Anda di halaman 1dari 7

TUGAS AKHIR SEMESTER MASYARAKAT NTT DALAM PERUBAHAN

“DINAMIKA CENDANA ANTARA MASYARAKAT DENGAN PEMERINTAH DAERAH”

OLEH :

TUKUH TAKDIR S

18/434396/PSA/08373

PROGRAM STUDI PASCASARJANA ANTROPOLOGI

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS GADJAH MADA

2018
1. Pembahasan

Pohon cendana (santalum album L) atau dalam istilah asing sandalwood merupakan
tumbuhan yang diyakini berasal dari Indonesia tepatnya di pulau Sumba dan Timor, Nusa Tenggara
Timur (NTT). Di Indonesia, pohon cendana termasuk salah satu tanaman yang dilindungi, karena
keberadaannya yang langka dan hampir punah. Pohon cendana terkenal akan baunya yang wangi,
sangat bermanfaat bagi kesehatan, dan bernilai tinggi sehingga menjadi daya tarik utama bangsa
Eropa dan orang-orang Cina ketika datang ke Indonesia. Selama berabad-abad, hasil menarik para
pedagang ke wilayah Timor adalah kayu cendana putih (Fox, 1996). Meskipun begitu, pulau Sumba,
yang oleh ahli peta Eropa disebut-sebut “sandalwood Island” sesungguhnya tidak banyak
menghasilkan kayu cendana dan tidak pernah menarik para pedagang seperti pulau Timor (Fox,
1996). Jadi dapat dibandingkan, bahwa kualitas pohon cendana di Timor dengan di Sumba sangat
berbeda, sebab cendana sendiri termasuk kayu yang mewah, dan harus berkualitas ketika
diperdagangkan. Menurut sejarahnya, Cina merupakan negara utama yang membeli kayu cendana,
dibuktikan dengan catatan dari dinasti Yuan, pada abad ke-12 dan ke-13 (Meilink-Roelofsz, 1962,
Rowland 1992). Digambarkan dengan jelas bahwa gunung-gunung di pulau Timor seperti ditutupi
oleh pohon-pohon cendana dan daerah ini tidak menghasilkan kayu lain, selain kayu cendana. Potensi
cendana di wilayah tersebut merupakan realitas ekologi, sosial, dan ekonomi yang terus berproses,
serta berdinamika, berpeluang besar terhadap kebijakan dan perdagangan cendana.

Secara ekologinya, cendana dapat tumbuh dari daerah tepi laut hingga daerah pegunungan
pada ketinggian 1.500 m di atas permukaan laut (dpl), dengan curah hujan antara 500-3.000 mm per
tahun. Kondisi paling optimal agar cendana tumbuh lebih baik, adalah pada ketinggian antara 600-
1.000 m di atas permukaan laut dengan curah hujan antara 600-1.600 mm per tahun, dengan catatan
bulan kering yang panjang antara 9-10 bulan. Rupanya, cendana yang tumbuh di daerah dengan curah
hujan tinggi tidak menghasilkan kayu berkualitas bagus walaupun secara vegetatif tumbuhnya
memuaskan. Suhu udara yang cocok mendukung pertumbuhan cendana adalah anatara 10-35 C. Tentu
saja ekologi tersebut juga cocok dengan iklim ekstrim yang dimiliki oleh wilayah seluruh NTT. Pada
tingkatan tertentu, cendana sangat peka terhadap suhu tinggi dan kekeringan, sehingga tanaman ini
membutuhkan naungan sekitar 40-50%. Sesuai dengan lingkungan yang dibutuhkannya, maka secara
alami semai cendana dapat ditemukan di bawah lantai hutan ampupu, hue, atau kabesak . Kondisi
tanah yang baik bagi pertumbuhan cendana umumnya adalah tanah berair, atau berdrainase baik,
bertekstur lempung (clay), berbahan induk atau gamping, batu pasir gampingan, batu lanau maupun
vulkanik basa dan tanah yang dangkal. Namun, pada tanah dangkal, berbatu-batu dan kurang subur,
cendana dapat tumbuh dan menghasilkan kayu dengan kualitas terbaik (Riswan, 2000).

