BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konservasi
Konservasi adalah pelestarian atau perlindungan.Secara harfiah,
konservasi berasal dari bahasa Inggris, (Inggris)Conservation yang artinya
pelestarian atau perlindungan.Sedangkan menurut ilmu lingkungan,
Konservasi adalah:
Upaya efisiensi dari penggunaan energi, produksi, transmisi,
atau distribusi yang berakibat pada pengurangan konsumsi
energi di lain pihak menyediakan jasa yang sama
tingkatannya.
Upaya perlindungan dan pengelolaan yang hati-hati terhadap
lingkungan dan sumber daya alam
Pengelolaan terhadap kuantitas tertentu yang stabil sepanjang
reaksi kiamia atau transformasi fisik.
Upaya suaka dan perlindungan jangka panjang terhadap
lingkungan
Suatu keyakinan bahwa habitat alami dari suatu wilayah
dapat dikelola, sementara keaneka-ragaman genetik dari
spesies dapat berlangsung dengan mempertahankan
lingkungan alaminya.
Berat
Genus dan subgenus Spesies Nama umum badan
(kg)
Genus felis
F.guigna Kodkod -
Genus neofelis
Genus panther
Genus acinonyx
7,303 ± 13,14 ±
Leukosit ( x 10 ³ / µl ) 11,6 ± 3,52 10,35 ± 3,5
3,69 4,28
Eritrosit ( x 10 6/µl ) 7,83 ± 1,34 6,67 ± 1,01 7,9 ± 1,23 6,84 ± 1,06
MCH (pg /cell) 15,4 ± 2 19,7 ± 1,8 16,6 ± 1,5 18,3 ± 1,7
Phosphor (mg / dl ) 5,3 ± 1,2 5,8 ± 1,4 5,5 ± 1,3 5,9 ± 1,8
BUN (mg/dl ) 31 ± 9 27 ± 7 32 ± 9 36 ± 9
Uric acid (mg / dl ) 0,3 ± 0,3 0,3 ± 0,3 0,2 ± 0,3 0,2 ± 0,2
Bilirubin total (mg / dl ) 0,3 ± 0,2 0,2 ± 0,4 0,2 ± 0,2 0,3 ± 0,2
Bilirubin (mg/dl) – direct 0,1 ± 0,1 0 0,1 0,1 ± 0,1 0,1 ± 0,1
Bilirubin (mg/dl) –
0,2 ± 0,1 0,2 ± 0,6 0,1 ± 0,2 0,2 ± 0,2
indirect
Triglyceride (mg / dl ) 23 ± 11 40 ± 26 44 ± 28 48 ± 41
AP ( IU / L ) 25 ± 31 40 ± 41 35 ± 39 37 ± 54
Total protein ( g / dl ) 7,1 ± 0,7 7,1 ± 0,6 7,4 ± 0,7 6,7 ± 0,6
BAB III
PEMBAHASAN
masalah konservasi satwa liar.Pada mulanya artikel yang ditulis oleh bangsa
Indonesia hampir tidak ada.Pada tahun 1955, F. J. Appelman seorang rimbawan
senior Indonesia menulis artikel tentang konservasi alam di Indonesia dalam
majalah kehutanan Tectona.
Perhatian pemerintah mulai timbul lagi sejak tahun 1974, diawali oleh
kegiatan Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam yang berhasil menyusun
rencana pengembangan kawasan-kawasan konservasi di Indonesia dengan
bantuan FAO/UNDP (Food and Agriculture Organization of the United Nations
Development Programme), dan usaha penyelamatan satwa liar yang diancam
kepunahan dengan bantuan NGO.
Pada waktu pertemuan teknis IUCN (International Union for The
Conservation of Nature and Natural Resources) ke-7 di New Delhi, India pada
tanggal 25-28 November 1969, Indonesia mengirimkan beberapa utusan,
diantaranya adalah Ir. Hasan Basjarudin dan Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng. Pada
konferensi tersebut wakil dari Indonesia menyampaikan makalahnya dengan judul
“Suaka Alam dan Taman Nasional di Indonesia: Keadaan dan permasalahannya”
dan “Pendidikan Konservasi Alam di Indonesia”. Kedua makalah tersebut
mendapat tanggapan positif dari peserta konferensi, sehingga perhatian dunia luar
terhadap kegiatan konservasi alam di Indonesia semakin meningkat.
