TESIS
Diajukan untuk memenuhi tugas ujian akhir semester mata kuliah seminar
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia
oleh
Syaeful Aprianto
117180007
PROGRAM PASCASARJANA
2019
i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Cerita Rakyat
a. Mite (Myth)
Mite adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar
terjadi serta suci oleh yang memiliki cerita. Mite ditokohi oleh para
dewa atau makhluk setengah dewa.
b. Legenda (Legend)
Legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap oleh yang
memiliki cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh pernah terjadi.
Berbeda dengan mite, legenda bersifat sekuler (Keduniawian).
Terjadi pada masa yang belum terlalu lampau dan bertempatan di
dunia seperti yang kita kenal sekarang. Legenda ditokohi manusia
walaupun ada kalanya mempunyai sifat-sifat luar biasa, dan
seringkali juga dibantu makhluk-makhluk ajaib. Legenda sering kali
dipandang sebagai “sejarah”kolektif (folk history), walaupun
“sejarah” itu tidak tertulis dan telah mengalami distorsi, sehingga
seringkali dapat jauh berbeda dari cerita aslinya.
c. Dongeng (folktale)
Dongeng adalah cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-
benar terjadi. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan.
4. Unsur-unsur Cerita Rakyat
Nurgiyantoro (2015: 23) menyatakan bahwa unsur intrinsik adalah
unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Ada pun unsur-
unsur yang membangun cerita rakyat anatara lain tema, tokoh dan
penokohan, alur, latar, dan amanat.
a. Tema
Menurut Aminuddin (2014: 91) menyatakan bahwa tema adalah
ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperan sebagai pangkal
tolak pengarang memaparkan karya fiksi ciptaannya. Sementara
Zulfanur (Wahid, 2004: 82) mengungkapkan bahwa tema adalah
ide yang menjadi pokok suatu pembicaraan atau ide pokok suatu
tulisan. Tema merupakan suatu dimensional yang amat penting dari
suatu cerita, karena dengan dasar itu, pengarang dapat
membayangkan dalam fantasinya tenang cerita yang akan dibuat.
Pengarang sendiri tidak asal menyebut apa yang menjadi latar
belakang atau tema ceritanya, tetapi dapat kita ketahui setelah
membaca cerita ini secara keseluruhan.
c. Alur
Aminuddin (2014: 83) menyatakan bahwa alur adalah
rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa
sehingga menjalain suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku
dalam suatu cerita. Sementara Semi (2012: 43-46) mengungkapkan
bahwa alur adalah struktur rangkaian kejadlan dalam cerita yang
dlsusun sebagai sebuah interelasi fungsional yang sekaligus
menandai urutan baglan-baglan dalam keseluruhan fiksi.
d. Latar
Indrawati (2009: 64) menyatakan bahwa latar atau setting
adalah tempat, waktu serta suasana yang digunakan dalam sebuah
cerita. Sementara Abrams (Sugira, 2004: 88) berpendapat bahwa latar
merupakan landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan
waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan.
e. Amanat
Sudjiman (Zulfahnur 1997: 25) menyatakan bahwa amanat
merupakan sesuatu moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh
pengarang; itulah yang disebut amanat. Sementara menurut Kenny
(Nurgiyantoro, 2015: 171) mengatakan bahwa amanat atau nilai
moral merupakan unsur isi dalam karya fiksi yang mengacu pada
nilai-nilai, sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan yang
dihadirkan oleh pengarang melalui tokoh-tokoh di dalamnya.
B. Nilai-Nilai Kehidupan
1. Pengertian Nilai
Nilai merupakan konsep yang menunjuk pada hal-hal yang
dianggap berharga dalam kehidupan manusia, yaitu tentang apa yang
dianggap baik, layak, pantas, benar, penting, indah, dan dikehendaki
oleh masyarakat dalam kehidupannya. Nurdin (2009: 209) menyatakan
bahwa nilai adalah suatu perangkat keyakinan ataupun perasaan yang
diyakini sebagai suatu identitas yang memberikan corak khusus kepada
pola pemikiran, perasaan, keterikatan, dan perilaku. Sementara
Sumantri (Gunawan, 2012: 31) berpendapat bahwa nilai adalah hal
yang terkandung dalam diri (hati nurani) manusia yang lebih memberi
dasar pada prinsip akhlak yang merupakan dasar dari keindahan dan
efisiensi atau keutuhan kata hati. Hal tersebut juga sejalan dengan apa
yang dikemukakan Adisusilo (2012 : 56) bahwa nilai berasal dari
bahasa latin Valere yang artinya berguna, mampu, berdaya, berlaku,
sehingga nilai diartikan sebagai suatu yang dipandang baik, bermanfaat
dan paling benar menurut keyakinan seseorang atau sekelompok orang.
Ada pun Thoha (1996: 61) menyatakan nilai adalah esensi yang melekat
pada sesuatu yang sangat berarti bagi kehidupan manusia. Sementara
Isna (2001: 98) berpendapat bahwa nilai adalah sesuatu yang bersifat
abstrak, ideal, nilai bukan benda konkrit, bukan fakta, tidak hanya
persoalan benar dan salah yang menuntut pembuktian empirik,
melainkan sosial penghayatan yang dikehendaki, disenangi, dan tidak
disenangi.
Dari beberapa pendapat ahli tersebut nilai dapat diartikan sebagai
suatu konsep, keyakinan, atau pemahaman tentang hal baik, berharga,
atau pun berguna yang diyakini masyarakat.
2. Jenis-Jenis Nilai
Spranger (Mulyana, 2013: 32) menjelaskan bahwa ada enam
orientasi nilai yang sering dijadikan rujukan oleh manusia dalam
kehidupannya.
1) Nilai teoretik, yakni nilai ini melibatkan pertimbangan logis dan rasional
dalam memikirkan dan membuktikan kebenaran sesuatu. Nilai teoretik
memiliki kadar benar-salah menurut pertimbangan akal.
2) Nilai ekonomis, yakni nilai ini terkait dengan pertimbangan nilai yang
berkadar untung-rugi. Objek yang ditimbangnya adalah “harga” dari suatu
barang atau jasa. Karena itu, nilai ini lebih mengutamakan kegunaan
sesuatu bagi kehidupan manusia.
3) Nilai estetik, yakni nilai estetik menempatkan nilai tertingginya pada
bentuk dan keharmonisan. Apabila nilai ini ditilik dari subyek yang
memiliknya, maka akan muncul kesan indah-tidak indah.
4) Nilai sosial yakni, nilai tertinggi dari nilai ini adalah kasih sayang di antara
manusia. Karena itu kadar nilai ini bergerak pada rentang kehidupan yang
individualistik dengan yang altruistik.
5) Nilai politik, yakni nilai tertinggi dalam nilai ini adalah kekuasaan. Karena
itu, kadar nilainya akan bergerak dari intensitas pengaruh yang rendah
sampai pengaruh yang tinggi (otoriter).
6) Nilai agama, yakni secara hakiki sebenarnya nilai ini merupakan nilai yang
memiliki dasar kebenaran yang paling kuat dibandingkan dengan nilai-nilai
sebelumnya. Nilai ini bersumber dari kebenaran tertinggi yang datangnya
dari Tuhan.
b. Nilai Moral
Darmadi (2009: 50) menyatakan bahwa secara etimologis kata
moral berasal dari bahasa latin yaitu “Mores” yang berasal dari suku
kata “Mos”. Mores berarti adat-istiadat, kelakuan, tabiat, watak,
akhlak, yang kemudian artinya berkembang menjadi sebagai
kebiasaan dalam bertingkah laku yang baik. Sementara itu, Suseno
(1987: 19) menyatakan bahwa kata moral selalu mengacu pada baik-
buruknya manusia sebagai manusia. Ada pun Shaffer (Budiningsih,
2004: 24) mengemukakan bahwa moral dapat diartikan sebagai kaidah
norma dan pranata yang mampu mengatur perilaku individu dalam
menjalani suatu hubungan dengan masyarakat. Sedangkan Sayuti
(2000: 188) mengungkapkan bahwa nilai moral suatu cerita biasanya
dimaksudkan sebagai sepotong saran moral yang bersifat praktis yang
dapat diambil dari suatu cerita. Sementara Nurgiantoro (2009: 321)
mengemukakan bahwa nilai moral merupakan suatu yang ingin
disampaikan oleh pengarang kepada pembaca, yakni merupakan
makna yang terkandung dalam sebuah karya sastra dan makna yang
disarankan lewat cerita.
c. Nilai Sosial
Nilai dalam arti sosiologi merupakan sesuatu yang dianggap baik
dan diharapkan oleh masyarakat. Ketaatan, keramahan, kesopanan,
kecantikan jiwa, kebersihan, dan keindahan merupakan beberapa
contoh nilai sosial dalam kecamatan sosiologi. Dengan kata lain, nilai
social adalah ukuran-ukuran, patokan-patokan, anggapan-anggapan,
keyakinan-keyakinan, yang hidup dan berkembang dalam masyarakat
serta dianut oleh banyak orang dalam lingkungan masyarakat
mengenai apa yang benar, pantas, luhur, dan baik untuk dilakukan.
Enda (2010:72) menyatakan bahwa sosial adalah cara tentang
bagaimana para individu saling berhubungan. Sementara Gazalba
(Budingsih, 2004: 32) Istilah sosial ditujukan pada pergaulan serta
hubungan manusia dan kehidupan kelompok manusia, terutama pada
kehidupan dalam masyarakat yang teratur. Ada pun Suparto (1998:
88) mengungkapkan bahwa nilai-nilai sosial memiliki fungsi umum
dalam masyarakat. Diantaranya nilai-nilai dapat menyumbangkan
seperangkat alat untuk mengarahkan masyarakat dalam berfikir dan
bertingkah laku. Sedangkan Ranjabar (2006: 33) menyatakan bahwa
sosial dalam arti masyarakat atau kemasyarakatan berarti segala
sesuatu yang bertalian dengan sistem hidup bersama atau atau hidup
bermasyarakat dari orang atau sekelompok orang yang didalamnya
sudah tercakup struktur, organisasi, nilai-nilai sosial, dan aspirasi
hidup serta cara mencapainya. Ada pun Soekanto (2002: 88)
mengemukakan bahwa nilai dalam interaksi sosial dapat diartikan
suatu hubungan-hubungan sosial yang dinamis, yang meliputi
hubungan antara orang perorangan, antara kelompok-kelompok
manusia, maupun antara perorangan dengan kelompok manusia.
d. Nilai Budaya
Koentjaraningrat (Warsito 2012: 99) menyatakan bahwa nilai
budaya merupakan konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam fikiran
sebahagian besar warga masyarakat dalam hal-hal yang mereka
anggap amat mulia. Sementara Sumaatmadja (Koentjaraningrat 2000:
180) Pada perkembangan, penerapan budaya dalam kehidupan,
berkembang pula nilai-nilai yang melekat dimasyarakat yang
mengatur keserasian, keselarasan, serta keseimbangan. Nilai tersebut
dikonsepsikan sebagai nilai budaya. Ada pun Tasmuji (2011: 151)
mengemukakan bahwa kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan
dari masyarakat dan tidak hanya mengenai sebagian tata cara hidup
saja yang dianggap lebih tinggi dan lebih diinginkan. Sementara
Wibowo (2007: 14) berpendapat bahwa kebudayaan adalah suatu
corak hidup dari suatu lingkungan masyarakat yang tumbuh dan
berkembang berdasarkan spiritualitas dan tata nilai yang disepakati
oleh suatu lingkungan masyarakat, dan oleh karenanya menjadi
eksistensial bagi lingkungan masyarakat tersebut. Sedangkan Rosyadi
(1995: 74) menyatakan bahwa nilai budaya merupakan sesuatu yang
dianggap baik dan berharga oleh suatu kelompok masyarakat atau
suku bangsa yang belum tentu dipandang baik pula oleh kelompok
masyarakat atau suku bangsa lain sebab nilai budaya membatasi dan
memberikan karakteristik pada suatu masyarakat dan kebudayaan.
e. Nilai Estetika
Dharsono (2004: 4) menyatakan bahwa keindahan adalah suatu
kumpulan hubungan yang selaras dalam suatu benda dan diantara
benda itu dengan pengamat. Sementara Soedjono (2007: 3)
mengemukakan bahwa pemahaman secara umum tentang nilai estetika
pada suatu karya seni ini adalah setiap pancaran nilai-nilai keindahan
yang tercermin dari sosok karya seni yang memberikan kualitas dan
karakter tertentu. Ada pun Endraswara (2013: 68-71) mengungkapkan
bahwa kajian estetika tidak hanya berhubungan dengan seni bahasa
saja, tetapi juga menyeluruh ke unsurunsur pembangun karya sastra
yang menyebabkan karya sastra menjadi indah dan menarik.
Sementara Suroso, dkk (2009: 21) menyatakan bahwa nilai estetis
mampu memberi hiburan, kepuasan, kenikmatan, dan kebahagiaan
batin ketika karya sastra dibaca atau didengarnya. Sedangkan
Aminuddin (2014: 37) menjelaskan bahwa sastra merupakan karya
cipta yang merupakan bagian dari seni dan berusaha menampilkan
nilai-nilai keindahan (estetis) yang bersifat aktual dan imajinatif
sehingga mampu memberikan hiburan dan kepuasan rohaniah
pembaca.
C. Pendekatan Pragmatik
2. Jenis-Jenis Literasi
b. Literasi Numerasi
Literasi numerasi adalah pengetahuan dan kecakapan untuk (a)
menggunakan berbagai macam angka dan simbol-simbol yang terkait
dengan matematika dasar untuk memecahkan masalah praktis dalam
berbagai macam konteks kehidupan sehari-hari dan (b) menganalisis
informasi yang ditampilkan dalam berbagai bentuk (grafik, tabel, bagan,
dsb).
c. Literasi Sains
Literasi sains dapat diartikan sebagai pengetahuan dan kecakapan
ilmiah untuk mampu mengidentifikasi pertanyaan, memperoleh
pengetahuan baru, menjelaskan fenomena ilmiah, serta mengambil
simpulan berdasar fakta, memahami karakteristik sains, kesadaran
bagaimana sains dan teknologi membentuk lingkungan alam, intelektual,
dan budaya, serta kemauan untuk terlibat dan peduli terhadap isu-isu yang
terkait sains (OECD, 2016).
d. Literasi Finansial
Literasi finansial adalah pengetahuan dan kecakapan untuk
mengaplikasikan pemahaman tentang konsep dan risiko, keterampilan agar
dapat membuat keputusan yang efektif dalam konteks finansial untuk
meningkatkan kesejahteraan finansial, baik individu maupun sosial, dan
dapat berpartisipasi dalam lingkungan masyarakat.
e. Literasi Digital
Menurut Paul Gilster dalam bukunya yang berjudul Digital
Literacy (1997), literasi digital diartikan sebagai kemampuan untuk
memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai bentuk dari
berbagai sumber yang sangat luas yang diakses melalui piranti komputer.
1) Literasi Visual
literasi visual artinya kemampuan untuk memahami dan menggunakan citra,
termasuk kemampuan untuk berpikir, belajar, dan mengungkapkan diri
sendiri dalam konteks citra. Literasi visual adalah kemampuan untuk
memahami serta menggunakan citra visual dalam pekerjaan dan kehidupan
sehari-hari. Literasi visual mencakup integrasi pengalaman visual dengan
pengalaman yang diperoleh dari indera lain seperti apa yang didengar, apa
yang dibau, apa yang dikecap, apa yang disentuh serta apa yang dirasakan.
Kompetensi literasi visual memungkinkan seseorang untuk memilah serta
menafsirkan berbagai tindakan visual, objek dan atau simbol.
2) Literasi Media
Literasi media ialah kemampuan seseorang untuk menggunakan berbagai
media guna mengakses, analisis serta menghasilkan informasi untuk
berbagai keperluan Dalam kehidupan sehari-hari seseorang akan dipengaruhi
oleh media yang ada di sekitar kita berupa televisi, film, radio, musik
terekam, surat kabar dan majalah, serta internet.
3) Literasi Teknologi Komputer
Literasi komputer artinya kemampuan tahu bagaimana menggunakan dan
mengoperasikan komputer secara efisien sebagai mesinpemroses informasi
(Horton Jr, 2007). Bagian ini merupakan separuh bagian dari literasi
teknologi informasi dan computer, separuh lainnya adalah Literasi media.
4) Literasi Jaringan
Merupakan literasi dalam menggunakan jaringa digital secara efektif, yang
banyak berkembang berkat keberadaan Internet. Bagi pustakawan literasi
informasi mensyaratkan perubahan pikir, dari “kepemilikan” ke “akses”
artinya informasi milik perpustakaan namun dapat diakses oleh publik
sehingga menimbulkan pertanyaan seberapa jauh konsep kepemilikan
terhadap hal tersebut.
5) Literasi Kulutural
Literasi kultural artinya pengetahuan mengenai, serta pemahaman tentang,
bagaimana tradisi, kepercayaan, simbol, ikon, perayaan, kearifan lokal dan
sarana komunikasi sebuah negara, agama, kelompok etnik atau suku
berdampak terhadap penciptaan, penyimpanan, penanganan, komunikasi,
preservasi serta pengarsipan data, informasi dan pengetahuan.
6) Literasi Digital
Istilah literasi digital mulai popular sekitar tahun 2005 (Davis & Shaw,
2011) Literasi digital bermakna kemampuan untul berhubungan dengan
informasi hipertekstual dalam arti bacaan takberurut berbantuan komputer.
Konsep literasi digital merupakan kemampuan memahami dan
menggunakan informasi dari berbagai sumber digital.; dengan kata lain
kemampuan untuk membaca, menulis dan berhubungan dengan informasi
dengan menggunakan teknologi dan format yang ada pada masanya.
A. Metode Penelitian
Revisi Produksi
Produk Masal
(1) Potensi dan Masalah, (2) Pengumpulan Data, (3) Desain Produk, (4)
Validasi Desain, (5) Revisi Desain (6) Ujicoba Produk, (7) Revisi
Produk, (8) Ujicoba Pemakaian, (9) Revisi Produk, (10) Produksi Masal.
biaya yang lebih apa bila mencapai pada tahap produksi masal dalam
Revisi Desain (6) Uji coba Produk. Hasil final berupa buku pengayaan
Wawancara
Tahap ll Pengumpulan
Kuesioner
data Studi pustaka
3. Jenis Data
Sesuai dengan tujuan penelitian pengembangan ini, data yang
dikumpulkan terdiri dari dua macam yaitu:
∑ = jumlah skor
N = jumlah penilai
Skor aktual =X
Rata-rata ideal = Xi
= ½ (5+1 )
=3
= ⅙ (5-1 )
= 0,67
Dalam penilaian buku pengayaan cerita rakyat Cirebon ini, penilaian
ditentukan dengan nilai minimal B, yaitu kategori baik. Jadi, jika rata-rata
penilaian oleh ahli materi dan ahli media, serta hasil uji produk oleh siswa dan
guru menunjukkan hasil akhir B, maka buku pengayaan cerita rakyat Cirebon
pada penelitian ini dikategorikan layak digunakan sebagai bahan literasi baca
tulis di sekolah.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Cerita Rakyat
Asmani, Jamal Ma’mur. 2010. Tips Menjadi Guru Inspiratif, kreatif, dan Inovatif.
Jogjakarta: DIVA Press.
Danandjaja, James. 2007. Folklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng, dan Iainlain.
..............Jakarta: Grafiti.
Dharsono, Sony Kartika. 2004. Seni Rupa Moderen. Rekayasa Sains: Bandung
Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara yang Terlupakan: Pengantar Studi Sastra
.............Lisan. Surabaya: HISKI Jawa Timur.
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
..............Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rusyana, Yus. 1991. Metode Pengajaran Sastra. Bandung: CV. Gunung Larang
Sayuti, Suminto. 2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta: Gama Media.
Setiawan, Yulianto Budi. Dkk. (2013). Bias Gender Dalam Cerita Rakyat
...............(Analisis Naratif Pada folklore dengan Cerita Rakyat Indonesia
...............Bawang Merah Bawang Putih. Jurnal Komunikasi. Vol.5 No.2.
...............Semarang: Universitas Semarang.
Sisyono dan Suwanto. (2008). “Foklor Jawa di Daerah Aliran Sungai Bengawan
.............Solo dan Sumbangannya terhadap Pelestarian Lingkungan”. Dalam Jurnal
.............Pendidikan UNS: Vol IIXX No.08. Surakarta.
Suherli, dkk. Buku Siswa Bahasa Indonesia Kurikulum 2013 Revisi 2017. Jakarta:
..............Puskurbuk Kemdikbud
Sutarno. 2006. Perpustakaan dan Masyarakat, Jakarta: CV. Sagung Seto