BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Budaya tak akan lepas dari kehidupan manusia. Dimana ada budaya disitulah
peradapan manusia berada karena budaya merupakan hasil karya cipta manusia penuangan
atas ide, gagasan yang dianggap baik dan kemudian diwujudkan dalam bentuk tindakan yang
dilakukan terus menerus sehingga menjadi kebiasaan. Perbedaan kepribdian manusia
menjadikan budaya yang berkembang menjadikan keanekaragaman budaya yang ada. Antara
daerah satu an lainnya tidak sama. Hal itu secara tidak langsung menuntut manusia untuk
memahami dan mempelajari budaya yang ada sehingga dapat saling menghargai antar
sesama. Sulawesi merupakan pulau terbesar ke-4 di Indonesia tidak mengherankan jika
banyak terdapat suku bangsa dan berkembangnya budaya-budaya. Sebagai bangsa yang baik
perlu mempelajari sisi-sisi menarik yang berkembang dalam pulau yang besar itu.
2. Rumusan Masalah
A. Apa yang mendasari perbedaan budaya di Sulawesi?
B. Apa yang mendasari lahirnya budaya di Sulawesi?
C. Suku apa saja yang ada di dalamnya?
D. Bagaimana perkembangan budaya di daerah itu?
E. Bagimana keadaan masyarakat di Sulawesi?
F. Tradisi apa saja yang berkembang di dalamnya?
G. Bagaimana sikap masyarakat Sulawesi terhadap tradisi didaerahnya?
3. Tujuan
a. Mengenal budaya nusantara khususnya di daerah Sulawesi
b. Mengetahui kebudayaan yang berkembang di daerah Sulawesi
c. Mengetahui adat istiadat dan tradisi di Sulawesi
d. Mengetahui pandangan hidup,cara berfikir dan keadaan mansyarakat Sulawesi
e. Menambah wawasan budaya nusantara mahasiswa
f. Menumbuhkan rasa cinta tanah air pada diri mahasiswa
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kebudayaan Sulawesi
1. Kebudayaan Sulawesi Utara
Kebudayaan di Sulawesi Utara. Selain kaya akan sumber daya alam sulawesi utara
juga kaya akan seni dan budaya yang diwariskan oleh nenek moyang. Berbagai seni dan
budaya dari berbagai suku yang ada di provinsi sulawesi utara justru menjadikan daerah nyiur
melambai semain indah dan mempesona. Berbagai pentas seni dan budaya maupun tradisi
dari nenek moyang memberikan warna tersendiri bagi provinsi yang terkenal akan kecantikan
dan ketampanan nyong dan nona Manado.
Secara garis besar penduduk di Sulawesi Utara terdiri atas 3 suku besar yakni
suku minahasa, suku sangihe dan talaud dan suku bolaang mongondow. Ketiga
suku/etnis besar tersebut memiliki sub etnis yang memiliki bahasa dan tradisi yang
berbeda-beda. Tak heran Provinsi Sulawesi Utara terdapat beberapa bahasa daerah
seperti Toulour, Tombulu, Tonsea, Tontemboan, Tonsawang, Ponosakan dan Bantik
(dari Suku Minahasa), Sangie Besar, Siau, Talaud (dari Sangihe dan Talaud) dan
Mongondow, Bolaang, Bintauna, Kaidipang (dari Bolaang Mongondow)
Propinsi yang terkenal akan semboyan torang samua basudara (kita semua
bersaudara) hidup secara rukun dan berdampingan beberapa golongan agama seperti
Kristen, Katolik, Islam, Hindu, Budha dan Kong Hu Chu. Namun dari keaneka ragaman
tersebut bahasa Indonesia masih menjadi bahasa pemersatu dari berbagai suku dan
golongan.
2. Budaya Gorontalo
Gorontalo merupakan salah satu propinsi yang berdiri belakangan. Gorontalo adalah
provinsi yang ke-32 di Indonesia. Sebelum jadi propinsi Gorontalo merupakan sebuah daerah
Kabupaten Gorontalo dan Kota Madya Gorontalo yang ada di Sulawesi Utara. Seni dan
budaya Gorontalo sebagai bagian kekayaan dari keanekaragaman budaya indonesia
Ada banyak bahasa daerah di Gorontalo. Namun hanya terdapat tiga bahasa, yaitu
bahasa Gorontalo, bahasa Suwawa serta bahasa Atinggola. Sekarang ini bahasa Gorontalo
telah dipengaruhi oleh bahasa Indonesia, sehingga kemurnian atau keaslian bahasanya sangat
sulit diperoleh di Gorontalo.
a. Seni & Budaya Daerah
Gorontalo sebagai salah satu suku yang ada di Pulau Sulawesi memiliki aneka ragam
kesenian daerah, baik tari, lagu, alat musik tradisional, adat-istiadat, upacara keagamaan,
rumah adat, dan pakaian adat. Tarian yang cukup terkenal di daerah ini antara lain, Tari
Bunga, Tari Polopalo, Tari Danadana, Zamrah, dan Tari Langga.
