Anda di halaman 1dari 7

Konservasi Berbasis Kearifan Lokal di Tembawang Suku Dayak,

Kalimantan Barat
Angelia Astria
31160048
Secara etimologi, kearifan lokal terdiri dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal
(local). Pada KBBI, lokal berarti setempat sedangkan kearifan sama dengan kebijaksanaan.
Sehingga jika dilihat secara etimologis, kearifan lokal (local wisdom) dapat diartikan sebagai
gagasan-gagasan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang
tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Menurut Suhartini (2009) kearifan lokal merupakan suatu bentuk kearifan lingkungan
yang ada dalam kehidupan bermasyarakat di suatu tempat dan komunitas tertentu. Kearifan
lokal menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan dalam kegiatan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup. Hal ini tercantum dalam UU No.32 Tahun 2009 bahwa
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum dimana seluruh kegiatan yang
berhubungan dengan perlingdungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan
beberapa hal diantaranya :
(1) keragaman karakter dan fungsi ekologi
(2) sebaran penduduk
(3) sebaran potensi sumber daya
(4) kearifan lokal
(5) aspirasi masyarakat
(6) perubahan iklim.
Kearifan lokal berkaitan dengan konservasi tanaman yang terancam punah dapat diartikan
sebagai bentuk pengetahuan baik nilai, norma maupun aturan khusus yang sampai saat ini masih
dilakukan, ditaati dan dijaga kelestariaannya oleh masyarakat di suatu tempat untuk menjaga
kelestarian SDA yang berada di lingkungannya.
Tembawang merupakan salah satu contoh kearifan lokal suku Dayak di Kalimantan
Barat. Tembawang adalah sebuah hutan adat dengan sistem penggunaan lahan oleh masyarakat,
berupa hutan yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi karena terdiri dari beberapa
jenis tanaman mulai dari pohon yang berdiameter besar hingga jenis rumpun-rumpun.
Tembawang merupakan suatu bagian dari tradisi, kebudayaan dan kebiasaan masyarakat yang
melekat sampai saat ini. Di dalam tembawang tidak diperbolehkan menebang pohon, menanam
tanpa izin atau mengalihfungsikan kawasan, pelanggaran peraturan dikenakan sanksi adat.
Tembawang bagi masyarkat Dayak memiliki berbagai fungsi yakni sosial, ekonomi,
ekologis/konservasi ( Soeharto,2014) dan religius magis ( Tri Stimulus Amar Pro Konservasi)
yang terintegrasi dalam pola pengelolaannya (Zuhud, 2007). Sikap memiliki masyarakat
terhadap tembawang terjadi karena tembawang diwariskan nenek moyang secara turun temurun
( milik bersama), memiliki nilai sejarah dan spiritual serta diatur oleh hukum adat.
Terdapat ciri-ciri tertentu sehingga suatu klasifikasi lahan dapat disebut sebagai
tembawang, yaitu :
1. Lahan bekas tempat tinggal dan berdirinya rumah betang
2. Ada penyebab tertentu yang menjadi alasan ditinggalkannya pemukiman tersebut
3. Dulunya boleh dilakukan kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan di lahan tersebut
4. Dimiliki oleh individu (tuan rumah) yang apabila generasinya putus atau pindah ke
tempat yang sangat jauh maka kepemilikan menjadi adat/komunal
5. Setelah ditinggalkan lahan tersebut tidak boleh dilakukan kegiatan pemanfaatan
maksimal (seperti pembukaan ladang) yang diatur oleh adat.
Biji-biji yang tumbuh di tembawang berasal dari buah-buahan yang didapatkan dari
hutan, hasil barter dengan barang lainnya, hasil pergiliran tanaman atau kiriman sanak saudara
yang ada di daerah lain. Setelah menjadi tembawang, tanaman yang tumbuh adalah hasil
pemudaan/regenerasi alami, bantuan satwa liar atau sengaja ditanam. Terdapat 147 jenis
tanaman yang tumbuh di tembawang (pradityp pres comm,2015). Komposisi agroforest
tembawang dicirikan oleh banyaknya pohon penghasil buah/biji, kayu dan getah ( Sumarhani
dan Kalima, 2015) yang sesuai dengan kondisi tembawang suku Dayak Iban Desa Sungai
Mawang yaitu :
1. Bahan bangunan/pertukangan yaitu jenis-jenis Dipeterocarpaceae
2. Bahan industri berupa getah/lateks yaitu Ficus sp, pulai (Alstonia scholaris), nyatoh
(Madhuca motleyana)
3. Tanaman obat (Clusiaceae, Rubiaceae, Rutaceae )
4. Tanaman untuk upacara adat yaitu pinang (Areca catechu), ensurai (Ardisia
teysmanniana), akar sirih (Dissochaeta gracilis) dan kemali (Leea indica)
5. Tanaman pangan termasuk buah-buahan musiman yaitu Durio sp, Mangifera sp,
Artocarpus sp, kemayau (Dacryodes rubiginosa), rambai (Crypteronia griffihii),
kundung (Litsea garciae), Kepayang (Pangium edule), ciruk (Xanthophyllum
obscurum), langsat (Lansium domesticum) dll.