Pada tahun 1982 di Bali diadakan Kongres Taman Nasional Sedunia ke-3
yang melahirkan Deklarasi Bali. Terpilihnya Bali sebagai tempat kongres
mempunyai dampak yang positif bagi perkembangan pengelolaan hutan suaka
alam dan taman nasional di Indonesia. Pada tahun 1978 tercatat tidak kurang dari
104 jenis telah dinyatakan sebagai satwa liar dilindungi. Pada tahun 1985,
keadaannya berubah menjadi 95 jenis mamalia, 372 jenis burung, 28 jenis reptil, 6
jenis ikan, dan 20 jenis serangga yang dilindungi.
Kemajuan kegiatan konservasi alam di Indonesia juga banyak dirangsang oleh
adanya World Conservation Strategy, yang telah disetujui pada waktu sidang
umum PBB tanggal 15 Maret 1979. Pada tahun 1983 dibentuk Departemen
Kehutanan, sehingga Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam statusnya
diubah menjadi Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam
(PHPA) yang tugas dan tanggung jawabnya semakin luas. Di fakultas-fakultas
kehutanan dan biologi sudah mulai diajarkan ilmu konservasi alam dan
pengelolaan satwa liar.Bahkan di beberapa fakultas kehutanan sudah
dikembangkan jurusan Konservasi Sumber Daya Alam.
Dari segi undang-undang dan peraturan tentang perlindungan alam juga
banyak mengalami kemajuan, beberapa undang-undang dan peraturan
peninggalan pemerintah Hindia Belanda, telah dicabut dan diganti dengan UU No.
5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Dan pada tahun 1990-an mulai banyak berdiri LSM di Indonesia yang menangani
tentang satwa liar.
1. Morfologi :
Harimau sumatera adalah subspesies harimau
terkecil.Harimau sumatera mempunyai warna paling gelap di
antara semua subspesies harimau lainnya, pola hitamnya berukuran
lebar dan jaraknya rapat kadang kala dempet. Harimau sumatera
jantan memiliki panjang rata-rata 92 inci dari kepala ke buntut atau
sekitar 250 cm panjang dari kepala hingga kaki dengan berat 300
pound atau sekitar 140 kg, sedangkan tinggi dari jantan dewasa
dapat mencapai 60 cm. Betinanya rata-rata memiliki panjang 78
inci atau sekitar 198 cm dan berat 200 pound atau sekitar 91 kg.
Belang harimau sumatera lebih tipis daripada subspesies harimau
lain. Warna kulit harimau sumatera merupakan yang paling gelap
dari seluruh harimau, mulai dari kuning kemerah-merahan hingga
oranye tua. Subspesies ini juga punya lebih banyak janggut serta
surai dibandingkan subspesies lain, terutama harimau jantan.
Ukurannya yang kecil memudahkannya menjelajahi
rimba.Terdapat selaput di sela-sela jarinya yang menjadikan
mereka mampu berenang cepat.Harimau ini diketahui
menyudutkan mangsanya ke air, terutama bila binatang buruan
tersebut lambat berenang.Bulunya berubah warna menjadi hijau
gelap ketika melahirkan.
Motif belang pada harimau sangat unik. Layaknya sidik jari
pada manusia, tidak ada harimau yang mempunyai motif yang
sama persis. Bahkan ketika bulunya dicukur habis, motif belang
akan tetap ada di kulitnya.
2. Luas kandang harimau :
3. Pakan yang diberikan
C. FELIDAE
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
Daftar Pustaka
Birchard S.J. and R.G. Sherding . 2000. Saunders manual of small animal
practice. W.B. Saunders Co. Philadelphia
Fowler M.E. ; R.E. Miller. 2003. Zoo and Wild Animal Medicine. Elsevier
Science. USA..
Fowler M.E. ; R.E. Miller. 1999. Zoo and Wild Animal Medicine. W.B. Saunders
Co.
Klostt, G. ; E.M. Lang. Handbook of Zoo Medicine. Van Nostrand Reinhold Co.
Mader, D.R. 1997. Reptile medicine and Surgery. W.B. Saunders Co.
Philadelphia
Quesenberry, K,E and Hillyer, E,V. 1993. Exotic pet Mediceine 1 in The
Veterinary Clinics of North America. W.B. Saunders Co.