Anda di halaman 1dari 4

TUGAS AKHIR SEMESTER PENGANTAR ANTROPOLOGI

ANTROPOLOGI SEBAGAI “CARA MELIHAT”

KONTEKS FESTIVAL SIMPOSIUM SUMBA

OLEH :
TUKUH TAKDIR S
18/434396/PSA/08373

PROGRAM STUDI PASCASRAJANA ANTROPOLOGI


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2018
A. Pembahasan

Ketika ditanya tentang apa itu antropologi, banyak sekali definisi yang menjelaskan mengenai
antropologi. Ada yang mengatakan antropologi merupakan ilmu tentang kajian manusia, ada juga
yang berpendapat antropologi adalah ilmu tentang kebudayaan. Semua itu benar, antropologi memang
mengkaji manusia dan kebudayaannya. Tetapi, tidak sesederhana itu, antropologi itu ilmu yang sangat
dalam, tidak jauh berbeda dengan filsafat. Saya lebih setuju dengan pendapat Prof laksono, bahwa
antropologi adalah “cara melihat”. Dari pendapat itulah kemudian saya membangun pikiran saya
bahwa antropologi “cara melihat” itu adalah melihat semua isu-isu atau masalah-masalah yang
berkaitan dengan identitas kebudayaan. Antropologi tidak hanya sekedar melihat saja tetapi juga
bertindak. Setelah berhasil melihat isu-isu terkait dengan identitas lalu sebagai antropolog harus
berani terjun untuk terlibat dan menyelesaikan meskipun perlu proses yang lama.

Pada konteks sumba atau lebih tepatnya dalam festival simposium sumba yang diadakan
bulan lalu, saya melihat antropologi sangat berperan penting di dalam maupun di luar acara tersebut.
Karena antropologi memang bergerak dibidang kajian yang seperti itu. Seakan-akan ingin membuat
wadah bagi semua kalangan seperti mahasiswa, akademisi, lembaga-lembaga, pemerintah dan
sebagainya untuk berdiskusi tentang masalah-masalah atau isu-isu yang sedang terjadi di Sumba.
Uniknya, saya juga berhasil menemukan maksud dan tujuan tiap-tiap orang yang hadir pada acara
tersebut.

Dari sekian banyak pembahasan di tiap-tiap panel yang menarik buat saya hanyalah tiga
materi. Materi tersebut mengangkat masalah pendidikan, masalah pangan, dan masalah air. Ketiga
masalah tersebut sangatlah vital bagi kemajuan Sumba, khsusnya masalah pendidikan yang
disampaikan oleh panelis Prof. Supama dosen dari fakultas Mipa UGM yang menjelaskan terkait
peningkatan kualitas pendidikan di Sumba melalui pendidikan Guru. Beliau menjelaskan latar
belakang masalah yang menurut saya cukup mengenai target dan ini tidak terjadi di Sumba saja,
ditempat-tempat lain masalah ini juga masih menjadi masalah pendidikan nasional di Indonesia, yaitu :

1. Kemajuan suatu daerah/negara berbanding lurus dengan kualitas pendidikan warganya

2. Latar belakang pendidikan guru kebanyakan tidak sesuai yang diajarkan

3. Bahan ajar atau materi sulit untuk diperoleh

4. Minimnya akses internet

5. Program pejabat dan pesona prestasi semu

6. Hasil belajar siswa di bawah rata-rata


7. Siswa sulit berkompetisi secara nasional, terutama ketika masuk PTN atau PT yang diunggulkan

Dari ketujuh poin tersebut bisa kita pahami dengan mata telanjang kita bahwa kondisi
pendidikan di daerah Sumbah benar-benar sangat genting, dan perlu adanya bantuan dari pihak-pihak
lain. Dari cara melihat antropologi, antropologi ingin membawa masalah ini ke skala nasional, tidak
hanya dalam konteks pendidikan Sumba tetapi juga konteks pendidikan nasional. Pendidikan di
Indonesia khususnya pendidikan dasar masih belum merata dari gurunya hingga murid-muridnya.
Karena semua warga negara di Indonesia berhak untuk mendapatkan pendidikan yang merata, dan
berhak untuk ikut bersaing demi masa depan bangsa.Menurut saya pribadi, pendidikan di Indonesia
bagian timur sangatlah berbeda jauh dengan kita yang hidup di Indonesia bagian barat. Saya
mengalaminya ketika mengikuti kegiatan KKN di Maluku yang diselenggarakan UGM, waktu itu
saya mencoba untuk mengajar anak-anak SD, dan begitu kagetnya saya melihat kondisi pola pikir
seorang guru dan bagaimana kapasitas pendidikan para murid-muridnya. Jadi, memang masalah
pendidikan di Indonesia ini masih belum mencapai target. Materi yang dibawa oleh Prof Supama saya
pikir benar-benar strategis dengan melihat kondisi pendidikan di Sumba.

