Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

PENDIDIKAN PANCASILA & KEWARGANEGARAAN


“SULAWESI TENGGARA”

DISUSUN OLEH :

Rayyan Bagja Setio No. Absen: 29

HARMONI KEBERAGAMAN SUKU BANGSA DI INDONESIA


PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
SMP NURUL IMAN JAKARTA TIMUR
2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, tim
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan
inayah-Nya, sehingga tim dapat menyelesaikan makalah tentang Sulawesi Tenggara di
Indonesia. Makalah ini merupakan tugas untuk memenuhi standar penilaian Pendidikan
Pancasila & Kewarganegaraan di SMP Nurul Iman Jakarta.

Makalah ini disusun dengan maksimal dan mendapat bantuan dari berbagai pihak
sehingga bisa memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu tim penyusun menyampaikan
terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Besar harapan semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
para pembaca dan untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun dapat menambah isi
makalah agar menjadi lebih baik lagi.

  Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, tim penyusun yakin masih


banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu tim penyusun sangat mengharapkan
saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Terima kasih.

Jakarta, 13 Februari 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................................ ii

BAB I    PENDAHULUAN


A. Latar Belakang ......................................................................................................... 1
B. Tujuan ...................................................................................................................... 4

BAB II    PEMBAHASAN


A. Sejarah Sulawesi Tenggara ...................................................................................... 5
B. Tarian Tradisional Sulawesi Tenggara .................................................................... 7
C. Alat Musik Tradisional Sulawesi Tenggara ............................................................ 9
D. Lagu Daerah Sulawesi Tenggara ............................................................................. 10
E. Senjata Tradisional Sulawesi Tenggara ................................................................... 11

BAB III    PENUTUP


A. Kesimpulan ............................................................................................................... 13
B. Saran ......................................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hampir semua suku bangsa atau etnik ada di Sulawesi Tenggara. Pada masa orde
baru sejak tahun 1970-an daerah ini telah menjadi lokasi sasaran program transmigrasi.
Praktis Suku Jawa, Sunda, dan Bali semakin banyak mendiami propinsi ini khususnya di
Kabupaten Konawe Selatan, Konawe, Kolaka, Muna, sampai di Kepulauan Buton.
Sebenarnya akulturasi dan asimilasi budaya sudah terjadi sejak abad IV dimana orang-
orang bugis dan Mandar mulai melakukan migrasi di wilayah ini khususnya sekitar
Bombana, Konawe Selatan, Kolaka Utara, dan Kolaka. Dengan demikian migrasi dan
akulturasi ini semakin memperkaya budaya dan kearifan lokal masyarakat.
Di Sulawesi Tenggara sendiri terdapat 4 suku/etnik besar yang mula-mula
mendiami 4 wilayah Sulawesi Tenggara yaitu suku Muna, Buton, Tolaki, dan Mornene.
Namun sebenranya memiliki sub etnik yang masih eksis hingga saat ini seperti; kulisusu,
wawonii, mekongga, kadatua, dan taaloki. Disamping itu tak ketinggalan etnik Bajo yang
mendiami hampir seluruh kawasan pesisir dan kepulauan yang ada di Sulawesi Teggara.
Maka dipastikan bahwa begitu beragam warisan nilai (kearifan lokal) masyarakat yang
mengandung agenda pendidikan dalam berbagai aspek kehidupan.
Pada bagian ini mengkat 3 etnik/suku besar yang mendiami daerah ini yaitu
Muna, Tolaki, dan Bajo.
1. Etnopedagogik pada Suku Muna
Suku Muna memiliki banyak kearifan yang memiliki unsur nasehat dan
pendidikan. Nilai tersebut tidak hanya menjadi konsep pengetahuan dan nilai semata,
akan tetapi cukup banyak menjadi landasan prilaku. Karena itu, semakin pudar
pemahaman dan internalisasi nilai-nilai kearifan tersebut maka semakin jauh dari
identitas dan jati diri yang diajarkan oleh leluhurnya. Beberapa contoh
etnopedagogik yang dianggap penting untuk diangkat dalam kajian ini antara lain:
• Katangari (nasehat). Dalam bahasa muna mengandung muatan nasehat dan pesan
yang memiliki fungsi dan makna bagi kehidupan masyarakat. Setiap generasi pada
suku ini pasi mendapatkan proses katangari (nasehat) baik secara formal maupun

