Anda di halaman 1dari 5

Badak Sumatera di Ambang Kepunahan

Badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), juga dikenal sebagai badak


berambut atau badak asia bercula dua, merupakan spesies langka dari famili
Rhinocerotidae dan termasuk salah satu dari lima spesies badak yang masih ada.
Penyebab langkanya spesies ini tidak lain dan tidak bukan adalah dikarenakan
perburuan. Cula serta bagian-bagian tubuh lain dari badak sumatera digunakan
sebagai bahan obat tradisional. Selain itu cula dari Badak Sumatera biasa juga
dijadikan sebagai hiasan dinding, azimat, hingga bahan dari pembuatan narkoba.
Dan untuk saat ini, hilangnya habitat hutan menjadi ancaman utama bagi
kelangsungan hidup badak sumatera yang tersisa.

Pada tahun 1986, spesies ini ditambahkan ke dalam Daftar Merah IUCN
(International Union for Conservation of Nature) sebagai satwa terancam punah
(endangered). Para ilmuwan saat itu meyakini ada sekitar 425 sampai 800 badak
sumatera yang tersisa di bumi. Pada tahun 1996, ketika spesies tersebut terdaftar
sebagai amat terancam punah (critically endangered), jumlahnya turun menjadi
400. Kemudian di tahun 2008, perkiraan tersebut turun menjadi 275. Tujuh tahun
kemudian, angka resmi menyebut hanya tersisa 100 individu badak sumatera.
Dalam 20 tahun, hampir dua pertiga populasinya hilang begitu saja. Kebanyakan
ahli percaya angka 100 individu untuk Badak Sumatera terlalu tinggi. Bibhad
Talukdar, Ketua Kelompok Spesialis Rhino Asia IUCN menyatakan bahwa sangat
sulit untuk menghitung Badak Sumatera, karena medan habitatnya dan
perilakunya.

Ironisnya, nasib badak berbulu ini ternyata tak jauh beda dengan
kehidupannya di masa lalu. Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal
Current Biology, memaparkan bahwa badak sudah berhadapan dengan fase
kepunahan sejak 10.000 tahun yang lalu. Hal ini dikemukakan oleh Terri Roth,
ahli badak dari Pusat Konservasi dan Penelitian Habitat Spesies Terancam Punah
kebun binatang Cincinnati, Amerika Serikat, ia menyatakan bahwa spesies ini
(Badak Sumatera) sudah berada dalam fase kepunahan untuk waktu yang sangat
lama.

Hasil penelitian tersebut berdasarkan dari analisis genetik DNA badak


Sumatera bernama Ipuh yang tinggal di Kebun binatang Cincinnati selama 22
tahun. Tim menggunakan teknik yang disebut pemodelan Pairwise Sequential
Markovian Coalescent (PSMC), yang memungkinkan mereka untuk
memperkirakan populasi spesies yang mencakup ribuan generasi hanya dengan
pengurutan gen dari satu individu saja. Dengan menggunakan sampel DNA Ipuh,
tim membandingkan hasilnya dengan data fosil dan iklim untuk mengumpulkan
gambaran bagaimana nasib badak sumatera selama beberapa juta tahun terakhir.

Dan kini berada di ambang kepunahan yang sangat genting karena


perburuan dan perdagangan cula untuk memenuhi kepuasan manusia. Cula badak
dijadikan menjadi obat tradisional yang dipercaya dapat menyembuhkan berbagai
macam penyakit, seperti kanker. Khasiat cula badak dipercaya di beberapa negara
di Asia seperti Malaysia, Korea Selatan, India, dan China. Di China, cula badak
diserut atau dihancurkan menjadi bubuk, dilarutkan ke dalam air panas, kemudian
larutan tersebut dikonsumsi untuk menyembuhkan demam, rematik, encok, dan
menjadi penawar jika tergigit ular berbisa. Selain itu, cula badak menjadi berharga
karena keindahan warnanya ketika diukir. Ukiran cula tersebut diperuntukan
untuk menjadi aksesoris, tasbih, kancing, pegangan belati, hiasan rambut, dan
lain-lain.
Selain itu, cula badak dipercaya juga sebagai azimat. Tidak sedikit
masyarakat yang mempercayai kekuatan gaib, mulai dari sebagai sarana pelet,
kekebalan, pengasihan, keselamatan, pelarisan, hingga kekayaan. Bahkan,
terdapat beberapa situs di internet yang menjual cula badak ini secara terang-
terangan. Tentunya hal ini dilarang oleh Undang-Undang yang berlaku di
Indonesia. Cula badak dipercaya juga dapat digunakan untuk bahan pembuatan
narkoba. Cula badak digiling menjadi bubuk untuk narkoba. Bubuk cula dianggap
seperti kokain, kecuali tanpa efek farmasi. Beberapa campuran bubuk dengan
alkohol bahkan disebut sebagai ramuan mewah minuman jutawan. Sementara
yang lain hanya mengendusnya layaknya bubuk obat-obatan terlarang.

