Anda di halaman 1dari 44

KAJIAN NILAI KEHIDUPAN DALAM CERITA RAKYAT

CIREBON SEBAGAI BAHAN LITERASI DI SEKOLAH

TESIS

Diajukan untuk memenuhi tugas ujian akhir semester mata kuliah seminar
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia

oleh
Syaeful Aprianto
117180007

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS GUNUNG JATI CIREBON

2019

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sastra merupakan hasil karya, karsa, dan cipta manusia yang


dilatarbelakangi peradaban, lingkungan, keindahan, serta segala nilai luhur
atau kebenaran. Sementara itu, Esten (2013: 3) menyatakan bahwa
kesusastraan merupakan pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif
sebagai manifestasi kehidupan manusia (dan masyarakat) melalui bahasa
sebagai medium dan memiliki efek positif terhadap kehidupan manusia.
Wellek dan Warren (2014: 48-49) mengungkapkan bahwa penggolongan
jenis karya sastra terbagi dua, yaitu karya sastra lisan dan karya sastra
tulisan. Sastra tulis merupakan karya sastra yang disebarkan melalui
tulisan sebagai medium penyampainnya seperti cerpen, novel, pantun, dan
sebagainya. Sedangkan karya sastra lisan yakni merupakan suatu ekspresi
kebudayaan suatu masyarakat yang disebarkan melalui tradisi tutur yang
diwariskan turun temurun seperti dongeng, legenda, mitos, dan cerita
rakyat.
Cerita rakyat merupakan salah satu bentuk tradisi tutur yang
berkembang turun-menurun di masyarakat atau biasa juga disebut sastra
lisan. Melalui cerita rakyat banyak terkandung nilai-nilai moralitas yang
disampaikan melalui suatu kejadian, asal-usul, karakter tokoh, dan
sebagainya. Sementara Sisyono, dkk (2008: 4) menyatakan bahwa foklore
atau cerita rakyat merupakan salah satu karya sastra yaitu berupa cerita
yang hidup dan berkembang pada beberapa generasi dalam masyarakat
tradisional baik masyarakat itu telah mengenal huruf atau belum dan
mengandung survival, bersifat anonim, serta disebarkan dalam kolektif
tertentu dalam kurun waktu yang cukup lama. Sejalan dengan pendapat
tersebut dapat dikatakan bahwa cerita rakyat merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari budaya Indonesia. Hampir semua daerah di Indonesia
memiliki cerita rakyat masing-masing, salah satunya Cirebon.
Cirebon merupakan kota yang dikenal kaya akan peninggalan
tradisi dan budayanya, hal tersebut tidak terlepas dari peran Cirebon di
masa lampau baik secara geografis yang merupakan salah satu pusat
perdagangan melalui jalur laut maupun peran sosial budayanya sebagai
pelopor penyebaran Agama Islam sekaligus kerajaan Islam pertama di
Jawa Barat yang didirikan oleh Pangeran Walangsungsang atau Mbah
Kuwu Cirebon yang kemudian hari terus berkembang di bawah pimpinan
salah satu Wali Songo yakni Syekh Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal
sebagai Sunan Gunung Jati. Di era Sunan Gunung Jati para wali giat
mensyiarkan Islam melalaui berbagai akulturasi budaya dengan berbagai
macam peninggalan kepercayaan-kepercayaan terdahulu (sebelum Islam).
Hal ini bertujuan agar Islam lebih mudah diterima oleh masyarakat dengan
baik dan damai. Atas dasar latar belakang perkembangan sosial budaya
Cirebon tersebut tentu banyak nilai-nilai luhur dan kearifan lokal yang
dapat diteladani. Kearifan lokal merupakan sarana atau upaya dalam
mewariskan budaya suatu masyarakat secara turun-temurun dari generasi
ke generasi melalui budaya lisan yang sarat akan pesan nilai kehidupan di
dalamnya.
Nilai kehidupan merupakan keseluruhan tampilan diri, sikap, kata,
perbuatan manusia sesuai situasi dan kondisi yang dipengaruhi unsur-
unsur internal maupun eksternal dalam sistem suatu masyarakat. Melalaui
karya sastra khususnya cerita rakyat, tentu banyak mengandung nilai-nilai
kehidupan yang dapat diteladani dan dijadikan sarana memperluas
wawasan dalam memahami, membedakan, serta menerapkan nilai-nilai
kebaikan dalam bermasyarakat. Wellek dan Warren (Nurgiyantoro, 2015:
24) menyatakan bahwa dalam karya sastra terdapat nilai kehidupan, yakni
melalui hasil cipta sastra dapat menyampaikan nilai-nilai yang termuat
kepada masyarakat penikmat dan mempengaruhi pola pikir pembaca
sastra.
Hal tersebut sejalan dengan upaya pemerintah dalam
membudayakan gerakan literasi di sekolah. Gerakan literasi bertujuan
memupuk kebiasaan dan motivasi membaca siswa agar mampu
menumbuhkan budi pekertinya melalui buku bacaan, kegiatan literasi
diberlakukan di seluruh sekolah selama 15 menit sebelum pelajaran jam
pertama dimulai (Permendikbud No. 21 tahun 2015). Literasi juga dapat
diartikan suatu kegiatan atau aktivitas untuk lebih membudidayakan
gerakan membaca serta juga menulis guna melatih diri untuk dapat lebih
terbiasa dalam membaca serta juga dapat membiasakan siswa untuk dapat
menyerap informasi yang dibaca dan dirangkum dengan menggunakan
bahasa yang dipahaminya. Hal tersebut sejalan dengan peryataan Alberta
(2009: 37) yang mengungkapkan bahwa literasi bukan hanya sekedar
kemampuan untuk membaca dan menulis namun menambah pengetahuan,
keterampilan dan kemampuan yang dapat membuat seseorang memiliki
kemampuan berpikir kritis, mampu memecahkan masalah dalam berbagai
konteks, mampu berkomunikasi secara efektif dan mampu
mengembangkan potensi dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan
bermasyarakat.
Berdasarkan studi pendahuluan di SMK Assalafiyah Bode
diperoleh data bahwa belum ada bahan bacaan atau bahan literasi yang
bermuatan kearifan lokal, khususnya cerita rakyat daerah setempat
(Cirebon). Bahan literasi masih didominasi dongeng, fabel, dan cerita
rakyat yang telah lazim populer dari daerah tertentu. Hal tersebut diperkuat
dengan penyebaran angket pada 3 kelas dengan masing-masing kelas
berjumlah 10 angket didapat hasil sebagai berikut 73,3 % (22 siswa dari 30
siswa) menyatakan bahwa cerita rakyat merupakan bahan literasi yang
diminati sebagai bahan bacaan, 40 % (12 dari 30 siswa) mengaku kurang
mengetahui bahan literasi atau bacaan mengenai cerita rakyat yang
bermuatan kearifan lokal, dan 80 % (24 dari 30 siswa) menyatakan sangat
menginginkan adanya bahan literasi atau bahan bacaan mengenai cerita
rakyat bermuatan kearifan lokal. Hal tersebut menunjukan perlu adanya
pengadaan bahan literasi yang mengandung muatan lokal guna
meningkatkan minat literasis siswa dan memupuk nilai moral dan budi
pekerti.
Hasil penelitian Firdauzia Nur Fatimah dan Edy Tri Sulistyo
(2016) yang berjudul “Cerita Rakyat Dewi Sritanjung Sebagai Upaya
Mewujudkan Pendidikan Karakter Berbasis Nilai Kearifan Lokal”
diperoleh hasil bahwa cerita rakyat “Dewi Sritanjung” termasuk legenda
karena diceritakan secara lisan dan disertai bukti situs peninggalan berupa
sumur Sritanjung. Nilai-nilai kearifan lokal dari cerita rakyat “Dewi
Sritanjung” adalah sebagai berikut. Nilai kearifan lokal yang digambarkan
pada tokoh Dewi Sritanjung hingga akhirnya dihidupkan kembali, yakni
jujur dan religius. Perilaku jujur diwujudkan dalam bentuk pengorbanan
Dewi Sritanjung dengan merelakan dirinya dibunuh untuk menujukkan
bahwa dirinya benar-benar jujur. Perilaku religius yang juga dimiliki tokoh
Dewi Sritanjung sangat ditekankan karena segala perbuatan yang baik
akan mendatangkan kebaikan di masa yang akan datang. Hal tersebut,
ditunjukkan dalam cerita bahwa, tokoh Dewi Sritanjung akhirnya dapat
berkumpul kembali dengan suaminya patih Sidopekso. Dari perilaku tokoh
utama dalam cerita rakyat tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai
upaya untuk mewujudkan pendidikan karakter berbasis nilai kearifan
lokal.
Sementara Dina Purnama Sari (2016) dalam penelitiannya yang
berjudul Memaknai Nilai-nilai Kehidupan Tokoh Utama dalam Novel
“Hijrah Bang Tato” Karya Fahd Pahdepie memperoleh hasil bahwa
melalaui proses memaknai Nilai-Nilai Kehidupan Pada Novel “Hijrah
Bang Tato” terdapat nilai-nilai kehidupantokoh utama yang dapat
dijadikan cerminan serta dikaji ilmiah. Akan tetapi, pada pembahasan kali
ini, nilai-nilai tersebut dibatasi pada pemaknaan hidayah, ikhtiar, dan
pulang.
Ada pun Agus Kichi Hermansyah (2017) dalam penelitiannya yang
berjudul “Nilai-Nilai Kehidupan dalam Buku 100 Cerita Anak Pilihan dan
Kesesuaiannya Sebagai Bahan Pembelajaran Sastra di SD/MI” diperoleh
hasil bahwa ada beberapa nilai-nilai kehidupanyang terdapat dalam buku
100 Cerita Anak Pilihan Karya Ammy dan Rany. Nilai-nilai
kehidupantersebut dapat dijadikan sebagai bahan atau materi dalam
pembelajaran sastra di SD/MI. Nilai-nilai kehidupan tersebut terdiri dari
nilai moral kepribadian dan nilai moral sosial. Berikut hasil temuan nilai-
nilai kehidupan yang terdapat dalam buku 100 Cerita Anak Pilihan karya
Ammy dan Rani.
Ada pun Sahril (2013) dalam penelitiannya yang berjudul Nilai
Budaya dan Pendidikan Karakter dalam Cerita Rakyat Sumatera Utara:
Suatu Kajian Model Skema Aktan DAN Skema Fungsi Greimas diperoleh
hasil bahwa Berkenaan dengan nilai budaya yang terkandung di dalam
cerita rakyat Sumatera Utara, diperoleh 12 nilai budaya yang dapat
dijadikan bagian dari pendidikan karakter untuk para siswa di sekolah.
Adapun nilai budaya tersebut yaitu: (1) tenggang rasa, (2) menjunjung
tinggi persaudaraan, (3) judi akan mengakibatkan kesengsaraan, (4)
kekayaan dan tahta membuat manusia lupa diri, (5) berfoya-foya,
meminum minuman keras, dan berjudi akan mendatangkan kerugian bagi
diri sendiri, (6) penyesalan selalu datangnya terlambat, (7) bermusyawarah
dalam memutuskan sesuatu, (8) menghormati dan menghargai tamu, (9)
cepat berputus asa, akan mendatangkan malapetaka bagi diri sendiri, (10)
membantu rakyat kecil, (11) perkawinan sumbang atau incest, yaitu
perkawinan antar saudara kandung, baik oleh agama maupun oleh adat,
dan (12) rasa cinta yang berlebihan membuat manusia lupa diri.
Sedangkan Irzal Amin, dkk (2013) dalam penelitiannya yang
berjudul Cerita Rakyat Penamaan Desa di Kerinci: Kategori dan Fungsi
Sosial Teks diperoleh hasil bahwa Cerita rakyat penamaan desa di Kerinci
yang masuk ke dalam kategori mite dapat dilihat berdasarkan ciri-ciri mite
yang telah ditemukan dalam 11 cerita. Dari 11 cerita rakyat penamaan
desa di Kerinci yang termasuk dalam kategori mite ada 4 cerita, yaitu: (1)
cerita penamaan Desa Jujun; (2) cerita penamaan Desa Hiang; (3) cerita
penamaan Desa Kemantan; dan (4) cerita penamaan Desa Siulak. Keempat
cerita rakyat yang masuk ke dalam kategori mite ini, tampak kesamaan
ciri-ciri yaitu semua tokoh cerita adalah manusia yang mempunyai
kekuatan supernatural. Selain itu tampak pula pada kesamaan dalam tokoh
cerita adalah manusia pertama yang berjasa dalam membuat pemukiman
baru bagi masyarakat banyak. Selain itu ada pula ciri-ciri yang sama
tentang adanya hal-hal gaib, apakah makhluk gaib, tenaga gaib, kejadian
gaib yang tidak bisa diterima akal sehat.
Sementara Sri Agustin (2017) dalam penelitiannya yang berjudul
Gerakan literasi sekolah untuk meningkatkan budaya baca di SMA Negeri
1 Geger diperoleh hasil GLS atau literasi dapat meningkatnya daya baca
siswa terhadap teks yang dibaca, membuat mereka suka membaca. Hal ini
dapat dilihat di lapangan, saat literasi berlangsung di setiap kelas tampak
hening. Para siswa sedang asyik membaca atau sedang menikmati buku
bacaan yang dibawa dari rumah. Mereka selalu menandai bagian akhir
yang dibaca pada bukunya. Kegemaran membaca pada diri siswa mulai
terlihat saat bel pertama sebagai tanda dimulainya pembelajaran atau KBM
berbunyi, beberapa dari siswa tampak enggan meletakkan buku
bacaannya. Hal tersebut juga berpengaruh pada perbincangan siswa
dengan teman-temannya, kadang dari mereka sangat semangat bercerita
tentang sosok atau tokoh dalam buku cerita mereka. Gambaran ini seiring
dengan tujuan kegiatan literasi yang dilaksanakan, yaitu untuk
menumbuhkan minat baca peserta didik serta meningkatkan keterampilan
membaca agar pengetahuan dapat dikuasai secara lebih baik
Sedangkan I Made Ngurah Suragangga (2016) dalam penelitiannya
yang berjudul Mendidik Lewat Literasi untuk Pendidikan Berkualitas
diperoleh hasil Di tingkat SD kelas satu sampai dengan tiga, setiap siswa
diwajibkan membaca dan menulis di rumah melalui penerapan tugas
membaca mandiri. Setiap siswa punya readinglog, semacam buku harian
membaca, yang berisi berapa lama waktu yang siswa habiskan untuk
membaca di rumah dan paraf orang tuanya. Tidak ada patokan menit atau
jam. Buku harian itu juga berisi tugas-tugas sekolah lainnya yang harus
dikerjakan di rumah seperti menulis. Pada usia ini siswa diharuskan
menulis paragraf pendek tentang apa yang sudah dibaca. Saat di sekolah
mereka akan diminta untuk menceritakan bacaannya di depan kelas atau di
kelompok kecil. Kewajiban membaca ini terus berlanjut sampai level SMP
dan SMA. Yang membedakannya adalah bahan bacaan dan batasan
minimal waktunya. Di SMP misalnya, siswa diharuskan membaca buku
atau novel kemudian diwajibkan menulis laporan bacaannya di buku
harian mereka. Setiap sekolah menerapkan aktivitas yang berbeda dalam
rangka membiasakan anak untuk membaca dan menulis. Sekolah diberi
otoritas untuk merancang kegiatan literasi ini dengan sentuhan kreatifitas
dengan tetap memperhatikan kualitas dan efektifitas kegiatan.
Sementara itu, Putri Oviolanda Irianto dan Lifia Yola Febrianti
(2017) dalam penelitiannya yang berjudul Pentingnya Penguasaan
Literasi Bagi Generasi Muda dalam Menghadapi MEA diperoleh hasil
bahwa Generasi muda Indonesia harus membekali diri dengan kompetensi
pengetahuan informasi yang banyak dalam berabagai aspek kehidupan.
Selain kompetensi pengetahuan yang baik, juga perlu mempersiapkan
kompetensi dalam berkomunikasi karena pasar ASEAN ini menutut kita
dapat berbahasa asing terutama bahasa Inggris. Selain itu, tenaga kerja
perlu meningkatkan kedispilinan serta menanamkan budaya kerja yang
baik dengan membiasakan diri dalam memproduksi ide yang kreatif dan
baru agar dapat bersaing dengan pekerja asing. Dengan mempersiapkan
diri dalam menghadapi persaingan yang ketat di era MEA ini masyarakat
melalui pemudanya mampu mendapatkan manfaat yang menyejahterakan.
Melalui studi pendahuluan dan penelitian yang telah diuraikan
dapat disimpulkan bahwa melalui kajian nilai kehidupancerita rakyat dapat
dimanfaatkan untuk memaksimalkan kegiatan literasi di sekolah. Namun
demikian, cerita rakyat yang kaya akan nilai kehiduapan dan budi pekerti
di beberapa daerah belum maksimal peran dan pemanfaatanya sebagai
bahan literasi, di Cirebon salah satunya. Cirebon yang dikenal sebagai
salah satu kota yang kaya akan budaya dan sejarah tentu memiliki banyak
nilai kearifan lokal yang dapat diangkat menjadi bahan literasi. Oleh
karena itu, pengadaan bahan bacaan berupa buku pengayaan cerita rakyat
Cirebon sebagai bahan literasi di sekolah dianggap penting guna
menumbuhkan minat baca tulis dan memupuk budi pekerti siswa.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai kajian cerita rakyat sebagai bahan literasi
dengan judul “Kajian Nilai Kehidupan dalam Cerita Rakyat Cirebon
sebagai Bahan Literasi di Sekolah”
BAB II
KAJIAN PUSTAKAKA

