0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
20 tayangan7 halaman
Dokumen tersebut membahas ancaman terhadap satwa liar endemik di Sumatra Barat dan Indonesia pada umumnya, khususnya burung kuau raja. Populasi burung kuau raja menurun karena perburuan liar dan kehilangan habitat. Peraturan pemerintah tidak dapat menghentikan perdagangan satwa liar karena kurangnya edukasi masyarakat. Diperlukan kerja sama antara masyarakat dan pemerintah untuk konservasi satwa liar dan pele
Dokumen tersebut membahas ancaman terhadap satwa liar endemik di Sumatra Barat dan Indonesia pada umumnya, khususnya burung kuau raja. Populasi burung kuau raja menurun karena perburuan liar dan kehilangan habitat. Peraturan pemerintah tidak dapat menghentikan perdagangan satwa liar karena kurangnya edukasi masyarakat. Diperlukan kerja sama antara masyarakat dan pemerintah untuk konservasi satwa liar dan pele
Dokumen tersebut membahas ancaman terhadap satwa liar endemik di Sumatra Barat dan Indonesia pada umumnya, khususnya burung kuau raja. Populasi burung kuau raja menurun karena perburuan liar dan kehilangan habitat. Peraturan pemerintah tidak dapat menghentikan perdagangan satwa liar karena kurangnya edukasi masyarakat. Diperlukan kerja sama antara masyarakat dan pemerintah untuk konservasi satwa liar dan pele
Pulau Sumatra adalah pulau yang memiliki potensi keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi, hal tersebut disebabkan oleh posisi geografis daerah ini berada dijalur lintas Pegunungan Bukit Barisan yang melintang di sepanjang Pulau Sumatra sehingga memiliki bentang alam yang sangat mendukung untuk keberagaman hayati. Hal ini tentu memberikan keuntungan tersendiri bagi daerah ini karena memiliki tingkat endemisitas hayati yang tinggi, artinya banyak flora dan fauna yang hanya dapat ditemukan pada daerah ini. Beberapa diantaranya seperti harimau Sumatra, gajah Sumatra, badak Sumatra, berbagai jenis burung, berbagai jenis reptile, dan lainnya. Sumatra Barat adalah salah satu provinsi yang terdapat di pulau Sumatra yang memiliki beberapa flora dan fauna andemik. Salah satu contoh fauna endemik yang terdapat di Sumatra Barat adalah Burung Kuau Raja yang juga ditetapkan sebagai fauna identitas Provinsi Sumatra Barat. Tetapi burung kuau raja saat ini menurut IUCN Redlist memiliki status vulnerable atau berada pada kondisi rentan keberadaannya. Kondisi tersebut disebabkan banyaknya perburuan liar serta hilangnya habitat asli mereka yang disebabkan oleh pembukaan lahan untuk pertanian ataupun perindustrian. Perburuan liar yang dilakukan terhadap hewan ini bertujuan untuk mendapatkan bulu dan daging burung hewan ini. Permasalahan perburuan liar untuk satwa di Indonesia mendapat perhatian yang serius dari pemerintah, dibuktikan dengan dibuatnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan NomorP.20/Menlhk/Setjen/ Kum.1/11/2018 Tentang Jenis Tumbuhan Dan Satwa Yang Dilindungi, burung kuau raja termasuk kedalam hewan yang statusnya dilindungi. Pada undang-undang tersebut juga sudah dijelaskan sanksi pelanggaran bagi pelaku yang melakukan perdagangan flora dan fauna yang dilindungi akan mendapat hukuman penjara maksimal lima tahun dan denda maksimal seratus juta rupiah. Akan tetapi kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai regulasi hukum ini dan kurangnya kepedulian masyarakat terhadap keseimbangan ekosistem amupun eksistensi satwa, membuat perbruan illegal masih tetap terjadi. Tidak hanya burung kuau raja, tetapibanyak satwa liar lain yang statusnya