Sedangkan lagu-lagu daerah Gorontalo yang cukup dikenal oleh masyarakat Gorontalo
adalah Hulandalo Lipuu (Gorontalo Tempat Kelahiranku), Ambikoko, Mayiledungga (Telah
Tiba), Mokarawo (Membuat Kerawang), Tobulalo Lo Limuto (Di Danau Limboto), dan
Binde Biluhuta (Sup Jagung).
Penyanyi-penyanyi asal daerah Gorontalo yang terkenal, antara lain, Rama Aipama, Silvia
Lamusu, Lucky Datau, Hasbullah Ishak, Shanty T., dan Gustam Jusuf. Rama Aipama lahir di
Gorontalo pada tanggal 17 September 1956, yang kemudian mencapai sukses besar dalam
dunia tarik suara di Jakarta. Alat musik tradisional yang dikenal di daerah Gorontalo adalah
Polopalo, Bambu, dan Gambus (berasal dari Arab).
Pernikahan Adat Gorontalo
Pernikahan merupakan salah satu keunikan tersendiri dan tentu saja memiliki ciri khas
tersendiri di Gorontalo. Hampir semua penduduk Provinsi Gorontalo seluruhnya memeluk
agama Islam, sehingga turut mempengaruhi budaya yang ada di Provinsi ini, dan sudah tentu
adat istiadatnya yang ada di Goronltalo juga sangat menjunjung tinggi kaidah-kaidah ajaran
agama Islam.
Di Gorontalo ini ada semboyan yang selalu dipegang oleh masyarakat setempat yaitu,
"Adati hula hula Sareati – Sareati hula hula to Kitabullah". Artinya Adat Bersendikan Syara,
Syara Bersendikan Kitabullah. Pengaruh agama Islam sudah menjadi hukum tidak tertulis di
Gorontalo sehingga hampir segala kehidupan masyarakat yang ada di Gorontalo mengandung
nilai nilai Islam.
Termasuk di antaranya adalah dalam hal pernikahan. Adat pernikahan yang ada di
Gorontalo yang sangat bernuansa Islami. Upacara Prosesi pernikahan dilaksanakan menurut
Upacara adat yang sesuai tahapan atau Lenggota Lo Nikah. Tahapan yang pertama biasa
disebut dengan Mopoloduwo Rahasia, yaitu dimana orang tua dari pria mendatangi kediaman
orang tua sang wanita untuk memperoleh restu pernikahan anak mereka. Apabila masing-
masing orang tua menyetujui, maka baru ditentukan waktu untuk melangsungkan
peminangan atau Tolobalango.
Penarikan garis keturunan yang berlaku di masyarakat Gorontalo adalah bilateral,
garis ayah dan ibu. Seorang anak tidak boleh bergurau dengan ayahnya melainkan harus
berlaku taat dan sopan. Sifat hubungan tersebut berlaku juga terhadap saudara laki-laki ayah
dan ibu.
Menurut masyarakat Gorontalo, nenek moyang mereka bernama Hulontalangi, artinya
‘pengembara yang turun dari langit’. Tokoh ini berdiam di Gunung Tilongkabila. Kemudian
dia menikah dengan salah seorang perempuan pendatang yang bernama Tilopudelo yang
singgah dengan perahu ke tempat itu. Perahu tersebut berpenumpang delapan orang. Mereka
inilah yang kemudian menurunkan orang Gorontalo, tepatnya yang menjadi cikal bakal
masyarakat keturunan Gorontalo saat ini. Sejarawan Gorontalo pun cenderung sepakat
tentang pendapat ini karena hingga saat ini ada kata bahasa Gorontalo, yakni 'Hulondalo'
yang bermakna 'masyarakat, bahasa, atau wilayah Gorontalo'. Sebutan Hulontalangi
kemudian berubah menjadi Hulontalo dan akhirnya menjadi Gorontalo.
Budaya Gorontalo diyakini sudah berkembang sejak berabad-abad lamanya. Namun
puncak dari perkembangan itu dimulai sejak tahun 1385 masehi, dimana pada masa itu 17
kerajaan kecil atau linula bersepakat membentuk sebuah serikat kerajaan. Namun dari empat
raja tersebut kata pemerhati Budaya Gorontalo, Alim Niode yang terpilih dan diangkat
menjadi maharaja adalah Ilahudu untuk memimpin serikat kerajaan yang disebut dengan
kerajaan Hulondhalo. Alim mengatakan, sejak saat itu, masyarakat Gorontalo terus mencipta
beragam kebudayaan yang sampai dengan saat ini tetap terpelihara. Pada masa itu refleksi
demokrasi di Gorontalo didasarkan pada refleksi alam sehingga itu jarah kebudayaan
Gorontalo disebut sebagai adati asali.
Nilai budaya Gorontalo yang mengaliri wujud kebudayaan Gorontalo sejak awal
berbasiskan pandangan harmoni dengan mengambil pelajaran yang ditunjukan oleh alam.