Masalah yang kedua yaitu masalah pangan dan pakan yang dijelaskan oleh Dr. Wisma
Nugraha, dengan judul mengenang cerita tentang pangan dan pakan di Kodi. Menarik untuk disimak
materi yang dibawakan, karena menjelaskan dengan cerita-cerita sejarah. Di sini Dr. Wisma
menggunakan pandanganya ia sendiri dengan gaya bercerita atas dasar kondisi yang terjadi di Kodi.
Dan pembahasannya menurut saya bisa dibilang sangat etnografi karena sumber data yang lengkap
dan jelas, ada pendapat dari beberapa tokoh. Pembahasan ini memang pembahasan antropologi, dan
bisa diambil sebagai contoh bagi antropolog-antropolog lainnya. Teringat saya dengan pendapat Prof
Irwan, yaitu untuk menjadi seorang raksasa kita perlu berada dipundak raksasa terlebih dahulu,
artinya sebagai seorang peneliti atau antropolog, kita harus bisa melihat dan belajar dari antropolog-
antropolog lainnya.

Masalah yang terakhir yaitu tentang air bersih. Dengan judul pengalaman memasang fasilitas
air bersih berbasis masyarakat, oleh Laura. Sebelum menjelaskan, disini saya ingin berkomentar
bahwa sebenarnya sebagai antropolog itu memang selalu berbicara mengenai pengalaman-
pengalaman yang dialaminya. Karena itulah kemudian saya yang dari fakultas filsafat pindah haluan
ke antropologi karena di antropologi berbicara banyak mengenai pengalamannnya di lapangan. Semua
apa yang dilihatnya dan diperolehnya dituangkan dalam sebuah karya yaitu etnografi. Menyambung
ke masalah air bersih, mengapa di NTT air bersih sulit dijangkau, dan begitu sulit untuk melakukan
proses pembangunannya, karena pertama iklim NTT yang ekstrim (kemaru dan curah hujan rendah)
dan dipengaruhi oleh iklim Australia, dengan begini sangatlah jelas mengapa daerah di NTT sangat
kesulitan mendapatkan air bersih.
Air bersih ini sangat vital bagi keberlangsungat hidup masyarakat NTT, terutama dibidang
pertanian, peternakan, dan kegiatan ekonomi masyarakat. Ketika berbicara masalah air bersih ini
seperti berbicara layaknya kisah 1001 malam, ujar Laura, tidak ada habisnya, dan itu memang benar.
Dengan kondisi iklim dan ekologi yang seperti itu air bersih seolah menjadi kebutuhan utama. Lalu
bagimana solusi yang diberikan? Disini lagi-lagi antropolog ikut terlibat dalam memecahkan masalah.
Yaitu dengan membuat bak penampungan air hujan. Sistem yang dipilih juga relatif aman dan
terkesan merakyat, karena mengunakan sistem berbasi masyarakat. Cara ini menurut saya sangat tepat,
sebab daripada tetap terlalu terpaku dengan state based management, lebih baik dan efisien beralih ke
community based management. Masyarakat perlu ikut terlibat aktif, dan juga masyarakat di NTT kuat
akan gotong royongnya.

Itulah gambaran singkat mengenai masalah-masalah yang saat ini masih berputar-putar di
benak masyarakat NTT. Di dalamnya juga ternyata peran antropolgi sangat lah penting. Tetapi yang
perlu diingat dan ditekankan adalah bagaimana antropologi melihat suatu masalah dan mencoba untuk
menyelesaikannya. Kembali lagi pernyataan saya sebelumnya di review mengenai simposium sumba
bahwa, peran antropologi yaitu memetakan masalah-masalah atau isu yang ada. Dari situlah kemudian
antropologi dapat menganalisis lebih lanjut isu-isu tersebut untuk menjadi bahan penelitian dan
diskusi. Antropologi ilmu yang sederhana tetapi pintar dalam menemukan segala bentuk masalah
yang ada pada masyarakat dan budaya, bentuk konkritnya yaitu meresiliensi serta membuat kegiatan
simposium ini. Kemudian yang saya ambil dari pendapat Mas Argo adalah antropologi ini dapat
menjadi peneropong dalam melihat bentuk-bentuk ide penaklukan yang ada.

B. Kesimpulan

Intinya antropologi adalah bagaimana cara melihat dunia dalam berbagai masalah-masalah
yang ada. Antropologi memiliki kajian-kajian kekinian yang aktual, dapat diitemukan di kehidupan
manusia. Tiap-tiap antropolog memiliki pandangan-pandanganya sendiri-sendiri dalam melihat suatu
masalah, tetapi tetap mereka memiliki tujan yang sama yaitu bagaimana cara menyelesaikan masalah
tersebut. Antropologi tidak hanya selalu sebagai pengumpul semua masalah terkait kebudayaan atau
identitas, tetapi juga membuka wadah bagi semua orang yang ingin terlibat dan memahami apa saja
masalah-masalah yang menjadi isu penting di setiap daerah. Festival sumba kemarin memunculkan
berbagai isu-isu, dan mencoba merangkul tradisi budaya dari NTT yang mulai luntur dimakan zaman.
Agar tradisis tersebut bisa sangat eksis tidak membeku oleh isu-isu aktual yang tidak terselesaikan.
Untuk saat ini tugas antropolgi yaitu harus bisa menyelesaikan krisis kebudayaan terakit identitas, dan
akulturasi.

Anda mungkin juga menyukai