Pendahuluan
A. Latar belakang
Sesuai dengan namanya, kawasan konservasi dalam bentuk suaka margasatwa (game
sanctuary) ditujukan untuk memperlindungi satu atau beberapa jenis satwa tertentu, di dalam
habitat aslinya. Suaka margasatwa adalah kawasan yang dibuat untuk menjaga kelestarian
satwa yang berstatus terancam, langka, rawan, dan terkikis . Satwa dengan status terancam
dan langka pada umumnya disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain karena daerah
sebarannya yang terbatas, atau hanya hidup setempat; karena tingkat reproduksi yang lambat
dan rendah; variasi pakan yang terbatas dan spesifik; kemampuan adaptasi yang rendah
terhadap perubahan; atau kemungkinan jenis bersangkutan bersifat monotipik. Sedangkan
untuk jenis satwa yang berstatus rawan atau terkikis, umumnya disebakan oleh faktor
ancaman kerusakan habitat atau eksploatasi yang terus-menerus, seperti perburuan atau
pembasmian. Di luar jenis satwa yang status aman (out of danger), ternyata masih jauh lebih
banyak lagi jenis satwa atau tumbuhan yang tidak dapat ditempatkan pada salah satu status
tadi, karena kemungkinan jenis tersebut tidak pernah memperoleh perhatian, sehingga tidak
dimiliki data konservasi sedikitpun. Jenis seperti ini dapat dikategorikan sebagai jenis yang
terabaikan (inattentionable), ataupun least concerned. Suatu jenis satwa yang telah
menempati status, dapat berubah statusnya ke status lain karena faktor-faktor internal
maupun eksternal – dari aman menjadi terancam, langka, rawan atau terkikis, ataupun
sebaliknya.
Menyimak cukup tinggi dan sangat beragamnya satwa Indonesia, baik yang
menghuni daratan maupun perairan, maka memang dibutuhkan perhatian yang serius dalam
rangka konservasi jenis dan habitat. Kesulitan akan dihadapi apabila jenis satwa yang
membutuhkan perlindungan tersebut memiliki daerah jelajah (range) yang luas, atau karena
bersifat migratoar. Beberapa jenis burung, misalnya burung perancah (wader), cukup sulit
untuk dipertahankan hanya di dalam sebuah kawasan tertentu. Oleh karena itu, aspek-apek
yang perlu menjadi perhatian dalam rangka pelestarian satwa seperti ini adalah dengan
menjaga tempat-tempat yang digunakan untuk mencari pakan, bersarang, atau transit secara
permanen setelah melakukan ruaya-jenis.
1|Page
Kebanyakan satwa Indonesia yang tergolong mamalia besar, primata, burung, atau
reptil saat ini mengalami kemerosotan jumlah, sehingga dibutuhkan konservasi in-situ yang
memadai dalam bentuk suaka margasatwa. Namun demikian, penetapan suatu kawasan
sebagai suaka tidaklah cukup, karena yang tidak kalah pentingnya adalah melindungi
keberadaan suaka yang sudah ditetapkan.
Banyak kawasan konservasi saat ini sudah ditetapkan, tetapi masih penuh
dengan ancaman dari luar, terutama efek-tepi (marginal effects). Pembalakan, perburuan,
pemboman, penjeratan dan bahkan penggunaan racun, masih dilakukan di berbagai kawasan
suaka, bukan hanya di bagian tepi, tetapi sampai di area inti.
Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus), badak Sumatra (Dicerorhinus sumatrensis),
harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae), macan tutul (Panthera pardus melas), macan
dahan (Neofelis diardi), Bekantan (Nasalis larvatus), orangutan (Pongo pygmaeus dan Pongo
abelii), Anoa (Bubalus depressicornis dan Bubalus quarlesi), babirusa (Babyrousa
babyrussa), dan masih banyak lainnya, merupakan mamalia yang membutuhkan kawasan-
kawasan khusus yang luas. Sementara burung, juga semakin banyak mengalami ancaman,
seperti jalak Bali (Leucopsar rothschildi), tiga jenis kasuari (Casuarius sp.), kakatua hitam
(Probosciger aterrimus), burung-burung cenderawasih (Paradiseidae), dan lainnya juga
membutuhkan kawasan perlindungan yang memadai. Buaya-buaya dan senyulong Indonesia
(Crocodilus sp. dan Tomistoma schelegelii), lebih menderita, bukan hanya persoalan habitat
yang semakin langka, juga karena sumber pakan yang sudah semakin pupus.
Beberapa species satwa sudah menghuni taman nasional, cagar alam, hutan lindung,
dan sebagainya, namun perlu ada perluasan kawasan-kawasan suaka pada beberapa lokasi.