Spesies penting yang ada di tembawang adalah tengkawang.“Tengkawang” atau meranti
merah merupakan tanaman maskot Kalimantan Barat yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Tengkawang adalah salah satu flora endemik Kalimantan Barat yang telah dibudidayakan sejak
tahun 1881. Dalam bahasa setempat meranti merah (Shorea stenoptera) disebut tengkawang
tungkul dan dalam bahasa Inggris dikenal dengan illipe nut atau Borneo tallow nut. Klasifikasi
tanaman tengkawang adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi :Magnoliophyta
Class :Magnoliopsida
Ordo :Theales
Famili :Dipterocarpaceae
Genus :Shorea
Spesies : Shorea stenoptera
Berdasarkan data IUCN tahun 1998 Shorea stenoptera yang merupakan maskot provinsi
Kalimantan Barat ini masuk dala kategori endangered (terancam punah). Penurunan populasi
Shorea stenoptera disebabkan karena perubahan fungsi hutan dan kemungkinan karena
lambatnya pembungaan di habitat aslinya. Meranti merah baru berbunga setelah berumur
sekitar 40 tahun dan berbuah 3-5 tahun sekali. Ketika dibudidayakan dari biji, tengkawang
dapat berbungan pada umur 8-10 tahun dan berbuah setiap tahun.
Potensi tengkawang yang dimanfaatkan oleh masyarakat suku Dayak di Kalimantan Barat
yaitu buah, batang dan damarnya. Biji tengkawang diolah untuk menghasilkan minyak nabati.
Turunannya juga digunakan sebagai bahan dasar pembuatan makanan, cokelat, pelumas, obat,
lilin dan komestik. Kegunaan ini membuat suku Dayak di Kalimantan Barat menganggap
tengkawang sebagai pohon kehidupan. Bahkan, karena manfaatnya yang penting pohon ini
diwariskan kepada keturunannya. Jika sudah tua, batangnya digunakan sebagai bahan dasar
bangunan.
Di tembawang, pohon tengkawang masih terjaga dengan baik oleh masyarakat
Kalimantan Barat karena masyarakat mempunyai kearifan lokal dalam mengelola pohon
tengkawang yaitu :
1. Buah tengkawang disemi di halaman belakang rumah, buah tengkawang tersebut
ditanam di media polybag dan dibiarkan tumbuh sampai siap ditanam, setelah itu bibit
ditanam kembali di area tembawang.
2. Pohon tengkawang tidak boleh ditebang kecuali untuk membangun rumah
3. Adanya larangan untuk menjual kayu pohon tengkawang, bila ada yang melangggar
maka akan mendapat hukuman adat.
Tanaman di tembawang yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan terdiri dari 58
spesies dan 12 spesies rempah-rempah. Bagian yang dimanfaatkan berupa buah, faun,
umbi/umbut maupun kulit kayu yang dimanfaatkan dengan dikonsumsi secara langsung atau
diolah terlebih dahulu sebagai pelengkap nasi atau sebagai bumbu masak/rempah, alas
pengganti piring, pembungkus kue dan sebagainya.
Tembawang memiliki nilai dan fungsi ekologi dimana dalam pengelolaan maupun
pemanfaatannya menggunakan prinsip-prinsip konservasi. Sebagai contoh nilai ekologi
tembawang masyarakat suku Dayak Iban di Desa sungai Mawang, Kapuas Hulu, Kalimantan
Barat yaitu kawasan lindung sebagai hutan adat, habitat tumbuhan dan satwa dan penyedia jasa
lingkungan. Ditetapkan sebagai hutan lindung lainnya berdasarkan Perda No 1 Tahun 2014-
2034 Tentang RTRW Kabupaten Kapuas Hulu; UU No 41 Tahun 1999; Putusan MK 35/PUU-
X/2012. Pengawetan sumberdaya genetik/plasma nutfah, terdapat beberapa jenis
tumbuhan/satwa di tembawang merupakan jenis yang dilindungi menurut PP No 7 Tahun 1999,
Appendix I-III CITES dan Red List IUCN. Pemanfaatan sumberdaya (tumbuhan dan satwa)
secara lestari pangan, papan, obat-obatan tradisional, upacara adat dan ekonomi, dikelola dan
dimanfaatkan sesuai dengan tradisi/budaya masyarakat suku Dayak serta hukum adat yang
berlaku petinggi adat dayak Iban Kabupaten Kapuas Hulu (2007)
Tembawang dikelola secara bersama-sama oleh masyarakat, yang diatur dengan hukum
adat. Kemauan masyarakat untuk mengelola tembawang adalah untuk memanfaatkan dan
melestarikan hutan adat (Lumangkun, et.al, 2012). Pemanfaatan di dalam tembawang harus
meminta izin kepada petinggi adat yaitu Patih, Kepala dusun/Tuai rumah sebagai pelaksana
hukum adat. Dalam pemanfaatan tembawang terdapat aturan-aturan adat tertulis yang harus
dipatuhi oleh seluruh masyarakat, apabila dilanggar akan dikenakan sanksi atau denda adat.
