Anda di halaman 1dari 7

Ancaman Kehidupan Satwa Liar di Sumatra Barat

Oleh: Nasya Hafifah Putri (2018)


Pulau Sumatra adalah pulau yang memiliki potensi keanekaragaman flora dan
fauna yang tinggi, hal tersebut disebabkan oleh posisi geografis daerah ini berada dijalur
lintas Pegunungan Bukit Barisan yang melintang di sepanjang Pulau Sumatra sehingga
memiliki bentang alam yang sangat mendukung untuk keberagaman hayati. Hal ini
tentu memberikan keuntungan tersendiri bagi daerah ini karena memiliki tingkat
endemisitas hayati yang tinggi, artinya banyak flora dan fauna yang hanya dapat
ditemukan pada daerah ini. Beberapa diantaranya seperti harimau Sumatra, gajah
Sumatra, badak Sumatra, berbagai jenis burung, berbagai jenis reptile, dan lainnya.
Sumatra Barat adalah salah satu provinsi yang terdapat di pulau Sumatra yang memiliki
beberapa flora dan fauna andemik.  Salah satu contoh fauna endemik yang terdapat di
Sumatra Barat adalah Burung Kuau Raja yang juga ditetapkan sebagai fauna identitas
Provinsi Sumatra Barat. Tetapi burung kuau raja saat ini menurut IUCN Redlist
memiliki status vulnerable atau berada pada kondisi rentan keberadaannya. Kondisi
tersebut disebabkan banyaknya perburuan liar serta hilangnya habitat asli mereka yang
disebabkan oleh pembukaan lahan untuk pertanian ataupun perindustrian. Perburuan liar
yang dilakukan terhadap hewan ini bertujuan untuk mendapatkan bulu dan daging
burung hewan ini.
Permasalahan perburuan liar untuk satwa di Indonesia mendapat perhatian yang
serius dari pemerintah, dibuktikan dengan dibuatnya Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup Dan Kehutanan Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup Dan Kehutanan NomorP.20/Menlhk/Setjen/ Kum.1/11/2018 Tentang Jenis
Tumbuhan Dan Satwa Yang Dilindungi, burung kuau raja termasuk kedalam hewan
yang statusnya dilindungi. Pada undang-undang tersebut juga sudah dijelaskan sanksi
pelanggaran bagi pelaku yang melakukan perdagangan flora dan fauna yang dilindungi
akan mendapat hukuman penjara maksimal lima tahun dan denda maksimal seratus juta
rupiah. Akan tetapi kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai regulasi hukum ini
dan kurangnya kepedulian masyarakat terhadap keseimbangan ekosistem amupun
eksistensi satwa, membuat perbruan illegal masih tetap terjadi. Tidak hanya burung
kuau raja, tetapibanyak satwa liar lain yang statusnya dilindungi dan banyak juga yang
diperjual belikan seperti harimau Sumatra, tringgiling, kukang, beruang madu, burung
rangkong dan masih banyak lagi. Padahal satwa-satwa ini memiliki peran penting bagi
ekologi dan keseimbangan alam termasuk dalam kehidupan manusia.
Pada tahun 2020 diketahui sebanyak empat kasus perdagangan satwa liar di
Sumatra Barat telah terjadi. Jumlah kasus tersebut meningkat dibanding tahun 2019
yang terdapat tiga kasus perdagangan satwa dilindungi yang berhasil digagalkan oleh
tim gabungan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Kementrian Lingkungan
Hidup (LHK) dan Satuan Resor Kriminal Polres (Sartreskrim) Sumatra Barat. Kejadian
tersebut menjadi bukti bahwa adanya peraturan yang ditetapkan tidak menjadi
penghalang bagi para pelaku perdagangan satwa liar untuk terus melakukan
pekerjaannya. Terlepas dari apapun yang mereka lakukan, pemahaman dan edukasi
mengenai pentingnya menjaga flora dan fauna pada masyarakat saat ini masih belum
banyak dilakukan. Padahal edukasi mengenai pengenalan, penjagaan dan pelestarian
satwa liar ataupun flora saat ini sangat penting dilakukan untuk mempertahankan
kondisi alam yang terus memburuk dari waktu ke waktu.
