Anda di halaman 1dari 16

Ancaman Kehidupan Satwa Liar di Sumatera Barat

Pulau Sumatra adalah pulau yang memiliki potensi keanekaragaman flora dan fauna
yang tinggi, hal tersebut disebabkan oleh posisi geografis daerah ini berada dijalur lintas
Pegunungan Bukit Barisan yang melintang di sepanjang Pulau Sumatra sehingga memiliki
bentang alam yang sangat mendukung untuk keberagaman hayati. Hal ini tentu memberikan
keuntungan tersendiri bagi daerah ini karena memiliki tingkat endemisitas hayati yang tinggi,
artinya banyak flora dan fauna yang hanya dapat ditemukan pada daerah ini. Beberapa
diantaranya seperti harimau Sumatra, gajah Sumatra, badak Sumatra, berbagai jenis burung,
berbagai jenis reptile, dan lainnya.

Sumatra Barat adalah salah satu provinsi yang terdapat di pulau Sumatra yang memiliki
beberapa flora dan fauna andemik.  Salah satu contoh fauna endemik yang terdapat di Sumatra
Barat adalah Burung Kuau Raja yang juga ditetapkan sebagai fauna identitas Provinsi Sumatra
Barat. Tetapi burung kuau raja saat ini menurut IUCN Redlist memiliki status vulnerable atau
berada pada kondisi rentan keberadaannya. Kondisi tersebut disebabkan banyaknya perburuan
liar serta hilangnya habitat asli mereka yang disebabkan oleh pembukaan lahan untuk pertanian
ataupun perindustrian. Perburuan liar yang dilakukan terhadap hewan ini bertujuan untuk
mendapatkan bulu dan daging burung hewan ini.

Permasalahan perburuan liar untuk satwa di Indonesia mendapat perhatian yang serius
dari pemerintah, dibuktikan dengan dibuatnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan
Kehutanan Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan
Kehutanan NomorP.20/Menlhk/Setjen/ Kum.1/11/2018 Tentang Jenis Tumbuhan Dan Satwa
Yang Dilindungi, burung kuau raja termasuk kedalam hewan yang statusnya dilindungi. Pada
undang-undang tersebut juga sudah dijelaskan sanksi pelanggaran bagi pelaku yang melakukan
perdagangan flora dan fauna yang dilindungi akan mendapat hukuman penjara maksimal lima
tahun dan denda maksimal seratus juta rupiah. Akan tetapi kurangnya pengetahuan masyarakat
mengenai regulasi hukum ini dan kurangnya kepedulian masyarakat terhadap keseimbangan
ekosistem maupun eksistensi satwa, membuat perburuan illegal masih tetap terjadi. Tidak hanya
burung kuau raja, tetapi banyak satwa liar lain yang statusnya dilindungi dan banyak juga yang
diperjual belikan seperti harimau Sumatra, tringgiling, kukang, beruang madu, burung rangkong
dan masih banyak lagi. Padahal satwa-satwa ini memiliki peran penting bagi ekologi dan
keseimbangan alam termasuk dalam kehidupan manusia.

Pada tahun 2020 diketahui sebanyak empat kasus perdagangan satwa liar di Sumatra
Barat telah terjadi. Jumlah kasus tersebut meningkat dibanding tahun 2019 yang terdapat tiga
kasus perdagangan satwa dilindungi yang berhasil digagalkan oleh tim gabungan Balai
Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Kementrian Lingkungan Hidup (LHK) dan Satuan
Resor Kriminal Polres (Sartreskrim) Sumatra Barat. Kejadian tersebut menjadi bukti bahwa
adanya peraturan yang ditetapkan tidak menjadi penghalang bagi para pelaku perdagangan satwa
liar untuk terus melakukan pekerjaannya. Terlepas dari apapun yang mereka lakukan,
pemahaman dan edukasi mengenai pentingnya menjaga flora dan fauna pada masyarakat saat ini
masih belum banyak dilakukan.

Selain perburuan liar, pembukaan lahan secara terus menerus dan dalam jumlah besar
untuk pertanian, wilayah perindustrian ataupun pengembangan kota yang terjadi di sejumlah
wilayah, tidak hanya di Sumatra Barat tetapi juga di seluruh Indonesia merupakan ancaman
besar bagi keberadaan satwa liar. Akibat yang ditimbulkan adalah banyak satwa-satwa liar
masuk ke pemukiman warga karena hilangnya habitat asli hewan tersebut dan tentunya dapat
menjadi ancaman bagi keselamatan manusia dikawasan tersebut. Jadi dengan menyelamatkan
ekologi satwa, satwa yang terdapat dikawasan tersebut dapat terselamatkan, keseimbangan
ekosistem terjaga, dan ancaman bagi keselamatan manusia pun dapat diatasi.
9 Satwa Liar Endemik di Pulau Jawa yang Terancam Punah

1. Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus)


