Anda di halaman 1dari 26

COLLABORATIVE SPACE YANG BERKELANJUTAN DENGAN

PENDEKATAN BIOPHILIC DESIGN

KARYA ILMIAH YANG DIAJUKAN UNTUK MENGIKUTI


PEMILIHAN MAHASISWA BERPRESTASI TINGKAT
NASIONAL

OLEH TARA IDZNI ASHILA

052.001600.065

JURUSAN ARSITEKTUR

FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERANCANAAN

UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA, 2019

i
LEMBAR PENGESAHAN

Judul Karya Tulis : Collaborative Space yang Berkelanjutan dengan


Pendekatan Biophilic Design

Bidang Karya Tulis :

Nama : Tara Idzni Ashila

NIM : 052.001600.065

Program Studi/Jurusan/Departemen : Arsitektur

Fakultas : Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan

Universitas/Institut : Universitas Trisakti

Dosen Pembimbing : Dr. Maria Imaculata Ririk Winandari, ST., MT.

NIP/NIDN : 2194/USAKTI/0305027101

Jakarta, 1 Maret 2019

Dosen Pembimbing, Mahasiswa,

Dr. Maria Imaculata Ririk Winandari, ST., MT. Tara Idzni Ashila
2194/USAKTI/0305027101 NIM 052.001600.065

Pimpinan Bidang Kemahasiswaan PT/Kepala LLDIKT

Dr. Hein Wangania, SH, MM, MH

NIP/NIDN ………………………….

ii
SURAT PERNYATAAN

Saya bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Tara Idzni Ashila


Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 1 Mei 1998
Program Studi : Arsitektur
Fakultas : Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
Perguruan Tinggi : Universitas Trisakti
Judul Karya Tulis : Collaborative Space yang Berkelanjutan dengan
Pendekatan Biophilic Design

Dengan ini menyatakan bahwa Karya Tulis Ilmiah yang saya sampaikan
pada kegiatan Pilmapres ini adalah benar karya saya sendiri tanpa tindakan
plagiarisme dan belum pernah diikutsertakan dalam lomba karya tulis.

Apabila di kemudian hari ternyata pernyataan saya tersebut tidak benar,


saya bersedia menerima sanksi dalam bentuk pembatalan predikat
Mahasiswa Berprestasi.

Jakarta , 1 Maret 2019

Mengetahui,

Dosen Pembimbing Yang menyatakan

Meterai Rp6.000,00

2194/USAKTI/0305027101 052.001600.065

iii
PRAKATA

Bismillahirrahmanirrahim

Dengan segala kerendahan hati, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan rahmatNya sehingga penulis bisa menyelesaikan karya
ilmiah dengan judul “Collaborative Space yang Berkelanjutan dengan Pendekatan
Biophilic-design”.

Suatu kehormatan tersendiri, bahwa penulisan karya ilmiah ini diajukan sebagai
syarat mengikuti pemilihan mahasiswa berpestasi tingkat nasional. Karya ilmiah ini
ditulis berdasarkan hasil telaah pustaka oleh penulis. Menyadari keterbatasan diri
dalam penyusunan karya ilmiah ini, penulis mengucapkan banyak-banyak terima
kasih kepada Ibu Dr. Maria Imaculata Ririk Winandari, ST., MT., Bapak Ir.
Indartoyo, MSA., dan Bapak Punto Wijayanto, ST.,MT., yang telah meluangkan
waktu, tenaga, dan pikirannya untuk membimbing dan mendampingi penulis. Tak
lupa, ucapan terima kasih untuk Ibu, Ayah, dan kedua kaka penulis yang setia
memberikan dukungan dan do’a yang tak ada hentinya. Serta, teman-teman dan
pihak lainnya yang juga memberikan bantuan. Semoga Tuhan YME memberikan
balasan yang lebih baik.

Penulis berharap, karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya. Serta,
menghasilkan kritik dan saran untuk perkembangan di waktu mendatang.

Jakarta, 1 Maret 2019

Penulis

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i


HALAMAN LEMBAR PENGESAHAN ............................................................ ii
HALAMAN PERNYATAAN PLAGIARISME ................................................ iii
PRAKATA ............................................................................................................ iv
DAFTAR ISI ...........................................................................................................v
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ vi
ABSTRAK ........................................................................................................... vii
ABSTRACT ........................................................................................................ viii
BAB I (PENDAHULUAN) ....................................................................................1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................................... 4
1.2 Masalah .................................................................................................................... 4
1.3 Gagasan Kreatif ........................................................................................................ 4
1.4 Tujuan Penulisan ...................................................................................................... 4
1.5 Manfaat Penulisan .................................................................................................... 4
BAB II (RUANG PUBLIK DAN PENDEKATAN BIOPHILIC-DESIGN) .....5
2.1 Collaborative Space .................................................................................................. 5
2.2 Ruang Terbuka Hijau (RTH) .................................................................................... 6
2.3 Biophilic-design........................................................................................................ 7
BAB III (STUDI KASUS COLLABORATIVE SPACE YANG
BERKELANJUTAN)...........................................................................................11
SIMPULAN DAN REKOMENDASI .................................................................16
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................17