Pelaksanaan sanksi dan denda adat dilaksanakan oleh petinggi adat dibantu oleh perangkat desa
dan penegak hukum (Polisi). Hukum adat memberikan dampak positif yaitu sebagai benteng
terakhir dalam mempertahankan eksistensi tembawang kedepannya.
Dalam keberlanjutan tembawang sebagai kawasan konservasi terdapat kekuatan yang
mendukung yaitu :
1. Masyarakat kaya pengetahuan tentang pengelolaan sumberdaya tembawang secara
informal dari nenek moyang.
2. Kepemilikan dan hal pemanfaatan sumberdaya tembawang jelas (komunal dan adat).
3. Aturan pengelolaan tembawang dalam bentuk hukum adat dilaksanakan dengan tegas.
4. Hukum adat yang mengikat dan dilaksanakan secara konsisten oleh seluruh
masyarakat.
5. Rasa memiliki (selt belonging) masyarakat terhadap tembawang tinggi.
6. Masyarakat merasakan keamanan dan kenyamanan dalam mengakses sumberdaya
tembawang.
7. Tidak membutuhkan biaya dalam pengelolaan karena merupakan warisan dari
generasi sebelumnya.
8. Masih terdapat plasma nutfah penting bagi pangan, obat-obatan tradisional, bangunan
dan bahan kerajinan.
Namun, keberadaan tembawang semakin terancam karena :
1. Pemanfaatan belum optimal, banyak kualitas jenis tidak unggul.
2. Tidak ada budidaya tanaman unggul jenis lokal/endemic.
3. Tembawang tidak memiliki pengelolaan yang berlembaga.
4. Lahan tembawang tidak dapat diperluas.
5. Keterbatasan informasi sebagai akses terhadap pasar lemah.
6. Tidak ada jaminan tembawang tetap eksis.
7. Kebijakan pemerintah tidak memihak masyarakat adat
8. Masuknya budaya kapitalis merubah perilaku sosial dan budaya, timbul konsumerisme
dan individualis.
9. Masuknya industri-industri dan perkebunan seperti perkebunan sawit.
Beberapa rekomendasi yang disarankan sehingga konservasi berbasis kearifan lokal d
Tembawang tetap berlanjut adalah :
1. Memperkuat tradisi/budaya dengan mempertahankan nilai-nilai luhur yang dianut
sejak zaman nenek moyang termasuk hukum adat.
2. Melakukan komunikasi dua arah secara berkala dengan pemerintah daerah, provinsi
dan pusat mengenai berbagai hal yang menyangkut masyarakat adat dan pemanfaatan
sumberdaya alam.
3. Mempertahankan nilai fungsi tembawang (sosial, ekonomi, budaya dan konservasi)
supaya tetap lestari sebagai warisan bagi generasi selanjutnya.
4. Mengembangkan sebuah sistem penanaman intensif jenis tanaman bernilai tinggi di
dalam tembawang.
5. Pencarian informasi mengenai permintaan hasil-hasil hutan non-kayu serta akses
langsung ke fasilitas pemasaran untuk mengurangi ketergantungan terhadap
perdagangan dari luar.
6. Menjadikan tembawang sebagai kawasan konservasi yang berlembaga dan diatur
dalam Perda.
7. Dikembangkan sebagai kawasan ekowisata.
REFERENSI

Lumangkun A, Natalina U, Ratih. 2012. Pengelolaan tembawang oleh masyarakat di dusun


Landau desa Jangkang Benua kecamatan Jangkang kabupaten Sanggau.
Seminar Nasional Agroforestri III; 2012 Mei 29; Pontianak, Indonesia.
Pontianak (ID): Universitas Tanjungpura. hlm 438 –442
Suhartini. 2009. Kajian Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Ling-kungan. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan
Penerapan MIPA. Fakultas MIPA Universitas Negeri Yogyakarta yang dise-
lenggarakan pada 16 Mei 2009.
Soeharto B. 2014. Tembawang: Bukan Sekedar Sistem Agroforestri. Bogor (ID): CIFOR.
Syarifatul Y, Santoso N, Soekmadi R. 2016. Pengelolaan tembawang suku dayak iban di desa
sungai mawang, puring kencana, kapuas hulu, kalimantan barat. Jurnal
Media konservasi vol 21 no 2 Agustus 2016. Institut pertanian Bogor. Hlm
99-107.
Zuhud EAM. 2007. Sikap Masyarakat dan Konservasi (Suatu Analisis Kedawung Sebagai
Stimulus Tumbuhan Obat bagi Masyarakat, Kasus di Taman Nasional Meru
Betiri [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai