Anda di halaman 1dari 11

MEMAHAMI NILAI-NILAI BUDAYA TRADISI DALAM LAKON

SENI PERTUNJUKAN BALI: SEBAGAI WAHANA PENDIDIKAN


KARAKTER BANGSA

UNDERSTANDING THE TRADITIONAL CULTURAL VALUES IN THE PLAY OF


BALINESE ART SHOW: AS MEANS OF NATION CHARACTER EDUCATION

I Made Budiasa
Balai Bahasa Provinsi Bali
Jalan Trengguli 1 Nomor 34, Tembau, Denpasar 80238, Bali, Indonesia
Telepon (0361) 461714, Faksimile (0361) 463656
Pos-el: budiasa63@yahoo.com

Naskah diterima: 9 September 2014; direvisi: 10 November 2014; disetujui: 20 November 2014

Abstrak
Setiap suku bangsa yang ada di muka bumi ini memiliki sumber yang berbeda dalam
pembentukan karakter generasi muda penerus bangsanya. Dalam pembangunan
karakter bangsa Indonesia, nilai-nilai kearifan lokal menjadi sumber penting yang
harus dimiliki oleh generasi muda penerus bangsa. Melihat pentingnya nilai-nilai
kearifan lokal itu, kajian ini menggunakan data LBM, LSI, dan LKN. Sebagai bangun
karya sastra, karya-karya ini merupakan hal yang menarik untuk diteliti dengan
tujuan agar para seniman dalam hal ini sebagai kelompok intelektual memberikan
tawaran tentang identitas ideal, yaitu “modal sosial” dan “modal cultural” kepada
masyarakat yang sedang mengalami krisis moral. Nilai-nilai, seperti nilai religius,
cinta damai, jujur, disiplin, persahabatan, dan gemar membaca serta rasa tanggung
jawab dapat dimanfaatkan untuk memperdayakan kontrol emosional masyarakat
dalam penciptaan kedamaian dan kesejahteraan.

Kata kunci: lakon, nilai budaya, modal sosial

Abstract
Every etnic in the world has a different source in character building for the younger
generation as succesor of the nation. In developing of Indonesian character of the
nation, the values ​​become an important source of local wisdom to be possessed by
the young generation of the nation. Seeing the importance of the values ​​of local
wisdom, the study used LBM, LSI, and LKN data sources. As litterary works, they
are interesting to make a research for the porpose that the artists in this regard as
the intellectual groups provide an ideal offer of identity, namely “social capital”
and “cultural capital” to the people who are going through a moral crisis. Values​​
, such as religious value​​, peace-loving, honest, discipline, friendship, and love to
read as well as a sense of responsibility can be used to optimalize emotional control
of society in the creation of peace and prosperity.

Keywords: play, cultural value, social capital

ISSN 0854-3283 , Vol. 26, No. 2, Desember 2014 157


Memahami Nilai-Nilai Budaya Tradisi... (I Made Budiasa) Halaman 153—163

PENDAHULUAN nilai dan norma relatif sangat kuat dan bahkan


Kesadaran akan pentingnya tradisi lisan bersifat emosional. Oleh karena itu, nilai dan
sebagai sumber ilmu pengetahuan mulai terasa norma dapat dilihat sebagai pedoman untuk
ketika sumber-sumber pengetahuan modern menuntun kecerdasan emosional, bertindak,
yang diperoleh dari sumer-sumber tertulis dan sekaligus sebagai tujuan kehidupan
sering tidak memberi jawaban terhadap manusia.
keunikan-keunikan lokal yang dihadapi. Nilai dihubungkan dengan budaya,
Hal itu terjadi karena selama ini perguruan mengutip pendapat Koentjaraningrat (1990:85)
tinggi hanya bertumpu pada literatur yang nilai budaya terdiri atas konsepsi-konsepsi
mengagungkan kajian ilmu pengetahuan yang hidup dalam alam pikiran sebagian
dalam bentuk-bentuk baku yang tertulis, besar warga masyarakat mengenai hal-hal
sementara referensi yang bersumber dari yang mereka anggap mulia. Sejalan dengan
tradisi lisan cenderung diabaikan (Pudentia, pandangan Koentjaraningrat, Robert Sibarani
2013: 3). Pernyataan pakar dan ketua Asosiasi (2012:178—179) menyatakan nilai dan
Tradisi Lisan (ATL) itu, menggugah penulis norma budaya merupakan konsepsi yang ada
untuk mengangkat nilai-nilai budaya tradisi dalam alam pikiran sebagian besar komunitas
dalam lakon seni pertunjukan Bali sebagai tentang kebudayaan yang mereka anggap
wahana pendidikan karakter bangsa dalam baik dan buruk. Nilai dan norma budaya
makalah ini. Sumber data yang dijadikan bukan konsepsi pribadi, melainkan konsepsi
dasar kajian makalah adalah Lakon Babad warga komunitas; ada sistem bersama (shared
Mengwi (LBM) (Topeng Tugek Carangsari), system) komunitas untuk menentukan nilai dan
Lakon Sampik Ing Tae (LSI) (Arja Bon Bali), norma pada suatu tradisi.
dan Lakon Katundung Ngada (LKN) (Dalang Karakter adalah kualitas mental atau
Cenk Blonk). Pilihan terhadap ketiga lakon ini moral, kekuatan moral, nama atau reputasi.
dilandasi pemikiran bahwa banyak nilai-nilai Karakter sebagai “ciri khas” yang memiliki
budaya yang terkandung dalam ketiga lakon oleh suatu benda atau individu. Ciri khas
tersebut layak dijadikan pedoman untuk tersebut adalah asli dan mengakar pada
pendidikan karakter bangsa. Dengan demikian, kepribadian individu dan merupakan mesin
ada tiga hal mendasar yang diungkap dalam pendorong bagaimana seseorang bertindak,
makalah ini, yaitu (a) nilai-nilai budaya yang bersikap, berujar, dan merespons sesuatu
menjadi pedoman pendidikan karakter bangsa, (Majid, 2010:11; Juanda, 2011:3).
(b) sekilas memahami lakon seni pertunjukan Pendidikan karakter bangsa adalah
Bali, dan (c) nilai budaya tradisi sebagai pendidikan untuk membentuk kepribadian
wahana pendidikan karakter bangsa. (Khusus seseorang melalui pendidikan budi pekerti,
b dibicarakan dalam subbab 3) yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur,
nilai adalah sesuatu yang menyangkut baik bertanggung jawab, menghormati hak orang
dan buruk, sedangkan norma adalah sesuatu lain, kerja keras, dan sebagainya (Juanda,
yang menyangkut benar salah. Theodore 2011:3). Pendidikan karakter bangsa bukanlah
(dalam Sabarani, 2012:179) menyatakan hal baru dalam tradisi pendidikan di Indonesia.
bahwa nilai merupakan suatu yang abstrak, Dilihat dari sejarah, lahirnya karya agung
dijadikan pedoman serta prinsip-prinsip epos Mahabharata (Bagawan Biasa) dan epos
umum dalam bertindak dan bertingkah laku. Ramayana (Bagawan Walmiki) sebagai wujud
Keterikatan orang atau kelompok terhadap pendidikan yang menekankan asas-asas moral

