Anda di halaman 1dari 16

LANDASAN ANTROPOLOGI PENDIDIKAN

MAKALAH

disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Kajian Pedagogik


Dosen Pengampu: Dr. Parsaoran Siahaan, M.Pd.

Disusun oleh:
Dwi Ayu Lestari 2105626
Fatah Kurniawan 2105539
Haura Fauziyyah Halilah 2105150
Nurul Naasyithotul Jannah 2105187

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN FISIKA


FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami hadiratkan kepada Allah SWT selaku Tuhan Yang Maha
Esa karena berkat rahmat dan hidayah-Nya kami selaku penulis bisa
menyelesaikan makalah yang berjudul ‘Landasan Antropologi Pendidikan’ untuk
memenuhi tugas Kajian Pedagogik.
Tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Parsaoran Siahaan,
M.Pd. selaku Dosen Pengampu yang telah membantu, membimbing, serta
mengarahkan penulis dalam mengerjakan makalah ini. Kami juga menghaturkan
terima kasih kepada teman-teman yang telah berkontribusi dengan cara
memberikan masukan atau sebagai kawan diskusi dalam pembuatan makalah ini.
Selain untuk memenuhi tugas yang diberikan, makalah ini dapat
memberikan informasi terkait pengetahuan tentang landasan antropologi
pendidikan yang akan sangat berguna bagi para insan akademisi terutama
pengajar. Tentu saja, kami menyadari terdapat beberapa kekurangan pada makalah
ini. Oleh sebab itu, kritik dan saran senantiasa diharapkan demi perbaikan karya
penulis.

