasan musikal yang menata, membuat teduh pada
pengalaman kita yang sebelumnya campur aduk, kacau. (T.E. Hulme,
Speculations, London, 1936, hlm, 21-22).
Pertanyaan penting lain sehubungan dengan seni adalah kapan bisa dicapai sebuah
kontemplasi yang bebas dari maksud-maksud kebutuhan praktis dan tujuan-tujuan
pragmatis dalam menghayati keindahan karya seni (drama misalnya)? Edward
Bullough membantu kita untuk mempertajam pengalaman keindahan dengan
konsepsinya mengenai "jarak" atau distansi. Distansi dicapai dengan memisahkan
karya seni dan daya pesonanya dari selera sendiri si pemirsa lewat cara
menaruhnya di luar lingkaran tujuan dan keperluan praktis semata-mata. Dengan
distansi dimungkinkan kontemplasi terhadap karya seni itu sendiri dalam
keheningan. Tetapi ini tak bermaksud mematahkan atau melepaskan hubungan
antara diri sendiri dengan karya seni itu sehingga menjadi impersonal. Distansi
tidak bermaksud membuat pengalaman estetis jadi "impersonal" tetapi sebaliknya
malah mau membuat, memberi suasana yang membuat pengalaman estetis
semakin menjadi pribadi, dirasakan penuh-penuh dalam kekhasan cirinya. Ciri
khasnya ini terletak pada proses: peristiwa-peristiwa dan tokoh-tokoh dalam
drama yang mempesona pemirsa lalu difilter, disaring, dibersihkan dari
pengalaman-pengalaman normal agar tinggal yang khas menggetarkan,
menggugat atau menggoyang rasa" ("Psychical Distance" as a Factor in Art and
an Aesthetic Principle", dalam Aesthetics, Elizabeth M. Wilkinson (ed.), London,
1954, hlm. 96).
Dalam pengertian distansi ini kiranya dijawab persoalan kesulitan apresiasi
kesenian lantaran dua kemungkinan yaitu: terlalu ambil jarak sehingga keindahan
tak teralami sebagai pengalaman atau terlalu terlibat sehingga emosi menyatu
tanpa bisa ditentukan batas kesenian dengan sikap dan rasa seni yang dialami.
Bullough juga menyebut dua kemungkinan distansi yang terjadi yaitu "terlalu
berdistansi" sehingga muncul sikap dingin. Yang lain adalah "kurang berdistansi:
identifikasi diri terlalu masuk". Padahal, drama atau tragedi karya seni itu hanya
menggoncang persis pada pucuk tajam "reaksi pribadi" yang mampu berdistansi
dalam hening tadi. (Ibid, hlm.12). Titik estetika atau keseimbangannya terletak
pada tengah-tengah antara terlalu dingin berkontemplasi dalam sikap cuma
sebagai pengamat dan terlalu hangat terlibat nyaris sebagai pemain sendiri.
Bagaimana pengalaman estetis mau dinilai? Tolstoy menghubungkannya dengan
kriteria moral, baginya 'kesenian' hanya bisa dibenarkan atau bahkan hanya
disebut seni sejati bila mampu memberi pengalaman cinta persaudaraan pada
umat manusia. Dengan demikian, mencari pengalaman kesenangan dalam
kesenian demi memuasi diri sendiri, demi kenikmatan itu sendiri merupakan
bentuk terburuk hiburan diri dari kesenian. (Dalam "What Is Art"?, terjemahan
Aylmer Maude, London, 1930).
3. Refleksi Filsafati Mengenai Keindahan
Sang Ada itu sekaligus "baik", "benar" dan "indah" (Ens est bonum,
verum, pulchrum).
Dari paparan di atas ada dua titik pendalaman filsafatinya: pertama, bahwa
pengalaman estetika berkait dengan soal perasaan; kedua, ada hubungan antara
indah dengan huruf kecil dan indah dengan huruf besar (INDAH). Kita akan
membahas pokok kedua dahulu lalu baru yang pertama, meski nanti akan terjadi
campuran antara keduanya pula.
Pengalaman akan yang indah berhubungan dengan sang sumber keindahan.
Fenomenologi malahan menunjuk kesejajaran antara pengalaman estetika dengan
pengalaman akan Yang Ilahi (Yang Kudus). Di mana penyatunya?
Ens est bonum, verum, pulchrum. Being (Sang Ada) itu sekaligus baik (menjadi
dambaan yang mau diraih oleh moral), benar (menjadi cita-cita yang mau dicapai
oleh pengetahuan), dan indah (menjadi gapaian estetika). Ciri Sang Ada sebagai
'baik' menjadi tujuan kehendak manusia dalam moralnya. Ciri 'benar' menjadi
cita-cita akal budinya. Dan ciri Sang Ada sebagai 'indah', menjadi dambaan rasa.
Untuk memahaminya kita akan melihat kesejajarannya dengan pengalaman akan
Yang Kudus.
Struktur pengalaman akan Yang Kudus dengan Yang Indah mempunyai kesamaan
dan kesejajaran dalam hal teralaminya perasaan Numinosum. Berhadapan dengan
Yang Kudus (Misterium), menurut Rudolf Otto, manusia mengalami perasaan
Numinosum dengan ciri di satu pihak 'tremendum': menggentarkan dan di lain
pihak 'fascinans', mempesonakan. Yang Kudus (Mysterium: penuh rahasia) dalam
diri manusia, sebagai isi pengalaman disebut Numinosum. Dalam diri manusia,
Numinosum tadi dialami di satu segi sebagai misteri, tidak terselami, ajaib,
membuat gentar, membuat manusia merasa kecil tak berdaya. Di lain segi, Yang
Kudus dialami sebagai menawan, memikat, menyenangkan hati manusia,
membuat bahagia, menarik. Estetika terletak di sini. Oleh karena itu, skema dasar
pengalaman itu adalah pengalaman antara jauh dan dekat, asing dan menarik,
membuat takut dan mempesona. Sebuah skema pengalaman harmoninya sebuah
pertentangan. Persis seperti pengalaman estetis antara inspirasi yang amat kaya
dengan ekspresi wujud karya seni yang selalu terasa terbatas, amat miskin.
Skema dasar ini bila dihubungkan dengan sumbernya atau Yang Kudus atau Yang
INDAH atau ENS ternyatalah bahwa manusia hanya mengalami "kehadiran"
Yang Kudus, Yang INDAH, ENS itu di dalam pengalaman "dunia kita". Artinya
terhadap apa yang ada, terhadap "dunia kita", manusia mengalaminya sebagai
"tanda" atau "dunia kita", manusia mengalaminya sebagai "tanda" atau alamat,
isyarat dari Yang Kudus, Yang INDAH (entah itu bernama Yang Kudus atau
inspirasi Yang INDAH).
Kita akan bertanya: apa syaratnya untuk bisa mengalami Yang Kudus, Yang
INDAH melalui dunia? Syarat pertama, ciri eksistensial dan mendalam dari
pengalaman itu. Artinya, si aku sendiri mesti yang mengalami dan yang
melibatkan, itu mengenai keberadaanku. (Maka di sini bisa dimengerti pendapat
umum estetika yang menyatakan bahwa estetika itu mesti bersumber pada
pengalaman estetis, dan pengalaman ini mesti dialami dan bukan hasil
pemberitahuan). Mendalam, artinya realitas atau dunia itu dialami sampai ke
batas- batasnya. Syarat kedua, ada yang disebut sebagai disclosure situation":
situasi batas yang membuka cakrawala "kesatuan utuh rentang sejarah dalam satu
gerak keabadian". Misalnya perspektif ruang dan waktu dialami sebagai satu
keutuhan perjalanan sejarah di kosmos ini menuju keabadian.
Pengalaman akan Yang Kudus itu tercampur dengan rupa-rupa pengalaman dunia.
Vergote (dalam odsdientpsychologie, 1967) menunjuk unsur-unsur campuran tadi
sebagai berikut (bdk. N.S. Dister, 'Pengalaman dan motivasi beragama', 1988): ia
tercampur dengan yang kosmis (kadang kosmos jadi allah sendiri); dalam
kebudayaan petani Yang Kudus: diidentifir sebagai sumber kehidupan, kesuburan,
pemilik alam. Estetika pada kebudayaan ini muncul dalam ekspresi-ekspresi
seperti dewi kesuburan, puja-puji terhadap si sumber kehidupan.
Yang Kudus tercampur dengan yang erotis: seksualitas dialami sebagai daya
pembuahan, kekuatan hidup, kesuburan alam; oleh karena itu, lambang-lambang
yang muncul terekspresi dalam nyanyi, puisi, kesenian, simbolik-simbolik: bumi =
ibu = rahim = pertiwi = kandungan; pohon, tiang pemujaan yang diukir magik indah
= phallus; asmara = api. Seksualitas juga dialami sebagai cuatan pengalaman
kesatuan ekstatis yang bulat, utuh, satu (= Ens Yang SATU?).
Yang Kudus tercampur dengan yang demonis: menggentarkan (setan, iblis, yang
jahat, yang merusak) dan daya destruktif dalam diri manusia: kebencian, naluri
membunuh. Kesusastraan Bharatayudha dalam dua naluri membunuh dan
kehidupan? Ekspresi bahasa seni: rindu dendam, contoh harmoni sebuah
pertentangan? Yang Kudus atau Indah tercampur dengan yang terIarang (tabu): di
sini persis ambiguitas batas antara yang seni, yang telanjang dengan yang disebut
pornografis.
Dari deskripsi di atas bisa ditarik satu benang merah: pengalaman akan Yang
Kudus atau Yang INDAH itu bersifat naif dan mendua (ambigu) seperti ciri khas
perasaan (afeksi, rasa) itu sendiri. Kesimpulan ini membawa kita ke bahasan soal
PERASAAN. Bila pengalaman Yang Kudus atau INDAH itu sesuatu yang afektif
(berkait dengan perasaan), lalu bagaimana perasaan itu berproses dalam
menghayati totalitas pengalaman. Dari penjelasan psikologis dan fenomenologis
kiranya akan jelas apa maknanya.
Pertama, perasaan itu mengkaitkan seluruh ada kita dengan totalitas jagad.
Perasaan itu merupakan salah satu pembahasan, pemberian kata, pemberian arti
pada jagad dan ke-ada-an kita. Salah satu ciri perasaan itu: total (menyeluruh)
tuntas dan mutlak. Bila saya bahagia, ayun langkah dalam hidup juga terang, cara
memandang kita juga jelas benderang. Bila saya susah, realitas di luar lalu
mendung. Bila kecewa hancur, seluruh hidup juga gagal tak bermakna. Ciri total,
tuntas mutlak dari perasaan amat kentara pada pengalaman asmara (erotis):
kesatuan tubuh menjadi kulminasi semua nilai dari seluruh jagad. Ciri mutlak ini
langsung kentara karena orang menolaknya begitu selesai, lantaran ketika
berhadapan dengan realita ternyata muncul duka, kecewa lagi. Perubahan yang
langsung inilah penyebab orang curiga pada ciri kemutlakan rasa, lalu jadi skeptis.
Padahal sebenarnya ciri kemutlakan tadi merupakan salah satu jejak dari nilai rasa
(dalam kepekaan estetis, religius dan lain-lain). Begitu orang menyentuh "yang
menyeluruh", begitu dia mengalami sebagai isyarat dari Yang Kudus. Ini semua
berkat perasaan. Perasaanlah yang memungkinkan orang masuk ke dalam jagad
yang religius.
Kedua, perasaan merupakan media untuk menggapai realitas secara langsung.
Dengan afeksi orang dibawa keluar dari dirinya dan diarahkan ke dunia. Afeksi
memang sebuah fenomen keterarahan (intensionalitas). Bila afeksi senada,
seirama dengan gamelan dunia (tatanya), kita merasa gembira. Bila tidak senada,
ada jarak, kita merasa asing, sepi, susah. Dengan perasaan orang mengalami
dunia dengan ciri-cirinya, sifat-sifatnya dan nilai maknanya langsung.
Ketiga, afeksi itu lebih berciri menerima dan dikenai daripada aktif memulai (lain
dengan kehendak yang aktif dan memutuskan). Manusia dikenai, mau tak mau
juga 'dikuasai' oleh rasanya. Agar rasa yang reseptif itu menjadi kegiatan yang
kreatif ia perlu digerakkan. Tetapi kreativitas rasa baru muncul setelah orang
mengecap dulu dalam rasa. Inspirasi dicecap dulu dalam-dalam oleh rasa sebelum
menjadi kreasi dalam kegiatan si seniman. Sebelum seniman sungguh dikenal, ia
sulit untuk berkreasi. Pengucapan rasa ini lalu diwujudkan dengan bahasa.
4. Manusia Modern dan Kerinduannya Akan yang Afektif.
Untuk menelusuri masalah ini kita akan mendasarkan diri pada pandangan van
Peursen akan tiga tahap perkembangan kebudayaan. (van Peursen, Strategi
Kebudayaan, 1976, hIm. 37 dst.).
Pertama tahap mitis:
Di dalam tahap ini orang masih tenggelam di dunia sekitarnya; oleh karena itu
daya kekuatan alam masih melingkungi manusia. Manusia 'berpartisipasi' dalam
kekuatan alam. Sebagai akibatnya estetikanya mitis! Mental partisipasi ini yang
membuat orang kuno bisa mengalami yang adiduniawi langsung dan afektif
(Bruhl, Paris 1949). Yang Kudus menghablur jadi "Allah", dewa-dewi, roh-roh,
magi di dalam alam sekitar.
Kedua tahap ontologis:
Pada tahap ini manusia ambil jarak terhadap lingkungan dan diri sendiri. Manusia:
subyek di luar lingkaran 'lingkungan dan diri sendiri'. Ia memberi batas-batas
dalam bentuk-bentuk rumusan, definisi dengan pengertian rasional.
Ketiga tahap rasional:
Kebudayaan rasional membuat batas antara manusia dan kosmos, subyek dan
obyek; individu dan kelompok. Manusia menguasai alam secara rasional.
Dalam kebudayaan modern: pengalaman 'yang ilahi' atau Yang INDAH,
dicurigai: karena afeksi emosi dianggap sebagai ilusi (kebutaan jatuh cinta).
Iman diyakini sebagai bermakna andai kata sungguh pribadi, tapi ternyata sulit
menemui Allah sebagai pribadi yang transenden. Kebudayaan modern
mengalamai proses desakralisasi: alam, matahari, dunia tidak lagi dialami sebagai
hierofani atau penampakan Yang Kudus, obyek penguasaan oleh akal dan teknik
manusia.
Tetapi pengalaman akan yang ilahi, akan yang INDAH itu dibutuhkan karena
adanya jurang antara iman dengan pengalaman sehingga iman tinggal sebagai
konsep kebenaran yang tak dialami eksistensial.
Manusia modern menyadari berat-sebelahnya kehidupan yang melulu ditentukan
rasio. Di satu pihak, dengan rasio dan proses desakralisasi dimungkinkan
pembangunan dunia. Di lain pihak, kerugian yang dialami yaitu ada celah tajam
antara pengalaman terhadap dunia dengan iman tentang Allah yang diakibatkan
rasio.
Oleh karena itu, orang modern mencari, rindu aspek 'non rasional' dari
kehidupan ini yang dicarinya dengan memelihara perlambangan: sastra, seni,
musik, tari, komunikasi non-verbal dalam mistik, meditasi. Soalnya adalah
apakah pencarian akan pengalaman estetis itu sekedar merupakan gejala manusia
mencari keseimbangan hidupnya: karena goncangan yang terlalu rasional lalu
butuh afeksi? Ataukah ungkapan kerinduan eksistensial dari yang terbatas, yang
kecil untuk menggapai yang TAK TERBATAS?
Yang ilahi atau yang indah dialami orang lewat alam. Dan kita melihat bahwa
orang yang makin tergantung pada alam makin peka terhadap pengalaman akan
yang ilahi itu. Kita melihat bagaimana petani lebih peka, lalu juga buruh dan
wanita kemudian baru para cendekiawan. Pengalaman itu juga bisa terjadi pada
saat orang berhasil mengatasi saat-saat sakit atau kalau orang merenungkan
evolusi jagad raya.
=+=

Penutup
Pada bab ini telah disampaikan mengenai bagaimana mendekati atau meneliti
keindahan baik yang alamai maupun yang buatan. Dalam hal ini ada dua
pendekatan yaitu langsung mendekati keindahan itu sendiri, dan kedua menyoroti
situasi kontemplasi rasa indah yang sedang dialami oleh si subyek. Selain itu juga
disampaikan alas an-alasan mengapa keindahan itu perlu dipelajari. Pendalaman
soal perasaan, dan hubungannya dengan AKU adalah hal berikutnya dalam bab
ini. Sementara itu menelusuri afektif pada manusia modern menurut pandangan
Van Peursen ada tiga tahap yakni tahap mistis, tahap ontologis dan tahap rasional.
Apakah mahasiswa dapat memahami materi yang sudah diberikan, kiranya
diperlukan langkah kerja yang harus dilakukan oleh mahasiswa. Langkah
dimaksud adalah, setelah selesai kuliah pada tahap ini mahasiswa diminta
membuat rangkuman untuk dapat dilihat penyerapan atau pemahaman materi yang
dipelajarinya. Rangkuman ini berfungsi sebagai umpan balik kepada dosen
pengampu matakuliah untuk ditindaklanjuti. Hasil rangkuman dari mahasiswa
dapat digunakan sebagai koreksi atau pembenahan bagi dosen untuk materi di
masa mendatang. Penguasaan dan pemahaman materi pada bab ini sangat
membantuk mahasiswa untuk dapat mengikuti materi berikutnya yaitu pendekatan
Estetika Barat dan Estetika Timur. Untuk mengukur dan mendapatkan gambaran
mengenai penyerapan atau penguasaan bahan bagi mahasiswa terhadap materi
yang sudah disampaikan berikut disampaikan tes formatif yang wajib dikerjakan
oleh mahasiswa. Berikut beberapa contoh soal untuk dijawab oleh mahasiswa.
Latihan Soal
1. Pendekatan estetika salah satunya adalah melalui situasi komtemplasi rasa
indah, jelaskan pandangan anda mengenai situasi kontemplasi rasa indah
dimaksud!
2. Menurut Clive Bell estetika mesti berangkat dari pengalaman pribadi yang
berupa rasa khusus atau istimewa, apa yang dimaksud dengan pengalaman
pribadi, jelaskan?
3. Menurut G.E. Moore terdapat 3 alasan untuk mempelajari estetika,
sebutkan ketiga alasan tersebut dan jelaskan masing-masing alasan!
4. Menurut Mudji Sutrisno dalam refleksi filsafati keindahan terdapat dua
syarat untuk bisa mengalami Yang Kudus, Yang INDAH melalui dunia,
jelaskan kedua persyaratan tersebut!
5. Dalam mempelajari estetika kita mengenal istilah Afeksi, jelaskan apa
yang anda ketahui tentang arti dari kata Afeksi tersebut!
6. Menurut Van Peursen perkembangan kebudayaan terdiri dari tahap mistis,
ontologis, dan rasional. Jelaskan secara singkat dari ketiga tahapan
tersebut!
=+=
Rangkuman Bab III

1. Dua pendekatan estetika yaitu; langsung meneliti keindahan itu dalam obyek
atau benda atau alam serta karya seni, kedua menyoroti situasi kontemplasi
rasa indah yang sedang dialami oleh si subyek.
2. Keindahan mesti berangkat dari pengalaman pribadi, pernah mengalami
sendiri bukan karena diberi tahu. Oleh sebab itu keindahan hanya dapat
ditemukan oleh orang yang dalam dirinya sendiri punya pengalaman yang
bisa mengenali wujud bermakna dalam benda atau karya seni tertentu dengan
rangsangan keindahan.
3. Menurut G.E. moore ada 3 alasan untuk mempelajari karya seni yaitu karena
karya seni itu begitu berharga sehingga orang mempelajari ciri-ciri khasnya
demi karya seni itu sendiri. Kedua keindahan itu begitu berharga untuk
kelompok maupun anggotanya. Ketiga pengalaman seni begitu bernilai
sehingga membutuhkan pengujian mengenai kualitas karya seni.
4. Ada dua tolok ukur pengalaman keindahan, pertama karya seni itu berharga
sebagai keindahan melulu karena karya seni itu bernilai. Kedua pengalaman
estetis akan suatu karya seni itu amat tergantung pada subyek pemiliknya.
5. Dua pendalaman filsafati yaitu pertama, bahwa pengalaman estetika berkait
dengan soal perasaan, dan kedua ada hubungannya dengan AKU atau Yang
Kudus. Perasaan itu mengkaitkan seluruh ada kita dengan totalitas jagad.
Perasaan itu merupakan salah satu pembahasan, pemberian kata, pemberian
arti pada jagad dan ke-ada-an kita.
6. Dengan afeksi orang dibawa keluar dari dirinya dan diarahkan ke dunia.
Afeksi memang fenomena keterarahan. Afeksi itu lebih berciri menerima dan
dikenai daripada aktif memulai.
7. Menelusuri afektif pada manusia modern menurut pandangan Van Peursen
ada tiga tahap yakni tahap mistis, tahap ontologis dan tahap rasional. Mistis
orang tenggelam dalam daya kekuatan alam, oleh sebab itu estetikanya mistis.
Tahap ontologis manusia mengambil jarak terhadap lingkungan dan diri
sendiri. Tahap rasional terdapat batas antara manusiaa dan kosmos, subyek
dan obyek, individu dan kelompok. Manusia menguasai alam secara rasional.
=+=

Penyekat Bab IV

TIK: Pada akhir pertemuan ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan


pendekatan estetika barat dan estetika timur yang meliputi;
a. Estetika Barat
b. Estetika Timur yang membahas antara lain; abstraksi dan simbolik
sebagai realitas; ilmu dan kebidajaksanaan; kesatuan dengan alam; dan
harmoni.

Pokok Bahasan: Pemikiran Estetika Barat dan Timur

Deskripsi Singkat: Dalam pertemuan ini dibahas tentang Pemikiran Estetika


Barat dan Estetika Timur; (abstraksi dan simbolik sebagai realitas; ilmu dan
kebidajaksanaan; kesatuan dengan alam; dan harmoni). Pemahaman terhadap hal-
hal tersebut sebagai dasar untuk memahami materi berikutnya yaitu pemikiran
estetika di Indonesia.

Bahan Bacaan.
1. The Liang Gie, (1976), garis Besar Estetik (Filsafat Keindahan), Karya
Kencana, Yogyakarta.
2. Agus Sachari, (2002), Estetika; Makna, Simbol dan Daya. ITB Bandung.
3. The Liang Gie, (1976), Garis Besar Estetik (Filsafat Keindahan),
Yogyakarta: Penerbit Karya Yogyakarta.
4. Nyoman Kutha Ratna, (2006), Estetika Sastra dan Budaya. Pustaka
Pelajar.

=+=

BAB IV
ESTETIKA BARAT DAN ESTETIKA TIMUR

Pendahuluan
Estetika Barat, dan Estetika Timur dalam bab IV ini adalah tulisan Agus Sachari.
Kebudayaan Barat (kerap dianalogikan dengan unsur "rasionalitas") dan
Kebudayaan Timur (kerap dianalogikan dengan "suasana hati"). Secara historis,
penyadaran akan keindahan dalam peradaban Barat dimulai dari zaman Yunani.
Socrates, Plato, dan Aristoteles adalah tokoh-tokoh pemikir estetika pada masa
Yunani Kuno. Setelah itu terjadi lompatan yang sangat jauh mengenai
keberlanjutan pembicaraan estetika setelah Yunani Kuno. Adalah Leibniz,
Baumgarten, Emmanuel Kant, dan banyak lagi pemikir estetika yang lain di masa
post modern.
Di belahan Timur, terutama Asia, filsafat Budhisme telah terbangun menjadi
kedayaan tersendiri yang menekankan bahwa manusia telah mengalami
pencerahan di luar pendekatan rasional. Di dunia Timur, aspek "rasa", luar akal,
misteri, teka-teki, kekacauan, ketaklogisan, fantasi, dan sebagainya, diterima
sebagai suatu dunia yang berada "di atas" yang bersifat rasional. Pemikiran lain,
di belahan Timur yang amat berpengaruh selama berabad-abad adalah ajaran Zen,
di samping ajaran Budhisme. Ajaran Tao mengatur hidup batin manusia
sedemikian rupa sehingga mereka merasa senada dengan "musik" alam semesta.
Inilah yang dimaksud menjadi senada dengan "Tao". Pemahaman terhadap materi
ini merupakan salah satu jembatan untuk lebih dapat memahami materi berikutnya
yaitu pemikiran estetika di Indonesia.

Penyajian

1. Estetika Barat
Estetika Barat hakikatnya telah terbentuk sejak kebudayaan Yunani diakui
sebagai suatu peradaban manusia yang amat berpengaruh terhadap lahirnya
kesadaran-kesadaran akan keindahan. Istilah aistheton, aisthetica (Y) mengandung
pengertian sebagai suatu hal yang dapat dicerap oleh pancaindra. Kemudian
istilah aisthesis (Y) mengandung pengertian sebagai pencerapan indrawi.
Aesthetica (1) dipopulerkan oleh Alexander Gottlieb Baumgarten (1714-1762)
sebagai suatu kajian segala sesuatu yang berkaitan dengan keindahan. Kemudian
Leibniz (1646- 1716) mempopulerkannya untuk membedakan pengetahuan
intelektual dan pengetahuan yang bersifat indrawi.
Secara historis, penyadaran akan keindahan dalam peradaban Barat dimulai dari
zaman Yunani, yang diawali oleh dialog antara Socrates dan Hippias tentang
pelbagai pertanyaan keindahan. Dialog ini terkumpul dalam "Dialog Mayor
Hippias". Socrates bertanya tentang keindahan kepada muridnya (Hippias),
kemudian sang murid menjawab melalui tutur yang bijak (sebagai proses
perenungan terhadap obyek-obyek keindahan). Sebuah belanga dinilai indah
menurut Hippias, karena belanga itu dibuat oleh seorang ahli secara halus, bundar,
dan dibakar dengan pengapian yang sempurna. Keindahan belanga itu berbeda
dengan kecantikan seekor kuda atau seorang gadis yang bersifat alami. Dialog
antara keduanya saling bersambut dan melegenda. Dalam proses dialog tersebut,
Socrates selalu menggiringnya bahwa keindahan itu relatif terhadap yang lain, dan
keindahan yang mutlak adalah tetap buatan yang Maha kuasa. Socrates juga
menyatakan bahwa di balik semua benda yang indah, terdapat keindahan
terbangun oleh dirinya sendiri. Itulah keindahan yang benar-benar indah dalam
arti sesungguhnya.
Dalam kumpulan "Dialog Phaedo", Plato sebagai murid Socrates mengungkapkan
bahwa keindahan suatu obyek mulai disadari oleh manusia melalui adanya
keindahan "awal" (keindahan yang mula-mula). Kesadaran akan keindahan
"awal" inilah yang membangun suatu benda menjadi indah. Dalam "Dialog
Symposium", Plato berpendapat bahwa keindahan dapat diperoleh melalui
"cinta". "Cinta" adalah yang membangun keyakinan adanya keindahan yang ideal.
Untuk menyingkap keindahan ideal ini, manusia harus menjauhkan diri dari sikap
yang "salah" dan juga berupaya untuk mengosongkan pikiran, membersihkan
dosa, dan mengembalikan kesucian jiwa. Upaya kontemplatif yang dilakukan
Plato, merupakan upaya-upaya untuk memperoleh kebenaran yang sejati, yaitu
keindahan abadi. Gagasan Plato tentang keindahan merupakan keindahan ideal,
sampai abad ke-20 tetap menjadi wacana dalam kajian-kajian estetika di
lingkungan perguruan tinggi.
Selain Plato, penggagas estetika Yunani lainnya yang penting adalah Aristoteles,
yang beranggapan bahwa keindahan suatu benda hakikatnya tercermin dari
keteraturan, kerapihan, keterukuran, dan keagungan. Keindahan yang dicapai
adalah keserasian bentuk (wujud) yang setinggi-tingginya. Bagi Aristoteles, karya
seni dinilai memiliki nilai keindahan yang lebih dibandingkan keindahan yang
terjadi di alam, meskipun tidak tertutup terdapatnya karya seni yang lebih rendah
daripada alam. Konsep mimesis (peniruan alam) kemudian menjadi ciri utama
estetika Yunani dalam percaturan filsafat. Pendapat ini merupakan bias dalam
menafsirkan pendapat Aristoteles. Aristoteles justru menyatakan "tragedi" ketika
manusia harus meniru alam, atau meniru bentuk makhluk-makhluk di alam
("Puisi", pasal 15 dan pasal 2). Beberapa karya seni memang menunjukkan
"imitasi" alam yang membawa kebaikan, karena dibuat untuk memperbaiki
sesuatu yang dinilai buruk. Melalui seni, manusia harus mampu membuat sesuatu
menjadi lebih baik daripada yang sebenarnya. Menurut Aristoteles, ciri khas seni
adalah kemampuannya membedah alam dan mengupas esensinya. Seni adalah
karya cipta yang dibimbing oleh pikiran dalam arti yang sebenarnya, dan gagasan
Aristoteles ini dinilai sebagai gagasan estetika yang bernilai inspiratif dan
membumi dibandingkan estetika yang berorientasi pada kesadaran yang lebih
tinggi.
Plato beranggapan bahwa keindahan itu bersatu dalam pikiran, dan keindahan
secara hakikat lebih indah daripada kenyataan. Terdapat perbedaan yang
mendasar antara Plato dan Aristoteles dalam memandang keindahan. Plato
menilai keindahan ideal adalah yang selalu membawa pada keindahan yang tak
terbatas, sedangkan Aristoteles secara bijaksana mulai menawarkan simbol-
simbol keindahan yang dapat dijumpai pada pelbagai benda yang indah, karya
sastra yang mempesona, dan juga bangunan yang agung. Setelah beberapa puluh
dekade, para penganut Neoplatonis memandang keindaban sebagai sebuah forma
yang didasari oleh kesatuan, aspek simbolik, dan juga keseragaman (Plotinus,
dalam Enades J, surat 6, pasall ).
Setelah kejayaan peradaban Yunani, estetika Barat mengalami proses kegelapan
yang panjang seiring dengan kebudayaannya. Sedangkan di belahan lain,
berkembang kebudayaan Islam dengan pemahaman-pemahaman estetika yang
mengalami kemajuan-kemajuan penting dari pemikiran-pemikiran estetika zaman
Yunani. Beberapa abad kemudian, perkembangan ini kurang menjadi wacana
estetik dunia, karena peran tekstualisasi Barat yang sangat dominan dalam
hasanah intelektual.
Ketika kebudayaan Barat mengalami pencerahan, sejalan dengan reformasi dalam
bidang etika dan keagamaan, terdapat pula pencerahan di alam filsafat umum
yang dikenal sebagai Revolusi Kartesian dan Revolusi Kopernikan. Pemikiran-
pemikiran praksis estetika pun mengalami pergeseran-pergeseran penting,
terutama sejak ditemukannya teori perspektif dan pemahaman baru mengenai
ruang.
Pemikiran estetika klasik, terutama Leibniz dan Baumgarten kemudian menjadi
wacana penting di era pencerahan. Meskipun tidak sezaman, dua pemikiran tokoh
ini dinilai bertolak belakang. Hal itu dijembatani oleh Emmanuel Kant secara
lebih elegan, antara paham besar estetika Leibniz (simbolisme, vitalisme,
teleologisme) dan Baumgarten (estetika sebagai ilmu). Kant menawarkan agar
prinsip-prinsip estetika dapat dipahami sebagai ilmu pengetahuan yang
sebelumnya telah diupayakan oleh Baumgarten namun belum tuntas. Bousanquet
bahkan berpendapat bahwa Kant adalah tokoh yang mampu menempatkan logika
di dalam estetika dan menganalisis karya seni secara sangat ilmiah. Gagasan-
gagasan Kant ini diteruskan oleh para pengikutnya, antara lain Schiller, Schelling,
Hegel, Schopenhauer, dan lain-lain.
Setelah periode Kant, masa berikutnya dikenal sebagai era estetika positivis,
estetika yang berorientasi pada pendekatan-pendekatan keilmuan, di antaranya
Fechner, Souriau, Taine, Spencer, Chevreul, Toistoy, dan lain-lain. Di sisi lain
dalam wacana filsafat umum, berkembang pula paham positivis yang dipelopori
oleh Auguste Comte, Russel, Wittgenstein, Moore, dan sebagainya. Periode
estetika positivis ini merupakan bibit-bibit ke arah lahirnya pemikiran-pemikiran
estetika baru (Modernisme) di awal abad ke-20, yang menandakan Positivisme
mulai memasuki generasi yang lebih canggih dan kritis. Meskipun demikian, di
awal perjalanannya tidak luput dari kritik keras, seperti yang dilakukan oleh Read,
Ruskin, dan Nietzsche.
Pemikir Estetika Barat yang cukup berpengaruh di zamannya adalah Croee (1856-
1952), dianggap sebagai filsuf estetika terbesar di abad ke-20, serta dinilai oleh
pelbagai pengamat sebagai pengikut Kant, Hegel,Vieo, dan Marx yang setengah
hati. Namun demikian teori-teori estetika di abad ke-20 juga mengalami
pergeseran-pergeseran penting yang dipicu oleh praksis dalam berkesenian,
seperti yang dilakukan oleh kelompok Bauhaus (Nagy, Kadinsky, Mondrian,
Klee, Miro, dan lain-lain). Kemudian juga oleh kelompok Kubis (Picasso, Braque)
dan pelbagai gerakan seni radikal, seperti Avant Garde, Dada, Konstrukfisme, dan
seterusnya.
Berawal ketika Duckham menyajikan peturasan dalam pameran seni dan
mengalami pengesahan sebagai suatu karya seni modern di awal abad ke-20,
maka kisi-kisi teori estetika klasik mengalami "pengusangan". Demikian pula
ketika Braque, Picasso, Klee, Mondrian, Kadinsky, Miro, dan juga kaum Dada
merombak tatanan estetik dunia yang telah mantap seperti Romantisme dan Neo
Klasik, hingga di saat itu pula kajian-kajian estetika mengalami reorientasi
substansial, yaitu memandang karya seni bukan pada kecantikan dan
keindahannya, melainkan telah bergeser ke arah aksi, makna, dan tanda.
Teori-teori klasik segera ditinggalkan, terutama setelah pop-art memantapkan diri
sebagai aksi mental dalam berkesenian daripada sekadar menjadi komoditas kaum
borjuis yang selalu menggantung karya lukisannya sebagai pamor sosial. Ketika
mengamati Pollock, Lichenstein ataupun Jasper John, pengamat estetika klasik
cenderung memandangnya sebagai bagian dari proses pendangkalan budaya.
Padahal telah terjadi perubahan besar dalam tatanan sosial-budaya masyarakat
dunia, estetika pun mengalami proses perdebatan yang mengapresiasi kenyataan
itu sebagai suatu konsekuensi perubahan teori dalam memandang peradaban.
Dalam filsafat umum terdapat pula wacana yang penting dan langsung atau tak
langsung berpengaruh pada kajian estetika, seperti Eksistensialisme (Kierkegaard,
Jasper, Sartre, Camus), Fenomenologi (Hussrel), Strukturalisme (Levi Strauss),
Postrukturalisme (Derida, Lyotard, Baulldiard, Lacan).
Di sisi lain, dalam dunia desain, ketika Jencks mengumandangkan kematian
Modernisme di tahun 1974, tatkala dunia estetika mulai memantapkan diri
terhadap pengamatan bahasa estetis yang mengalami perubahan itu, maka teori-
teori estetika dan cara pandang para pelaku budaya mengalami pula tumpang-
tindih orientasi berpikir. Ketika itu, kajian-kajian semiotik dan semantik menjadi
kecenderungan baru dalam dunia filsafat strukturalisme, sehingga karya estetis
mengalami pertanyaan-pertanyaan baru, sebagai makna konotatif atau makna
denotatif. Estetika kemudian terjebak ke dalam lingkungan kebahasaan. Gerakan
posmodern yang dilakukan oleh Venturi, Philips Jhonson, Sosttsas, Charless
Moore, Jencks, dan lain-lain, dengan cepat mengubah wajah dunia praksis estetik
ke arah pergeseran konsep yang selaras dengan filsafat umum Postrukturalis dan
Dekonstruksi, yaitu memandang estetika dalam frame kebahasaan.
Di era Posmodern, estetika kembali menjadi bahan kupasan yang luas sebagai
bagian dari kajian filsafat nilai. Hal itu karena penampakkannya semakin teraga
dan sejalan pula dengan fenomena sosial yang tengah dihadapi pelbagai bangsa di
dunia. Tumbuhnya sub budaya baru yang meluas, serta spirit multikulturalisme
menjadikan runtuhnya sekat-sekat dalam wacana estetik, karena tidak ada lagi
Timur-Barat, Atas-Bawah, Lokal-Global, KontekstuaI-Universal, Makna-Instan,
Realitas-Simulasi, Kelembutan-Horor, ataupun Tradisional-Modern. Semuanya
masuk ke dalam percaturan Postrukturalisme. Dalam situasi tersebut, dunia
estetika kembali memposisikan diri dalam situasi "chaos" dan "anomali". Tidak
ada lagi nilai-nilai, makna, kebenaran, dan keindahan yang absolut. Estetika
mengalami kondisi kebuntuan paradigma, karena tatanan kebudayaan yang
bernilai telah mengalami perubahan yang substansial. Bingkai falsafahnya
mengalami 'retakan-retakan' yang kian membesar.
Para pelaku estetis dan pemikir estetika masa kini, secara tidak langsung telah
memberi "tanda budaya" dan menggiring kognisi sosial masyarakat ke arah dunia
yang retak-retak tersebut. Masyarakat tidak lagi peduli terhadap nilai-nilai,
norma-norma, kepatutan, kebaikan ataupun kearifan. Pelipatan dan percepatannya
berlangsung bertubi-tubi, terutama sejak media tayang elektronika mengalami
kemajuan, baik dalam gagas Iunak maupun operasional. Situasi tersebut
mempercepat proses keruntuhan nilai konvensionaI yang semakin mendasar
karena apa pun yang dilakukan untuk menggoncang peradaban dapat disahkan
sebagai karya estetik, seperti horor, teror, pornografi, pembajakan, despritualisasi,
dehumanisasi sampai demoralisasi. Dalam kondisi inilah estetika Barat dituntut
berdiri di depan untuk menuntun dunia seni agar tak terperosok semakin jauh ke
arah kegelapan.
Wacana utama estetika di era pramodern, modern, dan postmodern
Estetika Pramodern Estetika Modern Estetika Posmodern
Idealisme Rasionalisme Postrukturalisme
Mitologis Realisme Global-lokal
Mimesis Humanisme universal Intertekstual
Imitasi Simbolisme Pospositivisme
Katarsis Strukturalisme Hiperealitas
Transenden Semiotik Poskolonial
Estetika pencerahan Fenomenologi Oposisi Biner
Teleologisme Eko-estetik Dekonstruksi
Relatifisme Kompleksitas Pluralisme
Subjektifisme Etnosentris Lintas Budaya
Positivisme Budaya Komoditas Chaos