i
informal. Formal dalam artian budaya melalui ritual khusus sesuai siklus hidup
manusia. Menurut tokoh muna La Waweha (2017) sejak dalam perut ibunya bagi
orang muna sudah harus diberikan nasehatnasehat. Memberikan perlakuan khusus
dan bisikan pada bai yang masih berada dalam kandungan. Selanjutnya saat lahir dan
saat anak tersebut diaqiqah. Proses sunat/khitan bagi anak baik laki-laki maupun
perempuan wajib diberikan “toba” yaitu suatu subtansi nasehat untuk merefleksikan
hakekat dirinya sebagai manusia dan tujuan hidupnya. Hal lain yang diberikan dalam
toba ini adalah prinsip-prinsip dalam bersikap dan bertutur kata baik pada sanga
pencipta, pada kedua orang tua, pada saudara yang lebih tua, pada sauadara yang
lebih muda, bahkan pada sesama makhluk yang lain.
• Falia (Pantangan). Sama dengan suku lainya, setiap kelompok masyarakat ada
pantangannya. Tetapi bagi Orang Muna falia suatu tata nilai yang dibuat untuk
mengaja tubuh/fisik manusia, menjaga hubunga sosial manusia, menjaga prilaku,
menjaga tutur kata dll yang dilengkapi dengan rumor akibat/dampak jika falia
tersebut dilanggar. Jaman dulu orang muna sangat memegang teguh konsep falia ini.
Takut melanggarnya karena akan berdampak buru bagi dirinya. Tetapi seiring
dengan perkembangan ilmu pengetahuan, aspek-aspek ilmiah suatu pantangan mulai
dipertanyakan, sehingga banyak dari nilai budaya ini saat ini telah mengalami
pergeseran yang dalam sejarah sebut dengan perubahan secara regressif. Karena itu
falia harus direkonstruksi dan direvitalisasi pada siswa khususnya diwilayah
masyarakat Muna.
• Pokadulu. Istilah pokadulu dapat dimaknai dengan gotong royong. Pokadulu
dilakukan dengan tujuan agar dalam setiap pekerjaan tidak terlalu berat, menguji
kesetiaan dan kepeduliaan teman atau tetangga, dan adanya tenggang rasa dalam
kehidupan mereka. Pokadulu sudah menjadi kebiasaan masyarakat muna sejak masa
kerajaan. Beberapa pekerjaan yang dilakukan dengan cara pokadulu misalnya
pekerjaan “degalu” yaitu berkebun mulai membuka lahan sampai panen, bidang
sosial seperti pokadulu membangun rumah, pindah rumah, membangun bantea
(tenda) untuk perkwaninan dan acara-acara lainnya, bahkan dalam bidang pendidikan
dilakukan dengan cara memberikan apa yang dimiliki untuk membantu anak dari
kerabat yang sedang menempu pendidikan.

ii
2. Etnopedagogik pada Suku Tolaki
Tolaki adalah salah satu suku yang cukup banyak populitasnya di Sulawesi
Tenggara, mendiami wilayah daratan dan tersebar pada 4 kabupaten di Sulawesi
Tenggara seperti Konawe, Konawe Utara, Konawe Selatan, dan Kota Kendari.
Memiliki warisan ragam badaya dan kearifan yang patut selalu direvitalisasi sebagai
menjaga identitas dan jati diri etnik ini.
 Samaturu. Dapat dimaknai dengan saling menopang, saling memberi, dan
saling menjaga. Bagi tolaki, budaya ini untuk memuliakan dan
mengutamakan hidup untuk saling menjalin persatuan, suka menolong orang
lain yang sedang membutuhkan pertolongan. Samaturu juga merupakan
bentuk kepekaan dan kepeduliaan sosial. Menurut Sulsalman (2017) tradisi
samaturu bukanlah sekedar slogan saja, akan tetapi mengandung ranah afektif
(sikap) dan psikomotorik (parktek kebersamaan) yang syarat dengan
tanggung jawab sesama. Jika membantu orang dengan asal-asalan maka itu
tetap dikategorikan sebagai orang yang belum menjalankan budaya samaturu
dengan baik dan tanggung jawab.
 Kohanu. Sering disebut dengan budaya malu. Nilai kearifan ini merupakan
sistim pertahanan moral bagi diri sendiri, misalnya ada orang yang dikatakan
malas bekerja maka pihak yang dijadikan sasaran kalim tersebut akan merasa
malu dan memotivasi diri untuk berubah lebih tekun dan rajin. Orang akan
selau menjaga dirinya dari stigma pemalas, atau stigma lainnya yang
bermakna tidak baik, hal ini karena setiap orang tolaki harus merasa kohanu
atau malu. Dalam kegiatan pendidikan siswa aka merasa malu jika tidak
menyelesaikan tugas dengan baik, dia dianggap pemalas dan tidak tanggung
jawab. Maka nilai-nilai kohanu harus selalu ditumbuhkan termasuk dalam
proses pembelajaran. Pada pembelajaran sejarah lokal bahkan sejarah sosial,
orang tolaki dikenal dengan kegarangan dalam mempertahankan harga
dirinya karena pada diri mereka melakat nilai kohanu. Kondisi ini memiki
norma yang sama dengan suku Bagis-Makassar.
3. Etnopedagodik pada Suku Bajo