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 17 Tujuan SDGs..........................................................................1

Gambar 1.2 Ruang Publik di Jakarta..............................................................3

Gambar 2.1.1 Co Working Space....................................................................5

Gambar 2.2.1 Data Statistik Jumlah Ruang Terbuka Hijau di DKI Jakarta....6

Gambar 2.3.1 Work Space dengan Biophilic Design.......................................8

Gambar 2.3.2 Coworking Space dengan Material Alam pada Interior............9

Gambar 2.3.3 Penghijauan Fasad...................................................................10

Gambar 3.1 Kantor Partai Golkar DPD DKI Jakarta..................................11

Gambar 3.2 Open and Transparency Plan...................................................12

Gambar 3.3 Perancangan Terbuka dan Transparan pada Eksterior..............12

Gambar 3.4 Perancangan Terbuka dan Transparan pada Interior.................12

Gambar 3.5 Penggunaan Material alam Pada Interior...................................13

Gambar 3.6 Green Reviving Plan..................................................................14

Gambar 3.7 Penghijauan Pada Ruang Terbuka Kantor Partai Golkar...........14

Gambar 3.8 Collaborative Space Plan............................................................15

vi
Abstrak

Menjadi salah satu pokok bahasan pada Sustainable Development Goals (SDGs),
ruang publik merupakan hal penting yang harus diperhatikan dalam keberlanjutan
sebuah kota. Sebagaimana yang telah dipaparkan dalam SDGs, sebuah ruang publik
haruslah berkelanjutan, inklusif, dan hijau. Dalam rangka meningkatkan
produktivitas dan kreativitas masyarakat Ibukota Jakarta, collaborative space atau
ruang kolaborasi hadir sebagai ruang publik sekaligus wadah bagi para komunitas
dan pelaku ekonomi kreatif. Ruang kolaborasi juga harus disertai ruang terbuka
hijau (RTH) pada areanya, mengingat jumlah RTH pada DKI Jakarta masih jauh
dari target. Dengan mensinergiskan kedua hal itu, nilai eksistensi dan kualitas RTH
tersebut akan meningkat. Mempertajam isu pembangunan kota yang berkelanjutan,
penyediaan ruang kolaborasi haruslah ramah kepada alam. Salah satu caranya
adalah dengan menerapkan pendekatan biophilic-design pada perancangannya.
Biophilic-design berarti menjadikan alam bagian dari desain. Menghadirkan fitur-
fitur alam pada perancangan mampu meningkatkan kenyamanan, kepuasan, dan
minat emosional penggunanya. Merujuk kepada Kantor Partai Golkar di Jakarta
sebagai studi kasusnya, ruang kolaborasi yang disertai RTH dapat mewadahi
berbagai macam aktivitas masyarakat. Studi kasus tersebut menjadi bukti bahwa
ruang kolaborasi yang disertai RTH, dengan pendekatan desain yang merujuk
kepada alam, dapat menjadi solusi keberlanjutan kota.

Kata kunci: berkelanjutan, collaborative space, ruang terbuka hijau, biophilic


design,

vii
Abstract

Being one of the topics in the Sustainable Development Goals (SDGs), public space
is an important thing that must be considered in the sustainability of a city. As
explained in the SDGs, a public space must be sustainable, inclusive and green. In
order to increase the productivity and creativity of the capital city of Jakarta,
collaborative space exists as a public space, as well as a place for communities and
creative economic actors. The collaboration space must also be accompanied by
green open space (RTH), considering the amount of green open space in DKI
Jakarta is still far from the target. By synergizing these two things, the value of
existence and quality of RTH will increase. Marking the issue of sustainable city
development, providing collaborative space must be friendly to nature. One of the
ways is to apply the biophilic-design approach to the plan. Biophilic-design means
making nature a part of design. Presenting natural features in the design can
improve the comfort, satisfaction, and emotional interest of its users. Referring to
the Golkar Party Office in Jakarta as a case study, the collaboration space
accompanied by RTH can accommodate various kinds of community activities. The
case study is proof that the collaboration space accompanied by RTH, with a design
approach that refers to nature, can be a solution to the city’s sustainability.