dilindungi dan banyak juga yang diperjual belikan seperti harimau Sumatra, tringgiling, kukang, beruang madu, burung rangkong dan masih banyak lagi. Padahal satwa-satwa ini memiliki peran penting bagi ekologi dan keseimbangan alam termasuk dalam kehidupan manusia. Pada tahun 2020 diketahui sebanyak empat kasus perdagangan satwa liar di Sumatra Barat telah terjadi. Jumlah kasus tersebut meningkat dibanding tahun 2019 yang terdapat tiga kasus perdagangan satwa dilindungi yang berhasil digagalkan oleh tim gabungan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Kementrian Lingkungan Hidup (LHK) dan Satuan Resor Kriminal Polres (Sartreskrim) Sumatra Barat. Kejadian tersebut menjadi bukti bahwa adanya peraturan yang ditetapkan tidak menjadi penghalang bagi para pelaku perdagangan satwa liar untuk terus melakukan pekerjaannya. Terlepas dari apapun yang mereka lakukan, pemahaman dan edukasi mengenai pentingnya menjaga flora dan fauna pada masyarakat saat ini masih belum banyak dilakukan. Padahal edukasi mengenai pengenalan, penjagaan dan pelestarian satwa liar ataupun flora saat ini sangat penting dilakukan untuk mempertahankan kondisi alam yang terus memburuk dari waktu ke waktu. Di era modern saat ini, sudah banyak media digital yang menyediakan wadah untuk masyarakat dan para penggerak untuk menyuarakan dan mengajak semua orang untuk peduli akan perlindungan satwa. Fokus perlindungan tentunya tidak hanya mengarah ke satu spesies atau populasi saja, tetapi juga pada ekologi dan habitat tempat mereka tinggal nantinya. Hal ini tentu menjadi keuntungan jika semua bisa terlaksana dengan baik, hutan-hutan akan tetap terjaga dan satwa liar yang hidup didalamnya tetap bisa hidup dengan baik pula. Memberikan edukasi dan ajakan secara langsung dan merata pada seluruh daerah di Indonesia, tentunya akan memberikan dampak yang baik terhadap seluruh satwa liar yang ada. Mengingatkan sesama akan pentingnya menjaga alam serta memberikan contoh yang baik saat ini dapat dilakukan dengan mudah, karena didukung oleh kemajuan teknologi yang semakin berkembang. Dalam mengatasi masalah lingkungan yang semakin kompleks ini dibutuhkan kerja sama antara masyarakat dan apparat pemerintah untuk upaya konservasi dan memberikan perlindungan kepada satwa liar. Selain perburuan liar, pembukaan lahan secara terus menerus dan dalam jumlah besar untuk pertanian, wilayah perindustrian ataupun pengembangan kota yang terjadi di sejumlah wilayah, tidak hanya di Sumatra Barat tetapi juga di seluruh Indonesia merupakan ancaman besar bagi keberadaan satwa liar. Akibat yang ditimbulkan adalah banyak satwa-satwa liar masuk ke pemukiman warga karena hilangnya habitat asli hewan tersebut dan tentunya dapat menjadi ancaman bagi keselamatan manusia dikawasan tersebut. Jadi dengan menyelamatkan ekologi satwa, satwa yang terdapat dikawasan tersebut dapat terselamatkan, keseimbangan ekosistem terjaga, dan ancaman bagi keselamatan manusia pun dapat diatasi. 9 Satwa Liar Endemik di Pulau Jawa yang Terancam Punah 1. Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) Badak Jawa (Foto: Balai Taman Nasional Ujung Kulon) Badak jawa yang biasa disebut badak bercula satu adalah salah satu spesies satwa liar terlangka di Indonesia. Sebab spesies badak jawa saat ini diperkirakan tersisa tidak lebih dari 74 ekor. Kemampuan reproduksi yang rendah ditambah aktivitas perburuan badak jawa untuk diambil culanya adalah penyebab utamanya. Sekarang, hewan eksotis ini sedang berada dalam program konservasi intensif secara in- situ di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). Program ini membawa kabar gembira bagi kita karena terbukti mampu meningkatkan populasi badak jawa. September 2020 lalu, TNUK mengkonfirmasi keberadaan dua ekor bayi badak yang membawa harapan akan terjaganya kelestarian populasi badak jawa. 2. Kukang Jawa (Nycticebus javanicus) Kukang Jawa (Foto: Reza Septian) Kukang jawa adalah primata eksotis yang hidup secara nokturnal, alias aktif di malam hari. Ia mencari makanan di malam hari guna menghindari pemangsa. Ia memiliki ciri khas yaitu memiliki kelenjar racun di bawah ketiaknya yang digunakan untuk mempertahankan diri dari pemangsa pula. Saat ini kukang jawa dilindungi oleh undang-undang Indonesia. Organisasi internasional CITES juga melindungi kukang jawa dalam daftar Appendix I-nya. Oleh karena itu, seharusnya tidak ada yang boleh memburu atau memeliharanya lagi. Sebab apabila perburuan terus dibiarkan, dikhawatirkan jumlah populasinya di alam akan kian menurun dan lama-kelamaan akan punah. 3. Babi Kutil (Sus verrucosus) Babi Kutil (Foto: BBKSDA Jawa Timur) Jenis hewan liar endemik yang satu ini mungkin terdengar asing di telinga kita. Satwa tersebut tidak lain adalah babi kutil. Babi kutil adalah jenis babi yang hanya terdapat di Pulau Jawa dan Pulau Bawean. Babi ini juga biasa disebut babi jawa atau babi bagong. Perawakan dari babi kutil sangat mirip dengan babi hutan. Babi kutil bisa ditemukan di hutan dan padang rumput meskipun sangat sulit untuk menemukannya. Banyak ahli yang sebelumnya mengira spesies ini sudah punah dikarenakan mereka kesulitan untuk menemukannya. Untungnya, babi kutil ini teramati pada tahun 2017. Penyebab terancam punahnya babi ini dikarenakan tingginya tingkat konflik dengan manusia akibat berkurangnya habitat sehingga babi turun ke pemukiman warga untuk mencari makanan. 4. Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas) Macan Tutul Jawa (Foto: BBKSDA Jawa Barat) Macan tutul jawa adalah salah satu satwa predator yang terancam punah di Indonesia. Jenis satwa ini adalah subspesies dari macan tutul biasa (Panthera pardus). Oleh masyarakat di Pulau Jawa, macan tutul jawa kadang disebut juga macan kumbang. Macan tutul jawa saat ini berada di ambang kepunahan. Pada tahun 2008, tercatat jumlah populasi macan tutul jawa tidak lebih dari 250 ekor. Menurut para ahli dan pejabat pemerintah, penyebab berkurangnya populasi macan tutul adalah berkurangnya habitat alaminya di hutan. 5. Banteng Jawa (Bos javanicus javanicus) Banteng Jawa (Foto: Robithotul Huda) Banteng Jawa adalah salah satu subspesies dari jenis banteng biasa (Bos javanicus). Jenis satwa liar ini, meskipun sangat dikenal di masyarakat sebagai hewan yang kuat, rupanya juga dikenal sebagai hewan yang terancam punah. Keberadaannya saat ini dilindungi oleh Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Baluran, serta Taman Nasional Bali Barat. Terdapat beberapa penyebab berkurangnya populasi dari banteng jawa ini. Di antaranya adalah berkurangnya habitat akibat pembukaan lahan untuk kebun oleh manusia. Banteng juga mengalami ancaman pemangsa dari anjing hutan ajag, yaitu jenis anjing hutan yang berperawakan mirip serigala. 