Di era modern saat ini, sudah banyak media digital yang menyediakan wadah
untuk masyarakat dan para penggerak untuk menyuarakan dan mengajak semua orang
untuk peduli akan perlindungan satwa. Fokus perlindungan tentunya tidak hanya
mengarah ke satu spesies atau populasi saja, tetapi juga pada ekologi dan habitat tempat
mereka tinggal nantinya. Hal ini tentu menjadi keuntungan jika semua bisa terlaksana
dengan baik, hutan-hutan akan tetap terjaga dan satwa liar yang hidup didalamnya tetap
bisa hidup dengan baik pula. Memberikan edukasi dan ajakan secara langsung dan
merata pada seluruh daerah di Indonesia, tentunya akan memberikan dampak yang baik
terhadap seluruh satwa liar yang ada. Mengingatkan sesama akan pentingnya menjaga
alam serta memberikan contoh yang baik saat ini dapat dilakukan dengan mudah,
karena didukung oleh kemajuan teknologi yang semakin berkembang.
Dalam mengatasi masalah lingkungan yang semakin kompleks ini dibutuhkan
kerja sama antara masyarakat dan apparat pemerintah untuk upaya konservasi dan
memberikan perlindungan kepada satwa liar. Selain perburuan liar, pembukaan lahan
secara terus menerus dan dalam jumlah besar untuk pertanian, wilayah perindustrian
ataupun pengembangan kota yang terjadi di sejumlah wilayah, tidak hanya di Sumatra
Barat tetapi juga di seluruh Indonesia merupakan ancaman besar bagi keberadaan satwa
liar. Akibat yang ditimbulkan adalah banyak satwa-satwa liar masuk ke pemukiman
warga karena hilangnya habitat asli hewan tersebut dan tentunya dapat menjadi
ancaman bagi keselamatan manusia dikawasan tersebut. Jadi dengan menyelamatkan
ekologi satwa, satwa yang terdapat dikawasan tersebut dapat terselamatkan,
keseimbangan ekosistem terjaga, dan ancaman bagi keselamatan manusia pun dapat
diatasi.
9 Satwa Liar Endemik di Pulau Jawa yang Terancam Punah
1. Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus)
Badak Jawa (Foto: Balai Taman Nasional Ujung Kulon)
Badak jawa yang biasa disebut badak bercula satu adalah salah satu spesies satwa liar
terlangka di Indonesia. Sebab spesies badak jawa saat ini diperkirakan tersisa tidak lebih
dari 74 ekor. Kemampuan reproduksi yang rendah ditambah aktivitas perburuan badak
jawa untuk diambil culanya adalah penyebab utamanya.
Sekarang, hewan eksotis ini sedang berada dalam program konservasi intensif secara in-
situ di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). Program ini membawa kabar gembira
bagi kita karena terbukti mampu meningkatkan populasi badak jawa. September 2020
lalu, TNUK mengkonfirmasi keberadaan dua ekor bayi badak yang membawa harapan
akan terjaganya kelestarian populasi badak jawa.
2. Kukang Jawa (Nycticebus javanicus)
Kukang Jawa (Foto: Reza Septian)
Kukang jawa adalah primata eksotis yang hidup secara nokturnal, alias aktif di malam
hari. Ia mencari makanan di malam hari guna menghindari pemangsa. Ia memiliki ciri
khas yaitu memiliki kelenjar racun di bawah ketiaknya yang digunakan untuk
mempertahankan diri dari pemangsa pula.
Saat ini kukang jawa dilindungi oleh undang-undang Indonesia. Organisasi
internasional CITES juga melindungi kukang jawa dalam daftar Appendix I-nya. Oleh
karena itu, seharusnya tidak ada yang boleh memburu atau memeliharanya lagi. Sebab
apabila perburuan terus dibiarkan, dikhawatirkan jumlah populasinya di alam akan kian
menurun dan lama-kelamaan akan punah.