Pohon cendana ini ternyata bermacam-macam jenisnya, dan cendana tidak bisa tumbuh
sendirian. Artinya cendana ini bersifat semi parasite, karena mengambil unsur hara dari tanaman
inangnya. Selain berhabitat asli di Nusta tenggara Timur, cendana pernah dikembangkan di lokasi luar
Nusa Tenggara Timur, seperti di Kediri pada tahun 1982, Malang, Gunung Kidul, Ngawi, Bromo,
Karanganyar, Imogiri dan Jember. Tidak sedikit penanaman yang dilakukan ditempat lain beerhasil
seutuhnya. Faktor-faktor yang menyebaban populasi cendana di hutan alam atau lahan petani
penurunan karena faktor, kebakaran hutan akibat system pertanian tradisional tebas-bakar untuk
membuka lading, harga oasaran cendana yang ditetapkan pemerintah masih tergolong rendah padahal
cendana sendiri bernilai sangat tinggi, penggalian akar cendana dilakukan karena kandungan akar
cendana memiliki minyak berlimpah, kegiatan eksploitasi tanpa diimbangi dengan penanaman
kembali sudah tentu menjadi alas an utama, kebijakan pemerintah yang tidak memikirkan masyarakat,
pertumbuhan cendana yang lambat, karena cendana membutuhkan sekitar 30-50 tahun agar panennya
sangat bagus, dan terakhir pandangan masyarakat terhadap pengembanan cendana, karena
keterbatasan pengetahaun dan fasilitas yang ada membuat masyarakat tidak begitu mengerti
bagaimana melakukan budidaya cendana.

Tanaman cendana merupakan salah satu komoditi utama perekonomian Indonesia yang dari
waktu ke waktu mengalami penurunan populasi akibat tidak adanya keseimbangan antara
pemanfaatan dan pelestarian. Musakabe menyebutkan bahwa tanaman cendana di pulau Sumba telah
punah, sedangkan di pulau Timor nasib cendana mungkin akan serupa apabila tidak ada upaya konkrit
untuk melakukan penyelamatan. Waktu itu pernah dilalukannya upaya penyelamatan pohoh cendana,
namun itu pun hanya skala kecil. Demi masa depan Nusa Tenggara Timur dan demi masa depan
kelangsungan hidup pohon cendana, budidaya cendana harus disukseskan bukan untuk digagalkan
oleh pihak-pihak tertentu. Perlu adanya perencanaan dan pelaksanaan yang baik dan campur tangan
masyarakat pemilik lahan, bukan dari aturan-aturan pemerintah daerah. Justru aturan-aturan yang
dikeluarkan oleh pemerintah daerah secara sepihak membuat budidaya cendana menurun drastis.
Pemerintah daerah tidak melibatkan orang-orang dikalangan akademisi, dan masyarakat.

Cendana memang dikenal dengan nilai ekonominya yang tinggi dan dapat memberikan
sumbangan terbesar terhadap pendapatan asli daerah, namun karena nilai ekonominya yang tinggi,
maka kepemilikan dan perdagangannya diatur dalam peraturan daerah. Peraturan daerah tersebut
nyatanya dianggap sangat merugikan dan memberatkan masyarakat setempat, sehingga masyarakat
enggan untuk menanamnya kembali, maupun memelihara anakan dari cendana di lahan mereka
masing-masing. Pernah suatu ketika dalam masa satu abad setelah kedatangan pedagang Portugis
yang pertama, hasil kayu cendana sangat berkurang, bahkan pada waktu itu masyarakat tidak pernah
sama sekali menggunakan pohon cendana, artinya pohon cendana ini selalu dieksploitasi oleh
pedagang-pedagang asing. Dilaporkan, NTT benar-benar kehilangan semua pohon cendananya, baik
itu penduduk di bagian pegunungan atau pesisir pantai Sumba yang mengingkari. Sampai saat ini,
kondisi cendana, baik secara habitat alam maupun hasil tanaman telah mengalami banyak perubahan
yang sangat signifikan, hingga membuat kemerosotan populasi karena memang sejak zaman dahulu
terlalu dieksploitasi secara serampangan. Maka dari itu, cendana ini disebut sebagai status vulnerable.
Karena regulai pengelolaan cendana yang tidak berlandaskan keadilan sejak sebelum penjajahan,
zaman portugis dan zaman pemerintahan Hindia Belanda, serta zaman orde lama dan orde baru
berorientasi pada eksploitasi (Rahayu, et.al, 2002), dan dimanfaatkan sebagai alat kontrol negara
terhadap masyarakat (Mcwilliam, 2005).