Badak jawa yang biasa disebut badak bercula satu adalah salah satu spesies satwa liar terlangka
di Indonesia. Sebab spesies badak jawa saat ini diperkirakan tersisa tidak lebih dari 74 ekor.
Kemampuan reproduksi yang rendah ditambah aktivitas perburuan badak jawa untuk diambil
culanya adalah penyebab utamanya.
Sekarang, hewan eksotis ini sedang berada dalam program konservasi intensif secara in-situ di
Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). Program ini membawa kabar gembira bagi kita karena
terbukti mampu meningkatkan populasi badak jawa. September 2020 lalu, TNUK
mengkonfirmasi keberadaan dua ekor bayi badak yang membawa harapan akan terjaganya
kelestarian populasi badak jawa.
2. Kukang Jawa (Nycticebus javanicus)
Kukang jawa adalah primata eksotis yang hidup secara nokturnal, alias aktif di malam hari. Ia
mencari makanan di malam hari guna menghindari pemangsa. Ia memiliki ciri khas yaitu
memiliki kelenjar racun di bawah ketiaknya yang digunakan untuk mempertahankan diri dari
pemangsa pula.
Saat ini kukang jawa dilindungi oleh undang-undang Indonesia. Organisasi internasional CITES
juga melindungi kukang jawa dalam daftar Appendix I-nya. Oleh karena itu, seharusnya tidak
ada yang boleh memburu atau memeliharanya lagi. Sebab apabila perburuan terus dibiarkan,
dikhawatirkan jumlah populasinya di alam akan kian menurun dan lama-kelamaan akan punah.
3. Babi Kutil (Sus verrucosus)
Jenis hewan liar endemik yang satu ini mungkin terdengar asing di telinga kita. Satwa tersebut
tidak lain adalah babi kutil. Babi kutil adalah jenis babi yang hanya terdapat di Pulau Jawa dan
Pulau Bawean. Babi ini juga biasa disebut babi jawa atau babi bagong.
Perawakan dari babi kutil sangat mirip dengan babi hutan. Babi kutil bisa ditemukan di hutan
dan padang rumput meskipun sangat sulit untuk menemukannya. Banyak ahli yang sebelumnya
mengira spesies ini sudah punah dikarenakan mereka kesulitan untuk menemukannya.
Untungnya, babi kutil ini teramati pada tahun 2017. Penyebab terancam punahnya babi ini
dikarenakan tingginya tingkat konflik dengan manusia akibat berkurangnya habitat sehingga
babi turun ke pemukiman warga untuk mencari makanan.
4. Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas)
Macan tutul jawa adalah salah satu satwa predator yang terancam punah di Indonesia. Jenis
satwa ini adalah subspesies dari macan tutul biasa (Panthera pardus). Oleh masyarakat di Pulau
Jawa, macan tutul jawa kadang disebut juga macan kumbang.
Macan tutul jawa saat ini berada di ambang kepunahan. Pada tahun 2008, tercatat jumlah
populasi macan tutul jawa tidak lebih dari 250 ekor. Menurut para ahli dan pejabat pemerintah,
penyebab berkurangnya populasi macan tutul adalah berkurangnya habitat alaminya di hutan.
5. Banteng Jawa (Bos javanicus javanicus)
Banteng Jawa adalah salah satu subspesies dari jenis banteng biasa (Bos javanicus). Jenis satwa
liar ini, meskipun sangat dikenal di masyarakat sebagai hewan yang kuat, rupanya juga dikenal
sebagai hewan yang terancam punah. Keberadaannya saat ini dilindungi oleh Taman Nasional
Ujung Kulon, Taman Nasional Baluran, serta Taman Nasional Bali Barat.
Terdapat beberapa penyebab berkurangnya populasi dari banteng jawa ini. Di antaranya adalah
berkurangnya habitat akibat pembukaan lahan untuk kebun oleh manusia. Banteng juga
mengalami ancaman pemangsa dari anjing hutan ajag, yaitu jenis anjing hutan yang
berperawakan mirip serigala.
6. Owa Jawa (Hylobates moloch)
Owa jawa adalah salah satu jenis primata di Indonesia. Spesies ini tersebar di Pulau Jawa di
bagian Provinsi Jawa Barat dan Banten. Sayangnya, spesies ini juga merupakan spesies yang
dilindungi.
Satwa liar ini terkenal akan suara lolongannya yang khas dan terkenal nyaring. Menurut peneliti,
suaranya dapat terdengar hingga 1 kilometer jauhnya. Lolongan ini biasanya digunakan untuk
berkomunikasi dengan owa jawa lain.
7. Surili Jawa (Presbytis comata)
Primata asli Indonesia lain yang dilindungi karena terancam punah yaitu surili jawa. Primata
unik ini juga merupakan salah satu primata yang cukup dikenal di Jawa Barat. Jenis satwa liar
ini tersebar di Jawa Barat dan Banten.
Satwa pemakan tumbuhan dedaunan, bunga, dan biji-bijian ini kini tidak tersisa banyak.
Sekarang populasinya hanya tersisa sekitar 2.500 ekor. Oleh karena itu Pemerintah segera
mengeluarkan berbagai kebijakan untuk segera melindungi dan melestarikannya.
8. Elang Jawa (Nisaetus bartelsi)
Burung ini merupakan penjelmaan dari Garuda, lambang negara Indonesia. Spesies ini adalah
salah satu jenis burung yang dilindungi dan tersebar di hutan-hutan di Pulau Jawa. Elang jawa
adalah burung predator. Ia memangsa mamalia kecil seperti tikus atau burung-burung kecil. Ia
juga memiliki daya jelajah luas. Ia mampu terbang mencapai 400 hektar dari sarangnya.
Yang patut kita perhatikan adalah penyebabnya terancam punahnya. Di samping perburuan liar,
kemampuan reproduksi yang rendah membuatnya sangat rentan mengalami penurunan populasi.
Ia hanya mampu bertelur sekali setahun. Apabila hal tersebut terus dibiarkan, khawatirnya Elang
Jawa akan benar-benar punah.
9. Burung Trulek Jawa (Vanellus macropterus)
Burung trulek jawa adalah burung yang pernah dinyatakan punah, namun akhirnya statusnya
diubah menjadi kritis pada tahun 2000. Burung ini adalah burung pantai, artinya hanya ada di
sekitar pantai karena ia sangat bergantung mencari makanan di sekitar laut.
Burung ini menjadi sangat terancam punah dikarenakan perburuan yang intensif serta
pengurangan habitat secara masif.
Eksploitasi Burung, Kasus Pidana Kehutanan Terbanyak di Bali