2. Estetika Timur
Dalam kajian geo-budaya, Indonesia kerap dikategorikan sebagai negara Timur
bersama dengan sebagian besar wilayah Asia Iainnya, sedangkan wilayah Eropa
(juga Amerika) kerap dikategorikan sebagai negara Barat. Konsekuensinya
terdapat pemisahan "semu" dengan margin yang tak pernah terdefinisikan dalam
tatanan kebudayaannya, sehingga masyarakat akademis kemudian mengenal
Kebudayaan Barat (kerap dianalogikan dengan unsur "rasionalitas") dan
Kebudayaan Timur (kerap dianalogikan dengan "suasana hati"). Dalam peradaban
dunia, dua kebudayaan ini selalu dipertentangkan. "Timur" dan "Barat" lebih
berupa perseteruan, persaingan, dan perang daripada saling mengerti, bersahabat,
dan bekerja sama. Bagi kebanyakan orang Timur, "Barat" selalu dihubungkan
dengan kapitalisme, teknologi, dan imperialisme. Bagi masyarakat Barat, "Timur"
selalu berkonotasi dengan negara-negara yang padat penduduk, serba miskin,
terbelakang, dan amat tradisional.
Terlepas adanya situasi "konflik" budaya antara Timur dan Barat, dalam paparan
ini perlu diuraikan tentang karakteristik nilai estetik Timur sebagai bahan
perbandingan. Terdapat kecenderungan pendapat bahwa dunia merasa "Timur"
lebih menekankan pada aspek intuisi daripada akal. Pada masyarakat "Timur",
pusat kepribadian seseorang bukanlah pada daya intelektualnya, melainkan ada
dalam hati, yang mempersatukan akal budi, intuisi, kecerdasan, dan perasaan.
Masyarakat Timur menghayati hidup dalam apa adanya, bukan semata akali.
"Hati" atau "rasa" dinilai sebagai pengganti logika kaku yang serba terbatas
menghadapi kebenaran hidup. Manusia Timur memiliki suatu bentuk pemikiran
berdasarkan intuisi, yang akrab, hangat, personal, dan biasanya memiliki
kedekatan dengan realitas yang hakiki.
Di belahan Timur, terutama Asia, filsafat Budhisme telah terbangun menjadi
kedayaan tersendiri yang menekankan bahwa manusia telah mengalami
pencerahan di luar pendekatan rasional. Manusia mengalami proses pengosongan,
penghampaan, peniadaan, untuk mencapai "kesadaran ontologis yang setinggi-
tingginya", "melihat ke dalam hakikat benda-benda", dan juga untuk "menyadari
diri yang benar". Hanya mereka yang telah melalui latihan moral mampu
mengembangkan kebajikan moral yang lebih tinggi, dan peningkatan konsentrasi
mental untuk mengembangkan pengetahuan yang lebih tinggi dan selanjutnya
mampu mencapai kebebasan.
Di dunia Timur, aspek "rasa", luar akal, misteri, teka-teki, kekacauan,
ketaklogisan, fantasi, dan sebagainya, diterima sebagai suatu dunia yang berada
"di atas" yang bersifat rasional. Masyarakat Timur adalah masyarakat yang hidup
dalam kebudayaan agraris yang senantiasa terbiasa dengan bahasa diam, tenang,
langit, musim, tanah, awan, dan bulan. Umumnya mereka mengalami betapa alam
menunjukkan diri dalam "diam", tetapi mengesankan. Dalam kesederhanaan
hidup, masyarakat Timur lebih melatih dengan perasaan daripada pikiran.
Perasaan lebih sulit diungkapkan lewat kata-kata, sehingga dihindari tingkah
banyak berbicara, tetapi lebih banyak "diam", lebih menggunakan tanda, sikap,
dan komunikasi. Budhisme Zen termasuk wujud "Timur" menyangsikan
kemampuan kata-kata.
Pemikiran lain, di belahan Timur yang amat berpengaruh selama berabad-abad
adalah ajaran Zen, di samping ajaran Budhisme. Ajaran Zen hakikatnya adalah
suatu pancaran langsung di luar kitab suci, tidak bergantung pada kata-kata dan
tulisan, langsung menuju ke hati, ke dalam hakikat sesuatu berupa:
a. Abstraksi dan Simbolik Sebagai Realitas
Dalam masyarakat Timur, sesuatu yang abstrak dan simbolik dianggap
sebagai suatu realitas. Cerita tentang mitos Nyi Roro Kidul, merupakan
sesuatu yang dianggap sebagai Ratu Kidul yang kongkrit. Secara berkala
masyarakat pantai selatan melakukan upacara dan persembahan. Keris,
bukanlah hanya sekadar senjata untuk bertempur, melainkan juga dianggap
sebagai suatu realitas simbolik benda yang memiliki kedayaan magis
sehingga pada hari-hari tertentu harus dimandikan dan diupacarakan.
b. Ilmu dan Kebijaksanaan
Di Timur, tujuan hidup pertama adalah menjadi bijaksana. Pengetahuan
intelektual saja tidak mampu membuat seseorang menghayati hidup lebih
baik, namun dianggap sebagai pemborosan waktu belaka. Menurut bangsa-
bangsa di Timur, hidup merupakan suatu "seni" yang sulit serta memerlukan
latihan dan refleksi sepanjang hidup. Sebuah pepatah Vietnam
mengungkapkan bahwa pertama sekali manusia harus belajar bagaimana
"membawakan diri"; setelah itu barulah belajar kesusastraan. Tagore
berpendapat ada nilai hidup yang tinggi dan untuk mencapainya manusia
membutuhkan perjuangan lebih daripada usaha seumur hidup di dalam
seluruh proses peradaban. Dalam konsep pendidikan Taman Siswa di
Indonesia, salah satu tujuan utama pendidikannya adalah membentuk manusia
yang berbudi luhur, baru kemudian menjadi manusia yang terampil.
c. Kesatuan Dengan Alam
Filsafat dasar Budhisme adalah wujud substansialitas dari segala yang ada.
Segala sesuatu yang ada dalam seluruh alam semesta, yang berjiwa ataupun
tidak justru sesungguhnya berasal dari "Yang Satu", "Yang Tak Dilahirkan",
"Yang Tak Diciptakan". Pencerahan dalam Budhisme adalah suatu keadaan
kesadaran kosmis ketika diri menyadari kesamaannya dengan diri universal:
"Engkau adalah Ini”. Segala yang ada mengambil bagian dari hidup yang
sama yang ada dalam Aku. Mereka merupakan diriku yang seluruhnya.
Totalitasku yang agung, tempat Aku datang dan ke mana Aku kembali kalau
nasib yang cuma sekejap ini berlalu. Aku ada di sini karena yang lain juga
ada ".
d. Harmoni
Harmoni dengan alam merupakan inspirasi utama Taoisme. Semangat Wu-
Wei menjadi selaras dengan "Tao", yang dianggap sebagai sumber segala
yang ada. Manifestasi agung dari "Tao"adalah alam semesta, setiap benda
mempunyai jalan, aturan, ritme, karena itu menjadi selaras dengan "Tao"
berarti menjadi harmoni dengan diri sendiri dan "segala sesuatu". Seni lukis
dan arsitektur dapat berbicara lantang mengenai semangat para Taois yang
harmonis dengan alam. Kuil-kuil dan rumah tidak didirikan terpisah dari
pemandangan alam, tetapi menempel di kaki bukit, di kaki pohon, dan
menyatu dengan lingkungan. Beberapa menara pagoda dengan atapnya yang
melengkung sangat harmonis dengan alam sekitar. Dalam seni lukis, subjek
yang paling disenangi ialah alam. Kata-kata "Cina" untuk lukisan
pemandangan tersusun dari dua akar kata, yaitu "gunung" dan "air". Gunung
mengesankan keluasan, kesunyian, dan stabilitas; dan Air mewujudkan
keluwesan, kesabaran, dan gerak terus-menerus.
Keindahan yang tidak dibuat-buat mendorong manusia bersikap sederhana dan
harmonis dalam hatinya. Jiwa yang penuh kecemasan, penuh nafsu, dan benci
merupakan nada-nada sumbang dalam simfoni universal itu. Para Taois mengatur
hidup batinnya sedemikian rupa sehingga mereka merasa senada dengan "musik"
alam semesta. Inilah yang dimaksud menjadi senada dengan "Tao". Kesatuan
dengan alam merupakan rahasia keseimbangan dan ketenteraman yang
dicerminkan dalam cara hidup orang Timur.
=+=
Penutup
Pada bab ini telah disampaikan masalah keindahan menurut para tokoh pemikir
estetika pada masa Yunani Kuno di antaranya Socrates, Plato, dan Aristoteles.
Setelah kejayaan peradaban Yunani Kuno, Estetika Barat mengalami proses
kegelapan yang panjang seiring dengan kebudayaannya. Sedangkan di belahan
lain, berkembang kebudayaan Islam dengan pemahaman-pemahaman estetika
yang mengalami kemajuan-kemajuan penting dari pemikiran-pemikiran estetika
zaman Yunani. Beberapa abad kemudian, perkembangan ini kurang menjadi
wacana estetik dunia, karena peran tekstualisasi Barat yang sangat dominan dalam
khasanah intelektual. Di era Posmodern, estetika kembali menjadi bahan kupasan
yang luas sebagai bagian dari kajian filsafat nilai. Hal itu karena penampakkannya
semakin teraga dan sejalan pula dengan fenomena sosial yang tengah dihadapi
pelbagai bangsa di dunia.
Dalam masyarakat Timur, sesuatu yang abstrak dan simbolik dianggap sebagai
suatu realitas. Di Timur, tujuan hidup pertama adalah menjadi bijaksana.
Pengetahuan intelektual saja tidak mampu membuat seseorang menghayati hidup
lebih baik, namun dianggap sebagai pemborosan waktu belaka. Filsafat dasar
Budhisme adalah wujud substansialitas dari segala yang ada. Harmoni dengan
alam merupakan inspirasi utama Taoisme. Semangat Wu-Wei menjadi selaras
dengan "Tao", yang dianggap sebagai sumber segala yang ada.
Dengan terselesaikannya materi pada bab ini (bab IV), maka tes formatif perlu
dilakukan. Tes ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah materi yang
disampaikan telah dapat dipahami oleh mahasiswa. Tugas yang segera dilakukan
oleh mahasiswa adalah pada akhir perkuliahan mahasiswa diminta membuat
rangkuman. Rangkuman yang dibuat mahasiswa sebagai umpan balik dan koreksi
kepada dosen pengampu matakuliah sekaligus untuk pembenahan materi di masa
mendatang. Penguasaan dan pemahaman terhadap materi yang telah disampaikan
(pemikiran estetika barat dan estetika timur) merupakan dasar untuk dapat
memahami materi berikutnya yaitu pemikiran estetika di Indonesia. Untuk
mengukur dan mengetahui penyerapan atau penguasaan bagi mahasiswa terhadap
materi yang telah disampaikan berikut disampaikan tes formatif yang wajib
dikerjakan oleh mahasiswa. Berikut beberapa contoh soal untuk dijawab oleh
mahasiswa.

Latihan Soal
1. Menurut Socrates keindahan itu relatif terhadap yang lain, dan keindahan
yang mutlak adalah tetap buatan yang Maha Kuasa, jelaskan tentang
keindahan menurut Socrates!
2. Sampai abad ke-20 gagasan Plato tentang keindahan masih menjadi wacana
kajian estetika, jelaskan gagasan keindahan menurut Plato tersebut!
3. Terdapat perbedaan mendasar tentang keindahan antara pemikiran Plato
dengan Aristoteles, jelaskan perbedaan pemikiran dimaksud!
4. Setelah peradaban Yunani mengalami proses kegelapan, di lain belahan
berkembang kebudayaan Islam, bagaimanakah pemikiran kebudayaan Islam
pada waktu itu, jelaskan!
5. Pemikiran Leibniz dan Baumgarten menjadi wacana penting pada era
pencerahan kebudayaan barat, jelaskan pemikiran-pemikiran kedua tokoh ini!
6. Estetika barat dan estetika timur dinilai tidak sejalan dalam arti berlawanan.
Bagaimanakah prinsip-prinsip estetika timur, jelaskan.
7. Dalam masyarakat timur, sesuatu yang abstrak dan simbolik dianggap sebagai
suatu realitas, berikan contoh pandangan yang demikian!
8. Dalam pandangan Taoisme harmoni merupakan inspirasi utamanya, apa
maksud dari pernyataan tersebut, jelaskan!
=+=

Rangkuman Bab IV

1. Estetika Barat dimulai pada zaman Yunani, adalah Socrates menyatakan


bahwa di balik semua benda yang indah, terdapat keindahan yang terbangun
oleh dirinya sendiri, itulah keindahan yang benar-benar indah dalam arti
sesungguhnya.
2. Aristoteles beranggapan bahwa keindahan suatu benda hakikatnya tercermin
dari keteraturan, kerapian, keterukuran, dan keagungan. Keindahan yang
dicapai adalah keserasian bentuk (wujud) yang setingi-tingginya
3. Menurut Plato upaya kontemplatif merupakan upaya untuk memperoleh
kebenaran sejati yaitu keindahan abadi. Gagasan Plato tentang keindahan
merupakan keindahan ideal, sampai abad ke-20 tetap menjadi wacana dalam
kajian-kajian estetika di lingkungan perguruan tinggi.
4. Terdapat perbedaan mendasar antara Plato dengan Aristoteles dalam
memandang keindahan. Plato menilai keindahan ideal adalah yang selalu
membawa pada keindahan yang tak terbatas, sedangkan Aristoteles secara
bijaksana mulai menawarkan simbol-simbol keindahan yang dapat dijumpai
pada pelbagai benda yang indah, karya sastra yang mempesona, dan juga
bangunan yang agung.
5. Setelah peradaban Yunani mengalami proses kegelapan yang panjang,
dibelahan lain berkembang kebudayaan Islam dengan pemahaman-
pemahaman estetika yang mengalami kemajuan penting dari pemikiran
estetika Yunani. Beberapa abad kemudian, perkembangan ini kurang menjadi
wacana estetik dunia, karena peran tekstualisasi barat yang sangat dominan
dalam khasanah intelektual.
6. Pemikiran estetika klasik, terutama Leibniz dan Baumgarten menjadai
wacana penting di era pencerahan, yaitu pemikiran Leibniz estetika sebagai
simbolisme, vitalisme, dan teleologisme, sedangkan pemikiran Baumgarten
estetika sebagai ilmu.
7. Setelah periode Kant, masa berikutnya dikenal sebagai era estetika positivis,
estetika yang berorientasi pada pendekatan-pendekatan keilmuan, tokohnya
antara lain Fechner, Souriau, Taine, Spencer, Chevruel, Toistoy dan lain-lain.
8. Di era postmodern, tumbuhnya sub budaya baru yang meluas, serta spirit
multikulturalisme menjadikan runtuhnya sekat-sekat dalam wacana estetik,
karena tidak ada lagi Timur-Barat, Atas-Bawah, Lokal-Global, Kontekstual-
Universal, Makna-Instan, Realitas-Simulasi, Kelembutan-Horor, ataupun
Tradisional-Modern. Semuanya masuk ke dalam percaturan Postrukturalisme.
9. Estetika timur cenderung lebih menekankan pada aspek intuisi dari pada akal.
Pada masyarakat timur, pusat kepribadian seseorang bukanlah pada daya
intelektualnya melainkan ada dalam hati, yang mempersatukan akal budi,
intuisi, kecerdasan, dan perasaan.
10. Estetika Timur sering mengacu pada fisafat Budhisme dan juga ajaran Zen
dimana hakikat sesuatu yang abstrak dan simbolik dianggap sebagai suatu
realitas. Dalam hakikat Ilmu dan kebijaksanaan, menurut bangsa-bangsa
timur, hidup merupakan suatu seni yang sulit serta memerlukan latihan dan
refleksi sepanjang hidup.
11. Dalam hakikat kesatuan dengan Alam, filsafat dasar Budhisme; segala
sesuatu yang ada dalam seluruh alam semesta, yang berjiwa ataupun tidak
justru sesungguhnya berasal dari “Yang Satu”, “Yang Tak Dilahirkan”,
“Yang Tak Diciptakan”. Harmoni dengan alam merupakan inspirasi utama
Taoisme; setiap benda mempunyai jalan, aturan, ritme, karena itu menjadi
selaras dengan “Tao” berarti menjadi harmoni dengan diri sendiri dan “segala
sesuatu”.
=+=

Penyekat Bab V

TIK: Pada akhir pertemuan ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan kajian
pemikiran estetika di Indonesia yang meliputi;
a. Keluhuran budi dan moralitas
b. Budaya yang hidup
c. Keindahan yang membumi
d. Historisitas
e. Mencumbui makna

Pokok Bahasan: Pemikiran Estetika di Indonesia.

Deskripsi Singkat: Dalam pertemuan ini dibahas tentang pemikiran estetika di


Indonesia yang meliputi; Keluhuran budi dan moralitas, Budaya yang hidup,
Keindahan yang membumi, Historisitas, Mencumbui makna. Pemahaman
terhadap hal-hal tersebut sebagai jembatan untuk memahami materi berikutnya
yaitu pemikiran estetika Jawa dan Seni Pertunjukan.
Bahan Bacaan.
1. Agus Sachari, (2002), Estetika; Makna, Simbol dan Daya. ITB Bandung.
2. Muji Sutrisno (1999), Kisi-Kisi Estetika. Kanisius. Yogyakarta.
3. Mudji Sutrisno, (2010), Ranah-ranah Estetika, Kanisius, Yogyakarta.
4. A.A. M. Djelantik (1999), Estetika Sebuah Pengantar. Masyarakat Seni
Pertunjukan Indonesia.
5. The Liang Gie, (1976), Garis Besar Estetik (Filsafat Keindahan),
Yogyakarta: Penerbit Karya Yogyakarta.