Bandung, 24 Februari 2022


Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Antropologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata “antrophos”
berarti manusia, dan “logos” berarti ilmu. Menurut (Koentjaraningrat, 2000)
antropologi merupakan ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya
dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan
yang dihasilkan. Antropologi juga diartikan oleh (Havilland, 1985) sebagai
studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat
tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang
lengkap tentang keanekaragaman manusia. Berdasarkan pengertian-
pengertian di atas, antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk
biologis dan juga makhluk yang berbudaya. Antropologi menelaah manusia
secara utuh, yaitu tentang sifat-sifat ragawi manusia dan nilainilai
kemanusiaan yang membuat pergaulan hidup manusia sebagai kelompok
masyarakat. Antropologi juga merupakan studi ilmiah dan humanistik tentang
spesies manusia.Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis
sekaligus makhluk sosial. Objek utama kajian antropologi adalah
kebudayaan. Kebudayaan adalah hal-hal yang berhubungan dengan akal, atau
kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa, dan karsa.
Kebudayaan tidak dibawa manusia sejak kelahirannya. Secara faktual,
dan sebagaimana tersurat dalam definisi yang dikemukakan Koentjaraningrat,
kebudayaan dapat menjadi milik diri manusia sehingga menjadi
karakteristiknya yang esensial dibanding dengan hewan hanyalah melalui
belajar. Di pihak lain, bahwa kebudayaan sebagai keseluruhan sedikit banyak
merupakan himpunan dari pola-pola budaya yang diperlukan dalam rangka
mempertahankan eksistensi suatu masyarakat (Wahyudin Dinn, 2008: 2. 28).
Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia juga diciptakan sesuai
kodratnya sebagai makhluk hidup yang diberikan berbagai potensi oleh sang
pencipta. Namun apalah gunanya potensi yang dimiliki jika hanya dijadikan
sebagi pajangan saja, hal yang semestinya dilakukan adalah menggunakan
potensi tersebut semaksimal mungkin untuk bekal dalam menjalani
kehidupan. Dalam proses untuk memaksimalkan potensi tentunya dibutuhkan
seorang pengarah dan pembimbing agar berjalan sesuai dengan yang
diharapkan.
Perlu diingat betapa besar dan berharganya sebuah potensi yang
dimiliki setiap individu manusia. Oleh sebab itu, manusia seharusnya dibekali
dengan pendidikan yang mumpuni sejak dini. Meskipun secara alamiah
manusia mempunyai kemampuan dan akal pikiran yang berbeda dengan
makhluk yang lain, tetapi dengan pendidikan manusia bisa lebih
memaksimalkan kemampuannya. Pendidikan itu sendiri dapat diartikan
serangkaian usaha yang disengaja dan terencana untuk membantu
perkembangan potensi dan kemampuan manusia agar bermanfaat bagi
kepentingan hidupnya Sukardjo & Ukim Komarudin (2009: 9).