iii
Etnik Bajo mendiami hampir seluruh wilayah-wilayah pesisir di Sulawesi
Tengara. Kelompok masyarakat ini syrat dengan kearifan lokal, tetapi pada wilayah-
wilayah tertentu tetap saja menjadi komunitas yang terpinggirkan dari segi
pendidikan. Penelitian Suardika (2012) keterpinggiran Suku Bajo pada beberapa
pulau kecil tak terlepas dari faktor internal yaitu budaya mereka yang cenderung
tertutup dan juga tergradasinya kearifan lokal pada generasi baru. Mereka ini
memiliki keakyaan nilai dan pedoman prilaku yang patut untuk diangkat dan
dikembangkan.
 Bapongka, yaitu sebuah tradisi melaut yang ramah terhadap alam. Istilah
Bapongka disebut juga dengan Babangi adalah bermalam di laut selama 3
hari sampai sebulan. Pongka adalah berlayar mencari nafkah atau atau hasil-
hasil laut ke daerah atau provinsi lain, selama beberapa minggu/bulan.
Menangkap Hasil Laut bapongka adalah suatu kegiatan melaut khas
masyarakat Bajo atau Bajau di Pulau Saponda yang telah dilakukan sejak
lama. Mereka pergi ke satu tempat di luar kampungnya untuk mencari hasil
laut selang berhari-hari hingga berminggu-minggu secara berkelompok.
Setiap kelompok terdiri dari tiga sampai lima perahu, masing-masing perahu
terdapat satu orang. Pembentukan kelompok kecil bapongka lebih sering
dilakukan berdasarkan kedekatan hubungan. Biasanya kelompok kecil
tersebut akan bertemu dengan kelompok kecil yang lain di suatu lokasi
penangkapan dan akhirnya membentuk kelompok besar yang jumlahnya bisa
mencapai 15 bahkan 20 perahu. Kelompok Bapongka berupaya menangkap
ikan, udang, lola, atau kepiting, teripang. Mereka melakukan penangkapan
secara bergerombol dan saling membantu bukan saling bersaing. Selanjutnya
hasil dari tangkapan mereka dipasarkan langsung pada Pasar Ikan Pelelangan
Kota Kendari yang telah berlangsung sejak masa penjajahan Belanda.
 Pasipupukang, yang artinya perkumpulan masyarakat suku Bajo atau tradisi
berkumpul masyarakat Bajo untuk mencari solusi dari permasalahan-
permasalahan yang mereka hadapi. Pasipupukang ini biasanya dilakukan
dengan tata cara misalnya jika terjadi kasus perkelahian diantara sesama
masyarakat Bajo, diadakanlah pertemuan di suatu tempat, misalnya dirumah