Penangkapan dan perdagangan burung menjadi kasus pidana kehutanan terbanyak di


Bali, dan sebagian besar jenis burung pemangsa atau raptor.

Akumulasi kasus pidana kehutanan/konservasi yang ditangani Balai Konservasi Sumber


Daya Alam (BKSDA) di Bali sejak 2008 menyebutkan ada 62 kasus. Sebanyak 25% di
antaranya adalah kasus terkait burung, dan 17 kasus di antaranya melibatkan raptor. Sisanya
kasus pidana penyu, pelanggaran kawasan konservasi, ikan, mamalia, dan lainnya.

Fathur Rohman, dari Balai KSDA Bali memaparkan 62 kasus penegakan tindak pidana
kehutanan/konservasi sejak 2008 ini jumlahnya fluktuatif tiap tahun, terbanyak pada 2017 (12
kasus), dan tahun berjalan 2018 (7 kasus).

Fathur menyebut populasi burung raptor terus menurun. Misal Elang Jawa di seluruh
Jawa diperkirakan 300 ekor, dibandingkan luas Jawa jumlah ini sangat kecil. Raptor fungsinya
di rantai ekosistem pemangsa, pengendali satwa mangsanya. Selain itu, perkembangbiakannya
lambat. “Sepasang induk perlu 2 tahun untuk besarkan anak, karena sifat teritorialnya harus cari
area lain setelah 2 tahun,” jelasnya. Saat ini angka perburuan raptor dinilai masih besar.

Tercatat ada 25 spesias raptor di Bali yaitu 1 spesies dari famili Pandionidae misal elang
tiram, 19 spesies dari famili Accripitridae menjadi paling banyak jenisnya, misalnya elang tikus,
sikep madu asia, dll. Selain itu ada 5 spesies dari famili Falconidae misal alap-alap capung.
(Avibase, Clements version 2018).

Tumbuhan Endemik Bali Ini Terancam Punah

Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Hayati (OR IPH) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
tahun 2022 akan memberikan dana untuk 22 proposal riset konservasi tumbuhan terancam punah
yang ada di Indonesia. Salah satunya penelitian tanaman endemik Bali
yaitu Pinanga arinasae J.R. Witono.

Saat ini sekitar 132.171,47 hektar atau 23 persen dari luas keseluruhan daratan di Bali adalah
kawasan hutan. Kondisi ini tentunya akan membawa dampak terhadap
keberlangsungan keanekaragaman hayati termasuk P. arinasae.

Tanaman yang dikenal oleh warga lokal dengan sebutan Nyabah atau Jabah ini adalah satu-
satunya jenis palem endemik Bali. ”Nyabah perlu dijaga kelestariannya agar tidak hilang dari
habitatnya,” jelas Ketua Tim Periset, Sutomo.

Menurut penerima Beasiswa Gelar RISET-Pro ini, keragaman genetik P. arinasae cukup rendah.
Hal ini diperkirakan karena populasi alaminya yang sangat terbatas. “Dengan demikian dapat
dipastikan tumbuhan ini kedepannya akan terancam punah,” tutur Sutomo.