Pendidikan dapat diperoleh melalui lembaga formal dan informal.
Dalam masyarakat yang sangat kompleks, terspesialisasi dan berubah cepat,
pendidikan memiliki fungsi yang sangat besar dalam memahami kebudayaan
sebagai satu keseluruhan.
Semakin cepatnya perubahan kebudayaan akan berbanding lurus
dengan makin banyaknya waktu diperlukan untuk memahami sebuah
kebudayaan itu sendiri. Oleh karena itu, jangan heran jika beberapa orang
mengatakan bahwa kebudayaan di masa depan tidak dapat diramalkan secara
pasti, sehingga dalam mempelajari kebudayaan baru diperlukan pula sebuah
metode baru untuk mempelajarinya. Pendidikan yang sejatinya bersifat
konservatif dan bertujuan mengekalkan hasil-hasil prestasi kebudayaan, yang
dilakukan oleh pemuda-pemudi sehinga dapat menyesuaikan diri pada
kejadian-kejadian yang dapat diantisipasikan di dalam dan diluar kebudayaan
serta merintis jalan untuk melakukan perubahan terhadap kebudayaan.
Dengan mempelajari metode pendidikan dibarengi dengan unsur
kebudayaan, maka antropologi akan sangat bermanfaat bagi pendidikan
sehingga akan timbul kaitan yang erat dimana para pendidik harus melakukan
pendekatan secara hati-hati. Hal ini disebabkan karena kebudayaan yang ada
dan berkembang dalam masyarakat bersifat unik, sukar untuk dibandingkan
sehingga harus ada perbandingan baru yang bersifat tentatif. Setiap
penyelidikan yang dilakukan akan memberikan sumbangan yang berharga
dan mempengaruhi pendidikan.
Untuk memberikan pemahaman lebih lanjut mengenai antropologi
sebagai landasan pendidikan serta implikasinya, maka akan dibahas secara
rinci dalam makalah ini.
1.2 Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang diatas, masalah yang dibahas dalam
makalah ini adalah sebagai berikut:
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan landasan antropologi pendidikan?
1.2.2 Bagaimana sejarah perkembangan antropologi?
1.2.3 Apa manfaat landasan antropologi dalam pendidikan?
1.2.4 Apa pengaruh antropologi terhadap lingkungan dan masyarakat?
1.2.5 Bagaimana implikasi landasan antropologi dalam pendidikan?
1.2.6 Bagaimana aplikasi landasan antropologi dalam pendidikan saat ini?
1.3 Tujuan
Sesuai dengan masalah di atas, penulisan makalah ini dimaksudkan
untuk menginformasikan dan menjelaskan ‘Landasan Antropologi
Pendidikan’.
Secara khusus, makalah ini berusaha:
1.3.1 Untuk mengetahui yang dimaksud landasan antropologi pendidikan.
1.3.2 Untuk mengetahui sejarah perkembangan landasan antropologi
pendidikan.
1.3.3 Untuk mengetahui manfaat landasan antropologi dalam pendidikan.
1.3.4 Untuk mengetahui pengaruh antropologi terhadap lingkungan dan
masyarakat.
1.3.5 Untuk mengetahui implikasi landasan antropologi dalam pendidikan.
1.3.6 Untuk mengetahui aplikasi landasan antropologi dalam pendidikan saat
ini.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 LANDASAN ANTROPOLOGI PENDIDIKAN


Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, secara harfiah dalam bahasa
Yunani kata antropos mempunyai arti manusia dan logos berarti studi, jadi
antropologi adalah suatu disiplin berdasarkan rasa ingin tahu tentang
manusia (hanya di batasi oleh manusia). Definisi antropologi memang
kurang dijabarkan eksplisit, karena antropologi termasuk rumpun ilmu
social dimana mencakup seluruh aspek tentang hakikat manusia mulai dari
aspek sosiologi, psikologi, politik ekonomi, sejarah, biologi manusia
(Ihromi, 2006; Kapplan & Manners, 2002). Antropologi bisa juga
dimaknai sebagai hal yang mempelajari tentang bagaimana cara
memahami manusia dengan berbagai falsafah dan tata cara kehidupannya
masing-masing. Menurut (Kottak, 2004), antropologi memiliki 3 sifat
utama sebagai berikut:
1. Komparatif, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan
sebagai “berdasarkan perbandingan” yang secara sistematis
membandingkan data dari populasi dan periode waktu yang berbeda.
Maksudnya ilmu tersebut secara emik dan etik dapat mendeskripsikan
persamaan dan perbedaan fenomena sosial, perilaku manusia
khususnya perilaku budaya pada etnis tertentu. Oleh karena itu, ilmu
antropologi dipandang tidak melakukan justifikasi, penilaian baik,
buruk atas etnis tersebut akan tetapi lebih berorientasi pada kekhasan,
keunikan perilaku budaya manusia yang aktif, dinamis dan berubah.
2. Lintas budaya (cross cultural), artinya ilmu tersebut mendeskripsikan,
mempelajari perilaku budaya pada etnis-etnis tertentu yang memiliki
latar sosial, budaya yang berbeda bahkan berlainan sama sekali.
Budaya merupakan aspek kunci dari kemampuan beradaptasi dan
kesuksesan manuasia. Budaya adalah tradisi dan kebiasaan yang
ditransmisikan melalui pembelajaran. Antropologi Penelitian lintas
budaya diarahkan pada kajian tentang berbagai bentuk interaksi antara
individu-individu dari berbagai kelompok budaya yang berbeda.
Kajian lintas budaya dalam perspektif ini mengambil interaksi manusia
sehari-hari sebagai bagian dari budaya yang perlu dicermati karena,
sebagaimana halnya dengan pemahaman antropologis yang
memandang budaya sebagai keseluruhan cara hidup (way of life).
3. Holistik, holisme mengacu pada studi tentang keseluruhan kondisi
manusia (masa lalu, masa kini, masa depan; masyarakat, ilmu alam,
bahasa dan budaya).
Sebagai cabang ilmu sosial, antropologi bersifat empirik deskriptif yang
artinya bahwa ilmu tersebut dipandang sebagaimana adanya. Antropologi
memperlihatkan fenomena sosial serta tingkah laku manusia sebagai makhluk
dari sebuah etnis tertentu yang bisa di observasi secara langsung dalam artian
kasat mata. Antropologi pun termasuk salah satu cabang ilmu sosial yang
mempelajari berbagai budaya masyarakat.
Mungkin perlu diketahui bahwa sekilas antropologi dan sosiologi
nampak hampir mirip namun tenyata terdapat perbedaan yang nyata karena
sebenarnya antropologi memusatkan pada penduduk yang merupakan
masyarakat tunggal, sedangkan sosiologi menitikberatkan pada masyarakat
dan kehidupan sosialnya. Antropologi ini bermula dari rasa ketertarikan
orang-orang Eropa pada ciri-ciri fisik, adat istiadat, dan budaya etnis-etnis lain
yang berbeda dari masyarakat yang dikenal di Eropa. Antropologi lebih
memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggal
dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal di daerah yang sama, memiliki
ciri fisik dan bahasa yang digunakan serupa, serta cara hidup yang sama (S.W.
Septiarti, 2017). Masyarakat sederhana, primitif dengan kehidupan
tradisionalnya sering dikenal sebagai area pengamatan para antropolog.
Kegiatan selama proses pembelajaran yang didalamnya terdapat
pendidikan yang berlandaskan sosial antropologi sangat dibutuhkan dalam
memahami karakteristik sosial masyarakat khususnya di Indonesia. Ketika
dimasukkannya landasan antropologi dalam sistem kurikulum muatan lokal,
diharapkan seluruh peserta didik yang mengenyam pendidikan agar senantiasa
memerhatikan latar belakang kebudayaan yang berbeda dari setiap individu
sehingga mampu diperoleh terwujudnya kegiatan belajar yang baik (Soedomo,
1989). Pembelajaran dengan pandangan antropologis modern memusatkan
pengembangan pada identitas budaya, mendekontruksikan esensialisme
budaya yang akan diwariskan pada kekuatan negara dan kelompok sosialnya
(Alam, 2006).
Manusia tentu akan selalu hidup berdampingan dengan makhluk sosial
lainnya, maka dalam keberlangsungan hidup manusia terdapat interaksi dan
kerjasama dengan orang lain. Manusia ketika diciptakan dibekali dengan
kemampuan, keterampilan, dan pengetahuan dalam mengolah sumber alam
sekitarnya untuk mempertahankan hidupnya. Di samping itu, terdapat pola
aturan dalam kehidupan bermasyarakat dalam berinteraksi dengan masyarakat
lainnya berupa nilai-nilai dan norma-norma kehidupan.
Adapun materi kajian dalam antropologi pendidikan yaitu teori-teori dan
metode-metode tentang pengetahuan yang berhubungan dengan kebutuhan
manusia dan masyarakat sehingga menambah wawasan ilmu pengetahuan
dalam ruang lingkup pendidikan. Pendidikan antropologi di negara-negara
berkembang upaya pengenalan terhadap kondisi masyarakat agar tidak
menimbulkan kesenjangan, penolakan oleh masyarakat dan kesewenang-
wenangan pemerintahan dalam mengambil dan memberlakukan kebijakan
dalam membangun kesejahteraan masyarakat di negara tersebut.