158 , Vol. 26, No. 2, Desember 2014 ISSN 0854-3283


Halaman 153—163 (I Made Budiasa) Understanding The Traditional Cultural Values...

dan etika. Pada zaman pra-kemerdekaan, jiwa kepemimpinan dan rasa tanggung jawab,
lahir beberapa pendidik, seperti Ki Hajar mandiri, dan berwawasan kebangsaan.
Dewantara, R.A. Kartini, dan Moh. Natsir
telah menanamkan semangat pendidikan Nilai-nilai Budaya sebagai Pedoman
karakter sebagai pembentuk kepribadian dan Pendidikan Karakter Bangsa
identitas bangsa sesuai dengan konteks dan Dalam naskah akademik Pengembangan
situasi yang terjadi saat itu. dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa,
Setelah Indonesia merdeka (era Kementerian Pendidikan Nasional telah
demokrasi terpimpin) di awal tahun 1960- merumuskan 18 nilai karakter bangsa yang
an Presiden Soekarno mengampanyekan dicoba dikembangkan dan ditanamkan kepada
kembali pendidikan karakter. Pada masa generasi muda bangsa Indonesia. Adapun ke-
pemerintahan Orde Baru, dibawah Presiden 18 nilai untuk pendidikan budaya dan karakter
Soeharto, indokrinasi diganti menjadi P-4. bangsa sebagai berikut.
Zaman bergulir dan era Reformasi menggema
(sekitar tahun 2000-an), Kurikulum Berbasis NO. NILAI DESKRIPSI
Kompetisi (KBK) banyak didengungkan 1. Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam
melaksanakan ajaran agama yang dianut-
dengan menata kembali pelajaran budi pekerti. nya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah
Melihat kondisi bangsa yang semakin “curat agama lain, dan hidup rukun dengan
pemeluk agama lain.
marut” dan desakan dari berbagai pihak, tahun
2. Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya
2010—2014 Kemendiknas mencanangkan menjadikan dirinya sebagai orang yang
visi penerapan pendidikan karakter. selalu dapat dipercaya dalam perkataan,
tindakan, dan pekerjaan.
Tujuan digagasnya pendidikan karakter
3. Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai
bangsa adalah untuk menjaga keutuhan NKRI, perbedaan agama, suku, etnis, pendapat,
tuntunan moral dan etika kepada generasi sikap, dan tindakan orang lain yang ber-
beda dari dirinya.
muda, dan mempersiapkan generasi muda
4. Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku
menjadi manusia yang beradab serta sejahtera tertib dan patuh pada berbagai ketentuan
di masa depan. Gagasan diterapkannya dan peraturan.
pendidikan karakter memerlukan pemahaman 5. Kerja Perilaku yang menunjukkan upaya sung-
Keras guh-sungguh dalam menghadapi berbagai
yang jelas tentang konsep pembentukan hambatan belajar dan tugas serta meny-
karakter dan pendidikan itu sendiri. Tanpa elesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
pijakan yang jelas dan pemahaman yang 6. Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk
menghasilkan cara atau hasil baru dari
komprehensif, visi kemendiknas akan sesuatu yang telah dimiliki.
hanya sebatas retorika belaka. Untuk itu, 7. Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah
penulis mencoba menawarkan sebuah model tergantung pada orang lain dalam meny-
elesaikan tugas-tugas.
pendidikan karakter bangsa lewat pemahaman
8. De- Cara berpikir, bersikap, dan bertindak
nilai-nilai budaya tradisi dalam lakon seni mokratis yang menilai sama hak dan kewajiban
pertunjukan Bali. Model ini dicoba ditawarkan dirinya dan orang lain.

dengan harapan: (a) dapat menanamkan 9. Rasa Sikap dan tindakan yang selalu berupaya
Ingin untuk mengetahui lebih mendalam dan
kebiasaan dan perilaku terpuji yang sejalan Tahu meluas dari sesuatu yang dipelajarinya,
dengan nilai-nilai universal dan budaya dilihat, dan didengar.

tradisi yang religius, (b) mengembangkan 10. Sema­ Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan
ngat yang menempatkan kepentingan bangsa
lingkungan kerja yang aman, jujur, penuh Kebang- dan negara di atas kepentingan diri dan
kreativitas, dan persahabatan yang dilandasi saan kelompoknya.

