Anda di halaman 1dari 9

Pengaruh Animisme, Hindu Dan Budha Dalam Praktek Adat Masyarakat Minangkabau

dan Nilai-Nilai Islam Dalam Adat Minangkabau

Nim : 10123007 Kelas HI-2-A 2024


Program Studi Hukum Islam, Pascasarjana, Uin Sjech M Djamil Djambek Bukittinggi
Rezkiabdi4@gmail.com

Rezki Kurnia Abdi

Abstrak
Sebelum masuknya islam ke alam minangkabau, masyarakat minangkabau sendiri memiliki
kepercayaan yang tinggi akan alam. Dimana masyarakat minangkabau kerap mempercayai
makhluk-makhluk halus yang dianggap bisa membahayakan manusia sehingga diberikanlah
sesajian dan mantra kepada tempat-tempat yang keramat dengan tujuan mendapatkan ketenangan
dan kemudahan didalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Seiring dengan berjalannya waktu
masuk lah beberapa kepercayaan ke alam minangkabau diantaranya hindu dan budha akan tetapi
hal itu tidak terlalu mempengaruhi masyarakat minangkabau hal ini disebabkan oleh kedua agama
ini masuk dengan tujuan penaklukan dan adat didalam minangkabau jauh lebih kuat dan benar-
benar berakar sehingga sangat susah untuk dipengaruhi. Akan tetapi setelah islam masuk adat
masyarakat minangkabau mulai menerima hal ini disebabkan oleh ajaran agama islam sendiri
masuk dan dikembangkan bukan menghilangkan kebiasaan adat masyarakat itu sendiri melainkan
menyempurnakan adat itu selama tidak bertentangan dengan ajaran agama islam itu sendiri.

PENDAHULUAN
Adat minangkabau sebelum agama islam masuk seperti yang sekarang ini, pada dasarnya
hanya dipengaruhi oleh pemahaman dan kepercayaan dari animisme dan dinamisme. Animisme
dan dinamisme merupakan kepercayaan bahwa suatu benda yang ada dibumi ini baik itu gunung,
laut, hutan, kuburan dan lain sebagainya mempunyai kekuatan dan jiwa yang besar dan harus
dihormati bahkan dijunjung tinggi supaya jiwa tersebut tidak menggangu manusia yang
bersangkutan bahkan mempercayai dapat membantu didalam menjalankan aktifitas-akifitas
keseharian.1 Oleh sebab itu dapat dikatakan titik fokus dan pusat perhatianya kepada alam sangat
kuat sehingga menciptakan kebudayaan masyarakat yang menjunjung dan memuja alam sangat
tinggi dengan alasan ketakutan akan murkanya dan juga untuk meminta perlindungannya.
Karena mereka percaya bahwasannya alam sendiri mempunyai kekuata yang ghaib dan
roh-roh dapat mendatangkan kebaikan maupun keburukan. Oleh karena itu, kegiatan kebudayaan
yang dikenal dengan sesajian ketempat yang dianggap keramat dan juga pemujaan terhadap benda

1
A. G Pringgodidgo (Peny), Ensiklopedi Umum (Jakarta : Yayasan Dunia Buku Franklin, 1973). 74.
dijadikan oleh masyarakat sebagai keyakinan. Dengan masuknya agama hindu dan budha ke ranah
minangkabau terjadilah percampuran antara adat dan budaya terhadap kepercayaan tersebut. Hal
tersebut dapat dilihat didalam pelaksanaan kepercayaan reinkarnasi dan mewajibkan pembakaran
kemenyan sebelum melakukan doa dengan tujuan memanggil arwah dan bertapa ditempat yang
sakti.
Berbeda halnya ketika setelah islam masuk ke bumi minangkabau lantas adat dan
kebudayaan masyarakat mulai menyatu dengan ajaran-ajaran yang dibawakan oleh agama islam
itu sendiri disebabkan agama islam itu sendiri tidak menghilangkan adat dan kebudayaan itu
sendiri melainkan memberikan kesempurnaan dan kekuatan dengan catatan antara adat dan budaya
tidak lah bertentangan dengan prinsip ajaran yang dibawa.2