=+=
BAB V
PEMIKIRAN ESTETIKA DI INDONESIA

Pendahuluan
Pada bab V ini dipaparkan beberapa pemikiran estetika Indonesia yang ditulis
oleh para penulis Indonesia pula, dengan berbagai tema diantaranya 1) Keluhuran
Budi dan Moralitas, ditulis oleh; Ki Hajar Dewantara, Ki Suryomentaram,
Driyarkara; 2) Citra dan Orisinalitas, ditulis oleh; YB. Mangunwijaya, Achmad
Sadali; 3) Budaya yang Hidup, ditulis oleh; Sutan Takdir Alisyahbana, Dick
Hartoko, Umar Kayam; 4) Keindahan yang Membumi, ditulis oleh; S. Sudjojono,
Sanento Yuliman; 5) Historisitas, ditulis oleh; The Liang Gie, AAM. Djelantik;
dan 6) Mencumbui Makna, ditulis oleh; Mudji Sutrisno, Tommy F Awuy, dan
Amir Piliang. Ke-enam topik dengan bebeberapa penulisnya ini telah dirangkum
oleh Agus Sachari dalam bukunya yang berjudul “Estetika; Makna, Simbol, dan
Daya”. Secara lengkap rangkuman tersebut dipaparkan berikut ini.
Penyajian
Dalam wacana estetika di Indonesia, terdapat kecenderungan meminggirkan para
pemikir lokal. Hampir setiap kajian berkaitan dengan estetika dan kesenian, para
penulis cenderung mengutip pemikir-pemikir barat, memuja teori-teorinya dan
menjadi tolok ukur kebenaran. Hal itu telah berlangsung selama beberapa dekade
sehingga tidak terdapat ruang bagi pemikir bangsa Indonesia sendiri untuk eksis
dan menjadi rujukan penting dalam paparan kebudayaannya sendiri. Kondisi itu
terjadi pula di lingkungan perguruan tinggi, para penulis ataupun peneliti merasa
rendah diri jika tidak mengutip pemikiran tokoh estetik Barat. Demikian pula
dengan para pengajar dan mahasiswa, pemujaan terhadap gagasan-gagasan
pemikir Barat sangatlah besar dan terasa kurang mantap jika buku-buku bacaan
atau kupasan estetika tidak menyebut tokoh Plato, Munro, Beardsley, Popper,
Khun, Langer, Rader, Baulldiard, Adorno, Derida, Lacan, atau tokoh-tokoh
estetika Barat terkemuka lainnya.
Memang, sumbangan para pemikir Indonesia sendiri pada dunia estetika tidaklah
terlampau banyak dan teori-teorinya belum mendunia. Namun jika mata rantai
pemikir Indonesia ini dipotong atau ditiadakan, beberapa generasi mendatang
akan kehilangan rujukan penting bahwa di Indonesia pernah lahir para pemikir
yang gagasannya tak kalah menarik dan membumi dibanding dengan para
pemikir Barat.
Pemikir Indonesia terkemuka yang membahas estetika secara spesifik sangat
langka, terutama yang berhubungan dengan dunia kesenirupaan. Namun, upaya
itu dalam kondisi yang tidak lengkap tetap menjadi bagian penting. Untuk itu
penulis mencoba menyusun pemikir estetika tanah air, karena gagasan-
gagasannya banyak yang sejalan dengan kenyataan nilai-nilai estetik yang
tumbuh, meskipun banyak gagasan-gagasannya yang "melompat-Iompat".
Secara umum pemikiran estetik di Indonesia terbagi atas tiga kelompok besar,
yaitu pertama, pemikir yang menekankan aspek keluhuran budi dan moralitas;
kedua, pemikir yang mengutamakan citra dan orisinalitas, pemberadaban; dan
ketiga, mereka yang menempatkan estetika merupakan bagian dari makna. Dalam
hal-hal khusus, terdapat pula pemikir Indonesia yang mengetengahkan estetika
sebagai penyadaran relijius, yang kemudian berkembang menjadi estetika
keagamaan.
1. Keluhuran Budi dan Moralitas
Di Indonesia, nilai-nilai estetika klasik memiliki keterkaitan dengan kedalaman
rasa dan kehalusan budi, yang kemudian melahirkan kesantunan, kearifan,
kebahagiaan, kemaslahatan, dan juga kesusilaan yang dijunjung tinggi. Para
pemikir estetika yang menekankan keluhuran budi, selalu berkaitan dengan proses
pendidikan manusia untuk menjadi lebih baik daripada sebelumnya; melalui
proses penyadaran atau
proses pembelajaran. Karya estetis yang benar-benar indah hanya muncul dari
manusia yang memiliki keluhuran budi dan kehalusan rasa.
Penilaian indah atau tidaknya karya, bukan dilihat semata dari artifak yang
dihasilkan seperti halnya estetika Barat yang materialistis, namun pada perilaku
para penciptanya. Dalam kondisi tersebut, sebenarnya estetika yang tumbuh
bukanlah terbelakang dan tidak modern, namun bersifat "transendental" karena
ungkapan fisiknya tidak penting dan yang penting bagaimana imbasnya pada
pembentukan watak satu generasi yang memiliki karakter sensitif terhadap
keindahan yang utama.
Ki Hajar Dewantara (1889-1959)
Ki Hajar Dewantara yang bernama asli Raden Mas Soewardi Surjaningrat selain
dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional, juga merupakan figur yang
meletakkan dasar-dasar kebudian dalam penyelenggaraan pendidikannya. Hal itu
seiring dengan didirikannya Taman Siswa pada bulan Juli 1922 dengan nama
National Onderwijs Instituut Taman Siswa di Yogyakarta. Gagasan-gagasan Ki
Hajar Dewantara, memiliki sumbangan besar pada landasan filosofis nilai-nilai
estetik di Indonesia, terutama keberpihakannya pada nilai-nilai luhur teradat yang
harus menjadi landasan kebudian manusia Indonesia.
Ada lima ide pokok sebagai dasar berdirinya Taman Siswa seperti diucapkan oleh
Ki Hadjar Dewantara dalam pidatonya, yaitu:
1. Pendidikan generasi muda bukan hanya untuk mengembangkan jiwa
raga saja, tetapi juga mengembangkan kebudayaan nasional. Oleh
karena itu, cita-cita pendidikan nasional tetap harus berdasarkan adat
istiadat. Pendidikan, bagi murid Taman Siswa adalah suatu cara untuk
menerima warisan kebudayaan bangsa dari para leluhur.
2. Pendidikan Barat ternyata hanya merupakan alat kolonial untuk
mengisi tenaga perusahaan-perusahaan Belanda; pendidikan semacam
ini tidak bisa diharapkan untuk mengembangkan jiwa anak Indonesia.
3. Sistem Pendidikan Barat sedikit sekali sumbangannya terhadap
kemajuan solidaritas nasional. Oleh karena itu, bangsa Indonesia harus
mengembangkan pendidikan nasional sendiri agar dapat belajar dari
semangat kemerdekaan dan membentuk rasa solidaritas nasional.
4. Pendidikan nasional sebaiknya menekankan kepada pendidikan
asrama dan pondok pesantren.
5. Pendidikan nasional semacam ini, intinya sama dengan ide-ide
terakhir dari pendidikan ideal menurut Montessori atau Tagore yang
menekankan arti penting kebebasan bagi anak didik.
Gerakan Taman Siswa yang demikian justru mendapat simpati masyarakat Jawa.
Taman Siswa diterima bukan karena unsur kemodernannya, melainkan ide
pendidikan Jawanya yang menekankan aspek kehalusan: tidak tercemar, aman,
dan seimbang. Orang Jawa amat percaya pada kehalusan yang dipercaya sebagai
tanda adanya pusat kekuasaan. Ki Hadjar Dewantara pada tahun 1930
menerapkan
semboyan: (I) 'Lawan Sastra Ngesti Mulia' ('kecerdasan jiwa menuju ke arah
kesejahteraan'), (2) 'Suci Tata Ngesti Tunggal' ('kesucian dan ketertiban menuju
kesatuan'); (3) 'Tut Wuri Andayani' ('mengikuti di belakang sambil memberi
pengaruh'); (4) 'Kita berhamba kepada Sang Anak' ('ikhlas mengorbankan diri
bagi murid'); (5) 'Rawe-rawe rantas, Malang-malang putung' ('segalanya yang
menghalangi akan hancur'); dengan semboyan budaya Jawa itulah Taman Siswa
justru dapat melahirkan pemikir-pemikir rasionalis-modern seperti halnya:
Sukarno, Ali Sostroamijoyo, dan lain sebagainya. Hingga masa kemerdekaan,
Taman Siswa diakui sebagai dasar sistem pendidikan Indonesia, berlandaskan ide
Taman Siswa ini, setiap tanggal 2 Mei ditetapkan sebagai Hari Pendidikan
Nasional.
lde akan kehalusan dan keseimbangan itulah yang sebenarnya mendasari estetika
yang diharapkan terserap pada pribadi-pribadi anak didik untuk berbudi pekerti
dan juga keseimbangan antara keterampilan dengan kecerdasan. Konsep ini
mendasari pendidikan kesenian di tingkat menengah sampai perguruan tinggi
kesenian sejak masa-masa awal kemerdekaan, dan bahkan sebagian pendidikan
seni di era sekarang masih mengadopsi gagasan-gagasan Taman Siswa, untuk
menganut pola keseimbangan antara keterampilan dan intelektual. Pendidikan
model pawiyatan juga diadopsi sebagai model pendidikan sanggar-sanggar seni
yang marak pada tahun 50an-dan 60an. Itulah kedayaan nilai-nilai estetik dalam
kehidupan.
Runtuhnya nilai kebudian generasi diakhir abad ke-20 di Indonesia, disinyalir
karena pendidikan estetik di tingkat dasar tidak dijalankan dengan bersungguh-
sungguh. Nilai estetik dihancurkan kedayaannya melalui kehidupan yang semata
rasional dan berorientasi dunia. Dengan menyerap kembali ide dasar dari
pendidikan Taman Siswa, sistem pendidikan nasional anak bangsa mulai ditata
ulang sehingga keluhuran budi tetap merupakan unsur kunci dalam
penyelenggaraan pendidikan.
Ki Ageng Suryomentaram (1892-1962)
Ki Ageng Suryomentaram adalah putera Sri Sultan Hamengku Buwono VII, ia
dilahirkan pada tanggal 20 Mei 1892 dan meninggal pada tanggal 18 Maret 1962.
Ki Ageng Suryomentaram merupakan tokoh masyarakat Jawa yang buah
pikirannya dituangkan dalam bentuk wejangan. Beberapa di antaranya adalah
"Filsafat Rasa Hidup", "Rasa Bebas", "Ilmu Pendidikan dan Seni Suara".
Meskipun tidak secara langsung mengupas keindahan, namun gagasannya
tentang estetika menekankan agar mendidik manusia memiliki kepekaan dan
kesenangan pada barang-barang yang indah, serta mengerti semua barang yang
indah.
Filsafat keindahan Ki Ageng Suryomentaram bertitik tolak dari pendekatan
dikotomis antara yang indah dan yang kurang indah. Bunga yang indah, selain
indah dipandang mata juga nyaman dan mengeluarkan bebauan yang wangi.
Adapun buang angin, selain keluar dari lubang pembuangan, baunya juga busuk
sehingga dipandang dengan rasa kebencian. Tetapi, keduanya tetap dipandang
memiliki keindahan, yang pertama, bunga itu indah karena manusia memiliki
kesenangan untuk mencium bau yang harum, kedua buang angin dipandang juga
sebagai sesuatu yang indah, karena dalam diri manusia ada rasa benci dan biasa
mencela hal yang tak disenangi.
Bagi Ki Ageng Suryomentaram, kicauan burung di pagi hari terdengar sangat
indah dan suara petir dipandang juga sebagai suatu keindahan tersendiri. Pelangi
itu indah, dan awan gelap itu juga indah. Buah jambu yang manis indah dan buah
menteng yang masam itu juga indah. Daun pisang yang halus diraba itu indah,
tetapi lembar ampelas yang kasar juga indah.
Dalam memandang keindahan, manusia harus terbebas dari pikiran rasa senang
atau rasa benci, karena rasa semacam itu akan menutupi keindahan yang
sebetulnya. Bagi Ki Ageng Suryomentaram, segala sesuatu itu mengandung sifat
indah sesuai dengan makna, fungsi, dan keberadaannya. Segala sesuatu itu
menjadi buruk, karena dalam pikirannya manusia memandang segala sesuatu itu
dengan rasa kebencian. Bahkan gadis yang cantik pun menjadi buruk, ketika ia
berbuat asusila, suatu karya lukisan yang amat sempurna menjadi buruk, karena
kita iri hati melihat keberhasilan pelukisnya.
Di dalam mendidik, terutama untuk mengapresiasi karya-karya estetik, Ki Ageng
Suryomentaram menganjurkan agar apresiator harus terbebas dari rasa membenci
terhadap karya yang akan kita lihat. Prasangka buruk, rasa iri hati, rasa tidak
bahagia, rasa menganggu, rasa memusuhi terhadap objek estetik, akan
menyebabkan cara pandang kita juga terganggu. Karena objek estetik adalah
cermin dari diri kita sendiri, semakin besar nafsu kita mengkritik objek estetik
maka semakin besar pula kita melihat keindahan itu cacat.
Semuanya haruslah dilihat melalui cinta kasih yang mendalam, karena jika kita
memandang objek sebagai upaya untuk menunjukkan kepandaian, mengejar nilai,
mengharapkan pujian dan seterusnya, manusia sebenarnya telah kehilangan
makna hidup yang benar. Demikian pula dalam memandang keindahan, haruslah
berorientasi pada upaya melahirkan cinta dan membahagiakan semua orang,
sehingga keindahan itu akan tampak sebagai suatu kebenaran.
Bagi Ki Ageng Suryomentaram, kesenian adalah salah satu ekspresi batin dan
mempunyai dua bagian lahir dan batin." Dalam tingkat kemajuan yang dicapai
bangsa-bangsa, dunia dipererat oleh komunikasi antar budaya, filsafat, dan
kesenian antar bangsa yang saling berpengaruh. Hal tersebut menyebabkan
semakin meluasnya pandangan masyarakat terhadap kebudayaan bangsa sendiri
yang kemudian melahirkan kebudayaan batin dunia. Kebudayaan batin inilah
yang menjadi dasar kedayaan estetika dalam rohani manusia.
Gagasan-gagasan estetika Ki Ageng Suryomentaram hakikatnya menyadari akan
pentingnya spirit "global-Iokal", yang kemudian menjadi wacana kesenian
Indonesia di akhir abad ke-20, serta mengharapkan terjadinya kebudayaan batin
dunia yang dibentuk oleh kedayaan lokal setiap bangsa. Di samping itu, Ki Ageng
juga memiliki gagasan-gagasan yang lebih maju dizamannya; seperti halnya
gagasan nilai estetik modern yang tidak hanya berorientasi pada keindahan yang
"cantik", tetapi juga pada makna yang diakibatkan oleh suatu "ekspresi" yang
buruk, menakutkan, menjijikkan, amat dibenci, menciptakan kemarahan ataupun
serba tak nyaman.
Ki Ageng memandang hidup secara dingin penuh kepasrahan, semuanya dinilai
sebagai sebuah hikmah yang bermanfaat dan membahagiakan. Baik, indah, dan
buruk, tidak dipandang sebagai suatu hal yang negatif dan menyengsarakan.
Hidup dipandang sebagai suatu kebahagiaan apapun kondisinya. Demikian pula
estetika, kedayaannya terletak pada cara manusia memandang, sesuatu yang
cantik dapat pula menjadi amat buruk karena kita memandangnya dengan penuh
kebencian. Segala yang buruk akan terlihat indah ketika kita memandangnya
dengan kebahagiaan.
Driyarkara (1913-1967)
Driyarkara adalah seorang ahli filsafat yang lahir di Kedunggubah, Purwareja
pada tanggal 13 Juni 1913 dan meninggal pada tanggal 11 Februari 1967.
Driyarkara merupakan salah seorang pemikir yang langka, gagasan-gagasannya
melingkupi berbagai bidang, mulai dari pendidikan, kebudayaan, negara, agama,
dan juga estetika. Meskipun tidak ada bukunya yang secara khusus membahas
tentang keindahan, namun tulisan-tulisannya telah menyiratkan buah pikiran yang
berkaitan dengan manusia dan estetika.
Dalam rangkaian pandangan Driyarkara manusia bukanlah sosok mahluk yang
sekadar "berada di dalam dunia", melainkan mahluk yang menjadi satu dengan
dunia. Namun, manusia juga memiliki eksistensi karena itu manusia
mengaktivisasi, membentuk, dan membangun dunianya. Dengan demikian,
segalanya merupakan upaya untuk menjunjung alam jasmani ke dalam ketinggian
eksistensinya."
Driyarkara memandang bahwa penggabungan alam jasmani dalam "diri" manusia
memiliki beberapa karakter, yaitu sebagai (1) Mahluk ekonomi melalui upaya
untuk mengubah alam dan aneka barang menjadi sesuatu yang berguna bagi
kehidupannya. (2) Selain itu manusia juga merupakan mahluk yang
mengekspresikan diri dalam alam jasmaninya, untuk itu manusia menciptakan
berbagai karya kesenian, bangunan, kesusatraan bahkan bangunan-bangunan
peribadatan.
Dalam rangkaian manusia untuk menjasmani tersebut, terbangunlah kebudayaan
yang melahirkan dunia baru, yang kemudian disebut sebagai dunia ilmu
pengetahuan, adat istiadat, sistem sosial, dan sebagainya. Dalam opname
kejasmanian lebih Ianjut, manusia mulai membangun peradaban, untuk itu ia
mengubah alam menjadi sesuatu yang berguna dan bermartabat. Dalam rangkaian
untuk beradab inilah, manusia mencoba menggali alam dan membangunnya tidak
hanya sekadar bisa dipakai dan mencukupi kebutuhan fisik saja. Berdasarkan
tabiat ini, manusia kemudian menjadi mahluk yang tidak pernah puas, seperti
pakaian yang menutupi tubuh tidak sekadar terasa hangat, tetapi juga harus
memiliki fungsi lain, yaitu sebagai "hiasan". Manusia memiliki kebutuhan akan
keindahan sebagai
bagian dalam memenuhi eksistensinya, manusia mulai menyadari akan nilai-nilai
estetik dan cita rasa. Hal inilah yang membedakan manusia dengan binatang yang
dapat menerima makanan rumput tanpa variasi dan tanpa pengembangan seumur
hidupnya. Manusia ternyata tidak demikian, manusia memiliki rasa bosan, juga
berbagai keinginan dan menginginkan sesuatu yang lebih baik melalui usaha-
usaha yang dilakukannya sendiri. Upaya ini semakin hari semakin kompleks dan
semakin maju, situasi dan hasil yang dicapai kemudian disebut sebagai keadaban.
Dalam rangkaian itu pula, manusia tidaklah hanya sekadar menjadi mahluk
ekonomikus dan mahluk estetikus, namun telah hanyut ke dalam kenikmatan
jasmani, manusia menjadi memateri. Karena faktor-faktor kenyamanan yang
dibangunnya sendiri melalui modernisasi dan tawaran karya-karya estetis yang
menyenangkan, manusia menjadi amat mendunia, menjasmani, dan akhirnya
terjerumus. Dalam proses menjasmani tersebut, terjadi upaya-upaya untuk
menyempurnakan diri, baik sebagai rohani maupun membangun kejasmanian.
Gagasan-gagasan estetik Driyarkara, selalu bermula dari manusia sebagai pusat
pelaku yang biasanya berupaya untuk menjasmani atau menduniakan diri. Karya-
karya seni ataupun desain, dinilai sebagai upaya manusia untuk membangun
dunianya yang lebih baik, yang nyaman dan akhirnya tenggelam (fatalistik).
Dalam kondisi tersebut, Driyarkara merupakan figur filsuf yang terkontaminasi
oleh nilai-
nilai teosofik yang mengarah pada proses akhir yang amat pesimistis, yaitu
kehancuran. Namun, ia pun yakin bahwa proses perjalanan menuju
ketidakpastian dan kehancuran itu dapat ditunda, selama manusia menyadari akan
hal-hal yang berkaitan dengan kebaikan ataupun keadaban.
Bagi Driyarkara estetika dapat dipandang sebagai satu fenomena manusia untuk
meningkatkan kejasmaniannya, namun juga dapat dipandang sebagai sebuah
pilihan yang semakin menjerumuskan ke dalam kehidupan dunia. Dalam paparan-
paparan Driyarkara, tampak keyakinan daya estetik dapat pula "melupakan"
manusia karena keasyikannya mendunia, cinta dunia. Oleh karena itu, kedayaan
ini perlu perimbangan, agar manusia tidak terjerumus pada kenikmatan yang
membuatnya menjadi digjaya dan arogan terhadap dunia.
2. Citra dan Orisinalitas
Pemahaman mengenai dunia estetika tidak cukup hanya pada aspek bagaimana
menyadari keindahan, namun juga perlu ditingkatkan pada upaya-upaya
memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Ada butir-butir esensial
dalam estetika yang dapat mengangkat peradaban manusia, yaitu aspek pencitraan
yang dibangun oleh proses peragaan nilai-nilai estetik. Dalam karya yang
mengandung bobot estetis, di samping unsur simbolis (Langer), makna (Rader),
komunikasi (Adorno), kebudian (Ki Hajar Dewantara), jejak (Derida) atau tanda
(Eco), fungsi operasional (Sulivan), kebahagiaan (Ki Ageng Suryomentaram),
estetika juga membangun citra dan aspek orisinalitas.
Citra dapat membangun nilai-nilai estetis lebih bermakna untuk menjadi tanda-
tanda peradaban sebuah bangsa. Hal itu terbukti melalui tampilan citra yang
terdapat dalam candi Borobudur, menara Eifel, patung Liberty, piramida, menara
miring Pisa, lukisan Monalisa atau jembatan emas di New York, dapat
membangun dan mengukur peradaban sebuah bangsa pada kurun waktu tertentu.
Hancurnya gedung pencakar langit World Trade Center dan bangunan Pentagon
oleh para teroris pada tanggal 11 September 2001, merupakan bukti runtuhnya
sebuah citra, yaitu citra peradaban Amerika modern. Oleh karenanya harga diri
sebuah bangsa pun ikut dipertaruhkan sebagai bagian dari eksistensi citra yang
dibangun melalui simbol-simbol artifak.
Orisinalitas menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam mewujudkan nilai-nilai
estetik. Hal itu sebagai ukuran tingkat pendalaman proses penciptaan yang
dilakukan oleh seorang seniman atau desainer. Unsur kebaruan yang menyertai
orisinalitas suatu karya amatlah penting untuk membangun citra dan eksistensi
suatu nilai hadir di tengah-tengah kebudayaan. Karya Picasso, Klee, Miro,
Kadinsky, Polock, Lichenstein, Sottsas, Philipe Starck hingga Affandi, Popo
Iskandar, Srihadi, Jeihan, G. Sidharta, Tisna Sanjaya, Heri Dono dan sebagainya
dapat menonjol di masanya, bukan saja karena karyanya memiliki bobot, tetapi
juga karena aspek-aspek orisinalitas yang khas dan unik menyertai karya-karya
tersebut.
YB. Mangunwijaya (1929-1998)
YB. Mangunwijaya dikenal juga dengan nama Romo Mangun. Ia dilahirkan
dengan nama Yusuf Bilyarta Mangunwijaya di Ambarawa tanggal 6 Mei 1929
dan meninggal tanggal 10 Februari 1999. Dikenal sebagai arsitek, sastrawan, dan
pengamat masalah sosial di Indonesia. Selain sebagai pemikir masalah estetika,
Mangunwijaya dikenal sebagai arsitek yang amat peduli pada kehidupan rakyat
kecil. Di samping pemikirannya mengenai kegunaan suatu artifak (wastuwidya),
Romo Mangun juga memiliki gagasan-gagasan penting mengenai estetika, yang
secara khusus disebutnya sebagai "citra". Citra merupakan dimensi yang lebih
tinggi dibanding guna, dimensi ini bersumber pada jatidiri yang mendalam dan
berkualitas. Citra mewartakan mental dan jiwa para pemilik dan pembuatnya
sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa citra adalah sebuah pribadi
yang terwujud pada karya seni, arsitektur atau karya desain lainnya.
Seorang perancang mobil tidak mengalami kesulitan ketika merumuskan aspek-
aspek teknis kendaraan rancangannya. Namun, ketika harus merumuskan gaya
mobil yang sesuai dengan selera masyarakat, gaya mobil itu harus mengundang
imaji dan membangun citra masyarakat agar memiliki pasar yang tinggi.
Citra, menurut Romo Mangun juga berhubungan dengan gambaran (imaji) suatu
kesan penghayatan yang menangkap arti bagi seseorang. Citra berkaitan dengan
dunia spiritual manusia, juga menyangkut derajat dan martabat manusia sebagai
pemakai produk. OIeh karena itu, citra menunjukkan tingkat kebudayaan suatu
bangsa, dan juga lambang yang membahasakan segala hal yang manusiawi,
indah, dan agung.
Bagi manusia modern, tidak semua wujud artifak harus dihubungkan dengan
dunia mistik atau agama. Namun demikian, kemuliaan cara menangkap makna,
seperti halnya dalam kebudayaan kuno masih sangat relevan. Masalah arsitektur
dan karya seni lainnya, bukan hanya masalah teknis semata, bukan pula hanya
menyangkut masalah pragmatisnya saja, tetapi juga harus mampu menyentuh
dimensi yang telah disentuh oleh alam, seperti wujud keindahan ikan tropika,
bangunan rumah siput atau sejenisnya dan juga citra. Citra menunjuk kepada
sesuatu yang transeden, memberi makna, mampu melihat ke depan dan dapat
mengatasi hal-hal wadak materialistik. Arti, makna, kesejatian, citra, selain
mencakup estetika, juga mencakup kenalaran ekologis, karena mendambakan
sesuatu yang laras, yang bukan serba kebetulan, ataupun kesemrawutan,
melainkan suatu kosmos teratur dan harmonis.
Romo Mangun berkeyakinan bahwa sari arti estetis tidak dapat diserap dari kulit-
luar belaka, tetapi harus disuling dari pemahaman mendalam, tentang realitas
sebenarnya. Hal itu disebabkan keindahan hanyalah kecerlangan dari kebenaran.
Benar untuk saatnya, dan tempatnya yang tepat. Nilai estetis bersifat kontekstual,
yang selaras dengan peradaban yang tengah berlangsung.
Achmad Sadali (1924-1987)
Achmad Sadali, memang kurang begitu dikenal dalam dunia pemikiran seni
secara nasional, ia lebih dikenal sebagai seorang pelukis, pendidik, dan ulama.
Namun dari sejumlah tulisan yang ditinggalkan dan gagasan-gagasannya yang
dipaparkan dalam pelbagai kuliah filsafat seni, ceramah, dan seminar, telah
menyiratkan banyak hal penting yang dapat memperkaya khasanah pemikiran
estetika di Indonesia.
Gagasan-gagasan Sadali mengenai estetika berkembang sejalan dengan waktu,
namun yang penting adalah gagasan-gagasannya yang diadopsi dari kesadaran
religiusnya yang tinggi, terutama tentang gagasan manusia paripurna (ulil al-bab),
yaitu manusia yang menggunakan saran pokok sebaik-baiknya dan seimbang,
sinkron, dinamis dan tidak lepas dari rasa tanggungjawab terhadap Sang Maha
Pencipta."
Manusia paripurna itu dicirikan oleh (1) memiliki kemampuan menggunakan
sarana rasanya secara optimal melalui zikir setiap waktu dan setiap situasi. Sadali
menyebutnya sebagai realitas iman, yaitu kemampuan manusia yang paling
tinggi. (2) mereka yang mampu berpikir pada derajat yang tinggi meliputi langit
dan bumi dan seisinya, (3) mereka yang mampu berada dalam kondisi religius
dan keimanan melalui pernyataan bahwa tidak ada satupun ciptaan Allah yang
sia-sia bagi manusia. Semua itu diakhiri dengan doa memohon keselamatan
sebagai upaya pertanggungjawaban karena penghayatan iman yang memuncak."
Dalam figur pribadi seorang seniman, terdapat tiga lingkungan yang
melingkupinya yaitu, (1) lingkungan luar yang melingkupi kehidupan sosial
keseharian para seniman atau perancang yang menjadi sumber inspirasi atau
wahana yang membangun kebudayaan dalam arti luas; (2) lingkungan dalam,
yaitu lingkungan sekitar seniman hidup sehari-hari sebagai wahana kreatif sang
seniman dalam berkarya; (3) lingkungan dalam hakiki (intrinsic internal
environment) merupakan dunia batin terdalam yang dapat diandaikan sebagai
sebuah kerucut terbalik dengan puncaknya sebagai sesuatu yang terdalam.
Sadali dalam berbagai gagasannya secara berulang-ulang mengungkapkan bahwa
setinggi-tingginya pencapaian manusia adalah kemampuan untuk beriman dan
berada dalam wawasan keagamaan. Hal ini sejalan dengan penghayatannya
tentang tingkat kesufian yang dicapai dalam berkarya estetis. Namun demikian,
dalam mencapainya tetap diperlukan sarana, dan keterampilan yang memadai
sebagai suatu totalitas dari akal, rasa, dan iman.
Secara mendalam, Sadali mengungkapkan bahwa nilai estetik sebagai suatu
wujud karya budaya, tidak terlepas dari dua hal yang pokok, yaitu unsur
orisinalitas dan identitas, karena peniruan ataupun duplikasi amatlah tidak pantas
dalam dunia kesenian. Orisinalitas merupakan hal yang amat esensial dalam
proses kreasi, khususnya dalam dunia estetik, yang dibentuk oleh pandangan
terhadap dunia (vision of the world) yang unik dan pribadi. Orisinalitas dalam
berungkap estetik merupakan wujud keaslian dan menjadi rujukan utama suatu
karya seni itu berkualitas atau bernilai. Dalam rangkaian pembentukan
orisinalitas tersebut, skala dan rona kekaryaan yang luas akan membangun
identitas si seniman. Identitas digambarkan sebagai gejala yang ditimbulkan oleh
adanya interaksi antara pribadi seniman dan lingkungannya.
Identitas sendiri secara harfiah merupakan "ciri khas", yaitu tanda dari
kepribadian yang sangat pribadi yang tidak dimiliki oleh orang lain. Kepribadian
sendiri adalah jumlah keseluruhan watak sosial seseorang dan kualitas yang
memancar dari pribadi orang tersebut yang merupakan eksistensi kepribadian atau
kemudian dikenal sebagai identitas. Identitas yang bertanggungjawab adalah jika
pada sebuah karya estetik, penciptanya membubuhkan tanda tangan sebagai
wujud tanggung jawab terhadap karyanya.
Pandangan-pandangan Sadali mengenai estetika, selain kedalamannya terhadap
nilai-nilai keagamaan, juga tuntutan akan pertanggungjawaban melalui
orisinalitas dalam berkarya. Tanpa keduanya, karya seni yang dihasilkan tidak
memiliki makna dalam kenyataan hidup berbudaya. Dengan demikian, Sadali
sebagai praktisi seni dan pemikir estetika amat sadar akan daya pesona nilai-nilai
estetik, aspek
orisinalitas, identitas, dan dakwah.
3. Budaya yang Hidup
Kedayaan nilai estetik tidak cukup dilihat dari bagaimana nilai itu menjadi pesona
bagi dirinya, tetapi juga dapat dicermati dari proses membudayanya. Hal itu
membuktikan bahwa citra peradaban suatu bangsa lebih bisa diamati melalui
kualitas estetik artifak yang ditinggalkannya dibandingkan dengan skala waktu
dan pencapaian-pencapaian budaya yang sejalan. Nilai estetik sesaat yang
menyertai peradaban dapat dikategorikan kurang memiliki kedayaan yang tinggi,
namun nilai estetik yang membudaya dan berlangsung selama berabad-abad
membuktikan tingkat kedayaan dan kedigjayaannya dalam menghadapi waktu.
Sutan Takdir AIisyahbana (1908-1996)
Sutan Takdir Alisyahbana adalah seorang budayawan dan juga seorang sastrawan
yang mencetuskan Polemik Budaya pada tahun 1930an. Konsistensi
pemikirannya sejak muda hingga akhir usianya banyak mempengaruhi pemikir-
pemikir muda bangsa Indonesia. Di samping seorang budayawan, Takdir juga
seorang pemikir estetika yang mantap dalam memaparkan kedayaan nilai.
Menurut Takdir, berbicara tentang nilai estetik Indonesia dalam masyarakat dan
kebudayaan yang sedang tumbuh, tentu perlu mengkaji lebih dahulu tentang
perkembangan seni yang ada di Indonesia sejak dahulu. Takdir menilai sejarah
bangsa Indonesia yang panjang tak melahirkan agama-agama yang besar dan
mempengaruhi berbagai wilayah dunia yang luas. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa bangsa Indonesia hanyalah bangsa yang "menerima". Mula-
mula dari India dan kemudian dari jazirah Arab. Demikian pula bangsa Indonesia
tidak menyumbangkan filsafat yang mendalam sehingga mempengaruhi sejarah
dunia, atau berpengaruh terhadap timbulnya ilmu pengetahuan baru."
Lain halnya kesenian Indonesia yang hakikatnya merupakan suatu tipe
kebudayaan "artistik". Dalam kehidupan kebudayaan Indonesia, nilai seni bukan
saja dapat mencapai perkembangan yang menghasilkan ciptaan seni, bahkan
"logika seni" juga menguasai lapangan kebudayaan yang lain: kehidupan politik,
ekonomi, kemasyarakatan, dan teristimewa kehidupan agama. Takdir amat yakin
dengan daya estetis yang mampu memberi eksistensi penting dalam kebudayaan
nasional, tatkala di sektor lain bangsa Indonesia sebenarnya tak menyumbangkan
apa-apa. Takdir menilai sifat kesenian Indonesia yang dibentuk oleh alam dan
lingkungan kebudayaan yang berbeda-beda itu amat beragam. Sifat kesenian
tradisional Indonesia telah mencapai suatu tingkat keindahan yang susah dicari
tandingannya, sebagai contoh adalah kesenian yang lahir dari kebudayaan Bali
dan kebudayaan Jawa. Kecenderungan dan kecakapan kesenian ini di pulau Jawa
menumbuhkan suatu kebudayaan estetik yang berbeda jauh sekali daripada di
Bali. Seperti dikatakannya, di pulau Bali kegembiraan melalui kesenian dan
kecakapan terjadi merata di dalam masyarakat; kesenian Bali merupakan kesenian
rakyat banyak. Seniman rakyat, banyak terdapat di desa-desa, sebaliknya di pulau
Jawa kesenian itu menjadi kesenian suatu golongan kecil, suatu kelompok elite di
sekitar istana. Baru setelah kurun waktu yang panjang, kesenian itu tumbuh di
dalam masyarakat.
Takdir memiliki penilaian bahwa pada kenyataannya nilai-nilai estetik yang
berada di masyarakat terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu nilai-nilai estetik
kerakyatan dan nilai-nilai estetik para elite. Model dikotomis seperti yang
diutarakan Takdir, umumnya tumbuh di kalangan perguruan tinggi seni yang
membedakan antara nilai estetik rakyat (tradisi, otodidak, massal) dengan nilai
estetik yang berkembang di lingkungan dunia akademis (elite, akademis,
eksklusif). Namun demikian, dua fenomena itu tetap menunjukkan ciri adanya
kedayaan yang penting dalam kebudayaan masyarakat.
Takdir mengemukakan secara agak satire bahwa kebudayaan Indonesia umumnya
tidak dilandasi oleh rasionalitas ilmu pengetahuan yang mengakar. Kebudayaan
Indonesia terlalu dikuasai oleh "perasaan". Suatu kebudayaan yang dikuasai oleh
"perasaan" mempunyai ciri sendiri. Pertama dalam kebudayaan yang dikuasai
oleh seni, kontaminasi ilmu yang rasional semata-mata dianggap sebagai sumber
nilai yang kering. Nilai-nilai estetik yang tumbuh pun semata karena kehidupan
fantasi dan perasaan yang berlimpah-limpah. Demikian juga ekonomi tak dapat
berkembang karena pengetahuan alam tidak penting, sedangkan hukum efisiensi
tentang waktu, bahan, dan tenaga untuk mendapat manfaat sebesar-besarnya
sangat bertentangan dengan intuisi dan ekspresi berkesenian.
Kedua, kebudayaan yang dikuasai oleh nilai ilmu dan nilai ekonomi, oleh Takdir
dinamakan kebudayaan progresif atau kebudayaan kemajuan. Hal ini berbeda
dengan kebudayaan yang dikuasai oleh nilai agama dan nilai seni. Kebudayaan
yang dikuasai oleh perasaan dan fantasi ini kemajuannya sangat lambat. Oleh
karena itu, dalam agama maupun seni, ekspresi mempunyai kedudukan yang
penting. Kebudayaan yang dikuasai oleh nilai agama dan seni, oleh Takdir
kemudian diberi nama kebudayaan ekspresif.
Bagi Takdir, kebudayaan yang berlandaskan "budaya rasa" akan segera tertinggal
dari bangsa-bangsa lain. Jika "budaya rasa" dalam diri masyarakat telah menjadi
mentalitas, untuk menjadi bangsa yang modern, masyarakat Indonesia harus
mengubahnya menjadi "bermentalitas" keilmuan dan ekonomi. Pandangan-
pandangan Takdir ini, di era tahun 70-an merupakan pandangan yang sangat
radikal dan tidak populer di kalangan para pelaku kesenian.
Bagi Takdir, di era modern, kesenian yang memiliki nilai estetik tinggi, jatuh
menjadi alat hiburan serta menjadi barang dagangan yang mempunyai nilai
ekonomi. Hal ini semakin lama makin kuat menguasai kehidupan kesenian di
Indonesia. Kebudayaan adati yang diwariskan secara turun-temurun semakin
berkurang diganti oleh kebudayaan modern. Kedayaan fungsi estetik mengalami
pergeseran substansial, ketika manusia mengabaikan rasionalitas dan ilmu
pengetahuan.
Takdir telah mengamati secara jauh bahwa meskipun nilai-nilai estetik telah
banyak terkontaminasi oleh tindakan praktis dan ekonomis, namun kenyataan itu
harus dihadapi melalui pendalaman ilmu seni dan juga pandangan ke depan untuk
segera memperdalam dasar-dasar keilmuannya. Di lain pihak, secara dikotomis,
Takdir tetap menilai bahwa nilai-nilai estetik dalam karya seni tetap memerlukan
identitas dan kreativitas manusia pembuatnya. Identitas diperlukan dalam rangka
membangun keberadaan sebuah bangsa di tengah-tengah kebudayaan dunia.
Takdir tetap konsisten dengan pendapatnya bahwa mentalitas "artistik"
merupakan penghambat bangsa Indonesia meraih kemajuan yang lebih tinggi.
Tentu yang dimaksud Takdir adalah mentalitas "artistik" yang kurang positif
dalam merespons peradaban modern.
Namun demikian, Takdir masih percaya bahwa nilai-nilai estetik memiliki
kedayaan. Dalam menghadapi dunia yang semakin modern itu, tingkat
kedayaannya harus ditambah melalui asimilasi dengan ilmu pengetahuan dan
pertimbangan ekonomi sehingga nilai estetik di masa yang akan datang tetap
memiliki peran yang penting dalam peradaban bangsa.
Dick Hartoko (1924-2001)
Dick Hartoko dikenal sebagai pemikir kebudayaan dan filsafat yang
mengeluarkan banyak buku hingga saat-saat terakhir hidupnya. Seraya mengutip
pendapat Immanuel Kant seorang filsuf diabad ke-18 dalam buku "Seni dan
Manusia" menyatakan bahwa ilmu pengetahuan alam terbatas menggarap pada
kulit kenyataan atau gejala-gejala saja (fenomena), sedangkan melalui
pengalaman keindahan (pengalaman estetik) serta pemahaman tentang baik dan
buruk (pengalaman moral), manusia mampu menerobos "kulit" gejala-gejala itu
dan menuju pada hakikat kenyataan.
Pengalaman estetik tidak sekadar hanya memenuhi keingintahuan seseorang
(kognitif), tetapi juga mengikutsertakan daya-daya lain dalam diri manusia,
seperti kemauan, daya penilaian, emosi, dan keseluruhan diri manusia itu sendiri.
Selain itu yang terpenting dalam memperoleh pengalaman estetik adalah
mempertahankan penilaian estetik.
Bagi Dick Hartoko, pengalaman estetik ini penting untuk memahami keindahan
karena pada saat itu dalam diri manusia timbul perasaan tenang, tenteram,
terpesona, kagum, terpukau, merasa kecil namun juga merasakan keselarasan dan
keharmonisan dengan lingkungan sekitar. Kontemplasi seperti ini umumnya
hampir terjadi pada setiap orang, namun demikian objek estetik yang menggugah
setiap individu itu tentu amat berbeda-beda tergantung pada daya apresiasi dan
pengalaman memahami fenomena estetik.
Lenyapnya perbedaan antara subyek (aku) dan objek (karya seni), merupakan
satu fenomena yang diyakini. Dalam kesenian dan pengalaman estetik, unsur
kebudian setiap individu merupakan pemain yang utama, tetapi bukan budi yang
diskursif (nalar), melainkan budi yang bersifat intuitif sehingga terjadilah
semacam interpenetrasi (saling menerobos) antara alam dan karya seni dengan
manusia. Akibatnya manusia merasakan getaran keindahan itu.
Dick Hartoko menyarankan pentingnya pendekatan kritis dalam mengamati
karya seni yang dapat ditempuh menjadi empat jalur pendekatan, yaitu (1)
pendekatan mimetik melalui perhatian hubungan antara karya dan kenyataan; (2)
pendekatan ekspresif melalui pengamatan hubungan antara karya seni dengan
ungkapan perasaan penciptanya; (3) pendekatan struktural melalui pengamatan
struktur karya seni itu sendiri, baik dari gramatika, teknik, tata bahasa, kode, dan
seterusnya; (4) pendekatan semiotik melalui tanda, lambang, dan model
penafsiran oleh masyarakat.
Dalam mengamati seni modern, Dick Hartoko mulai menyadari bahwa kesenian
itu tidak semata indah yang dianalogikan pada keindahan alam, namun yang
terpenting adalah pesan yang terungkap karena melihat kegetiran dan penindasan
dalam kehidupan. Pandangan-pandangannya tentang the ultimate reality dalam
berkesenian tidak terjadi lagi dalam ekspresi kesenian modern yang banyak
bernuansa sosial daripada perenungan tentang keindahan alam. Dilain pihak, ia
pun telah menangkap pengalaman estetik sebagai pengalaman keagamaan, seperti
yang diamatinya melalui berbagai karya seni yang mengekspresikan keagungan
Ilahi dan karya seni yang berkaitan dengan upacara keagamaan.
Di sisi lain Dick Hartoko juga mengamati bahwa pengalaman estetis memiliki
kedayaan yang luar biasa dalam membentuk manusia modern. Melalui
pengalaman estetis tersebut manusia dapat terbuka matanya terhadap kenyataan,
bukan hanya kenyataan matematis, namun kenyataan "puitis", Kedayaan nilai
estetis diyakininya dapat berperan dalam pendidikan kreatif yang membentuk
masa depan. Aspek kehalusan budi harus tetap terbina saat masyarakat semakin
modern. Melalui pendidikan kebudian itulah manusia akan menyadari makna
nilai estetis, yaitu melihat sesuatu tidak secara jasmaniah, melainkan secara
batiniah. Eksistensi nilai estetis itu telah tertanam dalam diri manusia dalam
wujud yang sesuai dengan imaji-imaji, citra; mimpi, dan harapan dalam diri
setiap pribadi. Kedayaannya akan tumbuh dalam bentuk peningkatan apresiasi
dan pemahaman terhadap kenyataan.
Umar Kayam
Umar Kayam adalah guru besar Fakultas Sastra - Universitas Gajahmada,
dikenal sebagai budayawan dan cendekiawan. Di samping itu, dikenal juga
sebagai seorang novelis dan banyak gagasannya tentang estetika. Gagasan
Kayam tentang estetika umumnya ditempatkan di dalam konteks transformasi
budaya. Kajiannya dilakukan melalui pengamatan nilai-nilai estetik di wilayah
Asia Tenggara dan khususnya Indonesia, negara yang mengalami proses
kolonialisasi. Menurut Kayam, pembentukan nilai-nilai estetik di wilayah ini
merupakan pemilihan kembali warisan atau percobaan menemukan "bahan
pokok" baru yang disebutnya sebagai upaya "mencari kesepakatan idiom", dan
ini pulalah yang disebut sebagai "proses integrasi nasional".
Kayam mengamati bahwa proses ini tidak selalu merupakan proses yang lancar
bahkan seringkali lebih menyakitkan, karena kadang-kadang harus bertindak
"diskriminatif" menolak unsur yang dianggap usang dan hanya cocok untuk
lingkungan kultur yang sempit, serta menerima unsur yang dianggap lebih
langgeng dan lentur terhadap perkembangan-perkembangan.
Hal itu dapat diamati sebagai suatu kegelisahan dari suku bangsa atau ras tertentu,
karena harus menerima simbol nasional yang berasal dari wilayah-kultur tertentu,
seperti "kegelisahan ringan" suku-suku non-Jawa yang harus menerima simbol-
simbol nasional yang berasal dari suku Jawa. Kegelisahan itu di Asia Tenggara
tidaklah terlalu tampak, meskipun terdapat "disharmoni" yang pernah terlihat di
Malaysia pada bulan Mei 1969, pemberontakan PRRl di Indonesia, ketegangan
kesukuan di Thailand Selatan, juga di Mindanao-Philipina, di Birma Utara,
konflik di Aceh, konflik di Maluku, dan konflik etnis di Kalimantan Tengah,
menunjukkan bahaya laten dari kemungkinan ketegangan itu.
Nilai-nilai estetik tradisional yang tumbuh di wilayah Asia Tenggara umumnya
merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat agraris. Dengan demikian,
mengandung sifat-sifat khas masyarakat petani yang tradisional, secara umum
dicirikan oleh: pertama, nilai-nilai estetik yang memiliki jangkauan yang terbatas
pada lingkungan kultur yang menunjangnya. Kedua, nilai-nilai estetik yang
merupakan pencerminan dari satu kultur yang berkembang sangat perlahan,
karena dinamika masyarakat yang menunjangnya. Ketiga, nilai-nilai estetik yang
merupakan bagian dari satu "kosmos" kehidupan yang bulat yang tidak terbagi-
bagi dalam pengkotakan spesialisasi. Keempat, nilai-nilai estetik yang bukan
merupakan hasil kreativitas individu, tetapi tercipta secara anonim bersama
dengan sifat kolektivitas masyarakat yang menunjangnya.
Meskipun antara seni-tradisi-kerakyatan dan seni-tradisi-klasik terdapat semacam
proses pengembangan, namun pada dasarnya masih membagi sifat yang
mengandung kemiripan, pertama, masih merupakan "seni fungsional", yang satu
mengabdikan pada kosmos-nya (agraria), yang satu lagi mengabdikan pada
kepentingan "pusatnya" kosmos yang mencakup lingkungan yang lebih luas,
yakni sang raja. Kedua, karena dasar pertama tersebut, kedua bentuk seni itu
masih sama-sama "anonim" sifatnya. Tentu kraton Kediri mengenal penulis-
penulis Kerajaan Panuluh dan Sedah, Majapahit mengenal Tantular, dan
kemudian Surakarta mengenal Jasadipura dan Ranggawarsita; tetapi mereka lebih
sebagai "unsur-unsur" instrumental yang menerjemahkan kepentingan sang raja.
Karena itu pulalah penari keraton tidak dikenal, tapi biasanya "dimiliki" dan atas
nama sang raja sendiri. Dalam beberapa periode pemerintahan di Indonesia
fenomena yang sama masih tetap berlanjut. Ketiga, kedua seni tradisional itu
masih sama-sama merupakan bagian dari satu dunia-bulat yang tidak terbagi
dalam pengkotakan spesialisasi.
Seni yang dahulunya di desa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kebulatan
sang kosmos, sekarang di kota telah dipisahkan. Kecil harapan untuk menikmati
seni sebagai kesatuan komponen seperti pada pertunjukkan tari Kecak. Dalam
seni modem telah tumbuh tabir yang memisahkan seni dan si penikmat.
Kehidupan di kota yang serba cepat akan merampas "kemewahan" itu dan
masyarakat menikmati seni tidak dalam totalitas melainkan dalam "potongan-
potongan'. Perkembangan inilah yang mungkin dimaksudkan oleh pengamat seni
sebagai proses lahirnya kitsch dan "seni massa" atau "seni komersial".
Modernisasi menuntut hidup yang lugas (zakelijk), rasional, dan memandang jauh
ke depan dalam perkembangan. Modernisasi merobek-robek kosmos yang bulat
integral menjadi kotak-kotak pembagian kerja yang disebut spesialisasi dan
berbagai keahlian. Sebaliknya seni tradisional adalah bentuk seni dalam
kenikmatannya yang agraris dan feodal. Seni semacam itu tidak terlalu
berkepentingan dengan kecepatan waktu serta kecepatan perombakan, tetapi
mengabdi kepada harmoni serta keseimbangan abadi dari sang kosmos.
Kesenian wayang telah berkembang dalam tempo berabad-abad melewati
berbagai versi dan format, namun fungsinya sebagai alat komunikasi tetap dan
dipertahankan. Hal itu ditunjukkan oleh masuknya Mahabharata dan Ramayana
ke dalam wayang golek Sunda. Demikian juga cerita-cerita dinasti Kediri dan
cerita- cerita berkembangnya agama Islam yang masuk ke dalam seni
pewayangan.
Islam dikampanyekan di Jawa pada masa para wali melalui alat komunikasi
tradisional (wayang, gamelan, dendang, dan cerita) dan orang Jawa dapat
menerimanya. Berabad kemudian ditemukan kemungkinan untuk
"mengembangkan"-nya dengan unsur-unsur modern bahkan telah menjadi
tayangan televisi. Demikian pula musik gambang-kromong Jakarta lahir karena
bertemunya alat musik antar bangsa di Jakarta, yaitu "rebab Cina", "bondang
Thai", "kendang Sunda", "gambang Jawa" serta "trompet Belanda", telah
bercampur menjadi satu dan melahirkan satu seni musik, yaitu kesenian khas
Jakarta yang tidak terdapat di daerah lain.
Peranan nilai estetik tradisi dalam wacana modernisasi dapat dipahami sebagai
proses sintesa budaya yang harmonis. Di berbagai daerah Asia Tenggara pun
telah terjadi "dialog" - dan bukan "konfrontasi" - yang nampaknya dipilih sebagai
suatu "kawicaksanaan" (wisdom) utama, peranan seni tradisional itu akan
memiliki makna lebih pada kemampuannya, terutama untuk merangkum berbagai
unsur budaya.
Namun, Kayam memprihatinkan kondisi kesenian Indonesia terakhir ini. Terlihat
budaya tradisional sedang "dirobek-robek" oleh unsur-unsur pembaruan, seperti
halnya di Bali. Unsur-unsur baru itu adalah hadirnya raga kebudayaan Barat,
seperti hotel, restoran, toko, turis, lapangan terbang, dibarengi dengan manajemen
baru, pelayanan baru, dan unsur-unsur baru lain yang mengikutinya. Seni
kerajinan pahat, tarian serta musik tradisional yang semuanya merupakan bagian
fungsional tak terpisahkan dari kosmos, "terobek-robek" dalam unsur-unsur baru
itu. Seni bukan lagi merupakan "seni masyarakat", tapi menjadi "seni yang
dijajakan": seni komoditas.
Pandangan-pandangan Umar Kayam mengenai estetika merupakan satu sudut
pandang yang meyakini terdapatnya kedayaan sosial pada seni tradisi dan
komunitas seni yang sedang menghadapi perubahan. Masuknya budaya Barat ke
arah "kosmos" budaya tradisi, menyebabkan nilai-nilai estetik masyarakat
Indonesia akan semakin cepat mengalami mutasi, apakah ke arah peningkatan
nilai, atau justru sebaliknya menjadi dangkal. Kondisi ini oleh Umar Kayam tetap
dianggap sebagai suatu kenyataan yang tak terhindar untuk terjadinya proses
transformasi budaya sebuah peradaban, seperti halnya kebudayaan Jawa asli
berubah menjadi kebudayaan Jawa-Hindu-Budha beberapa abad yang lampau."
Hal itu secara ekstrim terjadi pula di lingkungan kebudayaan tradisi di berbagai
wilayah di Indonesia.
4. Keindahan yang Membumi
Kedayaan nilai-nilai estetik tidak hanya dapat diamati sebagai upaya manusia
untuk membangun citra ataupun kontemplasi terhadap kosmos, tetapi juga dapat
dipahami sebagai upaya manusia untuk membumi. Kepedulian terhadap
kenyataan yang terjadi di sekitar ataupun kepedulian kepada rakyat kecil,
merupakan wujud lain kedayaan nilai estetik untuk memahami dunia.
Sebenarnya amat langka kajian-kajian estetika yang mencoba melihat karya seni
dari sisi lain, yaitu sisi kedayaannya merekam dan mengekpresikan kegetiran
hidup. Estetika secara umum hanya mengkaji sisi-sisi keindahan romantis
ataupun kecantikan yang dibekukan dalam sebuah karya seni. Namun, S.
Sudjojono di samping sebagai praktisi seni juga bertindak sebagai pemikir seni,
mengamati estetika dari sudut yang lebih membumi dan kritis terhadap
kesahajaan. Meskipun dalam beberapa tulisannya terasa agak radikal dan penuh
jargon kebangsaan, tapi itulah kenyataan yang dihadapi.
Adapun Sanento melihat estetika sebagai suatu kontemplasi sosial, yang
memaparkan keindahan itu berdasarkan konteks dan posisinya dalam percaturan
kesenirupaan nasional yang lebih luas. Tulisannya "dingin", tapi juga tajam,
membedah estetika bagai seorang dokter mendiagnosa pasien objektif dan runtut,
untuk kemudian diberi resep.
S. Sudjojono (1913-1986)
S. Sudjojono, selain dikenal sebagai pelukis juga dikenal dengan konsep-konsep
estetikanya yang radikal. S. Sudjojono adalah salah seorang pendiri Persatuan
Ahli Gambar Indonesia (Persagi) dan pernah memperoleh penghargaan Anugerah
Seni pada tahun 1970. Pemikiran-pemikirannya terangkum dalam "Kesenian
Melukis di Indonesia, Sekarang dan Yang Akan Datang" (1939), "Seni lukis,
Kesenian dan Seniman" (1945), "Kami Tahu Kemana Seni Lukis Indonesia Akan
Kami Bawa" (1946).
Gagasan-gagasan estetika Sudjojono menyerukan pentingnya Nasionalisme,
meskipun pengungkapannya internasional (universal). Estetika kejuangan yang
tetap konsisten dipegang hingga akhir hayatnya memiliki analogi dengan estetika
Camus (memberontak) dan Freire (pembebasan). Untuk menjadi seorang
pengungkap nilai-nilai estetik dalam berkesenian yang terpenting adalah watak.
Watak haruslah menjadi dasar bagi para seniman, di samping juga kesadaran yang
tinggi melalui cinta kepada kebenaran.
Pengungkapan nilai-nilai estetis tidaklah dapat berdusta, seutuhnya jujur, karena
kejujuranlah nilai-nilai itu menjadi bermakna. Kejujuran kalbu dalam mengamati
lingkungan, baik lingkungan sosial maupun budaya akan menumbuhkan jiwa
kritis terhadap segala sesuatu. Itulah yang kemudian menjadi semangat
Nasionalisme. Melalui pengungkapan yang jujur, seorang seniman akan
mengungkapkan realitas yang sebenamya, baik kejelekannya ataupun
kebaikannya.
Sudjojono mengritik para seniman yang hanya berani mengungkapkan segala
sesuatu yang indah-indah, yang dikemas dalam estetik yang cantik dan
kesenangan dunia melalui gaya romantis. Seniman semacam itu dinilai sebagai
seniman yang telah kehilangan kemanusiaannya. Seniman jenis ini hanya
seniman yang sekadar mengisi waktu luang, dan tidak bernilai, karena
senimannya tak memiliki jiwa nasionalis.
Seorang seniman atau pelaku kesenian dalam mengekspresikan diri hakikatnya
merupakan wujud jiwanya sendiri, yang oleh Sudjojono disebutnya sebagai "jiwa
tampak" (jiwa ketok), kesenian adalah jiwa. Apapun yang menjadi objek lukisan
atau karya seninya merupakan ekspresi dari jiwa. Karya-karya seni yang
mengagumkan adalah karya seni yang mengekspresikan jiwa yang besar.
Sudjojono berkeyakinan bahwa jiwa yang besarlah yang dapat menciptakan
kesenian yang besar.
Konsep estetika Sudjojono tetap konsisten dengan jiwa kejuangan yang pada
masanya amatlah populer dan menjadi jargon politik nasional. Dalam pengamatan
lain Sudjono juga tetap peduli dan memiliki keberpihakan pada realitas hidup
rakyat sehari-hari yang terbelenggu oleh kemiskinan dan keterbelakangan. Dalam
situasi tersebut, nilai-nilai estetik haruslah membumi, berpihak kepada fenomena
masyarakat secara umum, dan bukan menjadi pelayan para penguasa atau
pengusaha.
Nilai-nilai estetika haruslah memasyarakat, berpihak kepada rakyat kebanyakan,
ikut dalam perjuangan bangsa dan kritis terhadap kekuasaan yang dinilai
menyimpang. Dengan demikian nilai-nilai estetik dalam kesenian akan memiliki
kedayaan sosial bagi bangsanya.
Sanento Yuliman (1936-1994)
Sanento dikenal sebagai kritikus seni rupa Indonesia dan juga pemikir estetika
terkemuka, selain itu juga sebagai tokoh kunci pembela "Gerakan Seni rupa
Baru". Dua bukunya yang penting adalah "Pengantar Senilukis Indonesia Baru"
dan "Dua Seni rupa". Gagasan-gagasannya yang konservatif dan "dingin" dalam
mengritik karya seni rupa Indonesia menunjukkan tingkat kematangan berpikir.
Upayanya untuk menghilangkan sekat-sekat dalam dunia estetik di Indonesia
tetap bertahan hingga akhir hayatnya. Bagi Sanento dalam menyimak karya seni
tidak terbatas kepada upaya memberi makna saja, melainkan juga memaparkan
tingkat kedayaan nilai estetik tersebut dalam wacana budaya masyarakat
Indonesia. Selain itu, menghilangkan sekat antara "seni rupa atas" dan "seni rupa
bawah" merupakan wajah kritis yang menempatkan pemberdayaan sebagai bagian
penting pemikirannya. Namun ketika telah sampai kepada substansi nilai estetis,
Sanento berupaya mengamatinya melalui pandangan strukturalis, yaitu
mendudukkan karya seni rupa sebagai bahasa rupa yang mengusung pula kode
dan tanda sosial.
Menurut Sanento, pengetahuan akan ragam kode dalam karya seni akan membuat
para pengamat semakin kaya batinnya dan mempertinggi mental apresiator
kepada tingkat pemahaman yang lebih tinggi. Bagi masyarakat seni rupa,
gagasan- gagasan Sanento selalu berorientasi kepada pembaharuan. Nilai-nilai
estetik diyakini memiliki kedayaan dalam proses pembaharuan itu. Sanento dalam
beberapa pembicarannya meyakinkan bahwa nilai pribadi merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dalam kegiatan kreatif para seniman, ungkapan "pribadi kreatif',
"seni sebagai ungkapan diri", "keaslian", "curahan perasaan pribadi", dan
sebagainya, menunjukkan nilai-nilai estetik sebenarnya memiliki kedayaan yang
penting untuk mengangkat pribadi senimannya.
Namun demikian, dalam menghadapi tata informasi dunia baru yang sarat dengan
kecanggihan komunikasi dan perangkat lunak, kondisi seni rupa Indonesia
mengalami serbuan yang amat besar dari seni rupa negara-negara maju di dunia.
Nilai-nilai estetik yang tumbuh tanpa konsep yang kuat memiliki kecenderungan
untuk luruh dalam halimun kebudayaan dunia yang semakin menguat itu.
Di sisi lain, Sanento juga mencoba menjembatani antara seni rupa elite ( high art)
dan desain (seni massal). Hal itu dapat dilihat melalui upayanya untuk
membentangkan cakrawala kesenirupaan pada lingkup yang lebih luas, yaitu ke
citra seni rupa yang merupakan bagian besar dari kebudayaan material seni yang
menempatkan seni rupa sebagai seni yang penting.
Pandangan-pandangan Sanento tentang estetika yang juga tak kalah penting
adalah kritik kepada masyarakat seni rupa sendiri yang masih memandang
estetika seperti seni abad pertengahan. Dalam situasi tersebut, estetika cenderung
dikembalikan kepada asal katanya, yaitu cerapan indrawi. Khusus untuk bidang
kesenirupaan, maka cerapan itu cenderung pada indra mata saja. Pada hal
fenomena kesenirupaan sebagai praksis telah berkembang sangat jauh. Salah satu
cabang seni rupa, yaitu desain interior, tidak hanya melibatkan indra penglihatan
saja, melainkan juga sentuhan dengan indra peraba, indra pendengar, indra tubuh,
indra pencium, dan seterusnya. Demikian pula dengan desain produk dan
kelompok desain yang lainnya.
Dalam konteks tersebut terdapat pertanyaan-pertanyaan mendasar pada diri
Sanento - khususnya dalam praksis dunia desain produk industri, estetika tidak
lagi hanya sebatas bagaimana suatu benda itu indah dan digemari konsumen,
tetapi penggandaannya yang besar sehingga berkonsekuensi pada sumber-sumber
alam, pencemaran lingkungan, degradasi kerja buruh, jurang antara kaya dan
miskin yang semuanya tetap merupakan tanggungjawab pelaku estetis.
Wilayah pengamatan Sanento dalam dunia kesenirupaan yang demikian luas,
sampai sekarang belum tergantikan oleh kritikus seni rupa lainnya. Namun dalam
seluruh pemikiran Sanento yang penting adalah upayanya menghilangkan
hierarki nilai estetik. Penghargaan kepada seniman tua dan seniman muda, bagi
Sanento tetap diletakkan dalam percaturan yang proporsional dan objektif.
Demikian pula penghargaan pada seniman maupun pendesain, didudukkan dalam
kesetaraan yang proporsional. Hal itu terlihat juga pada penghargaannya kepada
daya estetik tidak hanya semata berfungsi sebagai keindahan "romantis", namun
diletakkannya pada makna dan alternatif kreatif yang dihasilkan.
5. Historisitas
Dua tokob di bawah ini merupakan pemikir estetika melalui pendekatan historis,
berupa rekaman-rekaman perjalanan dunia estetika untuk kemudian disusun
benang merahnya. Dalam pemaparannya hampir tidak ada pendapat pribadi,
namun merujuk kepada fakta teks dari beberapa buku yang diamatinya. AAM
Djelantik, agak berbeda dengan The Liang Gie, karena dalam ulasannya masih
terdapat upaya memberi gagasan-gagasan baru dalam pengamatan estetika,
melalui pemaparan hubungan antara seniman-karya dan seni-apresiator. Namun
demikian, dengan membaca buku-bukunya kita akan memperoleh garis besar
wawasan sejarah estetika dari berbagai negara, khususnya kebudayaan Barat dari
masa Yunani hingga masa Modern.
The Liang Gie
The Liang Gie dikenal sebagai seorang pakar dibidang filsafat, tiga bukunya yang
membahas estetika, yaitu "Garis Besar Estetik", "Filsafat Keindahan", dan
"Filsafat Seni Sebuah Pengantar" merupakan buku yang selama ini dirujuk dalam
pembahasan filsafat seni di lingkungan akademik.
Dalam buku "Filsafat Seni", The Liang Gie mencoba memberikan paparan
tentang ragam keindahan, unsur keindahan, teori-teori keindahan, keindahan seni,
keindahan matematika, dan keindahan sebagai nilai manusiawi.
Menurut The Liang Gie, karya estetis adalah kumpulan segenap kegiatan budi
pikiran seorang seniman yang secara mahir mampu menciptakan suatu karya
sebagai pengungkapan perasaan manusia. Hasil ciptaan kegiatan itu adalah suatu
kebulatan organis dalam suatu bentuk tertentu dari unsur-unsur yang bersifat
ekspresif serta termuat dalam suatu medium inderawi.
The Liang Gie tidak banyak memberikan gagasan-gagasan estetika yang khas
dalam sejumlah buku yang diterbitkannya, namun cenderung memberi wawasan
ke arah pemahaman estetika Barat secara lebih lengkap apa adanya. Gie
merupakan figur "kamus" berjalan yang segalanya direkam dari puluhan buku
yang diterbitkan. Namun demikian, tokoh ini tidak dapat dilepas dari urutan
tokoh lain yang merintis dan memberi apresiasi tentang estetika dalam
masyarakat luas, sehingga buku-bukunya sampai sekarang tetap menjadi rujukan
bagi para mahasiswa yang mengambil mata kuliah filsafat seni dan estetika.
The Liang Gie membagi kajian estetika menjadi: Estetik Ilmiah (ilmu seni,
psikologi estetik, eksperimen estetik dan kritik seni), Nilai Estetis, Teori
Keindahan (teori objektif dan subyektif), Pengalaman Estetis, Filsafat Seni
(pengertian seni, penggolongan seni, susunan seni), Teori Seni (teori bentuk, teori
metafisika, teori psikologis, sifat dasar seni) dan Estetik Matematis (matematika
seni, perbandingan keemasan, ukuran estetis).
Gagasan yang terpenting The Liang Gie adalah kesadaran akan kedayaan estetika
sebagai upaya untuk mengangkat nilai kemanusiaan. Dengan demikian kehidupan
budaya ini dibawa ke arah nilai-nilai yang lebih manusiawi." The Liang Gie
berupaya mengkampanyekan estetika melalui penerbitan buku-buku yang
didistribusikannya seluas mungkin.
AAM Djelantik
Pandangan-pandangan estetika AAM Djelantik banyak tertuang dalam bukunya
"Estetika Sebuah Pengantar". Cara pandang Djelantik cenderung mengadopsi cara
pandang estetika klasik yang memandang estetika menjadi dua kelompok besar,
yaitu (1) keindahan alami seperti gunung, laut, pepohonan, binatang, bunga, dan
pemandangan alam lainnya; (2) keindahan yang dibuat oleh manusia, berupa
barang-barang untuk keperluan sehari-hari, khususnya kerajinan tangan.
Pengalaman estetic experience tercapai jika di dalam diri manusia terbangun rasa
puas, rasa senang, rasa aman, nyaman, dan bahagia. Dalam kondisi tertentu
manusia akan merasa terpaku, terharu, terpesona, dan timbul hasrat untuk
mengalami kembali pengalaman-pengalaman itu. Semuanya itu terjadi pada diri
manusia karena peran panca indera yang mampu menangkap rangsangan-
rangsangan tersebut untuk diteruskan ke dalam kalbu."
Dalam proses apresiasi karya estetis, Djelantik membagi menjadi tujuh bagian,
yaitu (1) Sensasi berupa rangsangan yang ditangkap oleh mata dan telinga yang
menghasilkan rasa enak atau tidak enak; (2) Persepsi berupa kesan terjadinya
proses asosiasi, komparasi, diferensiasi, analogi dan sintesa; (3) Impresi berupa
kesan yang berkembang menjadi keyakinan yang tertanam di dalam kesadaran
manusia; (4) Emosi berupa ketergugahan perasaan akibat mencerap objek estetik;
(5) Interpretasi berupa penafsiran-penafsiran yang dilakukan melalui olah pikir
tatkala menyadari adanya objek estetik; (6) Apresiasi berupa perenungan terhadap
segala sesuatu yang telah diapresiasi; (7) Penilaian (evaluasi) berupa hasil
apresiasi yang disampaikan secara lisan maupun tertulis.
AAM Djelantik membagi perkembangan estetika sebagai berikut: (1) Falsafah
Keindahan Masa Yunani; (2) Masa Abad Pertengahan dan Renesans; (3) Masa
Romantik; (4) Konsep Keindahan Abad XIX dan Keindahan setelah Kant; (5)
Estetika di abad XX. Djelantik juga memaparkan berbagai metode tentang
evaluasi karya seni dan metode kritik seni.
Melalui pemahaman nilai-nilai estetis tersebut, diharapkan terjadi proses
pemahaman terhadap estetika dan objek estetik secara runtut. Meskipun yang
digagas oleh Djelantik merupakan gagasan estetika konvensional, namun
beberapa pemikirannya menerawang ke depan dan konsisten untuk mengangkat
nilai-nilai estetika Timur, yang oleh beberapa pemikir lainnya kurang teramati.
6. Mencumbui Makna
Generasi baru pemikir estetika di Indonesia, umumnya mencermati estetika
secara kritis, selain itu banyak gagasan-gagasan baru yang diketengahkan sejalan
dengan wacana budaya Posmodern yang menjadi bagian dari bahan bacaannya.
Pengaruh pendidikan modern, yang sebagian diantaranya memperoleh pendidikan
di negara-negara Barat, sehingga memperoleh informasi mutakhir mengenai
orientasi pemikiran estetika di negara-negara ini.
Beberapa pemikir muda ini, sengaja dikemukakan hanya tiga orang, bukan berarti
yang lainnya kurang bermutu, namun karena ketiga pemikir ini gagasan-
gagasannya dibukukan serta menjadi pembahasan di kalangan pengkaji estetika di
perguruan tinggi seni. Para pemikir generasi baru ini mulai dipertimbangkan
gagasan-gagasannya, karena pemahamannya pada wacana estetika kontemporer
sejalan dengan praksis dalam berkesenian kaum seniman muda Indonesia. Di
antara ketiga pemikir estetika, yaitu Mudji, Awuy, dan Yasraf, maka Mudji-lah
yang masih berorientasi kepada pemikiran estetika klasik yang berkembang sejak
zaman Yunani, sedangkan Awuy dan Yasraf, telah jauh untuk "mencumbui"
makna di era Posmodern.
Mudji Sutrisno
Mudji Sutrisno dikenal sebagai pemikir filsafat yang konsisten, dua bukunya yang
penting dalam bidang estetika adalah Estetika Filsafat Keindahan (1993) dan Kisi
Kisi Estetika (1999). Menurut Mudji Sutrisno, pandangan fenomenologis setiap
pengalaman yang ada pada diri manusia selalu terjadi seperti sebuah "pengalaman
tentang sesuatu". Tetapi apa yang hendak diuraikan fenomenologi itu bukan
"sesuatu" itu, melainkan apa yang merupakan "inti" dari pengalaman tentang
sesuatu yang terjadi pada manusia. Dalam filsafat keindahan "pengalaman estetis"
merupakan pengalaman estetis tentang sesuatu; tak jarang para filsuf mengupas
gejala keindahan yang dalam haI ini langsung memeriksa "sesuatu" dalam rangka
keindahan.
Menurut Mudji, pengalaman estetis hakikatnya melibatkan pengamatan indrawi
yang sekaligus melibatkan seluruh unsur dalam "diri" manusia ikut terbawa oleh
pengamatan itu, jiwaraga, dengan segala indra dan kemampuan-kemampuan
Iainnya; bagaikan terikat dan terpikat hatinya. Dalam pengalaman tentang
keindahan (kedahsyatan) alam, maupun dalam pengalaman tentang keindahan
karya seni (lukisan, patung, musik, tarian, candi, karya sastra). Pengalaman
seperti itu "memakan waktu", atau "waktu berhenti", bagaikan manusia untuk
sementara waktu meninggalkan dunia sehari-hari ini. Dalam hal ini, terdapat
kemiripan dengan pengalaman religius.
Bila pengalaman seperti itu telah usai, manusia ingin sekali lagi seakan-akan
meraih kembali pengalaman yang sama, dengan atau tanpa perubahan/variasi
dibandingkan dengan yang lama. Unsur "pengulangan" yang tidak dialami
sebagai sesuatu yang membosankan termuat di dalam pengalaman estetis.
Seakan-akan yang sama itu tidak pernah dialami habis-habisan; namun tetap sama
juga. Dengan perkataan lain pengalaman estetis sejati yang mau dilakukan secara
berulang tidak bisa (tidak boleh) menjadi rutin; andai kata ini terjadi, maka ketika
ciri sejatinya telah hiIang: menjadi “kitsch”, tiruan, produk masal. Ciri ini pun
mirip dengan apa yang terdapat dalam pengalaman religius sejati, dan dapat
merosot juga menjadi kurang sejati."
Agar pengalaman estetis berkembang dalam diri manusia, perlu suatu sikap dalam
diri si pengamat, juga dalam diri seniman. Sikap ini adalah sikap estetis ("the
aesthetic attitude"), tetapi semuanya masih kabur, bila belum dapat dikatakan
objek khusus pengalaman estetis itu. Rumus Hospers (38) sebagai berikut:
"Aesthetic attention is directed to the phenomenal object - not to the physical
object" atau dengan perkataan lain: "our attention must be focused on the
perceived characteristics, not on the physical characteristic".
Objek estetis merupakan satu bagian integral dari pengalaman dan perhatian
estetis itu sendiri. Bila pengalaman itu tidak ada, objek fisik pun tidak lagi dapat
dikatakan objek pengalaman estetis, sedangkan pengalaman estetis memang
memegang peranan, tetapi bukan sebagai objek fisik melainkan sebagai yang ikut
menentukan "objek fenomenaI" itu (objek fisik bahkan ikut dipengaruhi juga oleh
objek fenomenal, meskipun bukan sebagai objek fisik yang bertahan dalam
bentuk yang sama). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perhatian estetis itu
diarahkan ke objek fenomenal tersebut, asalkan disadari pula bahwa objek
fenomenal itu sekaligus ditentukan bahkan diciptakan pada saat pengalaman
estetis muncul, bertahan, dan berkembang.
Mudji menilai titik pangkal pengalaman estetis terletak pada pengamatan indrawi,
sebagai perbedaan dasar sering digunakan istilah "higher senses"(yaitu
penglihatan dan pendengaran) dan "lower senses" (indra lain) (Hopers 39). Dan
memang kata "keindahan"dalam kehidupan sehari-hari biasanya dipakai untuk
sesuatu yang dapat kita lihat dan yang dapat kita dengar. Dari sudut filsafat
manusia, kekhususan itu dapat dibenarkan karena kedua indra itu memakai suatu
"jarak" agar dapat berfungsi; sebaliknya indra lain justru melekat pada "objek
fisik"nya, dan karena "higher senses" tersebut agak "berjarak" dengan objek
fisiknya, maka "objek fenomenal"nya dapat bersifat menyeluruh, yaitu
memandang dan mendengarkan tanpa dibatasi pada kesan atau rangsangan
indrawi - jasmani yang "kini dan di sini" ("hic et nunc") saja: Ada kelonggaran
bagi si subjek yang kurang terdapat dalam indra-indra lainnya.
Berdasarkan perbedaan tadi, dalam bidang kesenian ada "sensory arts"(yang
dibedakan lagi menjadi "visual arts" dan "auditory arts"), sedangkan di
sampingnya "small" (masih berjarak!), "taste" dan "touch" biasanya tidak
dianggap menimbulkan suatu pengalaman estetis, sedangkan harum dan rasa dari
suatu anggur yang baik ada miripnya dengan pengalaman estetis berdasarkan
karya seni rupa.
Dalam filsafat keindahan, pengamat akan melihat panjang lebar bahwa sering kali
masalah timbul, apakah keindahan itu merupakan suatu kesempurnaan yang sama
luasnya dengan luasnya keberadaan (transedental perfection), seperti halnya
kebaikan dan kebenaran (kesatuan atau keesaan). Dekat dengan permasalahan itu
ialah pertanyaan apakah wajar dan mungkin menyelidiki arti (taraf kebenaran)
dan nilai (mutu kebaikan) dalam pengalaman estetis, khususnya dalam karya seni.
Mudji mencoba mengamati letak pengalaman estetis melalui peninjauan terhadap
"batas ambang", yaitu ambang atau titik peralihan dari jasmani ke rohani atau
sebaliknya, serta ambang atau peralihan antara yang benar dan yang baik. Kedua
ambang itu dinilai sedikit yang terkatung-katung dan agak jarang terjadi atau
berhasil bahwa manusia berhenti di tempat ambang-ambang itu: bukan benar
(dalam arti sesungguhnya) dan bukan baik (dalam arti sesungguhnya), namun
sekaligus bagaikan manusia lebih memuaskan daripada dalam kegiatan yang
ditandai kebenaran dan kebaikan seakan-akan tujuan telah tercapai.
Pengalaman religius dalam beberapa gejala tampak mirip dengan pengalaman
estetis, namun memiliki perbedaan dalam suatu dorongan yang termuat dalam
pengalaman religius, yaitu ke arah yang transenden, yang tidak hanya imanen di
dalam pengalaman religius itu. Dalam pengalaman religius, unsur ekstasi
mengarah atau meloncat ke wilayah di seberang dunia ini.
Terdapat kesamaan pandangan antara Mudji Sutrisno dan Dick Hartoko bahwa
daya pengalaman estetis adalah kemampuan menembus kenyataan ke arah
pengalaman transendental. Nilai nilai estetis tidak hanya sebatas indra
penglihatan, tetapi telah menjadi rohani yang hidup dalam diri yang kemudian
menciptakan kenikmatan-kenikmatan dalam memahaminya. Mudji memang
bukan seorang seniman sehingga dalam bukunya terdapat kejanggalan-
kejanggalan penggunaan istilah ataupun pemahaman. Walaupun demikian,
pemikirannya tetap penting dalam wacana estetika Indonesia.
Tommy F Awuy
Tommy F Awuy adalah seorang sarjana filsafat yang gagasan-gagasannya amat
tajam dan cerdas dalam mengamati fenomena estetik. Awuy juga menjabat
sebagai Ketua Yayasan Lembaga Studi Filsafat, serta pemimpin Jurnal Filsafat.
Bukunya antara lain "Problem Filsafat Modern dan Dekonstruksi" (1993) serta
"Wacana Tragedi dan Dekonstruksi Kebudayaan "(1995).
Menurut Awuy, sejak peradaban dipenuhi oleh dialog-dialog filosofis, nuansa
ambiguitas seni tersibak secara transparan: inferior tapi juga unik, yang diikuti
oleh surutnya daya mistis-ritual di dalamnya. Seni kemudian tidak pernah
menjadi sebuah paradigma mayor yang dapat mengkonstalasi secara keseluruhan
unsur-unsur kehidupan. Namun, disadari atau tidak, seni selalu penting di dalam
kehidupan sehari-hari. Kalaupun tidak di dalam masyarakat, seni selalu eksis di
dalam setiap diri manusia individual.
Seni kerap dipahami sebagai sesuatu yang sukar disentuh atau diterjemahkan oleh
ketunggalan makna bahasa, dikarenakan lembutnya, tapi sewaktu-waktu mampu
melambungkan kita ke sebuah daratan yang lapang tanpa batas ruang dan waktu.
Para seniman, menurut Awuy, berhasil membawa seni itu menjadi unsur yang
sangat hakiki di dalam kehidupan manusia dan memang selayaknya menjadi
urusan
manusia bagi segala hal yang disebut kodrat kemanusiaannya. Karena itulah seni
Renesans disebut sebagai sebuah representasi dari benih yang demikian suburnya
bagi kelahiran seni humanistis dan manusia itu sendiri menjadi subyek sekaligus
objek seni.
Menurut Awuy, seni itu menyatakan kebenaran, bukan sekadar peniruan belaka
seperti di dalam pengertian Platonis. Seni bisa pula dianggap memiliki hubungan
identitas dengan kebenaran. Sejauh ini, masyarakat telah menelusuri seni yang
cukup panjang lewat doktrin-doktrin seperti mimesis, ekspresi, ideologis, maupun
seni sebagai penghayatan pengalaman subjektif.
Masyarakat masa kini sedang menyaksikan sebuah fenomena lain di dalam era
kontemporer, seni menjadi suatu unsur yang tidak terlepas dari unsur-unsur
lainnya, yang dapat didudukkan melalui sebuah mekanisme dari sarana-sarana
produksi, reproduksi, dan distribusi. Seni di dalam pengertian "elite" telah
berakhir pada karya-karya agung di dalam masanya, karena tidak dapat dielakkan
lagi di dalam era arus informasi terbuka ini, seni populer yang menggugat seni
elit atau seni tinggi (hight art) semakin merajalela.
Awuy mensinyalir bahwa seni populer didalam anggapan umum adalah seni yang
diperdagangkan. Seni tunduk di bawah arus industrialisasi dan komersialisasi.
Walaupun demikian, di dalam konteks historis, seni seperti ini justru memiliki
nilai khusus, terutama bagi kaum muda pada saat lahirnya sebuah "budaya
tanding" (counter-culture), yang melanda Amerika sekitar tiga puluh tahun yang
lalu. Di
dalam budaya tanding itu, kaum muda mencoba melawan kemana pun hidup
orang tuanya, dengan menelusuri jalur-jalur, seperti menjadi hippis, mencari
ekstasi melalui narkoba, atau menciptakan seni alternatif untuk menandingi seni
elite.
Perlawanan seni tersebut berusaha meruntuhkan dikotomi seni tinggi (elite) dan
seni populer. Kemudian dengan berkembangnya media, seperti televisi dan radio,
ikut melancarkan proses tejadinya "dunia baru" tersebut. Kaum muda berpesta
pora dengan dunianya. Musik blues, rock, atau apapun alirannya yang
dikategorikan sebagai musik pop menjadi sebuah realitas baru yang
menakjubkan. Penghayatan terhadapnya menjadikan Jimmy Hendrix, Janis
Joplin, Mick Jager, Michael Jackson Deep Purple dan The Beatles, menjadi hero
bagi kaum muda di dalam dunia mereka sendiri.
Berdasar paparan di atas, Awuy berkeyakinan bahwa kedayaan estetik suatu
karya seni tetap merupakan potensi yang besar dalam wacana kebudayaan. Seni
memiliki potensi yang setara dengan ekonomi, politik, teknologi bahkan agama.
Namun, yang menjadi kegelisahan Awuy adalah kondisi apresiasi estetik
masyarakat Indonesia sendiri dalam memahami dan menempatkan seni. Dalam
proses pembangunan yang dijalankan, potensi seni yang begitu besar itu
didominasi oleh wacana ekonomi, politik, dan teknologi. Seni Indonesia dalam
situasi yang kurang berdaya. Dengan hidup yang dipacu di dalam ruang efisiensi
ketat, seni mulai kehilangan maknanya, lalu mempengaruhi kedangkalan
apresiasi. Dengan pendirian bahwa seni merupakan sebuah potensi yang tidak
lepas dari unsur-unsur lainnya, inferioritas seni secara sadar atau tidak sadar lahir
dari ideologi pembangunan yang menjadi wacana masyarakat dan kekuasaan.
Inferioritas dan keunikan seni di Indonesia dengan kualitas apresiasinya, tidak
bisa lepas dari kekuasaan pemerintah jika dilihat secara nasional, terlebih daerah
(Bali termasuk pengecualian) yang selama ini termarjinalkan. Dari segi eksistensi
kehidupan sehari-hari, masyarakat memang masih berbicara soal keunikan seni
modern, karena melekat di dalam pribadi masing-masing yang mustahil
dibendung
atau didorong oleh kekuasaan lembaga apapun.
Sekalipun tidak menganggap bahwa seni itu merupakan unsur paling hakiki di
dalam diri manusia dan mampu mengendalikan totalitas kehidupan, tapi paling
tidak seni menurut Awuy, cukup dapat merancang wajah manusia menjadi lebih
manusiawi. Seni dapat menunjukkan jalan pada sebuah daratan keindahan,
kejujuran, dan kerendahan hati.
Kembali Awuy menekankan gambaran begitu dominannya ekonomi, politik, dan
teknologi, termasuk pengaruhnya yang besar terhadap kehidupan kesenian.
Hasilnya akan jelas, ekonomi hanya akan menciptakan manusia yang tinggi watak
kompetitifnya tapi rakus, politik hanya akan menciptakan manusia penindas, dan
teknologi hanya akan memunculkan manusia robot belaka. Oleh karena itu, bila
seni kehilangan keunikannya di sini, maka membicarakan soal manusia pun sama
halnya dengan menjaring angin. Dengan demikian, seni masa kini tidak lagi
menjadi bagian pasif dalam mengisi kebudayaan, melainkan harus proaktif dan
berdaya untuk mengimbangi percepatan dan dominasi ekonomi, politik, dan
teknologi.
Yasraf Amir Piliang
Yasraf Amir merupakan pemikir estetika generasi baru yang gagasan-gagasannya
terasa sangat radikal dibanding pemikir lainnya. Dalam beberapa bukunya antara
lain "Dunia yang Dilipat", “Hiper-Realitas Kebudayaan" dan "Dunia yang
Menakutkan", buah pemikirannya terangkum menjadi sebuah gagasan yang
mantap. Pemikir ini dikenal sebagai figur pemikir text-book yang amat memahami
fenomena estetika Barat, terutama era Posmodern.
Yasraf, mendudukkan estetika sebagai sebuah wacana yang mengalami
pergeseran penting sejak terbangunnya masyarakat pasca industri dan dari
kebudayaan modern bergeser menjadi kebudayaan posmodern. Objek estetik yang
sebelumnya selalu dikaitkan dengan fenomena modernisasi, pada masyarakat
sekarang, objek estetik didefinisikan kembali dengan kode-kode baru, dengan
bahasa estetik baru, dan dengan makna-makna baru.
Objek seni di dalam kebudayaan Posmodern merupakan bagian dari kebudayaan
materi masyarakat kapitalis/global mutakhir. Objek-Objek tersebut diproduksi dan
dikonsumsi untuk menjadi produk sosial yang dipergunakan untuk
mengkomunikasikan, menyampaikan makna-makna dan kepentingan sosial yang
berada di belakangnya. Salah satu faktor penting yang melatarbelakangi hal
tersebut adalah mereka yang disebut sebagai masyarakat konsumen. Seniman dan
seni di masa kini, akan terlibat dalam kancah diskursus konsumerisme, yang
melingkupi hal-hal yang berkaitan dengan "fashion", "keusangan terencana",
"koleksi", dan sebagainya.
Yasraf juga menilai bahwa praktik estetika di masa kini berbeda dengan praktik
estetika sebelumnya yang bersifat progresif, rasional, dan 'serius'. Kini praktik
estetika beralih kepada pendekatan-pendekatan baru yang bersifat eklektik,
irasional dan ironis. Estetika Posmodern dibaginya atas beberapa konsep
pendekatan, yaitu pastis (pastische), parodi, kitsch, camp, dan skizofrenia.
Konsep-konsep estetik tersebut secara luas telah digunakan sebagai model
pemuatan makna-makna (juga anti makna). Dengan mengadopsi sejumlah teori
dari para pemikir Posmodern, terutama Baudrillard, Barthes, Foucault, Habennas,
Lacan, dan sejumlah pemikir lainnya, Yasraf mencoba merumuskan paradigma
baru wacana estetika ke arah estetika hiper-realitas yang ditandai oleh lenyapnya
petanda, runtuhnya ideologi, dan bangkrutnya realitas itu sendiri.
Tanda tidak merepresentasikan sesuatu, karena petanda sudah mati oleh adanya
"ekivalensi" tanda dalam realitas atau substansi sosial nyata (kelompok ideologi,
kelas sosial, komunitas mitologis) yang juga sudah lenyap. Satu-satunya referensi
dari tanda yang ada adalah 'massa' sebagai mayoritas yang diam, yang tidak
merefleksikan aliran tanda dan informasi, kondisinya hanyalah menyerap dan
memamah biak tanda dan pesan itu.
Dunia hiper-realitas adalah dunia yang sarat oleh silih bergantinya reproduksi
objek. Subjek digiring ke dalam pengalaman ruang baur, serta leburnya realitas
dan fantasi, fiksi, halusinasi, dan nostalgia. Terbangunlah sebuah ruang besar
yang di dalamnya sarat dengan kejutan-kejutan dan variasi yang tak terduga, serta
secara perlahan dunia nyata mulai menghilang. Situasi tersebut merupakan
kontribusi estetik yang besar dalam memformat dunia menjadi sebuah wujud
dunia baru, dunia yang dilipat-lipat oleh citra dan visualisasi.
Yasraf amat menyadari bahwa dunia estetik memiliki kedayaan besar membentuk
dunia baru itu. Secara tidak langsung, ia pun menyatakan bahwa teori-teori
estetika klasik yang berisi romantisme keindahan telah runtuh, karena estetika
komoditas dan estetika digital kini mulai menjadi 'agama baru' di kalangan
masyarakat dunia. Meskipun masih menjaring makna, estetika konvensional
situasinya hampir-hampir tak berdaya. Demikian pula ketika Barat mentekstual
estetik Timur, kondisinya menjadi amat tragis. Namun, dengan kondisi tak
berdaya itulah, nilai-nilai kedayaannya menjadi penting dan jelas. Nilai-nilai
estetis dapat menjadi komoditas kebudayaan yang amat strategis, kedayaannya
dapat mengubah tatanan sosial dan menjungkir balikkan 'tanda-tanda peradaban'.
Yasraf menyerap pemikiran Baudrillard bahwa terdapat relasi pertandaan simulasi
dalam wacana seni dari pelbagai zaman. Pada zaman Pramodern, terdapat upaya
praksis dalam berkesenian melalui penggalian makna ideologis yang telah ada di
alam, sedangkan di era Modern terdapat upaya praksis untuk mengedepankan
fungsi dalam berbagai kegiatan desain maupun berkesenian berupa pencapaian
fungsional yang dapat diberikan oleh karya estetik tersebut. Pada era Posmodern
terdapat upaya untuk mengedepankan aspek-aspek "gelitikan" dalam berekspresi,
baik komedi, parodi, plesetan maupun keironisan makna, semuanya berupaya
melakukan permainan-permainan yang bebas dalam memberi tanda-tanda estetis.
=+=

