Anda di halaman 1dari 6

Konservasi In Situ adalah konservasi flora, fauna dan ekosistem yang dilakukan di dalam

habitat aslinya (di dalam kawasan) agar tetap utuh dan segala proses kehidupan yang terjadi
berjalan secara alami. Kegiatan ini meliputi perlindungan contoh-contoh perwakilan ekosistem
darat dan laut serta flora-fauna di dalamnya. Konservasi In Situ dilakukan dalam bentuk kawasan
suaka alam (cagar alam, suaka marga satwa), zona inti taman nasional dan hutan lindung. Tujuan
konservasi In Situ yaitu menjaga keutuhan dan keaslian jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya secara alami melalui proses evolusinya. Perluasan kawasan sangat dibutuhkan
dalam upaya memelihara proses ekologi yang esensial, menunjang sistem penyangga kehidupan,
mempertahankan keanekaragaman genetik dan menjamin pemanfaatan jenis secara lestari dan
berkelanjutan. Pelestarian In situ tidak boleh diganggu flora dan faunanya karena dilindungi oleh
pemerintah (Rizkiana, 2022).
Indonesia adalah sebuah negara yang berada di lintasan garis khatulistiwa. Hingga
sekarang, masih banyak ditemukan masyarakat yang hidup dengan pola berburu mengumpul di
sejumlah pulau besar di Indonesia. Kondisi ini membuat masyarakat Indonesia lebih cenderung
fundamentalis-ekosentris dengan memandang kesatuan dengan alam. Pandangan ini cenderung
resistif terhadap wacana taman nasional yang lebih ke arah konservasionis- antroposentris. Hal
ini menjelaskan mengapa wacana taman nasional lama baru muncul di Indonesia (Prahara,
2022).
Dalam era ini, manajemen taman nasional masih diarahkan pada kebijakan
keanekaragaman hayati. Taman nasional, berdasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang
Konservasi dan Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya didedifiniskan sebagai sebuah area
konservasi alam yang memiliki ekosistem alami, yang diatur berdasarkan zonasi berdasarkan
kepentingannya untuk penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, budaya, wisata dan rekreasi
alam. Taman nasional kemudian telah diatur lewat sistem zonasi. Zona wajib yang mesti ada
adalah zona inti yang mutlak harus digunakan sepenuhnya untuk konservasi. Selain zona inti,
variasi zona dapat mencakup zona rimba, zona pemanfaatan penelitian dan pengembangan, zona
pemanfaatan tradisional, zona penyangga, zona budidaya, zona rehabilitasi, dan zona
pemanfaatan permukiman tradisional dan lainnya (Prahara, 2022).
Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) adalah kawasan yang memiliki nilai penting luar
biasa dalam konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistem alam di Indonesia. Maha taman
ini memiliki luas kawasan hampir 1,4 juta hektar dan tersebar di empat provinsi di Pulau
Sumatera; Jambi, Sumatera Barat, Bengkulu, dan Sumatera Selatan. Keragaman topografi dan
ekosistem kawasan menjelma menjadi bentang alam yang unik dan indah, seperti kawasan
Danau Gunung Tujuh, Gunung Kerinci, Rawa Bento, Goa Kasah, dan lain sebagainya (Karyadi,
2018).
Sebagian besar kawasan hutan TNKS adalah hutan hujan tropis yang melindungi
keberadaan flora dan fauna di dalamnya. Beberapa jenis tercatat sebagai spesies endemik dan
terancam punah, seperti harimau sumatera, gajah sumatera , beruang madu, tapir asia, padma
raksasa dan lain -lain. Keberadaan nilai penting tersebut membuat UNESCO menobatkan TNKS
sebagai situs warisan dunia sejak tahun 2004 (Karyadi, 2018). Menurut Patmawati dkk (2017),
Mengingat pentingnya menjaga keanekaragaman hayati yang ada di Taman Nasional Kerinci
Seblat, tentu sangat disayangkan apabila flora maupun fauna langka yang ada di Taman Nasional
ini terganggu keberadaanya akibat oleh oknum masyarakat ataupun kelompok tertentu yang tidak
bertanggung jawab. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman
hayati yang tinggi di dunia. Oleh karena itu, kekayaan yang berupa keanekaragaman hayati ini
perlu dijaga dan dilestarikan. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya penurunan jumlah
populasi yang dapat mengakibatkan kepunahan. Salah satu spesies yang populasinya mengalami
penurunan adalah Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) (Sita, 2013).
Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) merupakan satu dari enam subspesies
harimau yang masih bertahan hidup hingga saat ini dan termasuk dalam klasifikasi satwa kritis
yang terancam punah (critically endangered). Jumlah populasi harimau di alam bebas hanya
sekitar 400 individu saja. Wilayah penyebarannya pada ketinggian 0-2.000 m dpl, tetapi kadang-
kadang juga sampai ketinggian lebih dari 2.400. Perusakan habitat dan perburuan hewan mangsa
telah diketahui sebagai faktor utama yang menyebabkan turunnya jumlah harimau secara
dramatis di Asia. Hewan mangsa yang sulit dijumpai dan berkurangnya tempat hidup bagi
harimau sudah merupakan suatu indikasi akan berkurangnya jumlah mereka. Ancaman lain yang
membahayakan kelangsungan hidup dan keberadaan Harimau Sumatera (Panthera tigris
sumatrae) adalah perburuan illegal, perburuan ilegal ini terjadi mulai awal dasawarsa 1990,
ancaman ini tidak hanya berasal dari perburuan langsung terhadap harimau, tetapi juga karena
perburuan terhadap mangsanya. Kawasan hutan yang dekat dengan desa mempunyai tekanan
yang lebih besar, karena intensitas aktivitas manusia yang lebih tinggi seperti penebangan pohon
dan perburuan liar. Saat sumber makanan dan tempat berlindung sudah mulai terbatas, maka
harimau akan mencari lokasi alternatif untuk berburu mangsa. Lokasi yang ideal adalah dengan
mendatangi permukiman masyarakat, seperti yang terjadi di Desa Pungut Mudik yang berada di
kawasan hutan Taman Nasional Kerinci Seblat. Konflik seperti ini juga merupakan salah satu
faktor yang memicu masyarakat untuk menangkap dan bahkan membunuh harimau (Adu, 2019).
Harimau Sumatera (Panthera tigris ssp. sumatrae) merupakan spesies yang terancam punah
di alam liar. Populasi di alam liar diperkirakan berjumlah 300–500. Upaya konservasi, termasuk
penangkaran, sedang dilakukan dengan sekitar 375 harimau Sumatera yang terdaftar dalam
Rencana Pengelolaan Spesies Global (GSMP). Namun, keragaman genetik pada populasi
penangkaran dikompromikan oleh terbatasnya jumlah peneliti (Wheelhouse, 2015).
Harimau hidup di kawasasan hutan hujan tropis dataran rendah dan hutan gambut, akan
tetapi habitat harimau semakin menghilang seiring dengan berkurangnya tutupan hutan hampir di
seluruh Pulau Sumatra akibat konversi hutan untuk kepentingan perkebunan sawit, pembangunan
Hutan Tanaman Industri, pemukiman, pembangunan jalan yang membelah kawasan hutan
maupun untuk kepentingan lainnya. Kondisi tersebut menyebabkan menyempitnya dan
fragmentasi wilayah sehingga habitat harimau terpisah dalam blok-blok hutan. “Selain hilangnya
habitat, perburuan dan perdagangan secara illegal serta konflk dengan manusia menjadi
penyebab utama berkurangnya populasi Harimau Sumatra. Bahkan diyakini perburuan dan
konflik saat ini menjadi faktor pembunuh Harimau yang paling tinggi”, demikian menurut M.S.
Sembiring, Direktur Eksekutif Yayasan Keanekaragaman Hayati (KEHATI) yang menyoroti
kondisi Harimau Sumatra. Indikasi itu tercermin dari data yang dirilis jejaring perdagangan
satwa langka internasional, TRAFFIC, bahwa hanya dalam waktu empat tahun sepanjang 1998-
2002, sudah ada 50 harimau Sumatra yang tewas diburu. Hal ini diakui oleh Konvensi
pengendalian perdagangan spesies hidupan liar internasional (Convention on International Trade
in Endangered Species of Wild Fauna and Flora/CITES) yang memasukkan program khusus
konservasi kucing besar melalui resolusi CITES, sehingga seluruh 181 negara anggota CITES
akan ikut mengontrol dan mengamankannya (TFCA-Sumatera, 2020).
Pemerintah, perguruan tinggi, lembaga penelitian, dan Lembaga Swadaya Masyarakat,
sebenarnya tak tinggal diam untuk mencegah kepunahan Harimau Sumatra. Perlindungan habitat
dan monitoring populasi secara intensif terus dilakukan di beberapa kantong populasi prioritas di
Sumatra, khususnya beberapa kawasan konservasi yang menjadi habitat penting Harimau
Sumatra, seperti TN Gunung Leuser (Aceh dan Sumatera Utara), TN Bukit Tiga Puluh (Riau),
SM Rimbang Baling (Riau), TN Kerinci Seblat (Jambi-Bengkulu-Sumatera Barat-Sumatera
Selatan), TN Bukit Barisan Selatan (Lampung), dan TN Way Kambas (Lampung) (TFCA-
Sumatera, 2020).
Yayasan KEHATI beserta mitra yang bekerja di lapangan mengidentifikasi paling tidak
ada lima hal penting yang harus dilakukan untuk mencapai target peningkatan populasi Harimau
Sumatra, sebagaimana dideklarasikan di St. Petersburg, yaitu:
1) Perlindungan dan pemulihan kawasan yang berfungsi sebagai habitat dan koridor
(penghubung) antar habitat termasuk patroli perlindungan hutan dan rehabilitasi kawasan
terdegradasi secara kolaboratif oleh Pemerintah bersama pihak Swasta dan Masyarakat.