A. Cerita Rakyat

1. Pengertian Cerita Rakyat


Cerita rakyat pada hakikatnya merupakan manifestasi kekayaan
sejarah dan budaya suatu bangsa melalui karya sastra tutur yang
berkembang dari satu generasi ke generasi dalam suatu masyarakat.
Djamaris (Setiawan 2013: 8) menyatakan bahwa cerita rakyat adalah suatu
golongan cerita yang hidup dan berkembang secara turun-temurun dari
suatu generasi kegenerasi selanjutnya yang dikatakan sebagai cerita rakyat
karena cerita itu hidup dan berkembang di kalangan masyarakat dan semua
lapisan masyarakat mengenal ceritanya. Sementara Sisyono, dkk (2008: 4)
yang mengungkapkan bahwa foklore atau cerita rakyat merupakan salah
satu karya sastra yaitu berupa cerita yang hidup dan berkembang pada
beberapa generasi dalam masyarakat tradisional baik masyarakat itu telah
mengenal huruf atau belum dan mengandung survival, bersifat anonim,
serta disebarkan dalam kolektif tertentu dalam kurun waktu yang cukup
lama. Hal tersebut juga sejalan dengan pendapat Dundes (Danandjaja,
2007: 1-2) folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri
pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan, sedangkan lore adalah tradisi
folk, yaitu sebagian kebudayaannya, yang diwariskan secara turun-
temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan
gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device). Ada
pun Hutomo (1991: 4) menyatakan cerita rakyat diwariskan secara turun-
menurun dari satu generasi ke generasi berikutnya secara lisan. Sementara
Girfa (Suyanti 2015: 21) berpendapat cerita rakyat merupakan cerita dari
zaman dahulu yang hidup dikalangan rakyat dan diwariskan secara lisan.
2. Ciri-ciri Cerita Rakyat
Untuk membedakan cerita rakyat dengan karya sastra lainnya,
tentu cerita rakyat mempunyai ciri atau karakteristik tersendiri. Berikut
merupakan ciri dari cerita rakyat.
Endraswara (2010: 6) mengemukakan bahwa ada sepuluh ciri
pengenal utama yang membedakan cerita rakyat dari yang lainnya
yakni.