3. Babi Kutil (Sus verrucosus)
Babi Kutil (Foto: BBKSDA Jawa Timur)
Jenis hewan liar endemik yang satu ini mungkin terdengar asing di telinga kita. Satwa
tersebut tidak lain adalah babi kutil. Babi kutil adalah jenis babi yang hanya terdapat di
Pulau Jawa dan Pulau Bawean. Babi ini juga biasa disebut babi jawa atau babi bagong.
Perawakan dari babi kutil sangat mirip dengan babi hutan. Babi kutil bisa ditemukan di
hutan dan padang rumput meskipun sangat sulit untuk menemukannya. Banyak ahli
yang sebelumnya mengira spesies ini sudah punah dikarenakan mereka kesulitan untuk
menemukannya. Untungnya, babi kutil ini teramati pada tahun 2017. Penyebab
terancam punahnya babi ini dikarenakan tingginya tingkat konflik dengan manusia
akibat berkurangnya habitat sehingga babi turun ke pemukiman warga untuk mencari
makanan.
4. Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas)
Macan Tutul Jawa (Foto: BBKSDA Jawa Barat)
Macan tutul jawa adalah salah satu satwa predator yang terancam punah di Indonesia.
Jenis satwa ini adalah subspesies dari macan tutul biasa (Panthera pardus). Oleh
masyarakat di Pulau Jawa, macan tutul jawa kadang disebut juga macan kumbang.
Macan tutul jawa saat ini berada di ambang kepunahan. Pada tahun 2008, tercatat
jumlah populasi macan tutul jawa tidak lebih dari 250 ekor. Menurut para ahli dan
pejabat pemerintah, penyebab berkurangnya populasi macan tutul adalah berkurangnya
habitat alaminya di hutan.
5. Banteng Jawa (Bos javanicus javanicus)
Banteng Jawa (Foto: Robithotul Huda)
Banteng Jawa adalah salah satu subspesies dari jenis banteng biasa (Bos javanicus).
Jenis satwa liar ini, meskipun sangat dikenal di masyarakat sebagai hewan yang kuat,
rupanya juga dikenal sebagai hewan yang terancam punah. Keberadaannya saat ini
dilindungi oleh Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Baluran, serta Taman
Nasional Bali Barat.
Terdapat beberapa penyebab berkurangnya populasi dari banteng jawa ini. Di antaranya
adalah berkurangnya habitat akibat pembukaan lahan untuk kebun oleh manusia.
Banteng juga mengalami ancaman pemangsa dari anjing hutan ajag, yaitu jenis anjing
hutan yang berperawakan mirip serigala.
6. Owa Jawa (Hylobates moloch)
Owa Jawa (Foto: Robithotul Huda)
Owa jawa adalah salah satu jenis primata di Indonesia. Spesies ini tersebar di Pulau
Jawa di bagian Provinsi Jawa Barat dan Banten. Sayangnya, spesies ini juga merupakan
spesies yang dilindungi.
Satwa liar ini terkenal akan suara lolongannya yang khas dan terkenal nyaring. Menurut
peneliti, suaranya dapat terdengar hingga 1 kilometer jauhnya. Lolongan ini biasanya
digunakan untuk berkomunikasi dengan owa jawa lain.
7. Surili Jawa (Presbytis comata)
Surili Jawa (Foto: Robithotul Huda)
Primata asli Indonesia lain yang dilindungi karena terancam punah yaitu surili jawa.
Primata unik ini juga merupakan salah satu primata yang cukup dikenal di Jawa Barat.
Jenis satwa liar ini tersebar di Jawa Barat dan Banten.
Satwa pemakan tumbuhan dedaunan, bunga, dan biji-bijian ini kini tidak tersisa banyak.
Sekarang populasinya hanya tersisa sekitar 2.500 ekor. Oleh karena itu Pemerintah
segera mengeluarkan berbagai kebijakan untuk segera melindungi dan melestarikannya.