PEMBAHASAN
A. Pengaruh Animisme, hindu dan budha dalam adat masyarakat minangkabau
Sebelum masuknya berbagai ragam agama ke tanah minangkabau, masyarakat pada
dasarnya telah memegang kepercayaan yang dikenal dengan animisme dan dinamisme dimana
kepercayaan ini didasari pada makhluk halus yang dianggap bisa membahayakan manusia
sehingga diberikanlah sesajian dan mantra kepada tempat-tempat yang keramat dengan tujuan
mendapatkan ketenangan dan kemudahan didalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Seiring
berjalannya waktu agama hindu dan budha memasuki pulau sumatera yaitu pada abad ke-6 dan
ke-7 Masehi.3
Diperkirakan agama hindu berahmana telah masuk ke ranah minangkabau pada abad ke-5,
lalu dilanjutkan pula dengan masuknya gama budha hinayana pada abad ke-7 dan juga budha
mahayana dari abad ke-7 hingga abad ke-10. Yang membawa ke dua agama ini yaitu orang orang-
orang pendatang yang berasal dari india ataupun mereka yang datang dari kerajaan majapahit. 4
Dengan masuknya agama hindu dan budha tidaklah terlalu berpengaruh bagi masyarakat
minangkabau hal ini dibuktikan dengan mereka yang menyusun budaya dan adat maupun
pemerintahan mereka sendiri berdasarkan kepada dua, yakni Kota Piliang dan Kota Bodi Caniago
dengan susunan setiap masyarakatnya berdasarkan kata mufakat dan maharaja bagi mereka
hanyalah simbol saja, dikarenakan rakyat dipimpin dan disusun oleh kepala suku masing-masing.

2
Bukhari, Akulturasi Adat dan Agama Islam di Minangkabau. Jurnal Ilmiah Dakwah dan Komunikasi. Al-
Munir Vol 1 No. 1 April 2009. 50.
3
Rusli Amran, Sumatra Barat Hingga Plangkat Panjang, (Jakarta : Sinar Harapan. 1981). 27.
4
Opcit. 51.
Masyarakat minangkabau sudah mempunyai sistem adat yang didasari pada alam jauh
sebelum islam masuk sehingga paham dari hindu maupun budha tidak terlalu berpengaruh bagi
mereka. Itulah kenapa orang-orang minang menyebutkan daerahnya bukan dengan sebutan daerah
melainkan dengan sebutan alam minangkabau. Konsep adat yang didasarkan kepada alam dapat
dilihat pada petatah petitih dan juga pantun yang terdapat dalam tambo adat alam minangkabau.
Contohnya alam takambang jadi guru maknanya dari alam dapat diambil pelajaran. Adat
minangkabau tidak memiliki hal yang berhubungan dengan akhirat, tetapi selalu dilandaskan
dengan gejala-gejala alam. Landasan dari pembentukan sistem adat termasuk didalamnya etika
adalah alue jo patuik (alu dan patut) dan juga raso jo pareso (rasa dan periksa) sangatlah dominan,
dan etika maupun adat menyatu didalam diri individu maupun masyarakat.5
Alasan agama hindu dan budha tidak terlalu berpengaruh pada masyarakat minangkabau
diantaranya: pertama, kedua agama ini masuk ke minangkabau melalui kerajaan sriwijaya dan juga
majapahit dengan tujuan menaklukkan dan juga dibawa oleh para penyrbu. Kedua, walaupun
Adityawarman berhasil menjadi raja di minangkabau yaitu taja pagaruyung pada tahun 1347, tetapi
kekuasaannya dikebiri sehingga kekuasaanya tidak mampu sampai ke kehidupan masyarakat
nagari. Ketiga misi dibidang politik dan juga militer lebih terlihat sehingga persebaran agama tidak
mendapatkan perhatian.
Keempat, pengaruh dari adat terhadap masyarakat lebih kuat dan bisa dikatakan berakar
sehingga tentu saja susah untuk dipengaruhi oleh ajaran-ajaran lain. Walaupun pengaruh agama
hindu dan budha sangat minim di minangkabau akan tetapi didalam pelaksanaannya telah
bercampur antara animisme dan adat. Didalam situasi yang seperti ini agama islam masuk ke
minangkabau dengan kondisi masyarakat minangkabau sudah mempunyai adat dan kepercayaan
animisme ditambah dengan unsur agama hindu dan budha.
Pada saat sekarang ini orang Minangkabau mengenal akan budaya dengan sebutan Adat
Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabullah. maknanya Islam merupakan dasar paling utama bagi
budaya orang Minangkabau. Namun adat basandi syarak syarak basandi kitabullah terus di dalam
pandangan dua arah, baik itu dari sudut pandang hostoris maupun dari sudut pandang realitasnya.
Secara historis bisa dikatakan tidak adanya dokumen yang pasti sejak adat basandi syarak syarak
basandi kitabullah ini dimulakan. Di satu sisi ada yang mengatakan sejak abad ke 16 akan tetapi
pada sisi lain ada juga yang menyebutkan sejak abad ke19, yakni ketika adanya pembaharuan