2) Penataan ruang yang lebih memperhatikan aspek-aspek lingkungan, termasuk evaluasi
Rencana Tata Ruang Wilayah, Rencana Penggunaan Lahan maupun Rencana Pembangunan
Daerah.
3) Perlindungan dan pemantauan populasi secara intensif; termasuk dilakukannya patroli anti
perburuan liar oleh Polisi Hutan dan masyarakat dan pemantauan populasi menggunakan kaidah-
kaidah ilmiah.
4) Penanganan Konflik antara harimau dengan manusia, misalnya dengan peguatan sumberdaya
manusia (masyarakat maupun pemerintah) dalam menangani konflik, peningkatan upaya
pemulihan habitat Harimau, translokasi harimau Sumatra dari daerah-daerah rawan konflik ke
daerah yang lebih aman.
5) Peningkatan kesadaran masyarakat dan penguatan efektivitas penegakan hukum,
misalnya dengan Pembentukan Team Penanggulangan Pemburuan dan Perdagangan Liar
Harimau, program-program peningkatan kapasitas SDM di bidang tindak pidana kehutanan dan
satwa liar dan penyuluhan (TFCA-Sumatera, 2020).
Kembali ke pertanyaan dalam judul di atas: “Menyelamatkan Harimau Sumatra: Dimulai
dari Mana?” Penyelamatan Harimau Sumatra ini bisa dimulai dari upaya-upaya secara
terintegrasi: pemulihan habitat, penataan ruang yang memperhatikan aspek-aspek lingkungan,
penanganan konflik dengan masyarakat, hingga kampanye dan upaya penegakan hokum yang
efektif. Sebagai bagian dari upaya penyelamatan populasi harimau, TFCA-Sumatera salah
satunya melalui mitra Penyelamatan dan Konservasi Harimau Sumatra (PKHS) di kawasan
Taman Nasional Bukit Tiga Puluh telah membentuk tim Patroli untuk mengamankan dan
memantau kawasan penyelamatan harimau. Anggota tim terdiri dari unsur masyarakat dan
petugas Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Hingga saat ini , PKHS telah berhasil
mengidentifikasi 58 individu harimau berdasarkan jepretan camera trap. Sementara di Taman
Nasional Kerinci Seblat, melalui Jaringan AKAR (Aliansi Konservasi Alam Raya),TFCA-
Sumatera berperan dalam menyelamatkan habitat harimau dengan melakukan berbagai upaya
untuk mengurangi perambahan dan upaya advokasi terhadap perencanaan daerah yang dapat
merusak habitat harimau di Taman Nasional Kerinci Seblat (TFCA-Sumatera, 2020).
Daftar Pustaka

Adu, S. J., Iskandar, S., & Salampessy, M. L. 2019. Persepsi Masyarakat Terhadap Konservasi
Harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatrae) Di Taman Nasional Kerinci Seblat (Studi
Kasus Desa Pungut Mudik Dan Desa Pungut Hilir). Jurnal Nusa Sylva, 19(1), 22-29.
di: https://www. http://tfcasumatera.org.com (diakses pada 06 September 2023).
Karyadi, H., Pratiwi, D. I., & Hendrayadi. 2018. Taman Nasional Kerinci Seblat. Jambi: Balai
Besar Taman Nasional Kerinci Seblat.
Patmawati, K., Yelianti, U., & Hariyadi, B. 2017. Pengembangan Buku Ilmiah Populer Tentang
Studi Morfologi Kayu Pacat (Harpullia arborea (Blanco) Radlk.) Sebagai Tumbuhan
Langka Di Taman Nasional Kerinci Seblat. Jurnal Pendidikan Biologi FKIP Universitas
Jambi, 2(4), 33-39.
Prahara, G. C., & Dewi, M. P. 2022. Collaborative Governance Dalam Pengelolaan Ekowisata
Taman Nasional Kerinci Seblat. Journal Of Social Policy Issues, 1(1), 11-21.
Rizkiana, R. 2022. Konservasi In Situ dan Ex Situ: Arti, Contoh dan Perbedaan. Tersedia di:
https://www. lindungihutan.com (diakses pada 06 September 2023).
Sita, V., & Aunurohim. 2013. Tingkah Laku Makan Rusa Sambar (Cervus unicolor) dalam
Konservasi Ex-situ di Kebun Binatang Surabaya. Jurnal Sains dan Seni Pomits, 2(1),
2337-3520.
TFCA-Sumatera. 2020. Konservasi In Situ dan Ex Situ: Arti, Contoh dan Perbedaan. Tersedia di:
Wheelhouse, J. L., Hulst, W., & Beatty, J. A. 2015. Penyakit vestibular kongenital pada harimau
sumatera (Panthera tigris ssp. sumatrae) yang ditangkap di Australasia. The Veterinary
Journal, 206, 178-182.

Anda mungkin juga menyukai