Penutup
Pada bab V ini telah dipaparkan beberapa pemikiran Estetika Indonesia yang
berhubungan dengan 1) Keluhuran budi dan moralitas, ditulis oleh; Ki Hajar
Dewantara, Ki Ageng Suryomentaram, Driyarkara; 2) Citra dan Orisinalitas,
ditulis oleh; YB. Mangunwijaya, Achmad Sadali; 3) Budaya Yang Hidup, ditulis
oleh; Sutan Takdir Alisyahbana, Dick Hartoko, Umar Kayam; 4) Keindahan Yang
Membumi, ditulis oleh; S. Sudjojono, Sanento Yuliman; 5) Historisitas, ditulis
oleh; The Liang Gie, AAM. Djelantik; dan 6) Mencumbui Makna, ditulis oleh;
Mudji Sutrisno, Tommy F Awuy, dan Amir Piliang.
Untuk mengetahui sejauh mana pemahaman atau pengusaan materi yang telah
disampaikan, pada akhir perkuliahan mahasiswa diminta membuat rangkuman.
Melalui rangkuman yang dibuat oleh mahasiswa dosen juga mendapatkan umpan
balik materi yang telah disampaikan. Hasil rangkuman dari mahasiswa dapat
digunakan sebagai koreksi untuk pembenahan materi di masa mendatang.
Pemahaman estetika Indonesia ini sebagai salah satu pijakan dalam memahami
terhadap materi berikutnya yaitu estetika Jawa dan estetika seni pertunjukan
khususnya seni pedalangan dan seni tari. Untuk mengukur dan mendapatkan
gambaran mengenai penyerapan atau penguasaan materi bagi mahasiswa terhadap
materi yang sudah diberikan, berikut diberikan tes formatif yang wajib dijawab
oleh mahasiswa. Berikut beberapa contoh soal untuk dijawab oleh mahasiswa.

Latihan Soal
1. Karya estetis yang benar-benar indah hanya muncul dari manusia yang
memiliki keluhuran budi dan kehalusan rasa, jelaskan pernyataan tersebut!
2. Gagasan Ki Hajar Dewantara memiliki keberpihakan pada nilai-nilai luhur
teradat yang menjadi landasar kebudian manusia Indonesia, jelaskan gagasan-
gagasan dimaksud!
3. Menurut ki Ageng Suryamentaram filsafat keindahan bertitik tolak dari
pendekatan dikotomis antara indah dan yang kurang indah, jelaskan kedua
pendekatan dimaksud!
4. Menurut Driyarkara manusia tidaklah hanya sekedar menjadi makhluk
ekonomikus dan mahluk estetikus, namun telah hanyut ke dalam kenikmatan
jasmani, manusia menjadi memateri, jelaskan pernyataan tersebut!
5. Ada butir-butir esensial dalam estetika yang dapat mengangkat peradaban
manusia, yaitu aspek pencintraan yang dibangun oleh proses peragaan nilai-
nilai estetik, apa maksud dari pernyataan tersebut, jelaskan!
6. Citra menurut Romo Mangun berhubungan dengan gambaran (imaji) suatu
kesan penghayatan yang menangkap arti bagi seseorang. Jelaskan Citra
dimaksud menurut pendapat Romo Mangun!
7. Sadali mengungkapkan bahwa nilai estetik sebagai suatu wujud karya budaya
tidak terlepas dari dua hal pokok yaitu orisinalitas dan identitas, jelaskan
menurut pendapat Sadali tentang kedua hal tersebut (Orisinaliats dan
Identitas)!
8. Menurut Takdir Alisyahbana sifat kesenian Indonseia yang dibentuk oleh
alam dan lingkungan kebudayaan yang berbeda-beda itu amat beragam, oleh
sebab itu susah dicari tandingannya, mengapa demikian jelaskan menurut
pendapat Sutan Takdir Alisyahbana!
9. Menurut Dick Hartoko, ada empat pendekatan dalam mengamati karya seni,
jelaskan masing-masing pendekatan dimaksud!
10. Umar Kayam mengatakan bahwa nilai-nilai estetik tradisional di wilayah
Asia Tenggara umumnya merupakan bagian kebudayaan agraris, jelaskan
pernyataan tersebut menurut Umar Kayam!
11. Pengungkapan nilai-nilai estetis tidaklah dapat berdusta, seutuhnya jujur,
karena kejujuranlah nilai itu menjadi bermakna. Jelaskan pernyataan tersebut
menurut pendapat S. Sudjojono!
12. Menurut Sanento Yuliman, pengetahuan ragam kode dalam karya seni
membuat pengamat semakin kaya batinnya dan pemahaman yang lebih
tinggi. Jelaskan pernyataan tersebut!
13. Dalam proses apresiasi karya estetis Djelantik membagi tujuh bagian,
sebutkan ketujuh bagian dimaksud!
14. Mudji sutrisno mengatakan bahwa unsur “pengulangan” yang tidak dialami
sebagai sesuatu yang membosankan termuat di dalam pengalaman estetis,
berikan penjelasan terhadap pernyatan dimaksud!
15. Tommy Awuy mensinyalir bahwa seni popular di dalam anggapan umum
adalah seni yang diperdagangkan. Berikan penjelasan terhadap pernyataan
tersebut!
16. Yasraf Amir Piliang mendudukan estetika sebagai sebuah wacana yang
mengalami pergeseran secara terus menerus, mengapa demikian, Jelaskan!
=+=
Rangkuman Bab V

1. Para pemikir estetika yang menekankan keluhuran budi berpendapat bahwa:


karya estetis yang benar-benar indah hanya muncul dari manusia yang
memiliki keluhuran budi dan kehalusan rasa. Kedalaman rasa dan kehalusan
budi kemudian melahirkan kesantunan, kearifan, kebahagiaan, kemaslahatan,
dan juga kesusilaan yang dijunjung tinggi.
2. Ki Hajar Dewantara dengan gerakan taman siswanya diterima bukan karena
unsur kemodernannya, melainkan ide pendidikan Jawanya yang menekankan
aspek kehalusan: tidak tercemar, aman, dan seimbang. Ide akan kehalusan
dan keseimbangan itulah yang sebenarnya mendasari estetika yang
diharapkan terserap pada pribadi-rpibadi anak didik untuk berbudi pekerti dan
juga keseimbangan antara ketrampilan dengan kecerdasan.
3. Ki Ageng Suryomentaram menekankan agar mendidik manusia untuk
memiliki kepekaan dan kesenangan pada barang-barang yang indah, serta
mengerti semua barang yang indah. Dalam memandang keindahan, manusia
harus terbebas dari pikiran rasa senang atau rasa benci, karena rasa semacam
itu akan menutupi keindahan yang sebetulnya.
4. Driyarkara memandang bahwa manusia memiliki beberapa karakter yaitu
sebagai (1) Mahluk ekonomi melalui upaya untuk mengubah alam dan aneka
barang menjadi sesuatu yang berguna bagi kehidupan. (2) selain itu manusia
juga merupakan mahluk yang mengekspresikan diri dalam alam jasmani,
untuk itu manusia menciptakan berbagai karya kesenian, bangunan,
kesusasteraan bahkan bangunan-bangunan peribadatan. Manusia memiliki
kebutuhan akan keindahan sebagai bagian dalam memenuhi eksistensinya,
manusia mulai menyadari akan nilai-nilai estetika dan cita rasa.
5. Citra dapat membangun nilai-nilai estetis lebih bermakna untuk menjadi
tanda-tanda peradaban sebuah bangsa. Orisinalitas menjadi bagian yang tak
terpisahkan dalam mewujudkan nilai-nilai estetik. Hal ini sebagai ukuran
tingkat pendalaman proses penciptaan yang dilakukan oleh seorang seniman
atau desainer.
6. YB. Mangunwijaya atau dikenal Romo mangun, memiliki gagasan penting
mengenai estetika, yang secara khusus disebutnya sebagai “Citra”. Citra
merupakan dimensi yang lebih tinggi dibanding guna, Citra mewartakan
mental dan jiwa para pemiliknya dan pembuatnya sehingga dengan demikian
citra adalah sebuah pribadi yang terwujud pada karya seni, arsitektur atau
karya desain lainnya. Nilai estetis bersifat kontekstual, yang selaras dengan
peradaban yang tengah berlangsung.
7. Achmad Sadali mengemukakan bahwa estetika berkembang sejalan dengan
waktu, namun yang penting terutama tentang gagasan manusia paripurna.
Secara mendalam Sadali mengungkapkan bahwa nilai estetik sebagai suatu
wujud karya budaya, tidak terlepas dati dua hal pokok, yaitu unsur orisinalitas
dan identitas, karena peniruan ataupun duplikasi amatlah tidak pantas dalam
dunia kesenian.
8. Sutan Takdir Alisyahbana menilai bahwa nilai estetik terbagi menjadi dua
kelompok besar, yaitu nilai estetik kerakyatan (tradisi, otodidak, massal) dan
nilai estetik para elite yaitu nilai yang berkembang dilingkungan akademis
(elite, akademis, eksklusif). Sifat kesenian tradisional Indonesia telah
mencapai suatu tingkat keindahan yang susah dicari tandingannya.
9. Dick Hartoko mengatakan bahwa pengalaman estetik tidak sekedar
memenuhi keinginan seseorang (kognitif) tetapi juga mengikutsertakan daya-
daya lain dalam diri manusi. Penting mengamati karya seni melalui
pendekatan kritis yaitu; pendekatan mimetic, pendekatan ekspresif,
pendekatan structural, dan pendekatan semiotic.
10. Menurut Umar Kayam nilai estetik tardisional yang tumbuh di Asia Tenggara
merupakan kebudayaan agraris yang cirinya antara lain; nilai estetik memiliki
jangkauan terbatas pada lingkungan kultur yang menunjangnya; nilai estetik
merupakan cerminan dari satu kultur yang berkembang sangat perlahan; nilai
estetik merupakan bagian dari satu “kosmos” kehidupan yang bulat; nilai
estetik bukan merupakan hasil kreativiats individu.
11. Kepedulian terhadap kenyataan yang terjadi di sekitar kita, merupakan wujud
lain kedayaan nilai estetik untuk memahami dunia. Kedayaan nilai-nilai
estetik tidak hanya dapat diamati sebagai upaya manusia untuk membangun
citra ataupun kontemplasi terhadap kosmos tetapi juga dapat dipahami
sebagai upaya manusia untuk membumi.
12. S. Sudjojono berpendapat bahwa untuk menjadi seorang pengungkap nilai-
nilai estetik dalam berkesenian yang terpenting adalah watak. Watak haruslah
menjadi dasar bagi para seniman, di samping juga kesadaran yang tinggi
melalui cinta dan kebenaran.
13. Sanento Yuliman dalam menyimak karya seni tidak terbatas kepada upaya
memberi makna saja, melainkan juga memaparkan tingkat kedayaan nilai
estetik tersebut dalam wacana budaya masyarakat Indonesia.
14. The Liang Gie mengatakan bahwa karya estetis adalah kumpulan segenap
kegiatan budi pikiran seorang seniman yang secara mahir menciptakan suatu
karya sebagai pengungkapan perasaan manusia. The Liang Gie membagi
kajian estetika menjadi; estetika ilmiah, nilai estetis, pengalaman estetis, teori
seni dan estetika matematis.
15. AAM Djelantik memandang estetika dalam dua kelompok besar yaitu
keindahan alami, seperti gunung, laut, pepohonan binatang, bunga dll. dan
keindahan yang dibuat oleh manusia. Pengalaman estetik tercapai jika di
dalam diri manusia terbangun rasa puas, senang, aman, nyaman, dan bahagia.
16. Menurut Mudji Sutrisno, pengalaman estetis hakikatnya melibatkan
pengamatan indrawi yang sekaligus melibatkan seluruh unsur dalam “diri”
manusia ikut terbawa oleh pengamatan itu, jiwaraga, dengan segala indra dan
kemampuan-kemampuan lainnya; bagaikan terikat dan terpikat hatinya.
17. Tommy F Awuy berpendapat bahwa seni itu menjadi unsur yang sangat
hakiki di dalam kehidupan manusia dan memang selayaknya menjadi urusan
manusia bagi segala hal yang disebut kodrat kemanusiaannya. Kedayaan
estetik suatu karya seni tetap merupakan potensi yang besar dalam wacana
kebudayaan.
18. Menurut Yasraf Amir Piliang obyek seni di dalam kebudayaan Posmodern
merupakan bagian dari kebudayaan materi masyarakat kapitalis/global
mutakir. Obyek-obyek tersebut diproduksi dan dikonsumsi untuk menjadi
produk social yang dipergunakan untuk mengkomunikasikan, menyampaikan
makna-makna dan kepentingan sosial yang berada di belakangnya.
=+=
Penyekat Bab VI

TIK: Pada akhir pertemuan ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan kajian
estetika Jawa dan seni pertunjukan yang meliputi; estetika Jawa yang bersifat
(a. kontemplatif – transedental; b. simbolistik; c. filosofis) dan seni
pertunjukan (seni pedalangan dan seni tari).