Sementara itu kebudayaan Islam masuk ke Gorontalo pada tahun 1525 masehi melalui ternate
dan kerajaan hulondhalo yang terdiri dari 17 kerajaan kecil pada saat itu masih menganut
kepercayaan animisme. Hulondhalo yang dipimpin Sultan AMAY, membawa agama Islam
masuk ke Gorontalo dan menjadikannya sebagai agama kerajaan di Gorontalo pada waktu
itu. Pengaruh agama islam itu karena Sultan Amay memiliki kedekatan dengan kerajaan
Palasa di Sulawesi Tengah sehingga ia membawa ajaran islam ke Gorontalo sekaligus
menikahi putri negeri palasa sebagai permaisurinya. Jelaslah kata Alim, filasafat budaya
Gorontalo yang dilandaskan pada Adat bersendi syara berbeda dengan yang di Padang
terutama dalam proses terjadinya asimilisasi kebudayaan Islam dengan masyarakat Gorontalo
pada masa lampau. Gagasan tata per-adatan Gorontalo dan kebudayaan yang sebelumnya
dilandaskan pada harmonisasi alam kemudian dipadukan dengan ajaran agama oleh raja
Eyato kemudian lebih dipertegas dengan adat bersendi syara dan syara bersindikan Al-Quran
sebagai pedoman masyarakat Gorontalo yang sudah bercirikan keislaman. filsafat adat
Gorontalo mulai dari adati asali, adat bersendi syara, dan kemudian disempurnakan menjadi
syara bersendikan kitabullah ungkap Alim, ternyata merupakan perpaduan yang sangat
harmonis dalam menuntun masyarakat Gorontalo dalam menciptakan berbagai kebudayaan
yang sampai hari ini masih tetap eksis dan mewarnai kehidupan masyarakat Gorontalo.
b. Bahasa Gorontalo
Orang Gorontalo menggunakan bahasa Gorontalo, yang terbagi atas tiga dialek, dialek
Gorontalo, dialek Bolango, dan dialek Suwawa. Saat ini yang paling dominan adalah dialek
Gorontalo.
Bahasa Gorontalo-Mongondow adalah sekelompok bahasa yang dipertuturkan di bagian
utara pulau Sulawesi dan terdiri dari :
Kelompok Gorontalic :
bahasa Bolango,
bahasa Buol,
bahasa Bintauna,
bahasa Gorontalo,
bahasa Kaidipang,
bahasa Lolak,
bahasa Suwawa dan
Kelompok Mongondowic :
bahasa Mongondow dan
bahasa Ponosakan.
Adelaar dan Himmelmann (2005) menempatkan bahasa Gorontalo dalam suatu
kelompok "Greater Central Philippine". Namun, suatu analisis tahun 2008
tentang Austronesian Basic Vocabulary Database mendukung wawasan bahwa bahasa
Gorontalo adalah yang terdekat dengan kelompok bahasa Filipina di luar wilayah Filipina
sendiri.
c. Agama
Orang Gorontalo hampir dapat dikatakan semuanya beragama Islam (99 %).Islam
masuk ke daerah ini sekitar abad ke-16. Ada kemungkinan Islam masuk ke Gorontalo sekitar
tahun 1400 Masehi (abad XV), jauh sebelum wali songo di Pulau Jawa, yaitu ditandai dengan
adanya makam seorang wali yang bernama ‘Ju Panggola’ di Kelurahan Dembe I, Kota Barat,
tepatnya di wilayah perbatasan Kota Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo.
d. Teknologi masyarakat gorontalo.
Masjid Agung Baiturrahim yang terletak di pusat Kota Gorontalo dewasa ini
merupakan masjid tertua yang dibangun di daerah ini. Masjid tersebut didirikan bersamaan
dengan pembangunan Kota Gorontalo yang baru dipindahkan dari Dungingi ke Kota
Gorontalo
Masjid Agung Baiturrahim telah mengalami beberapa kali revoasi.Tahun 1999 dalam
masa jabatan Walikotamadya Tingkat II Gorontalo Drs. Hi. Medi Botutihe, masjid direnavasi
total dengan menghabiskan biaya sekitar tiga milar rupiah. Kemudian penggunaan masjid ini
diresmikan oleh Presiden Baharuddin Jusuf Habibie di Istana Merdeka, Rabu, 13 Oktober
1999 (3 Rajab 1420 H).
Sedangkan Masjid Agung Baiturrahman terletak di pusat Kota Limboto, ibu kota
Kabupaten Gorontalo. Masjid terletak di samping Menara Keagungan Limboto, dan
merupakan masjid terbesar di Kabupaten Gorontalo.
Rumah Adat
Gorontalo memiliki rumah adatnya sendiri, yang disebut Bandayo Pomboide dan
Dulohupa. Rumah adat ini terletak di tepat di depan Kantor Bupati Gorontalo, Jalan Jenderal
Sudirman, Limboto. Dulohupa terletak di di Kelurahan Limba U-2, Kecamatan Kota Selatan,
Kota Gorontalo.Akan tetapi, rumah adat Dulohupa yang satu ini kini tinggal kenangan karena
sudah diratakan dengan tanah. Rumah adat ini digunakan sebagai tempat bermusyawarat
kerabat kerajaan pada masa lampau.
Pada masa pemerintahan para raja, rumah adat ini digunakan sebagai ruang
pengadilan kerajaan, untuk memvonis para pengkhianat negara melalui sidang tiga alur
pejabat pemerintahan, yaitu Buwatulo Bala (Alur Pertahanan / Keamanan), Buwatulo Syara
(Alur Hukum Agama Islam), dan Buwatulo Adati (Alur Hukum Adat).
Penarikan garis keturunan yang berlaku di masyarakat Gorontalo adalah bilateral,
garis ayah dan ibu. Seorang anak tidak boleh bergurau dengan ayahnya melainkan harus
berlaku taat dan sopan. Sifat hubungan tersebut berlaku juga terhadap saudara laki-laki ayah
dan ibu.
Pakaian Adat
Gorontalo memiliki pakaian khas daerah sendiri baik untuk upacara perkawinan,
khitanan, baiat (pembeatan wanita), penyambutan tamu, maupun yang lainnya. Untuk
upacara perkawinan, pakaian daerah khas Gorontalo disebut Bili’u atau Paluawala. Pakaian
adat ini umumnya dikenal terdiri atas tiga warna, yaitu ungu, kuning keemasan, dan hijau.
Tari Umoara
Tari Mowindahako
Tari Molulo
Tari Ore-ore
Tari Linda
Tari Dimba-dimba
Tari Moide-moide
Tari Honari
2. Suku makasar
Suku Makassar adalah nama Melayu untuk sebuah etnis yang mendiami pesisir selatan
pulau Sulawesi. Lidah Makassar menyebutnya Mangkassara' berarti Mereka yang Bersifat
Terbuka.Etnis Makassar ini adalah etnis yang berjiwa penakluk namun demokratis dalam
memerintah, gemar berperang dan jaya di laut. Berbicara tentang Makassar maka adalah
identik pula dengan suku Bugis yang serumpun. Istilah Bugis dan Makassar adalah istilah
yang diciptakan oleh Belanda untuk memecah belah kedua etnis ini.
a. Bahasa makasar
Bahasa Makasar, juga disebut sebagai bahasa Makassar atau Mangkasara' adalah
bahasa yang dituturkan oleh suku Makassar, penduduk Sulawesi Selatan, Indonesia. Bahasa
ini dimasukkan ke dalam suatu rumpun bahasa Makassar yang sendirinya merupakan bagian
dari rumpun bahasa Sulawesi Selatan dalam cabang Melayu-Polinesia dari rumpun bahasa
Austronesia.
Bahasa ini mempunyai abjadnya sendiri, yang disebut Lontara, namun sekarang
banyak juga ditulis dengan menggunakan huruf Latin.
Huruf Lontara berasal dari huruf Brahmi kuno dari India.Seperti banyak turunan dari
huruf ini, masing-masing konsonan mengandung huruf hidup "a" yang tidak ditandai.Huruf-
huruf hidup lainnya diberikan tanda baca di atas, di bawah, atau di sebelah kiri atau kanan
dari setiap konsonan. Contoh kata atau ungkapan dalam bahasa Makassar dalam huruf Latin
Versi
Arti
Latin
Balla' Rumah
Bambang Hangat/Panas
Di zaman sekarang ini sudah sangat susah menemukan orang yang berbahasa
makassar secara original atau asli, Namun kita masih bisa menemukan bahasa alsli
makassar di daerah itu seperti di lembang bu’ne, lembayya, cikoro, datara, tanete, dan
seputaran malakaji.
Bahasa asli makassar sebenarnya masih terjaga baik di daerah gowa bagian selatan
tepatnya di kaki gunung lompobattang dimana di desa desa ini keaslian bahasa masih
terjamin karena belum tercampuri oleh perkembangan bahasa moderen maupun
teknologi,.
Di banyak tempat di kabupaten gowa ini memang mayoritas orang makassar dan
berbahasa makassar namun juga sudah banyak sekali bahasa makassar yang asli yang
di hilangkan bahkan sudah banyak bahasa makassar yang tercampur dengan bahasa
bugis, konjo dan lain lain padahal bahasa asli orang makassar adalah bahasa makassar
(lontara,) bukan konjo ataupun yang lainya.
Berikut adalah daftar kabupaten di sulawesi selatan yang memakai bahasa
makassar dalam keseharian :
1. Gowa, 2. Takalar, 3. Jeneponto, 4. Bantaeng, 5. Bulukumba
3. Suku Toraja
Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi
Selatan. Leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana.
Legenda ini menceritakan bahwa nenek moyang masyarakat Toraja turun dari nirwana
menggunakan “tangga dari langit” yang kemudian berfungsi sebagai media komunikasi
dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa). Namun seorang anthropolog menuturkan
bahwa masyarakat Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk lokal yang
mendiami daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang dari Teluk Tongkin (daratan Cina).
Proses akulturasi antara kedua masyarakat tersebut berawal dari berlabuhnya imigran Indo
Cina dalam jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu sungai di daerah Enrekang. Para
imigran ini lalu membangun pemukiman di daerah tersebut.
a. Mata pencaharian
Sebagian besar mata pencaharian penduduk Toraja adalah petani di daratan
tinggi, selain itu sector pariwisata yang terus meningkat juga ikut andil dalam
pertumbuhan ekonomi pendudukToraja. Kehadiran misionaris Belanda di dataran tinggi
Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah Sa'dan Toraja, dan identitas
bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di Tana Toraja.
b. Teknologi
Tongkonan
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu
dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning.Kata "tongkonan" berasal
dari bahasa Toraja tongkon ("duduk").