1) Disebarkan secara lisan, artinya dari mulut ke mulut, dari satu


orang ke orang yang lain, dan secara alamiah tanpa paksaan.
2) Nilai-nilai tradisi amat menonjol. Tradisi ditandai dengan
keberulangan atau yang telah menjadi kebiasaan.
3) Dapat bervariasi antara satu wilayah, namun hakikatnya sama.
Variasi disebabkan keragaman bahasa, bentuk, dan keinginan
masing-masing wilayah.
4) Pencipta dan perancangnya tidak jelas. Meskipun demikian, ada
cerita rakyat yang telah dibukukan, sehingga bagi yang kurang
paham seolah-olah pengumpulnya adalah penciptanya.
5) Cenderung memiliki formula atau rumus yang tetap, namun ada
pula yang bersifat lentur.
6) Mempunyai kegunaan dalam kehidupan suatu masyarakat,
misalnya sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes spasial, dan
proyeksi keinginan terpendam.
7) Bersifat pralogis, yaitu memiliki logika sendiri sehingga berbeda
dengan logika umum.
8) Menjadi milik bersama dari kolektif tertentu. Hal ini disebabkan
karena pencipta pertamanya sudah tidak diketahui lagi.
9) Umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali terlihat agak
kasar.
10) Memiliki unsur humor dan wejangan.

Sementara menurut Danandjaja (2007: 3) menjelaskan bahwa


folklor atau cerita rakyat memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

a. Penyebaran dan pewarisannnya dilakukan secara lisan


b. Folklor bersifat tradisional
c. Folklor (exist) versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda
d. Folklor bersifat anonim
e. Folklor mempunyai bentuk berumus atau berpola
f. Folklor mempunyai kegunaan (function)
g. Folklor bersifat pralogis
Dari pendapat ahli di atas dapat dikatakan bahwa ciri cerita rakyat
yakni merupakan karya sastra bersifat menghibur, anonim, dan memiliki
niliai suatu tradisi yang berguna dalam kehidupan sosial masyarakat.

3. Jenis-Jenis Cerita Rakyat


Menurut Bascom (Dananjaya, 2007: 50-83) cerita rakyat terbagi
menjadi tiga yakni.

a. Mite (Myth)
Mite adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar
terjadi serta suci oleh yang memiliki cerita. Mite ditokohi oleh para
dewa atau makhluk setengah dewa.

b. Legenda (Legend)
Legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap oleh yang
memiliki cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh pernah terjadi.
Berbeda dengan mite, legenda bersifat sekuler (Keduniawian).
Terjadi pada masa yang belum terlalu lampau dan bertempatan di
dunia seperti yang kita kenal sekarang. Legenda ditokohi manusia
walaupun ada kalanya mempunyai sifat-sifat luar biasa, dan
seringkali juga dibantu makhluk-makhluk ajaib. Legenda sering kali
dipandang sebagai “sejarah”kolektif (folk history), walaupun
“sejarah” itu tidak tertulis dan telah mengalami distorsi, sehingga
seringkali dapat jauh berbeda dari cerita aslinya.

c. Dongeng (folktale)
Dongeng adalah cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-
benar terjadi. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan.
4. Unsur-unsur Cerita Rakyat
Nurgiyantoro (2015: 23) menyatakan bahwa unsur intrinsik adalah
unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Ada pun unsur-
unsur yang membangun cerita rakyat anatara lain tema, tokoh dan
penokohan, alur, latar, dan amanat.

a. Tema
Menurut Aminuddin (2014: 91) menyatakan bahwa tema adalah
ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperan sebagai pangkal
tolak pengarang memaparkan karya fiksi ciptaannya. Sementara
Zulfanur (Wahid, 2004: 82) mengungkapkan bahwa tema adalah
ide yang menjadi pokok suatu pembicaraan atau ide pokok suatu
tulisan. Tema merupakan suatu dimensional yang amat penting dari
suatu cerita, karena dengan dasar itu, pengarang dapat
membayangkan dalam fantasinya tenang cerita yang akan dibuat.
Pengarang sendiri tidak asal menyebut apa yang menjadi latar
belakang atau tema ceritanya, tetapi dapat kita ketahui setelah
membaca cerita ini secara keseluruhan.

b. Tokoh dan Penokohan


Abrams (Nurgiyantoro, 2015: 165) menyatakan bahwa tokoh
adalah orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau
drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan
kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan
dan apa yang dilakukan dalam tindakan. sementara Nursisto (2000:
105) menyatkan bahwa watak (penokohan) merupakan sikap batin
manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan perbuatannya.

c. Alur
Aminuddin (2014: 83) menyatakan bahwa alur adalah
rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa
sehingga menjalain suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku
dalam suatu cerita. Sementara Semi (2012: 43-46) mengungkapkan
bahwa alur adalah struktur rangkaian kejadlan dalam cerita yang
dlsusun sebagai sebuah interelasi fungsional yang sekaligus
menandai urutan baglan-baglan dalam keseluruhan fiksi.

d. Latar
Indrawati (2009: 64) menyatakan bahwa latar atau setting
adalah tempat, waktu serta suasana yang digunakan dalam sebuah
cerita. Sementara Abrams (Sugira, 2004: 88) berpendapat bahwa latar
merupakan landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan
waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan.

e. Amanat
Sudjiman (Zulfahnur 1997: 25) menyatakan bahwa amanat
merupakan sesuatu moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh
pengarang; itulah yang disebut amanat. Sementara menurut Kenny
(Nurgiyantoro, 2015: 171) mengatakan bahwa amanat atau nilai
moral merupakan unsur isi dalam karya fiksi yang mengacu pada
nilai-nilai, sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan yang
dihadirkan oleh pengarang melalui tokoh-tokoh di dalamnya.

5. Fungsi Cerita Rakyat


Cerita rakyat selain berfungsi sebagai media hiburan, cerita
rakyat juga memiliki fungsi sebagai medium penyampaian pesan moral
dan nilai-nilai luhur kearifan lokal. Bascom (Danandjaja, 2007: 19)
menyatakan bahwa cerita rakyat mempunyai empat fungsi, yakni: (a)
sebagai sistem proyeksi, yaitu sebagai alat pencermin angan-angan
kolektif; (b) sebagai pengesahan pranata-pranata dalam kebudayaan; (c)
sebagai alat pendidikan; dan (d) sebagai alat pemaksa dan pengawas
agar norma-norma yang ada di dalam masyarakat akan selalu dipahami
oleh anggota kolektifnya. Sementara Rukmini (2009: 43) menyatakan
bahwa fungsi cerita rakyat yakni; (1) asal usul nenek moyang, (2)
Teladan para pendahulu kita, (3) hubungan kekerabatan(silsilah), (4)
Asal mula tempat, (5) Adat istiadat (6) Sejarah benda pusaka. Hal
tersebut juga sejalan dengan Hamidy (2003: 28) yang mengungkapkan
bahwa fungsi cerita rakyat adalah sebagai sarana pendidikan, harga diri,
dan sebagai hiburan atau pelipur lara.
Berdasarkan beberapa penjelasan ahli mengenai fungsi cerita
rakyat di atas, dapat disimpulkan bahwa cerita rakyat merupakan salah
satu medium yang sesuai dalam menyampaiakan pesan moral, budi
pekerti, dan berbagai nilai luhur kearifan lokal yang ada.

B. Nilai-Nilai Kehidupan

1. Pengertian Nilai
Nilai merupakan konsep yang menunjuk pada hal-hal yang
dianggap berharga dalam kehidupan manusia, yaitu tentang apa yang
dianggap baik, layak, pantas, benar, penting, indah, dan dikehendaki
oleh masyarakat dalam kehidupannya. Nurdin (2009: 209) menyatakan
bahwa nilai adalah suatu perangkat keyakinan ataupun perasaan yang
diyakini sebagai suatu identitas yang memberikan corak khusus kepada
pola pemikiran, perasaan, keterikatan, dan perilaku. Sementara
Sumantri (Gunawan, 2012: 31) berpendapat bahwa nilai adalah hal
yang terkandung dalam diri (hati nurani) manusia yang lebih memberi
dasar pada prinsip akhlak yang merupakan dasar dari keindahan dan
efisiensi atau keutuhan kata hati. Hal tersebut juga sejalan dengan apa
yang dikemukakan Adisusilo (2012 : 56) bahwa nilai berasal dari
bahasa latin Valere yang artinya berguna, mampu, berdaya, berlaku,
sehingga nilai diartikan sebagai suatu yang dipandang baik, bermanfaat
dan paling benar menurut keyakinan seseorang atau sekelompok orang.
Ada pun Thoha (1996: 61) menyatakan nilai adalah esensi yang melekat
pada sesuatu yang sangat berarti bagi kehidupan manusia. Sementara
Isna (2001: 98) berpendapat bahwa nilai adalah sesuatu yang bersifat
abstrak, ideal, nilai bukan benda konkrit, bukan fakta, tidak hanya
persoalan benar dan salah yang menuntut pembuktian empirik,
melainkan sosial penghayatan yang dikehendaki, disenangi, dan tidak
disenangi.
Dari beberapa pendapat ahli tersebut nilai dapat diartikan sebagai
suatu konsep, keyakinan, atau pemahaman tentang hal baik, berharga,
atau pun berguna yang diyakini masyarakat.

2. Jenis-Jenis Nilai
Spranger (Mulyana, 2013: 32) menjelaskan bahwa ada enam
orientasi nilai yang sering dijadikan rujukan oleh manusia dalam
kehidupannya.