Pokok Bahasan: Estetika Jawa dan Seni Pertunjukan.


Deskripsi Singkat: Dalam pertemuan ini dibahas tentang estetika Jawa dan Seni
Pertunjukan. Pemahaman terhadap hal-hal tersebut sebagai pijakan untuk
memahami materi berikutnya yaitu unsur pembentuk estetika karawitan.

Bahan Bacaan.

1. Wikipedia The free Encyclopedia


2. Purba Asmara, (2005), Pembumian Konsep-Konsep Analisis Pedalangan, The
Ford Foundation & Program Pendidikan Pascasarjana, STSI Surakarta.
3. Woro Aryandini, (2005), Seni Pertunjukan Indonesia Dengan Pendekatan
Filsafat; Studi Kasus: Pergelaran Wayang Kulit, The Ford Foundation &
Program Pendidikan Pascasarjana, STSI Surakarta.
4. Soewita Santoso, (1990), Dunia Ini Adalah Sebuah Panggung, (Urip-Urip),
Museum Radya Pustaka, Surakarta.
5. Wahyu Santoso Prabowo, (2003), Pertemuan Antar Budaya Dalam karya Tari:
Dataran Untuk Penghayatan Nasionalitas, Pusat Penelitian Kemsyarakatan dan
Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, Depok.

=+=
BAB VI
ESTETIKA JAWA DAN SENI PERTUNJUKAN
Pendahuluan
Pada bab VI ini dipaparkan tulisan Agus Sachari yang membahas tentang estetika
Jawa. Di dalam pembahasan tersebut estetika Jawa mengandung beberapa sifat
diantaranya adalah sifat kontemplatif-transendental, sifat simbolistik, dan sifat
filosofis. Untuk membicarakan seni pertunjukan khususnya seni pedalangan
dipadukan beberapa tulisan dari Purba Asmoro, Soewita Santoso dan Woro
Aryandini. Pembahasan seni pedalangan ini menyangkut masalah pergelaran,
cerita, dan penonton. Sedangkan pembicaraan tentang seni pertunjuan Tari,
disampaikan tulisan Wahyu Santoso Prabowo. Tulisan tersebut membahas
masalah; unsur estetika tari yang termuat dalam Serat Kridhwayangga, dan Serat
Wedhataya. Pemahaman terhadap konsep estetika pada seni pedalangan dan seni
tari dalam bab ini menjadikan salah satu pijakan untuk dapat memahami materi
berikutnya yaitu unsur pembentuk estetika karawitan. Adapun pembahasan materi
dalam bab ini selengkapnya seperti dipaparkan berikut ini.
Penyajian
Estetika Jawa
Estetika Jawa merupakan bagian dari kebudayaan Timur, namun dalam paparan
ini sengaja dipisahkan agar memiliki keseimbangan dengan kedayaan kebudayaan
Timur yang berkembang di wilayah Jepang, Semenanjung Korea hingga Thailand.
Meskipun kedayaan budaya Jawa pengaruhnya tidak seluas Budhisme, Zen,
ataupun Taoisme, tetapi kebudayaan ini memiliki ciri khas tersendiri berupa
paduan aneka budaya Timur dan juga kebudayaan Islam dan Jawa teradat. Bahkan
setelah berlangsungnya proses kolonialisasi, kebudayaan Jawa semakin diperkaya
oleh dinamika kebudayaan Barat.
Estetika Jawa dapat disimak dalam pelbagai bentuk karya seni, baik seni
bangunan, seni widya maupun pewayangan, seni sastra, dan pelbagai barang yang
mengandung makna tertentu bagi orang Jawa. Kebudayaan Jawa, terutama yang
berkaitan dengan ekspresi estetiknya mengandung ciri-ciri utama. Ciri-ciri itu di
antaranya:
I. Bersifat Kontemplatif-Transedental
Masyarakat Jawa dalam mengungkapkan rasa keindahan yang terdalam, selalu
mengaitkannya dengan perenungan (kontemplasi) yang mendalam, baik
terhadap yang Mahakuasa, pengabdian kepada raja, kecintaan terhadap
negara, penghayatan pada alam maupun merupakan pengejawantahan dari
dunia mistis. Apapun yang diungkapkan selalu mengandung makna untuk
mengagungkan sesuatu atau mengungkap sesuatu. Tentu saja dalam
tindakannya, banyak dipengaruhi oleh pelbagai hal, misalnya pengaruh dogma
agama, adat, kebiasaan, daerah, teknik, bahan, dan pakem.
2. Bersifat Simbolistik
Masyarakat Jawa, dalam setiap tindakan berekspresi selalu mengandung
makna simbolistik. Hal itu dapat diamati dalam seni pedalangan wayang kulit
purwa. Seni pedalangan hakikatnya merupakan rangkuman dari tindakan-
tindakan simbolis yang terpadu. Hal itu tercermin mulai dari tujuan
menyelenggarakan atau menanggap wayang yang bertujuan untuk kaul
ataupun sebagai peringatan hari-hari bahagia. Lakon yang dipilih biasanya
dikaitkan dengan tujuan menyelenggarakan hajat dan menanggap wayang.
Para tokoh dalam pewayangan yang digelar pun merupakan simbol-simbol
tertentu yang mencerminkan kehidupan dan falsafah masyarakat Jawa.
Tindakan simbolis lainnya adalah penabuh gamelan dan sinden harus hadir
sebagai pengiring untuk menghidupkan suasana dan mencerminkan suatu
tataran tingkat kehidupan manusia. Begitu dhalang duduk di tempatnya dan
ketika gendhing atau lagu patalon dibunyikan, berarti ruh atau jiwa manusia
yang akan menghidupi wayang telah memasuki zat kehidupan.
3. Bersifat Filosofis
Masyarakat Jawa dalam setiap tindakannya selalu didasarkan atas sikap
tertentu yang dijabarkan dalam pelbagai ungkapan hidup. Hal itu ditunjukkan
oleh ungkapan aja dumeh (jangan sok), Ngono yo ngono ning ojo ngono
(begitu ya begitu, tetapi jangan begitu), mamayu hayuning bawana
(memelihara perdamaian dunia), dan sebagainya. Ungkapan-ungkapan
filosofis tersebut, hakikatnya melandasi sebuah sikap "Manusia Jawa" dalam
perbuatannya. Demikian pula dalam konsep estetik Jawa selalu bermakna
filosofis. Hal itu terungkap pada falsafah yang menyertai pelbagai benda yang
dibuat oleh orang Jawa. "Pacul" diartikan sebagai ngipatake sing muncul atau
menyingkirkan penghalang. Dalam kehidupan manusia, pacul secara harfiah
sebenarnya berfungsi untuk menyingkirkan tanah yang tidak rata. Kemudian
tangkai pacul yang terbuat dari kayu disebut doran, yang artinya ndedonga
marang Pangeran atau berdoalah kepada Tuhan. Tanpa doran, pacul tidak ada
gunanya, karena itu manusia harus senantiasa berterima kasih kepada Sang
Maha Pencipta.
Ketiga sifat di atas berlaku secara lentur pada ungkapan estetik orang Jawa. Hal
ini berbeda dengan struktur estetika Barat yang lebih konservatif, terbuka
terhadap kritik, dan dinamis. Struktur estetik Jawa lebih cenderung "demokratis",
agak tertutup, dan bersifat statis. Demokratis bisa bermakna seni jika semuanya
total; pemain, penonton, pengamat, pemberi dana, dan lingkungan menjadi satu
pagelaran yang hidup dan saling melengkapi, terutama terlihat dalam pementasan
wayang kulit. Bahkan kadang-kadang ungkapan estetik menjadi tidak dikenal lagi
siapa penciptanya. Pertunjukan itu menjadi milik semua, dinikmati dan dihayati
oleh semua. Meskipun demikian, aksentuasi selalu ada sebagai selingan atau
penerobos kemonotonan. Dalam wayang kita mengenal tokoh panakawan yang
selalu menghadirkan guyonan memikat, serta memecah suasana monoton tersebut,
di samping bentuknya yang berbeda dari yang lain.
Ungkapan estetik Jawa agak tertutup, maksudnya dalam pelbagai jenis kesenian,
budaya kritik belum tumbuh dengan baik, terutama kesenian yang bersifat tradisi.
Oleh karena itu, terdapat kesulitan menelusuri pola perkembangan estetika Jawa
tradisional yang diwarnai oleh kupasan apresiasi yang sistematis dan mendalam
dari intelektual orang Jawa sendiri. Hal ini disebabkan ada keengganan dari
masyarakat Jawa untuk mengritik atau membahas karya-karya kesenian, terutama
yang lahir di kalangan istana; di samping budaya kritik sendiri belum tumbuh
dalam kehidupan masyarakat Jawa.
Para pengamat menafsirkan bahwa kebudayaan Jawa bersifat statis.
Pengembangan dan inovasi baru jarang dilakukan, karena dikhawatirkan merusak
pakem atau aturan-aturan permainan yang telah lama diyakini sebagai suatu
kebenaran. Tetapi, jika kita kaji lebih jauh dalam pelbagai konteks kebudayaan
Jawa, sifat ketertutupan tersebut tidak begitu telak terkunci, namun masih
memiliki keterbukaan. Hal itu terbukti bahwa terdapat pengaruh dari kebudayaan
Hindu, Budha, Islam, Barat, serta kebudayaan lainnya, dan justru membangun
kebudayaan Jawa secara lebih berbobot.
Di samping tiga faktor di atas, struktur estetika Jawa juga dibentuk oleh pelbagai
unsur yang melandasi perilaku dan hierarki sosial. Dalam kebudayaan Jawa
dikenal pula yang disebut sebagai "kesenian rakyat" dan "kesenian keraton".
Kesenian rakyat amat populer di kalangan masyarakat Jawa, seperti tayuban,
jembung, ketoprak, jaran kepang, wayang wong, lengger, ronggeng, dan
sebagainya, sedangkan beberapa kesenian keraton, diantaranya seperti tari
kawruh, tari topeng, dagelan mataram, jathilan, tari gambyong, membatik,
macapat, dan sebagainya. Beberapa jenis kesenian itu akhirnya merakyat juga,
terutama setelah era kemerdekaan. Walaupun begitu, jarak antara kesenian rakyat
dan kesenian keraton selalu ada. Hal itu disebabkan kesenian rakyat jauh lebih
dinamis dan tidak mementingkan bobot filosofis yang dalam, sedangkan kesenian
keraton umumnya mencoba mempertahankan tradisi dan pakem estetikanya,
sehingga kemudian dalam perkembangan selanjutnya kedua kutub kesenian ini
memiliki arah yang berbeda dalam banyak hal.
Bagi sebagian besar masyarakat Jawa, karya estetik yang bermakna adalah karya
estetik yang dapat dipahami oleh masyarakat dan melibatkan masyarakat banyak.
Meskipun terdapat perkembangan karya estetik di lingkungan keraton, tetapi
makna yang diperoleh terbatas hanya pada lingkungan elite tertentu saja,
meskipun makna estetik yang kemudian berkembang menjadi perlambang
kemajuan budaya Jawa secara keseluruhan.
Nilai estetik Jawa modern merupakan fenomena lain yang justru memiliki
keunikan tersendiri. Jika dicermati dalam bentuk rumah, akan tampak sosok baru
berupa perpaduan antara Jawa tradisi, estetik Barat modern, dan wujud paduan
aneka gaya budaya. Estetika Jawa merupakan model analogis yang juga
berkembang di daerah lain di wilayah Indonesia, seperti di tataran Sunda,
Minangkabau, Toraja, Bali, Kutai, Lombok, hingga Irian.

SENI PERTUNJUKAN
A. Seni Pedalangan

Unsur-unsur Pagelaran Wayang Kulit

Untuk membicarakan estetika pada seni pertunjukan khususnya seni pedalangan


disampaikan tulisan dari Woro Aryandini, Purba Asmara dan Suwita Santoso.
Dari ketiga penulis, tidak seluruh tulisannya dipaparkan dalam buku ini namun
diambil yang sangat berkait dengan estetika pedalangan. Secara garis besar seni
pertunjukan wayang kulit mempunyai tiga unsur, yaitu pertunjukan atau
pergelaran, cerita, dan penonton (Woro Aryandini, 2005)

1. Pergelaran.
Unsur pergelaran dalam seni pertunjukan wayang kulit (Pedalangan) dimaksud
adalah, seperti gedebog, blencong, gunungan dapat diidentikkan dengan
gambaran alam di Jawa (Woro Aryandini, 2005).

a. Gedebog
Gedebog (batang pisang) dan kain putih sebagai kelir. Dalam pergelaran
wayang kulit dipergunakan gedebog (batang pisang) sebagai tempat
menancapkan wayang. Batang pisang tadi diumpamakan sebagai bumi
tempat manusia berpijak. Batang pisangnya selalu dipilih yang masih baru,
sehingga masih segar. Ini melambangkan bumi yang subur, kaya akan air,
sehingga cukup untuk mengairi sawah-sawah. Tepat di atas batang pisang
itu dipancangkan kelir yang dibuat dari kain putih. Kelir dan batang pisang
bersama-sama melambangkan alam semesta (Sastroamidjojo, 1964:81).

Di atas batang pisang itulah wayang ditancapkan menurut aturan tertentu,


yaitu wayang yang bertabiat baik ditancapkan sebelah kanan dhalang,
sedangkan yang bertabiat tidak baik ditancapkan sebelah kiri dhalang,
seolah-olah kelompok yang satu merupakan kebalikan dari kelompok yang
lain. Sehubungan dengan penyusunan boneka wayang di atas batang pisang
itu dapat diartikan pula sebagai lambang akan selalu adanya kebalikan dan
atau pertentangan dalam kehidupan manusia, suatu pandangan yang
dualistis. (Ossenbruggen, 1975).

b. Blencong
Blencong adalah lampu yang digantungkan di tengah-tengah, di depan kelir.
Umumnya dipakai lampu dari logam berbentuk burung garuda dengan
bahan bakar minyak. Ini merupakan simbol dari matahari yang menerangi
bumi.
c. Gunungan,
Gunungan adalah “boneka” wayang yang berbentuk gunung, di tengah
diukir pohon yang dililit ular, di sebelah kiri pohon terdapat harimau,
binatang yang buas, dan di sebelah kanan terdapat gambar lembu, binatang
yang jinak, dan pada cabang pohon terdapat berbagai macam satwa,
sedangkan di puncaknya terdapat gambar api. Di bagian bawah terdapat
gambar rumah yang pintunya dijaga oleh dua orang raksasa (disebut
gunungan lanang atau gunungan laki-laki) atau pada bagian bawah
digambar danau (disebut gunungan wadon atau gunungan wanita).
Gunungan melambangkan alam semesta orang Jawa. Ketika memegang
atau memainkan gunungan, dhalang akan memperlakukannya secara
hormat, karena itu adalah 'dunia'-nya, yang juga 'Tuhan-nya. Bentuknya
yang seperti kerucut mengingatkan pada bentuk tumpeng dalam upacara
slametan, atau menhir pada zaman prasejarah. Penampang kerucut yang
berbentuk lingkaran adalah garis yang tak berawal dan tak berakhir, yang
berarti abadi, seperti sifat Tuhan. Bentuk kerucut seperti gunung, - sesuai
dengan pandangan magis/simbolis orang Jawa yang pulaunya mengandung
berpuluh-puluh gunung berapi yang memberi kehidupan bagi masyarakat-;
ia juga menggambarkan alam adi kodrati (Sukiman, 1986: 69).

d. Gamelan
lringan gamelannya diprogramkan sesuai dengan peningkatan makna cerita
dan juga disesuaikan dengan bioritme manusia (Sastroamidjojo, 1988: 4).
Dari jam sembilan malam hingga jam setengah satu malam iringan gamelan
bernada pathet nem, pada saat ini masalah atau alur cerita dibeberkan;
perang, percintaan, intrik-intrik secara rasional dianalisis. Kemudian pada
jam setengah satu malam iringan gamelan menjadi nyaring dan dinamis
karena berubah ke pathet sanga untuk melambangkan adanya perubahan
dahsyat dari alam. Pada jam setengah satu hingga jam setengah dua malam
dhalang memainkan gara-gara, yaitu peristiwa yang melambangkan gejala-
gejala adanya bahaya dalam alam semesta yang mengancam atau pun
adanya kekacauan dalam tertib alami. Setelah gara-gara, iringan gamelan
berubah ke nada pathet manyura. Saat ini bagian akhir dari pertunjukan
dimulai, dan 'pemecahan masalah' dikemukakan. Pada waktu dinihari,
penonton secara psikologis telah siap menerima wahyu atau 'pencerahan',
yaitu penerimaan makna yang terkandung dalam pergelaran itu.
2. Cerita.
Dalam hal repertoar lakon (cerita), kita mengenal berbagai versi cerita, antara
lain: Ramayana dan Mahabarata India, Ramayana dan Mahabharata Jawa
Kuna, Serat Lokapala-Rama Jarwa-Baratayuda tulisan Soetarta
Hardjawahana, dan pakem-pakem lakon versi dhalang seperti Pustaka Raja
Purwa Ngasinan. Hal ini menunjukkan, bahwa dunia pedalangan terbuka
kesempatan bagi para dhalang untuk berkreasi sesuai dengan kemampuan
cipta, rasa, dan karsanya (Purba Asmara, 2005).
Misalnya dalam pergelaran Lakon Dewaruci. Lakon ini sarat dengan
pandangan hidup atau falsafah orang Jawa, antara lain masuknya Bima ke
dalam tubuh Dewaruci yang kecil diberi makna pamoring kawula Gusti yaitu
bersatunya mikrokosmos dengan makrokosmos, bersatunya manusia dengan
Tuhan. Oleh orang Jawa, makrokosmos yang berupa alam semesta juga
dikatakan Tuhan, seperti yang diutarakan oleh Koentjaraningrat (1984:323
dalam Woro Aryandini, 2005)

Tidak hanya 'Lakon Dewaruci' yang dapat dicari nilai falsafahnya, (hampir)
semua lakon terdapat intinya yang berupa filsafat, misalnya dalam lakon yang
bersumber pada Ramayana terdapat filsafat yang berupa mamayu hayuning
bawana. Bahkan dalam cerita yang bukan bersumber dari Mahabharata dan
Ramayana, misalnya Lakon Bima Tulak yang dibuat oleh dhalang pedesaan di
daerah Yogya (masih berupa naskah, koleksi Ir. Moens yang tersimpan di
Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda) (Pigeaud Vol.IV, 1980:85),
diceritakan bagaimana Bima sebagai petani menolak hama, yang sesuai dengan
cara-cara para petani Jawa ketika menolak hama.
3. Penonton
Pengertian penonton disini adalah orang-orang yang hadir, mungkin sebagai
undangan resmi dengan surat undangan atau yang punya hajat/yang mewakili
mendatangi para undangan resmi ini, undangan tak resmi yaitu orang-orang
yang hanya secara sepintas diberitahu, yang punya hajat dengan keluarganya,
orang-orang yang membantu, tukang jualan, dan orang-orang yang lewat.
Penonton ini terdiri atas berbagai umur dan berbagai golongan, baik profesinya
maupun kadar pengetahuannya. Para penonton yang telah dewasa dan yang
telah mengerti serba sedikit atau banyak tentang isi cerita wayang, dari rumah
masing -masing sudah membawa bekal pengetahuan tentang wayang. Penonton
sudah mengetahui bahwa tokoh yang jahat akan kalah, dan tokoh yang baik
akan menang. Peneliti mengetahui bahwa itu adalah konvensi seni pertunjukan
tradisional. Bagi anak-anak, pertunjukan tentang 'konsep baik dan buruk' ini
dapat dijadikan acuan bagi kehidupannya (Woro Aryandini, 2005).
Dunia Ini Adalah Sebuah Panggung
Ilustrasi tentang peristiwa hayatan melalui sajian pakeliran ini dikutip dari tulisan
Suwito Santoso dalam buku urip-urip, 1990. Untuk keperluan ini beberapa bagian
telah diedit untuk disesuaikan dengan keperluan penulisan buku estetika
karawitan.
Hananonton ringit mananis asekel muda hidepan, huwus wruh tuwin yan walulan
inukir molah anucap, hatur nin wan tresnen wisaya malaha ta wwihikana, ri
tatwa nyan maya sahana-hana nin bawa siluman.
(Ada orang melihat wayang menangis dan bersedih. Ah, bodoh amat! Pada hal ia
tahu, bahwa (wayang itu) terbuat dari kulit yang ditatah, dibuat bergerak dan
berkata. (Dasar) kata orang yang dimabuk nafsu; sungguh-sungguh (ia) tak tahu
bahwa pada hakekatnya (permainan) itu hanyalah palsu, dunia semesta ini maya
belaka).
Ternyata apa yang dikatakan itu tidaklah tinggal sebagai kata-kata hampa, karena
di dalam buku Nawaruci hal itu bergema kembali, yaitu pada pupuh
Kusumawicitra 3, sbb. :
'Aja kaya mengkono ngaurip iki, badan iki dèn kadya wayang kinudang, anèng
panggung nggèné arja tali bayu, padhanging kang panggung damar surya
candra.
(Orang hidup itu janganlah seperti itu. Pandanglah tubuh itu sebagai wayang,
yang ada di panggung (kelir), dengan tali sebagai jiwa (nyawa), lampu yang
menerangi panggung adalah matahari dan bulan).
Bahwasanya kata-kata yang mengandung falsafah hidup yang dalam itu tetap ada
di hati orang-orang Indonesia, dapatlah terbukti dengan didapatkannya ucap-
ucapan itu di dalam karya-karya sastra Jawa yang kemudian, misalnya Serat
Centhini:
“Kelir jagad gumelar wayang pinanggung, asnapun makhluking Widhi, gedebog
bantala wegung, beléncong pandaming urip, gamelan gendhinging tekon”.
(Kelir adalah dunia semesta, wayang yang dipanggung adalah semisal makhluk
Allah, pohon pisang adalah bumi, lampu adalah pelita hidup, gamelan adalah
lagu kehidupan).
Sudah barang tentu kemashuran kata-kata itu tidaklah hanya tergantung pada arti
falsafahnya yang dalam, tetapi juga karena wayang sangat berurat-berakar di
dalam hati dan pikiran orang Indonesia yang sangat menyukainya. Kerapkali
orang mencari nasehat, petunjuk dan perbandingan di dalam cerita-cerita wayang
yang dilihatnya di pergelaran wayang, seperti apa yang diminta Ki Dhalang pada
waktu dulu, ketika pada akhir pertunjukannya ia memainkan sebuah golek yang
menari sebagai isyarat kepada para penonton agar mereka suka mencari
(nggoleki) makna atau pelajaran pertunjukan wayang semalam suntuk itu.
Hal itu mengingatkan kita kembali akan asal-usul wayang yang kemudian
menjelaskan kepada kita akan arti dan fungsi wayang yang pada waktu sekarang
banyak telah jauh berkembang, kadang-kadang berat sebelah, kadang-kadang
kabur sehingga menuju ke arah dekadensi.
Orang dapat menangis tersedu-sedu, ketawa tergelak-gelak terbawa oleh
permainan wayang kulit, tetapi setelah selesai pertunjukan wayang tak dapat
mengharu perasaannya. Dapatlah kita maklumi sekarang, bahwa pergelaran
wayang merupakan usaha penurunan tradisi kepada angkatan mendatang,
memberi pendidikan dan penempaan mental kepada anak cucu. Kita tiada akan
heran pula, bila kita melihat cerita-cerita itu terpahat pada dinding-dinding
bangunan-bangunan suci, seperti candi-candi, pertapaan-pertapaan dsb. Dalam
jaman modern ini, mungkin dapat dibandingkan dengan peranan sejarah di dalam
pendidikan nasional. Akan tetapi si dhalang pada waktu dulu selalu minta para
penonton (anak cucu) untuk mencari (nggoleki) arti/makna yang terkandung
dalam cerita yang telah didengar atau dilihatnya.
Setiap tokoh wayang terdapat sifat-sifat khusus yang sukar diterangkan, tapi
mudah dimengerti, bila orang memperhatikan sepak terjangnya di kelir. Tak ada
satu tokohpun yang benar-benar sama dengan tokoh yang lain. Misalnya Kresna
dan Rama. Kedua-duanya diceritakan penjelmaan Wisnu, tapi alangkah besar
perbedaan sifat-sifatnya. Bima dan Hanuman, kedua-duanya dikatakan putera
dewa Bayu, tapi bagi setiap orang nyata benar bedanya. Bahkan pada tokoh-
tokoh wayang yang disebut wayang srambahan, yaitu tokoh wayang yang dapat
dipakai untuk berbagai-bagai tokoh, misalnya tokoh wayang raksasa raton yang
dapat dipergunakan untuk Kumbakarna, Niwatakawaca dan raja-raja raksasa lain.
Tapi setiap keluar di layar, kalau si dhalang mengatakan, bahwa tokoh itu adalah
Kumbakarna, si penonton tidak akan keliru dalam membayangkan sifat-sifat
Kumbakarna, si raksasa sakti yang mati karena membela tanah airnya dan tiada
akan mengacaukannya dengan Niwatakawaca si raksasa sakti yang loba sehingga
ingin kawin dengan bidadari. Memanglah, bila kita fikirkan dalam-dalam, maka
akan kita akui, bahwa kita di dalam wayang, memiliki alat pendidikan mental
yang benar-benar efisien dan sukar dicari bandingannya di dunia ini.
Drama kehidupan Manusia
Kita tengoklah sekarang drama yang bermain di layar wayang, yang semisal
dunia yang terkembang dan wayang-wayangnya adalah umpama makhluk Tuhan.
Serat Centhini mengatakan, bahwa kita dapat melihat diri kita sendiri di dalam
tingkah laku wayang (punika lakon ing ringgit, kita piyambak katongton).
Dengan demikian dapatlah kita simpulkan, bahwa lakon wayang adalah semisal
kehidupan manusia. Biasanya orang melihatnya sbb. :
Pada seluruh permainan wayang semalam suntuk, kita lihat gunungan atau kayon
berdiri tegak tiga kali, yaitu pada permulaan, tengah, dan akhir permainan. Pernah
kami katakan, bahwa pertengahan malam adalah semisal pertengahan kehidupan
manusia juga, sehingga merupakan masa yang kritis. Dengan demikian terlihatlah
tiga bagian kehidupan manusia itu, yang di dalam lakon ditandai juga dengan
pathet di dalam gending- gendingnya, yaitu pathet enam, sanga dan manyura.
Bagian pertama kehidupan dengan gending pathet enam mengisahkan kehidupan
manusia sebagai kanak-kanak yang meningkat dewasa, sehingga menghadapi
kesukaran-kesukarannya yang pertama di dalam masyarakat yang dimisalkan
dengan perang gagal. Cukup gawat tapi belum fatal, artinya belum ada korban
yang jatuh.
Tibalah sekarang tengah malam yang ditandai dengan munculnya seorang ksatria
muda, biasanya dalam keadaan bersedih. karena memikirkan persoalan hidup
yang maha-sulit baginya. Pada umumnya digambarkan sebagai “sangkan-
paraning dumadi” (asal dan tujuan hidup). la akan mendapat nasihat dari seorang
pendeta, lalu disuruh pergi ke kota kerajaan. Dalam perjalanan itu ia bertemu
dengan raksasa (buta prepat) yang sebenarnya berjumlah empat orang dan
berwarna merah, kuning, hitam, dan biru muda. Raksasa-raksasa itu mati
dibunuhnya. Bagian ini, yang diiringi dengan gending-gending pathet sanga,
melambangkan kehidupan selanjutnya daripada pemuda yang telah ditempa lahir
dan batin di dalam tempat pendidikan, sehingga dapat menundukkan nafsu-
nafsunya. Siaplah ia untuk terjun ke masyarakat yang penuh perjuangan dan
kekerasan.
Perjuangan itu terlihat dalam bagian ketiga dengan diiringi oleh gending-gending
pathet manyura. Kita dapat melihat sendiri, betapa hebatnya perjuangan angkatan
melawan angkatan, peperangan melawan peperangan dalam babak kehidupan
manusia ini yang akhirnya terbayang dalam perang sampak da akhirnya diiringi
gending ayak-ayakan manyura. Kami kutip kata-kata M.N. VII mengenai gending
ini :
'Even schoon, zoo niet schooner, is dan de "ayak-ayakan manyura" welke telkens
en telkens wordt gespeeld in de laatste uren van de herhaaldelijk gespeelde
"ayak-ayakan manyura" gedurende de laatste uren van den acht en daarnaast het
waken gedurende den ganschen nacht schijnen de mensch naar lichaam en geest
bijzonder geschikt te maken om zich kort daarop neer te zetten voor de
beoefening van de rsemear.
(Sama indahnya bahkan mungkin lebih indah adalah gending ayak-ayakan
manyura yang dimainkan berulang-ulang pada jam-jam terakhir daripada malam
ini menjelang akhir pertunjukan ..... Pengaruh dari gending ayak-ayakan manyura
yang dimainkan berulang-ulang pada jam-jam terakhir malam itu dan berjaga-
jaga semalam suntuk, rupa-rupanya mempersiapkan manusia Iahir dan batin
untuk sejenak kemudian duduk menjalankan semadi).
Jadi bagi M.N. VII dan juga bagi penonton wayang yang lain, hilangnya nada-
nada terakhir dari ayak-ayakan manyura yang ditutup dengan bunyi gong yang
menggelegar menghambur hambar di puput pagi, adalah detik-detik terakhir
kehidupan manusia. Merupakan persiapan semadi yang tidak dapat bermakna lain
daripada persiapan menghadap Tuhan Yang Maha Esa, sila pertama daripada
dasar falsafah bangsa Indonesia Pancasila.
Kajian Estetika Pakeliran
Uraian kajian tentang estetika pedalangan (pakeliran wayang kulit) ini dikutip
dari tulisan Purba Asmara, 2005. Untuk keperluan penulisan buku ini hanya
dikutip dan diambil beberapa poin yang dianggap sesuai dengan topik
permasalahan yang sedang dibahas.
Estetika pertunjukan wayang digunakan konsep keindahan menurut Aristoteles,
yang meliputi tiga hal: "(1) integrity or perfection (keutuhan atau kesempurnaan),
(2) proportion or harmony (perimbangan atau keserasian), dan (3) brightness or
clarity (kecemerlangan atau kejelasan)" (The Liang Gie, 1996:42). Konsep nomor
1 (keutuhan atau kesempurnaan) mungkin dapat diterapkan sebagai landasan
analisis, bahwa pertunjukan wayang yang baik harus mencerminkan satu kesatuan
atau kebulatan unsur-unsur pakeliran, atau keutuhan atau kesempurnaan sajian.
Konsep nomor 3 (kecemerlangan atau kejelasan) juga mungkin dapat diterapkan
sebagai landasan analisis, bahwa pertunjukan wayang yang baik adalah yang
memiliki kejelasan konsep dan ungkap. Adapun konsep nomor 2 (perimbangan
atau keserasian) dapat diterapkan sebagai landasan analisis, tetapi harus dilihat
secara kasus per kasus. Artinya, konsep keseimbangan mungkin relevan untuk
diterapkan dalam kasus pembagian durasi babak (Jawa: pathet), tetapi menjadi
tidak relevan untuk diterapkan dalam kasus setting adegan. Setting adegan dalam
pertunjukan wayang kulit justru tidak pernah seimbang; tampak berat sebelah
kiri-karena tokoh wayang yang ditancapkan lebih banyak yang berada di
panggung sebelah kiri-tetapi hakikatnya berat panggung sebelah kanan. Hal ini
dapat diungkap melalui pendekatan budaya Jawa.
Dunia pedalangan sebenarnya telah memiliki konsep-konsep estetika dan
dramaturgi tersendiri. Misalnya dari sisi sajian pakeliran, kita kenal adanya
konsep pedalangan (Jawa): regu, greget, nges, sem, semu, dan sebagainya. Dari
sisi dramatik lakon, kita kenal adanya konsep pedalangan (Jawa): tutug, mulih,
kempel, dan kendho-kenceng. Dari sisi gerak wayang (Jawa: sabet) kita kenal
adanya konsep trampil, mungguh, dan nuksma, dan sebagainya.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian, konsep regu, greget, nges, sem, dan
sebagainya baru diterjemahkan secara definitif, belum terurai menjadi pengertian
konkrit. Disamping itu sering terjadi perbedaan definisi pada masing-masing
peneliti. Beberapa definisi yang dimaksud antara lain;
1. Peneliti A mendefinisikan greget sebagai sikap konsentrasi penuh dhalang
dalam menyajikan pakeliran dari awal sampai akhir pergelaran.
2. Peneliti B mendefinisikan greget sebagai bentuk sajian pakeliran yang
bersemangat (Jawa: kenceng) tanpa kendor, tidak ada jeda-jeda sebagai
pernapasan.
3. Peneliti C mendefisikan, bahwa dhalang mampu membangun suasana bagi
adegan-adegan yang bernuansa tegang, seram, tegesa-gesa, dan
sebagainya.

Sementara itu konsep greget yang lebih mendetail sebagai konsep estetika
pedalangan mempunyai pengertian paling tidak sebagai berikut.
Greget adalah suasana tegesa-gesa, semangat, sigrak, tegang, atau seram, yang
diciptakan oleh dhalang dengan segenap pendukung pentas, yang dibangun
melalui unsur-unsur pakeliran sebagai berikut.
1. Sajian narasi atau dialog / monolog dengan kata-kata non-sastrais serta
struktur kalimat relatif pendek.
2. penyuaraan vokal (Jawa: Antawacana) secara lantang, keras, tegas, dan
mantap, serta kadang-kadang dengan ritme penyuaraan relatif cepat dan
atau lebih tinggi daripada penyuaraan dalam suasana santai (Jawa:
merdika)
3. Gerak figur wayang mencerminkan sikap marah. Dalam posisi tanceb
tubuh wayang berkondisi tegap, sedangkan dalam posisi berdiri tubuh dan
terutama tangan wayang bergetar.
4. Salah satu, dua atau keseluruhan unsur musik pakeliran mencerminkan
nuansa tegang, misalnya: jenis sulukan Ada-ada, grimingan gender Ada-
ada, dhodhogan mbanyu tumetes, gendhing bentuk Srepeg atau Sampak.

Cara mendefinisikan pengertian dengan menjabarkan unsur-unsur pakeliran yang


mendukungnya seperti ini, akan dapat memberikan pemahaman kepada pembaca
tentang konsep estetika dalam pertunjukan wayang kulit.
Dalam dunia pedalangan kita mengenal istilah sanggit, yakni kebebasan dhalang
mengungkap dan memecahkan permasalahan dalam sebuah lakon wayang melalui
kekuatan unsur-unsur pakeliran, meliputi: lakon, wacana pedalangan, gerak-gerik
wayang, dan musik pakeliran. Kedalaman sanggit pakeliran sangat bergantung
pada keluasan pengalaman jiwa atau kedalaman perenungan dhalang terhadap
permasalahan hidup dan kepiawaiannya menggarap medium pakeliran. Oleh
karena itu dapat saja terjadi dalam repertoar lakon yang sama terjadi garap
pakeliran yang berbeda, baik struktur adegan, cara mengungkapkan dan
memecahkan masalah, penggarapan karakteristik tokoh wayang (yang
diungkapkan melalui wacana dan/atau gerak wayang), maupun pemilihan
repertoar dan melodi musik pakeliran. Kebebasan ekspresi pedalangan bukan
hanya terjadi sekarang. Dalam Serat Pedalangan Ringgit Purwa susunan
Mangkunegoro VII pun-yang diterbitkan pada 1932-terdapat satu repertoar lakon
yang digarap dalam dua sanggit, yakni lakon tentang perkawinan Kurupati; yang
satu diberi judul lakon Rabinipun Kurupati, sedangkan yang lain diberi judul
lakon Gajah Putih Srati Putri utawi Rabinipun Kurupati.
Penokohan dalam pertunjukan wayang kulit semuanya dapat disimpulkan sebagai
tokoh hitam atau putih. Baik buruknya karakter tokoh pewayangan sangat
situasional, bergantung pada repertoar lakon serta sanggit dhalang. Tokoh Kresna
dalam lakon Bisma Gugur, misalnya, akan tampak kebijaksanaannya sebagai
pengayom kebenaran; ia tidak rela Bisma ikut menentukan kemenangan pada
pihak yang dianggapnya jahat, yakni Kurawa. Oleh karena itu ia berupaya
mencari titik kelemahan Bisma. Namun dalam lakon Timpalan atau Burisrawa
Gugur, Kresna tampak kelicikan dan kebengisannya. Ketika ia melihat Setyaki
kewalahan dalam berperang melawan Burisrawa, Kresna bersiasat dengan cara
memerintahkan Arjuna agar memanah sehelai rambut yang dibawanya tepat pada
sasaran terlepasnya panah, yakni leher Burisrawa. Demikian juga penilaian
terhadap Kumbakarna dan Wibisana, tidak semudah menyatakan, bahwa
Kumbakarna berbudi luhur karena membela tanah tumpah darahnya, sedangkan
Wibisana adalah pengkhianat bangsa. Atau sebaliknya Kumbakarna berada pada
posisi salah karena berpihak kepada angkara-murka (Rahwana), sedangkan
Wibisana berada pada posisi benar karena berpihak kepada kebajikan (Rama).