2.2 PERKEMBANGAN LANDASAN ANTROPOLOGI PENDIDIKAN


Menurut (Nurmansyah, Rodliyah, & Hapsari, 2019) dan (Sidik, 2015),
perkembangan antropologi dapat dibagi menjadi empat fase. Fase-fase tersebut
yaitu fase pertama (sebelum 1800), fase kedua (pertengahan abad ke-19), fase
ketiga (awal abad ke-20), dan fase keempat (setelah 1930).
1) Fase pertama disebut juga sebagai fase penemuan dan pencatatan. Sebelum
abad ke-18, bangsa Eropa melakukan penjelajahan besaran-besaran ke benua
Asia, Afrika, Amerika, dan Oceania. Dalam proses penjelajahan ini, mereka
banyak menemukan suku-suku lain di luar Eropa. Para penjelajah ini aktif
dalam mencatatkan informasi terkait ciri-ciri fisik suku tersebut, deskripsi
adat istiadat, serta susunan masyarakatnya yang kemudian dikenal dengan
istilah etnografi. Beberapa abad kemudian, bangsa Eropa mulai memandang
catatan-catatan etnografi tersebut dari sudut pandang keilmuan. Kaum
terpelajar Eropa menyikapi catatan etnografi tersebut dengan berbagai sikap.
Namun, kaum terpelajar yang menganggap etnografi sebagai ragam keanehan
dan keunikan, melahirkan upaya lebih untuk menghimpun informasi dan hasil
dari suku-suku yang ada di dunia. Salah satu hasil dari upaya tersebut adalah
lahirnya museum pertama di Copenhagen (Denmark) yang menyimpan
koleksi sejarah budaya.
Salah satu etnografi suku bangsa di Indonesia yang dituliskan pada fase ini
adalah The History of Sumatra. Etnografi tersebut ditulis oleh William
Marsden (1754-1836) di Bengkulu.
2) Fase kedua disebut juga sebagai fase penyusunan dan analisis etnografi.
Kaum-kaum terpelajar Eropa mulai menyusun etnografi menjadi sebuah
berdasarkan evolusi cara berpikir masyarakat. Para kaum terpelajar ada yang
menganggap bahwa bangsa di luar Eropa itu mengalami ketertinggalan dan
primitif, sedangkan bangsa yang paling maju hanyalah bangsa Eropa terutama
Eropa Barat. Pada fase ini, kajian etnografi menjadi kajian akademik, para
kaum terpelajar mengkaji etnografi dengan tujuan untuk memahami tentang
tingkatan sejarah penyebaran kebudayaan manusia. Hal tersebut dikarenakan
mereka mempercayai bahwa kebudayaan manusia itu berevolusi dengan
sangat lambat dalam waktu ribuan tahun dari tingkatan yang rendah menuju
tingkatan yang lebih kompleks.
3) Fase ketiga merupakan fase saat kolonialisme dan imperialisme berlangsung
(permulaan abad ke-20). Pada fase ini kajian mengenai etnografi menjadi
sebuah ilmu praktis untuk kepentingan kolonialisme dan imperialisme. Secara
singkat, kajian etnografi digunakan untuk mempelajari masyarakat dan
perkembangan budayanya untuk kepentingan pemerintah kolonial. Mengkaji
etnografi ini sangat berhasil dalam mencari kelemahan suatu suku bangsa.
Hal tersebut mengakibatkan kendala-kendala bangsa Eropa dalam
membangun koloni seperti pemberontakan dari suku asli, cuaca yang tidak
cocok, dengan mudah dapat diatasi.
4) Fase keempat merupakan fase pembaruan dan penemuan ilmu antropologi.
Fase ini terjadi setelah tahun 1930, yaitu setelah Perang Dunia II usai yang
menandai juga hancurnya kolonialisme. Namun, berkat kolonialisme bangsa-
bangsa Eropa juga, setelah tahun 1930 hampir tidak ditemui lagi bangsa yang
tergolong ke dalam primitif. Dapat dikatakan kolonialisme berpengaruh besar
dalam evolusi budaya manusia pada saat itu.
Setelah Perang Dunia II usai, hilanglah tujuan dalam mempelajari etnografi.
Namun kemudian, secara akademik, kajian etnografi ini tidak lagi ditujukan
bagi bangsa-bangsa di luar Eropa. Suku-suku terpencil di Eropa seperti Soam
pun mulai menjadi topik etnografi. Sejak saat itu, kajian etnografi atau ilmu
antropologi mulai meluar. Sehingga, secara umum ilmu antropologi ini
mengkaji semua makhluk hidup yang pernah hidup pada semua waktu dan
semua tempat yang ada di muka bumi ini.
Berdasarkan perkembangan ilmu antropologi secara umum, hal tersebut
juga mempengaruhi perkembangan pendidikan yang salah satunya di landasi oleh
antropologi. Menurut (Hanchett, Fernandez, & dkk., 2020), proses pembelajaran
merupakan akar dari pendefinisian budaya suatu bangsa. Dengan kata lain, proses
pembelajaran yang berlangsung di suatu daerah akan mempengaruhi bagaimana