8. Elang Jawa (Nisaetus bartelsi)
Elang Jawa (Foto: Denny Setiawan)
Burung ini merupakan penjelmaan dari Garuda, lambang negara Indonesia. Spesies ini
adalah salah satu jenis burung yang dilindungi dan tersebar di hutan-hutan di Pulau
Jawa. Elang jawa adalah burung predator. Ia memangsa mamalia kecil seperti tikus atau
burung-burung kecil. Ia juga memiliki daya jelajah luas. Ia mampu terbang mencapai
400 hektar dari sarangnya.
Yang patut kita perhatikan adalah penyebabnya terancam punahnya. Di samping
perburuan liar, kemampuan reproduksi yang rendah membuatnya sangat rentan
mengalami penurunan populasi. Ia hanya mampu bertelur sekali setahun. Apabila hal
tersebut terus dibiarkan, khawatirnya Elang Jawa akan benar-benar punah.
9. Burung Trulek Jawa (Vanellus macropterus)
Trulek Jawa (Foto: Lorenzo Vinciguerra/OBI)
Burung trulek jawa adalah burung yang pernah dinyatakan punah, namun akhirnya
statusnya diubah menjadi kritis pada tahun 2000. Burung ini adalah burung pantai,
artinya hanya ada di sekitar pantai karena ia sangat bergantung mencari makanan di
sekitar laut.
Burung ini menjadi sangat terancam punah dikarenakan perburuan yang intensif serta
pengurangan habitat secara masif.
Eksploitasi Burung, Kasus Pidana Kehutanan Terbanyak di Bali
Penangkapan dan perdagangan burung menjadi kasus pidana kehutanan
terbanyak di Bali, dan sebagian besar jenis burung pemangsa atau raptor.
Bagaimana mekanisme rehabilitasi dan pelepasliarannya?
Akumulasi kasus pidana kehutanan/konservasi yang ditangani Balai
Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) di Bali sejak 2008 menyebutkan
ada 62 kasus. Sebanyak 25% di antaranya adalah kasus terkait burung, dan
17 kasus di antaranya melibatkan raptor. Sisanya kasus pidana penyu,
pelanggaran kawasan konservasi, ikan, mamalia, dan lainnya.
Fathur Rohman, dari Balai KSDA Bali memaparkan 62 kasus penegakan
tindak pidana kehutanan/konservasi sejak 2008 ini jumlahnya fluktuatif tiap
tahun, terbanyak pada 2017 (12 kasus), dan tahun berjalan 2018 (7 kasus).
Fathur menyebut populasi burung raptor terus menurun. Misal Elang Jawa di
seluruh Jawa diperkirakan 300 ekor, dibandingkan luas Jawa jumlah ini
sangat kecil. Raptor fungsinya di rantai ekosistem pemangsa, pengendali
satwa mangsanya. Selain itu, perkembangbiakannya lambat. “Sepasang
induk perlu 2 tahun untuk besarkan anak, karena sifat teritorialnya harus cari
area lain setelah 2 tahun,” jelasnya. Saat ini angka perburuan raptor dinilai
masih besar.
Tercatat ada 25 spesias raptor di Bali yaitu 1 spesies dari
famili Pandionidae misal elang tiram, 19 spesies dari
famili Accripitridae menjadi paling banyak jenisnya, misalnya elang tikus,
sikep madu asia, dll. Selain itu ada 5 spesies dari famili Falconidae misal
alap-alap capung. (Avibase, Clements version 2018).
Pada seminar bertajuk Sang Garuda di Pulau Dewata pada 27 Oktober yang
dihelat Frank Williams Museum Patung Burung di Universitas Udayana,
Fathur menyebut sejumlah langkah tindak lanjut adalah pelepasliaran,
dititiprawatkan di lembaga konservasi, sebagai induk penangkaran, dan jika
sudah tak bisa diselamatkan dieutanasi sesuai UU No.5/1990.
Ada mitra penangkar satwa sebanyak 117, paling banyak burung 57 mitra,
lainnya jenis karang dan rusa. Perlindungan raptor berdasarkan sejumlah
regulasi seperti UU No.5/1990, Peraturan Pemerintah No.7/1999, Peraturan
Menteri LHK No.P.20, dan Peraturan Menteri LHK No.P.92.