B. Seni Tari

Pembicaraan seni pertunjukan khususnya estetika Tari diambil dari tulisan Wahyu
Santoso Prabowo yang berjudul “Pertemuan Antarbudaya dalam Karya Tari”.
Tulisan WS Prabowo ini membicarakan ranah-ranah gerak tari yang merupakan
unsur estetika Tari. Adapun tulisan tersebut adalah sebagai berikut.

Pertemuan Antarbudaya dalam Karya Tari.

Para empu tari Jawa yang mewariskan tari kepada generasi penerusnya secara
sadar berpijak pada konsep-konsep seni yang selalu ada keterkaitan dengan sosio-
kultural zamannya. Konsep-konsep tari Jawa bukan sekadar masalah estetis
belaka, melainkan lebih dari itu, yaitu mencakup berbagai aspek kehidupan
manusia. Hal ini berarti para empu tari Jawa memandang persoalan-persoalan
estetis mencakup teba wilayah kehidupan manusia yang lebih luas.
Berbagai gagasan, pemikiran, dan pendekatan penciptaan karya, yang kemudian
berlanjut dalam proses dan mewujud dengan kekaryaan ragam, bentuk, jenis,
kualitas, gaya, serta detail ungkap dan makna, sungguh merupakan prestasi kreatif
yang luar biasa dan patut dibanggakan. Sebagai salah satu pengetahuan
tradisional dalam tari, apa yang telah dilakukan oleh para empu tari Jawa tersebut
patut dihargai dan dihormati, dengan cara generasi tari sekarang lebih memberi
makna dan memahaminya.
Kebanyakan generasi tari Jawa sekarang memanfaatkan warisan kekayaan tari
yang terhampar di hadapannya sebagai sumber atau pijakan dalam kekaryaan tari.
Namun demikian, di dalam proses kekaryaan tarinya mereka hanya terbatas
menggarap kembali gerak-gerak tari yang sudah ada, dengan cara melakukan
pengembangan unsur-unsur gerak seperti: volume, tempo, dinamik, bentuk, dan
lain-lain. Hal ini tentu sah-sah saja, namun hasil garapannya akan terasa kering,
kurang bermakna dan membosankan. Wawasan dan pemahaman esensi
penciptaan tari hasil kreativitas para empu tari Jawa yang merupakan "Ruh Daya
Cipta" masih belum banyak tersentuh. Hal ini memang dirasakan sulit karena
terbatasnya informasi mengenai proses penciptaan tari Jawa hingga mewujud
seperti yang dikenal sekarang.
Dalam Serat Kridhwayangga yang juga disebut pakem beksa, banyak sekali
termuat informasi yang berkaitan dengan wujud tari Jawa (gaya Surakarta),
sedangkan gagasan atau ide dan atau konsep-konsep yang mendasari terciptanya
tari Jawa, serta bagaimana proses penggarapan yang dilakukan oleh para empu
tari Jawa sama sekali tidak ada. Konsep kewujudan yang terdapat dalam Serat
Kridhwayangga merupakan dasar-dasar gerak sebagai inti atau esensi dari tari
Jawa, yaitu yang disebut patrap beksa (sikap laku tari).
Serat Kridhwayangga menunjukkan bahwa para empu tari telah
mengelompokkan tari Jawa Surakarta dalam 10 patrap beksa sebagai berikut.
1. Merak ngigel (burung merak menari), digunakan untuk tari alus luruh (tua).
Lutut direnggangkan ke samping dengan diimbangi siku yang juga
direnggangkan ke samping pula, kedua telapak tangan didekatkan sejajar
pusar, bahkan agak ke atas sedikit (dhengkul methethek, katimbangan
methetheking sikut, èpèk-èpèk kekalihipun kacaketaken sipat tuntunan (puser)
radi kepara nginggil).
2. Sata ngetap swiwi (ayam mengepakkan sayap), digunakan untuk tari alus
luruh (muda). Perenggangan lutut ke samping hanya sekadarnya saja, telapak
tangan juga sebatas tepat pada pusar (methetheking dhengkul lan sikut naming
sawatawis, èpèk-èpèk tangan sipat puseran leres).
3. Kukila tumiling (burung menggerakkan kepala), digunakan untuk tari alus
lanyap atau branyak (lincah). Perenggangan lutut atau siku ke samping
dinamakan siguk jonjang (sekedar digeser), dengan cara sedikit
merenggangkan lutut ke samping, dan perenggangan siku ke samping selebar-
lebarnya. Kedua telapak tangan sejajar pusar bahkan agak sedikit ke bawah
(methetheking dhengkul kaliyan sikut winastan siguk jonjang, tegesipun
menthetheking dhengkul sekedhik sanget; kosok wangsulipun sikut
anggenipun methethek kepara langkung kathah. Epèk-èpèk tangan kalih sipat
puseran kepara mengandhap).
4. Branjangan ngumbara (burung branjangan mengembara/terbang
mengangkasa), digunakan untuk tari gagah tandang. Kerap bergetar dan
menggerakkan tangan, pada pokoknya agak gesit dan selalu bertindak (kerep
kedher lan ngébahaken asta, wosipun asemu rongèh sarwa tumandang).
5. Mundhing mangundha (kerbau menanduk), digunakan untuk tari Bugis.
Dalam posisi berdiri kerap berhadapan dan menggerakkan kepala ke atas dan
ke bawah. Jika berpandangan mesti bersamaan dengan anggukan kepala sekali
(adegipun kerep aben ajeng tuwin ndangak-ndingklukipun sirah. Menawi
ulat-ulatan tentu sareng lan manthukipun sirah naming sapisan).
6. Wreksa sol (pohon tumbang tercabut akarnya), digunakan untuk tari raksasa.
Pada waktu berdiri selalu bergerak pelan ke kanan dan ke kiri, serta sering
menjatuhkan badan dibarengi gerakan kepala. Jika digambarkan, seperti
tumbangnya pohon yang rindang, jika batang pohon jatuh baru diikuti
jatuhnya rimbunan daun-daunnya (adegipun tansah hoyog lan kerep
ndawahaken badan kasarengan solahing sirah. Menawi kagambaraken kados
déné ambruking wit ingkang ngrembuyung, menawi badan (wit) dhawah
saweg katututan panggepyoking ronipun).
7. Anggiri gora (seperti gunung yang menakutkan /gemuruh menggemparkan),
digunakan untuk tari gagah dugangan. Haruslah diam tak banyak bergerak,
tegak dan kokohnya badan di dalam posisi berdiri bagaikan gunung yang
menakutkan (kedah anteng, jejeg santosa ing adegipun).
8. Pucang kanginan (nyiur tertiup angin), digunakan untuk tari putri. Selalu
bergerak, tetapi tersamar, perlahan-lahan seolah-olah tidak tampak (tansah
obah nanging tamban, alon ing semu mboten ngetawisi).
9. Sikatan mèt boga (burung sikatan mencari makan), digunakan untuk tari kera.
Tidak teratur gerakan-gerakan badannya dan arah pandangan matanya, di
dalam posisi berdiri (datan hanggep ing rongèhipun badan lan polatan ing
adegipun).
10. Ngangrang binida (semut ngangrang diusik), digunakan untuk tari gagah
sudira. Sebentar-sebentar ibu jari kaki digerakkan ke depan seperti ulat
jengkal; maksudnya agak doyong ke depan cara menegakkan tubuh dan arah
pandangannya (ing sakedhap-sakedhap jempolan suku kalih hanguler kilan,
tegesipun majeng adegipun badan dalah polatanipun).
Berpijak dari pemaparan patrap beksa ini, sudah bisa dipastikan bahwa para
empu tari Jawa mengawali penciptaannya dengan cara melakukan observasi yang
luas dan dalam waktu yang cukup lama, terhadap fenomena-fenomena alam dan
lingkungan. Ketika mereka berproses juga melakukan percobaan-percobaan atau
eksperimen (semacam kerja studio sekarang ini) melalui kerja analisis penciptaan.
Hal ini terbukti bahwa wujud dari hasil berproses itu sama sekali berbeda dengan
kenyataan fenomena alam, mereka secara cermat melakukan proses penggayaan
dengan memperhatikan tubuh penari sebagai alat ungkap.
Para empu tari Jawa diyakini memandang tubuh sebagai “omah” yang harus
dilihat secara jeli berbagai kelebihan dan kekurangannya karena wujud gerak tari
itu sepenuhnya akan diungkapkan melalui tubuh penari. Dengan demikian, para
empu tari Jawa menganggap sangat penting penjelajahan estetis gerak seluruh
tubuh itu dilakukan. Hal ini tampak ketika mereka melengkapi patrap beksa
detail gerak dari seluruh tubuh (ébahing saranduning badan)
Kualitas Tari/Gaya Tari yang digunakan untuk Panji Sepuh (selain untuk tari
wireng Panji Sepuh juga digunakan untuk tari Alus Luruh ‘sepuh’, seperti pada
peran Rama, Arjuna, dan lain-lain). Gaya tari ini dalam Serat Kridhwayangga
disebut Endraya Werdi berarti 'gerak tari yang halus dan lambat', sedangkan
perincian/ detail gerak tubuh dalam tari itu ditentukan sebagai berikut.
1. Polatan (arah pandangan): ke arah bahu
2. Pacak gulu (gerak leher) panggil: dagu digerakkan ke depan lurus, ditarik
kembali mundur, digerakkan ke kiri maksimal dan diputar ke kanan.
3. Jaja mungal samantra: dada ditegakkan agak condong ke depan.
4. Leyot wangking: tubuh digerakkan (meliuk) ke samping kanan dan kiri.
5. Bentuk jari tangan ambaya mangap: keempat jari tangan tegak merapat, ibu
jari direnggangkan di depan 4 jari (seperti buaya menganga).
6. Tanjak tajem: sikap tegak dengan anggun, tumit kanan berdekatan dengan
tumit kiri.
7. Adeg tambak wèsthi: sikap tubuh yang memberi kesan siap menghadapi
bahaya.
8. Patrap beksa (sikap laku tari) merak ngigel: periksa paparan patrap beksa.
Kualitas tari/ gaya tari yang digunakan untuk Panji Anom (selain untuk tari
wireng Panji Anom juga digunakan untuk tari Alus luruh ‘anom’, seperti pada
peran Lesmana, Abimanyu, dan lain-lain). Gaya tari ini dalam Serat
Kridhwayangga disebut Edraya Werdu, artinya gerak tari yang halus. Perincian/
detail gerak tubuh dalam tari itu ditentukan sebagai berikut.
1. Polatan (arah pandangan): ke arah siku
2. Pacak gulu (gerak leher) panggung dagu digerakkan ke kanan lalu ditarik
kembali ke kiri, arah pandangan masih tunduk kemudian meniru gerak ular
berenang (ula nglangi) dua kali, ke kiri, ke kanan dan kembali ke tengah.
3. Jaja mungal samadya: dada ditegakkan sedang.
4. Leyot kalpika: tubuh digerakkan (meliuk ke kanan dan ke kiri dengan
membentuk kalpika putaran/lingkaran cincin) diikuti dengan genjot dan njujut
(tungkai merencah dan lurus, posisi berjingkat).
5. Bentuk jari karah bedhat: ujung ibu jari didekatkan dengan ujung jari tengah
(tidak menempel), jari-jari yang lain melengkung searah dengan jari tengah
tidak sejajar.
6. Tanjak tajuk: sikap tegak, jarak tumit kanan dan kiri satu kaki.
7. Adek tambak baya: sikap tubuh memberi kesan siap menghadapi bahaya
(lawan),
8. Patrap beksa (sikap laku tari) sata ngetap swiwi: periksa paparan patrap
beksa.
Kesepuluh patrap beksa yang telah dikemukakan di depan dilengkapi dengan
detail gerak tubuh (melalui proses penjelajahan estetis gerak tubuh) dan kemudian
ditentukan sebagai sebuah kualitas tari/ gaya tari seperti dalam Panji Sepuh dan
Panji Anom.
Ketika para empu tari Jawa berproses, secara sadar mereka juga mengkaji terus-
menerus konsep "rasa" yang merupakan jiwa dari tari yang diciptakan, dengan
memunculkan konsep sengguh, mungguh, dan lungguh yang bisa dijelaskan
sebagai berikut.
1. Sengguh: pemahaman dan kemampuan penari/koreografer dalam menjiwai
tari/mengungkapkan rasa tari yang ditarikan/digarap.
2. Mungguh: pemahaman dan kemampuan penari/koreografer dalam
menyesuaikan tari yang disajikan/digarap dengan elemen-elemen lainnya
seperti: tema, gendhing, gandar, rias busana, dan lain-lain.
3. Lungguh: pemahaman dan kemampuan penari/koreografer dalam menentukan
posisi (kedudukan ketika menyajikan/menggarap tari, seperti lungguhing
Bedhaya akan berbeda dengan lungguhing tari Gambyong, lungguhing Satria
akan berbeda dengan lungguhing Pendhita, dan lain sebagainya.
Berkaitan dengan “rasa” yang merupakan esensi atau inti/jiwa dari tari Jawa,
tampaknya hadir di Jawa pada masa pengaruh kebudayaan India. Menurut Bhatta
Nayaka seorang filsuf Kashmir (sekitar pertengahan abad ke-X), “rasa”
pengalaman estetis, diketahui melalui kekuatan pewahyuan (revelation), bukan
suatu persepsi dengan akal budi, melainkan pengalaman yang penuh
kebahagiaan. Hasil yang diperoleh dikelompokkan dengan kesadaran yang luas.
Perembesan kesadaran dengan kebahagiaan dan penerangan (pencerahan) adalah
termasuk ke dalam brahman yang tertinggi. Pernyataan Nayaka menyiratkan
bahwa rasa sebagai pengalaman estetis juga merupakan pengalaman religius.
Konsep rasa ini, di Jawa, menjadi berkembang demikian luas, namun hakikatnya
sebagai sebuah pengalaman religius juga masih tampak jelas. Hal ini juga
menjadi pertimbangan ketika para empu tari berproses. Seperti yang tertuang
dalam Serat Wedhataya, di antaranya setiap tari Wireng (terutama yang tampak
dalam tari Wireng Panji Sepuh dan tari Wireng Panji Anom) selalu diawali
dengan gerak tari seperti berikut.
Trapsila anoraga, merupakan perlambang bahwa manusia harus andhap asor
(merendahkan diri) dan selalu ingat asal-usulnya.
1. Trapsila anoraga, merupakan perlambang bahwa manusia harus andhap asor
(merendahkan diri) dan selalu ingat asal-usulnya).
2. Sembahan, merupakan makna bahwa manusia setelah dapat melihat alam
raya ini dengan khidmat mengucap syukur dan secara sadar tahu di mana
posisi dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa, kemudian manembah kepada-
Nya.
3. Jèngkèng, yang berasal dari kata jangka-aèng, yang mempunyai makna
bahwa manusia harus mempunyai cita-cita yang tinggi, dan pada bagian ini
juga menunjuk bahwa manusia harus dapat mengalahkan tindakan yang jelek
dan memenangkan tindakan yang baik (silih-ungkih).
4. Jumeneng laras, merupakan perlambang setelah manusia memahami Tuhan
Yang Maha Esa, dalam menempuh kehidupan ini, dalam langkah, bertindak,
harus penuh dengan pertimbangan (dilaras) atau betul-betul dirasakan lahir
dan batin sesuai dengan kemampuan dan berdasarkan apa yang menjadi cita-
cita manusia.
5. Lumaksana laras, menunjukkan arah kéblat papat, menyiratkan perjalanan
manusia dalam alam semesta ini perlu mempertimbangkan kehati-hatian,
éling waspada, tidak grusa-grusu, dan lain-lain.
Setelah melalui gerak tari ini, barulah penari menarikan berbagai vokabuler tari
yang sudah tersusun berdasarkan tari yang disajikan dan diakhiri dengan gerak
tari jèngkèng, sembahan, dan trapsila anoraga lagi.
Setelah tercipta sepuluh patrap beksa dan berbagai konsep estetis seperti
dipaparkan di depan, proses penggarapan masih tetap berlanjut dengan
mewujudkan beratus-ratus vokabuler gerak tari yang sangat bermanfaat sebagai
bahan penggarapan tari, terutama bagi generasi tari sekarang. Dari proses kreatif
itulah kemudian hadir berbagai genre seperti Bedhaya srimpi, Wirèng,
Langendrian, Wayang Wong, dan lain-lain, seperti dikenal sekarang.
Meskipun kemudian hasil kreativitas itu disebut sebagai “pakem” beksa, masih
terbuka kemungkinan penafsiran secara kreatif, yang merupakan dasar untuk
penciptaan tari selanjutnya. Etos kerja ketika mereka berproses sungguh
merupakan prestasi yang sangat dibanggakan. Mereka selalu melakukan
pengkajian terus-menerus sampai hasil ciptaannya mewujud seperti yang dikenal
sekarang. Bahkan perangkat evaluasi juga dipikirkan, dengan menelorkan konsep
Hasta Sawanda, yaitu pacak, pancad, ulat, lulut, luwes, wiled, irama dan
gendhing. Untuk mengkaji sejauh mana kualitas hasil kreativitas seniman tari
(baik bagi koreografer maupun penari).
Kreativitas Tari dalam Pertemuan Antar Budaya
Menjelang akhir abad ke-20 telah bergulir sebuah paradigma yang menjamah
kehidupan suatu bangsa di seluruh dunia, yaitu sebuah pandangan tentang
kesetaraan serta kebebasan bagi semua bangsa duduk bersama berdampingan
dalam satu atap global. Globalisasi yang dengan serta-merta menawarkan peluang
sekaligus tantangan bagi setiap bangsa untuk menentukan posisinya dalam kancah
persaingan global. Hal ini tentu saja menuntut suatu sikap keterbukaan sebagai
bagian dari alam pikiran modern yang senantiasa mau membuka diri, menatap
kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni ke masa depan.
Disadari bahwa setiap suku bangsa memiliki corak budaya sendiri dengan
dinamika kehidupannya, yang selalu terbawa dalam proses kontinuitas serta
kesediaannya untuk berubah, dalam konteks citra kehidupan idealistik. Masing-
maing wilayah etnis tidak akan lepas dari proses ini sehingga dengan kemampuan
serta potensi yang ada masing-masing berpacu meraih kemajuan untuk mencapai
cita-citanya. Bahkan, bukan tidak mungkin di antara beberapa wilayah etnis atau
antara suku bangsa dengan bangsa lain terjadi persentuhan budaya dengan
berbagai dampaknya (positif maupun negatif).
Keanekaragaman budaya yang menunjuk pada keberadaan atau adanya bermacam
corak budaya di Indonesia menuntut sebuah sikap atau cara pandang yang bersifat
meng-Indonesia dan meng-global. Diharapkan terjadi interaksi atau dialog budaya
di antara wilayah etnis hingga pada bangsa-bangsa di dunia.
Karya seni (termasuk tari) sebagai sebuah ekspresi pengalaman manusia
berbudaya tentu saja tidak bisa lepas dari permasalahan-permasalahan budaya
tersebut. Keberadaan tari di Indonesia hadir dalam lokus-lokus budaya yang
tersebar di seluruh Nusantara. Perkembangannya begitu pesat, bahkan mampu
menembus batas-batas kesukuan (menurut istilah Edi Sedyawati). Hal itu sejalan
dengan perkembangan sosio-kultural dan jiwa zaman, serta kesadaran dan
wawasan para pelaku tari itu sendiri (pemikir, seniman, kritikus, dan lain-lain).
Hasil dan atau wujud kreativitas tari dalam pertemuan antar budaya (menurut
pengamatan sepintas penulis) sangat bergantung pada keandalan sang koreografer
yang bercirikan sifat kreatif-inovatif, mandiri berwawasan luas, sikap terbuka dan
kritis, tanggap berbagai fenomena yang berkembang di masyarakat, peka terhadap
medium garap, dan bertanggungjawab secara profesional. Keandalan dan
integritas profesional sang koreografer inilah yang memungkinkan hadirnya
karya-karya tari yang merefleksikan pertemuan antar budaya itu. Banyak contoh
yang bisa disampaikan di sini, di antaranya;
1. ketika G.P.H. Prabuwinoto (putra Paku Buwana X) menciptakan tari Wirèng
Dayak, diyakini karena beliau mempunyai wawasan luas dan melakukan
pengamatan terhadap tari- tarian suku Dayak.
2. Mangkunegara VII memprakarsai memadukan gaya tari Surakarta
(Kasunanan) dan gaya tari Yogyakarta (Kasultanan) dengan cara
mengirimkan para penari dan pelatih tari Mangkunegaran di Yogyakarta,
kemudian berlanjut dalam proses kreatif sampai memunculkan gaya tari
Mangkunegaran yang khas.
3. Gendhon Humardani melakukan eksperimen menari tari Jawa Alusan dengan
iringan karawitan Bali, juga menari Raksasa (Jawa) disatukan dengan Tari
Baris. Hal ini juga menunjukkan sikap dan pandangan meng-Indonesia seperti
sering dilontarkan bahwa tari-tari yang ada dan tersebar luas di berbagai
wilayah budaya seharusnya meng-Indonesia.
4. Beberapa karya Bagong Kusudiarjo juga merefleksikan pertemuan antar
budaya.
5. Karya Guruh Sukarno Putra dengan GSP-nya secara jelas merupakan
kreativitas tari (dan musik) yang merefleksikan pertemuan antar budaya
dalam kemasan yang ngepop.
6. Karya Sardono W.Kusumo, seperti Opera Diponegoro, menunjukkan
kreativitas tari yang juga merefleksikan pertemuan antar budaya (tari Zapin,
Bali, Jawa, Kerakyatan, dan lain-lain) yang menyatu dalam totalitas karyanya.
7. Karya-karya Retno Maruti seperti Abimanyu Gugur, tampak sekali perpaduan
gaya Surakarta yang luluh menjadi satu keutuhan penyajian.
8. Karya Elly Luthan “Kunthi Pinilih” nuansa tari Jawa, Dayak, dan Sulawesi
(Pakarena) luluh dan menyatu dalam keutuhan penyiapan.
Masih banyak contoh yang tidak sempat dipaparkan di sini, seperti karya-karya
Gusmiati Suid, Farida Utoyo, Almarhum Huriah Adam, Deddy Luthan, Tom
Ibnur, serta beberapa karya-karya para koreografer STSI, ISI, IKJ, dan lain-lain.
Persoalan yang muncul yang patut dipertanyakan adalah apakah mereka
menyadari bahwa kreativitas yang dihasilkan itu sebenarnya mencerminkan
penghayatan nasionalitas? Bila ditilik dari keandalan dan integritas profesional
koreografer yang telah dipaparkan di depan, saya yakin bahwa apa yang
dilakukan sebenarnya merupakan salah satu sikap dan kesadaran akan
penghayatan nasionalitas itu. Memang permasalahan ini perlu dikaji lebih jauh,
mungkin melalui kegiatan penelitian.
Kreativitas tari dalam pertemuan antar budaya bisa juga hadir dalam bentuk
“kolaborasi” yang sedang trend saat ini. Kolaborasi dalam hal ini berarti
kerjasama untuk menentukan ide, gagasan, dan berproses hingga mewujudkan
sebuah karya seni (tari) yang merefleksikan pertemuan antar budaya. Dalam
proses, kolaborasi seni selalu akan terkait dengan interaksi dan dialog (budaya),
yang merupakan persoalan yang melibatkan dua belah pihak atau lebih dalam
konteks bersifat komunikatif yang diharapkan saling menguntungkan. Proses
kolaborasi (seni, harus didudukkan dalam format kesederajatan atau perdana
dalam kesedarajatan, saling memberi dan menerima.
Beberapa contoh karya-karya tari hasil proses kolaborasi bisa dipaparkan disini,
seperti ketika Sardono bekerjasama dengan seniman-seniman desa Teges di Bali,
orang-orang/seniman-seniman suku Dani di Papua. Sendratari Ramayana
Prambanan yang muncul pada tahun 1961 sebenarnya merupakan hasil kolaborasi
budayawan dan seniman Surakarta dan Yogyakarta, yang mampu mewujudkan
karya kolosal dan koreografer-koreografer handal yang dikenal sekarang. Contoh
lain misalnya yang dilakukan oleh Deddy Luthan, yang bekerjasama dengan
seniman-seniman Banyuwangi, dan terakhir berkolaborasi dengan seniman-
seniman Kalimantan (Dayak) dengan menghadirkan karya tari Anggrek Hitam
Berbunga.
Hasil kreativitas tari dalam pertemuan antar budaya, baik yang muncul dari ide,
gagasan koreografer yang andal, maupun hasil kolaborasi melalui proses interaksi
dan dialog (budaya) yang mengutamakan kesederajatan, sebenarnya secara tidak
langsung telah mengarah pada pemantapan penghayatan nasionalitas. Proses
kreatif dan kewujudannya yang merefleksikan pertemuan antar budaya menjadi
sangat penting ketika penghayatan nasionalitas dirasakan semakin memudar (apa
pun sebabnya).
=+=

Penutup
Pada bab VI ini telah dibahas tentang estetika Jawa, dan seni pertunujukan
khususnya seni pedalangan dan seni tari. Pembahasan mengenai estetika Jawa
telah disampaikan beberapa permasalahan yang berhubungan dengan sifat
kebudayaan Jawa diantaranya adalah sifat kontemplatif-transendental, sifat
simbolistik, dan sifat filosofis. Sedangkan mengenai seni pertunjukan khususnya
seni pedalangan telah disampaikan pembahasan yang menyagkut masalah
pergelaran, cerita, dan penonton. Pembicaraan tentang seni pertunjuan tari, telah
dibahas estetika tari yang mengacu pada Serat Kridhwayangga, dan Serat
Wedhataya.
Pemahaman atau penguasaan materi yang telah disampaikan bagi mahasiswa
adalah sangat penting. Untuk mengetahui hal tersebut tugas mahasiswa adalah;
pada akhir perkuliahan mahasiswa diminta membuat rangkuman. Melalui
rangkuman yang dibuat oleh mahasiswa dosen juga mendapatkan umpan balik
materi yang telah disampaikan. Hasil rangkuman dari mahasiswa dapat digunakan
sebagai masukan dan pembenahan materi di masa mendatang. Dengan
penguasaan materi yang telah disampaikan pada bab ini, mahasiswa akan lebih
mudah memahami materi yang disampaikan berikutnya yaitu unsur utama dan
unsur khusus pembentuk estetika karawitan. Untuk mengukur dan mendapatkan
gambaran mengenai penyerapan atau penguasaan materi bagi mahasiswa, berikut
disampaikan tes formatif yang wajib dijawab oleh mahasiswa. Berikut beberapa
contoh soal untuk dijawab oleh mahasiswa.

Latihan Soal Bab VI.

1. Ciri-ciri estetika Jawa adalah di antaranya bersifat kontemplatif-


transendental, bersifat sombolistik, dan bersifat filosofis, jelaskan dari
masing-masing sifat tersebut!
2. Estetika Jawa juga dibedakan antara kesenian rakyat dan kesenian keraton,
jelaskan ciri-ciri dari masing-masing kelompok kesenian dimaksud!
3. Dalam seni pertunjukan pedalangan unsur utamanya adalah pagelaran, cerita,
dan penonton, jelaskan dari masing-masing unsur dimaksud!
4. Setiap tokoh wayang terdapat sifat-sifat khusus yang sukar diterangkan, tapi
mudah dimengerti bila diperhatikan sepak terjangnya di kelir, berikan contoh
beberapa wayang untuk menjelaskan pernyataan tersebut!
5. Beberapa unsur estetika pedalangan bisa dibangun melalui antawacana, gerak
figur wayang, dialog, dan musiknya, berikan penjelasan dari masing-masing
unsur dimaksud!
6. Dalama seni pertunjukan pedalangan dikenal istilah sanggit, berikan
penjelasan mengenai istilah sanggit berikut contohnya!
7. Seniman tari mengkaji secara terus menerus konsep sengguh, mungguh, dan
lungguh, jelaskan masing-masing konsep dimaksud!
8. Dalam tari wirèng selalu diawali dengan falsafah gerak tari trapsila anoraga,
sembahan, jèngkèng, jumeneng laras, dan lumaksana laras, jelaskan dari
masing-masing istilah ditinjau dari falsafahnya!

=+=

Rangkuman Bab VI

1. Kebudayaan Jawa terutama yang berkaitan dengan ekspresi estetiknya


mengandung ciri-ciri utama diantaranya bersifat kontemplatif-transendental,
bersifat simbolistik, dan bersifat filosofis.
2. Struktur estetik Jawa lebih cenderung demokratis; pemain, penonton,
pengamat, pemberi dana dan lingkungan menjadi satu. Bahkan kadang-
kadang ungkapan estetik menjadi tidak dikenal lagi siapa penciptanya.
Pertunjukan itu menjadi milik semua, dinikmati dan dihayati oleh semua.
3. Dalam kebudayaan Jawa dikenal pula yang disebut sebagai “kesenian rakyat”
dan “kesenian kraton” jarak antara keduanya selalu ada, karena kesenian
rakyat lebih dinamis sedangkan kesenian kraton mempertahankan tradisi dan
pakem estetikanya.
4. Bagi masyarakat Jawa karya estetik yang bermakna adalah karya estetik yang
dapat dipahami oleh masyarakat dan melibatkan masyarakat banyak.
Meskipun terdapat perkembangan karya estetik di kraton, tetapi makna yang
diperoleh hanya di lingkungan elite tertentu, walaupun kemudian menjadi
perlambang kemajuan budaya Jawa secara keseluruhan.
5. Secara garis besar seni pertunjukan wayang kulit mempunyai tiga unsur yaitu
unsur pertunjukan atau pagelaran (gedebog, bléncong, gunungan, dan
gamelan), cerita (yang bersumber dari Ramayana, Mahabarata, serat lokapala-
Rama dan Jarwa-Baratayuda), dan penonton.
6. Ketika Ki Dhalang pada akhir pertunjukan memainkan sebuah golèk yang
menari sebagai isyarat kepada para penonton agar mereka suka mencari
(nggoleki) arti/makna atau pelajaran pertunjukan wayang semalam suntuk itu.
7. Pada seluruh permainan wayang semalam suntuk, kita lihat gunungan atau
kayon berdiri tegak tiga kali, yaitu pada permulaan, tengah, dan akhir
permainan. Bagian permulaan mengisahkan kehidupan manusia sebagai anak-
anak meningkat dewasa, bagian tengah melambangkan kehidupan
selanjutnya, pemuda yang telah ditempa lahir dan batin yang bisa
menundukkan nafsu-nafsunya. Bagian akhir adalah penggambaran akhir dari
kehidupan manusia yang penuh dengan permasalahan yang intinya adalah
persiapan menghadap Tuhan Yang Maha Esa.
8. Konsep greget sebagai konsep estetika pedalangan mempunyai pengertian
paling tidak adalah suasana tergesa-gesa, semangat, sigrak, tegang, dan
seram, yang diciptakan oleh dhalang dengan segenap pendukung pentas, yang
dibangun melalui unsur-unsur pakeliran yaitu narasi (dialog), penyuaraan
vocal, gerak figure wayang dan unsur musik.
9. Kedalaman sanggit pakeliran sangat bergantung pada keluasan pengalaman
jiwa atau kedalaman perenungan dhalang terhadap permasalahan hidup dan
kepiawaiannya menggarap medium pakeliran. Oleh Karena itu bisa terjadi
dalam lakon yang sama terjadi garap yang berbeda, baik struktur adegan, cara
mengungkapkan dan memecahkan masalah, penggarapan karakteristik tokoh,
maupun pemilihan repertoar dan melodi musik pakeliran.
10. Konsep kewujudan yang terdapat dalam Serat Kridhwayangga merupakan
dasar-dasar gerak sebagai inti atau esensi dari tari Jawa, yaitu yang disebut
patrap beksa yang terdiri dari; merak ngigel, sata ngetap swiwi, kukila
tumiling, branjangan ngumbara, mundhing mangundha, wreksa sol, anggiri
gora, pucang kanginan, sikatan met boga, dan ngangrang binida.
11. Tari Jawa memandang tubuh sebagai omah dan dilihat berbagai kelebihan
dan kekurangannya karena wujud gerak tari sepenuhnya diungkapkan melalui
tubuh penari. Detail dari gerak tubuh dimaksud adalah; polatan, pacak gulu,
jaja mungal samantra, leyot wangking, ambaya mangap, tanjak tajem, adek
takbak wèsthi dan patrak beksa.
12. Selain konsep tari dalam serat Kridhwayangga Konsep sengguh, mungguh,
dan lungguh, serta beberapa konsep lainnya seperti Serat Wedhataya, dan
Hasta sawanda, adalah sumber-sumber estetika Tari Jawa pada saat ini.
=+=
Penyekat Bab VII

TIK: Pada akhir pertemuan ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan unsur
utama pembentuk estetika karawitan (sarana fisik, laras dan lagu, dan seniman)
dan unsur khusus pembentuk estetika karawitan (irama, laya, cengkok, pola,
pathet, garap, dinamika, waktu jeda, vokal, dan budaya.
Pokok Bahasan: Pembentuk estetika karawitan.

Deskripsi Singkat: Dalam pertemuan ini dibahas tentang unsur utama dan unsur
khusus pembentuk estetika karawitan. Pemahaman terhadap hal-hal tersebut
sebagai jembatan untuk memahami materi berikutnya yaitu rasaning gendhing.

Bahan Bacaan.
1. Martopangrawit, (1972), Tjatatan Pengetahuan Karawitan, Pusat Kesenian
Djawa Tengah dan Dewan mahasiswa ASKI Surakarta.
2. Rahayu Supanggah, (1990), Balungan, Jurnal Masyarakat Musikologi
Indonesia.
3. Rahayu Supanggah, (1994), Gatra, Inti dari Konsep Gendhing Tradisi Jawa,
Jurnal Wiled Th I. STSI Surakarta.
4. Rahayu Supanggah, (2002), Bothekan Karawitan I, Ford Foundation &
Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
5. Rahayu Supanggah, (2007), Bothekan Karawitan II, ISI Press Surakarta.
6. Sri Hastanto, (2009), Konsep Pathet Dalam Karawitan Jawa, Program
pascasarjana bekerja sama dengan ISI Press Surakarta.
7. Sindu Sawarno, (1959), Ilmu Karawitan jilid I dan II, Konservatori, Surakarta.

=+=
BAB VII
UNSUR PEMBENTUK ESTETIKA KARAWITAN
Pendahuluan
Membicarakan masalah unsur pembentuk estetikan karawitan sangat kompleks.
Jika kita pertanyakan bagaimana karawitan itu bisa ada? Jawaban atas pertanyaan
tersebut paling tidak ada 3 unsur yang harus dijelaskan. Ke-tiga unsur tersebut
antara lain; sarana fisik, laras dan lagu, dan seniman. Ke-tiga unsur ini adalah
sarana utama, dan tidak berarti unsur yang satu lebih penting dari unsur yang
lainnya. Kesemua (ke-tiga unsur) sama pentingnya dan saling berkait. Urutan dari
ke-tiga unsur ini bukan merupakan urutan prioritas dalam arti urutan pertama
lebih penting dari urutan yang kedua atau ketiga, tetapi dalam level yang sama.
Semata-mata ini adalah soal urutan pembahasan belaka.
Selain unsur pembentuk utama, dalam estetika karawitan tidak bisa lepas dengan
unsur pembentuk khusus estetika karawitan. Unsur khusus inilah yang dapat
menentukan keindahan dalam sajian karawitan. Unsur-unsur yang dimaksud
antara lain; irama, laya, cengkok, pola, pathet, garap, dinamika, waktu jeda, vocal,
dan budaya. Unsur-unsur ini saling berkait satu dengan yang lainnya. Unsur-unsur
ini pula yang akan menuntun pemahaman dan rasa kita (penghayat) kearah
hayatan gendhing yang dibicarakan pada bab berikutnya yaitu bab VIII.