Seharusnya, setiap wilayah provinsi di Indonesia memiliki kawasan konservasi paling kurang
40 % dari luas total wilayahnya. Hutan lindung sebenarnya cukup baik untuk menjadi wadah
perlindungan, tetapi hutan lindung bukan untuk konservasi genetika, melainkan untuk
pelestarian fungsi-fungsi ekologis yang mengarah pada sistem hidro-orologis, mikroklimasi,
kesuburan tanah pencegahan longsor dan banjir ,cadangan air dan sebagainya.
Karena itu, hutan lindung tidak memokus pada kekayaan jenis yang ada, sebab biarpun hanya
10-20 jenis tumbuhan yang ada di dalamnya, dan satwanya ada atau tidak ada, apabila
formasinya sudah permanen, maka dapat ditetapkan sebagai hutan
lindung.
2|Page
Dalam rangka mendukung pelestarian satwa di Indonesia, sampai dengan tahun 2008,
baru ditetapkan suaka margasatwa sebanyak 73 lokasi dengan luas total 5.422.922,79 hektar.
1. Dasar Hukum
Kawasan ini ditetapkan berdasarkan SK. MENHUT NO.911/KPTS-II/1999 tgl 14
oktober 1999
Secara geografis terletak pada Lintang: 05º 24’ 40” LS – 05º 27’ 36” LS dan Bujur:
119º 33’ 07” BT – 119º 39’ 48” BT.
Sedangkan secara admnistratif terletak pada Sebelah Utara Biring Bulu, Sebelah
Timur Palombangkeng Utara, Sebelah Selatan Takalar, Sebelah Barat Gowa.
3. Sejarah
1963: Penunjukan kelompok hutan Lauwa ± 800 ha dan kelompok hutan Komara ±
15.624 ha sebagai kawasan hutan dengan fungsi sebagai hutan lindung.
1976: Surat Pendahuluan Ditjen Kehutanan Dirjen PPA mengenai survey oreintasi
daripada cadangan Suaka Alam atau Hutan Wisata Propinsi Sulawesi Selatan.
1981: Pengusulan penunjukan kelompok hutan Lauwa dan Komara seluas ± 5.500
ha dan areal hutan di antara kelompok hutan Lauwa dan Koara seluas ± 500 ha
(tanah negara bebas) sebagai Suaka Margasatwa.
1987: Perubahan status Hutan Lindung Komara seluas ± 8.000 yang terletak di
Kabupaten Takalar Sulsel menjadi Taman Buru Komara seluas ± 4.610 ha dan
Suaka Margasatwa Komara seluas ± 3.390 ha.
1999: Dilakukan penetapan sebagai Suaka Margasatwa komara dan telah dilakukan
tata batas seluas ± 2.972 ha
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan Uraian di atas, maka yang menjadi pokok pembahasan tentang kawasan
suaka margasatwa sebagai berikut:
1. Apa itu kawasan konservasi dan terbagi berapa pengelolaan di dalamnya?
3|Page
2. Tujuan pembentukan kawasan suaka margasatwa?
3. Apa saja kriterian kawasan suaka margasatwa?
4. Upaya apa yang di lakukan dalam pengawetan kawasan suaka maragasatwa
ko,mara tersebut?
5. Kegiatan apa saja yang boleh dan tidak boleh di lakukan di dalam kawasan suaka
margasatwa?
6. Potensi dan keunikan suaka margasatwa ko’mara?
C. TUJUAN PENULISAN
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan penulisan makalah ini sebagai
berikut:
1. Untuk mengteahui apa itu kawasan konservasi dan terbagi berapa pengeloaan di
dalamnya?
2. Untuk menegtahui tujuan pembentukan kawasan suaka margasatwa?
3. Untuk mengetahui apa saja kriteria kawasan suaka margasatwa?
4. Untuk mengetahui upaya apa yang di lakukan dalam pengawetan kawasan suaka
margasatwa?
5. Untuk mengetahui kegiatan apa sja yang boleh dan tidak boleh di lakukan di
dalam kawasan suaka margasatawa?
6. Untuk mengetahui potensi dan keunikan suaka margasatwa ko’mara?
4|Page
II. Tinjauan Pustaka
A. DEFENISI KAWASAN KONSERVASI
Konservasi atau conservation dapat diartikan sebagai suatu usaha pengelolaan yang
dilakukan oleh manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam sehingga dapat
menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya secara berkelanjutan untuk generasi manusia saat
ini, serta tetap memelihara potensinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi-
aspirasi generasi generasi yang akan datang.