konsep “sagilik-saguluk”, (b) menanamkan

ISSN 0854-3283 , Vol. 26, No. 2, Desember 2014 159


Memahami Nilai-Nilai Budaya Tradisi... (I Made Budiasa) Halaman 153—163

11. Cinta Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang Topeng secara epistimologi berarti
Tanah menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan benda penutup muka yang dibuat dari kayu,
Air penghargaan, yang tinggi terhadap bahasa,
lingkungan fisik, social, budaya, ekonomi,
kertas, kain, dan bahan lainnya bentuknya
dan politik bangsa. bermacam-macam dari dewa-dewa, manusia,
12. Meng- Sikap dan tindakan yang mendorong binatang, setan, dan lainnya. Di Bali, topeng
hargai dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang
Prestasi berguna bagi masyarakat, dan mengakui,
dipakai menyebutkan suatu bentuk dramatari
serta menghormati keberhasilan orang yang semua pelakunya mengenakan topeng
lain.
dengan cerita yang bersumber pada cerita
13. Bersa- Tindakan yang memperlihatkan senang
habat/ berbicara, bergaul, dan bekerja sama sejarah yang lebih dikenal dengan babad
Komuni- dengan orang lain. (Dibia, 1999:35).
katif
Jenis-jenis dramatari topeng yang ada di
14. Cinta Sikap, perkataan, dan tindakan yang me-
Damai nyebabkan orang lain merasa senang dan
Bali, yakni: (1) Topeng Pajegan, (2) Topeng
aman atas kehadirannya. Panca, dan (3) Topeng Prembon. Topeng
15. Mem- Kebiasaan menyediakan waktu untuk Pajegan adalah sebuah tarian yang diborong
baca membaca berbagai bacaan yang memberi-
kan kebajikan bagi dirinya.
oleh seorang aktor dengan memborong semua
16. Peduli Sikap dan tindakan yang selalu berupaya tugas-tugas yang terdapat didalam lakon yang
Lingkun- mencegah kerusakan pada lingkungan dibawakan. Topeng Panca, yaitu kesenian
gan alam di sekitarnya dan mengembangkan
upaya-upaya untuk memperbaiki keru-
topeng yang dimainkan oleh empat atau lima
sakan alam yang sudah terjadi. orang penari yang memainkan peran yang
17. Peduli Sikap dan tindakan yang selalu ingin berbeda-beda sesuai tuntutan lakon. Topeng
Sosial memberi bantuan pada orang lain dan
masyarakat yang membutuhkan.
Prembon merupakan tokoh-tokoh campuran
18. Tang- Sikap dan perilaku seseorang untuk yang diambil dari Topeng Panca, beberapa dari
gung melaksanakan tugas dan kewajibannya, Arja, dan Topeng Bondres (Topeng Lucu), yang
Jawab yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri
sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, mengutamakan penampilan tokoh-tokoh lucu
sosial, dan budaya), negara, dan Tuhan untuk menyampaikan humor-humor yang segar.
Yang Maha Esa.
Arja sering dijuluki opera Bali,
Sumber: G.P. WIRA SAPUTRA dalam Uncategorized. 2011;
Suyanto, 2011; Sibarani, 2012 merupakan sebuah dramatari yang memakai
dialog-dialog bertembang (tembang macapat)
Sekilas Memahami Seni Pertunjukan Bali dengan pengiring gamelan Gaguntangan.
Seni pertunjukan tradisional pada Sebagai sebuah dramatari musikal, Arja
dasarnya suatu bentuk seni pagelaran yang menggunakan seni suara vokal (tembang)
menyajikan lakon-lakon dan gamelan tradisi dengan lakon pada umumnya bersumber
sebagai pengiring. Seni pertunjukan tradisional pada cerita Panji (Malat) dan menari untuk
Bali dapat dibagi menjadi tiga bagian sesuai menghidupkan tembang (ngigelin gending)
dengan fungsinya, yakni: (a) seni wali, (b) seni (Dibia, 2012: 85—86). Nama Arja diduga
bebali, dan (c) seni balih-balihan. Seni wali berasal dari kata reja (Sanskerta), yang berarti
dan bebali meliputi jenis-jenis kesenian yang indah atau mengandung keindahan (Dibia,
pada umumnya memiliki nilai-nilai religius, 1999:42).
sangat disakralkan, karena melibatkan benda- Wayang kulit Bali adalah s eni
benda sakral. Sedangkan seni balih-balihan pertunjukan yang menggunakan tatahan
meliputi jenis-jenis kesenian yang lebih kulit (sapi) menyerupai manusia, binatang,
menonjolkan nilai-nilai entertainmen dan dan tokoh-tokoh yang ada dalam epos
estetis, yang pertunjukannya lebih bersifat Mahabharata dan cerita Ramayana dengan
dan bersuasana sekuler (Dibia, 1999: 3—4). memadukan unsur gamelan, gerak, sastra,

160 , Vol. 26, No. 2, Desember 2014 ISSN 0854-3283


Halaman 153—163 (I Made Budiasa) Understanding The Traditional Cultural Values...