Penyajian
Unsur Utama Pembentuk Estetika Karawitan
1. Sarana Fisik
Sarana fisik disini yang dimaksud adalah bisa berujud benda mati maupun benda
hidup. Benda mati yaitu yang berujud ricikan gamelan. Benda hidup yaitu
manusia, melalui mulut (manusia) akan dihasilkan suara atau bunyi yang disebut
vokal.
Ricikan gamelan bahannya bisa bermacam-macam. Paling tidak ada 3 bahan
utama untuk gamelan yang sampai saat ini digunakan yaitu, bahan gamelan yang
terbuat dari besi, kuningan, dan atau perunggu. Selain itu juga digunakan bahan
dari bambu yang disebut gamelan calung dan atau angklung. Dari berbagai
macam bahan gamelan ini maka muncul beberapa perangkat gamelan. Untuk
karawitan gaya Surakarta terdapat beberapa perangkat gamelan yaitu; perangkat
gamelan ageng, perangkat gamelan pakurmatan, perangkat gamelan gadhon,
perangkat gamelan siteran, perangkat gemalan cokekan. Sementara pada
perangkat gamelan ageng bisa digunakan untuk keperluan klenengan, karawitan
pakeliran, dan atau karawitan tari (Rahayu Supanggah 2002).
Ricikan yang digunakan dengan pilihan bahan tertentu sangat berpengaruh dalam
sajian karawitan. Artinya juga akan berpengaruh terhadap estetika karawitannya.
Karena warna suara (timbre) memberikan andil besar terhadap rasa estetis dalam
sajian sebuah gendhing.
Suara manusia (vokal) dalam sajian karawitan dibedakan atas suara tunggal dan
suara bersama. Suara tunggal bisa dalam sajian bawa dan atau sindhen
(swarawati). Suara bersama bisa dalam sajian gerong dan atau srimpen. Warna
suara (timbre) manusia adalah sangat berbeda dengan suara ricikan gamelan,
maka pengaruh terhadap rasa estetis sama besarnya dengan ricikan gamelan
(Sindu Sawarno 1959).
Kualitas gamelan dan kualitas suara yang dihasilkan sangat menentukan hasil
sajian estetis baik dari sudut pengrawit maupun sudut penghayat. Begitu juga
kualitas suara manusia yang sedang menyajikan karawitan melalui olah vokalnya
juga sangat menentukan hasil sajian estetisnya. Warna suara baik dari unsur
gamelan maupun unsur manusia juga sangat mempengaruhi rasa estetis sebuah
sajian karawitan.
2. Laras dan Lagu
Laras yang dimaksud disini adalah tanggan nada yang digunakan dalam karawitan
yaitu laras slendro dan atau laras pelog. Menurut R. Supanggah, laras dalam
karawitan dapat bermakna jamak. Paling tidak ada tiga makna penting yaitu;
1. makna pertama laras adalah sesuatu yang (bersifat) enak atau nikmat untuk
didengar atau dihayati.
2. makna kedua laras adalah nada, yaitu suara yang telah ditentukan jumlah
frekuensinya (penunggul, gulu, dhadha, pelog, lima, nem dan barang).
3. makna ketiga laras adalah tangga nada atau scale/gamme, yaitu susunan nada
nada yang jumlah, urutan dan pola interval nada-nadanya telah ditentukan.
Pengertian-pengertian inilah yang selama ini digunakan dikalangan pengrawit
atau seniman karawitan di Jawa Tengah. Laras inilah (slendro dan atau pelog)
yang menjadi salah satu acuan dalam menentukan dan memberikan penilaian
terhadap sajian karawitan terhadap rasa estetisnya.
Lagu menurut Martopangrawit adalah susunan nada-nada yang diatur dan apabila
dibunyikan sudah terdengar enak. Pengaturan nada-nada nantinya berkembang
kearah suatu bentuk, sehingga menimbulkan bermacam-macam bentuk dan
bentuk-bentuk inilah yang selanjutnya disebut gendhing. Jadi apabila ada orang
berkata “Gendhing Gambirsawit” ini berarti lagu-lagu yang disusun menjurus
kearah suatu bentuk, dalam hal ini berbentuk “Merong kethuk kalih kerep”
selanjutnya disebut gendhing dan gendhing itu dinamakan Gambirsawit.
(Martopangrawit, 1972)
Laras dan lagu ini seakan-akan dwi tunggal (dua yang menjadi satu). Ada lagu
pasti membutuhkan laras. Laras sendiri ada karena dibutuhkan oleh lagu. Dengan
demikian Lagu dan laras inilah menjadi unsur yang sangat penting dalam
karawitan. Menurut The Liang Gie unsur bunyi atau suara inilah yang menjadi
medium utama estetika dalam seni musik (karawitan) (The Liang Gie, 1996).
Gendhing/lagu ada berbagai macam ukuran panjang pendeknya. Dalam karawitan
Jawa dikenal ukuran gendhing/lagu yang panjang pendeknya (banyaknya sabetan
(pukulan) dalam satu gongan) dijelaskan melalui bentuknya yaitu bentuk; ayak,
kemuda, srepeg, sampak, lancaran, ketawang, ladrang, gendhing. Sementara itu
bentuk gendhing dibagi menjadi bentuk mérong gendhing kethuk kerep dan
bentuk gendhing kethuk arang. Sedangkan bentuk inggah gendhing terdiri dari
kethuk, papat, wolu, dan nembelas. Selain itu masih ada beberapa bentuk
gendhing yang di luar bentuk yang telah disebutkan, antara lain bentuk, jineman,
dolanan dan langgam (R. Supanggah 2007).
3. Seniman
Seniman atau pengrawit yang dimaksud disini adalah seseorang yang memiliki
kemampuan tertentu dalam memainkan ricikan gamelan. Sementara itu Rahayu
Supanggah menjelaskan seniman atau pengrawit sebagai penggarap. “Yang
dimaksud sebagai penggarap ([balungan] gendhing) adalah seniman, para
pengrawit, baik pengrawit penabuh gamelan maupun vokalis, yaitu pesindhen dan
atau penggérong, yang sekarang juga sering disebut dengan swarawati dan
wiraswara”.
Tanpa adanya seniman atau pengrawit atau penggarap, peristiwa karawitan itu
tidak akan terjadi atau pun ada. Tanpa seniman berarti tidak muncul proses estetis.
Pengrawitlah yang mengolah segala sesuatu dari sebuah lagu atau gendhing
menjadi bermakna, memiliki nilai dan dapat dirasakan melalui indra pendengar.
Jadi kedudukan pengrawit dalam proses estetis sangatlah vital.
Unsur khusus yang juga tidak kalah penting selain unsur utama yang sudah
disebutkan di atas, adalah unsur yang ada di dalam karawitan itu sendiri dan yang
dilakukan oleh pengrawit atau penggarap. Unsur yang dimaksud antara lain
adalah; unsur irama, laya, cengkok, pola, pathet, garap, dinamika, waktu jeda,
vokal, dan budaya. Beberapa unsur inilah yang dipertimbangkan oleh pengrawit
dalam mewujudkan suatu nilai, makna, rasa dalam karawitan. Unsur ini pula yang
membangun keindahan (rasa estetis) melalui penampilan kualitas yang menyatu,
selaras, simetris, seimbang, dan kontras (The Liang Gie, 1976).
Unsur Khusus Pembentuk Estetika Karawitan
Irama
Martopangrawit menjelaskan tentang irama hubungannya dengan gendhing adalah
pelebaran dan penyempitan gatra. (1972) Logika ini diambil dari hal praktik
karawitan yaitu melihat salah satu ricikan yang berubah tabuhannya secara
kelipatannya. Adalah ricikan saron penerus yang menabuh secara kelipatan ketika
irama beralih dari tanggung ke dados atau sebaliknya dari dados ke tanggung.
Dalam karawitan Jawa (Surakarta) lazim dikenal beberapa irama yaitu; irama
lancar, tanggung, dados, wiled dan rangkep.
Alangkah cacatnya ketika seorang penabuh atau sebuah tabuhan – yang dilakukan
oleh seseorang atau sekelompok orang – dinilai oleh pendengarnya atau seniornya
sebagai ora irama (tidak berirama) tidak teratur. Dalam konteks ini, irama adalah
kata sifat yang memiliki kandungan makna estetik yang kira-kira mirip dengan
(kata sifat) laras, yaitu harmonis, selaras, tertata, teratur (R. Supanggah, 2002).
Apapun bentuk musik di dunia ini, irama adalah satu unsur yang sangat penting.
Tanpa keteraturan hitungan, permainan atau sajian dari sebuah gendhing oleh
seseorang ataupun kelompok tidak akan bisa berkembang dengan baik. Dengan
demikian irama sangat berperan dalam hal pembentukan estetik dari sebuah lagu
atau gendhing. Dengan irama yang pas dan tepat permainan setiap ricikan bisa
mengembangkan wiledannya dengan baik dan enak. Muara dari itu semua adalah
rasa estetis dari sajian sebuah gendhing baik secara individu maupun secara
kelompok.
Laya
Sajian gendhing yang berhubungan dengan waktu atau kecepatan disebut laya (R.
Supanggah, 2002). Cepat dan atau lambatnya sajian pada sebuah gendhing dalam
karawitan disebut laya atau tempo. Laya dalam sajian karawitan tergantung pada
“pamurba irama” dalam hal ini adalah pengendang, bersifat sangat individual
(Martopangrawit, 1972). Laya dalam karawitan ada 3 yaitu; 1. Tamban (lambat);
2. Sedeng (sedang); 3. Seseg (cepat).
Konsesus umum bahwa sajian karawitan untuk wayang penggunaan laya lebih
cepat dibanding dengan sajian karawitan konser. Disinilah nilai-nilai estetis
tentang penerapan laya terhadap sajian karawitan, yaitu mempertimbangkan
keperluannya. Pada setiap irama paling tidak masih dapat dikombinasikan dengan
tiga level laya, misalnya sajian sebuah gendhing dengan menggunakan irama
tanggung, dalam hal ini masih bisa ditafsirkan lagi yaitu irama tanggung dengan
laya tamban, irama tanggung laya sedeng atau irama tanggung dengan laya seseg.
Pengaturan laya inilah yang memberikan kebebasan tafsir dari setiap pamurba
irama (pengendang).
Beberapa tafsiran terhadap penggunaan laya hubungannya dengan tafsir rasa
antara lain sebagai berikut. Penggunaan atau pengaturan laya yang cepat dari
sebuah gendhing cenderung memberikan tafsir rasa yang gembira, senang,
tergesa-gesa, marah, berag, gagah, gecul dll. Sementara penggunaan laya yang
sedeng cenderung memberikan tafsiran rasa yang regu, agung, lugu, khidmat,
wingit, berat, tenang, wibawa dll. Sedangkan penggunaan laya tamban cenderung
memberikan tafsiran rasa sedih, susah, terharu, ngeres, sepi, kasmaran, emeng
dan lain sebagainya (Marc Benamou, 2010). Tafsir laya ini adalah salah satu dari
sekian banyak unsur yang membentuk rasa estetis dari sebuah gendhing.
Dalam percakapan sehari-hari dikalangan para pengrawit, kata laya hampir tidak
pernah digunakan atau terdengar. Semuanya menggunakan kata irama walaupun
yang dimaksud adalah laya. Walaupun demikian dalam konteks pembicaraan di
kalangan pengrawit, apakah yang dimaksud irama atau laya sangat mudah
dipahami. Contohnya, “Iramane ketambanen” (iramanya terlalu lambat), kata
irama yang dimaksud dalam kalimat tersebut adalah laya. Tetapi jika: “Mengko
iramane lancar wae”, (nanti menggunakan irama lancar saja), kata irama disini
yang dimaksud adalah arti irama yang sesungguhnya, bukan laya (Maropangrawit,
1972). Sebuah sajian karawitan ditentukan oleh irama dan laya (tamban, sedeng,
seseg). Dengan irama yang pas maka setiap ricikan (atau pengrawit) bisa
mengembangkan wiledannya dengan baik dan enak, yang pada akhirnya
berpengaruh terhadap estetika karawitan.
Cengkok
Terdapat dua pengertian terhadap istilah cengkok. Pengertian pertama adalah
cengkok yang berarti garap. Pengertian kedua adalah cengkok yang berarti jumlah
gong pada suatu gendhing. Cengkok dalam arti garap adalah suatu lagu yang
permanen (tetap) baik suara manusia maupun suara gamelan (Martopangrawit
1972). Sebagai contoh cengkok “Ayu Kuning”, motif lagunya tidak berubah
walaupun disajikan dalam irama yang berbeda. Perbedaannya terletak pada
isiannya yang di kalangan karawitan disebut “wiledan”.
Karawitan gaya Surakarta menggunakan berbagai macam ricikan. Setiap ricikan
mempunyai pola permainan atau permainan cengkok sendiri-sendiri. Artinya
cengkok “ayu kuning” yang digunakan dan dimainkan untuk ricikan gendèr
barung akan berbeda dengan ayu kuning yang digunakan untuk ricikan rebab,
akan berbeda pula ayu kuning yang digunakan untuk ricikan gambang, begitu
seterusnya. Perbedaan permainan ini berlaku terutama untuk ricikan garap. Jadi
masing-masing ricikan memiliki cengkoknya sendiri-sendiri, tetapi menggunakan
alur lagu yang sama. Contohnya jika dalam bagian gatra tertentu dalam sebuah
gendhing digarap menggunakan cengkok ayu kuning, hampir semua ricikan garap
menyajikan cengkok ayu kuning pada gatra tersebut.
Perpaduan berbagai cengkok yang digunakan oleh setiap ricikan dengan berbagai
variasi wiledannya inilah yang menimbulkan rasa-rasa tertentu dalam sajian
karawitan Jawa. Tafsiran dan pilihan penggunaan cengkok dan segala wiledannya
itulah yang menentukan rasa dari sebuah gendhing. Terlebih dulu setiap pengrawit
juga harus paham dan menafsir karakter gendhing yang disajikan. Tafsiran
cengkok beserta wiledannya juga harus dibarengi dengan greget yang muncul dari
dalam diri masing-masing seniman atau pengrawit. Kesemuanya inilah yang
memunculkan rasa-rasa di dalam karawitan.
Pola
Salah satu arti pola dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem; cara
kerja (KBBI edisi ketiga 2005). Pola dalam karawitan adalah sistem, cara kerja,
permainan ricikan tertentu yang diulang secara terus menerus dalam kurun waktu
tertentu. Misalnya pola mipil untuk ricikan bonang barung dan bonang penerus,
pola imbal untuk ricikan saron barung dan juga ricikan bonang barung dan bonang
penerus, pola minjal yang dilakukan oleh ricikan slenthem dan ricikan demung,
pola kendangan lancaran, pola kendangan merong, pola kendangan ciblon dll.
Dengan pola-pola tabuhan masing-masing ricikan dalam gamelan ageng memberi
warna terhadap setiap sajian gendhing. Dengan pola tabuhan tertentu inipula
pengrawit menafsir karakter gendhing. Tanpa adanya pola-pola tabuhan ini di
dalam karawitan tidak akan terungkap keindahan yang ada di dalamnya. Dengan
pola-pola tabuhan tertentu pengrawit bebas memberikan tafsiran atas sajian
sebuah gendhing yang muaranya menimbulkan rasa tertentu. Dengan demikian
setiap ricikan dalam gamelan ini memberika andil untuk terciptanya sebuah atau
berbagai rasa.
Pathet
Pathet adalah “garap” berganti pathet berarti berganti garap (Martopangrawit
1972). Sementara itu pathet adalah “rasa seleh” dalam sebuah gendhing (Sri
Hastanto, 2009). Setiap gendhing atau lagu dalam karawitan Jawa (gaya
Surakarta) memiliki pathet induk. Pathet induk dalam karawitan Jawa untuk laras
slendro adalah pathet nem, pathet sanga, dan pathet manyura. Sedangkan untuk
laras pelog terdiri pathet lima, pathet nem, dan pathet barang.
Dengan pathet induk yang sudah menempel dalam sebuah judul lagu atau
gendhing, pengrawit telah dituntun dalam menyajikan sebuah gendhing. Namun
dalam praktiknya, tuntutan penyajian sebuah gendhing tidak hanya satu pathet
saja, tetapi di dalam gendhing itu sendiri terdapat tafsir pathet-pathet yang lain.
Jika dipaksakan dengan satu pathet saja (pathet induknya saja) tidak akan bisa
berjalan dengan mulus. Bahkan cenderung rasa yang ditimbulkan menjadi kaku
dan tidak enak. Mau tidak mau harus beralih pathet agar kesinambungan garap
menjadi lebih enak, utuh, tidak kaku, selaras dan harmonis, bahkan dapat
memunculkan karakter gendhingnya. Misalnya; Gendhing Kutut Manggung laras
slendro pathet manyura. Memang garap atau rasa selehnya adalah pathet manyura,
tetapi di beberapa tempat (gatra) pada gendhing Kutut Manggung tidak bisa
digarap dengan pathet manyura saja tetapi harus beralih atau meminjam garap
pathet lain misalnya pathet nem atau pathet sanga. Perpindahan atau peminjaman
pathet inilah yang perlu ditafsir oleh para pengrawit. Penggunaan pathet lain
dalam satu gendhing adalah hal biasa dalam karawitan gaya Surakarta. Dengan
tafsir pathet yang dilakukan oleh pengrawit, akan menambah kekayaan rasa yang
ditimbulkan dari sajian sebuah gendhing.
Kebebasan untuk menafsir pathet ada pada seniman atau pengrawit. Namun
demikian dalam menggunakan kebebasannya si seniman atau pengrawit harus
mengikuti aturan-aturan yang berlaku dalam karawitan tradisi gaya Surakarta.
Konsep mungguh harus selalu dipertimbangkan dalam penggunaan tafsir pathet
ini. Kesatuan dan kesamaan tafsir pathet di antara ricikan garap adalah sangat
penting dalam rangka membangun rasa dan mewujudkan karakter gendhing. Akan
dirasa janggal dan tidak enak ketika ricikan-ricikan ngajeng tidak dalam satu tafsir
pathet.
Garap
Dalam dunia karawitan, garap merupakan salah satu unsur yang paling penting
kalau bukannya yang terpenting dalam memberi warna, kwalitas, karakter bahkan
sosok karawitan. Garap merupakan rangkaian kerja kreatif dari (seorang atau
sekelompok) pengrawit dalam menyajikan sebuah gendhing atau komposisi
karawitan untuk dapat menghasilkan ujud (bunyi), dengan kwalitas atau hasil
tertentu sesuai dengan maksud, keperluan atau tujuan dari suatu kekaryaan atau
penyajian karawitan (R. Supanggah 2007).
Garap adalah kreativitas dalam (kesenian) tradisi. Dalam dunia pedhalangan,
garap sering disebut dengan istilah sanggit. Garap adalah sebuah sistem. Garap
melibatkan beberapa unsur atau fihak yang masing masing saling terkait dan
membantu. Dalam karawitan Jawa, beberapa unsur garap dapat disebut sebagai
berikut; 1. Materi garap atau ajang garap; 2. Penggarap; 3. Sarana garap; 4. Prabot
atau piranti garap; 5. Penentu garap, dan; 6. Pertimbangan garap (R. Supanggah
2007).
Garap dalam karawitan adalah sangat kompleks. Melalui tafsir garap inilah
pengrawit atau seniman, dapat mengeluarkan, mengekspresikan seluruh
kemampuan, kepiawian yang dimiliki ke dalam sebuah sajian gendhing. Melalui
tafsir garap inilah karakter gendhing, rasa gendhing bisa muncul. Melalui tafsir
garap inipula inovasi, eksperimentasi, karakter masing-masing individu seniman
tersalurkan. Tafsir garap adalah tafsir konseptual yang dilakukan oleh pengrawit
terhadap irama, laya, laras, pathet, dinamika, cengkok, karakter gendhing, waktu,
ruang, budaya, dll). Beberapa tafsir garap untuk ricikan kendhang misalnya; garap
inggah kendhang, kosek alus, kosek wayang, ciblon, dan kendhang kalih rangkep.
Berbagai tafsir garap kendhang demikian perpengaruh terhadap tafsir garap
ricikan yang lain terutama ricikan garap ngajeng. Bermacam-macam tafsir garap
kendhang ini juga menentukan rasa gendhing yang akhirnya dapat memunculkan
karakter gendhing.
Dinamika
Unsur lain yang tidak kalah penting dalam sajian karawitan adalah dinamika.
Dinamika tidak hanya menyangkut masalah keras lirihnya tabuhan, tetapi juga
melibatkan kebersamaan, keselarasan, keharmonisan, dan keseimbangan. Dalam
dunia karawitan istilah dinamika lebih sering digunakan dengan istilah “rampak”
dan “rempeg”.
Rampak adalah salah satu tuntutan estetis yang erat hubungannya dengan rasa
kebersamaan dalam bermain bersama yang terkait dengan unsur kecepatan atau
waktu. Sedangkan rempek menyangkut rasa kebersamaan dalam bermain
bersama yang berhubungan dengan unsur volume, ruang atau dinamik (R.
Sunaggah, 2002).
Dinamika sangat diperlukan dalam sajian karawitan, karena sifat karawitan itu
sendiri adalah keselarasan, sejajar diantara semua ricikan. Tidak ada yang
menonjol ditonjolkan dalam arti sebagai solo ricikan. Semua ricikan bermain
dalam harmoni. Ukuran keselarasan dalam tradisi karawitan adalah ricikan rebab.
Artinya setiap penabuh (pengrawit) sebaiknya bisa mendengar ricikan rebab.
Karena rebab selain sebagai pamurba lagu juga termasuk ricikan yang paling
lemah dalam hal produksi suaranya. Ukuran semacam inilah yang digunakan
dalam karawitan tradisi. Keselarasan dan keharmonisan semacam inilah yang
harus dijaga ketika interaksi dilakukan di antara ricikan.
Waktu Jeda
Waktu jeda atau waktu tunggu adalah waktu yang diperlukan oleh seorang
pengrawit dalam mengimplementasikan rasa masing-masing ke dalam sajian
karawitan. Misalnya dalam sajian karawitan tradisi gaya Surakarta, tabuhan gong
kebanyakan tidak bersamaan dengan sabetan balungan (sedikit lebih dibelakang
sabetan balungan) yang disebut nggandul. Dengan kata lain bahwa jarak waktu
yang diperlukan antara jatuhnya sabetan balungan dengan tabuhan gong ini
disebut nggandul. Nggandulnya tabuhan seorang pemain gong yang satu dengan
pemain gong yang lainnya berbeda-beda. Karena masing-masing pengrawit
memiliki rasa “kemantaban” sendiri-sendiri, disinilah letak keunikan estetika di
dalam sajian karawitan. Tentunya nggandulnya tabuhan gong ini harus dalam
batas kewajaran budaya Jawa (karawitan gaya Surakarta). Jika nggandulnya
terlalu dekat atau terlalu jauh menurut ukuran pengrawit Jawa, rasa yang
ditimbukan juga menjadi tidak mantap atau hambar. Jeda waktu yang dimaksud
disini lebih pada tabuhan nggandul atau ngereni, bukan disiki (nungkaki). Sebagai
perbandingan jatuhnya gong pada karawitan Bali dan atau Sunda adalah tepat
pada jatuhnya sabetan balungan.
Setiap ricikan memerlukan jeda waktu yang berbeda-beda tergantung penafsiran
dan kemantapan dari masing-masing pengrawit. Jeda waktu-jeda waktu ini ada
pada setiap teknik pukulan pada setiap ricikan. Misalnya jeda waktu
(nggandulnya) tabuhan kenong, kempul, pipilan bonang, teknik kosokan rebab,
teknik nyampar-nyarugnya ricikan gender barung, permainan kendhang,
permainan suling, gerong, sindhen, dan ricikan-ricikan yang lain berbeda-beda.
Inilah keunikan atau keistimewaan dari karawitan Jawa. Keunikan dan keindahan
inilah yang membedakan karawitan Jawa dengan karawitan atau musik lain di
dunia.
Irama yang digunakan dalam sajian karawitan juga sangat menentukan Jedha
waktu. Misalnya nggandulnya tabuhan kenong dalam irama tanggung dengan
irama dados berbeda. Nggandulnya tabuhan gong pada irama lancar dengan irama
dados juga berbeda. Laya (cepat lambatnya) sajian karawitan sangat berpengaruh
terhadap tafsir nggandul dari setiap ricikan. Sajian sebaliknya yang berhubungan
dengan sajian nggandul dan atau nglewer adalah ngesuk, nggajul. Ngesuk dan
atau nggajul adalah tabuhan yang sedikit lebih awal dari sabetan balungan, yang
biasanya dilaukan oleh pemain ricikan kendang. Karena kendanglah yang
memiliki tugas untuk mengatur laya. Dengan memberikan sedikit sentuhan
(ketegan) teknik ngesuk atau nggajul maka laya sedikit demi sedikit akan
bertambah mencepat. Demikian sebaliknya, dengan sedikit sentuhan (ketegan)
teknik nggandul, maka laya sedikit demi sedikit akan semakin lambat. Inilah tugas
seorang pengendang dalam mengatur dan menafsir laya, sehingga rasa atau laya
yang diinginkan tercapai. Karena dalam penyajian karawitan ini yang diutamakan
adalah ekspresi-ekspresi keindahan, maka apakah mereka sebagai pengegong,
pengenong, penggender, pengendhang, Pengrebab, vokal dan seterusnya, mereka
harus bisa menafsir sendiri kapan harus menabuh nggandul, pas, nglewer, ngesuk
dll. Seorang pengrawit harus dapat menangkap dan menyesesuaikan waktu yang
diperlukan sesuai dengan kemantapan rasa yang dimiliki.
Vokal
Unsur vocal yang dimaksud disini adalah bunyi atau lagu yang dihasilkan oleh
suara manusia. Suara manusia yang dimaksud adalah; suara tunggal dan suara
bersama (koor). Suara tunggal adalah sindhen atau swarawati, bawa, macapat.
Sedang swara bersama (koor) adalah gerong, bedayan, dan srimpen. Disamping
itu terdapat unsur lain yaitu, senggakan, dan alok. Seluruh unsur suara manusia
memiliki andil yang sangat besar dalam membangun estetika karawitan. Suara
manusia sangat fleksibel artinya suara manusia dapat menyelipkan nada-nada lain
yang tidak bisa dimainkan oleh ricikan-ricikan yang ada pada gamelan. Misalnya
nada-nada slendro miring, sajian vokal pada salah satu pathet misalnya pelog nem,
vokal dengan mudahnya menyelipkan nada-nada barang, atau nada pat di
dalamnya.
Vokal, selain memberikan nuansa suara yang berbeda dengan ricikan gamelan,
kata-kata (syair) yang digunakan juga memancing imajinasi yang berbeda pula.
Kata-kata atau cakepan yang digunakan berisikan pesan, pembelajaran hidup,
cerita sejarah, dan petuah hidup yang dikarang oleh para pujangga keraton masa
lalu. Dari beberapa cakepan yang digunakan ada juga yang memberikan petunjuk
atas isi atau rasa gendhing yang sedang disajikan, bahkan lebih menjelaskan,
terutama gendhing-gendhing kasmaran, gandrungan, dll. Cakepan yang digunakan
baik yang disajikan secara individu maupun bersama juga berperan besar dalam
pembentuk rasa estetis karawitan.
Penggunaan cakepan untuk vokal dalam sajian karawitan mengambil dari
berbagai sumber. Termasuk cakepan untuk senggakan, parikan, wangsalan dan
lain sebagainya diambil dari kebiasan-kebiasaan di kalangan para seniman Jawa.
Beberapa cakepan yang sering digunakan diantaranya; serat rama (nalikanira ing
ndalu ....), serat bratayuda (punapa ta mirah ingsun ....), serat gulang yarya (kang
titis panabuhipun ....), serat tripama (yogyanira kang para prajurit ....) serat
manohara (midering rat angelangut ....) serat wedhatama (mingkar mingkuring
ukara ....). Perkembangan sosial pada waktu itu dapat dilihat dari beberapa bahasa
yang digunakan dalam karawitan. Budaya yang paling tampak adalah dilihat dari
bahasanya. Dengan demikian dapat pula dilihat mengenai estetika karawitannya
hubungannya dengan kehidupan sosial pada masa itu.
Budaya
Seluruh sajian karawitan berkait dengan unsur budaya. Unsur budaya yang
dimaksud disini adalah unsur budaya Jawa yang berkait erat dengan tradisi, nilai,
makna, aturan, konsep, rasa, fungsi, keyakinan, kebenaran, dalam karawitan Jawa
gaya Surakarta. Misalnya gendhing Pramugari pelog pathet barang memiliki
makna, fungsi, rasa tersendiri bagi masyarakat Jawa terutama di kalangan
pengrawit. Tidak akan terjadi bahwa gendhing Pramugari disajikan pada
menjelang akhir sebuah pahargyan. Karena filosofi gendhing ini dimaksudkan
untuk membangun suasana kebersamaan, gotong royong, kesibukan yang saling
mengisi, saling membantu dan lain sebagainya dalam sebuah persiapan hajatan
tradisi Jawa. Begitu juga gendhing Kodok Ngorek memiliki fungsi, keyakinan,
konsep tersendiri, dimana gendhing ini hanya dibunyikan untuk upacara panggih
(bertemunya) mempelai wanita dan laki-laki. Gendhing ldr. Gleyong pelog nem
atau gendhing ldr. Serang pelog pathet barang memiliki makna, fungsi konsep
khusus, dimana apabila gendhing tersebut dibunyikan adalah sebagai pertanda
bahwa pahargyan pada saat itu telah selesai, dan rasa dari gendhing itu memang
memiliki rasa selesai, lega, puas, dll.
Sajian dan pengembangan garap ricikan terutama ricikan ngajeng disesuaikan
dengan, aturan, konsep, rasa, pathet, dan tradisi yang berlaku di kalangan
pengrawit Jawa. Misalnya akan terasa aneh dan tidak enak ketika seorang
pengrawit menggunakan sekaran bonang di luar idiom karawitan Jawa gaya
Surakarta.
=+=
Penutup
Pada bab ini telah dibahas mengenai unsur pembentuk estetika karawitan. Paling
tidak terdapat dua kategori pembentuk estetika karawitan yaitu unsur utama dan
unsur khusus. Unsur utama terdiri dari sarana fisik, laras dan lagu, dan seniman.
Ketiga unsur ini sama pentingnya dan saling berkait. Sedangkan unsur khusus
pembentuk karawitan antara lain; irama, laya, cengkok, pola, pathet, garap,
dinamika, waktu jeda, vocal, dan budaya. Unsur-unsur ini juga saling berkait satu
dengan yang lainnya.
Untuk mengukur dan mengetahui sejauh mana pemahaman atau pengusaan materi
yang telah disampaikan, pada akhir perkuliahan mahasiswa diminta membuat
rangkuman. Melalui rangkuman yang disusun oleh mahasiswa, merupakan umpan
balik materi yang telah disampaikan. Hasil rangkuman dari mahasiswa dapat
digunakan sebagai koreksi untuk pembenahan materi di masa mendatang.
Pemahaman terhadap materi pembentuk estetika karawitan pada bab ini adalah
sebagai salah satu pijakan, tuntunan, bagi mahasiswa dalam mengikuti materi
berikutnya yaitu estetika gendhing (rasaning gendhing). Untuk mengukur dan
mendapatkan gambaran mengenai penyerapan atau penguasaan materi bagi
mahasiswa terhadap materi yang sudah diberikan, berikut diberikan tes formatif
yang wajib dijawab oleh mahasiswa. Berikut beberapa contoh soal untuk dijawab
oleh mahasiswa.

Latihan Soal.

1. Estetika karawitan dibentuk dari beberapa unsur, paling tidak terdapat 3 unsur
utama. Sebutkan dan berikan penjelasan dari masing-masing unsur!
2. Irama adalah unsur estetika yang sangat penting di dalam pembentukan
estetika karawitan, apa yang anda ketahui tentang irama, jelaskan!
3. Unsur Irama dan laya sangat dekat sekali hubungannya dalam sajian
karawitan, jelaskan hubungan dari kedua unsur tersebut!
4. Cengkok dalam arti garap adalah salah satu lagu yang permanen (tetap).
Jelaskan maksud dari pernyataan tersebut, dan berikan salah satu penjelasan
mengenai cengkok yang anda maksud!
5. Pola adalah sebuah sistem atau cara kerja atau permainan ricikan tertentu.
Berikan contoh ricikan apa saja dalam karawitan Jawa yang mengaplikasikan
pola dimaksud!
6. Setiap gendhing atau lagu dalam karawitan Jawa gaya Surakarta memiliki
pathet induk, bagaimanakah hubungan pathet induk dengan tafsir pathet,
jelaskan!
7. Dalam dunia karawitan, garap adalah salah satu unsur yang paling penting,
jelaskan sejauh yang anda ketahui mengenai garap dimaksud!
8. Dinamika adalah salah satu tuntutan estetis yang erat hubungannya dengan
sajian karawitan, jelaskan sejauh yang anda ketahui tentang dinamika dalam
garap karawitan!
9. Waktu jeda adalah waktu yang diperlukan oleh seorang pengrawit dalam
mengimplementasikan rasa masing-masing. Berikan ilustrasi mengenai waktu
jeda dimaksud!
10. Seluruh unsur suara manusia memiliki andil yang sangat besar dalam
membangun estetika karawitan, mengapa demikian jelaskan!
11. Sebuah tradisi tidak dapat lepas dari budaya setempat, bagaimanakah
hubungan budaya dengan tradisi karawitan Jawa, jelaskan!
=+=
Rangkuman Bab VII.

1. Unsur utama pembentuk estetika karawitan ada tiga yaitu sarana fisik, laras
dan lagu, dan seniman. Ketiga unsur ini kedudukannya sama yang satu tidak
lebih penting dari yang lain. Sarana fisik terdiri dari dua yaitu suara manusia
dan ricikan gamelan yang bahannya bisa dari besi, kuningan, dan perunggu,
serta bambu.
2. Laras adalah suara yang telah ditentukan jumlah frekuensinya (penunggul,
gulu, dhadha, pelog, lima, nem, dan barang), atau tangga nada atau
scale/gamme, yaitu susunan nada-nada yang jumlah, urutan dan pola interval
nadanya telah ditentukan. Sedangkan lagu adalah susunan nada-nada yang
diatur dan apabila dibunyikan sudah terdengar enak.
3. Seniman adalah seseorang yang memiliki kemampuan tertentu dalam
memainkan ricikan gamelan. Tanpa adanya seniman atau pengrawit atau
penggarap, peristiwa karawitan itu tidak akan terjadi atupun ada. Tanpa
seniman berarti tidak muncul proses estetis.
4. Apapun bentuk musik di dunia ini, irama adalah salah satu unsur yang sangat
penting. Irama adalah pelebaran dan atau penyempitan gatra. Irama di dalam
karawitan tradisi gaya Surakarta terdiri dari irama lancar, irama tanggung,
irama dados, irama wiled, dan irama rangkep.
5. Cepat dan atau lambatnya sajian pada sebuah gendhing dalam karawitan Jawa
disebut laya atau tempo. Laya dalam sajian karawitan tergantung pada
“pamurba irama” dalam hal ini adalah pengendhang. Penafsiran laya sangat
berpengaruh atau menentukan rasa estetik.
6. Pengertian cengkok ada dua yaitu yang berarti jumlah gongan, dan arti kedua
adalah yang berarti garap. Cengkok dalam arti garap adalah suatu lagu yang
permanen (tetap) baik suara manusia maupun suara gamelan. Perpaduan
berbagai cengkok yang digunakan oleh setiap ricikan dengan berbagai variasi
wilednya inilah yang menimbulkan rasa-rasa tertentu dalam sajian karawitan
Jawa.
7. Pola dalam karawitan adalah system, cara kerja, permainan ricikan tertentu
yang diulang secara terus menerus dalam kurun waktu tertentu. Dengan pola
tabuhan tertentu inipula pengrawit menafsir karakter gendhing. Tanpa adanya
pola-pola tabuhan ini di dalam karawitan tidak akan terungkap keindahan
yang ada di dalamnya.
8. Pathet adalah “garap” berganti pathet berarti berganti garap. Selain itu pathet
juga berarti “rasa seleh” dalam sebuah gendhing. Dengan pathet induk
pengrawit telah dituntun dalam menyajikan sebuah gendhing. Namun dalam
praktiknya tuntutan penyajian sebuah gendhing tidak hanya satu pathet saja,
tetapi di dalam gendhing itu sendiri terdapat tafsir pathet-pathet yang lain.
9. Garap merupakan salah satu unsur yang paling penting dalam memberi
warna, kwalitas, karakter bahkan sosok karawitan. Garap merupakan
rangkaian kerja kreatif dari pengrawit dalam menyajikan sebuah gendhing
atau komposisi karawitan untuk dapat menghasilkan wujud (bunyi), dengan
kwalitas atau hasil tertentu sesuai dengan maksud, keperluan atau tujuan dari
suatu kekaryaan atau penyajian karawitan.
10. Dinamika tidak hanya menyangkut keras lirihnya tabuhan, tetapi juga
melibatkan kebersamaan, keselarasan, keharmonisan, dan keseimbangan.
Dalam dunia karawitan istilah dinamika lebih sering digunakan dengan istilah
“rampak” dan “rempeg”.
11. Waktu jeda atau waktu tunggu adalah waktu yang diperlukan oleh seorang
pengrawit dalam mengimplementasikan rasa masing-masing ke dalam sajian
karawitan. Karena masing-masing pengrawit memiliki rasa “kemantaban”
sendiri-sendiri, disinilah letak keunikan estetika di dalam sajian karawitan.
12. Seluruh unsur suara manusia memiliki andil yang sangat besar dalam
membangun estetika karawitan. Suara manusia sangat fleksibel artinya suara
manusia dapat menyelipkan nada-nada lain yang tidak bisa dimainkan oleh
ricikan yang ada pada gamelan.
13. Seluruh sajian karawitan berkait dengan unsur budaya Jawa. Unsur budaya
Jawa dimaksud adalah yang berkait erat dengan tradisi, nilai, makna, aturan,
konsep, rasa, fungsi, keyakinan, kebenaran, dalam karawitan Jawa gaya
Surakarta. Sajian dan pengembangan garap ricikan terutama ricikan ngajeng
disesuaikan dengan aturan, konsep, rasa, pathet, dan tradisi yang berlaku di
kalangan pengrawit Jawa.

=+=

Penyekat Bab VIII

TIK: Pada akhir pertemuan ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan


rasaning gendhing (rasa sebagai kemampuan, rasa sebagai kualitas, kata lain dari
rasa, sulit dan bahaya dalam menyusun istilah secara umum, empat belas istilah
penting)
Pokok Bahasan: Rasaning gendhing.
Deskripsi Singkat: Dalam pertemuan ini dibahas tentang rasaning gendhing.
Pemahaman terhadap hal-hal tersebut sebagai bekal untuk memahami berbagai
ragam sajian gendhing (karawitan) gaya Surakarta.

Bahan Bacaan.
1. Marc Benamou, (2010), Rasa; Affect and Intuition in Javanese Musical
Aesthetics, Oxford University Press Inc. New York.
2. Martopangrawit, (1972), Tjatatan Pengetahuan Karawitan, Pusat Kesenian
Djawa Tengah dan Dewan mahasiswa ASKI Surakarta.
3. Rahayu Supanggah, (2007), Bothekan Karawitan II, ISI Press Surakarta.
4. Sri Hastanto, (2009), Konsep Pathet Dalam Karawitan Jawa, Program
pascasarjana bekerja sama dengan ISI Press Surakarta.
5. Sindu Sawarno, (1959), Ilmu Karawitan jilid I dan II, Konservatori,
Sukrakarta.
6. Rahayu Supanggah, (1994), Gatra, Inti dari Konsep Gendhing Tradisi Jawa,
Jurnal Wiled Th I. STSI Surakarta.
7. Rahayu Supanggah, (2002), Bothekan Karawitan I, Ford Foundation &
Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

=+=
BAB VIII
RASANING GENDHING

Pendahuluan
Pada bab ini disampaikan tentang rasaning gendhing. Tidak mudah untuk
menguraikan bagaimana rasa sebuah gendhing, namun demikian akan dicoba
diurai mengenai masalah rasa. Rasa menurut Marc Benamou paling tidak dapat
dibagi menjadi beberapa hal diantaranya; rasa sebagai kemampuan, rasa sebagai
kualitas, kata lain dari rasa, dan empat belas istilah penting untuk rasa. Benamou
kesulitan untuk membuat generalisasi tentang rasa ini, karena memang bersifat
sangat indivu, sehingga tidak mungkin bisa terwujud. Tulisan Marc Benamou ini
sangat membantu kita dalam memahami estetika karawitan terutama estetika
karawitan tradisi. Tidak seluruh tulisan Marc Benamou disajikan dalam buku ini,
hanya dipilih beberapa permasalahan yang sangat urgen dan lebih penting untuk
diketahui dan di bahas. Apa yang tersaji disini adalah hasil terjemahan bebas
penyusun materi ini. Untuk lebih jelasnya pembaca disarankan untuk membaca
buku aslinya tulisan Marc Benamou yang berjudul “Rasa; Affect and Intuition in
Javanese Musical Aesthetics”, karena detail-detail pembahasan mengenai soal
rasa yang terkandung dalam karawitan tersaji dalam buku Marc Benamou.
Pemahaman terhadap permasalahan rasa ini membantu kita untuk dapat
menghayati rasa dalam gendhing tradisi gaya Surakarta, baik melalui hasil
rekaman maupun pertunjukan langsung.