Keyword: sustainable, collaborative space, green open space, biophilic design

viii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam misinya membangun dunia, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)
menerbitkan sebuah agenda bertajuk Tujuan Perkembangan Berkelanjutan atau
Sustainable Development Goals yang biasa disingkat sebagai SDGs. SDGs
disebut sebagai agenda dunia pembangunan untuk kemaslahatan manusia dan
planet bumi. Disahkan oleh 193 negara di New York pada 21 Oktober 2015,
ambisi ini akan terus dikembangkan hingga 15 tahun ke depan, tepatnya di
tahun 2030.

Gambar 1.1: 17 tujuan SDGs


Sumber: https://www.delltechnologies.com/en-
us/microsites/legacyofgood/2018/support-sdg.htm

SDGs memiliki 17 tujuan dan 169 capaian, termasuk didalamnya adalah


pengentasan kemiskinan dan kelaparan, perbaikan kesahatan dan pendidikan,
pembangunan kota yang berkelanjutan, mengatasi perubahan iklim, serta
melindungi hutan dan laut. Secara utuh, 17 tujuan tersebut meliputi; (1)
Menghapus kemiskinan, (2) Mengakhiri kelaparan, (3) Kesehatan yang baik
dan kesejahteraan, (4) Pendidikan bermutu, (5) Kesetaraan gender, (6) Akses
air bersih dan sanitasi, (7) Energi bersih dan terjangkau, (8) Pekerjaan layak dan
pertumbuhan ekonomi, (9) Industri, inovasi, dan infrastruktur, (10) Mengurangi

1
ketimpangan, (11) Kota dan komunitas yang berkelanjutan, (12) Konsumsi dan
produksi yang bertanggung jawab, (13) Penanganan perubahan iklim, (14)
Menjaga ekosistem laut, (15) Menjaga ekosistem darat, (16) Perdamaian,
keadilan dan kelembagaan yang kuat, (17) Kemitraan untuk mencapai tujuan.
Setiap nomor tujuan memiliki capaian terukur masing-masing sesuai dengan
fakta, data, keadaan, urgensi, dan harapan di masa depan.
Diantara 17 tujuan dan 169 capaian, tujuan ke-11 adalah salah satu tujuan
yang sangat penting untuk diperhatikan dan dikembangkan demi pembangunan
yang berkelanjutan. Tujuan ke-11 memiliki pokok untuk membuat perkotaan
menjadi inklusif, aman, kuat, dan berkelanjutan. Tujuan ini juga memiliki 7
pokok capaian terukur dan 3 sub-pokok capaian. Pada pokok capaian
terakhirnya, tujuan ke-11 menitik beratkan pada penyediaan akses universal
terhadap ruang-ruang publik yang aman, inklusif dan mudah diakses, dan hijau,
terutama bagi perempuan dan anak-anak, manula dan orang dengan disabilitas,
di tahun 2030.
Ruang publik erat kaitannya dengan keberlanjutan sebuah kota, karena
pengaruhnya terhadap produktivitas, kreativitas, dan inovasi penduduknya.
Sehingga, pembangunan dan perkembangan ruang publik pun harus bersifat
sustainable. Dalam kasus ini, penyediaan dan pengembangan ruang publik
dititik beratkan kepada ruang publik yang inklusif dan hijau.
Collaborative space atau ruang kolaborasi adalah salah satu contoh ruang
publik yang mewadahi berbagai macam aktivitas di dalamnya. Umumnya,
ruang kolaborasi adalah sebuah wadah aktivitas bekerja, bertukar pikiran, atau
berdiskusi para pengguna dari berbagai perusahaan, organisasi, maupun
komunitas yang berbeda. Ruang kolaborasi juga menjadi salah satu bukti fisik
semakin berkembangnya industri ekonomi kreatif dan komunitas di negara
Indonesia, khususnya di Ibukota Jakarta. Berkaitan dengan hal tersebut, ruang
kolaborasi merupakan ruang publik yang pasti akan sangat dibutuhkan bagi para
komunitas, pelaku ekonomi kreatif, dan peran-peran lainnya dibalik fenomena
ini.
Dalam kasus ini, collaborative space yang dimaksud adalah ruang
kolaborasi yang disertai dengan fungsi ruang terbuka hijau. Hal tersebut

2
dilakukan dengan tujuan menjadikan ruang kolaborasi tersebut lebih inklusif.
Sehingga, perancangannya harus disertai ruang-ruang publik terbuka, yang
hijau, yang dapat mewadahi lebih banyak lagi aktivitas selain sebagai tempat
bekerja. Penyertaan ruang terbuka hijau pada ruang kolaborasi juga mampu
meningkatkan nilai eksistensi ruang terbuka hijau tersebut.