Mitra lembaga konservasi terbanyak di Bali adalah taman satwa 6 unit,
taman satwa khusus 3, lembaga penyelamatan satwa, dan taman peragaan.
Dyah Ayu R. Noviarini, dokter hewan di Pusat Penyelamatan Satwa
(PPS) Bali Animal Wildlife Rescue mengingatkan prinsip penyelamatan
harus sesuai dengan kesejahteraan, mencegah rasa lapar,
ketidaknyamanan, dan memperhatikan historis satwa untuk perlakuan
khusus. “Misal Elang laut datang di PPS, kita kasih makan ikan tidak mau
lele, nila, laut, tapi dicoba daging sapi lahap,” urainya soal latar belakang
burung itu. Ada juga burung makan ikan utuh tidak mau, dicacah mau. “Ada
Elang Bondol hanya mau makan saat disuapin,” senyumnya.
Tahapan di PPS adalah setelah registrasi masuk karantina. Dilakukan
pemeriksaan fisik, darah, feses, dan lainnya. Kalau stres masuk kandang
karantina. Kalau burung minimal karantina 2 minggu. “Kalau lolos bebas
penyakit dan fisiknya bagus dan potensi lepasliar masuk rehabilitasi,” urai
Rini, panggilan perempuan muda ini. Kalau tidak bisa dilepasliarkan masuk
penyaluran satwa atau translokasi seperti penangkar atau lembaga
konservasi dan edukasi. Bisa juga euthanisia atau ditidurkan selamanya jika
tak punya harapan hidup dan membahayaan satwa lain.
“Misal cacat, tapi masih reproduksi bagus dialihkan ke penangkaran. Jika
dari luar Bali translokasi ke lembaga konservasi misal Siamang ke Sumatera
Barat,” Rini membagi pengalamannya.
Pemeriksaan fisik juga penting seperti morfologi tubuh (sayap, bulu, kaki,
badan), cara bergerak, respon mata. Kebanyakan burung yang tiba di PPS,
fisiknya tidak bagus misal burung sayap primernya dipotong oleh pemiliknya.
Kaki burung pemangsa juga kerap diisi rantai menyebabkan luka sampai jari
putus. Bulu sayap primer perlu 1-2 tahun untuk tumbuh, dan bulu baru tak
selalu sempurna.
Usai proses rehabilitasi dipindah ke kandang dan ukurannya berbeda
tergantung peruntukannya seperti karantina, isolasi, dan sanctuary.
Misal sanctuary untuk yang terlalu lama rehabilitasi, sosialisasi-lebih besar
menggabungkan beberapa individu elang dalam satu kandang,
habituasi/pre-release lebih besar lagi dibangun di lokasi pelepasliaran
karena akan mempengaruhi adaptasi dengan lokasi.
Sebelum pelepas liaran, ada survei habitat, penandaan, dan monitoring.
Misal di Batukaru ada desa yang punya awig-awig (aturan adat di Bali)
larangan memburu, jadi salah satu tempat aman pelepasliaran. Tantangan
besar juga di pelepasliaran. Menurutnya perlu banyak pihak terlibat, saat
survei dan monitoring. “Misal dilepas di hutan Besikalung yang memiliki
awig, tapi masih ada pemburu yang berusaha menangkap,” tambah Rini.
Migrasi raptor di Jawa Timur sebelum masuk Bali juga dibahas di seminar
ini. Sejumlah pengamat burung sekitar 3 tahun terakhir berusaha identifikasi
jalur masuk dan keluar. Di antaranya bukit kars di atas Ketapang, pengamat
bisa menghitung tapi identifikasinya sulit. Sementara saat arus balik, para
raptor ini terbang lebih tinggi karena angin kencang.
Jumlahnya dari bukit karst tak sebanyak arus datang. Sikep Madu beberapa
kali dilihat bertengger di daerah Wongsorejo sebelum Baluran, Alas Purwo,
dan paling banyak dekat Ketapang. Masih dipastikan mana jalur terpadat
migrasi. Sementara di Ijen, jumlah yang diamati hanya beberapa ekor.