Penyajian
Gendhing adalah istilah generik yang digunakan oleh masyarakat karawitan Jawa,
dan pada kalangan tertentu juga di Bali (Tenzer 2000:127) dan Sunda, untuk
menyebut (suatu bentuk) komposisi musikal karawitan yang menyajikan seni
suara instrumental (Machyar 1969:17) sebagai unsur utamanya dan atau yang juga
melibatkan vokal sebagai kelengkapannya atau bagian yang tak terpisahkan dari
sajian seni bunyi bunyian/suara dari (seperangkat gamelan) tersebut. Lagu di
dunia musik pada umumnya diartikan sebagai susunan dan atau gerakan nada-
nada yang membentuk kontur tertentu (R. Supanggah 2009).
Inti dari pada estetika karawitan, apakah itu sebagai penyaji maupun sebagai
penghayat adalah rasa. Sedangkan rasa bisa diartikan sebagai suara hati (intuisi),
suasana hati, dan atau merasakan. Berbagai arti rasa tersebut dapat dibangun
melalui panca indra. Rasa adalah kata yang sulit dimengerti tergantung konteks
pembicaraannya, dan kesemuanya sangat dekat dengan apa yang diartikan suara
hati (intuisi). Dalam sajian karawitan rasa bisa diterjemahkan perasaan. Tetapi
kadang-kadang bisa berarti suatu kemampuan untuk mengekspresikan sesuatu.
Kata rasa dalam bahasa Jawa adalah kata yang rumit, karena digunakan dalam
konteks yang berbeda-beda dan artinya juga berbeda pula. Rasa yang
berhubungan dengan indera pengecapan (lidah) misalnya rasa pedhes, pait, getir,
manis, asin, gurih dll. Rasa yang berhubungan dengan badan yang menyakitkan
misalnya pegel, gatel, nyeri, keri, lårå, kemeng dll. Rasa hubungannya dengan
pengalaman hati atau pikiran ketika menerima sesuatu: rasa sedih, kecewa, pilu,
senang, hormat, cinta, sayang, iba, takut. Rasa yang hubungannya dengan
pendapat (dalam pikiran atau hati): rasa apik, elek, bener, luput, adil. Rasa
kadang-kadang diartikan merasakan sesuatu melalui panca indera. Rasa dalam
bahasa Jawa krama berarti raos – untuk merasakan, mengerti. Pemahaman yang
paling dalam tentang rasa bagi orang Jawa adalah rasa sejati. Rasa sejati adalah
suara hati yang artinya mendekati inti atau persepsi dari rasa itu sendiri.
Pengrawit Jawa membedakan penggunaan kata rasa dalam dua hal yang
bertentangan; Lahiriah – Batiniah; Wadhag – Alus. Progresi tentang rasa diawali
dari luar lahiriah menuju ke dalam yaitu batiniah. Progresi dari wadhag (terlihat,
nyata) ke alus (tidak terlihat, spiritual) – wadhag bisa diterangkan sendiri, namun
yang alus perlu uraian yang lebih lengkap. Alus disini diartikan sebagai sebuah
kemauan, kehendak (kersa) yang merupakan identitas seseorang yang biasa
disebut jiwa. Jiwa itu sendiri bukan inti dari seseorang, tetapi merupakan sebuah
mata yang paling dalam dari setiap individu, yang diterjemahkan oleh orang Jawa
sebagai Cipto, kemauan dibawah sadar.
Rasa dibedakan menurut; 1. Kualitas sasaran musikal (pertunjukan, gendhing)
atau pengaruh, dampak, akibat mendengarkan; 2. Kapasitas (daya tampung)
mental yang diperoleh secara luas melalui pengalaman; 3. Daya tangkap indera
sejak lahir yang terlatih. Rasa dalam musik/gendhing juga bisa berarti perasaan,
(inner meaning). Pembelajaran tentang gamelan (karawitan) sejak dulu hingga
sekarang fokusnya hanya pada bagaimana menabuh/menyajikan – bukan
bagaimana mendengarkan, dan atau merasakan!
Rasa Sebagai Suatau Kemampuan
Unsur rasa yang berhubungan dengan estetika salah satunya adalah kemampuan
otak kita untuk membedakan berbagai gaya terhadap pengetahuan yang
sebenarnya. Etika Jawa yang beredar secara umum disekitar rasa dalam hal ini
adalah pengertian untuk memahami. Untuk bisa mengekspresikan perasaan yang
betul secara musikal tidak hanya mengetahui bagaimana bermain yang benar
(garap, interpretasi) – tapi mengetahui bagaimana yang cocok dalam situasi yang
khusus. Misalnya; kapan harus bernyanyi lugu (polos) – kapan harus bernyanyi
banyak wiledan, tergantung apakah lagunya regu atau berag, atau tergantung dari
jenis atau konteks dari pertunjukan. Sebagai seorang pengrawit untuk bisa
memahami rasa dalam konteks ini, dia tidak cukup bermain hanya dengan
ketepatan laras, tafsir pathet, tafsir garap, tafsir waktu, tempat, tapi harus dengan
greget. Kemampuan ini bisa diperoleh dari belajar dengan empu – tapi yang lebih
berhasil melalui pengembangan bakatnya masing-masing. Jadi rasa sebagai suatu
kemampuan adalah bagaimana kita (seorang pengrawit) bisa memahami sajiannya
dalam konteks yang utuh.
Rasa Sebagai Kualitas.
Kata rasa yang digunakan dalam musik/gamelan artinya menjadi berlainan
dengan arti yang sebenarnya. Daya tangkap musik diumpamakan dengan daya
tangkap dari aroma yang dirasakan lidah. Metafora rasa makanan banyak
digunakan dalam karawitan, dari judul komposisi, perbandingan kembangan
melodi dan bumbu masak. Selain itu juga digunakan untuk perbandingan antara
mateng dan mentah dll. Beberapa istilah rasa makanan yang digunakan dalam
karawitan: cemplang, langu, enak, empuk, renyah, manis, getir, pait, pedas.
Rasa yang berhubungan dengan pendengaran, misalnya rasane beda (karena
mendengarkan berbagai variasi melodi). Rasane kaya bawa wae (yang semestinya
tidak bawa). Rasane cilik banget (mendengar suara tinggi atau kecil). Kata rasa
disini artinya bisa nenerima atau membedakan berdasarkan pengalaman dan
pengetahuan dari si penghayat. Sedikit kedalam menuju rasa yang lebih halus dan
murni yaitu rasa sebagai karakteristik misalnya: rasa Jawa; rasa merong. Lebih
lanjut rasa yang digunakan secara khusus dalam karawitan yaitu misalnya; rasa
gendhing, raosipun gendhing – yaitu bagaimana gendhing itu dihayati.
Rasa yang diartikan ngraosaken (merasakan) disini bisa diartikan situasi perasaan
misalnya; sedih, rame, nglangut, Gagah, Sigrak dll. Juga suasana seperti rame,
tapi juga karakter sifat misalnya gagah, seger, kaku. Yang lebih dalam dan hanya
dimengerti oleh beberapa orang saja tentang rasa adalah arti tersembunyi yaitu
surasa. Surasaning gendhing adalah sesuatu yang dicari oleh setiap pengrawit.
Golèkana surasaning lagu adalah inti dari estetika gendhing itu sendiri. Ini bisa
dilakukan dengan melalui latihan-latihan mendengarkan, mempraktikan dan
dikombinasikan dengan pengalaman yang diperoleh. Ketika kita berbicara rasa
sebagai daya tangkap indera, ini tidak jauh dengan apa yang disebut perasaan,
kesan. Rasa dalam hal ini apakah melalui panca indera atau extra panca indera
istilah umumnya bisa berarti; merasakan, mendengarkan, (merasakan seperti
melihat, mendengar, mencicipi, mencium, atau suara hati (intuisi)).
Kata Lain Dari Rasa
Kata rasa sendiri terdapat berbagai arti, juga terdapat berbagai istilah dalam
berbagai penggunaan. Beberapa kata umum yang sering digunakan sebagai
persamaan dasar perasaan tentang rasa dalam pembicaraan music (karawitan);
emosi (affect), suasana hati (mood), merasakan (feeling), - ini melibatkan
beberapa kata lain diantaranya:
1. Unsur
2. Jiwa
3. sifat
4. Watak
5. Isi
6. suasana

Beberapa kata tersebut sering digunakan misalnya; unsur gendhing sama dengan
rasa gendhing. Suasana yang artinya situasi (mood) sering digunakan dalam
wayang. – Dalam karawitan sering dibedakan antara suasana sebuah adegan
dengan rasa pada musik (karawitan) yang mengiringinya. watak – sering
digunakan untuk menggambarkan seseorang, tapi dalam karawitan sering
digunakan untuk mengindentifikasi gendhing – jadi watak gendhing. Watak
gendhing – sering diasosiasikan dengan watak manusia, - wataknya bisa berbeda-
beda, - gendhing ada yang berwatak mendalam, sukar dimengerti, ringan,
menarik.
Gendhing bisa disajikan dengan berbagai cara tergantung pada situasinya. Musisi
bisa menyajikan dengan suasana yang beragam, tergantung dari garapnya. Kadang
sajian tersebut bisa memunculkan watak gendhing yang sesungguhnya, terkadang
justru kebalikannya. Cara lain dimana rasa gendhing dihubungan dengan watak
atau perilaku manusia (hubungannya dengan berbicara, berpakaian, berjalan dll).
Contohnya;
Bregas Luruh
Sigrak Branyak
Tregel Lanyap
alus Wingit
Gagah Manis
Mrabu Rongeh
Prenes Sareh
Watak sangat dekat dengan karakter, dan keduanya sering digunakan untuk
membedakan karakter wayang. Watak dan atau karakter sering tumpang tindih
penggunaannya dalam karawitan dan tari. Misalnya; watak atau karakter alus,
gagah, luruh, branyak. Seperti watak, kata Jiwa sering digunakan dalam
gendhing. Jiwa sangat dekat dengan inti rasa yaitu; suara hati. Ketika pengrawit
mengatakan “kurang menjiwai artinya dia telah gagal mengungkapkan suara
hatinya, emosinya atau yang dirasakannya”. Kalau pengrawit bisa melakukannya
dia disebut kasarira, artinya dia bisa menyatu.
Rasa yang berarti isi bisa menunjukkan spirit yang berada pada pusaka, seperti
keris, gong. Isi juga menunjukkan kandungan dari sebuah puisi, dan juga
berhubungan dengan arti judul gendhing. Misalnya nada-nada besar (rendah) pada
Gd. Kombangmara dapat dirasakan seperti terbangnya kombang, dan
membangkitkan perasaan yang terkandung dari gendhing itu.
Sulit dan Bahaya Dalam Menyusun Istilah Secara Umum
Kesulitan yang muncul pertama kali adalah tidak adanya istilah yang standar.
Seseorang mengatakan memelas untuk mendiskrisikan sesuatu yang sedih,
sementara orang lain atau orang yang sama tapi berbeda waktu mengatakan
trenyuh, untuk mendiskripsikan sesuatu atau gendhing yang sama. Namun teori
musik bukan ilmu pengetahuan (sains). Dan dalam hal rasa gendhing saya belum
mengetahui adanya suatu upaya untuk mengatur makna. Para pengrawit di Jawa
Tengah menggunakan istilah-istilah rasa dalam berbagai konteks berbeda, tetapi
jarang menjelaskan artinya atau berusaha menyelesaikan perbedaan dalam
penggunaan (istilah ini). Dan walaupun nampaknya mereka setuju secara
universal bahwa musik/lagu/gendhing dapat diklasifikasi menurut afek, namun
klasifikasi tersebut jarang disusun secara keseluruhan dan belum banyak
terkodifikasi dalam bentuk tertulis, berbeda dengan teori estetika di India.
Dengan demikian, akan sia-sia apabila kita berusaha mencari sesuatu dalam
bentuk yang mendekati istilah ilmiah yang berarti. Mungkin kita bisa menjelaskan
sebuah “istilah teknis” dengan cara yang tidak begitu ketat. Misalnya, kita bisa
mendalilkan bahwa sebuah istilah teknis paling tidak harus memiliki seorang
pembicara yang mampu atau memenuhi syarat, yang secara konsisten
menggunakan istilah tersebut dengan cara yang jelas dan tidak ambigu. Dalam
kasus ini, permasalahannya adalah apakah istilah semacam itu harus bersifat
teknis agar dapat memberikan kita informasi mengenai bagaimana musisi-musisi
Jawa mengonseptualisasikan musik mereka. Saya menganggap bahwa istilah
apapun yang digunakan oleh seorang pembicara asli berpengetahuan luas
layak/berguna untuk dipelajari.
Empat Belas Istilah Penting
Dalam menyajikan peta-peta kognitif mengenai istilah/kosakata rasa, saya akan
memberikan perhatian khusus pada beberapa istilah penting. Istilah-istilah ini
merupakan beberapa kata yang menurut saya sangat menonjol atau penting.
Pemilihan bersifat intuitif ini didukung oleh suatu analisa garis besar statistik
terhadap bahan-bahan rekaman dan tulisan. Ketika menyusun tabulasi ini, saya
menganggap sama beberapa istilah yang berbeda dalam bahasa Indonesia dan
bahasa Jawa, begitu juga varian-varian bahasa Jawa krama dan ngoko, apabila
istilah-istilah tersebut secara jelas dapat dipertukarkan. Mungkin akan lebih jelas
kalau saya menyebutnya sebagai kumpulan leksikal atau kosakata. Berikut ini
terdapat empatbelas kumpulan kosakata yang paling sering ditemukan atau
digunakan, mulai dari yang paling sering ditemukan atau digunakan.
1. Prenes, mrenes
2. Gagah
3. Sedih, sedhih,
4. Berag
5. Regu
6. Susah, emeng
7. Gembira, gambira
8. Gecul, nggecul
9. Wibawa, berwibawa
10. Entheng, ringan
11. Sereng
12. Enak, penak, sekeca
13. Klasik, klassiek
14. Anteb, Berat
Warsadiningrat (lahir 1882), dalam risalahnya tentang sejarah gamelan, secara
jelas mengaitkan ukuran gendhing dengan rasa. Dia menulis bahwa pada jaman
Sultan Agung (1613-45), terdapat empat jenis gendhing yang dimainkan di istana:
(1) gendhing ageng; (2) gendhing tengahan; (3) gendhing alit; dan (4) gendhing
prenes (1987 [1943]:71). (Catatan; Prenes bukan ukuran gendhing melainkan
afek. Percampuran parameter dalam menyusun klasifikasi seperti ini cukup sering
terjadi dalam teori musik Jawa). Selanjutnya, dia menjelaskan bagaimana ketiga
ukuran tersebut (ageng, tengahan, dan alit) berhubungan dengan karakter/sifat:
gendhing ageng menunjukkan gendhing kethuk 4 kerep, minggah kethuk 8, yaitu
gendhing yang panjang, dengan banyak cengkok, di mana wilednya secara
konsisten bersifat regu.
Gendhing tengahan menunjukkan gendhing kethuk 2 kerep, minggah kethuk 4
(atau melanjutkan ke ladrang), yaitu gendhing di mana cengkoknya dan
wewilednya bersifat sekéca.
Gendhing alit menunjukkan gendhing ladrang dan ketawang, di mana variasi
melodisnya mudah (dipahami). Sifatnya agak regu – bukan prenes.
Gendhing prenes (atau prenesan) menunjukkan gendhing yang mampu membuat
kita merasa senang atau bahagia.
Ada satu jenis lagi, yaitu gendhing gecul (atau geculan), yaitu jenis yang kasar
dan rasanya bersifat lucu atau jenaka.
Benamou lebih jauh menjelaskan dengan mengatakan sebagai berikut; menjelang
akhir dari pembicaraan atau diskusi pertama saya tentang rasa gendhing dengan
Mloyowidodo, dia merangkum seluruh tingkat rasa yang sudah diuraikan
sebelumnya, dan menerangkan secara sangat jelas bagaimana rasa berkaitan
dengan ukuran gendhing. Rangkaiannya sebagai berikut: klasik ageng, klasik
tengahan, nges, memelas, berag alus, berag sanget, gecul, gecul sanget, lancaran,
ayak-ayak, srepeg, sampak. Dalam rumusan lain, daftar berawal dengan klassiek
berat, kemudian klassiek entheng.
Mengenai soal rasa ini Wignya Saputra menjelaskan sebagai berikut; Menurut
saya rasa itu, bagi karawitan Jawa relatif, siapa yang mendengarkan. Misalnya
begini, rasa yang fisik – bukan suara, pada umumnya mengatakan babwa cabai itu
pedas. Tapi juga menurut jenis cabainya dan siapa yang merasakan. Rasa
seseorang dibandingan dengan rasa seseorang yang lain itu lain. Dalam istilah
Jawa, terdapat kata begini; “Idumu dudu iduku” (ludahmu bukan ludah saya)
“lembehanmu dudu lembehanku”. Jadi kalau soal rasa gendhing, tergantung siapa
yang merasakan, lalu alat apa yang digunakan untuk merasakan. Kalau makanan
alat yang digunakan untuk merasakan adalah lidah. Kalau rasa gendhing itu yang
digunakan untuk merasakan adalah suara dan getaran dari hati, dan telinga.
Merangkum dari beberapa pembicaraan atau diskusi di atas, bahwa rasa gendhing
adalah sangat kompleks. Seperti yang disampaikan oleh R. Supanggah,
mendengarkan atau merasakan gendhing dapat diumpamakan menikmati sayur
lodeh. Ini akan sangat kompleks karena menyangkut, siapa yang memasak, bahan
apa saja yang di masak, bumbu apa saja yang digunakan, bagaimana cara
memasaknya, bagaimana cara menghidangkan, siapa saja yang menikmatinya,
dengan cara bagaimana mereka menikmatinya, dan seterusnya. Demikian pula
dengan merasakan gendhing; gendhing apa yang akan diperdengarkan, bagaimana
mendengarkannya (memainkannya) dengan ricikan apa saja, siapa yang
mendengarkan, dengan cara bagaimana mendengarkannya, dalam konteks apa,
dan seterusnya. Selain medium yang sangat menentukan tidak kalah pentingnya
adalah pengrawit maupun penghayat, seberapa banyak, seberapa jauh
pemahaman, pengalaman, pengetahuan, seseorang itu terhadap gendhing
(karawitan).
=+=
Penutup
Pada bab ini telah disampaikan tentang rasaning gendhing. Rasa gendhing yang
dimaksud dalam tulisan ini lebih mengarah kepada gendhing-gendhing tradisi
gaya Surakarta. Rasa gendhing menurut Marc Benamou paling tidak dapat dibagi
menjadi beberapa hal diantaranya; rasa sebagai kemampuan, rasa sebagai kualitas,
kata lain dari rasa, dan empat belas istilah penting untuk rasa. Buku asli Marc
Benamou yang berjudul “Rasa; Affect and Intuition in Javanese Musical
Aesthetics”, telah mengupas seluruh seluk beluk rasa dalam karawitan tradisi gaya
Surakarta. Oleh sebab itu buku ini sangat bagus bagi para mahasiswa dan dosen
jurusan karawitan untuk mempelajari dan memahami estetika karawitan.
Walaupun sudah dipaparkan beberapa hal tentang rasa dalam bahan ajar ini,
namun demikian pembaca disarankan untuk membaca buku aslinya tulisan Marc
Benamou karena detail-detail pembahasan mengenai soal rasa yang terkandung
dalam karawitan tersaji dalam buku Marc ini.
Untuk mengukur dan mengetahui sejauh mana pemahaman atau pengusaan materi
yang telah disampaikan, pada akhir perkuliahan mahasiswa diminta membuat
rangkuman. Melalui rangkuman yang dibuat oleh mahasiswa dosen juga
mendapatkan umpan balik materi yang telah disampaikan. Hasil rangkuman dari
mahasiswa dapat digunakan sebagai koreksi untuk pembenahan materi di masa
mendatang. Pemahaman terhadap materi rasaning gendhing ini sebagai pijakan
dan sangat membantu mahasiswa untuk lebih dapat memahami sajian gendhing
baik melalui hasil rekaman maupun pertunjukan langsung. Untuk mengukur dan
mendapatkan gambaran mengenai penyerapan atau penguasaan materi bagi
mahasiswa terhadap materi yang sudah diberikan, berikut diberikan tes formatif
yang wajib dijawab oleh mahasiswa. Berikut beberapa contoh soal untuk dijawab
oleh mahasiswa.

Latihan Soal.

1. Gendhing adalah istilah generic yang digunakan oleh masyarakat karawitan,


jelaskan sejauh yang anda ketahui mengenai istilah gending!
2. Inti dari pada estetika karawitan, apakah itu sebagai penyaji maupun sebagai
penghayat adalah rasa. Jelaskan tentang rasa sejauh yang anda ketahui!
3. Rasa diartikan sebagai suatu kemampuan adalah syarat mutlak bagi seorang
pengrawit untuk mengungkap estetika karawitan, jelaskan pernyataan ini
menurut pendapat anda!
4. Rasa gendhing sering dimetaforakan dengan rasa makanan, jelaskan
pernyataan ini menurut pendapat saudara!
5. Rasa yang diartikan ngraosaken (merasakan) adalah arti yang dalam, jelaskan
pernyataan ini menurut pendapat saudara!
6. Rasa sering juga digunakan untuk mengidentifikasikan dengan watak
manusia. Berikan contoh tentang rasa yang berhubungan dengan watak
manusia!
7. Rasa juga sering dihubungan dengan perilaku manusia terutama yang
berhubungan dengan berbicara, berpakaian, dan berjalan, berikan contoh
beberapa istilah yang berhubungan dengan ketiga unsur tersebut!
8. Kata Jiwa sering digunakan untuk ekspresi sebuah gendhing, maka ada
ungkapan “kurang menjiwai” jelaskan pernyataan tersebut menurut pendapat
saudara!
9. Ada kesulitan bila kita ingin menggeneralisasikan sebuah rasa gendhing
dengan kata tertentu, mengapa demikian jelaskan!
10. Pada masa Sultan Agung terdapat empat ukuran gendhing dengan rasa,
jelaskan ke-empat ukuran dimaksud!
11. Rasa seseorang dengan rasa orang lain berbeda-beda, Wignya Saputra
menjelaskan soal rasa ini dengan sangat jelas, bagaimanakah penjelasan rasa
dimaksud!
=+=

Rangkuman Bab VIII.

1. Gendhing adalah istilah generic yang digunakan oleh masyarakat karawitan


Jawa, Bali, dan Sunda, yang menyajikan seni suara instrumental sebagai
unsur utamanya dan juga vocal sebagai kelengkapannya atau bagian yang tak
terpisahkan dari sajian seni bunyi /suara (seperangkat gamelan).
2. Inti sari estetika karawitan, apakah sebagai penyaji maupun sebagai
penghayat adalah rasa. Rasa bisa diartikan sebagai suara hati (intuisi),
suasana hati, dan atau merasakan. Tetapi kadang-kadang bisa berarti suatu
kemampuan untuk mengekspresikan sesuatu.
3. Kata rasa dalam bahasa Jawa adalah kata yang rumit. Dengan kontek yang
berbeda-beda rasa bisa berhubungan dengan indera pengecapan (lidah), rasa
berhubungan dengan badan yang menyakitkan, rasa berhubungan dengan
pengalaman hati, rasa yang berhubungan dengan pendapat.
4. Rasa dalam bahasa Jawa krama berarti raos – untuk merasakan, mengerti.
Pemahaman yang paling dalam tentang rasa bagi orang Jawa adalah rasa
sejati. Rasa sejati adalah suara hati yang artinya mendekati inti atau persepsi
dari rasa itu sendiri.
5. Untuk bias mengekspresikan perasaan yang betul secara musical tidak hanya
mengetahui bagaimana bermain yang benar (garap interpretasi) – tapi
mengetahui bagaimana yang cocok dalam situasi yang khusus.
6. Rasa sebagai kualitas dalam karawitan artinya menjadi berlainan – metafora
rasa makanan banyak digunakan dalam karawitan, judul komposisi,
perbandingan kembangan melodi dan bumbu masak.
7. Rasa yang berarti ngraosaken bisa diartikan situasi perasaan yang lebih dalam
dan hanya dimengerti oleh beberapa orang saja – rasa adalah surasa –
surasaning gendhing adalah sesuatu yang dicari oleh setiap pengrawit.
8. Kata rasa terdapat berbagai istilah dalam berbagai penggunaan. Beberapa kata
umum yang digunakan sebagai perasaan dasar perasan tentang rasa dalam
pembicaraan musik (karawitan); emosi (affect), suasana hati (mood),
merasakan (feeling).
9. Rasa dalam karawitan sering digunakan untuk mengidentifikasi watak
gendhing. Watak gendhing sering diasosiasikan dengan watak manusia –
gendhing ada yang berwatak mendalam, sukar dimengerti, ringan, menarik.
10. Musisi bisa menyajikan gendhing dengan garap yang berbeda – dengan
demikian sajian tersebut bisa memunculkan watak gendhing yang
sesungguhnya, tetapi terkadang malah justru sebaliknya.
11. Rasa gendhing juga dapat dihubungkan dengan watak atau perilaku manusia
yang hubungannya dengan cara-cara berbicara, cara berpakaian, dan cara
berjalan.
12. Tidak ada istilah yang standar, seseorang mengatakan memelas untuk
mendiskripsikan sesuatu yang sedih, sementara orang lain atau orang yang
sama tapi berbeda waktu mengatakan trenyuh, untuk mendiskripsikan sesuatu
atau gendhing yang sama.
13. Nampaknya semua setuju secara universal bahwa musik/lagu/gendhing dapat
diklasifikasi menurut afek, namun klasifikasi tersebut jarang disusun secara
keseluruhan dan belum banyak terkodifikasi dalam bentuk tertulis.
14. Dalam karawitan Jawa terdapat kosakata yang sering digunakan antara lain;
prenes, gagah, berag, regu, susah (emeng), gembira, gecul, wibawa, entheng,
sereng, penak, klasik, anteb.
15. Pada masa Sultan Agung terdapat empat jenis gendhing yang dimainkan di
istana; 1. Gendhing ageng; 2. Gendhing tengahan; 3. Gendhing alit; dan 4.
Gendhing prenes. Prenes disini bukan ukuran gendhing melainkan afek.
16. Rasa gendhing adalah sangat kompleks, tergantung gendhing apa yang akan
diperdengarkan, bagaimana mendengarkannya (memainkannya), dengan
ricikan apa, siapa yang mendengarkan, dengan cara bagaimana
mendengarkannya, dalam konteks apa, dan seterusnya.

=+=

BAB IX
PENUTUP
Bahan ajar matakuliah Estetika Karawitan ini disusun atas dasar Tujuan
Instruksional Umum. Pengembangannya juga dilatarbelakangi pengalaman dan
proses pembelajaran yang pernah penyusun alami selama ini sebagai pengampu
matakuliah Estetika Karawitan. Penyusunan bab juga disesuaikan atau
disinkronkan dengan Analisis Instruksional (AI). Rancangan Garis-garis Besar
Program Pengajaran (GBPP) untuk matakuliah ini juga mengacu dari AI yaitu
pembahasan dari permasalahan yang lebih umum ke permasalahan yang lebih
mengkhusus. Agar alur pembicaraan dan pemahaman serta pembahasan dapat
berjalan secara runtut, maka dipilih bahan ajar atau referensi dari beberapa penulis
di bidang estetika atau bidang lain yang sangat erat hubungannya dengan ranah
estetika karawitan pada khususnya. Sumber dari internet sengaja penyusun ambil
karena dirasa belum ditemukannya sumber referensi buku yang pas atau cocok
untuk digunakan dalam membahas hal-hal tertentu. Karena berbagai sumber
referensi yang dikumpulkan berasal dari berbagai penulis, maka tidak
mengherankan jika alur kebahasaan kemungkinan dirasa tidak runtut se-alur,
namun demikian diharapkan isi atau kontensnya dapat dipahami sebagai suatu
pembahasan yang urut.
Evaluasi bahan ajar ini sangat ditentukan manakala terjadi perubahan TIU
maupun GBPP, ataupun yang sangat mendasar yaitu kurikulum. Namun demikian
walaupun belum atau tidak ada perubahan, akan lebih baik jika para mahasiswa
serta dosen pengampu matakuliah ini selalu meng update sumber-sumber
referensi yang juga berkembang baik melalui media website maupun media
lainnya.
Penyusunan bahan ajar matakuliah Estetika karawitan telah diusahakan
semaksimal mungkin dengan mengumpulkan berbagai sumber referensi, namun
itu semua baru sebatas kemampuan penyusun. Tidak menutup kemungkinan
bahwa masih banyak sumber-sumber atau referensi-referensi yang belum masuk
atau temukan, oleh sebab itu penyusun sangat berharap masukan yang berupa,
saran, kritik, atau yang lainnya demi melengkapi bahan ajar ini. Akhirnya
penyusun berharap semoga bahan ajar ini dapat berguna bagi mahasiswa
khususnya pada matakuliah Estetika karawitan pada Jurusan Karawitan ISI
Surakarta.
=+=
KEPUSTAKAAN
1. A. A. M. Djelantik (1999), Estetika Sebuah Pengantar. Masyarakat Seni
Pertunjukan Indonesia.

2. Agus Sachari, (1989), Estetika Terapan; Spirit-spirit yang Menikam Desain,


Nova Bandung.

3. Agus Sachari, (2002), Estetika; Makna, Simbol dan Daya. ITB Bandung.

4. De Witt H. Parker, (T.T.) Dasar-Dasar Estetika. (terjemahan Gendhon


Humardani) Surakarta; Akademi Seni Karawitan Indonesia.

5. Jakob Sumardjo, (2000), Filsafat Seni, Bandung.

6. Jakob Sumardjo, (2006), Estetika Paradoks, Sunan Ambu Press, STSI


Bandung.

7. Marc Benamou, (2010), Rasa; Affect and Intuition in Javanese Musical


Aesthetics, Oxford University Press Inc. New York.

8. Martopangrawit, (1972), Tjatatan Pengetahuan Karawitan, Pusat Kesenian


Djawa Tengah dan Dewan mahasiswa ASKI Surakarta.

9. Mudji Sutrisno dan Christ Verhaak, (1993), Estetika, Filsafat Keindahan,


Kanisius Yogyakarta.

10. Mudji Sutrisno, (1999), Kisi-Kisi Estetika. Kanisius. Yogyakarta.

11. Mudji Sutrisno, (2010), Ranah-ranah Estetika, Kanisius, Yogyakarta.

12. Nyoman Kutha Ratna, (2006), Estetika Sastra dan Budaya. Pustaka Pelajar.
13. Purba Asmoro, (2005), Pembumian Konsep-Konsep Analisis Pedalangan
(Seni Pertunjukan Indonesia: Menimbang Pendekatan Emik Nusantara), The
Ford Foundation & Program Pendidikan Pascasarjana, STSI Surakarta.

14. Rahayu Supanggah, (1990), Balungan. Jurnal Masyarakat Musikologi


Indonesia.

15. Rahayu Supanggah. (1994), Gatra, Inti dari Konsep Gendhing Tradisi Jawa,
Jurnal Wiled Th.1 STSI Surakarta.

16. Rahayu Supanggah, (2002), Bothekan Karawitan I, Ford Foundation &


Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

17. Rahayu Supanggah, (2007), Bothekan Karawitan II, ISI Press Surakarta.

18. Sindu Sawarno, (1959), Ilmu Karawitan jilid I dan II, Konservatori,
Sukrakarta.

19. Soedarso SP., (1990), Tinjauan Seni; Sebuah Pengantar Untuk Apresiasi
Seni, Saku Dayar Sana Yogyakarta.

20. Soewita Santoso, (1990), Dunia Ini Adalah sebuah Panggung, (Urip-Urip),
Museum Radya Pustaka, Surakarta.

21. Sri Hastanto, (2009), Konsep Pathet Dalam Karawitan Jawa, Program
pascasarjana bekerja sama dengan ISI Press Surakarta.

22. The Liang Gie, (1976), Garis Besar Estetik (Filsafat Keindahan),
Yogyakarta: Penerbit Karya Yogyakarta.
23. The Liang Gie, (1996), Filsafat Keindahan, Pusat Belajar Ilmu Berguna
(PUBIB), Yogyakarta.

24. The Liang Gie, (1996), Filsafat Seni (Sebuah Pengantar), Pusat Belajar Ilmu
Berguna (PUBIB), Yogyakarta.

25. Wahyu Santoso Prabowo, (2003), Pertemuan Antar Budaya Dalam karya
Tari: Dataran Untuk Penghayatan Nasionalitas (Warisan Budaya Takbenda;
Masalahnya Kini di Indonesia), Pusat Penelitian Kemsyarakatan dan
Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, Depok.

26. Woro Aryandini, (2005), Seni Pertunjukan Indonesia Dengan Pendekatan


Filsafat; Studi Kasus: Pergelaran Wayang Kulit, (Seni Pertunjukan
Indonesia: Menimbang Pendekatan Emik Nusantara), The Ford Foundation
& Program Pendidikan Pascasarjana, STSI Surakarta.

=+=

LAMPIRAN I
ANALISIS INSTRUKSIONAL

(10)
TIU: Setelah menyelesaikan matakuliah ini, mahasiswa dapat
mengiplementasikan konsep-konsep estetika dalam
menganalisis nilai-nilai estetik di dalam seni karawitan
karawitan.

(9)
Mahasiswa dapat menyusun laporan berbagai
hayatan gendhing tradisi gaya Surakarta

(8)
Mahasiswa dapat menjelaskan
rasaning gendhing

(5) (6) (7)


Mahasiswa dapat menjelaskan Mahasiswa dapat menjelaskan Mahasiswa dapat
estetika Jawa dan Seni unsur utama pembentuk estetika menjelaskan unsur khusus
Pertunjukan karawitan estetika karawitan
LAPIRAN II

GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN (GBPP)

Judul Matakuliah : Estetika Karawitan

Nomor/Kode/SKS :

Diskripsi singkat : Matakuliah ini memberikan bekal pemahaman


konsep-konsep estetika seni pertunjukan khususnya estetika
karawitan untuk memahami makna karya seni
karawitan.

Tujuan Instruksional Umum : Setelah menyelesaikan matakuliah ini, mahasiswa


dapat mengiplementasikan konsep-konsep estetika
dalam

menganalisis nilai-nilai estetik di dalam seni


karawitan

N Tujuan Instruksional Pokok Sub Pokok W


o Khusus Bahasan Bahasan aktu

1 Setelah mengikuti Pengerti a. Pengertian Estetika 1


1. Wikipe
. perkuliahan ini mahasiswa an Estetika, b. Ruang lingkup Estetika 00
dapat menjelaskan pengertian, ruang lingkup, c. Medium Seni 2. Agus S
ruang lingkup Estetika, medium medium, dan d. Unsur Seni Simbo
dan unsur seni unsur seni 3. A. A. M
Penga
Indone
4. De Wi
Estetik
Huma
Karaw
5. The Li
(Sebua
Bergun
6. Jakob
Bandu
3 Setelah mengikuti Kajian e. Pendekatan Estetika 1
1. Mudji
. perkuliahan ini mahasiswa Estetika f. Alasan Mempelajari 00
Estetik
dapat menjelaskan pendekatan Estetika
Yogyak
dan Alasan Mempelajari g. Refleksi Filsafat
2. The Lia
Estetika mengenai keindahan
Pusat B
h. Manusia Modern dan
Yogyak
Kerinduan akan yang
3. A.A. M
Afektif
Pengan
Indone
4 Setelah mengikuti Beberap a. Beberapa pemikiran 2
1. Agus S
. perkuliahan ini mahasiswa a pemikiran tentang Estetika Barat 00
Simbol
dapat menjelaskan pemikiran Estetika Barat b. Beberapa Pemikiran
2. The Lia
estetika Barat dan estetika dan Timur. tentang Estetika Timur
(Filsafa
Timur
Karya Y
3. Nyoma
Sastra
5 Setelah mengikuti Pemikira a. Keluhuran Budi 2
1. Agus S
. perkuliahan ini mahasiswa n Estetika b. Citra dan Orisinalitas 00
Simbol
dapat menjelaskan Pemikiran Indonesia c. Budaya yang Hidup
2. Muji Su
Estetika Indonesia d. Keindahan yang
Kanisiu
Membumi
3. A.A. M
e. Historisitas
Pengan
f. Mencumbui Makna
Indone
4. The Lia
(Filsafa
Karya Y
6 Setelah mengikuti Estetika a. Tiga Ciri Estetika Jawa 1 6. Wikipe
. perkuliahan ini mahasiswa Jawa dan seni b. Seni pertunjukan 00
7. Purba
dapat menjelaskan Estetika pertunjukan Pedalangan
Konsep
Jawa dan seni pertunjukan c. Seni Pertunjukan Tari
Ford Fo
Pascas
8. Woro A
Indone
Studi K
Ford Fo
Pascas
9. Soewit
sebuah
Radya
10.Wahyu
Pertem
Tari: D
Nasion
Kemsy
Penelit
7 Setelah mengikuti Unsur- Unsur Pembentuk Estetika 1
8. Martop
. perkuliahan ini mahasiswa unsur utama Karawitan; 00
Penget
dapat menjelaskan Unsur-unsur pembentuk
Djawa
Pembentuk Estetika Karawitan estetika a. Sarana Fisik
Suraka
karawitan b. Laras dan Lagu
9. Rahayu
c. Seniman
Jurnal
10.Rahayu
Konsep
Wiled
11.Rahayu
Karawi
Masya
12.Rahayu
Karawi
13.Sri Has
Karawi
bekerj
14.Sindu S
jilid I d
8 Setelah mengikuti Unsur a. Irama, Laya 1
1. Martop
. perkuliahan ini mahasiswa khusus b. Cengkok, Pola 00
Penget
dapat menjelaskan Unsur pembentuk c. Pathet, Garap
Djawa
utama dalam Estetika estetika dalam d. Dinamika, Waktu jeda
Suraka
Karawitan karawitan e. Vokal, dan Budaya
2. Rahayu
Jurnal
3. Rahayu
Konsep
Wiled
4. Rahayu
Karawi
Masya
5. Rahayu
Karawi
6. Sri Has
Karawi
bekerj
7. Sindu S
jilid I d
9 Setelah mengikuti Rasaning a. Rasa Sebagai 2
1. Marc B
. perkuliahan ini mahasiswa Gendhing kemampuan 00
Intuitio
dapat menjelaskan Rasaning b. Rasa Sebagai Kualitas
Oxford
Gendhing c. Kata Lain dari Rasa
2. Martop
d. Sulit dan Bahaya
Penget
Dalam
Djawa
Menggeneralisasi
Suraka
e. Empat Belas Istilah
3. Rahayu
Penting
Karawi
4. Sri Has
Karawi
bekerj
5. Sindu S
jilid I d
1 Setelah mengikuti Keindaha a. Mendengarkan 1 1. Berbag
0. perkuliahan ini mahasiswa n teknik bonang gendhing ladrangan. 00 Lokana
dapat menuliskan dan garap ricikan b. Menyusun laporan Irama
(mendiskripsikan) hasil hayatan lainnya hasil hayatan
sebuah gendhing

1 Setelah mengikuti Keindaha a. Mendengarkan 1 1. Berbag


1. perkuliahan ini mahasiswa n gendhing gendhing serambahan 00 Lokana
dapat menyusun laporan hasil serambahan b. Menyusun laporan Irama
hayatan gendhing-gendhing hasil hayatan
serambahan

1 Setelah mengikuti Keindaha a. Mendengarkan 1 1. Berbag


2. perkuliahan ini mahasiswa n gendhing gendhing serambahan 00 Lokana
dapat menyusun laporan hasil serambahan b. Menyusun laporan Irama
hayatan gendhing-gendhing dengan gerong hasil hayatan
serambahan bedayan

1 Setelah mengikuti Pertunju a. Mendengarkan 1 -


3. perkuliahan ini mahasiswa kan langsung gendhing ladrangan. 00
dapat menyusun laporan hasil b. Menyusun laporan
mendengarkan pertunjukan hasil hayatan
langsung

Anda mungkin juga menyukai