Gambar 1.2: Ruang publik di Jakarta


Sumber:
https://www.kompasiana.com/agungmarhaenis/560bbff43f23bdac05fc6315/ruang-
publik-kota-ruang-yang-mendekatkan-dan-mengeratkan-manusia?page=all

Berkaitan dengan pembangunan yang berkelanjutan, penyediaan ruang


kolaborasi juga harus mempertimbangkan pokok-pokok keberlanjutan. Salah
satu upaya yang dikembangkan dalam kasus ini adalah menggunakan
pendekatan desain biofilik, atau biophilic design. Biophilic, melalui kata ‘bio’
yang berarti alam, dan ‘philic’ yang berarti ketertarikan. Maka, biophilic bisa
diartikan sebagai kecintaan atau ketertarikan kepada alam. Sedangkan,
biophilic-design berarti sebuah kegiatan merancang yang menjadikan alam
sebagai bagian dari perancangan serta mempertimbangkan kesejahteraan
manusia sebagai organisme biologis. Pendekatan biophilic-design dilakukan
untuk menciptakan sebuah desain yang sustainable. Selain itu, ruang publik
yang menggunakan desain biofilik juga akan menjadi booster bagi para
penggunanya, sehingga setiap kegiatan yang dilakukan akan menghasilkan
sesuatu yang lebih baik.

3
1.2 Masalah
Ruang publik merupakan salah satu capaian dalam keberlanjutan sebuah kota.
Sedikitnya jumlah ruang publik yang hijau, inklusif dan berkelanjutan di kota
Jakarta, membuat penyediaannya menjadi sebuah urgensi.

1.3 Gagasan Kreatif


Penyediaan collaborative space dan menyertakan ruang terbuka hijau sebagai
suatu ruang publik yang utuh dengan pendekatan biophilic design. Menjadikan
ruang tersebut sebagai wadah interaksi sosial, peningkatan produktivitas,
kreativitas, dan inovasi masyarakat Ibukota Jakarta.

1.4 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang Sustainable Development Goals
2. Untuk menciptakan gagasan kreatif dalam perwujudan ruang publik yang
berkelanjutan, inklusif, dan hijau
3. Untuk mengetahui pengertian collaborative space dan ruang terbuka hijau
4. Untuk mengetahui pengertian dan elemen dasar biophilic design
5. Untuk mengetahui studi kasus mengenai collaborative space serta ruang
terbuka hijau yang berkelanjutan

1.5 Manfaat Penulisan


Manfaat penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai bentuk dukungan terhadap
agenda dunia, Sustainable Development Goals, dan memberikan saran gagasan
kreatif untuk mewujudkannya.

1.6 Metode Penulisan


Metode penulisan adalah studi pustaka, dilakukan dengan mempelajari dan
menghimpun data yang relevan dari pustaka, baik berupa buku, maupun
informasi di internet.

4
BAB 2
RUANG PUBLIK DAN PENDEKATAN BIOPHILIC

2.1 Collaborative Space


Ruang publik adalah ruang yang berfungsi untuk tempat menampung
aktivitas masyarakat, baik secara individu maupun secara kelompok, dimana
bentuk ruang publik ini sangat tergantung pada pola dan susunan massa
bangunan (Rustam Hakim,1987). Ruang publik juga harus memiliki hubungan
dengan bagian-bagian pada lingkungan alami dan binaan, publik dan privat,
internal dan eksternal, perkotaan dan pedesaan, di mana masyarakat umum
mendapatkan akses secara bebas (Carmona, 2008).
Collaborative space adalah salah satunya. Menampung berbagai macam
aktivitas, collaborative space biasanya bersifat lebih terbuka dan memiliki
banyak ruang-ruang fleksibel yang menyesuaikan jumlah pengguna beserta
kebutuhannya. Meminimalisir ruang-ruang pasif yang tersembunyi,
collaborative space biasanya justru membuat ruang-ruang terbuka untuk
berdiskusi. Alih-alih tertutup dan kaku, ruang kolaborasi biasanya dibatasi
dengan dinding-dinding kaca. Para pengguna dapat melihat apa yang terjadi dan
bagaimana cara kerja pengguna lainnya. Disini tercipta transparansi total secara
harfiah dan kiasan.

Gambar 2.1.1: Co Working Space


Sumber: http://nowjakarta.co.id/why-coworking-space-works

Memiliki konsep “one size fits all” atau dalam artian satu ruang kolaborasi
dapat menampung beragam aktivitas, ruang kolaborasi tentu memiliki banyak
manfaat jika digunakan dengan tepat. Misalnya, ruang kolaborasi mengarahkan

5
pengguna kepada efisiensi dan produktivitas yang lebih besar, serta
meningkatkan energi dan motivasi penggunanya. Karena sistem penggunaan
ruang kolaborasi dilakukan secara bersama, maka ruang kolaborasi juga dapat
membuat para penggunanya saling menyerap berbagai informasi baru. Selain
itu, ruang kolaborasi juga membuat penggunanya beradaptasi dengan cepat dan
baik. Dengan begitu, pengguna dapat menyelesaikan berbagai macam masalah,
mengelola prioritas yang berubah-ubah, dan menyesuaikan persepsi orang lain.