Di satu sisi degradasi habitat alaminya mulai meningkat seiring dengan meningkatnya
aktivitas manusia atau anthropogenik, terutama di kawasan wisata Bedugul. ”Di sisi lainnya
upaya perbanyakan jenis target ini di Kebun Raya Bali belum berhasil dengan baik, yang
kemungkinan disebabkan oleh minimnya informasi ekologi jenis-jenis tersebut di habitatnya,”
ucap peraih gelar doktor di Edith Cowan University, Australia Ini.
Ancaman Punahnya Keragaman Hayati Hutan Kalimantan

Belantara Kalimantan merupakan habitat utama bagi sejumlah spesies flora dan fauna — banyak
di antaranya sangat langka, endemik, dan belum teridentifikasi.

Katak jantan dewasa jenis Leptobrachium kantonishikawai sp. nov. adalah spesies katak baru
yang diidentifikasi di Dataran Tinggi Kelabit, Serawak, Borneo

Pulau Borneo sendiri, yang merupakan salah satu pusat biodiversitas terpenting di dunia, telah
menjadi magnet bagi para peneliti selama 150 tahun lebih. Selain penelitian sepanjang 150
tahun, beberapa penemuan yang terakhir saja akan mampu menyibukkan ahli taksonomi
mengklasifikan berbagai jenis spesies baru sampai berpuluh tahun ke depan.

Ingat, penemuan teori evolusi seleksi alam A. R. Wallace terinspirasi dari rangkaian
perjalanannya di Borneo pada 1854-1862.

Laporan WWF-Indonesia (Jakarta, 2008) bertajuk "Dunia yang Hilang Borneo" mengungkap
bahwa hanya ada satu tempat tersisa di Asia Tenggara —yang hutannya habis dengan cepat di
bawah tekanan manusia— di mana hutan masih dapat dilestarikan dalam skala raksasa.

Studi: Deforestasi Ancaman Serius Kehidupan Orangutan Kalimantan

Menurut sebuah studi terbaru menjelaskan, deforestasi di Kalimantan akan menghancurkan


habitat lebih dari 26.000 orangutan, tahun 2032.

Para peneliti menggunakan data historis dan pemodelan dengan pemicu deforestasi yang telah
diketahui untuk memproyeksikan bahwa habitat orangutan sebesar sepersepuluh ukuran negara
Italia dapat hilang selama satu dekade kedepan.

Hutan dengan risiko deforestasi tertinggi berada di sekitar kawasan yang telah mengalami
kehilangan hutan, serta konsesi hutan tanaman industri dan sawit.

Studi ini menunjukkan bahwa keuntungan konservasi terbesar yang didapat secara langsung
berasal dari pembatasan deforestasi di dalam dan sekitar lanskap perkebunan, melalui upaya-
upaya seperti perjanjian tanpa deforestasi, sertifikasi keberlanjutan, restorasi ekosistem, dan
penghentian pembukaan lahan.

Studi terbaru memperingatkan bahwa seperempat habitat populasi orangutan Kalimantan, berada
di areal deforestasi yang diprediksi bakal terjadi dalam beberapa tahun kedepan.

Para ilmuwan menggunakan model tren deforestasi untuk memproyeksikan bahwa 74.419
kilometer persegi [28.733 mil persegi] hutan — sepersepuluh ukuran Italia — akan hilang antara
tahun 2018 dan 2032.

Ini akan mengakibatkan hilangnya habitat bagi 26.200 orangutan, dari total populasi saat ini
sekitar 100.000 individu. Makalah yang diterbitkan 14 Juli 2022 di jurnal Perspectives in
Ecology and Conservation, memprediksi hilangnya hutan seluas 59.949 km2 [23.146 mi2]
antara tahun 2000 dan 2017 di seluruh Kalimantan.
Pulau Kalimantan terbagi antara Indonesia, Malaysia, dan Brunei, meskipun belum tentu
orangutan kalimantan [Pongo pygmaeus] masih hidup di kerajaan kecil Brunei. Menurut sebuah
studi 2018, hampir 150.000 kera besar ini mati antara 1999 dan 2015, sebagian besar karena
deforestasi dan pembunuhan. Studi itu juga memproyeksikan bahwa hilangnya habitat akan
mengarah langsung ke total hilangnya 45.300 orangutan di masa depan antara tahun 2020 dan
2050.
Rencana Pembangunan Jalan Trans Ancam Biodiversitas Hutan Papua

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyatakan terdapat korelasi negatif antara rencana
pembangunan jalan Trans Papua dengan kelangsungan hidup aneka ragam hayati di Hutan
Papua. Menurut peneliti, secara biologis beberapa spesies di kawasan hutan tropis rentan
terhadap pembangunan infrastruktur karena mereka adalah spesies yang secara khusus hidup di
hutan pedalaman yang utuh, gelap, lembab serta cenderung menghindari tepi hutan.

Dalam studinya, Walhi mengidentifikasi keterancaman keanekaragaman hayati akibat


pembangunan jalan berdasarkan wilayah tinggal flora dan fauna di kawasan hutan konservasi.
Berdasarkan Informasi Kawasan Konservasi Region Maluku-Papua, Direktorat Jenderal
Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK (2016), Provinsi Papua
memiliki delapan Cagar Alam (CA), tujuh Suaka Margasatwa (SW), tiga Taman Wisata Alam
(TWA), dan tiga Taman Nasional (TN).