Paling parah ketika penguasaan cendana di lahan rakyat oleh negara (Pemda), terutama zaman
orde baru (orba) merupakan zaman krusial bagi populasi cendana karena, pertama tindakan eksploitasi
dilakukan secara massive, menyebabkan cendana dalam kategori hampir punah dan kedua, intervensi
penguasa mengabaikan kepentingan dalam eksistensi masyarakat dan kepemilikannya terhadap
cendana serta menggunakan instrumen kebijakan sebagai alat kontrol dalam melakukan penaklukan
sosial untuk menguasai cendana milik rakyat. Dua faktor tersebut menjadi benih-benih ketidakpuasan
dan trauma masyarakat, sehingga secara kolektif melahirkan trio-setigma yang menempatkan cendana
sebagai hau plenat (kayu pembawa perkara), hau nitu (kayu setan), dam hau lassi (kayu yang dikuasai
pemerintah). Implikasi trio-stigma tersebut adalah aksi kolektif untuk melawan penguasa melalui
tindakan pemusnahan permudaan alam cendana pada lahan milik rakyat (Sadono R, Irham, Marsono
D, Njurumana NG, 2013). Untuk itu perlu adanya pembaharuan dan penelitian terbaru terkait dengan
pertumbuhan pohon cendana. Cendana sebagai aset yang sangat Vital bagi provinsi Nusa Tenggara
Timur harus dikelola dan ditangani secara serius, sehingga keberadaan cendana sebagai salah satu
sumber pendapatan asli daerah akan dapat dilestarikan, agar tidak membeku menjadi sebuah
peninggalan bersejarah.

Dari kondisi cendana dengan status vulnerable tersebut, perlu adanya strategi baru yang dapat
mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam pengelolaan cendana dari state based management ke
community based management. Artinya disini ada perpindahan tangan dari pemerintah ke masyarakat
(komunitas), yang implikasinya adalah mencabut segala peraturan daerah yang menjadi sumber
konflik pemerintah-masyarakat, dan mengembalikan pengelolaan cendana kepada msyarakat melaui
peraturan daerah di setiap kabupaten. Salah satu peluang yang akurat untuk menyelamatkan populasi
cendana adalah peran serta masyarakat dalam memeliharanya. Pekarangan, kawasan hutan rakyat, dan
hutan keluarga atau dalam istilah masyarakat dikenal sebagai sistem kaliwu memiliki persebaran
cukup luas, pengelolaan menetap, dan berkelanjutan, serta berbagai jenis tanaman yang bermanfaat
seperti cendana yang telah terdomestikasi dari tumbuhan liar ke dalam lingkungan budidaya.
Kewenangan mutlak sebagai hak pemilik cendana, membuat kesempatan masyarakat di NTT untuk
menanam cendana di lahanya masing-masing. Di Sumba dan Timor, cendana merupakan salah satu
sumberdaya penting yang memiliki nilai sejarah, nilai ekonomi, dan nilai ekologis. Sejarah
pelestariannya tentu saja tidak terlepas dari adaptasi dan proses ekologis masyarakat dalam
memanfaatkan ruang hidup dan nilai manfaat dari cendana (Sadono R, Irham, Marsono D, Njurumana
NG, 2013).