1) Nilai teoretik, yakni nilai ini melibatkan pertimbangan logis dan rasional
dalam memikirkan dan membuktikan kebenaran sesuatu. Nilai teoretik
memiliki kadar benar-salah menurut pertimbangan akal.
2) Nilai ekonomis, yakni nilai ini terkait dengan pertimbangan nilai yang
berkadar untung-rugi. Objek yang ditimbangnya adalah “harga” dari suatu
barang atau jasa. Karena itu, nilai ini lebih mengutamakan kegunaan
sesuatu bagi kehidupan manusia.
3) Nilai estetik, yakni nilai estetik menempatkan nilai tertingginya pada
bentuk dan keharmonisan. Apabila nilai ini ditilik dari subyek yang
memiliknya, maka akan muncul kesan indah-tidak indah.
4) Nilai sosial yakni, nilai tertinggi dari nilai ini adalah kasih sayang di antara
manusia. Karena itu kadar nilai ini bergerak pada rentang kehidupan yang
individualistik dengan yang altruistik.
5) Nilai politik, yakni nilai tertinggi dalam nilai ini adalah kekuasaan. Karena
itu, kadar nilainya akan bergerak dari intensitas pengaruh yang rendah
sampai pengaruh yang tinggi (otoriter).
6) Nilai agama, yakni secara hakiki sebenarnya nilai ini merupakan nilai yang
memiliki dasar kebenaran yang paling kuat dibandingkan dengan nilai-nilai
sebelumnya. Nilai ini bersumber dari kebenaran tertinggi yang datangnya
dari Tuhan.

Sementara Notonegoro (Kaelan, 2000: 84) menyatakan bahwa


ada 3 macam nilai yakni.

a. Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan


jasmani manusia atau kebutuhan ragawi manusia.
b. Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk
dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas.

c. Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani


manusia; yakni meliputi 1) Nilai kebenaran yang bersumber pada akal
(rasio, budi, cipta) manusia, 2) Nilai keindahan atau nilai estetis yang
bersumber pada unsur perasaan (emotion) manusia, 3) Nilai kebaikan
atau nilai moral yang bersumber pada unsur kehendak (karsa,will)
manusia.

Sedangkan Richey (Sulistyono, 1991: 15) mengungkapkan


bahwa nilai terbagi menjadi tujuh macam, yaitu (1) nilai intelektual, (2)
nilai personal dan fisik, (3) nilai kerja, (4) nilai penyesuaian, (5) nilai
sosial, (6) nilai keindahan, dan (7) nilai rekreasi.

3. Nilai Kehidupan dalam Cerita Rakyat

Nilai kehidupan merupakan keseluruhan tampilan diri, sikap, kata,


perbuatan manusia sesuai situasi dan kondisi yang dipengaruhi unsur-
unsur internal maupun eksternal dalam sistem suatu masyarakat.
Melalaui karya sastra khususnya cerita rakyat, tentu banyak
mengandung nilai-nilai kehidupan yang dapat diteladani dan dijadikan
sarana memperluas wawasan dalam memahami, membedakan, serta
menerapkan nilai-nilai kebaikan dalam bermasyarakat. Wellek dan
Warren (Nurgiyantoro, 2015: 24) menyatakan bahwa dalam karya
sastra terdapat nilai kehidupan, yakni melalui hasil cipta sastra dapat
menyampaikan nilai-nilai yang termuat kepada masyarakat penikmat
dan mempengaruhi pola pikir pembaca sastra.
Sementara itu, secara umum Suherli (2017, 107-125) menyatakan
bahwa terkait nilai-nilai kehidupan cerita rakyat terbagi menjadi enam
yakni nilai religi, nilai moral, nilai sosial, nilai budaya, nilai estetika,
dan nilai edukasi.
a. Nilai Religi
Nilai religius adalah nilai yang bersumber dari keyakinan
ketuhanan yang ada pada diri seseorang (sjarkawi, 2008: 31).
Sementara Bouman (Pudjiono, 2006:15) menyatakan bahwa religion
(religi) bertugas untuk mengatur kehidupan orang sehari-hari agar
selalu dalam bimbingan Tuhan sang pencipta. Sedangkan Glok dan
Stark (Pudjiono, 2006:15) memahami religi sebagai percaya tentang
ajaran-ajaran agama tertentu dan dampak dari ajaran itu dalam
kehidupan sehari-hari di masyarakat. Ada pun Djojosantoso (Hariyani,
2008: 15) menyatakan bahwa religi berarti ikatan dan pengikatan diri
kepada Tuhan atau lebih tepat manusia menerima ikatan Tuhan
sebagai sumber ketentraman dan kebahagiaan. Sementara Muhaimin
(2009: 111) berpendapat bahwa nilai religi merupakan akhlak yang
mulia sebagai salah satu faktor internal siswa yang mempunyai andil
dalam prestasi belajar.

b. Nilai Moral
Darmadi (2009: 50) menyatakan bahwa secara etimologis kata
moral berasal dari bahasa latin yaitu “Mores” yang berasal dari suku
kata “Mos”. Mores berarti adat-istiadat, kelakuan, tabiat, watak,
akhlak, yang kemudian artinya berkembang menjadi sebagai
kebiasaan dalam bertingkah laku yang baik. Sementara itu, Suseno
(1987: 19) menyatakan bahwa kata moral selalu mengacu pada baik-
buruknya manusia sebagai manusia. Ada pun Shaffer (Budiningsih,
2004: 24) mengemukakan bahwa moral dapat diartikan sebagai kaidah
norma dan pranata yang mampu mengatur perilaku individu dalam
menjalani suatu hubungan dengan masyarakat. Sedangkan Sayuti
(2000: 188) mengungkapkan bahwa nilai moral suatu cerita biasanya
dimaksudkan sebagai sepotong saran moral yang bersifat praktis yang
dapat diambil dari suatu cerita. Sementara Nurgiantoro (2009: 321)
mengemukakan bahwa nilai moral merupakan suatu yang ingin
disampaikan oleh pengarang kepada pembaca, yakni merupakan
makna yang terkandung dalam sebuah karya sastra dan makna yang
disarankan lewat cerita.

c. Nilai Sosial
Nilai dalam arti sosiologi merupakan sesuatu yang dianggap baik
dan diharapkan oleh masyarakat. Ketaatan, keramahan, kesopanan,
kecantikan jiwa, kebersihan, dan keindahan merupakan beberapa
contoh nilai sosial dalam kecamatan sosiologi. Dengan kata lain, nilai
social adalah ukuran-ukuran, patokan-patokan, anggapan-anggapan,
keyakinan-keyakinan, yang hidup dan berkembang dalam masyarakat
serta dianut oleh banyak orang dalam lingkungan masyarakat
mengenai apa yang benar, pantas, luhur, dan baik untuk dilakukan.
Enda (2010:72) menyatakan bahwa sosial adalah cara tentang
bagaimana para individu saling berhubungan. Sementara Gazalba
(Budingsih, 2004: 32) Istilah sosial ditujukan pada pergaulan serta
hubungan manusia dan kehidupan kelompok manusia, terutama pada
kehidupan dalam masyarakat yang teratur. Ada pun Suparto (1998:
88) mengungkapkan bahwa nilai-nilai sosial memiliki fungsi umum
dalam masyarakat. Diantaranya nilai-nilai dapat menyumbangkan
seperangkat alat untuk mengarahkan masyarakat dalam berfikir dan
bertingkah laku. Sedangkan Ranjabar (2006: 33) menyatakan bahwa
sosial dalam arti masyarakat atau kemasyarakatan berarti segala
sesuatu yang bertalian dengan sistem hidup bersama atau atau hidup
bermasyarakat dari orang atau sekelompok orang yang didalamnya
sudah tercakup struktur, organisasi, nilai-nilai sosial, dan aspirasi
hidup serta cara mencapainya. Ada pun Soekanto (2002: 88)
mengemukakan bahwa nilai dalam interaksi sosial dapat diartikan
suatu hubungan-hubungan sosial yang dinamis, yang meliputi
hubungan antara orang perorangan, antara kelompok-kelompok
manusia, maupun antara perorangan dengan kelompok manusia.
d. Nilai Budaya
Koentjaraningrat (Warsito 2012: 99) menyatakan bahwa nilai
budaya merupakan konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam fikiran
sebahagian besar warga masyarakat dalam hal-hal yang mereka
anggap amat mulia. Sementara Sumaatmadja (Koentjaraningrat 2000:
180) Pada perkembangan, penerapan budaya dalam kehidupan,
berkembang pula nilai-nilai yang melekat dimasyarakat yang
mengatur keserasian, keselarasan, serta keseimbangan. Nilai tersebut
dikonsepsikan sebagai nilai budaya. Ada pun Tasmuji (2011: 151)
mengemukakan bahwa kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan
dari masyarakat dan tidak hanya mengenai sebagian tata cara hidup
saja yang dianggap lebih tinggi dan lebih diinginkan. Sementara
Wibowo (2007: 14) berpendapat bahwa kebudayaan adalah suatu
corak hidup dari suatu lingkungan masyarakat yang tumbuh dan
berkembang berdasarkan spiritualitas dan tata nilai yang disepakati
oleh suatu lingkungan masyarakat, dan oleh karenanya menjadi
eksistensial bagi lingkungan masyarakat tersebut. Sedangkan Rosyadi
(1995: 74) menyatakan bahwa nilai budaya merupakan sesuatu yang
dianggap baik dan berharga oleh suatu kelompok masyarakat atau
suku bangsa yang belum tentu dipandang baik pula oleh kelompok
masyarakat atau suku bangsa lain sebab nilai budaya membatasi dan
memberikan karakteristik pada suatu masyarakat dan kebudayaan.

e. Nilai Estetika
Dharsono (2004: 4) menyatakan bahwa keindahan adalah suatu
kumpulan hubungan yang selaras dalam suatu benda dan diantara
benda itu dengan pengamat. Sementara Soedjono (2007: 3)
mengemukakan bahwa pemahaman secara umum tentang nilai estetika
pada suatu karya seni ini adalah setiap pancaran nilai-nilai keindahan
yang tercermin dari sosok karya seni yang memberikan kualitas dan
karakter tertentu. Ada pun Endraswara (2013: 68-71) mengungkapkan
bahwa kajian estetika tidak hanya berhubungan dengan seni bahasa
saja, tetapi juga menyeluruh ke unsurunsur pembangun karya sastra
yang menyebabkan karya sastra menjadi indah dan menarik.
Sementara Suroso, dkk (2009: 21) menyatakan bahwa nilai estetis
mampu memberi hiburan, kepuasan, kenikmatan, dan kebahagiaan
batin ketika karya sastra dibaca atau didengarnya. Sedangkan
Aminuddin (2014: 37) menjelaskan bahwa sastra merupakan karya
cipta yang merupakan bagian dari seni dan berusaha menampilkan
nilai-nilai keindahan (estetis) yang bersifat aktual dan imajinatif
sehingga mampu memberikan hiburan dan kepuasan rohaniah
pembaca.

f. Nilai Edukasi (Pendidikan)


Nilai edukasi adalah nilai berkaitan dengan pendidikan. Pendidikan
adalah segala sesuatu usaha untuk membina kepribadian dan
mengembangkan kemampuan manusia Indonesia, jasmani dan rohani
yang berlangsung seumur hidup, baik didalam maupun diluar sekolah
dalam rangka pembangunan persatuan Indonesia dan masyarakat yang
adil, makmur berdasarkan pancasila (Soekidja, 2009 : 138).
Sedangkan Notoadmodjo (2003: 9) menyatakan bahwa konsep dasar
pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti di dalam
pendidikan itu terjadi proses pertumbuhan, perkembangan, atau
perubahan ke arah yang lebih dewasa, lebih baik dan lebih matang
pada diri individu, kelompok atau masyarakat. Sementara Brown
(Ahmadi, 2004 :74) menyatakan bahwa pendidikan adalah proses
pengendalian secara sadar dimana perubahan-perubahan didalam
tingkah laku dihasilkan didalam diri orang itu melalui didalam
kelompok. Ada pun Saroni (2011: 10) bahwa pendidikan merupakan
suatu proses yang berlangsung dalam kehidupan sebagai upaya untuk
menyeimbangkan kondisi dalam diri dengan kondisi luar diri. Ada pun
Mulyana (2004: 22) nilai-nilai pendidikan dalam konteks pendidikan
di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur
yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka
membina kepribadian generasi muda.

C. Pendekatan Pragmatik

1. Pengertian Pendekatan Pragmatik

Untuk melakukan pengkajian terhadap karya sastra tentyu


dibutuhkan pendekatan yang sesuai dengan objek kajian dan tujuan
penelitian. Abrams (Wahyuningtyas dan Santosa, 2011:1) mengatakan ada
empat pendekatan terhadap karya sastra, yaitu pendekatan mimetik,
pendekatan pragmatik, pendekatan ekspresif, dan pendekatan objektif.
Demikian pula dalam mengkaji cerita rakyat khususnya, tentu perlu
penggunaan pendekatan atau metode analisis yang sesuai guna
memaksimalkan hasil dan tujuan penelitian. Kajian nilai kehidupan cerita
rakyat merupakan bentuk kajian yang membedah dan menganalisis suatu
pesan kehidupan dan nilai luhur kearifan lokal dari suatu cerita rakyat.
Oleh karena itu, peneliti memilih pendekatan pragmatik sebagai metode
kajian penelitian.
Teeuw (2013:50) menyatakan bahwa pendekatan pragmatik
sebagai salah satu bagian ilmu sastra yang menitik beratkan dimensi
pembaca sebagai penangkap dan pemberi makna pada karya sastra.
Sementara Mulyana (2005: 78) berpendapat bahwa pragmatik merupakan
kajian tentang tata cara bagaimana para penutur dan petutur dapat
memakai dan memahami tuturan sesuai dengan konteks situasi yang tepat.
Hal tersebut juga sejalan dengan pendapat Wiyatmi (2008:85) yang
mengungkapkan bahwa pragmatik adalah pendekatan yang memandang
karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada
pembaca. Ada pun Fananie (2002: 113) berpendapat bahwa pendekatan
pragmatik adalah pendekatan yang didasarkan pada pembaca.
Keberhasilan satu karya sastra diukur dari pembacanya. Karya sastra yang
berhasil adalah karya sastra yang dianggap mampu memberikan
“kesenangan” dan “nilai”. Walaupun dimensi pragmatik meliputi
pengarang dan pembaca, pembacalah yang dominan. Karena itu, proses
komunikasi dan pemahaman karya sastra mempengaruhi dan ikut
menentukan sikap pembaca terhadap karya sastra yang dihadapinya.
Sementara Endraswara (2004: 117) mengemukakan untuk mengecek
penerapan penelitian pragmatik sastra adalah mana kala titik berat kritik
berorientasi pembaca. Dalam hal ini, ia menunjukkan adanya konsep efek
komunikasi sastra yang sering dirumuskan dengan istilah docere
(memberikan ajaran), delectare (memberikan kenikmatan), dan movere
(menggerakkan pembaca).

Dari beberapa pendapat ahli di atas pendekatan pragmatik dapat


diartikan sebagai suatu pendekatan analisis karya sastra yang menitik
beratkan karya sastra sebagai medium penyampaian tujuan tertentu pada
pembaca. Dalam hal ini tujuan penyampaian nilai moral khususnya.

2. Langkah-langkah Pendekatan Pragmatik


Ada pun Rusyana (1991: 8) menyatakan langkah-langkah
mengapresiasi cerita rakyat melalui pendekatan pragmatik sebagai berikut.
a. Membaca seadanya
b. membaca dengan estetis
c. mengintegrasikan hasil bacaan secara personal (sesuai dengan
pengalaman)
d. membaca dengan rujukan intrinsik sastra
e. mengintegrasikan hasil bacaan dengan unsur ekstrinsik
f. dan terakhir menggambarkan hasil bacaan yang berwujud dari hasil
interpretasi terhadap bacaan.
D. Literasi
1. Pengertian Literasi
Literasi merupakan upaya melek huruf atau kesadaran akan
pentingnya informasi dari berbagai sumber, baik cetak, digital, dan
sebagainya. Sutarno (2006: 27) mengemukakan bahwa literasi atau budaya
baca merupakan suatu sikap atau perbuatan untuk membaca yang
dilakukan secara teratur dan berkelanjutan dengan tujuan siswa dapat
membaca dengan efisien. Sementara menurut Zucdi (2011: 224) melalui
kegiatan membaca atau memahami bahan-bahan literasi karya sastra dapat
memberikan kesempatan peserta dididk untuk melalukan refleksi moral.
Ada pun Irkham (Gong, 2012: 16) menyatakan bahwa literasi adalah
keberaksaraan. Ada pun Pakistianingsih (2014: 16) menyatakan bahwa
literasi dipahami sebagai seperangkat kemampuan mengolah informasi
jauh di atas kemampuan mengurai dan memahami bahan bacaan sekolah.
Sedangkan Ma’mur (2010: 111) menyatakan bahwa istilah literasi pada
umumnya mengacu pada keterampilan membaca dan menulis artinya
seorang literat adalah orang yang telah menguasi keterampilan membaca
dan menulis dalam suatu bahasa, namun demikian pada umumnya
penguasaan keterampilan membaca seseorang itu lebih baik dai pada
kemampuan menulisnya, bahkan kemampuan atau keterampilan berbahasa
lainya yang mendahului kedua ketrampilan tersebut dari sudut
kemudahanya dan penguasaanya dalah kemampuan menyimak dan
berbicara.

2. Jenis-Jenis Literasi

World Economic Forum (2015) menyatakan ada enam literasi dasar


yang telah disepakati. Enam literasi dasar tersebut mencakup literasi baca
tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, dan
literasi budaya dan kewargaan. Berikut penjelasan singkatnya.
a. Literasi Baca Tulis
Salah satu di antara enam literasi dasar yang perlu kita kuasai
adalah literasi baca-tulis. Membaca dan menulis merupakan literasi yang
dikenal paling awal dalam sejarah peradaban manusia. Keduanya
tergolong literasi fungsional dan berguna besar dalam kehidupan sehari-
hari. Dengan memiliki kemampuan baca-tulis, seseorang dapat menjalani
hidupnya dengan kualitas yang lebih baik.

b. Literasi Numerasi
Literasi numerasi adalah pengetahuan dan kecakapan untuk (a)
menggunakan berbagai macam angka dan simbol-simbol yang terkait
dengan matematika dasar untuk memecahkan masalah praktis dalam
berbagai macam konteks kehidupan sehari-hari dan (b) menganalisis
informasi yang ditampilkan dalam berbagai bentuk (grafik, tabel, bagan,
dsb).

c. Literasi Sains
Literasi sains dapat diartikan sebagai pengetahuan dan kecakapan
ilmiah untuk mampu mengidentifikasi pertanyaan, memperoleh
pengetahuan baru, menjelaskan fenomena ilmiah, serta mengambil
simpulan berdasar fakta, memahami karakteristik sains, kesadaran
bagaimana sains dan teknologi membentuk lingkungan alam, intelektual,
dan budaya, serta kemauan untuk terlibat dan peduli terhadap isu-isu yang
terkait sains (OECD, 2016).

d. Literasi Finansial
Literasi finansial adalah pengetahuan dan kecakapan untuk
mengaplikasikan pemahaman tentang konsep dan risiko, keterampilan agar
dapat membuat keputusan yang efektif dalam konteks finansial untuk
meningkatkan kesejahteraan finansial, baik individu maupun sosial, dan
dapat berpartisipasi dalam lingkungan masyarakat.

e. Literasi Digital
Menurut Paul Gilster dalam bukunya yang berjudul Digital
Literacy (1997), literasi digital diartikan sebagai kemampuan untuk
memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai bentuk dari
berbagai sumber yang sangat luas yang diakses melalui piranti komputer.

g. Literasi Budaya dan Kewargaan


Literasi budaya merupakan kemampuan dalam memahami dan
bersikap terhadap kebudayaan Indonesia sebagai identitas
bangsa. Sementara itu, literasi kewargaan adalah kemampuan dalam
memahami hak dan kewajiban sebagai warga negara. Dengan demikian,
literasi budaya dan kewargaan merupakan kemampuan individu dan
masyarakat dalam bersikap terhadap lingkungan sosialnya sebagai bagian
dari suatu budaya dan bangsa.