5
Zulfis, Dimensi Etika Dalam Filsafat Adat Minangkabau, Jurnal Kajian Islam, Vol. XI, No. 2, 2001.
Islam di Minangkabau. Perdebatan dan perbedaan untuk sementara ini tidak perlu untuk ditelusuri
akan tetapi ada hal menarik perhatian dimana ada beberapa kejadian berlakunya unsur Hindu-
Budha di dalam budaya Minangkabau sampai saat sekarang ini.
Beberapa budaya di tengah masyarakat yang hidup sejak lama. Yaitu Balimau, balimau
merupakan budaya yang dilakukan oleh umat Islam sampai saat ini. Yaitu mandi suci yang
dilakukan sebelum masuknya bulan ramadhan. Pada tradisi Minangkabau mandi balimau ini
menggunakan kembang dan juga wangi-wangian tujuannya untuk membersihkan badan. Mandi
balimau biasanya dilakukan di dekat sungai maupun di pincuran. Mandi balimau menggunaan
kembang dan wangi-wangian digunaan sampai periode 1970-an. Namun sekarang mandi balimau
masih tetap dilakukan akan tetapi tanpa menggunakan kembang, bahkan banyak juga yang
menjadikannya sebagai sarana wisata sebelum datangnya ramadhan. Berkaul. pada adat
Minangkabau yaitu memberikan sesajian kepada roh halus, dilakukan pada sebuah tempat yang
mereka anggap keramat, entah itu di bukit atau di gua-gua tertentu.

Pengaruh Hindu dan Budha juga terlihat pada bentuk mesjid maupun pendidikan di surau.
Didalam masyarakat Minangkabau surau merupakan tempat ibadah dan juga tempat belajar
mengaji, agama, pengetahuan lain yang bersifat duniawi. Surau juga merupakan tempat untuk
menyiapkan diri laki-laki untuk menjadikan dirinya sebagai seorang pemimpin. jika dipelajari
lebih lanjut surau menurut RA Karn dan juga dirujuk oleh Azyumardi Azra mengatakan bahwa
surau merupakan lembaga untuk menyembah roh nenek moyang. Jadi biasanya surau itu dibangun
di tempat yang lebih tinggi.

Menurut Azyumardi Islam kemudian melanjutkan dan mengadopsi lembaga ini yang sudah
ada sejak sebelum Islam masuk lalu kemudian surau dijadikan pusat pendidikan Islam di
pedesaan, dan menjadikan bahagian dari keberadaan suatu nagari.6 Didalam satu nagari pada
umumna ada beberapa surau yang dibina langsung oleh ulama ataupun buya. Jika dilihat dari sisi
bangunan surau ataupun masjidnya di setiap pedesaan Minangkabau banyak yang mirip dengan
pura, walaupun secara substansinya berbeda. Kemiripan itu terlihat pada bentuk dan juga
bangunan atap yang berundak undak.

6
Azyumardi Azra, Surau Pendidikan Islam Tradisional Dalam Transisi dan Modernisasi, (Ciputas Logos:
2003). 47.
Tradisi maupun kebudayaan lain yang juga terliha mirip dengan tradisi hindu yaitu budaya
setelah kematian, yaitu : manigo hari (3 hari), menujuh hari (7 hari), maapek belas hari (14 hari),
maampek puluh ampek hari (44 hari) dan manyaratuih hari (100 hari). Perayaan seperti ini
biasanya juga dilakukan pada sebahagian masyarakat yang ada di Minangkabau.7 Akan tetapi
sebagai pembeda cara yang dilakukan masyarakat Minangkabau untuk ritual seperti ini sudah
disesuaikan dengan ajaran-ajaran Islam, misalnya dengan membaca surat Alquran yang dilakukan
secara bersama-sama, berdoa maupun bersilaturahmi dengan karib kerabat yang masih ada.