proses terbentuk dan berkembangnya suatu lingkungan atau suatu budaya. Proses
ini memiliki banyak aspek. Sebagai contoh dalam perkembangan seorang anak
yang memiliki segudang potensi menjadi seorang manusia dewasa yang memiliki
peran tertentu, tentu saja dipengaruhi banyak aspek. Aspek-aspek tersebut di
antaranya adalah tentang siapa yang membesarkan anak tersebut (apakah Ibu
kandungnya? kakaknya? Atau pengasuh lainnya?), kapan anak tersebut
dibesarkan? (Apa yang telah terjadi dalam rentang waktu tersebut), konsekuensi
apa yang didapatkan? (Banyak konsekuensi yang didapatkan dari apa yang terjadi
dalam hidupnya, misalnya dari faktor psikologis anak tersebut saat dewasa).
Seorang anak manusia yang dilahirkan dengan segudang potensi tidak dapat
berkembang sepenuhnya tanpa adanya interaksi dengan orang dewasa. Hal ini
menjadikan perkembangan manusia bukan hanya perkembangan genetik dan
psikologis, namun juga dipengaruhi oleh aspek sosiokultural.
Tidak seperti cabang antropologi lainnya, antropologi pada bidang
pendidikan baru saja terbentuk secara kokoh pada fase setelah Perang Dunia II
usai, saat antropologi dipandang sebagai sebuah ilmu (Eddy, 1985). Meskipun
begitu, pada abad ke-18 telah lahir para ahli antropologi di bidang pendidikan
seperti Barnes dan Chamberlain (1896), Fletcher (1888), Stevenson (1887), dan
Vandewalker (1898) yang berkontribusi pada penemuan pertama landasan
antropologi ilmu pedagogik, kurikulum sekolah, dan budaya pada usia masa
kanak-kanak. Lalu pada 1913, Maria Montessori menerbitkan Pedagogical
Anthropology. Lalu memasuki tahun 1920-an, antropologi pendidikan memasuki
fase yang disebut “the formative years” hingga tahun 1954 saat konferensi
Stanford terjadi (Eddy, 1985).
Pada fase “the formative years” antropologi pendidikan berfokus pada
pengembangan disiplin ilmu dan metodologi penelitian terkait dengan perubahan
peradaban manusia yang semakin pesat. Pada rentang 1920-1930, penerapan
antropologi pada bidang pendidikan ditekankan pada beberapa tema seperti
perkembangan dan perilaku manusia, perkembangan pada anak-anak, serta
mencakup penelitian pada kurikulum di sekolah. Pada fase ini juga dikaji bahwa
pada masyarakat Amerika terdapat perbedaan enkulturasi dan sistem partisipasi
sekolah formal berdasarkan ras, etnis, dan kelas sosial. Pada tahun 1930-an, para
ahli antropologi dari Eropa mulai mengkaji permasalahan pendidikan dari daerah
lain. Di antaranya Bronislaw Malinowski yang pergi ke Afrika Selatan pada 1934.
Kemudian masih pada 1934, Redcliff-Brown menginisiasi sebuah studi
komparatif di New Haven yang dihadiri oleh perwakilan praktisi pendidikan dari
Amerika, Tiongkok, India, Filipina, dan Inggris (Eddy, 1985).
Pada tahun 1954 berlangsung Konferensi Stanford yang dikoordinasikan
oleh George Spindler. Konferensi ini dihadiri oleh perwakilan ahli antropologi
dan praktisi pendidikan. Pada konferensi ini membahas dan memprediksi
hubungan antara antropologi dan pendidikan di masa yang akan datang. Di antara
tokoh antropologi yang hadir adalah Margaret Mead dan Felix Keesing yang
mengajukan pentingnya pelembagaan untuk menaungi karya antropologi-
pendidikan (Eddy, 1985).
Pada fase setelah Perang Dunia-II, perkembangan antropologi-pendidikan
mengalami perkembangan yang sangat pesat. Diawali dengan pelembagaan
antropologi hasil dari Konferensi Stanford dan bersamaan dengan waktu generasi
baby boomers untuk masuk sekolah/akademik (Eddy, 1985).
Pada tahun 1950 sampai tahun 1960-an, antropologi pendidikan semakin
berkembang menjadi salah satu disiplin ilmu yang terpisah dan terus berekspansi
hingga ke pendidikan tinggi. Pada masa ini, kurikulum tentang antropologi
pendidikan terus dikembangkan dan diperbarui. Bahkan, pada pertengahan 1960-
an, pemerintahan federal mulai melakukan pendanaan bagi penelitian antropologi
pendidikan. Sejak saat itulah peluang karir dan perkembangan pada bidang
antropologi pendidikan semakin berkembang. Masa keemasan dalam
perkembangan teori, penelitian, aplikasinya terjadi pada tahun 1980-an. Para
praktisi antropologi ini juga terus aktif melakukan pembaruan dengan
mengaplikasikan antropologi ke dalam bidang lainnya (Eddy, 1985).