6. Owa Jawa (Hylobates moloch) Owa Jawa (Foto: Robithotul Huda) Owa jawa adalah salah satu jenis primata di Indonesia. Spesies ini tersebar di Pulau Jawa di bagian Provinsi Jawa Barat dan Banten. Sayangnya, spesies ini juga merupakan spesies yang dilindungi. Satwa liar ini terkenal akan suara lolongannya yang khas dan terkenal nyaring. Menurut peneliti, suaranya dapat terdengar hingga 1 kilometer jauhnya. Lolongan ini biasanya digunakan untuk berkomunikasi dengan owa jawa lain. 7. Surili Jawa (Presbytis comata) Surili Jawa (Foto: Robithotul Huda) Primata asli Indonesia lain yang dilindungi karena terancam punah yaitu surili jawa. Primata unik ini juga merupakan salah satu primata yang cukup dikenal di Jawa Barat. Jenis satwa liar ini tersebar di Jawa Barat dan Banten. Satwa pemakan tumbuhan dedaunan, bunga, dan biji-bijian ini kini tidak tersisa banyak. Sekarang populasinya hanya tersisa sekitar 2.500 ekor. Oleh karena itu Pemerintah segera mengeluarkan berbagai kebijakan untuk segera melindungi dan melestarikannya. 8. Elang Jawa (Nisaetus bartelsi) Elang Jawa (Foto: Denny Setiawan) Burung ini merupakan penjelmaan dari Garuda, lambang negara Indonesia. Spesies ini adalah salah satu jenis burung yang dilindungi dan tersebar di hutan-hutan di Pulau Jawa. Elang jawa adalah burung predator. Ia memangsa mamalia kecil seperti tikus atau burung-burung kecil. Ia juga memiliki daya jelajah luas. Ia mampu terbang mencapai 400 hektar dari sarangnya. Yang patut kita perhatikan adalah penyebabnya terancam punahnya. Di samping perburuan liar, kemampuan reproduksi yang rendah membuatnya sangat rentan mengalami penurunan populasi. Ia hanya mampu bertelur sekali setahun. Apabila hal tersebut terus dibiarkan, khawatirnya Elang Jawa akan benar-benar punah. 9. Burung Trulek Jawa (Vanellus macropterus) Trulek Jawa (Foto: Lorenzo Vinciguerra/OBI) Burung trulek jawa adalah burung yang pernah dinyatakan punah, namun akhirnya statusnya diubah menjadi kritis pada tahun 2000. Burung ini adalah burung pantai, artinya hanya ada di sekitar pantai karena ia sangat bergantung mencari makanan di sekitar laut. Burung ini menjadi sangat terancam punah dikarenakan perburuan yang intensif serta pengurangan habitat secara masif. Eksploitasi Burung, Kasus Pidana Kehutanan Terbanyak di Bali Penangkapan dan perdagangan burung menjadi kasus pidana kehutanan terbanyak di Bali, dan sebagian besar jenis burung pemangsa atau raptor. Bagaimana mekanisme rehabilitasi dan pelepasliarannya? Akumulasi kasus pidana kehutanan/konservasi yang ditangani Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) di Bali sejak 2008 menyebutkan ada 62 kasus. Sebanyak 25% di antaranya adalah kasus terkait burung, dan 17 kasus di antaranya melibatkan raptor. Sisanya kasus pidana penyu, pelanggaran kawasan konservasi, ikan, mamalia, dan lainnya. Fathur Rohman, dari Balai KSDA Bali memaparkan 62 kasus penegakan tindak pidana kehutanan/konservasi sejak 2008 ini jumlahnya fluktuatif tiap tahun, terbanyak pada 2017 (12 kasus), dan tahun berjalan 2018 (7 kasus). Fathur menyebut populasi burung raptor terus menurun. Misal Elang Jawa di seluruh Jawa diperkirakan 300 ekor, dibandingkan luas Jawa jumlah ini sangat kecil. Raptor fungsinya di rantai ekosistem pemangsa, pengendali satwa mangsanya. Selain itu, perkembangbiakannya lambat. “Sepasang induk perlu 2 tahun untuk besarkan anak, karena sifat teritorialnya harus cari area lain setelah 2 tahun,” jelasnya. Saat ini angka perburuan raptor dinilai masih besar. Tercatat ada 25 spesias raptor di Bali yaitu 1 spesies dari famili Pandionidae misal elang tiram, 19 spesies dari famili Accripitridae menjadi paling banyak jenisnya, misalnya elang tikus, sikep madu asia, dll. Selain itu ada 5 spesies dari famili Falconidae misal alap-alap capung. (Avibase, Clements version 2018). Pada seminar bertajuk Sang Garuda di Pulau Dewata