Sedangkan melalui National Forum for Information Literacy (2005)


meyebutkan ada enam jenis literasi yakni.

1) Literasi Visual
literasi visual artinya kemampuan untuk memahami dan menggunakan citra,
termasuk kemampuan untuk berpikir, belajar, dan mengungkapkan diri
sendiri dalam konteks citra. Literasi visual adalah kemampuan untuk
memahami serta menggunakan citra visual dalam pekerjaan dan kehidupan
sehari-hari. Literasi visual mencakup integrasi pengalaman visual dengan
pengalaman yang diperoleh dari indera lain seperti apa yang didengar, apa
yang dibau, apa yang dikecap, apa yang disentuh serta apa yang dirasakan.
Kompetensi literasi visual memungkinkan seseorang untuk memilah serta
menafsirkan berbagai tindakan visual, objek dan atau simbol.
2) Literasi Media
Literasi media ialah kemampuan seseorang untuk menggunakan berbagai
media guna mengakses, analisis serta menghasilkan informasi untuk
berbagai keperluan Dalam kehidupan sehari-hari seseorang akan dipengaruhi
oleh media yang ada di sekitar kita berupa televisi, film, radio, musik
terekam, surat kabar dan majalah, serta internet.
3) Literasi Teknologi Komputer
Literasi komputer artinya kemampuan tahu bagaimana menggunakan dan
mengoperasikan komputer secara efisien sebagai mesinpemroses informasi
(Horton Jr, 2007). Bagian ini merupakan separuh bagian dari literasi
teknologi informasi dan computer, separuh lainnya adalah Literasi media.
4) Literasi Jaringan
Merupakan literasi dalam menggunakan jaringa digital secara efektif, yang
banyak berkembang berkat keberadaan Internet. Bagi pustakawan literasi
informasi mensyaratkan perubahan pikir, dari “kepemilikan” ke “akses”
artinya informasi milik perpustakaan namun dapat diakses oleh publik
sehingga menimbulkan pertanyaan seberapa jauh konsep kepemilikan
terhadap hal tersebut.

5) Literasi Kulutural
Literasi kultural artinya pengetahuan mengenai, serta pemahaman tentang,
bagaimana tradisi, kepercayaan, simbol, ikon, perayaan, kearifan lokal dan
sarana komunikasi sebuah negara, agama, kelompok etnik atau suku
berdampak terhadap penciptaan, penyimpanan, penanganan, komunikasi,
preservasi serta pengarsipan data, informasi dan pengetahuan.

6) Literasi Digital
Istilah literasi digital mulai popular sekitar tahun 2005 (Davis & Shaw,
2011) Literasi digital bermakna kemampuan untul berhubungan dengan
informasi hipertekstual dalam arti bacaan takberurut berbantuan komputer.
Konsep literasi digital merupakan kemampuan memahami dan
menggunakan informasi dari berbagai sumber digital.; dengan kata lain
kemampuan untuk membaca, menulis dan berhubungan dengan informasi
dengan menggunakan teknologi dan format yang ada pada masanya.

Dari beberapa penjelasan ahli mengenai jenis-jenis literasi di atas, maka


literasi atau bahan literasi dalam penelitian iini tergolong dalam literasi baca tulis.
Melalaui literasi baca tulis akan diuraikan bagaimana nilai kehidupan yang
terdapat dalam Cerita Rakyat Cirebon dapat disajikan menjadi bahan bacaan yang
bermanfaat bagi siswa.

E. Bahan Literasi di Sekolah


1. Buku Pengayaan

Menyebutkan buku pengayaan adalah buku nonteks pelajaran untuk


mendukung proses pembelajaran pada setiap jenjang pendidikan dan jenis
buku lain yang tersedia di perpustakaan sekolah. Di kalangan masyarakat,
buku pengayaan juga dikenal sebagai buku bacaan atau buku kepustakaan.
Buku ini dimaksudkan untuk memperkaya wawasan, pengalaman, dan
pengetahuan pembacanya. Buku pengayaan diartikan sebagai buku yang
memuat materi yang dapat memperkaya dan meningkatkan penguasaan
wawasan, ipteks, kepribadian, dan aspek lainnya.

Suherli (2008) menyebutkan karakteristik buku pengayaan adalah (1)


materi dapat bersifat kenyataan atau rekaan; (2) pengembangan materi
tidak terkait langsung dengan kurikulum atau kerangka dasarnya; (3)
materi disajikan secara popular atau teknik lain yang inovatif; (4)
penyajian materi dapat berbentuk deskripsi, eksposisi, argumentasi, narasi,
puisi, dialog, dan/atau menggunakan penyajian gambar; (5) penggunaan
media bahasa atau gambar dilakukan secara inovatif dan kreatif.

a. Jenis-Jenis Buku Pengayaan

Jenis Buku Pengayaan Berdasarkan dominasi materi/isi yang disajikan


di dalamnya, Suherli (2008) membagi buku pengayaan dalam tiga jenis
klasifikasi, yaitu kelompok buku pengayaan: (1) pengetahuan, (2)
keterampilan, dan (3) kepribadian. Setiap jenis buku pengayaan kadang-
kadang sulit dibedakan, tetapi jika dikaji berdasarkan materi/isi yang
mendominasi di dalamnya maka dapat ditetapkan ke dalam salah satu jenis
buku pengayaan.

Buku pengayaan pengetahuan adalah buku yang memuat materi yang


dapat memperkaya penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, dan
menambah kekayaan wawasan akademik pembacanya. Adapun ciri-ciri
buku pengayaan pengetahuan adalah 1) Materi/isi buku bersifat kenyataan;
2) Pengembangan isi tulisan tidak terikat pada kurikulum; 3)
Pengembangan materi bertumpu pada perkembangan ilmu terkait; 4)
Bentuk penyajian berupa deskriptif dan dapat disertai gambar; dan 5)
Penyajian isi buku dilakukan secara popular.

Buku pengayaan keterampilan adalah buku yang memuat materi yang


dapat memperkaya penguasaan keterampilan bidang tertentu. Adapun ciri-
ciri buku pengayaan keterampilan adalah 1) Materi/isi buku
mengembangkan keterampilan yang bersifat faktual; 2) Materi/isi buku
berupa prosedur melakukan suatu jenis keterampilan; 3) Penyajian materi
dilakukan secara prosedural 4) Bentuk penyajian dapat berupa narasi atau
deskripsi yang dilengkapi gambar/ilustrasi. 5) Bahasa yang digunakan
bersifat teknis.

Buku pengayaan kepribadian adalah buku yang memuat materi yang


dapat memperkaya kepribadian atau pengalaman batin seseorang. Adapun
ciri-ciri buku pengayaan kepribadian adalah: 1) Materi/isi buku dapat
bersifat faktual atau rekaan; 2) Materi/isi buku meningkatkan dan
memperkaya kualitas kepribadian atau pengalaman batin; 3) Penyajian
materi/isi buku dapat berupa narasi, deskripsi, puisi, dialog atau gambar;
4) Bahasa yang digunakan bersifat figuratif.
b. Langkah-Langkah Menyusun Buku Pengayaan

Jolly dan Bolitho (Tomlinson, 2011: 88) memperinci langkah-


langkah sebelum menulis atau menyususn sebuah buku yakni.
1) Identifikasi oleh guru atau siswa akan kebutuhan untuk memenuhi
atau masalah untuk dipecahkan dengan pengadaan buku.
2) Eksplorasi area kebutuhan dalam hal bahasa apa, makna apa, fungsi
apa, keterampilan apa, dll.
3) Realisasi konteks dari materi baru yang diajukan dengan cara
menemukan ide-ide yang cocok, konteks dan teks yang akan
dibahas.
4) Realisasi pendidikan dari materi dengan menemukan latihan-
latihan dan aktivitas-aktivitas dan menulis pembelajaran yang
cocok untuk gunakan.
5) Produksi fisik dari materi ajar termasuk pertimbangan akan tata
letak, ukuran, visualisasi, reproduksi, dll.

Dalam menulis buku nonteks pelajaran seorang penulis harus


memperhatikan komponen dasar buku nonteks pelajaran. Komponen
dasar ini terdiri atas (1) karakteristik buku nonteks; (2) ketentuan dasar
penerbitan; (3) struktur buku; (4) aspek grafika; dan (5) klasifikasi
buku. Kelima komponen dasar tersebut perlu diketahui sebelum
dikembangkan menjadi buku pengayaan yang sesuai dengan kebutuhan
dan kreativitas penulis.

Pada penelitian ini penulis memilih buku nonteks pengayaan


kepribadian karena dianggap sesuai dengan arah dan tujuan penelitian.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah usaha untuk menemukan,


mengembangkan, dan menguji suatu kebenaran pengetahuan dengan cara-
cara ilmiah. Dalam pengertian yang lebih luas metode dianggap sebagai
cara-cara, strategi untuk memahami realitas, langkah-langkah sistematis
untuk memecahkan rangkaian sebab akibatnya berikutnya. Metode
berfungsi untuk menyederhanakan masalah, sehingga lebih mudah untuk
dipecahkan dan dipahami. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan
Iskandarwassid dan Sunendar (2009: 56) yang menyatakan bahwa metode
lebih bersifat prosedural dan sistemik karena tujuannya untuk
mempermudah pengerjaan suatu pekerjaan. sementara Syamsuddin dan
Damaianti (2006: 14) mengungkapkan bahawa metode penelitian
merupakan cara pemecahan masalah penelitian yang dilaksanakan secara
terencana dan cermat dengan maksud mendapatkan fakta dan simpulan
agar dapat memahami, menjelaskan, meramalkan, dan mengendalikan
keadaan. Metode juga merupakan cara kerja untuk memahami dan
mendalami objek yang menjadi sasaran. Adapun metode yang digunakan
dalam penelitian ini yakni metode Research and Development (R&D).
Sugiyono (2015: 407) menyatakan bahwa penelitian dan
pengembangan adalah metode penelitian yang digunakan untuk
menghasilkan produk tertentu, dan menguji keefektifan produk tersebut.
Ada pun langkah-langkah metode R&D menurut Sugiyono (2015: 409)
yakni meliputi tahap potensi dan masalah, pengumpulan data, desain
produk, validasi desain, revisi desain produk, uji coba produk, revisi
produk, uji coba pemakaian, revisi produk, dan produksi masal.
B. Prosedur Pengembangan

Ada beberapa prosedur pengembangan yang dikemukakan oleh


beberapa ahli. Salah satunya adalah prosedur penelitian pengembangan
yang dikemukakan oleh Sugiyono (2015: 409). Pada penelitian
pengembangan ini mengacu pada prosedur penelitian pengembangan
menurut Sugiyono. Berikut pemaparan langkah-langkah metode R&D
lebih lanjut.