2.3 MANFAAT LANDASAN ANTROPOLOGI DALAM PENDIDIKAN


2.4 PENGARUH ANTROPOLOGI TERHADAP LINGKUNGAN DAN
MASYARAKAT
2.5 IMPLIKASI LANDASAN ANTROPOLOGI DALAM PENDIDIKAN
Antropologi dan pendidikan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan karena
sejatinya pendidikan yang baik harus melibatkan antropologi dalam
pelaksanaannya. Jika transformasi kebudayaan dilepas dalam proses pendidikan
hanya akan menuai kepunahan terhadap kebudayaan tersebut. Kajian antropologi
memudahkan akses dari proses kegiatan belajar peserta didik untuk tetap dapat
menanamkan kebudayaan ke dalam individu peserta didik. Hal ini karena menurut
Septiarti, dkk (2017) menguraikan bahwa kajian dalam sosio-antropologi
pendidikan meliputi pendidikan kebudayaan, pendidikan di dalam kebudayaan
dan yang terakhir yaitu pendidikan lintas kebudayaan. Berdasarkan hal tersebut,
dapat terlihat jelas bahwa landasan antropologi memberikan implikasi dalam
berbagai bentuk strategi dan kebijakan dalam disiplin ilmu pendidikan, terutama
dalam pembangunan Indonesia di masa depan.
2.6 APLIKASI LANDASAN ANTROPOLOGI DALAM PENDIDIKAN
SAAT INI
Aplikasi landasan antropologi dalam pendidikan yakni sebagai berikut:
1. Model pembelajaran berbasis budaya lokal
Model pembelajaran ini diterapkan melalui muatan lokal. Materi
disesuaikan dengan potensi lokal masing-masing daerah di lingkungan
sekolah. Sehingga siswa dapat mengenali potensi budayanya sendiri,
mengembangkan budaya, menumbuhkan cinta tanah air, dan
mempromosikan budaya lokal kepada daerah lain. Seperti misalnya
pada sekolah-sekolah di Riau terdapat mata pelajaran bernama Budaya
Melayu Riau (BMR) yang menerapkan pembelajaran seputar potensi
dan pengetahuan tentang budaya yang ada di Riau.
2. Metode pembelajaran karya wisata
Penerapan lainnya yaitu berupa metode pembelajaran karya wisata
dimana guru mengajak siswa ke suatu tempat (objek) tertentu untuk
mempelajari sesuatu dalam rangka suatu pelajaran di sekolah. Metode
ini dapat membantu siswa memahami kehidupan yang sebenarnya
dalam lingkungan beserta segala masalahnya. Misalnya, siswa diajak ke
museum, kantor, percetakan, bank, pengadilan, atau ke suatu tempat
yang mengandung nilai sejarah/kebudayaan tertentu.
3. Pembelajaran dengan modeling
Modelling adalah metode pembelajaran dengan menggunakan model
(guru) sebagai obyek belajar perubahan tingkah laku yang kemudian
ditiru oleh siswa. Modelling bertujuan untuk mengembangkan
keterampilan fisik dan mental siswa.
BAB III
PENUTUP

Simpulan
DAFTAR PUSTAKA

Alam, B. (2006). Antropologi dan Civil Society: Pendekatan Teori Kebudayaan.


Antropologi Indonesia, 30(2), 193–200. https://doi.org/10.7454/ai.v30i2.356
4
Eddy, E. M. (1985). Theory, Research, and Application in Educational
Anthropology. Anthropology & Education Quarterly.
Hanchett, S. L., Fernandez, & dkk. (2020, December 9). anthropology. Retrieved
from Encyclopedia Britannica:
https://www.britannica.com/science/anthropology
Havilland, W. A. (1985). Antropologi Jilid 1. Jakarta : Erlangga.
Ihromi, T. O. (2006). Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor.
Nurmansyah, G., Rodliyah, N., & Hapsari, R. A. (2019). PENGANTAR
ANTROPOLOGI: Sebuah Ikhtisar Mengenal Antropologi. Bandar Lampung:
AURA.
Koentjaraningrat. (2000). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Kottak, C. P. (2004). Anthropology The Exploration of Human Diversity. New
York: McGraw Hill.
Septiarti, S. W., Hanum, F., Wahyono, S. B., Astuti, S. I., & Efianingrum, A.
2017. Sosiologi Dan Antropologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.
Sidik, S. S. (2015). Pengantar Antropologi. Pekanbaru: Alaf Riau.
Soedomo. (1989). Landasan Pendidikan. Malang: Universitas Negeri Malang.
Sukardjo, M. & Komarudin, Ukim. (2009). Landasan Pendidikan Konsep dan
Aplikasinya. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Wahyudin, Dinn., dkk. (2008). Pengantar Pendidikan. Jakarta: Universitas
Terbuka.

Anda mungkin juga menyukai