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan
dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah
tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan
pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam
adat dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu.
Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya
rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia.
Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang
besar.
c. Adat Istiadat Toraja
Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa
adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai
nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh
(sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat hubungan
kekerabatan.Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan
sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta.
Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga
besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling
membayarkan hutang.
Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya. Anak, dengan demikian,
mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang
keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih
berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang
biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung.
Sebelum adanya pemerintahan resmi oleh pemerintah kabupaten Tana Toraja, masing-
masing desa melakukan pemerintahannya sendiri. Dalam situasi tertentu, ketika satu
keluarga Toraja tidak bisa menangani masalah mereka sendiri, beberapa desabiasanya
membentuk kelompok; kadang-kadang, bebrapa desa akan bersatu melawan desa-desa
lain Hubungan antara keluarga diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan berbagi
rumah leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan babi
dalam ritual. Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan politik dan budaya
antar keluarga tetapi juga menempatkan masing-masing orang dalam hierarki sosial:
siapa yang menuangkan tuak, siapa yang membungkus mayat dan menyiapkan
persembahan, tempat setiap orang boleh atau tidak boleh duduk, piring apa yang harus
digunakan atau dihindari, dan bahkan potongan daging yang diperbolehkan untuk
masing-masing orang.
Upacara pemakaman
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling
penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya
upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya
keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta
pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung
selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya
disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang
hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya
yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi,
tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja
tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang
kelas rendah.
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu,
berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan
tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk
menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu
yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap
menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan
itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan.
Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai,
setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa
seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan
dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di
padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur". Suku Toraja
percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan
lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan
ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para
pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian
daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap
sebagai utang pada keluarga almarhum.
Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di
makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di
makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar
beberapa bulan.Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah
seluruh anggota keluarga.Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua
dan menghadap ke luar. Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi
tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan
membuat petinya terjatuh.
Kelas sosial
Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas
sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan
dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial diturunkan
melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih
rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tinggi, ini
bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan
dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena
alasan martabat keluarga. Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari
surga, tinggal di tongkonan, sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih
sederhana (pondok bambu yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang
dibangun di dekat tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja
tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga
kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan
kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga
beberapa gerak sosialyang dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan
atau perubahan jumlah kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang
dimiliki.
Budak dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga. Kadang-kadang
orang Toraja menjadi budak karena terjerat utang dan membayarnya dengan cara
menjadi budak. Budak bisa dibawa saat perang, dan perdagangan budak umum
dilakukan. Budak bisa membeli kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap
mewarisi status budak. Budak tidak diperbolehkan memakai perunggu atau emas,
makan dari piring yang sama dengan tuan mereka, atau berhubungan seksual dengan
perempuan merdeka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.
d. Agama
Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian
menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah
Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma. Sistem
kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk,
atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum").
Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari
hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik
pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan
desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan
kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan
menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan. Kedua
ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda,
orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan,
tetapi diizinkan melakukan ritual kematian. Akibatnya, ritual kematian masih sering
dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan.
Sejarah perkembangan agama di tana toraja
Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan
politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Selama dua
abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat suku
Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang produktif.
Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di
Sulawesi selatan, terutama di antara suku Makassar dan Bugis. Belanda melihat suku
Toraja yang menganut animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan. Pada
tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan
pemerintah kolonial Belanda. Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan
perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar
wilayah Sa'dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi dari
kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut. Pada tahun 1946, Belanda
memberikan Tana Toraja status regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai
suatu kabupaten pada tahun 1957.
Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku
Toraja karena penghapusan jalur perdagangan yang menguntungkan Toraja. Beberapa
orang Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih
mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk
menggerogoti kekayaan para elit masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha
Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang
saat itu menjadi Kristen. Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah
agama menjadi Kristen.
Penduduk Muslim di dataran rendah menyerang Toraja pada tahun 1930-an.
Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin beraliansi dengan Belanda berpindah ke
agama Kristen untuk mendapatkan perlindungan politik, dan agar dapat membentuk
gerakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam.
Antara tahun 1951 dan 1965 setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan
mengalami kekacauan akibat pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam, yang
bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang gerilya yang
berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak orang
Toraja berpindah ke agama Kristen.
Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden mengharuskan seluruh penduduk
Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen
Protestan, Katolik, Hindu danBuddha. Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara
hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk
sesuai dengan hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi.
Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
d. Bahasa Toraja
Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan
Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional
adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun
diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.
Ragam bahasa di Toraja antara lain
Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' , dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk
dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia. Pada mulanya, sifat
geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja
itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja
menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan
sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa
Toraja.
Keragaman dalam bahasa Toraja
Populasi
ISO
Denominasi (pada Dialek
639-3
tahun)
12,000
Kalumpang kli Karataun, Mablei, Mangki (E'da), Bone Hau (Ta'da).