Potensi dan Pengumpulan Desain Validasi

Masalah Data Produk Desain

Uji Coba Revisi Uji Coba Revisi

Pemakaian Produk Produk Desain

Revisi Produksi

Produk Masal

Tahapan langkah pengembagan menurut Sugiyono dimulai dari

(1) Potensi dan Masalah, (2) Pengumpulan Data, (3) Desain Produk, (4)

Validasi Desain, (5) Revisi Desain (6) Ujicoba Produk, (7) Revisi

Produk, (8) Ujicoba Pemakaian, (9) Revisi Produk, (10) Produksi Masal.

Penelitian ini hanya menggunakan 6 langkah pada tahapan

pengembangan sugiyono dikarenakan akan membutuhkan waktu dan

biaya yang lebih apa bila mencapai pada tahap produksi masal dalam

menggunakan 10 langkah dari sugiyono, namun pengembangan buku


cerita anak ini dapat dikembangkan lagi untuk kedepannya. Peneliti

menggunakan 6 langkah antara lain: (1) Potensi dan Masalah, (2)

Pengumpulan Data, (3) Desain Produk, (4) Validasi Desain, (5)

Revisi Desain (6) Uji coba Produk. Hasil final berupa buku pengayaan

cerita rakyat Cirebon sebagai bahan literasi di sekolah yang akan

diuraikan sebagai berikut.

Tahap l Potensi dan  Analisa Kebutuhan siswa


masalah  Potensi: melestarikan cerita rakat dan mendukung
GLS
 Masalah: minimnya bahan bacaan cerita rakyat
Cirebon dan meningkatkan minat baca siswa

 Wawancara
Tahap ll Pengumpulan
 Kuesioner
data  Studi pustaka

 Menentukan gambar terkait cerita rakyat Cirebon


 Membuat draft Cerita
Tahap lll Desain
 Konsultasi & Revisi
produk  Merancang buku cerita rakyat Cirebon

tahap IV Validasi  Validasi Oleh Ahli


desain

Tahap V Revisi desain  Revisi buku cerita rakyat Cirebon


berdasarkan saran para ahli

Tahap VI Uji coba  Uji coba Produk


produk
C. Uji Coba Produk
1. Desain Uji Coba
Uji coba produk sangat penting dilakukan untuk mengetahui kualitas
sumber belajar yang dihasilkan. Oleh karena itu perlu dilakukan uji coba
kepada sasaran produk yang dikembangkan. Sebelum diujicobakan, produk
buku cerita rakyat Cirebon divalidasi terlebih dahulu oleh ahli, kemudian
dilakukan revisi tahap I. Produk yang telah direvisi divalidasi oleh dua Guru
SMA/SMK, kemudian dilaksanakan revisi tahap II. Produk hasil revisi
tahap kedua diujicobakan terhadap 10 siswa kelas X SMK.

2. Subjek Uji Coba


Subjek uji coba produk buku cerita rakyat Cirebon adalah 10 orang
siswa kelas X SMK Assalafiyah Bode. Pemilihan subjek uji coba dilakukan
dengan mempertimbangkan kriteria siswa pandai, sedang, dan kurang.

3. Jenis Data
Sesuai dengan tujuan penelitian pengembangan ini, data yang
dikumpulkan terdiri dari dua macam yaitu:

1. Data mengenai proses pengembangan buku cerita rakyat Cirebon sesuai


dengan prosedur yang telah ditentukan. Data ini berasal dari penilaian dan
masukan ahli dan guru mata pelajaran bahasa Indonesia.

2. Data tentang tanggapan siswa terhadap buku cerita rakyat Cirebon


berdasarkan uji coba penggunaan oleh siswa.

4. Instrumen Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan instrumen pengumpulan data berupa angket


dan wawancara. Angket dan pedoman wawancara ini dibuat sesuai kebutuhan
yang berkaitan dengan ahli materi, ahli media, guru bahasan Indonesia dan
siswa.
5. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif sesuai prosedur


pengembangan yang dilakukan. Langkah-langkah analisis data yang
dilakukan adalah sebagai berikut:

a. Mengubah penilaian dalam bentuk kualitatif menjadi kuantitatif dengan


ketentuan sebagai berikut:

Tabel Pedoman Penilaian Skor


Data kualitatif Skor
SB (Sangat Baik) 5
B (Baik) 4
C (Cukup) 3
K (Kurang) 2
SK (Sangat Kurang) 1
∑x
___
b. Menghitung skor rata-rata menggunakan rumus: X =
N
Keterangan: X = skor rata-rata

∑ = jumlah skor

N = jumlah penilai

c. Mengubah skor rata-rata menjadi nilai kualitatif dengan kriteria penilaian


sebagai berikut:
Tabel Klasifikasi Penilaian Total
Rumus Rata-rata Klasifikasi
Skor
X> ̅ + 1,8 x > 4,2 Sangat Baik
̅ + 0,6 x <X ̅ + 1,8 x > 3,4 – 4,2 Baik
̅ – 0,6 x <X ̅ + 0,6 x > 2,6 – 3,4 Cukup
̅ – 1,8 x <X ̅ - 0,6 x > 1,8 – 2,6 Kurang
X ̅ - 1,8 x 1,8 Sangat Kurang
Sumber: Eko Putro Widoyoko (2009: 238)
Penentuan kriteria

Skor maksimal ideal =5

Skor minimal ideal =1

Skor aktual =X

Rata-rata ideal = Xi

Simpangan Baku Ideal = sbi

Xi= ½ (Skor maksimal ideal + Skor minimal ideal)

= ½ (5+1 )

=3

sbi = ⅙ (Skor maksimal ideal + Skor minimal ideal)

= ⅙ (5-1 )

= 0,67
Dalam penilaian buku pengayaan cerita rakyat Cirebon ini, penilaian

ditentukan dengan nilai minimal B, yaitu kategori baik. Jadi, jika rata-rata

penilaian oleh ahli materi dan ahli media, serta hasil uji produk oleh siswa dan

guru menunjukkan hasil akhir B, maka buku pengayaan cerita rakyat Cirebon

pada penelitian ini dikategorikan layak digunakan sebagai bahan literasi baca

tulis di sekolah.
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Cerita Rakyat

Permasalahan yang ditemui mengenai cerita rakyat yakni kian berkurangnya


kegemaran atau kesadaran generasi muda mengenai cerita rakyat yang selain
mengandung unsur historis tentunya juga mengandung nilai-nilai kebaikan yang
dapat menjadi teladan pembacanya. Berkurangnya minat generasi muda akan
cerita rakyat disebabkan berbagai faktor diantaranya menganggap cerita rakyat
adalah hal kuno yang tidak terlalu menarik untuk diperdalam, generasi muda atau
pelajar khususnya tidak sedikit yang hanya menganggap cukup mengenal cerita
rakyat tanpa harus mendalami dan mempelajari apa yang menjadi isi dan muatan
inti dari sebuah cerita rakyat. Sebab lainnya juga ditemukan bahwa siswa kurang
tertarik mempelajari cerita rakyat diakibatkan kurang familiarnya siswa dengan
unsur kebudayaan atau pun tokoh-tokoh dalam cerita rakyat yang diajarkan. Tentu
hal ini sangat disayangkan apabila cerita rakyat hanya dipandang sebelah mata
dan angin lalu mengingat banyaknya muatan posistif dalam cerita rakyat yakni
antara lain 1) Mengandung nilai historis, yakni dalam sebuah cerita rakyat
terdapat suatu asal peristiwa sejarah, asal mula penamaan tempat, nama-nama
tokoh atau kejadian penting lainnya, 2) Mengandung pesan positif, melalui cerita
rakyat banyak pesan luhur atau keraifan lokal yang bisa didapat, 3) Mengandung
hiburan, cerita rakyat mengandung hiburan karena di masa lalu selain menjadi
sarana menyampaikan pesan-pesan positif cerita rakyat juga dijadikan sarana
hiburan melalui keseruan dan keunikan ceritanya. Oleh karena itu peneliti tertarik
untuk meneliti cerita rakyat Cirebon guna dijadikan sarana literasi bagi siswa.
Peneliti akan menggali sumber data utama dari pihak-pihak yang terkait langsung
dengan cerita rakyat yang terkait seperti juru kunci, tokoh masyarakat, atau pun
pihak terkait lainnya. Selain itu peneliti akan menggali sumber data tambahan
yang bersumber pada bukti-bukti peninggalan, data kepustakaan, dan
sebagainnya.
B. Nilai Kehidupan