Terutama di daerah hijau berhutan dan lembah.
Ancaman Punahnya Keragaman Hayati Hutan Kalimantan
Belantara Kalimantan merupakan habitat utama bagi sejumlah spesies flora dan fauna
— banyak di antaranya sangat langka, endemik, dan belum teridentifikasi.
Katak jantan dewasa jenis Leptobrachium kantonishikawai sp. nov. adalah spesies katak
baru yang diidentifikasi di Dataran Tinggi Kelabit, Serawak, Borneo. (Dokumentasi
Amir Hamidy dan Masafumi Matsui)
Pulau Borneo sendiri, yang merupakan salah satu pusat biodiversitas terpenting di
dunia, telah menjadi magnet bagi para peneliti selama 150 tahun lebih. Selain penelitian
sepanjang 150 tahun, beberapa penemuan yang terakhir saja akan mampu menyibukkan
ahli taksonomi mengklasifikan berbagai jenis spesies baru sampai berpuluh tahun ke
depan.
Ingat, penemuan teori evolusi seleksi alam A. R. Wallace terinspirasi dari rangkaian
perjalanannya di Borneo pada 1854-1862.
Laporan WWF-Indonesia (Jakarta, 2008) bertajuk "Dunia yang Hilang Borneo"
mengungkap bahwa hanya ada satu tempat tersisa di Asia Tenggara —yang hutannya
habis dengan cepat di bawah tekanan manusia— di mana hutan masih dapat dilestarikan
dalam skala raksasa.
Studi: Deforestasi Ancaman Serius Kehidupan Orangutan Kalimantan
Menurut sebuah studi terbaru menjelaskan, deforestasi di Kalimantan akan
menghancurkan habitat lebih dari 26.000 orangutan, tahun 2032.
Para peneliti menggunakan data historis dan pemodelan dengan pemicu deforestasi yang
telah diketahui untuk memproyeksikan bahwa habitat orangutan sebesar sepersepuluh
ukuran negara Italia dapat hilang selama satu dekade kedepan.
Hutan dengan risiko deforestasi tertinggi berada di sekitar kawasan yang telah
mengalami kehilangan hutan, serta konsesi hutan tanaman industri dan sawit.
Studi ini menunjukkan bahwa keuntungan konservasi terbesar yang didapat secara
langsung berasal dari pembatasan deforestasi di dalam dan sekitar lanskap perkebunan,
melalui upaya-upaya seperti perjanjian tanpa deforestasi, sertifikasi keberlanjutan,
restorasi ekosistem, dan penghentian pembukaan lahan.
Studi terbaru memperingatkan bahwa seperempat habitat populasi orangutan
Kalimantan, berada di areal deforestasi yang diprediksi bakal terjadi dalam beberapa
tahun kedepan.
Para ilmuwan menggunakan model tren deforestasi untuk memproyeksikan bahwa
74.419 kilometer persegi [28.733 mil persegi] hutan — sepersepuluh ukuran Italia —
akan hilang antara tahun 2018 dan 2032.
Ini akan mengakibatkan hilangnya habitat bagi 26.200 orangutan, dari total populasi
saat ini sekitar 100.000 individu. Makalah yang diterbitkan 14 Juli 2022 di
jurnal Perspectives in Ecology and Conservation, memprediksi hilangnya hutan seluas
59.949 km2 [23.146 mi2] antara tahun 2000 dan 2017 di seluruh Kalimantan.
Pulau Kalimantan terbagi antara Indonesia, Malaysia, dan Brunei, meskipun belum
tentu orangutan kalimantan [Pongo pygmaeus] masih hidup di kerajaan kecil Brunei.
Menurut sebuah studi 2018, hampir 150.000 kera besar ini mati antara 1999 dan 2015,
sebagian besar karena deforestasi dan pembunuhan. Studi itu juga memproyeksikan
bahwa hilangnya habitat akan mengarah langsung ke total hilangnya 45.300 orangutan
di masa depan antara tahun 2020 dan 2050.

Anda mungkin juga menyukai