(1991)
250,000
Ta'e rob Rongkong, Luwu Timur Laut, Luwu Selatan, Bua.
(1992)
30,000
Toala' tlz Toala', Palili'.
(1983)
Perkembangan Bahasa
Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa’dan
Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional
adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun
diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.
Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae’ , Talondo’ ,
Toala’ , dan Toraja-Sa’dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari
bahasa Austronesia. Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi
membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya
pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh
bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan.
Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja.
Ciri yang menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita
kematian. Pentingnya upacara kematian di Toraja telah membuat bahasa mereka dapat
mengekspresikan perasaan duka cita dan proses berkabung dalam beberapa tingkatan
yang rumit. Bahasa Toraja mempunyai banya Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak
memiliki sistem tulisan.k istilah untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, dan
tekanan mental. Merupakan suatu katarsis bagi orang Toraja apabila dapat secara jelas
menunjukkan pengaruh dari peristiwa kehilangan seseorang; hal tersebut kadang-
kadang juga ditujukan untuk mengurangi penderitaan karena duka cita itu sendiri.
Sebagai bagian dari Nusantara Indonesia, bahasa Indonesia merupakan salah
satu bahasa yang digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pergaulan. Namun
demikian bahasa daerah yakni bahasa toraja (sa’dan) tentunya menjadi bahasa yang
paling dominan dalam percakapan antara warga masyarakat, bahkan menjadi salah
satu mata pelajaran muatan local yang diajarkan di sekolah dasar.
Dalam hal kepercayaan penduduk Sulawesi selatan telah percaya kepada satu
Dewa yang tunggal. Dewa yang tunggal itu disebut dengan istilah Dewata SeuwaE
(dewa yang tunggal). Terkadang pula disebut orang Bugis dengan istilah PatotoE (dewa
yang menentukan nasib). Orang makasar sering menyebutnya dengan Turei A’rana
(kehendak yang tinggi). Orang Mandar Puang Mase (yang maha kehendak) dan orang
Toraja menyebutnya puang matua (Tuhan yang maha mulia).
Mereka juga mempercayai adanya dewa yang bertahta ditempat – tempat tertentu.
Seperti kepercayaan mereka tentang dewa yang berdiam di gunung latimojong. Dewa
tersebut mereka sebut dengan nama Dewata Mattanrue. Dihikayatkan bahwa dewa
tersebut kawin dengan Enyi’li’timo’ kemudian melahirkan PatotoE. Dewa Patotoe
kemudian kawin dengan Palingo dan melahirkan Batara Guru.
Batara Guru dipercaya oleh sebagian masyarakat Sulawesi Selatan sebagai
dewa penjajah. Ia telah menjelajahi seluruh kawasan Asia dan bermarkas di puncak
Himalaya. Kira – kira satu abad sebelum Masehi, Batara Guru menuju ke cerekang
Malili dan membawa empat kasta. Keempat kasta tersebut adalah kasta Puang, kasta
Pampawa Opu, kasta Attana Lang, dan kasta orang kebanyakan.
Selain itu Batara Guru juga dipercaya membawa enam macam bahasa. Keenam
bahasa tersebut digunakan di daerah – daerah jajahannya. Keenam bahasa itu adalah :
1. Bahasa TaE atau To’da. Bahasa ini dipergunakan masyarakat yang bermukim di
wilayah tanah toraja , Massenrengpulu dan sekitarnya. Mereka dibekali dengan
kesenian yang bernama Gellu’.
2. Bahasa Bare’E. Bahasa ini dipergunakan masyarakat yang bermukim diwilayah
Poso Sulawesi Tengah. Mereka dibekali dengan kesenian yang disebutnya menari.
3. Bahasa Mengkokak, bahasa ini dipergunakan oleh masyarakat yang bermukim
diwilayah Kolaka dan Kendari Sulawesi Tenggara. Mereka pula dibekali dengan
kesenian, yang namanya Lulo’.
4. Bahasa Bugisi. Bahasa ini dipergunakan oleh masyarakat yang bermukim di Wajo
seluruh daerah disekitarnya dan dibekali dengan kesenian Pajjaga.
5. Bahasa Mandar. Bahasa ini dipergunakan oleh masyarakat yang berdiam di wilayah
Mandar dan sekitarnya. Mereka di bekali dengan kesenian Pattundu.
6. Bahasa Tona. Bahasa ini dipergunakan oleh masyarakat yang bermukim di wilayah
Makasar dan sekitarnya. Mereka di bekali dengan kesenian Pakkarena.
Keturunan Batara Guru tersebar kemana – mana. Keturunannya terbagi – bagi pada
seluruh wilayah jelajahnya yang meliputi wilayah bahasa tersebut diatas. Mereka
menduduki tempat – tempat yang strategis seperti puncak – puncak gunung.
Tradisi Upacara Posuo yang berkembang di Sulawesi Tenggara (Buton) sudah berlangsung
sejak zaman Kesultanan Buton. Upacara Posuo diadakan sebagai sarana untuk peralihan
status seorang gadis dari remaja (labuabua) menjadi dewasa (kalambe), serta untuk
mempersiapkan mentalnya.