“Enam di antaranya dilintasi oleh dan berdekatan dengan proyek pembangunan jalan Trans
Papua, yaitu CA Enarotali, SM Mamberamo Foja, TN Lorentz, TN Teluk Youtefa, dan TNL
Teluk Cenderawasih. Di Papua Barat, satu kawasan konservasi yaitu CA Pegunungan Fakfak
juga dilewati oleh Jalan MP-31,” ujar Walhi dalam laporannya.

Studi ini lantas mengelompokkan 'ancaman' terhadap keanekaragaman hayati dalam dua
kategori. Kategori pertama, disebut 'terancam' jika pembangunan jalan melewati kawasan
konservasi flora dan fauna dengan status endangered dan critically endangered, menurut
International Union for Conservation Nature (IUCN) dan berstatus Appendix I menurut
Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES).

"Walhi menemukan ada satu flora dan lima fauna berada dalam kategori terancam pembangunan
jalan Trans Papua."

Kategori kedua disebut 'hampir terancam' jika pembangunan jalan melewati kawasan konservasi
flora dan fauna yang dilindungi dengan status selain endangered, critically endangered, dan
Appendix I.
Berdasarkan analisis data tumbuhan dan satwa yang dimiliki oleh BBKSDA Papua Barat lalu
daftar merah spesies terancam di IUCN, juga sumber data lainnya, Walhi menemukan ada satu
flora dan lima fauna berada dalam kategori terancam pembangunan jalan Trans Papua.

Satu spesies flora tersebut yaitu Anggrek Kasut Ungu/Anggrek Kantung (Paphiopedilum
violascens). Tanaman ini diketahui hidup di TWA Teluk Youtefa. Keberadaannya berpotensi
terdampak oleh pembangunan jalan ruas Wamena-Elelim-Jayapura

Kemudian untuk lima spesies fauna yang masuk dalam kategori terancam yaitu Kanguru Pohon
Mbaiso (Dendrolagus Mbaiso), Penyu Sisik (Eretmochelys imbricate), Penyu Hijau (Chelonia
Mydas), Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea), dan Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea).

Fauna Kanguru Pohon Mbaiso hidup di TN Lorentz dan CA Ena- rotali, sementara keempat
spesies penyu tersebut hidup di TNL Teluk Cenderawasih, TN Lorentz, dan CA Enarotali yang
dilewati langsung oleh ruas jalan Wamena-Habema- Mumugu dan ruas Enarotali-Ilaga-Mulia-
Wamena. Sedangkan TNL Cenderawasih mendapat efek tepi dari pembangunan ruas jalan
Wanggar-Kwatisore-Kampung-Muri.

Selain flora dan fauna yang telah disebutkan, studi Walhi juga menemukan satu flora dan enam
belas fauna yang berpotensi mengalami penurunan populasi akibat keberadaan jalan. Mereka
adalah sejumlah spesies yang berstatus data deficient, least concern, near threatened, dan
vulnerable menurut IUCN, dan yang berstatus Appendix II, III, dan Non-Appendix menurut
CITES.

Spesies-spesies ini tersebar di beberapa kawasan konservasi yang dilalui dan terdampak oleh
pembangunan jalan MP-31. Jika pembangunan jalan meningkatkan aktivitas pembangunan dan
perburuan, ekosistem flora dan fauna ini akan semakin terancam dan berpotensi mengalami
peningkatan status seperti dari vulnerable menjadi endangered, atau dari Appendix II menjadi
Appendix I.

Studi Walhi juga mengidentifikasi bahwa ruas jalan Wamena-Habema-Mumugu dan Enarotali-
Ilaga-Mulia-Wamena paling berpotensi mengancam keanekaragaman hayati. Kedua ruas jalan
ini secara langsung melewati kawasan konservasi TN Lorentz dan CA Enarotali, yang
menyebabkan spesies Kanguru Pohon Mbaiso yang menempati kedua wilayah tersebut berada
dalam posisi semakin terancam punah. Apalagi jumlah spesies kanguru yang satu ini
diperkirakan hanya tersisa tak lebih dari 15 ekor saja.

Ruas jalan selanjutnya adalah Wamena-Elelim- Jayapura karena melewati SM Mamberamo Foja
dan berpotensi mempengaruhi keanakeragaman hayati di TWA Teluk Youtefa dalam jangka
panjang. Selain Wamena- Elelim-Jayapura, ruas Fakfak-Windesi juga dinilai cukup mengancam
karena melewati CA Pegunungan Fakfak.

Di luar 24 aneka flora dan fauna tersebut, tentu masih ada banyak satwa dan tumbuhan lainnya
yang sedang dan diduga akan terancam akibat keberadaan jalan. Sebagaimana laporan IUCN
(2015), perburuan menjadi salah satu ancaman yang lebih besar dari semua masalah lain, karena
sangat sulit untuk dipantau dan dideteksi.
Ancaman yang Mengintai Kepunahan Burung Endemik di Maluku Utara

Maluku Utara adalah salah satu rumah bagi ragam jenis spesies langka dan endemik di
Indonesia. Spesies tersebut diantaranya adalah hewan jenis burung.