Apabila kreativitas merupakan aset besar bagi kemajuan komunitas,


ekonomi, bahkan kota itu sendiri, maka lewat ruang kolaborasi pengguna dapat
ditingkatkan kreativitasnya. Aspek inti dari kreativitas adalah pemikiran yang
divergen, yang mengacu pada kemampuan untuk menghasilkan banyak ide
baru. Dengan keterbukaan dan keberagaman aktivitas pada collaborative space,
maka akan tercipta pemikiran yang divergen.

2.2 Ruang Terbuka Hijau (RTH)


Ruang Terbuka Hijau, atau selanjutnya disingkat sebagai RTH, adalah ruang
terbuka yang didominasi oleh taman atau tanaman hias atau peneduh yang
tujuannya adalah memberikan suasana segar, sejuk santai yang secara
psikologis dapat memberikan ketentraman dan kenyamanan bagi manusia.
Menurut Instruksi Mendagri Nomor 14 Tahun 1988 yang mensyaratkan bahwa
luas RTH dalam suatu kota minimal 30% dari luas wilayah kota. Hal tersebut
tentu tidak mudah untuk diwujudkan.

Gambar 2.2.1: Data Statistik Jumlah Ruang Terbuka Hijau di DKI Jakarta

Sumber: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2017/01/24/jumlah-ruang-terbuka-
hijau-di-jakarta-mencapai-3100

6
Dalam cakupan wilayah DKI Jakarta saja, berdasarkan data Dinas
Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta, jumlah Ruang Terbuka Hijau (RTH)
di DKI Jakarta mencapai 3.131. Ruang terbuka hijau ini berupa taman kota,
taman lingkungan, taman interaktif dan juga jalur hijau jalan. Meski jumlahnya
sudah banyak, tetapi jumlah tersebut bahkan belum menyentuh angka 10% dari
total luas wilayah DKI Jakarta.
Padahal, keberadaan RTH di kawasan perkotaan memiliki banyak manfaat.
RTH di kawasan perkotaan dapat menjadi penyeimbang antara lingkungan alam
dan lingkungan binaan yang berguna untuk kepentingan masyarakat.
Keberadaan RTH di kawasan perkotaan juga mampu menjaga ketersediaan
lahan sebagai kawasan resapan air serta mengatur iklim mikro agar sistem
sirkulasi udara dan air secara alami dapat berlangsung lancar.

2.3 Biophilic Design


Manusia memiliki naluri untuk berhubungan dengan kehidupan lainnya
yang telah terbentuk berjuta tahun silam melalui proses seleksi alam. (Kellert
dan Wilson, 1993). Biophilic-design lahir dari istila biophilia atau biofilia, yang
berarti sebuah bentuk afiliasi manusia untuk berhubungan dengan bentuk
kehidupan lainnya, seperti ‘lingkungan alami’. (E.O Wilson). Sehingga sejak
dulu, manusia menjadikan alam sebgai referensi dalam menciptakan sesuatu.
Dalam hal ini, bagaimana manusia menciptakan ruang-ruang dan arsitektur
dengan sentuhan alam. Alam bisa hadir pada ruang dan arsitektur melalui
bentuk, warna, citra, bahkan analogi.

7
Gambar 2.3.1: Work Space dengan Biophilic Design
Sumber: https://workdesign.com/2018/09/enriching-the-workplace-with-biophilic-design/

Dipaparkan oleh Kellert, dkk. 2008, terdapat enam elemen dasar Biofilia,
yaitu, fitur lingkungan, forma dan bentuk alami, pola dan proses alam, cahaya
dan ruang, hubungan dengan tempat, dan hubungan manusia dengan alam yang
telah berevolusi. Pada kasus menciptakan ruang kolaborasi yang berkelanjutan,
pokok fitur lingkungan merupakan pokok yang paling berkaitan dengan sistem
keberlanjutan. Dalam pokok fitur lingkungan, terdapat 12 atribut perancangan
yang berlandaskan Biofilia, diantaranya adalah: warna, air, udara, sinar
matahari, tanaman, binatang, material alam, pandangan dan pemandangan,
penghijauan fasad, geologi dan lansekap, habitat dan ekosistem, dan api.
Dari 12 atribut tersebut, tujuh diantaranya adalah yang paling penting.
Yaitu, warna, air, udara, sinar matahari, material alam, pandangan dan
pemandangan, dan penghijauan fasad. Meskipun hanya menitik beratkan
kepada tujuh atribut saja, tetapi setiap atribut sesungguhnya saling berkaitan.
Sehingga, meskipun berfokus pada beberapa atribut saja, fitur lingkungan
dalam desain biofilik akan tetap memiliki dampak secara holistik.
Warna, warna-warna yang baik digunakan dalam perancangan adalah
warna-warna yang alami, seperti warna bumi, warna langit, warna bunga, dan
warna pelangi, atau dengan kata lain warna-warna yang berasal dari alam.
Hadirnya berbagai macam warna dan corak akan meningkatkan energi
tersendiri bagi orang-orang yang berada disekitarnya. Misalnya saja,
penggunaan warna hijau pada sebuah ruangan dapat meningkatkan kreativitas
seseorang.