Kegiatan seperti ini biasanya akan ditutup dengan makan-makan bersama yang dimana
makanannya telah disediakan oleh keluarga kematian. Jika dilihat lebih jauh banyak unsur-unsur
budaya yang bisa dirujukkan dengan pengaruh Hindu-Budha yang ada di Minangkabau.
contohnya tentang nama “nagari”. Nagari merupakan republik kecil yang ada di Minangkabau,
dan merupakan struktur pemerintahan terendah. Akan tetapi nagari juga merupakan suatu sistem
warisan yang ada sejak lama. Kata “nagari, atau “nagori” sendiri juga bisa dirujuk ke dalam bahasa
Sanskerta atau Pengaruh India. Begitu juga dengan nagari Biaro, sebuah tempat di Minangkabau.
Biaro bisa jadi dari vihara. Ada beberapa tempat biaro di Minangkabau.

B. Pengaruh Nilai-Nilai Islam Dalam Adat Minangkabau

Penyebaran agama Islam dilakukan dengan dua cara, yaitu ekspansi teritorial dan jalan
perdagangan oleh saudagar-saudagar yang sekaligus berfungsi sebagai juru dakwah. Pihak-pihak
yang membawa masuk agama Islam ke Minangkabau seperti “dai” yang berorientasi sufi, lebih
memperhatikan kemurnian hati daripada benar tidaknya tindakan menurut ketentuan agama.
Dalam hal ini, Taufik Abdullah menjelaskan yaitu mengingat kenyataan bahwa penyebaran awal
agama Islam di Minangkabau lebih bersifat praktek-praktek tariqah serta perumusan kembali
ketetapan yang berlaku, masuknya agama Islam tidaklah secara serius mengancam akar-akar dasar
masyarakat Minangkabau. Unsur-unsur baru yang dibawanya tidaklah berarti kehilangan kultural
melainkan malah menambah kekayaan kultural.8

Kedatangan agama Islam menyebabkan terjadi pembauran adat dan agama dalam
masyarakat Minangkabau. Walaupun terjadi konflik bahkan berlanjut dalam bentuk peperangan

7
Feni Azri, Fungsi Sosial Tradisi Pembakaan Dalam Upacara Kematian.
8
Taufik Abdullah, Sejarah dan Masyarakat Lintasan Histori Islam di Indonesia, (Jakarta : Pustaka Firdaus,
1987). 114.
(Perang Paderi) antara radikalisme dari kelompok Paderi yang dikenal dengan kelompok “Harimau
Nan Salapan” (Harimau yang delapan) dengan kalangan kaum adat, namun integrasi antara adat
dan agama Islam tetap berjalan. Sebab agama Islam tidak menghapuskan adat, bahkan
menyempurnakan dan memperkokohnya, selama tidak bertentangan dengan perinsip ajaran Islam.
Sebagai contoh, sebelum agama Islam masuk ke Minangkabau di dalam adat telah dibuat peraturan
tentang “kematian”. Kalau seseorang anggota masyarakat meninggal dunia perlu dikuburkan
dengan segera pada tempat yang telah ditentukan untuk masing-masing kelompok. Dalam aturan
adat dinyatakan “hidup mempunyai tempat, mati berpusara dan berkubur, kuburan hidup di rumah
tangga, kuburan mati di tengah padang, sakik ditengok, mati dijenguk”. Tetapi adat Minangkabau
belum mengenal aturan penyelenggaraan jenazah menurut Islam, seperti si mayat wajib
dimandikan, dikafani, disembahyangkan. Barulah setelah agama Islam dianut, aturan kematian ini
disempurnakan oleh agama Islam sesuai dengan ajaran Islam itu sendiri.9

Proses selanjutnya, setelah agama Islam semakin kokoh dan mendarah daging dalam
kehidupan masyarakat Minangkabau, maka adat lalu meyakini bahwa agama Islam lebih tinggi
daripadanya, karena agama tersebut datang dari Allah sedangkan adat adalah ciptaan makhluk-
Nya. Adat sebagai pelaksana bagi ketentuan-ketentuan agama, maka muncul pula rumusan baru
tentang keterkaitan adat dan agama yaitu lahirlah pepatah adatnya yang berbunyi “Adat Basandi
Syarak, Syarak Basandi Adat”. Antara adat dan agama saling bersandar dan melengkapi.
Perkembangannya kemudian melahirkan pepatah adat baru yaitu Syarak mangato adat memakai
dengan pengertian bahwa adat dan agama berjalan seiring. Kemudian lahir pula pepatah lain
“syarak bertelanjang adat besesamping”, maksudnya adalah syarak (agama Islam) tegas dan terang
dalam penyampaiannya, akan tetapi setelah ia menjadi adat, maka diaturlah prosedurnya dengan
sebaik-baiknya atau dapat juga diartikan bahwa adat itu pada umumnya menggunakan kiasan baik
dalam memerintah maupun dalam melarang. Sedangkan syarak menggunakan kata-kata “tegas dan
jelas”.