Nilai kehidupan merupakan keseluruhan tampilan diri, sikap, kata, perbuatan


manusia sesuai situasi dan kondisi yang dipengaruhi unsur-unsur internal maupun
eksternal dalam sistem suatu masyarakat. Sementara itu, secara umum nilai-nilai
kehidupan cerita rakyat terbagi menjadi enam yakni nilai religi, nilai moral, nilai
sosial, nilai budaya, nilai estetika, dan nilai edukasi. Atas dasar hal tersebut nilai
kehidupan sebagai aspek yang menauingi beberapa nilai lain yang terkandung
dalam cerita rakyat dipilih sebagai objek kajian. Melalaui nilai kehidupan tiap
cerita rakyat yang dijadikan objek penelitian akan dianalisis dan diketahui nilai-
nilai apa saja yang terdapat pada cerita rakyat tersebut yang selanjutnya akan
diolah sebagai bahan literasi untuk siswa. Dalam bidang kajian sastra untuk
menganalisis suatu karya sastra tentu dibutuhkan suatu pendekatan untuk
membedah unsur-unsur atau nilai-nilai apa saja yang terkandung dalam cerita
rakyat yang di analisis. Dalam hal ini peneliti memilih pendekatan pragmatik
sebagai sarana membedah suatu cerita rakyat. Pendekatan pragmatik dipilih
karena sesuai dengan objek kajian peneliti yakni cerita rakyat. Pendekatan
pragmatik sendiri yakni suatu pendekatan karya sastra yang memandang karya
sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca.
Tujuan dalam hal ini bisa berarti muatan positif atau nilai-nilai yang terkandung
dalam suatu cerita rakyat. Melalui pemahaman akan nilai-nilai tersebut tentu akan
menjadi pembelajaran sikap dan budi pekerti yang bai bagi siswa. Hal ini sejalan
dan turut mendukung upaya gerakan literasi sekolah yang diterapkan kementerian
pendidikan dan kebudayaan guna menumbuhkan daya literasis siswa khususnya di
bidang baca tulis dan penumbuhan budi pekerti bagi siswa.
c. Literasi
Literasi merupakan upaya melek huruf atau kesadaran akan pentingnya
informasi dari berbagai sumber, baik cetak, digital, dan sebagainya. Salah satu
upaya pembudayaan literasi yang diupayakan pemerintah yakni melalui gerakan
literasi sekolah. Gerakan literasi sekolah merupakan suatu bentuk literasi baca
tulis yang diterapkan melalui aktivitas membaca yang dilakukan oleh siswa 15
menit sebelum jam pertama kegiatan belajar mengajar dimulai. Salah satu yang
mendasari peneliti ingin meneliti atau menyajikan cerita rakyat cirebon sebagai
bahan literasi baca tulis siswa dikarenakan masih minimnya bahan literasi atau
bahan bacaan mengenai cerita rakyat Cirebon di sekolah. Bahan literasi atau
bahan bacaan yang sudah ada di sekolah masih didominasi dongeng, fabel, dan
cerita rakyat yang telah lazim populer dari daerah tertentu. Untuk itu, peneliti
terdorong untuk menyajikan bahan literasi baca tulis berupa buku pengayaan atau
buku nonteks pelajaran mengenai cerita rakyat Cirebon. Buku pengayaan secara
umum berfungsi untuk mendukung proses pembelajaran pada setiap jenjang
pendidikan dan jenis buku lain yang tersedia di perpustakaan sekolah. Buku
pengayaan sendiri terbagi menjadi tiga yakni, buku pengayaan pengetahuan,
keterampilan, dan kepribadian. Untuk buku pengayaan yang akan peneliti buat
termasuk ke dalam jenis bentuk buku pengayaan pengetahuan karena selain
memuat nilai-nilai luhur dalam cerita rakyat juga turut serta menunjang materi
pendidikan terkait cerita rakyat. Upaya ini dilakukan selain turut mendukung
gerakan literasi sekolah mengenai kegiatan baca tulis dan pembelajaran budi
pekerti, pengadaan buku pengayaan cerita rakyat Cirebon juga turut melestarikan
kebudayaan dan aset-aset kearifan lokal Cirebon yang dikenal sebagai kota yang
kaya akan warisan peninggalan, tradisi, dan budaya.
BAB V
SIMPULAN

Cerita rakyat merupakan suatu warisan budaya bangsa yang mengandung


berbagai nilai positif sudah selayaknya perlu dilestarikan dan mendapat perhatian.
Melalui buku pengayaan cerita rakyat Cirebon peneliti berharap selain
melestariakan kebudayaan Cirebon juga mendukung gerakan literasi sekolah yang
diupayakan pemerintah dalam dunia pendidikan guna meningkatkan minat baca
tulis dan budi pekerti siswa. Manfaat lainnya yakni berupaya mengakrabkan
budaya dan kisah-kisah luhur warisan budaya bangsa serta turut berkontribusi
melestariakan bahan bacaan yang terkait cerita rakyat Cirebon yang masih minim
di kalangan pelajar.
DAFTAR PUSTAKA

Adisusilo, Sutarjo. 2012. Pembelajaran Nilai Karakter Konstruktivisme dan


.............VCT Sebagai Inovasi Pendekatan Pembelajaran Afektif. Jakarta:
.............Rajagrafindo Persada

Ahmadi, Abu. 2004. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta

Ahmadi, Wahid. 2004. Risalah Akhlak: Panduan Perilaku Muslim Modern.


..............Solo: Era Intermedia.

Alberta. (2009). Special Education Branch. Guidelines for Practice:


...............Comprehensive School Guidance & Counselling Programs and
...............Services a Program Development and Validation Checklist. Canada:
...............Alberta Education.

Aminudin. 2014. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru


..............Algensindo.

Asmani, Jamal Ma’mur. 2010. Tips Menjadi Guru Inspiratif, kreatif, dan Inovatif.
Jogjakarta: DIVA Press.

Budiningsih, Asri. 2004. Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Rineka Cipta.

Danandjaja, James. 2007. Folklor Indonesia, Ilmu Gosip, Dongeng, dan Iainlain.
..............Jakarta: Grafiti.

Dharsono, Sony Kartika. 2004. Seni Rupa Moderen. Rekayasa Sains: Bandung

Endraswara, Suwardi. 2010. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka


..............Widyatama.

Esten, Mursal. 2013. Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung:


.............Angkasa Bandung.

Fananie, Zainudin. 2002. Telaah Sastra. Bandung: Gramedia Pustaka Utama


Gunawan, Heri. 2012. Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi.
.............Bandung: Alfabeta.

Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara yang Terlupakan: Pengantar Studi Sastra
.............Lisan. Surabaya: HISKI Jawa Timur.

Ika Lestari. 2013. Pengembangan Bahan Ajar Berbasis Kompetensi. Padang:


..............Akademia Permata.

Kaelan. 2010. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineka Cipta

Mansur Isna. 2001. Diskursus Pendidikan Islam. Yogyakarta: Global Pustaka


...............Utama.

Moleong, Lexy. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya:


...............Bandung.

Muhaimin. 2009. Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma


...................Pengembangan, Manajemen, Kelembagaan, Kurikulum hingga
...................Strategi Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Pres.

Mulyana, Deddy. 2013. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja


...................Rosdakarya.

Nurdin, Syafruddin, 2005. Model Pembelajaran Yang Memperhatikan


............Keragaman Individu Siswa Dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi.
............Ciputat: PT. Ciputat Press

Nurdin. 2009. Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Penyesuaian Sosial


Siswa di Sekolah. Jurnal Administrasi Pendidikan Vol. IX No. 1 April 2009. Hal.
86-108

Nurgiyantoro, Burhan. 2015. Teori Pengkajian Fiksi. Cetakan IX. Yogyakarta:


..............Gajah Mada University Press.
Nursisto. 2010. Penuntun Mengarang. Yogyakarta: Adi Cita Karya Nusa.

Pradopo, Rachmat Djoko. dkk. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta:


..............PT Hanindita Graha Widya.

Pudjiono, Muhamad. 2006. “Analisis Nilai-nilai Religius dalam Cerpen karya


................Mizawa Kenzi”. Medan: USU.

Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
..............Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rusyana, Yus. 1991. Metode Pengajaran Sastra. Bandung: CV. Gunung Larang

Sayuti, Suminto. 2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta: Gama Media.

Semi, Atar. 2012. Dasar-dasar Keterampilan Menulis. Bandung: Angkasa.

Setiawan, Yulianto Budi. Dkk. (2013). Bias Gender Dalam Cerita Rakyat
...............(Analisis Naratif Pada folklore dengan Cerita Rakyat Indonesia
...............Bawang Merah Bawang Putih. Jurnal Komunikasi. Vol.5 No.2.
...............Semarang: Universitas Semarang.

Sisyono dan Suwanto. (2008). “Foklor Jawa di Daerah Aliran Sungai Bengawan
.............Solo dan Sumbangannya terhadap Pelestarian Lingkungan”. Dalam Jurnal
.............Pendidikan UNS: Vol IIXX No.08. Surakarta.

Sjarkawi. 2008. Membentuk Kepribadian Anak “Peran Moral Intelektual,


...............Emosional, dan Sosial Sebagai Wujud Integritas Membangun Jati Diri”.
...............Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Soekanto, Soerjono. 2004. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta:Raja Grafindo


Persada.

Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Suherli, dkk. Buku Siswa Bahasa Indonesia Kurikulum 2013 Revisi 2017. Jakarta:
..............Puskurbuk Kemdikbud
Sutarno. 2006. Perpustakaan dan Masyarakat, Jakarta: CV. Sagung Seto

Syamsuddin dan Damaianti. 2006. Metode Penelitian Pendidikan Bahasa.


..............Bandung: Rosda Karya.

Teeuw. 2013. Sastra dan Ilmu Sastra. Bandung: Pustakajaya.

Tomlinson, Brian. 2011. Materials Development in Language Teaching. United


..............Kingdom: Cambridge University Press.

Wahid, Sugira. 2004. Kapita Selekta Kritik Sastra. Makassar: CV Berkah


............Utama.

Warsito. 2012. Antropologi Budaya. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Wellek dan Warren. 2014. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia

Yaumi, Muhammad. 2013. Prinsip-Prinsip Desain Pembelajaran. Jakarta: Fajar


..............Interpratama Mandiri.

Anda mungkin juga menyukai