Berdasarkan pengertian tersebut, konservasi mencakup berbagai aspek positif, yaitu
perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan secara berkelanjutan, restorasi, dan penguatan
lingkungan alam (IUCN, 1980). Pengertian tersebut juga menekankan bahwa konservasi
tidak bertentangan dengan pemanfaatan aneka ragam varietas, jenis dan ekosistem untuk
kepentingan manusia secara maksimal selama pemanfaatan tersebut dilakukan secara
berkelanjutan.
a. Jenis-jenis pengelolaan kawasan konservasi
1) Konservasi in situ
Konservasi in situ adalah kegiatan konservasi flora/fauna yang dilakukan
didalam habitat aslinya. Konservasi in situ mencakup kawasan suaka alam
(Cagar Alam dan suaka Marga Satwa) dan kawasan pelestarian alam (Taman
Nasional, Taman Hutan Raya dan Hutan Wisata Alam). Menurut Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1990 yang dimaksud
dengan Cagar Alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaaan
alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau
ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung
secara alami. Suaka Margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai
ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk
kelangsungan hidupnuya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.
Taman Nasional Adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai
ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budi daya, pariwisata,
rekreasi. Taman Hutan Raya adalah kawasan pelestarian alam yang terutama
dimanfaatkan untuk periwisata dan rekreasi alam.
5|Page
2) Konservasi Ek Situ
Dilakukan oleh lembaga konservasi, seperti kebun raya, arboretum, kebun
binatang, taman safari dan tempat penyimpanan benih dan sperma satwa,
Kebun Raya adalah kawasan yang diperuntukkan sebagai tempat koleksi
tumbuh-tumbuhan yang mempunyai nilai ekonomis atau penting bagi ilmu
pengethuan, penelitian dan pendidikan botani serta sebagai tempat rekreasi.
Contoh : Kebun Raya Purwodadi. Arboretum adalah kebun pohon-pohonan
yang merupakan salah satu bentuk konservasi plasma nuftah hasil buatan
manusia. Kebun Binatang adalah tempat/wadah pengumpulan berbagai
macam satwa yang dipelihara, diperagakan untuk umum dalam rangka
pengadaan sarana rekreasi alam yang sehat untuk mendidik dan
mengembangkan budaya masyarakat dalam memelihara keseimbangan,
kelestarian lingkungan.
1. Merupakan tempat hidup dan perkembangbiakan dari jenis satwa yang perlu
dilakukan upaya konservasinya;
2. Merupakan habitat dari suatu jenis satwa langka dan atau dikhawatirkan akan
punah;
6|Page
3. Memiliki keanekaragaman dan populasi satwa yang tinggi;
4. Merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu; dan atau
5. Mempunyai luasan yang cukup sebagai habitat jenis satwa yang
bersangkutan.
7|Page
g. Larangan juga berlaku terhadap kegiatan yang dianggap sebagai tindakan
permulaan yang berkibat pada perubahan keutuhan kawasan, seperti :
1. memotong, memindahkan, merusak atau menghilangkan tanda batas
kawasan,
2. membawa alat yang lazim digunakan untuk mengambil, mengangkut,
menebang, membelah, merusak, berburu, memusnahkan satwa dan tumbuhan
ke dan dari dalam kawasan.
h. Sesuai dengan fungsinya, Suaka Margasatwa dapat dimanfaatkan untuk
8|Page
b. Keunikan suaka margasatwa ko’mara
Suaka margasatwa ko’mara memiliki keunikan dari segi ekosistem hutan
hujan tropis dataran rendah dan dan terdapat banyak tegakan-tegakan pinus dan air
terjun didalamnya sehingga pada kawasan ini cukup memiliki daya tarik tertentu
bagi peneliti-peneliti.
9|Page
III. Penutup
A. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas dapat di simpulkan keberadaan kawasan
suaka marga satwa sangat penting untuk kelanjutan hidup dan populasi pada satwa
flora maupun fauna yang terancam punah dan dapat bertahan hidup pada kawasan
suaka marga satwa,
B. SARAN
Berdasarkan Kesimpulan di atas, adapun saran sebagai berikut:
1. Menambah Luasan Kawasan suaka margasatwa/mengalih fungsikan kawasan
hutan yang dapat di ubah menjadi Kawasan Pelestaian Alam.
2. Mendata atau menginventarisir Seluruh Wilayah kawasan yang mempunyai
satwa yang terancam punah
3. Perlunya sinergi antara Pemerintah dan Masyarakat tentang keberadaan
Kawasan pelestarian Alam.
10 | P a g e
IV. DAFTAR PUSTAKA
Seringanawan, Suaka Margasatwa Ko,mara 2018: Pengertian, Dasar Hukum, Letak dan
Sejarah Diambil dari: http://ksdasulsel.menlhk.go.id/post/suaka-margasatwa-komara
Surat keputusan menteri kehutanan tgl 14 oktober 1999 SK. MENHUT NO.911/KPTS-
II/1999
Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Selatan, Rencana Pengelolaan
Suaka Marga Satwa Ko’mara Tahun 2012 – 2022, Makassar.
Ir. Suprayitno, Teknik Pengelolaan Kawasan Konservasi, Bahan Ajar Pusdiklat
Kehutanan Bogor, Bogor, 2008;
11 | P a g e