8
Air, air dapat memberikan kesan tenang dan menyegarkan sehingga dapat
meningkatkan kreativitas. Air juga dapat menjadi media sustainability lewat
konservasi air atau daur ulang air dalam rangka menghemat setiap kubik air.
Udara dan sinar matahari. Mengurangi ketergantungan pada pengunaan
listrik akan berkontribusi langsung kepada perubahan iklim global.
Memaksimalkan udara dan sinar matahari alami di dalam ruangan akan
meningkatkan kenyamanan termal dan penggunaan glass ceiling untuk
membiarkan cahaya alami masuk ke dalam ruangan. Selain itu penggunaan
kisi-kisi jendela juga dapat memperbaiki sirkulasi udara. Hal-hal tersbut
menghubungkan perancangan biofilia dengan perancangan keberlanjutan.
Material alam, umumnya adalah material yang berasal dari alam dan tidak
melalui banyak proses dalam pembuatannya. Oleh karena itu, material alam
tidak akan merusak alam saat proses pembuatan maupun saat material tersebut
rusak. Penggunaan material alam yang diproduksi secara lokal juga akan
membantu mengurangi carbon impact pada saat mendistribusikannya. Material
alam seperti kayu, bambu, rotan, batu, dan lain-lain, dapat meningkatkan
kepuasan, kesenangan, stimulan, dan minat emosional apabila dijadikan
sebagai bagian dari interior sebuah ruangan. Penggunaan material yang tepat
juga akan mempengaruhi hal-hal lainnya seperti suhu, pencahayaan, dan
kenyamanan visual.

Gambar 2.3.2: Coworking Space dengan Material Alam pada Interior


Sumber: https://www.huffpost.com/entry/the-20-best-coworking-spaces-across-
the-globe_n_59c42edae4b08d661550413b

9
Pandangan dan pemandangan. Dalam konteks perkotaan padat, sulit untuk
mendapatkan pemandangan yang pantas, namun bisa diciptakan dengan
mengatur orientasi masa bangunan itu sendiri. Selain itu, pandangan dan
pemandangan dapat diciptakan menggunakan fitur lingkungan pendukung
lainnya, seperti menampilkan fitur alami dan vegetasi.
Penghijauan fasad. Penghijauan fasad dapat disajikan dengan penerapan
green roof, green wall, dan lain-lain. Hal ini pun sudah banyak diterapkan di
Indonesia. Meski begitu, jumlahnya masih harus diperbanyak. Penghijauan
fasad dapat meningkatkan kesehatan fisik maupun mental bagi pengguna
ruangan terkait. Selain itu, penghijauan fasad dapat bermanfaat sebagai
insulasi, perlindungan, bahkan ekosistem bagi makhluk hidup lainnya.

Gambar 2.3.3: Penghijauan Fasad


Sumber: https://www.metalarchitecture.com/articles/building-for-biophilic-design

Memiliki banyak manfaat, biophilic-design mampu mendekatkan pengguna


ruangan kepada alam. Salah satu ciri hal yang berkelanjutan adalah apabila hal
tersebut berasal dari alam dan kembali ke alam. Dan memberikan akses visual
kepada sistem alam merupakan salah satu penyelesaian masalah yang paling
efektif. Sehingga, penggunaan pendekatan biophilic-design dapat menjadi
salah satu solusi dalam pengembangan yang sustainable.