Pada waktu perang Paderi, kaum adat mengalami kekalahan dan menyadari kesalahannya
(diadu domba oleh Belanda), terjadilah kesepakatan antara kaum agama (Paderi) dengan pemuka
adat yang terkenal dengan sebutan Sumpah Sati Bukik Marapalan yang berbunyi Adat basandi

9
Idrus Hakimi Dt. R. Penghulu, Rangkaian Mustika Adaik Basandi Syarak di Minangkabau, (Bandung :
Rosda Karya, 1978). 23.
Syarak, Syarak basandi Kitabullah. Semenjak itu sistem adat harus sesuai dengan ajaran agama
Islam. Pembauran dan perubahan tersebut tidaklah bertentangan dengan prinsip dasar adat
Minangkabau, yaitu alam takambang jadi guru. Sebab adat Minangkabau itu terbuka terhadap
perubahan selama tidak bertentangan dengan prinsip dasarnya. 10

faktor-faktor penyebab masyarakat Minangkabau mudah menerima Islam, antara lain. Pertama,
erat sekali hubungannya dengan Islam yang datang itu sendiri. Pada waktu itu yang dibawa
bukanlah Islam bercorak eksoteris yang berpangkal pada ajaran-ajaran yang berkenaan dengan
hukum atau syariat rasional, melainkan ia lebih berdemensi esoteris kesufian dan bahkan lebih
banyak berbau tariqat yang kurang memperhatikan amalan-amalan jasmani, akan tetapi lebih
mengutamakan aspek rohani (amalan hati). Kedua, Islam yang bercorak sufi tidak bertentangan
dengan sistem kepercayaan masyarakat (Hinduis dan Budhais yang berdimensi rohani).

Proses Islamisasi berjalan terus secara damai melalui pengaruh yang tidak dipaksakan dan
berhasil dengan baik. Mungkin sebagaimana yang terjadi kemudian dan sekarang masih berlaku
di Mekkah, pengajian agama diberikan kepada orang dewasa oleh para ulama (pada mulanya dapat
saja oleh siapa yang sudah tahu) dan kitab suci Al-Qur’an mulai diajarkan termasuk kepada anak-
anak dan berhasil dijadikan bahan bacaan harian putra-putri Minangkabau bila sudah berumur
tujuh hingga delapan tahun ke atas.11

Sehingga kemudian jarang orang Minangkabau yang buta aksara Al- Qur’an, walaupun
pada umumnya tidak dapat menulisnya dan tidak mengerti isinya. Ini tentu berkat lembaga-
lembaga pendidikan Islam tradisional yang terdiri dari surau, masjid, dan rumah-rumah mengaji.
Hampir semua orang di Minangkabau belajar mengaji, adakalanya di surau, kalau di sekitar
kediamannya sudah ada surau, atau di rumah mengaji bagi daerah-daerah yang penduduknya
masih jarang dan belum punya surau.

Rumah tempat mengaji adalah rumah keluarga yang disediakan untuk tempat anak-anak
mengaji. Guru mengaji biasanya salah seorang anggota rumah bersangkutan atau guru lain yang
didatangkan mengajar ke situ dan dibantu oleh murid yang sudah agak lanjut kajinya. Anak-anak

10
Zulfis, Dimensi Etika Dalam Filsafat Adat Minangkabau, Jurnal Kajian Islam, Vol. XI, No. 2, 2001.
11
Azyumardi Azra, Surau Pendidikan Islam Tradisional Dalam Transisi dan Modernisasi, (Ciputas Logos:
2003). 50.
yang belajar mengaji biasanya disebut anak mengaji, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Hanya
kelompok duduk mereka dipisahkan, walaupun dalam ruang yang sama, tanpa tabir. Belajar
mengaji biasanya tiap malam sehabis shalat Maghrib sampai sekitar pukul 21. Seusai mengaji,
umumnya anak-anak pulang ke rumah masing-masing, tetapi ada juga yang tidur di rumah mengaji
itu, paginya baru pulang.