dan suara dalam pementasannya. LKN yang Taman Ayun. Kemudian diberikan orang
dijadikan sumber data kajian tergolong cerita atau para pemuja yang khusus untuk memuja
carangan, yaitu jenis cerita karangan dalang palinggih itu adalah anak angkat (putra
semata dan hanya mengambil nama-nama paperasan), yang terdiri atas 10 orang dari
tokoh dari epos Ramayana. Pertunjukan golongan brahmana, 10 orang dari golongan
wayang kulit di Bali diperkirakan sudah ada kesatria, 10 orang dari golongan wesia, dan 10
sekitar abad IX dengan ditemukannya kalimat orang dari golongan sudra. Jadi, para pemuja
“parbwayang” ‘pertunjukan wayang’ dalam yang secara khusus untuk memuja palinggih
prasasti Bebetin, yang berangka tahun 818 I Pasek Badak itu seluruhnya berjumlah
caka (896 Masehi). 40 orang. Itulah yang disebut dengan anak
Topeng dengan (LBM), Arja dengan angkat dan keturunan-keturunan dari 40
(LSI), dan wayang kulit dengan lakon (LKN), orang tersebut selanjutnya menjadi benteng
termasuk seni balih-balihan, karena lebih (penjaga/pelindung) Puri Mengwi yang
bersifat menghibur. disebut dengan Watek Batabatu.
Melihat jalannya cerita, LBM
HASIL DAN PEMBAHASAN bertemakan perluasan kekuasaan, yaitu
Sinopsis dan Tema LBM upaya Raja Mengwi untuk memperluas
Seluruh wilayah Tabanan dan sebagian kekuasaannya.
daerah Badung telah dikuasai Raja Mengwi,
I Gusti Agung Anom. Rakyat hidup sejahtera Sinopsis dan Tema LSI
dan aman. Kewibawaan pemerintahan dan Tersebutlah seorang gadis baru beranjak
negerinya pun tidak ada yang menyamai, itu remaja bernama Ing Tae. Dia adalah seorang
semua berkat jasa patih kepercayaannya, I putri keluarga Cina yang kaya raya di Kota
Gusti Bebalang dan I Gusti Celuk. Namun, Wangcyu. Ing Tae sangat terkenal cantiknya
beliau tidak dapat tidur nyenyak karena sehingga banyak pembesar jatuh cinta dan
daerah Badung Selatan, khususnya Buduk berlomba mendapatkannya. Selain cantik, dia
masih dikuasai oleh pengaruh Pasek Badak. adalah gadis pintar, memiliki keteguhan iman,
Atas saran para patih kepada raja, raja dan berwawasan luas.
mengundang I Pasek Badak ke Puri Mengwi Ing Tae selama mengikuti pendidikan
untuk menghadiri upacara pemelaspasan berteman dengan seorang pemuda yang
merajan. berasal dari Bocyu bernama I Sampik. Dalam
I Pasek Badak pun segera datang ke kebersamaan itu, akhirnya mereka saling
Mengwi menghadiri upacara itu, selesai jatuh cinta dan mengikat janji sehidup semati.
upacara beliau mohon pulang, tetapi oleh raja Setelah tamat bersekolah dan sebelum berpisah
diajak perang tanding. I Pasek Badak dapat untuk kembali ke kampung halaman, mereka
dibunuh dengan menggunakan I Naga Keras. berjanji akan menikah. Ing Tae memohon
Setelah I Pasek Badak tiada, mayatnya segera kepada I Sampik agar meminangnya sepuluh
diurus dengan baik, putranya yang masih kecil hari lagi dan hal itu disebutkannya hingga tiga
segera diambil, dan diangkat menjadi abdi I kali. Setelah melakukan kesepakatan, akhirnya
Gusti Agung Anom di Puri Mengwi. mereka berpisah.
Untuk menghormati roh I Pasek Badak, Ing Tae pun menunggu kedatangan
dibuatkan tempat suci (palinggih) Gedong I Sampik, tetapi tidak kunjung datang.
Sari berupa Méru bertumpang satu, terletak di Sementara itu, orang tuanya sudah menerima
sebelah selatan, tepatnya di bagian Tenggara lamaran dari seorang pemuda kaya raya

