Anda di halaman 1dari 3

Hutan TNTP terancam punah (penyebab dan dampak)

Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) yang berlokasi di Kabupaten Kotawaringin


Barat Provinsi Kalimantan Tengah dengan luas sekitar 287.115 Ha (Siswanto 2017),
menghadirkan berbagai keindahan dan keanekaragaman hayati yang luar biasa baik flora
maupun faunanya. Taman Nasional Tanjung Puting menjadi kawasan konservasi alami (in
situ) untuk flora dan fauna, sehingga berpotensi menjadi kawasan pengembangan sektor
pariwiwsata, pendidikan, penelitian, dan utamanya dijadikan kawasan ekowisata.
Kekayaan flora yang dimiliki oleh TNTP meliputi meranti, jelutung, gaharu, rotan,
nipah, kayu lanan, dan lain-lain. Selain itu, terdapat kekayaan faunanya yang meliputi berupa
hewan primata mamalia yang dilindungi seperti bekantan, orang utan, owa-owa, beruang
madu, kijang, kancil, babi hutan, dan lain-lain. Kawasan ini juga melindungi jenis reptile
berupa buaya dan 200 jenis burung yang hidup di TNTP. Salah satu satwa yang menjadi
simbol dari TN ini adalah Orangutan. Hal ini, menjadikan daya tarik wisatawan untuk
mengunjungi TNTP.
Jenis Orangutan yang hanya dapat ditemukan di Indonesia adalah Pongo pygmaeus
(OT Borneo) dan Pongo abelii (OT Sumatra). Namun, keberadaan satwa ini semakin
terancam punah karena pada kenyataanya kondisi dan kawasan sekitar TNTP ditemukan
berbagai ancaman kerusakan. Menurut Oktaviani (2018), kegiatan illegal yang dilakukan
secara sengaja oleh sebagian besar manusia untuk kepentingan golongan atau pribadi, dapat
dilihat oleh beberapa contoh kasus seperti:
a) Penebangan liar disekitar hutan konservasi. Salah satunya jenis kayu melamin yang
berada di sepanjang tepi sungai Taman Nasional Tanjung Putting. Kenyataannya jenis
kayu ini telah dilindungi oleh pemerintah. Akibat dari aksi penebangan tersebut
terjadi kerusakan di sekitar hutan TNTP yang mencapai 40% dari total luas lahan.
b) Kegiatan pembakaran hutan, diperkirakan sekitar 16.000 hektar hutan habis terbakar.
Kebakaran yang disebabkan oleh pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit yang
membuat satwa liar kehilangan tempat tinggal mereka.

Rusaknya ekosistem dan habitat satwa yang ada disebabkan masyarakat yang belum
memahami fungsi hutan sebagai kawasan konservasi, sehingga terdapat kegiatan perusakan,
pengambilan hasil hutan, pembakaran hutan, hingga perburuan liar yang akan berdampak
buruk bagi ekosistem dan manusia disekitarnya. Dampak tersebut akan menimbulkan
kehilangan biodiversitas, sistem hidrologis terganggu, kerugian secara ekonomis, perubahan
iklim hingga pemanasan global, dan lain-lain.
Upaya perlindungan kerusakan hutan lindung (rehabilitasi, restorasi, konservasi satwa)
Berdasarkan contoh kasus yang menyebabkan ancaman terhadap degradasi ekosistem
TNTP, dipicu oleh laju pertumbuhan penduduk dan aktivitas sosial ekonomi masyarakat yang
tinggal disekitar kawasan hutan konservasi. Kondisi ini semakin mendesak dan merambah
kawasan hutan sehingga alih fungsi lahan terus menerus terjadi, yang mempunyai korelasi
positif terhadap peningkatan kerusakan lingkungan hutan, pencemaran lingkungan dan
bencana alam. Oleh karena itu, diperlukan pengelolaan lingkungan dan perhatian dari semua
pihak. Pemerintah dapat mendorong upaya kerjasama antar stakeholder dalam pengelolaan
lingkungan khususnya dalam upaya rehabilitasi, restorasi, & konservasi lingkungan sebagai
upaya preventif penanggulangan kerusakan (Muttaqien 2021)
a) Rehabilitasi, usaha untuk mengembalikan produktivitas pada kawasan hutan dengan
mengembalikan tumbuhan maupun satwa yang sebelumnya terdapat pada kawasan
tersebut;
b) Restorasi yaitu membangun kembali keanekaragaman hayati pada kawasan tersebut
agar struktur pada hutan kembali seperti semula;
c) Konservasi, meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan sumber daya hayati yang
menyesuaikan atau perubahan kondisi dan situasi setempat.