10
BAB 3
KASUS COLLABORATIVE SPACE YANG BERKELANJUTAN

Salah satu kasus collaborative space yang berkelanjutan adalah bangunan


kantor Partai Golkar di Jakarta Pusat, Indonesia. Dirancang oleh biro arsitektur
asal Indonesia bernama Delution Architect, kantor Partai Golkar ini memiliki
lahan seluas 26.00 m2 dan memiliki kondisi eksisting yang terdiri atas 2
bangunan, salah satu bangunan berfungsi sebagai kantor, dan bangunan lainnya
adalah bangunan setengah jadi.
Partai Golkar DPD DKI Jakarta, selaku pemilik proyek, berniat untuk
melakukan suatu revolusi untuk menjadi partai yang lebih modern, transparan,
kolaboratif, dan terbuka sehingga dapat mulai menarik perhatian generasi
muda yang tertarik dengan dunia politik untuk bisa berpraktek secara langsung,
tentunya semua visi itu harus sejalan dengan bangunan kantornya yang
merupakan wadah utama aktifitas serta “wajah peradaban” dari partai politik
ini. Sehingga, tercetuslah konsep restorasi “Revolusi”. Konsep Revolusi itu
sendiri mengusung 4 nilai utama sebagai dasar dari revolusi perilaku yang
diterapkan dalam implementasi arsitektur bangunannya. Adapun keempat nilai
tersebut adalah Open and Transparency, Green Reviving, Collaborative &
Community Hub, serta Raising the Nationalism.

Gambar 3.1: Kantor Partai Golkar DPD DKI Jakarta


Sumber: https://www.archdaily.com/882662/golkar-jakarta-office-delution-
architect/

11
Nilai pertama, open and transparency, tidak sekedar berupa bentuk
arsitektural yang “hanya” terbuka, namun juga akan mengubah perilaku
pengguna bangunannya. Nilai ini dimulai dengan konsep tanpa pagar. Seluruh
lantai satu, dari total tiga lantai bangunan ini, dijadikan sebagai ruang publik
terbuka. Tentunya ruang terbuka hijau. Terdapat fasilitas publik diantaranya,
amphiteater, toko kreatif, ruang urban farming, dan lain-lain. Lantai 2 dan 3
terisi oleh ruang-ruang kantor yang dimana keseluruhan ruangan dibuat dengan
kaca transparan yang sangat besar, sehingga tidak ada lagi ruang untuk
melakukan suatu diskusi yang sifatnya tertutup dan tersembunyi seperti orang-
orang partai pada umumnya. Sifat terbukanya juga memaksimalkan
pemandangan dan pandangan terhadap sistem alam, fitur alam, dan vegetasi
yang ditata sedemikian rupa pada eksterior maupun interior bangunan ini.

Gambar 3.2: Open and Transparency Plan

Gambar 3.3 dan Gambar 3.4: Perancangan terbuka dan transparan pada
eksterior dam interior
Sumber: https://www.archdaily.com/882662/golkar-jakarta-office-delution-
architect/

12
Nilai kedua, Green reviving. Hal ini diwujudkan dengan ‘membungkus’
tulang bangunan lama yang masih tersisa dengan tanaman. Berbagai
pertimbangan dilakukan, termasuk soal efisiensi biaya. Green reviving juga
bukan hanya soal ‘menghijaukan’ fasadnya, namun bagaimana bangunan ini
menjadi hemat energi. Demi mengurangi ketergantungan pada AC, bangunan
ini dibuat terbuka sehingga sinar matahari dan udara sejuk bisa masuk. Hal ini
juga membuat iklim mikro di lahan ini menjadi terasa lebih sejuk.
Selain itu, fitur alam juga ditampakkan lewat pemilihan warna dan material.
Sebagian besar warna yang digunakan pada bangunan ini adalah warna putih.
Hal tersebut membuat bangunan terlihat natural dan menonjolkan material-
material lain yang digunakan. Meski begitu, pada beberapa titik, diberikan
sentuhan warna kuning sebagai identitas warna partai Golkar.

Gambar 3.5: Penggunaan material alam pada interior


Sumber: https://www.archdaily.com/882662/golkar-jakarta-office-delution-
architect/

Selain warna, penggunaan material alam juga digunakan. Seperti pada


gambar 3.5, material kayu ekspos dipilih sebagai penutup langit-langit dan
ornamen interior lainnya. Di beberapa tempat, lantainya dilapisi batu-batu
kerikil halus yang diekspos. Fitur alam pemandangan dan pandangan juga hadir
memanjakan kenyamanan visual penggunanya. Hamparan rumput hijau dapat
dilihat melalui dinding-dinding kaca ruang kolaborasi tersebut.

13
Gambar 3.6: Green Reviving Plan

Sumber: https://www.archdaily.com/882662/golkar-jakarta-office-delution-
architect/

Gambar 3.7: Penghijauan pada ruang terbuka Kantor Partai Golkar


Sumber: https://www.archdaily.com/882662/golkar-jakarta-office-delution-
architect/

Nilai ketiga adalah Collaborative dan Community Hub. Konsep ini


diusung dengan tujuan agar Partai Golkar DKI Jakarta bisa menunjukan kepada
masyarakat bahwa kolaborasi adalah suatu solusi terkuat atas masalah-masalah
yang sedang dihadapi bangsa Indonesia. Misalnya saja, tidak ada lagi ruangan
yang bersifat privaasi sehingga semua ruangan dapat digunakan oleh seluruh
kader Partai Golkar. Sedangkan, nilai community hub dikembangkan dengan
membuka fasilitas di lantai dasar sebagai wadah aktivitas kebersamaan antara
warga dan komunitas-komunitas di Jakarta yang jumlahnya ribuan.