Menurut catatan Burung Indonesia, jumlah spesies burung endemik di provinsi kepulauan ini
mencapai kurang lebih 40 jenis. Keberadaannya ini tersebar di Pulau Halmahera, Pulau Ternate,
Tidore, Bacan dan Obi. Khusus Pulau Halmahera, tercatat sebanyak 4 spesies, yaitu Cekakak
Murung, Kepudang Halmahera, Kepudang sungu Halmahera, dan Mandar Gendang.

Akhmad David Kurnia Putra, seorang Pengamat Burung di Pulau Halmahera menyebutkan,


keberadaan burung tersebut terancam punah dengan adanya aktivitas manusia saat ini.

Penerbit buku Burung-Burung Indah Maluku Utara tahun 2021 itu menyatakan, ancaman yang
paling umum mengintai burung endemik di Maluku Utara adalah perburuan liar, alihfungsi
lahan, dan perdagangan ilegal.

Tercatat sepanjang periode 2021 sampai awal 2022, ada 177 spesies burung di Indonesia yang
terancam punah. Burung ini terdiri dari 96 spesies dikategorikan Rentan, 51 spesies Genting, dan
30 spesies Kritis. Jumlah ini sekaligus menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah
spesies burung terancam punah terbanyak, mencapai 12 persen dari keseluruhan burung
terancam punah di dunia.

“Padahal, burung ini memiliki fungsi ekologis yang sangat besar, meliputi perannya sebagai
penyebar biji dan penyerbuk alami,” lanjut David, di Sofifi, Jumat, 13 Mei kemarin.

Ia mengatakan, keberadaan burung selain sebagai petani alami di hutan, biodiversitas burung
juga menjadi indikator dalam menilai baik buruknya kualitas habitat.

“Karena karakteristik burung yang dapat hidup di seluruh lingkungan di dunia, peka terhadap
perubahan lingkungan dan penyebarannya sudah cukup diketahui,” lanjutnya.

Menurut data Burung Indonesia, ada sebanyak 1.818 spesies burung yang mendiami Indonesia
pada awal tahun 2022. Dari jumlah ini, terjadi penambahan sebanyak 6 spesies dari tahun 2021
yang berjumlah 1.812.

Laporan berjudul InfoShet Status Burung di Indonesia 2022 ini mencatat, sebanyak 534 spesies
burung endemis di Indonesia, yang penyebarannya meliputi wilayah bioregion Sulawesi –
Maluku sebesar 305 spesies endemis, sekaligus merupakan tingkat endimisitas tertinggi di
Indonesia, disusul bioregion Jawa – Bali 80 spesies, Papua 62 spesies dan bioregion Pulau
Kalimantan sebanyak 50 spesies.

Dua Spesies Burung di Maluku Utara Terancam Punah

Dua spesis burung seperti burung kakaktua putih dan bidadari di Maluku Utara terancam mulai
punah. Hal ini seiring maraknya penebangan dan pengalihan fungsi hutan dalam 10 tahun
terakhir. Analisis keanekaragaman Hayati Burung Indonesia Hanom Bashari (30) mengatakan,
dari 310 jenis burung tidak lebih dari 77 jenis burung di Maluku Utara yang habitatnya mulai
mengalami penurunan secara segnifikan. Dalam setahun penyusutan populasi pun mencapai 10
persen. Untuk burung kakaktua putih populasinya sekarang tinggal 3000-4000 ekor. Dan burung
bidadari diperkirakan hanya tinggal 8000 ekor. ‘kondisi ini kian mengkhawatirkan,” kata hanum
kepada tempo hari ini.

Menurut Hanum, penurunan populasi burung kakaktua putih dan bidadari dikarenakan faktor
perdagangan satwa di Maluku Utara yang kian tinggi. Faktor lain adalah seperti penebangan
hutan dan pengalih fungsi hutan secara besar besaran. Dari data yang dihimpun perdagangan
satwa di maluku utara bisa mencapai 2688 ekor pertahun. Inipun hanya untuk jenis burung nuri.

Sementara untuk burung kakaktua putih mencapai 112 ekor, dan burung bidadari mencapai 166
ekor. ‘Padahal burung Bidadari merupakan spesies yang dilindungi berdasarkan PP nomor 07
tahun 1999 tentang perlindungan satwa dan tumbuhan,” ujar Hanum.

Pendapat yang sama juga dikatakan Ketua Perlindungan Satwa Taman Nasional Aketajawa
Lolobata, Maluku Utara Samiun Suru (56). Menurutnya, penurunan populasi burung di Maluku
Utara lebih disebabkan tidak adanya kebijakan pemerintah yang peduli alam. Maraknya
perdagangan satwa di Maluku Utara dikarenakan lemahnya kontrol pemerintah dan aparat
penegak hukum pada aksi tersebut.