Peraturan penggunaan wilayah konservasi sebagai pariwisata


Kawasan TNTP ditetapkan sebagai kawasan strategis pariwisata nasional (KSPN),
penataan ruangnya memiliki pengaruh penting secara nasional, ekonomi, sosial, warisan
dunia, terutama bagi ekosistem. Penataan ruang ini menjadikan kawasan ini sebagai
pariwisata, hal ini telah disebutkan dalam UU No.10 Tahun 2009, tentang Kepariwisataan
yang berbunyi pembangunan kepariwisataan diwujudkan melalui pelaksanaan rencana
pembangunan kepariwisataan dengan memperhatikan keanekaragaman, keunikan, dan
kekhasan budaya dan alam, serta kebutuhan manusia untuk berwisata. Taman Nasional
Tanjung Puting terpilih sebagai salah satu kawasan yang diprioritaskan pengembangannya
dari 88 KSPN, hal ini dinyatakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
2015-2019 dengan obyek wisata berupa konsep Ecotourism atau ekowisata (Wisata berbasis
alam).
Konsep ekowisata ini dinilai tepat untuk dikembangkan dengan beberapa alasan yang
melandasinya antara lain 1) Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati dan ekowisata
bertumpu pada SDA dan budaya sebagai atraksi. Namun, disisi lain Indonesia juga
mengalami ancaman degradasi keanekaragaman hayati baik darat maupun laut, sehingga
memerlukan strategi yang tepat untuk menekan laju kerusakan alam; 2) melibatkan
masyarakat, hal ini berguna untuk mengubah kesalahan-kesalahan dalam konsep pengelolaan
pariwisata sebelumnya. Hal ini lebih bersifat komersial dan memarginalisasikan masyarakat
setempat, serta mampu menyerap tenaga kerja yang lebih besar (Karya K 2016).
Dampak kerusakan hutan terhadap orangutan
Upaya perlindungan kerusakan hutan lindung (rehabilitasi, restorasi, konservasi satwa)
Hutan TNTP sebagai salah satu kawasan yang paling berharga di Provinsi Kalimantan
Tengah, menjadi kawasan konservasi orangutan terbesar didunia. Namun, populasi orangutan
setiap tahunnya semakin menurun, diperkirakan tahun 2025 jumlah populasi orangutan akan
menurun sekitar 47.000, hingga saat ini masih tersisa sekitar 73.000 orangutan (Fitriya 2017).
Hutan konservasi Taman Nasional Tanjung Putting saat ini sering mengalami kerusakan,
sehingga kondisi habitat orangutan yang berada didalamnya semakin terancam. Hal tersebut
juga disebabkan oleh ulah manusia yang setiap tahunnya sengaja merusak alam dan hutan
untuk mengambil hasil yang ada didalam hutan, kemudian dijual serta dimanfaatkan hanya
untuk kepentingan perusahaan atau kepentingan dirinya sendiri.
Kegiatan perburuan satwa dan pembunuhan yang dilakukakan oleh manusia terhadap
orangutan, masih sering terjadi di kawasan TNTP dengan dibuktikan sering ditemukannya
peralatan berburu disekitar kawasan hutan oleh petugas yang berada disekitar kawasan hutan.
Tak hanya kegiatan perburuan liar, manusia juga melakukan pembunuhan orangutan yang
dianggap menganggu manusia. Masyarakat menganggap bahwa orangutan mengganggu
perkebunan kepala sawit warga di sekitar perbatasan Taman Nasional Tanjung Puting.
Kurangnya pemahanan masyarakat bahwa kehadiran orangutan di TNTP mampu
meningkatkan sektor perekonomian dan destinasi wisata bagi para wisatawan, sehingga
kehidupan masyarakat pun juga ikut sejahtera.
Pada dasarnya orangutan tidak akan menganggu lahan perkebunan kelapa sawit jika
habitatnya tidak diganggu oleh manusia. Menurut (Sihite 2009), masalah utama pembunuhan
orangutan bukan terletak pada sawitnya, tetapi konversi lahan hutan menjadi perkebunan
kelapa sawit. Hutan yang hilang dan dijadikan sebagai tempat perkebunan kelapa sawit,
menyebabkan sumber pakan orangutan pun juga akan hilang, akhirnya orangutan beralih ke
perkebunan kelapa sawit dengan memakan tunas-tunas kelapa sawit.

Sumber:
Karya K. 2016. Potensi Hutan Mangrove sebagai Kawasan Ekowisata di Kecamatan Sei
Nagalawan Kabupaten Serdang Bedagai [skripsi]. Medan (ID): Universitas Sumatera Utara.
Muttaqien A. 2021. Upaya perlindungan hutan konservasi atas pemberian izin pemanfaatan
panas bumi. Jurist-Diction. 4(1): 1-16.
Nurmadiyan AZ. 2017. Pengembangan pariwisata di destinasi Taman Nasional Tanjung
Puting Provinsi Kalimantan Tengah [skripsi]. Bandung (ID): Universitas Pendidikan
Indonesia.
Sihite J. 2009. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007-2017. Bali
(ID): Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan Republik
Indonesia
Siswanto W. 2017. Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia. German: GIZ.

Anda mungkin juga menyukai