Analisis terhadap faktor internal dan eksternal dalam pengembangan cendana pada system
kaliwu menunjukan bahwa strategi terbaik untuk saat ini adalah strategi agresif berupa peduserasi
kekuatan eksternal dan internal untuk bersinergi dan saling melengkapi dalam mendukng akselerasi
pengembanan cendana berbasis masyarakat. Pengembangan cendana harus dimulai dari menumbuhk-
kembangkan potensi yang sudah tersedia saat ini pada system kaliwu sebagai basis utama penerapan
startegi agresif untuk pelestarian dan pengembangnnya di lahan masyarakat dalam skala yang lebih
luas.

Setelah saya mencari-cari informasi mengenai cendana ini, akhirnya saya menemukan master
plan milik pemerintah daerah Nusa Tenggara Timur, yang isinya memuat beberapa poin penting
teutama menggantikan kibajakan lama dengan kebijakan baru agar mencapai kondisi yang
diharapkan. Paling utama dalam melakukan budidaya cendana adalah perbaikan regulasi pengeloaan,
kemudian disusul dengan perbaikan kondisi sosial-ekonomi masyarakat, terakhir pelestarian dan
peningkatan populasi cendana. Ketiga poin penting ini seharusnya menjadi tolak ukur bagaimana
masa depan dari masyarakat terkait dengan budidaya cendana. Secara singkat akan saya jelaskan
mengenai regulai-regulasinya, yaitu:

➢ pemerintah daerah akhirnya memberikan kuasa penuh dalam pengelolaan cendana kepada
masyarakat.
➢ Sosialisai berkelanjutan dan berjenjang
➢ Tersedianya IPTEK tentang bagaimana cara pengeloaan cendana
➢ Dibentuknya mekanisme pasar cendana melalui forum komunikasi cendana
➢ Terbinanya harmonisasi hubungan kerja antara masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah yang
dilandasi oleh semangat kepercayaan, kebersamaan, dan keadilan

Kemudian dari sisi perbaikan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat :

➢ Bangkitnya kembali kesadaran, semangat, dan partisipasi aktif masyarakat dan dunia usaha
dalam kegiatan budidaya cendana
➢ Terbangunnya lembaga pengelolaan cendana yang mantap dan transparan
➢ Terselengaranya kegiatan budidaya di berbagai tempat baik di lahan masyarakat, ladang,
tegalan, dan lahan komunal
➢ Terwujudnya perbaikan kesejahteraan masyarakat dan makin meingkatnya kontribusi cendana
terhadap PAD

Terakhir dari pelestarian dan peningkatan populasi cendana

➢ Struktur rapi data base dan updating potensi dan persebaran cendana tiap lima tahun sekali
➢ Diperolehnya model pengeloaan cendana berbasi masyarakat
➢ Plot konservasi cendana in situ di sembilan kabupaten
➢ Terbangunnya demplot budidaya intensif cendana
➢ Terselenggaranya monitoring dan evaluasi plot-plot konservasi

Semua kebijakan-kebijakan yang baru tersebut adalah upaya analisis dari kebijakan sebelumnya.
Karena memang kebijakan-kebijakan yang dahulu sangat-sangat memberatkan dari berbagai aspek.
Untuk itu benar sekali apabila pemerintah dan masyarakt harus paham dengan kondisi yang mereka
alami. Adapun faktor-faktor yang dapat mengancam budidaya cendana. Meskpun sudah terjalin
hubungan yang baik antara pemerintah dengan masyarakat, tetapi pasti akan ada selalu masalah-
masalah yang datang silih berganti. Maka pemerintah dan masyarakat perlu mengerti faktor kekuatan
(srength), kelemahan (weakness), ancaman (threats), dan peluang (opportunities). Faktor-faktor
tersebut adalah gambaran dari kondisi di Nusa Tenggara Timur, dan faktor tersebut adalah hasil
analsis. Analisis ini datang dari melihat berbagai aspek seperti potensi, iklim, kebutuhan, dan sumber
daya manusia. Disinyalir memang aspek-aspek tersebut dapat mengganggu jalannya budidaya
cendana.

Sebagai penguat informasi dalam staretgi pelestarian cendana, yaitu dilakukannya konservasi
besar-besaran baik itu secara in situ maupun ex situ agar tidak menjadi kepunahan sehinga seumber-
sumber gen yangada tetap terpelihara dan dapat dimanfaatkan. Dalam konservasinya diperlukan tiga
aspek penting pertama, perlindungan habitat asli, kedua, pelestarian keanekaragaman hayati dan
ketiga, pemanfaatan yang lestari. Sebagai budidaya intensif cendana, keamanan sangat dibutuhkan di
sini, karena ancaman kebakaran, dan gangguan ternak. Sehingga dari soal tersebut perlu
diterapkannya konsep-konsep silvikultur intensif. Hal ini berkaitan dengan IPTEK, dan ini sudah
dilakukan beberapa kali dan berhasil baik, hasilnya cukup signifikan. IPTEK juga perlu
dikembangkan agar menjadi alat belajar masyarakat dan tepat guna.

2. Refleksi

Selain menjadi prima dona, pohon cendana juga memiliki dinamika yang rumit. Rumit dalam
artian pohon cendana ini mau dibawa kemana. Dalam refleksi saya kali ini, pertama-tama saya akan
menganalisis bagaimana pada zaman dahulu cendana selalu dimainkan oleh pihak-pihak tertentu,
selain dari pihan masyarakat. Saya berhasil pahami bahwa, pada waktu itu masyarakat belum sadar
memiliki kekuatan (strength), dan masih berputar-putar didalam kelemahannya (weakness). Terbukti
dengan masyarakat Nusa Tenggara timur tidak pernah menyentuh pohon tersebut, sejak zaman
kolonial selalu saja para pedagang asing yang berkuasa, begitu juga sejak lewat masa kolonial,
berganti pemerintah yang mengambil alih. Disini berarti sudah terjadi penaklukan yang sangat jelas
terhadap masyarakat Nusa Tenggara Timur. Tidak perlu dipungkiri lagi bahwa pemerintah dengan
sengaja mematikan nilai-nilai, sejarah, dan ekologi masyarakat. Lewat regulasi-regulasi sepihak yang
mereka keluarkan, terlihat ide-ide penaklukannya. Dan saya kira ide-ide penaklukan ini tidak hanya
terjadi di konteks Nusa Tenggara Timur dan pohon cendana saja, tetapi di tempat-tempat lain seperti
wilayah yang memiliki potensi yang bermutu tinggi justru menjadi ladang yang sangat basah untuk
ditaklukan.

Sebenarnya cukup mudah untuk melakukan penakkulan, menurut saya yaitu melihat
kelemahan yang sangat besar dalam satu wilayah. Kembali ke konteks cendana, saya pikir pemerintah
terlalu ingin memonopoli dari hasil pohon cendana, karena memang nilai jualnya begitu tinggi.
Namun caranya dengan mengeluarkan regulasi-regulai yang seperti itu justru membuat pohon
cendana ini punah. Untungnya pemerintah cukup sadar, dan masyarakat juga terus melakukan upaya-
upaya konkrit sehingga muncul regulasi-regulasi baru yang melibatkan para akademisi, pihak-pihak
swasta, dan masyarakat. Dan ini menurut saya langkah yang tepat, ketika melibatkan ketiga elemen
tersebut, karena pemerintah yang baik itu adalah pemerintah yang mendengar apa yang orang-orang
dibawahnya katakan. Sehingga terbukunya masterplan mengenai budidaya cendana tesebut adalah
demi masa depan masyarakat Nusa Tenggara Timur. Analisis kebijakan dan stategi dalam budidaya
cendana sangat diperlukan, seperti benang merah yang kusut persoalan-persoalan tentang cendana di
Nusa Tenggara Timur selalu dikaitkan dengan kekeliruan kebijakan pemerintah dan dibalas dengan
apatisme masyarakat.