pada 27 Oktober yang dihelat Frank Williams Museum Patung Burung di Universitas Udayana, Fathur menyebut sejumlah langkah tindak lanjut adalah pelepasliaran, dititiprawatkan di lembaga konservasi, sebagai induk penangkaran, dan jika sudah tak bisa diselamatkan dieutanasi sesuai UU No.5/1990. Ada mitra penangkar satwa sebanyak 117, paling banyak burung 57 mitra, lainnya jenis karang dan rusa. Perlindungan raptor berdasarkan sejumlah regulasi seperti UU No.5/1990, Peraturan Pemerintah No.7/1999, Peraturan Menteri LHK No.P.20, dan Peraturan Menteri LHK No.P.92. Mitra lembaga konservasi terbanyak di Bali adalah taman satwa 6 unit, taman satwa khusus 3, lembaga penyelamatan satwa, dan taman peragaan. Dyah Ayu R. Noviarini, dokter hewan di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Bali Animal Wildlife Rescue mengingatkan prinsip penyelamatan harus sesuai dengan kesejahteraan, mencegah rasa lapar, ketidaknyamanan, dan memperhatikan historis satwa untuk perlakuan khusus. “Misal Elang laut datang di PPS, kita kasih makan ikan tidak mau lele, nila, laut, tapi dicoba daging sapi lahap,” urainya soal latar belakang burung itu. Ada juga burung makan ikan utuh tidak mau, dicacah mau. “Ada Elang Bondol hanya mau makan saat disuapin,” senyumnya. Tahapan di PPS adalah setelah registrasi masuk karantina. Dilakukan pemeriksaan fisik, darah, feses, dan lainnya. Kalau stres masuk kandang karantina. Kalau burung minimal karantina 2 minggu. “Kalau lolos bebas penyakit dan fisiknya bagus dan potensi lepasliar masuk rehabilitasi,” urai Rini, panggilan perempuan muda ini. Kalau tidak bisa dilepasliarkan masuk penyaluran satwa atau translokasi seperti penangkar atau lembaga konservasi dan edukasi. Bisa juga euthanisia atau ditidurkan selamanya jika tak punya harapan hidup dan membahayaan satwa lain. “Misal cacat, tapi masih reproduksi bagus dialihkan ke penangkaran. Jika dari luar Bali translokasi ke lembaga konservasi misal Siamang ke Sumatera Barat,” Rini membagi pengalamannya. Pemeriksaan fisik juga penting seperti morfologi tubuh (sayap, bulu, kaki, badan), cara bergerak, respon mata. Kebanyakan burung yang tiba di PPS, fisiknya tidak bagus misal burung sayap primernya dipotong oleh pemiliknya. Kaki burung pemangsa juga kerap diisi rantai menyebabkan luka sampai jari putus. Bulu sayap primer perlu 1-2 tahun untuk tumbuh, dan bulu baru tak selalu sempurna. Usai proses rehabilitasi dipindah ke kandang dan ukurannya berbeda tergantung peruntukannya seperti karantina, isolasi, dan sanctuary. Misal sanctuary untuk yang terlalu lama rehabilitasi, sosialisasi-lebih besar menggabungkan beberapa individu elang dalam satu kandang, habituasi/pre-release lebih besar lagi dibangun di lokasi pelepasliaran karena akan mempengaruhi adaptasi dengan lokasi. Sebelum pelepas liaran, ada survei habitat, penandaan, dan monitoring. Misal di Batukaru ada desa yang punya awig-awig (aturan adat di Bali) larangan memburu, jadi salah satu tempat aman pelepasliaran. Tantangan besar juga di pelepasliaran. Menurutnya perlu banyak pihak terlibat, saat survei dan monitoring. “Misal dilepas di hutan Besikalung yang memiliki awig, tapi masih ada pemburu yang berusaha menangkap,” tambah Rini. Migrasi raptor di Jawa Timur sebelum masuk Bali juga dibahas di seminar ini. Sejumlah pengamat burung sekitar 3 tahun terakhir berusaha identifikasi jalur masuk dan keluar. Di antaranya bukit kars di atas Ketapang, pengamat bisa menghitung tapi identifikasinya sulit. Sementara saat arus balik, para raptor ini terbang lebih