Samiun mengatakan, jalur perdagangan burung di Maluku Utara lebih diarahkan ke pulau jawa
terutama kota Surabaya dan negara Filipina melalui jalur sanger talaud. “Jalur yang diambil pun
kebanyakan merupakan jalur laut. Ada juga jalur udara namun itu lebih banyak dari Kabupaten
Morotai,” katanya.
Primata Sulawesi Dibayangi Ancaman Kepunahan

Semua jenis primata di Pulau Sulawesi dan pulau-pulau kecil yang menjadi satelitnya
mengalami ancaman kepunahan yang serius. Ancaman primata ini terutama hilangnya habitat
akibat perubahan kawasan dan perburuan yang secara masif dilakukan sepanjang tahun. “Di
Sulawesi hanya ada 2 genus primata, macaca dan tarsius,” kata Hanom Bashari, spesialis
keanekaragaman hayati Perkumpulan Biodiversitas Gorontalo (BIOTA), Rabu (30/1/2019).
Hanom Bashari membeberkan, jumlah genus primata ini termasuk tinggi. Dari genus ini
setidaknya terdapat 14 jenis yang terdiri dari 6 jenis macaca dan 8 jenis tarsius yang masuk
dalam The International Union for Conservation of Nature (IUCN).

Semua jenis tersebut tercatat sebagai satwa endemik di sub-kawasan Sulawesi, termasuk pulau
satelitnya seperti Pulau Peleng, Sangihe, Siau, Buton. “Semua macaca jenis terancam punah
global, termasuk Macaca nigra yang kritis (CR) di Sulawesi Utara,” jelas Hanom Bashari. Untuk
jenis tarsius, Tarsius tumpara atau tarsius siau merupakan jenis yang paling terancam dengan
status kritis (CR). Kristisnya jenis-jenis satwa ini juga disebabkan karena wilayah sebarannya
yang sangat sempit, seperti Tarsius tumpara yang hanya ada Siau dan Tarsius sangirensis di
Sangihe.

Seringnya konflik dengan manusia karena dianggap sebagai hama tanaman menyebabkan
monyet diburu meskipun tidak dikonsumsi. Para petani biasanya menggunakan jerat atau racun
dalam konflik ini. “Dari semua jenis macaca dan tarsius tersebut, yang paling terancam adalah
Tarsius tumpara atau tarsius siau,” kata Hanom Bashari.

Hari Keanekaragaman Hayati Internasional: Babirusa dan Ancaman Kepunahan yang


Nyata

Sejak tahun 2000, Hari Keanekaragaman Hayati Internasional atau The International Day for
Biological Diversity diperingati setiap tanggal 22 Mei.

Indonesia merupakan negara yang memiliki keaneragaman hayati terbesar kedua di dunia
setelah Brasil. Namun, kekayaan tersebut baru sebatas wilayah teresterial. Jika digabungkan
dengan lautan, Indonesia berada di peringkat pertama dunia.

Perayaan keanekaragaman hayati kali ini mengambil tema “Building a shared future for all
life” atau Bersama Membangun Masa Depan untuk Semua Kehidupan. Di Gorontalo, acara
digelar dengan membahas satwa unik, endemik, dan juga ikonik Pulau Sulawesi, yaitu babirusa
dan ancaman habitatnya.

Nama yang cukup unik karena menggabungkan dua nama hewan. Megafauna terestrial ini dapat
juga ditemukan di Pulau Buru [Maluku] dan Kepulauan Sula [Maluku Utara].

“Satwa ini dapat dijumpai di hutan-hutan Gorontalo seperti Hutan Suaka Margasatwa Nantu,
Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, hingga hutan di bagian barat Gorontalo seperti di
Kabupaten Pohuwato,” ungkap Debby Mano, Koordinator SIEJ Gorontalo dan juga
Perkumpulan BIOTA [Biodiversitas Gorontalo].
Hanom Bashari, Biodiversity Specialist, menjelaskan untuk populasi babirusa saat ini belum ada
penelitian atau literatur yang pasti menyebutkan angkanya. Namun, berdasarkan IUCN,
populasinya tidak lebih dari 10 ribu ekor untuk seluruh Pulau Sulawesi.

Lokasi terbaik babirusa berada di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, bentang alam blok
Popayato-Paguat, dan Suaka Margasatwa Nantu yang hutannya masih terjaga.

“Babirusa Sulawesi biasanya berkelompok. Anaknya satu sampai dua ekor, tidak banyak seperti
babi hutan. Mereka bisa hidup sampai 20 tahun-an,” jelas Hanom, Minggu [22/05/2022].

Habitat babirusa, kata Hanom, hampir seluruh hutan primer dataran rendah Sulawesi. Baik itu
lembah, area datar, atau tepi sungai. Kadang di tepi hutan sekunder. Hewan ini memiliki habitat
khusus yakni area rawa atau tergenang air dan juga sumber mata air bergaram [salt lick].

“Perburuan dan perdagangan masih menjadi ancaman utama. Berkurangnya hutan-hutan primer
di Sulawesi akibat pembalakan dan konversi menjadi lahan budidaya juga harus diwaspadai,”
ungkapnya.
Pencemaran Laut Terus Terjadi di NTB dan NTT, Pemerintah Diminta Bersikap Tegas

Direktur Eksekutif Daerah WALHI NTT Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi mengecam


aktifitas pencemaran laut yang terjadi di Teluk Bima. Umbu Wulang tegaskan pencemaran
berdampak terhadap keanekeragaman hayati wilayah NTB. Sebutnya,NTB merupakan bagian
dari struktur besar Wallacea yang terkenal dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi di
kepulauan sunda kecil, termasuk Maluku dan Papua yang terancam serius dengan pencemaran
ini. Pencemaran berakibat terhadap hilangnya wilayah kelola rakyat dan abainya negara dalam
melindungi wilayah kelola rakyat khsusunya nelayan.

“Ketika ada makhluk hidup yang mati maka limbah tersebut tentu saja kategorinya berbahaya
dan beracun,” tegasnya.

WALHI NTT meminta agar pemerintah tidak coba-coba membatasi isu ini hanya seolah-olah isu
NTB saja bukan isu nasional, bukan menjadi perhatian publik di Indonesia. Kasus ini harus
dilihat sebagai fakta yang mencerminkan buruknya pengelolaan sumberdaya alam khususnya di
sektor kelautan.

Ia paparkan kasus pencemaran di Teluk Buyat di Provinsi Sulawesi Utara yang heboh tahun
2004 akibat pencemaran oleh PT. Newmont Minahasa Raya. Pencemaran di Teluk Balikapapan
2018 akibat tumpahan minyak dan pencemaran di laut Timor tanggal 21 Agustus 2009 yang
diakibatkan oleh kebocoran ladang minyak Montara.

“Pencemaran di Laut Timor mengakibatkan ribuan nelayan di Pulau Rote kehilangan mata
pencaharian akibat rumput lautnya mati, lautnya juga tercemar,” terangnya.

Umbu Wulang menyayangkan, walau dalam proses pengadilan sudah membuktikan perusahaan
asing asal Australia bersalah, namun sampai hari ini tidak ada ganti rugi kepada masyarakat.

Umbu mengingatkan negara bahwa peristiwa pencemaran dan pengrusakan kawasan pesisir dan
laut di NTT. Selain kasus tumpahan minyak Montara di Laut Timor, ada kasus pencemaran oleh
PLTU Bolok di Kupang serta pencemaran oleh PLTU Ropa di Ende.

Umbu menambahkan praktek pencemaran pesisir dan laut di NTT berpotensi makin menggila
kedepannya, dengan masuk investasi pariwisata skala besar, industri monokultur tambang.

WALHI NTT meyakini dengan kondisi NTT yang belum punya kebijakan pengelolaan ramah
lingkungan maka investasi investasi itu akan memperparah kondisi di NTT.

Soal sampah industri saja mungkin sudah jutaan ton mencemari perairan di NTT. Sampai
sekarang NTT bahkan belum memiliki kebijakan pengurangan sampah secara masif.

Ia menegaskan, peristiwa-peristiwa ini membuktikan bahwa negara selalu abai terhadap urusan-
urusan penghancuran lingkungan dan keselamatan rakyat.
Dirinya menyatakan,NTT sebagai tetangga dekat NTB mengingatkan pemerintah NTB
mencegah pencemaran tersebut agar jangan sampai meluas ke NTT.

“Ini masalah kami bersama, masalah kemanusiaan dan keanekaragaman hayati. Peristiwa ini
kemungkikan besar pemerintah akan sekali lagi lepas tangan,” ucapnya.

“Ini sudah sangat menyusahkan dan berdampak negatif ribuan masyarakat khususnya para
nelayan dan daya dukung alam,” tegasnya.

Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono menyayangkan pencemaran laut di
Teluk Bima, NTB tersebut. Dikutip dari antaranews.com, pihaknya mendukung pemerintah
daerah menyelidiki penyebab terjadinya pencemaran tersebut.

Trenggono menyebutkan kejadian tersebut sangat berdampak terhadap kesehatan laut.


Berdasarkan data yang dikumpulkan UPT KKP di Denpasar, pencemaran terpantau di Pantai
Lawata Kota Bima mulai 27 April 2022.

Kata dia, material penutup permukaan laut berwarna cokelat, berbentuk seperti gel, tidak berbau
minyak dan tidak bercampur dengan air laut.

Ditemukan beberapa ekor ikan di sekitar area pencemaran dalam keadaan mabuk bahkan mati.
Sampai air permukaan, air bawah permukaan dan bangkai ikan telah dikirim untuk uji
laboratorium oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bima.

“Tim kami terus melakukan pengumpulan data. Balai KKP di Jembrana juga sementara
melakukan pencitraan kondisi sebelum dan sesudah kejadian,” ungkapnya.

Anda mungkin juga menyukai