Segudang khasiat yang dipercaya ini membuat harga cula badak di pasar
internasional sangat tinggi. Investigator Wildlife Crime and Trade – WWF-
Indonesia, Novi Hardianto mengatakan bahwa harga cula badak di pasar
internasional mencapai Rp. 25 juta per-gramnya. Harga yang sangat tinggi ini
mendorong orang-orang untuk memburu badak dan mengancam populasi badak di
dunia, dan salah satunya adalah badak sumatera.

Segudang khasiat dari cula badak yang dipaparkan di atas tersebut


sayangnya belum teruji kebenarannya. Hingga pada tahun 1983, WWF
Internasional bersama IUCN mempublikasikan hasil studi farmasi yang menguji
dan membuktikan kebenaran akan khasiat cula badak. Hasil studi tersebut
menyatakan bahwa tidak ada bukti sama sekali bahwa cula badak memiliki efek
medis untuk mennyembuhkan penyakit. Cula badak tersusun dari zat protein
keratin, sama seperti zat yang menyusun kuku dan rambut manusia. Dr Arne
Schiotz dari WWF Internasional menyatakan bahwa secara medis, mengonsumsi
cula badak sama saja dengan kita memakan kuku atau rambut kita sendiri. ini
membuktikan bahwa cula badak tidak memiliki fungsi selain untuk pemiliknya
sendiri, yaitu badak itu sendiri.

Namun, penyebab utama dari berkurangnya populasi badak sumatera


adalah habitatnya yang semakin sempit akibat alih fungsi habitat menjadi
perkebunan sawit, pertambangan, dan untuk kepentingan lainnya.
Sumatera adalah salah satu pulau dengan tingkat deforestasi tertinggi di
dunia. Diantara tahun 2000 dan 2012 pulau ini telah kehilangan 2,86 juta hektar
kawasan hutannya, seperti diungkap oleh sebuah penelitian di jurnal Nature
Climate Change.

Sumatera telah kehilangan 85 persen hutan alamnya hanya dalam waktu


50 tahun. Kerusakan sebagian besar disebabkan oleh perluasan perkebunan sawit,
pertambangan dan hutan tanaman industri untuk bahan baku pulp. Situasi ini telah
menyebabkan tidak saja badak, namun sebagian mamalia besar Sumatera
termasuk harimau, gajah, orangutan dan owa terancam. Meskipun badak adalah
spesies yang paling genting.

Dengan kondisi ini, hilangnya hutan, berkembangnya jaringan jalan,


perkembangan wilayah perdesaan dan infrastruktur proyek lainnya, menjadikan
pembuatan koridor adalah pilihan yang paling tidak memungkinkan untuk
menghubungkan populasi badak yang terputus.

Melihat hal ini, para ahli badak dalam pertemuan di bulan Februari dan
Mei tahun 2015, datang dengan rencana alternatif. Mereka bermaksud untuk
mengkonsolidasikan semua badak yang tersisa menjadi dua atau tiga populasi
besar. Dr Susie Ellis, direktur eksekutif IRF menyatakan bahwa konsolidasi telah
bekerja dengan baik di Afrika, India dan Nepal, untuk populasi badak hitam,
badak putih serta badak bercula satu. Kami telah mendengar keahlian dan saran
para pakar badak Afrika sebagai masukan.

Harapan menambah populasi badak sumatera terus diusahakan dengan


melakukan penangkaran. Indonesia sendiri berhasil menangkarkan badak dan
melahirkan Andatu yang menjadi badak pertama yang lahir di penangkaran di
Indonesia pada 2012 lalu. Namun itu semua tidaklah cukup.

Salah satu persoalannya adalah soal perkembangbiakannya yang terbilang


lambat. Betina tidak mencapai tingkat kematangan seksual hingga umur 6 atau 7
tahun, sementara jantan baru mencapai tingkat kematangan seksualnya pada umur
10 tahun. Lalu, betina hanya kawin sekali setiap empat atau lima tahun, dan masa
kehamilan mereka selama 16 bulan. Setelah itu, anak badak akan tinggal dengan
induk mereka selama dua hingga tiga tahun. Jika sampai badak sumatera punah,
artinya seluruh genus ini juga punah. Pasalnya, badak sumatera merupakan satu-
satunya spesies dari genus Dicerorhinus yang bisa bertahan hidup hingga
sekarang. Genus ini merupakan grup paling primitif yang berevolusi dari 15 juta
tahun hingga 20 juta tahun lalu.

Badak sumatera yang merupakan hewan endemik di Indonesia, lebih


tepatnya Sumatera harus dilindungi oleh Pemerintah dan masyarakat Indonesia
serta dunia. Kita tidak boleh melakukan perburuan, dan harus mencegah segala
macam jenis perburuan badak sumatera yang terjadi. Langkah Pemerintah untuk
membangun Taman Nasional Way Kambas pada tahun 1989, Taman Nasional
Gunung Leuser pada tahun 1980, dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan pada
tahun 1982. sudah menjadi langkah yang bagus. Selain itu, langkah membuat
Undang-Undang yang melindungi hewan langka sudah sangat tepat. Oleh karena
itu, kita harus mendukung langkah Pemerintah ini dengan mentaati hukumnya.

Anda mungkin juga menyukai