tinggi karena angin kencang. Jumlahnya dari bukit karst tak sebanyak arus datang. Sikep Madu beberapa kali dilihat bertengger di daerah Wongsorejo sebelum Baluran, Alas Purwo, dan paling banyak dekat Ketapang. Masih dipastikan mana jalur terpadat migrasi. Sementara di Ijen, jumlah yang diamati hanya beberapa ekor. Terutama di daerah hijau berhutan dan lembah. Ancaman Punahnya Keragaman Hayati Hutan Kalimantan Belantara Kalimantan merupakan habitat utama bagi sejumlah spesies flora dan fauna — banyak di antaranya sangat langka, endemik, dan belum teridentifikasi. Katak jantan dewasa jenis Leptobrachium kantonishikawai sp. nov. adalah spesies katak baru yang diidentifikasi di Dataran Tinggi Kelabit, Serawak, Borneo. (Dokumentasi Amir Hamidy dan Masafumi Matsui) Pulau Borneo sendiri, yang merupakan salah satu pusat biodiversitas terpenting di dunia, telah menjadi magnet bagi para peneliti selama 150 tahun lebih. Selain penelitian sepanjang 150 tahun, beberapa penemuan yang terakhir saja akan mampu menyibukkan ahli taksonomi mengklasifikan berbagai jenis spesies baru sampai berpuluh tahun ke depan. Ingat, penemuan teori evolusi seleksi alam A. R. Wallace terinspirasi dari rangkaian perjalanannya di Borneo pada 1854-1862. Laporan WWF-Indonesia (Jakarta, 2008) bertajuk "Dunia yang Hilang Borneo" mengungkap bahwa hanya ada satu tempat tersisa di Asia Tenggara —yang hutannya habis dengan cepat di bawah tekanan manusia— di mana hutan masih dapat dilestarikan dalam skala raksasa. Studi: Deforestasi Ancaman Serius Kehidupan Orangutan Kalimantan Menurut sebuah studi terbaru menjelaskan, deforestasi di Kalimantan akan menghancurkan habitat lebih dari 26.000 orangutan, tahun 2032. Para peneliti menggunakan data historis dan pemodelan dengan pemicu deforestasi yang telah diketahui untuk memproyeksikan bahwa habitat orangutan sebesar sepersepuluh ukuran negara Italia dapat hilang selama satu dekade kedepan. Hutan dengan risiko deforestasi tertinggi berada di sekitar kawasan yang telah mengalami kehilangan hutan, serta konsesi hutan tanaman industri dan sawit. Studi ini menunjukkan bahwa keuntungan konservasi terbesar yang didapat secara langsung berasal dari pembatasan deforestasi di dalam dan sekitar lanskap perkebunan, melalui upaya-upaya seperti perjanjian tanpa deforestasi, sertifikasi keberlanjutan, restorasi ekosistem, dan penghentian pembukaan lahan. Studi terbaru memperingatkan bahwa seperempat habitat populasi orangutan Kalimantan, berada di areal deforestasi yang diprediksi bakal terjadi dalam beberapa tahun kedepan. Para ilmuwan menggunakan model tren deforestasi untuk memproyeksikan bahwa 74.419 kilometer persegi [28.733 mil persegi] hutan — sepersepuluh ukuran Italia — akan hilang antara tahun 2018 dan 2032. Ini akan mengakibatkan hilangnya habitat bagi 26.200 orangutan, dari total populasi saat ini sekitar 100.000 individu. Makalah yang diterbitkan 14 Juli 2022 di jurnal Perspectives in Ecology and Conservation, memprediksi hilangnya hutan seluas 59.949 km2 [23.146 mi2] antara tahun 2000 dan 2017 di seluruh Kalimantan. Pulau Kalimantan terbagi antara Indonesia, Malaysia, dan Brunei, meskipun belum tentu orangutan kalimantan [Pongo pygmaeus] masih hidup di kerajaan kecil Brunei. Menurut sebuah studi 2018, hampir 150.000 kera besar ini mati antara 1999 dan 2015, sebagian besar karena deforestasi dan pembunuhan. Studi itu juga memproyeksikan bahwa hilangnya habitat akan mengarah langsung ke total hilangnya 45.300 orangutan di masa depan antara tahun 2020 dan 2050.