Mengaji di surau tidak berbeda dengan mengaji di rumah mengaji. Hanya anak mengaji di
surau lebih banyak, dan pengaturan kelompoknya tidak hanya laki-laki dan perempuan, melainkan
juga diadakan pengelompokan menurut tinggi rendah kaji. Sehabis mengaji, semua anak
perempuan pulang ke rumah masing-masing atau ke rumah temannya, anak laki-laki tidur di surau.
Sebelum tidur biasanya mereka masih mengadakan berbagai aktivitas, seperti belajar pencak silat,
belajar pidato adat, belajar kesenian kampung kalau ada, bercerita tentang segala sesuatu yang
mereka alami siang hari sebelumnya, atau merencanakan apa-apa yang akan diperbuat esok hari,
mendengar kaba atau dongeng dari tukang-tukang kaba yang biasanya terdiri dari orang-orang
dewasa yang ikut tidur bersama di surau tersebut.

Dari segala aktivitas yang berlangsung di surau, jelas bahwa surau di Minangkabau
merupakan pusat penyiaran agama bagi seluruh masyarakat. Tradisi adat pun dikembangkan dari
dan oleh surau, karena kaum adat tidak memiliki lembaga pendidikan untuk diri mereka. Proses
ini akhirnya menghasilkan lapisan masyarakat Islam yang cukup tangguh di bawah naungan “alim-
ulama” menandingi fungsi dan peranan “ninik mamak” pemuka adat.

PENUTUP
kepercayaan masyarakat Minangkabau sebelum Islam masuk banyak dipengaruhi alam,
sehingga paham animisme dan dinamuisme serta pengaruh agama Hindu dan Budha menjadi
budaya aslinya yang dipurifikasi secara perlahan-lahan oleh ulama (dai). setelah Islam datang,
budaya adat masyarakat Minangkabau pada umumnya dapat bersatu dengan ajaran Islam, karena
Islam dikembangan bukan dengan cara konfrontasi, tetapi secara persuasif serta bukan menentang
adat, tetapi menyempurnakan adat. Keempat, pembauran adat dengan agama berjalan dengan baik,
seperti acara balimau menyambut bulan Ramadhan banyak nilai positifnya, antara lain, persiapan
fisik dan mental serta menjalin hubungan kekerabatan yang akrab dan membersihkan diri.
pembauran adat. agama berjalan dengan baik, seperti acara balimau menyambut bulan Ramadhan
banyak nilai positifnya, antara lain, persiapan fisik dan mental serta menjalin hubungan
kekerabatan yang akrab dan membersihkan diri. Akan tetapi pada akhir-akhir ini, dengan adanya
pengaruh budaya luar, maka terjadi pergeseran nilai dari yang positif kepada yang kurang baik,
bahkan bertentangan dengan adat dan agama.

REFERENSI

A. G Pringgodidgo (Peny), 1973. Ensiklopedi Umum Jakarta : Yayasan Dunia Buku Franklin.
Azyumardi Azra, 2003. Surau Pendidikan Islam Tradisional Dalam Transisi dan Modernisasi,
Ciputas Logos.
Azyumardi Azra, 2003. Surau Pendidikan Islam Tradisional Dalam Transisi dan Modernisasi,
Ciputas Logos.
Bukhari, Akulturasi Adat dan Agama Islam di Minangkabau. Jurnal Ilmiah Dakwah dan
Komunikasi. Al-Munir Vol 1 No. 1 April 2009.
Feni Azri, Fungsi Sosial Tradisi Pembakaan Dalam Upacara Kematian.
Idrus Hakimi Dt. R. Penghulu, 1978. Rangkaian Mustika Adaik Basandi Syarak di Minangkabau,
Bandung : Rosda Karya.
Rusli Amran, Sumatra Barat Hingga Plangkat Panjang, Jakarta : Sinar Harapan.
Taufik Abdullah, 1987. Sejarah dan Masyarakat Lintasan Histori Islam di Indonesia, Jakarta :
Pustaka Firdaus.
Zulfis, 2001. Dimensi Etika Dalam Filsafat Adat Minangkabau, Jurnal Kajian Islam, Vol. XI, No.
2.
Zulfis, 2001. Dimensi Etika Dalam Filsafat Adat Minangkabau, Jurnal Kajian Islam, Vol. XI, No.
2.

Anda mungkin juga menyukai