14
Gambar 3.8: Collaborative Space Plan

Sumber: https://www.archdaily.com/882662/golkar-jakarta-office-delution-architect/

Nilai terakhir adalah Raising the Nationalism, dimana hal ini diterapkan
melalui pemberian nama-nama ruangan dengan istilah dan tokoh nasional.
Misalnya, Bhineka Tunggal Ika, Pancasila, dan tokoh-tokoh seperti Soekarno
hingga Jokowi. Hal ini diharapkan dapat menumbuhkan semangat
nasionalisme bagi para penggunanya.

15
SIMPULAN DAN REKOMENDASI

Bahwa dalam menjadikan suatu kota menjadi berkelanjutan, aspek ruang


publik adalah salah satu aspek yang paling penting. Ruang publik dalam hal ini
adalah collaborative space. Demi memaksimalkan fungsinya sebagai ruang
publik yang berkelanjutan, inklusif, dan hijau, maka berdirinya collaborative
space harus disertai ruang terbuka hijau sehingga menghasilkan sinergi yang
baik. Selain itu, pendekatan biophilic-design pada collaborative space perlu
dilakukan mengingat manfaat baiknya terhadap sistem keberlanjutan, serta
produktivitas, kreativitas, dan kesehatan fisik maupun mental pengguna
collaborative space tersebut.
Diciptakannya gagasan kreatif tersebut, diharap dapat menjadi acuan bagi
para stakeholder untuk memperbanyak jumlah ruang publik, terutama
collaborative space yang disertai ruang terbuka hijau. Sehingga, jumlahnya
memadai dan mampu menyejahterakan masyarakat Indonesia.

16
DAFTAR PUSTAKA

United Nation. (n.d.). Sustainable Development Goals 11. Retrieved from


https://www.un.org/sustainabledevelopment/cities/

Kellert, S. R., Heerwagen, J., & Mador, M. (2008). Biophilic Design. John Wiley
& Sons.

Beatley, T. (2017). Handbook of Biophilic City Planning & Design. Island Press.

Feandri, A. (2016). KAJIAN DAMPAK BIOPHILIC-DESIGN PADA HUNIAN


UNIVERSITAS INDONESIA KAJIAN DAMPAK BIOPHILIC-DESIGN
PADA HUNIAN.

Kusuma, I. P. F. (2018). PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYRAKAT


PADA KONTEKS URBAN MELALUI PERANCANGAN BIOFILIA DI
STASIUN MANGGARAI.

TEDMED, & Sturgeon, A. (2019). Using biophilic design to heal body, mind, and
soul. Retrieved from
https://www.youtube.com/watch?v=uAmbZCtNC9Uhttps://www.youtube.co
m/watch?v=uAmbZCtNC9U

Tinjauan Tentang Ruang Terbuka Hijau (RTH). (2004), 12–47.

Marro, M. (2018). Building for Biophilic Design. Retrieved from


https://www.metalarchitecture.com/articles/building-for-biophilic-design

Kellert, S. R., & Finnegan, B. (2016). Biophilic Design: The Architecture of Life.
Retrieved from https://vimeo.com/ondemand/biophilicdesign/43965915

Delution Architect. (n.d.). Golkar Jakarta Office. Retrieved from


http://delution.co.id/projects/golkar-jakarta-office/

Kata Data. Ruang Terbuka Hijau di Jakarta Kurang Dari 10 Persen. (2017).
Retrieved from
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2017/01/24/jumlah-ruang-
terbuka-hijau-di-jakarta-mencapai-3100

Richardson, A. (n.d.). Inventing the Collaborative Workspace. Retrieved from


https://hbr.org/2011/11/inventing-the-collaborative-workspace

Patel, A. (n.d.). 3 Benefits of A Collaboration Space. Retrieved from


https://www.gqrgm.com/workplace-design-3-benefits-of-a-collaborative-
space/

17
Pena, S. (n.d.). 12 Benefits Of A Collaborative Workspace. Retrieved from
https://www.wework.com/creator/start-your-business/12-benefits-of-a-
collaborative-workspace/

Stone, C. (n.d.). 7 Benefits of Mindfulness in The Workplace. Retrieved from


https://www.gqrgm.com/7-benefits-of-mindfulness-in-the-
workplace/?utm_referrer=https%3A%2F%2Fwww.gqrgm.com%2Fworkplac
e-design-3-benefits-of-a-collaborative-space%2F

18

Anda mungkin juga menyukai