Upacara tersebut dilaksanakan selama delapan hari delapan malam dalam ruangan khusus
yang oleh mayarakat setempat disebut dengan suo. Selama dikurung di suo, para peserta
dijauhkan dari pengaruh dunia luar, baik dari keluarga maupun lingkungan sekitarnya. Para
peserta hanya boleh berhubungan dengan bhisa (pemimpin Upacara Posuo) yang telah
ditunjuk oleh pemangku adat setempat. Para bhisa akan membimbing dan memberi petuah
berupa pesan moral, spiritual, dan pengetahun membina keluarga yang baik kepada para
peserta.
Dalam perkembangan masyarakat Buton, ada 3 jenis Posuo yang mereka kenal dan
sampai saat ini upacara tersebut masih berkembang. Pertama, Posuo Wolio, merupakan
tradisi Posuo awal yang berkembang dalam masyarakat Buton. Kedua, Posuo Johoro yang
berasal dari Johor-Melayu (Malaysia) dan ketiga, Posuo Arabu yang berkembang setelah
Islam masuk ke Buton. Posuo Arabu merupakan hasil modifikasi nilai-nilai Posuo Wolio
dengan nilai-nilai ajaran agama Islam. Posuo ini diadaptasi oleh Syekh Haji Abdul Ghaniyyu,
seorang ulama besar Buton yang hidup pada pertengahan abad XIX yang menjabat sebagai
Kenipulu di Kesultanan Buton di bawah kepemimpinan Sultan Buton XXIX Muhammad
Aydrus Qaimuddin. Tradisi Posuo Arabu inilah yang masih sering dilaksanakan oleh
masyarakat Buton.
Keistimewaan Upacara Posuo terletak pada prosesinya. Ada tiga tahap yang mesti
dilalui oleh para peserta agar mendapat status sebagai gadis dewasa. Pertama, sesi pauncura
atau pengukuhan peserta sebagai calon peserta Posuo. Pada tahap ini prosesi dilakukan oleh
bhisa senior (parika). Acara tersebut dimulai dengan tunuana dupa (membakar kemenyan)
kemudian dilanjutkan dengan pembacaan doa. Setelah pembacaan doa selesai, parika
melakukan panimpa (pemberkatan) kepada para peserta dengan memberikan sapuan asap
kemenyan ke tubuh calon. Setelah itu, parika menyampaikan dua pesan, yaitu menjelaskan
tujuan dari diadakannya upacara Posuo diiringi dengan pembacaan nama-nama para peserta
upacara dan memberitahu kepada seluruh peserta dan juga keluarga bahwa selama upacara
dilangsungkan, para peserta diisolasi dari dunia luar dan hanya boleh berhubungan dengan
bhisa yang bertugas menemani para peserta yang sudah ditunjuk oleh pemangku adat.
Kedua, sesi bhaliana yimpo. Kegiatan ini dilaksanakan setelah upacara berjalan
selama lima hari. Pada tahap ini para peserta diubah posisinya. Jika sebelummnya arah kepala
menghadap ke selatan dan kaki ke arah utara, pada tahap ini kepala peserta dihadapkan ke
arah barat dan kaki ke arah timur. Sesi ini berlangsung sampai hari ke tujuh.
Ketiga, sesi mata kariya. Tahap ini biasanya dilakukan tepat pada malam ke delapan
dengan memandikan seluruh peserta yang ikut dalam Upacara Posuo menggunakan wadah
bhosu (berupa buyung yang terbuat dari tanah liat). Khusus para peserta yang siap menikah,
airnya dicampur dengan bunga cempaka dan bunga kamboja. Setelah selesai mandi, seluruh
peserta didandani dengan busana ajo kalembe (khusus pakaian gadis dewasa). Biasanya
peresmian tersebut dipimpin oleh istri moji (pejabat Masjid Keraton Buton).
Semua Upacara Posuo dimaksudkan untuk menguji kesucian (keperawanan) seorang
gadis. Biasanya hal ini dapat dilihat dari ada atau tidaknya gendang yang pecah saat ditabuh
oleh para bhisa. Jika ada gendang yang pecah, menunjukkan ada di antara peserta Posuo yang
sudah tidak perawan dan jika tidak ada gendang yang pecah berarti para peserta diyakini
masih perawan.
Kesenian
Seni Tari Tradisional daerah Sulawesi Tenggara :
1.Tari Lariangi dari Kabupaten Wakatobi
2.Tari Balumpa dari Kabupaten Wakatobi
3.Tari Potong Pisang, dari Kabaena di Kabupaten Bombana
4.Tari Lulo Alu, dari Kabaena Kabupaten Bombana
Untuk mengatur hubungan kehidupan antara masyarakat, telah berlaku hukum adat yang
senantiasa dipatuhi oleh warga masyarakat. Jenis hukum adat tersebut antara lain adalah
Hukum Tanah, Hukum Pergaulan Masyarakat, Hukum Perkawinan dan Hukum Waris.
Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki berbagai jenis kesenian yang potensial sehingga
memperkaya khasanah kebudayaan Indonesia. Jenis-jenis kesenian tersebut adalah seni tari,
seni ukir dan seni lukis serta seni suara dan seni bunyi. Seni tari, merupakan tarian masyarakat
yang dipersembahkan pada setiap upacara tradisional maupun menjemput tamu-tamu agung
yang diiringi oleh alat musik tradisional antara lain gong, kecapi dan alat tiupan suling bambu
selain alat musik modern. Selain itu di Sulawesi Tenggara terkenal juga dengan seni ukirnya
yaitu ukiran perak. Sedangkan seni ukuran lainnya adalah anyaman rotan dan meja gempol
dari kayu.
Bahasa
Sulawesi Tenggara memiliki sejumlah kelompok bahasa daerah dengan dialek yang
berbeda-beda. Perbedaan dialek ini memperkaya khasanah kebudayaan Indonesia. Kelompok
bahasa daerah di Sulawesi Tenggara dan dialeknya masing-masing adalah sebagai berikut:
Kelompok Bahasa Tolaki terdiri dari : Dialek Mekongga, Dialek Konawe, Dialek Moronene,
Dialek Wawonii, Dialek Kulisusu
Kelompok Bahasa Muna terdiri dari : Dialek Mawasangka, Dialek Gu, Dialek Katobengke,
Dialek Siompu, Dialek Kadatua
Kelompok Bahasa Pongana terdiri dari : Dialek Lasalimu, Dialek Kapontori, Dialek Kaisabu
Kelompok Bahasa Walio (Buton) terdiri dari : Dialek Kraton, Dialek Pesisir, Dialek Bungi,
Dialek Tolandona, Dialek Talaga
Kelompok Bahasa Cia-Cia terdiri dari : Dialek Wobula, Dialek Batauga, Dialek Sampolawa,
Dialek Lapero,
Dialek Takimpo, Dialek Batuatas, Dialek Wali (di Pulau Binongko)
Kelompok Bahasa Suai terdiri dari : Dialek Wanci, Dialek Kaledupa, Dialek Tomia,
Dialek Binongk.
Kristen di bidang politik banyak terhambat oleh rivalitas di antara ketiga kelompok
etno-linguistik itu (Pamona, Mori, dan Lore), dan tidak kalah hebatnya, di antara
anakanak
suku Pamona sendiri.
Sementara itu, muncullah generasi muda beragama Islam yang juga sudah
berpendidikan tertier, baik yang berasal dari masyarakat turunan Gorontalo dan Jawa di
kota Poso, maupun dari suku-suku asli yang dominan Muslim, seperti Tojo dan
Bungku
Dalam saling menyerang antara komunitas Kristen dan Muslim di kota Poso itu,
masing-masing fihak didukung oleh massa seiman dari luar kota Poso. Komunitas
Muslim dibantu oleh orang-orang Tojo dari daerah Ampana (sebelah timur kota Poso;
sekarang jadi ibukota Kabupaten Tojo Una-una) dan Parigi (Kabupaten Parigo
Moutong, sebelah barat kabupaten Poso). Sementara komunitas Kristen dibantu oleh
orang-orang Lage dari Desa-Desa Sepe dan Silanca di Kecamatan Lage (sebelah
tenggara kota Poso).
Enam kelompok yang diduga terlibat dalam aksi-aksi teroris di Sulawesi.
Keenam kelompok yang dimaksud itu antara lain; Al Jama’ah Islamiyah,
Kompak, Wardah Islamiyah (kayaknya Fajar salah ketik karena di Makassar tidak ada
kelompok yang bernama Wardah Islamiyah, tetapi Wahdah Islamiyah-ed), DI/TII dan
Jama’ah Islamiyah (JI).
BAB III
PENUTUP
1. Simpulan
Budaya yang berkembang di daerah Sulawesi sangat beragam. Pada setiap bagiannya
terdapat banyak suku adat, namun ada suku mayoritas yang menguasai kebudayaan pada
daerah tersebut. Seperti di Sulawesi Selatan terdapat suku bugis, makasar, mandar maupun
toraja. Di Sulawesi Utara ada suku minahasa. Semuanya memiliki karekteristik dan keunikan
budaya tersendiri. Mulai dari pakaian adat, rumah adat, trdisi keagamaan , upacara adat,
upacara pemakaman ataupun pernikahan, perayaan tahunan, dan kesenian daerah berbeda.
Tingkat pengetahuan dan teknologi setiap daerah pun juga berbeda. Semua itu tidak terlepas
dari macam-macam pengaruh yang masuk dalam masyarakat tersebut seperti kepercayan atau
agama yang dianut, cara berfikir dan organisasi massa yang ada dalam masyarakat tesebut.
ran
Sebagai Warga Negara Indonesia yang baik harus menetahui keanekaragaman yang
ada dalam Indonesia. Keanekaragaman budaya harus selalu dijaga dan dilestarikan karena
merupakan asset Negara yang tak ternilai harganya. Namun jangan sampai Karena
keanekaragaman budaya tersebut menjadikan timbulnya konflik atau pun perpecahan dalam
kehidupan bernegara. Sikap saling menghomati dan toleransi harus selalu diterapkan agar
kehidupan menjadi damai.
http://id.wikipedia.org/wiki/Sulawesi
Iklan