ISSN 0854-3283 , Vol. 26, No. 2, Desember 2014 161


Memahami Nilai-Nilai Budaya Tradisi... (I Made Budiasa) Halaman 153—163

bernama Subandar Macun. Pada hari ketiga kemudian Ing Tae masuk ke dalamnya.
puluh datanglah I Sampik ke rumah Ing Tema dari cerita ini adalah percintaan.
Tae untuk menepati janjinya. Tentu saja Cinta dapat membuat orang bahagia, cinta pula
hal itu membuat Ing Tae sangat terkejut dapat menyebabkan penderitaan, seperti yang
karena kedatangan I Sampik telah melewati dialami tokoh Sampik dan Ing Tae.
batas waktu yang telah mereka sepakati,
yaitu tenggang waktu sepuluh hari. Ing Tae Sinopsis dan Tema LKN
sangat marah dan mengusir Sampik karena Nawasura adalah putra Meganada dan
telah ingkar Janji. I Sampik ternyata salah cucu Raja Rahwana dari Kerajaan Alengka.
paham terhadap pernyataan Ing Tae dengan Pada waktu kecil, Nawasura bernama Angsa
menyebutkan tenggang waktu sepuluh hari Aliman. Nama itu diberikan karena pada
hingga tiga kali yang oleh I Sampik diartikan waktu kecil, ia dibesarkan atas bantuan angsa
selama tiga puluh hari. yang mengeram waktu malam hari dan gajah
Mendengar pernyataan itu, I Sampik yang memberi susu Nawasura setiap hari.
lemas dan baru menyadari dirinya kurang Atas saran Bagawan Somali, Angsa Aliman
mencermati pernyataan Ing Tae. Dia pun belajar menimba berbagai ilmu kepada Rama
terpaksa pulang bagaikan orang gila dan di Ayodya. Berkat kepintaran Angsa Aliman
membawa sakit hati yang luar biasa. Ayah dan kebijakan Raja Rama, ia kemudian
I Sampik tidak senang mendengarnya dan diangkat menjadi patih agung dan diberi nama
kemudian dia menyiksa putranya. Ibu I Nawasura.
Sampik tidak menerima perlakuan suaminya Setelah Nawasura diangkat menjadi
terhadap I Sampik dan suaminya diusir dari patih agung di Ayodyapura, watak-watak
rumah. jahatnya muncul; korupsi, pemerkosaan,
Semakin hari kondisi I Sampik semakin kepemimpinan yang sewenang-wenang
menurun. Ibunya tidak berhasil menyembuhkan muncul, dan yang paling parah ialah
luka hatinya. Menyadari dirinya sudah tidak sangat berambisi menjadi raja di Ayodya.
kuat lagi bertahan hidup, dia pun menulis surat Untuk memenuhi ambisinya itu, Nawasura
kepada Ing Tae untuk mohon diri selama- mencoba membunuh Raja Rama. Percobaan
lamanya. Sebagai tanda cintanya kepada I pembunuhan pertama kepada Rama gagal
Sampik, Ing Tae kemudian berpesan bahwa karena banyak kera yang menjaga Rama.
dirinya berjanji akan ikut bersama dalam satu Pada peristiwa lain, terlihatlah Tualen
kubur. Setelah mebaca balasan surat itu, I bersama Merdah berjaga-jaga di sekitar
Sampik pun menghembuskan nafas terakhir. keraton. Ketika sedang berjaga-jaga datanglah
Sementara itu, dikisahkan keluarga Anggada yang menyampaikan isi hatinya
Ing Tae sibuk menyiapkan pernikahan Ing kepada kedua abdi tersebut, bahwa perintah
Tae dengan Subandar Macun. Setelah Kapiraja Sugriwa dianggap aneh. Kalau
mendapat restu dari orang tuanya, Ing Tae semua para kera berjaga di pinggir pantai,
kemudian diboyong ke rumah Subandar siapa yang menjaga Raja Rama? Pada saat
Macun. Perjalanan rombongan pengantin merenungkan perintah Kapiraja Sugriwa,
itu melewati kuburan I Sampik. Ing Tae terdengarlah tangisan dari dalam keraton yang
mohon izin kepada Subandar Macun untuk memanggil-manggil nama Maruti (Anoman).
beristirahat sejenak untuk mendoakan I Mendengar suara dari dalam keraton, tanpa
Sampik. Tepat setelah Ing Tae berada di depan pikir panjang Anggada bersama Tualen masuk
kuburan I Sampik, kuburan itu terbuka dan ke dalam keraton dan terlihatlah Patih Agung

162 , Vol. 26, No. 2, Desember 2014 ISSN 0854-3283


Halaman 153—163 (I Made Budiasa) Understanding The Traditional Cultural Values...

Nawasura mengacung-acungkan senjata Melihat keadaan panah Geniastra


untuk membunuh Raja Rama. Melihat situasi membunuh yang membidikannya, Ramadewa
demikian, Rama dilarikan oleh Anggada dan sadar telah keliru memponis Anggada yang
perkelahian antara Patih Agung Nawasura salah dan minta maaf kepada Anggada atas
dengan Anggada tidak dapat dihindari. kekeliruan yang telah diperbuatnya. Rama
Situasi yang gelap serta suasana yang mengatakan panah Geniastra adalah panah
kacau dimanfaatkan oleh Nawasura menghasut untuk memusnahkan angkara murka yang ada
Ramadewa dengan mengatakan Anggadalah di bumi, dengan demikian, Nawasura adalah
yang sesungguhnya ingin membunuh orang yang jahat dan pantas menerima pahala
Ramadewa, karena Anggada ingin membalas sesuai dengan perbuatannya.
dendam atas kematian ayahnya yang bernama Peristiwa yang diceritakan dalam LKN
Subali. Hasutan Nawasura berkenan di hati adalah ambisi seseorang untuk menjadi
raja, dan atas perintahnya (Rama), Anggada pemimpin (raja). Pertama, ambisi Nawasura
kemudian disiksa. Melihat keadaan demikian, ingin menjadi Raja Ayodya dan kedua, ambisi
Anoman sebagai saudara sepupu menyuruh abdinya yang bernama Delem dapat menduduki
Anggada meninggalkan Ayodya. Saran posisi penting (gubernur) apabila Nawasura
Anoman dituruti oleh Anggada. Dalam masa menjadi raja. Ambisi kedua tokoh ini untuk
pembuangan itu, Anggada bertemu dengan menduduki posisi penting di Kerajaan Ayodya
Dewi Durgaberawi di Setra Gandamayu, tanpa diimbangi oleh kemampuan, moral yang
beliau memberikan anugrah kesaktian kepada baik, dan dapat berterima di masyarakat. Ia
Anggada karena tahu Anggada orang yang hanya mengandalkan kekuatan dan cara-cara
benar. yang tidak terpuji untuk memenuhi ambisinya
Setelah mendapatkan anugrah dari Dewi itu. Dengan demikian, tema yang terdapat
Durgaberawi, Anggada kembali ke Ayodya dalam LKN ialah hegemoni kekuasaan tanpa
untuk mencari Patih Nawasura. Sesampainya diimbangi oleh kemampuan yang sepadan.
di halaman luar istana, pasukan kera yang Jika ingin jadi pemimpin, moral, mental, dan
terdiri atas Nila, Sempati, dan Jembawan kemampuan haruslah baik.
menghadang Anggada. Perang tidak dapat
dielakkan dan semua kera yang menghadang Nilai Budaya Tradisi sebagai Wahana
Anggada dapat dikalahkan dengan mudah. Pendidikan Karakter Bangsa
Melihat situasi itu, Anoman yang dilengkapi Setiap suku bangsa yang ada di muka
dengan aji tenung mengetahui yang datang itu bumi ini memiliki sumber yang berbeda dalam
adalah Anggada dan memberi isyarat kepada pembentukan karakter (character building)
kawan-kawannya unuk segera menghindar. generasi muda penerus bangsanya. Dalam
Nawasura langsung menghadapi Anggada, pembangunan karakter bangsa Indonesia,
perkelahian dua tokoh ini sangat hebat nilai-nilai kearifan lokal menjadi sumber
dan Nawasura merasa kalah karena semua penting yang harus dimiliki oleh generasi
senjata sakti yang dimilikinya tidak ada yang muda penerus bangsa. Melihat pentingnya
mempan, kemudian minta bantuan kepada nilai-nilai kearifan lokal itu, dalam makalah
Raja Ramadewa. Ramadewa memberi panah ini, batasan nilai budaya tradisi dapat dipahami
sakti yang bernama Geniastra. Geniastra sebagai gagasan-gagasan dan pengetahuan
dilepas oleh Nawasura, tetapi panah itu setempat yang bersifat bijaksana, penuh
kembali dan menembus dada Nawasura. kearifan, bernilai baik, dan berbudi luhur yang
Nawasura gugur dalam perang tersebut. dimiliki, dan dilaksanakan oleh masyarakatnya

ISSN 0854-3283 , Vol. 26, No. 2, Desember 2014 163


Memahami Nilai-Nilai Budaya Tradisi... (I Made Budiasa) Halaman 153—163

(Sibarani, 2012:112). trenggana, mwang surya candra. Aglis saksana


Untuk memahami nilai budaya tradsi, mijil Sang Hyang Ringgit ya ta molah cara
sawetaning tinuduh Sang Hyang Paramakawi
setidak-tidaknya ada tujuh upaya yang
sawetaning wiwekan ira Sang Guru Reka,
dilakukan dalam kehidupan sehari-hari: (1)
paran ri sapratingkahing ira. Sawetaning
mendengarkan, (2) menutur/menceritakan, sampun jangkep marikanang ikang saptakanda
(3) menulis, (4) meneliti, (5) membaca, (6) pangiketantan ira Bagawan Balmiki kala nguni
menghayati/memahami, dan (7) menghayal purwa. Aglis mijil, saksana mijil Sang Hyang
(bandingkan, Haerudin: 2008:84). Dari ketujuh Kawiswara murti tan sah ia mamunggel tatwa
syarat yang disebutkan di atas, tergantung carita….” (LKN: 01)
objek yang menjadi fokus pemahaman,
misalnya jika seni pertunjukan tentu butir ‘Tidak diceritakan masa lampau, turun
(1) mendengarkan dan butir (6) menghayati/ Sang Hyang Suniantara seperti gelap yang
memahami menjadi pusat perhatian. menyusup pada pohon randu di alun-alun
Adapun nilai-nilai budaya tradisi yang kerajaan. Ketika itu tanah bergetar, air, api,
dapat dikutip dari ketiga sumber data yang angin, angkasa, bintang, benda-benda langit,
dapat dijadikan wahana pendidikan karakter dan matahari serta bulan. Turunlah Sang
bangsa sebagai berikut. Hyang Ringgit menciptakan cerita yang
diperintah oleh Sang Hyang Paramakawi atas
Nilai Religius prakarsa Sang Hyang Guru Reka, demikianlah
Nilai religius pada dasarnya merupakan perbuatan Beliau. Oleh karena telah lengkap
suatu sikap seseorang (manusia) dalam adanya saptakanda ciptaan beliau Bagawan
usahanya—secara bebas dan merdeka—untuk Balmiki (Walmiki) dahulu kala. Turunlah Sang
menggapai Tuhan. Berkat kebebasan dan Hyang Kawiswara memenggal cerita….’
kemerdekaan yang dimiliki untuk mendekatkan
diri dengan Tuhan, seseorang dapat melakukan Nilai Cinta Damai
dengan bermacam cara. Dalang Bali misalnya, Pelukisan nilai cinta damai yang
dalam adegan penyacah parwa atau penyacah menekankan pada sikap, perkataan, dan
kanda sangat taat menyampaikan wacana- tindakan yang menyebabkan orang lain merasa
wacana bernafaskan religius. Hal itu dilakukan senang dan aman atas kehadirannya terlihat
sebagai bentuk hormat, rasa bakti, dan dalam wacana berikut.
keyakinan terhadap kebesaran Tuhan dengan
“Ingetang moral iman harus bagus. Moral
segala manifestasi-Nya. Pakem yang taat
dan iman to harus sejajar! Anggané cara gas
dilakukan itu merupakan salah satu model dan rem, kereng ci ngenjek gas, ingatlah rem
pendidikan religius ”suplemen” rohani, supaya jangan blong. Setinggi-tinggi ci nuntut
sebagai pencerahan yang dapat memotivasi ilmu, pinter ci iman harus bagus. Lamun iman
kehidupan manusia ke arah ketenteraman ci sing bagus kadangkala pengetahuan, kebisan
hidup rohani dan jasmani, lahir dan batin ci to merugikan orang lain. Bom ci keblugan ci
di Kuta, bangka timpalé karena iman ci sing
(moksartam dan jagadhita).
bagus. Ngraosang lantas agama, iman ci sing
bagus, tidak ada agama yang mengajarkan
“Dadya pira pinten gati kunang ri lawas
orang untuk membunuh, tidak satu agama pun
ikang kalanira, mijil saksana mijil Sang Hyang
yang mengajarkan orang untuk membnuh.
Suniantara dadi gelap sumrasah anusuping
Kalau ada agama yang mengajarkan orang
randu prajamanala. Yaya kumeter ikang
untuk membunuh, itu agama itulah sesat.”
pretiwitala: apah, teja, bayu, akasa, lintang,
(LKN:1183)

164 , Vol. 26, No. 2, Desember 2014 ISSN 0854-3283


Halaman 153—163 (I Made Budiasa) Understanding The Traditional Cultural Values...

‘Ingatlah moral dan iman harus bagus. selalu gembira dan junjungan Made Babah
Moral dan iman harus sejajar. Ibarat gas dan Sampik sangat (dermawan), hal itu dilakukan
rem, kamu keras menginjak gas, ingat pula karena baru menyelesaikan pendidikan.
rem agar jangan blong. Setinggi-tinggi kamu Banyak mengamalkan konsep tri dharma
menuntut ilmu, kamu akan pintar tetapi iman (tiga darma). Yang disebut tri dharma, tiada
juga harus bagus. Kalau iman kamu tidak bagus, lain kesungguhan (kejujuran), kasih sayang,
seringkali pengetahuan dan kemampuanmu itu dan suka menolong. Itu yang dipakai dasar
merugikan orang lain. Bom kamu ledakkan memimpin kota (negeri) Wanciu….’
di Kuta, akibatnya banyak saudara kita yang
terbunuh, hal itu disebabkan imanmu tidak Nilai Disiplin
baik. Setelah itu, kamu membicarakan agama Nilai budaya disiplin adalah nilai yang
karena imanmu tidak bagus. Tidak ada agama menekankan pada tindakan seseorang untuk
yang mengajarkan orang untuk membunuh, taat, tertib, dan patuh pada berbagai ketentuan
tidak satu pun agama mengajarkan orang dan peraturan. Pelukisan budaya disiplin
untuk membunuh. Kalau ada agama yang tersirat dalam pernyataan berikut.
mengajarkan orang untuk membunuh, itulah
agama sesat.’ Di mana letak kedisiplinan Saudara manyama?
Nyén ngurukang ngomong kéto? Ada tastra
ngurukang ngraos kéto? Ada ajaran, ada
Nilai Jujur
agama ngurukang pang beli ngraos kéto? Uli
Nilai jujur merupakan perilaku yang dija gurun beliné, nyén adanné, dija umahné?
didasarkan pada upaya menjadikan dirinya Jag uliang ja papelajahanné kéto-kéto nah!
sebagai orang yang selalu dapat dipercaya (LBM: 69)
dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan
dalam hidup bermasyarakat. Asas kesadaran ‘Di mana letak kedisiplinan Saudara
nilai ini sejalan dengan konsep nilai-nilai bersaudara? Siapa yang mengajari ngomong
kearifan lokal Bali, yakni trikaya parisudha begitu? Apa ada dasar sastra yang mengajari
(pikiran, perkataan, dan perbuatan). ngomong demikian? Ada ajaran, ada agama
yang mengajarkan agar kakak berbicara
“Iih déwa ratu, agung tan ambat-ambat buat begitu? Dari mana gurunya kakak, siapa
maka liang idep titiangé lamuné jani. Ané namanya, di mana rumahnya? Kembalikanlah
cén, ané cén minakadi ngaranayang, risukat
model pendidikan yang demikian itu, ya!’
titiang dados pakulian iriki ring Wanciu Negeri
ring Mekelé Madé Babah Sampik. Ii setata
wirya, yaning rasayang Mekelé Babah Madé Nilai Persahabatan/Komunikatif
nelebang, karana nelebang wiréh mara lepas uli Nilai persahabatan diperperlihatkan
sekolahan. Apaké lwir, tri dharma, ane madan dalam LBM adalah sebuah wacana yang
tri dharma, apa ia to. Penyajan, pengasih, menuntun orang berbicara, bergaul, dan
penolong. Punika sane anggen nabdabang ring bekerja sama dengan orang lain dengan
masyarakat Wanciu Negeri....” (LSI:121)
baik, sehingga kelak keturunan mendapatkan
kesejahteraan dalam hidupnya.
‘Aduh Dewa Ratu, sungguh tak
terkira kegembiraan hati saya saat ini. Yang “Jatinyan paras-paros sarpanaya. Muruk benya
mana, apa yang menyebabkan demikian, paras-paros mareraosan ngajak nyama nah!
setelah saya mengabdi kepada Made Babah Nak ngawé sentana werdi.” (LBM:109)
Sampik di sini di kota Wangciu. Beliau

ISSN 0854-3283 , Vol. 26, No. 2, Desember 2014 165


Memahami Nilai-Nilai Budaya Tradisi... (I Made Budiasa) Halaman 153—163

yang belajar kidung, ada yang senang belajar


‘Sesungguhnya keharmonisan yang kakawin, ada yang memperdalam ilmu agama
diusahakan. Hendaknya kamu belajar dan etika, upacara tak hentinya dilaksanakan
bebicara santun dengan saudara! Yang di jagat ini.”
menyebabkan keturunan bahagia.’
Secara implisit dan eksplisit makna yang Nilai Tanggung Jawab
tercermin dari wacana di atas mengharapkan Rasa tanggung jawab yang diperlihatkan
agar kita menjaga keharmonisan dengan dalam LKN adalah tanggung jawab orang
(lingkungan) dan saudara sendiri, baik dalam tua terhadap kelangsungan pendidikan anak,
perkataan maupun tingkah laku, agar hidup seperti terlihat dalam kutipan berikut.
rukun dan damai terjaga serta mewariskan
budaya “santun” kepada keturunan sehingga Amun ci ngelah panak sekolin panake!
kelak menemukan bahagia. Kewajiban to, amun ci ngelah kurenan mara
bangun baang belin dapur kewajiban to!
(LKN:1020)
Nilai Gemar Membaca/Giat Menuntut
Ilmu
‘Jika kamu mempunyai anak,
Ungkapan-ungkapan yang dilontarkan
sekolahkanlah anakmu! Itulah kewajibanmu,
para tokoh dalam pertunjukan Topeng (LBM),
jia mempunyai istri, baru bangun tidur (pagi
tidak semata-mata hanya untuk menghibur
hari) berilah istrimu uang dapur, itu juga
penonton, tetapi dibalik dialog itu tersirat
kewajibanmu’.
makna tuntunan kepada masyarakat untuk
aktif dan giat menuntut ilmu sehingga
SIMPULAN
masyarakat menjadi cerdas. Makna cerdas di
LBM, LSI, dan LKN sebagai bentuk
sini adalah memiliki kemampuan dibidang
representasi karya sastra, oleh karena itu,
ilmu sehingga tidak ketinggalan zaman
merupakan arena yang menarik untuk
yang dilandaskan pada etika dan moral.
menyelidiki bagaimana para seniman
Dalam konsep nyata, masyarakat memiliki
dalam hal ini sebagai kelompok intelektual
kecerdasan yang didukung oleh moral
memberikan tawaran tentang identitas ideal,
dan etika yang baik serta iman yang kuat
yaitu “modal sosial” dan “modal cultural”
dilandaskan pada kepercayaan kepada Tuhan
kepada masyarakat yang sedang mengalami
Yang Mahaesa “Niskalané bakti ring Ida Sang
krisis moral. Nilai-nilai, seperti nilai religius,
Hyang Widhi (LBM:1059).”
cinta damai, jujur, disiplin, persahabatan, dan
“Nak kénkén peda jani dini di Mengwi,
gemar membaca serta rasa tanggung jawab
pidabdab gustin beli, cang, Gusti Agung dini dapat dimanfaatkan untuk memperdayakan
di Mengwi nak ngénkén? Kadén melajah agama kontrol emosional dan “semen” ‘perekat sosial’
lawan sesana, ada demen muruk makidung, ada masyarakat dalam penciptaan kedamaian dan
demen muruk makakawin, anak nelebang agama kesejahteraan.
lawan sesana, yajnya tan maren di gumié” Selanjutnya, dalam hubungannya dengan
(LBM:77).
upaya membangun pribadi bangsa yang
berkarakter, saya mempunyai pemikiran atau
‘Apa yang sedang terjadi di Mengwi,
alternatif dalam arti. Pertama, menciptakan
keinginan junjungan saya dan kakak, I Gusti
pribadi bangsa yang kritis atas konstruksi ruang
Agung di sini di Mengwi sedang apa? Sedang
yang kerap bias dan tidak adil. Kedua, lebih
asyik menperdalam agama dan etika, ada

166 , Vol. 26, No. 2, Desember 2014 ISSN 0854-3283


Halaman 153—163 (I Made Budiasa) Understanding The Traditional Cultural Values...

banyak memahami lakon seni pertunjukan


tradisi, karena wacana-wacana yang tersirat Juanda, Asep. 2011. “Nilai-nilai Positif
dan tersurat di dalamnya banyak menuangkan Peribahasa Sunda dalam Pendidikan
kearifan lokal yang layak dipakai tuntunan Karakter Bangsa” (dalam Seminar
Nasional Bahasa dan Sastra
hidup, mengatasi disintegrasi bangsa, dan
Membangun Karakter Bangsa, Nining
hidup rukun dalam kesatuan NKRI. Ketiga, Nur Alaini dkk., penyunting). Mataram:
pemaknaan utile dan dulce, prodesse dan Kantor Bahasa Provinsi NTB.
delectare ‘maanfaat dan nikmat’ kata Horatius
(dalam Ratna, 2010: 384) dalam lakon seni Koentjaraningrat. 1990. Kebudayaan,
pertunjukan Bali dapat dijadikan sebuah Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta:
model dalam pendidikan karakter bangsa. Gramedia.

Majid, Abdul & Dian Andayani. 2010.


Pendidikan Karakter dalam Perspektif
DAFTAR PUSTAKA Islam. Bandung: Insan Cita Utama.

Budiasa, I Made. 2011. Analisis Stilistika dan Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metodologi
Kritik Sosial Lakon Katundung Ngada. Penelitian Kajian Budaya Ilmu
Denpasar: Panakom. Sosial Humaniora pada Umumnya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Budiasa, I Made dkk. 2011. “Wacana Lisan
dalam Pertunjukan Tradisional (Wayang Sabarani, Robert. 2012. Kearifan Lokal:
Kulit, Topeng, dan Arja) sebagai Agen Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi
Kebertahanan Kebudayaan Bali.” Lisan. Jakarta: ATL.
Jakarta: Kementerian Pendidikan
Nasional, Pusat Bahasa, Balai Bahasa Suyanto. 2011. “Urgensi Pendidikan Kara-
Denpasar. kter” di laman resmi Direktorat Jen-
deral Manajemen Pendidikan Dasar dan
Dibya, I Wayan. I999. Selayang Pandang Seni Menengah. (www.educationplanner.org).
Pertunjukan Bali. Yogyakarta: MSPI.
Pudentia MPSS. 2013. “Pendidikan Kajian
Dibya, I Wayan. 2012. Geliat Seni Pertunjukan. Tradisi Lisan di Indonesia”(dalam Men-
Denpasar: Buku Arti. gurai Tradisi Lisan Merajut Pendidikan
Karakter, Nyn. Karmini dkk., penyun­
Haerudin, Dingding. 2008. Implementasi ting). Denpasar : Cakra Press.
KTSP dalam Pembeljaran Bahasa dan
Sastra Sunda” (dalam Pembelajaran Zoetmulder, P.J. dan S.O. Robson. 2004. Kamus
Bahasa dan Sastra Daerah dalam Jawa Kuna Indonesia (terjemahan
Kerangka Budaya, Mulyana, editor). Darusuprapta dan Suenarti Suprayitna).
Yogyakarta: Tiara Wacana. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

ISSN 0854-3283 , Vol. 26, No. 2, Desember 2014 167

Anda mungkin juga menyukai