NPM : 1713024047
Kelas :A
1. Harimau Sumatera
Harimau sumatera memiliki nama latin Panthera tigris sumatrae. Populasi Harimau sumatera
sudah sangat sedikit. Saat ini diperkirakan hanya sejumlah 400-500 ekor yang hidup di alam
bebas. Perusakan habitat merupakan ancaman terbesar di masa-masa sekarang. Penebangan
hutan secara liar masih sering terjadi, bahkan dilakukan di taman nasional yang seharusnya
dilindungi. Ada lebih dari 100 ekor harimau terbunuh di tahun 1998 hingga 2018. Untuk
menyelamatkan populasi harimau sumatera yang tersisa, Taman Safari Indonesia ditetapkan
oleh dua puluh kebun binatang di dunia sebagai Pusat Penangkaran Harimau Sumatera.
Selain itu, Taman Safari Indonesia juga diminta untuk melakukan pencatatan silsilah serta
menjadi tempat penyimpanan sperma harimau sumatera.
2. Badak Sumatera
Badak Sumatera atau Dicerorhinus sumatrensis semakin langka dan terancam punah.
Diperkirakan, populasi hewan ini sangat sedikit dan tidak mencapai 200 ekor. Badak
sumatera memiliki dua cula dengan panjang cula depan sekitar 25-80 cm. Cula belakang
lebih pendek sekitar 10 cm. Hewan ini memiliki panjang tubuh 2-3 meter dan berat antara
600-950 kg. Tingginya mencapai 120-135 cm. Di Sumatera, populasi badak sumatera di
Taman Nasional Bukit Barisan berjumlah 60-80 ekor dan di taman Nasional Gunung Lauser
juga sebanyak 60-80 ekor. Selain itu, ada juga di Taman Nasional Way Kambas tersisa
sebanyak 15-25 ekor dan di Taman Nasional Kerinci Seblat diperkiran malah sudah punah.
Menurunnya populasi badak sumatera disebabkan karena kerusakan dan kebakaran hutan.
Ratu, seekor badak betina berusia 9 tahun di Penangkaran taman Nasional Way Kambas baru
saja melahirkan pada Mei 2016. Bayi badak sumatera ini berjenis kelamin betina yang
dilahirkan secara alami. Kelahiran bayi badal ini memberikan sedikit harapan dalam
pengembangan penangkaran badak sumatera di Indonesia.
3. Gajah Sumatera
4. Surili Sumatera
Surili sumatera atau Presbytis melalophos adalah salah satu hewan primata asli di Pulau
Sumatera. Hewan ini memiliki jambul yang menyerupai mahkota di kepalanya. Panjang
tubuh surili jantan dan betina hampir sama, yaitu sekitar 45-49 cm. Ciri khas lainnya adalah
ukuran ekornya yang panjang. Ekornya bisa mencapai satu setengah kali ukuran panjang
tubuhnya, yaitu 71 cm. Surili memiliki sebutan lokal tergantung daerahnya, seperti di
Sumatera Selatan, surili disebut simpai, di Provinsi Lampung disebut chi-cha dan kera putih.
Surili biasanya memakan buah-buahan, bunga, biji, pucuk daun, serta beberapa jenis
serangga. Hewan ini dinyatakan terancam punah oleh International Union for the
Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). Di kawasan Hutan Lindung Bukit
Daun, surili ini sering dijumpai di pinggir jalan.
Surilii hidup secara berkelompok yang terdiri dari satu jantan dan 5-7 betina. Ada juga
beberapa kelompok yang terdiri lebih dari satu jantan tetapi tetap jumlah surili betina dan
anaknya lebih banyak. Jumlah hewan ini dalam satu kelompok bisa mencapai 20 ekor.
Lambat laun jumlahnya semakin berkurang, kini sekitar 2 kelompok masing-masing hanya
ada 8-12 ekor.
5. Burung Tokhor Sumatera
Saat ini hampir semua orangutan sumatera hanya ditemukan di Provinsi Sumatera Utara dan
Provinsi Aceh, dengan Danau Toba sebagai batas paling selatan sebarannya. Populasi
orangutan terbesar di Sumatera dijumpai di Leuser Barat (2.508 individu) dan Leuser Timur
(1.052 individu), serta Rawa Singkil (1.500 individu). Populasi lain yang diperkirakan
potensial untuk bertahan dalam jangka panjang terdapat di Batang Toru. Diperkirakan jumlah
total populasi orangutan sumatera kini tinggal 6000 ekor. Menurunnya populasi orangutan di
alam akibat rusaknya hutan dataran rendah yang menjadi habitat utama orangutan dan
perburuan liar untuk diperdagangkan. Morfologi orangutan yang mirip sekali dengan manusia
dan terlihat lucu ketika masih kecil, membuat orangutan menjadi salah satu favorit primata
yang diperdagangkan secara ilegal.
Orangutan adalah satwa dilindungi yang tidak boleh diperdagangkan dan dipelihara sebagai
satwa peliharaan (pet animal). Menurut UU nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam hayati dan Ekosistemnya, pelaku perdagangan orangutan bisa dikenakan sanksi
hukuman penjara 5 tahun dan denda Rp 100 juta. Namun meskipun sudah dilindungi,
perdagangan orangutan masih terjadi. Rendahnya kesadaran masyarakat dan lemahnya
penegakan hukum menjadi pemicu masih maraknya perdagangan orangutan. Alih fungsi
hutan menjadi perkebunan sawit juga turut mempersempit ruang gerak orangutan. Di banyak
kasus, orangutan sengaja dibunuh oleh perkebunan karena dianggap hama. Habitat orangutan
menjadi terpecah-pecah sehingga semakin memperkecil peluang orangutan untuk bertahan
hidup dalam jangka waktu panjang.