Menurut saya, untuk merehabilitasi dan mulai mengilangkan kata punah dari pohon cendana
membutuhkan proses yang sangat lama. Ditambah dengan iklim ekstrim di NusaTenggara Timur.
Menanam pohon tidak secepat menanam jagung. Jumlah air yang diperlukan dan cahaya matahari
sangat diperhitungkan. Menanam pohon cendana tidak bisa sembarangan dan asal-asalan. Dari awal
seharusnya sudah paham bagaimana mengimbangi antara kemanfaatan dengan pertumbuhan
berkelanjutan. Jika sudah dipahami tentu tidak akan seperti ini. Disini peran antropologi seharusnya
bekerja, karena antropologi merupakan “cara melihat” berbagai macam masalah-masalah terkait
dengan akulturasi, identitas, tradisi, dan lain-lain. Sebagai antropolog, harus paham situasi yang ada
dan dari situasi tersebut antropolog harus belajar bagaimana menyelesaikan masalahnya tidak hanya
melihat tanpa memberikan support nyata.

Masalah dalam pohoon cendana ini menurut saya dari kacamata antropologi yaitu, bagaimana
meneropong hubungan sosial antara pemerintah dengan masyarakat Nusa Tenggara Timur. Karena
memang asal muasal konflik yang terjadi dari pohon cendana itu dari kedua elemen tersebut. Berbagai
penelitian dan buku sudah sangat jelas membahas tentang itu namun masih saja kurang dukungan.
Masyarakat diluar Nusa Tenggara Timur membutuhkan uluran tangan dari pihak-pihak luar, yaitu kita
para akademisi khususnya bidang antropologi. Tentu aja antropolog ini juga jangan mengambil posisi
yang menguntungkan apalagi memihak salah sataunya. Lebih baik antropolog bekerja sebagaimana
mestinya demi mengambil jalan tengah walaupun memang pada kasusnya masyarakat yang lebih
diberatkan oleh pemerintah.

Sebagai antropolog hanya melahirkan sebuah karya etnografi rasanya sangat kurang menarik
dan belum tentu masalah yang ditelit tersebut benar-benar terselesaikan atau memunculkan solusi
yang mantap. Pada kasus cendana ini tentu antara pemerintah dengan masyarakat adat sempat
bersebrangan. Yang bisa menjebatani hanyalah antropolog. Isu-isu sosial budaya kerap melahirkan
sebuah isu lagi kemudian bisa saja tentang agama lokal, dan hubungannya dengan organisasi-
organisasi illegal. Antropolog harus berhati-hati dalam mengambil tindakan. Seperti kata pepatah
“jika ingin menjadi seorang raksasa, pertama-tama harus berada dipundak seorang raksasa terlebih
dahulu”. Maksud dari pepatah tersebut adalah kita sebagai manusia harus belajar dari orang lain,
situasi, dan kemunginan-kemungkinan yang akan terjadi.

Jumlah kata : 2536

Daftar Pustaka

Fox, James. 1996. Panen Lontar

Mcwilliam, A. 2005. Haumeni, not many: Renewed Plunder and Mismanagement in the Timorese
sandalwood industry. Modern asian studies, 39

Meilink-oelofsz, M.A.P. 1962. Asian Trade and Europan Influence in the Indonesian Archipilago
betwenn 1500 and about 1630. The hague, martinus Nijhoff

Rahayu, S. A.H Wawo. M.V. Noordwijk dan K. Hairiah. 2002. Cendana, deregulasi dan strategi
pengemabangnanya

Rowland I, 1992. Timor: Including Islands of Roti and Ndao. World bibliographica series V, 142.
Clio, Oxford.

Anda mungkin juga menyukai