iv
tokoh adat atau di balai pertemuan di Desa. Pertemuan ini dihadiri oleh kedua
belah pihak yang berseteru, tokoh adat, tokoh masyarakat, kepala desa.
Fungsi pasipupukang di Pulau Saponda juga dijadikan sebagai media
kerjasama dan mempersatukan. Bahkan di Pulau Bokori satu kawasan dengan
Pulau Saponda, sama-sama masuk dalam kecamatan Soropia, mereka
menjadikan tradisi pasipupukang sebagai bentuk gotong royong dalam
menyekolahkan anakanak Bajo di pulau ini, sehingga sudah ada puluhan
anak-anak Bajo yang menamatkan sekolah pada PT (S1). Konsep ini
memiliki kesamaan dengan tradisi Pokadulu yang dikembangkan masyarakat
Muna. Hanya saja pada masyarakat Muna tradisi Pokadulu lebih diarahkan
pada bentuk-bentuk kerjasama dan gotong royong dalam meringankan beban
pekerjaan tertentu, misalnya dalam bertani, acara hajatan pesta perkawinan,
memindahkan rumah, dan lain-lain.
 Ngampuan, sebuah kebiasaan suku Bajo saling mengunjungi untuk
membangun interkasi yang harmonis (assosiatif). Kebiasaan melaut saat
durasinya sudah mulai menurun, dulu bisa menembus waktu 30 hari sekarang
paling lama 1 minggu, kondisi ini tidak terlepas dari perkembangan teknologi
dan mesin kapal/perahu yang mereka gunakan. tetapi dalam
pengembaraannya itu, bukannya mereka menjadi individualis dan "soliter"
namun sisi kemanusiaannya berupa kerinduan pada sesama dan kerabat tidak
pernah hilang. Kerinduan inilah yang menjadikan tradisi Ngampuan (saling
mengunjungi) masih dilakukan dengan tujuan untuk memperkuat rasa
kekeluargaan dan kekerabatan sesama Bajo. Ngampuan kadang di kala
Purnama datang, dimana aktifitas sebagai nelayan istirahat maka dapat
disaksikan kerumunan perahu yang diayun ombak di permukaan laut di
biasan cahaya purnama, kadang dari kejauhan terdengar tawa kelakar mereka.
Hal yang menarik pula untuk dilihat adalah ngampuan ini tidak harus yang
muda mengunjungi yang tua, namun bukti kasih sayang yang tua pun kadang
ngampuan pada yang muda, sehingga siampuanan (saling mengunjungi) ini
merupakan lem perekat yang ampuh untuk memelihara kekerabatan Suku
Bajo yang menyebut dirinya suku Sama/same. Itulah sebabnya kejadian-

v
kejadian konfik dan perselisihan jarang terjadi di desa ini dan begitulah cara
mereka merawat kebersamaannya.
 Tradisi lisan Iko-iko. Sesungguhnya dari beberapa temuan yang diperoleh
pada berbagai kajian masyarakat Bajo memiliki sastra lisan Iko-Iko ini.
Tradisi lisan ini memiliki pesan yang tersirat dan mendalam bagi suku laut di
pelbagai pesisir Nusantara termasuk di wilayah pesisir Sulawesi Tenggara,
termasuk di Saponda. Menurut mereka sastra lisan ini berisikan tentang adat
dan budaya kehidupan suku Bajo yang mengagungkan laut sebagai kehidupan
abadi dan senantiasa mensyukuri nikmat dari sang Maha Pencipta. Tradisi
iko-iko biasanya disajikan oleh orang tua pada anak-anak mereka. Cerita
kepahlawanan dan kepiawaian komunitas Bajo dalam mengarungi lautan
cukup banyak, namun ada juga yang sudah mendesain dalam bentuk cerita-
cerita lucu tetapi mengandung pesan moral yang kuat. Tardisi ini memiliki
potensi yang kuat untuk membangun mainshet dan kesadaran anak-anak suku
Bajo

B. Tujuan Penulisan
 Untuk memenuhi tugas mata pelajaran Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan.
 Untuk mengetahui bagaimana Sejarah Sulawesi Tenggara.
 Untuk mengetahui bagaimana Tarian Tradisional Sulawesi Tenggara.
 Untuk mengetahui bagaimana Alat Musik Tradisional Sulawesi Tenggara.
 Untuk mengetahui bagaimana Lagu Daerah Sulawesi Tenggara
 Untuk mengetahui bagaimana Senjata Tradisional Sulawesi Tenggara

vi
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Sulawesi Tenggara


Sulawesi Tenggara merupakan sebuah provinsi di Indonesia yang terletak bagian
tenggara pulau Sulawesi dengan ibukota Kendari. Provinsi Sulawesi Tenggara terletak di
Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi, secara geografis terletak di bagian selatan garis
khatulistiwa di antara 02°45' – 06°15' Lintang Selatan dan 120°45' – 124°30' Bujur Timur
serta mempunyai wilayah daratan seluas 38.140 km² (3.814.000 ha) dan perairan (laut)
seluas 110.000 km² (11.000.000 ha).
Sulawesi Tenggara awalnya merupakan nama salah satu kabupaten di Provinsi
Sulawesi Selatan dan Tenggara Sulselra dengan Baubau sebagai ibukota kabupaten.
Sulawesi Tenggara ditetapkan sebagai Daerah Otonom berdasarkan Perpu No. 2 tahun
1964 Juncto UU No.13 Tahun 1964.
Masa Pemerintahan Negara Kesultanan – Kerajaan Nusantara Sulawesi Tenggara
pada masa pemerintahan Negara Kesultanan – Kerajaan Nusantara hingga terbentuknya
Kabupaten Sulawesi Tenggara pada tahun 1952, sebelumnya merupakan Afdeling.
Onderafdeling ini kemudian dikenal dengan sebutan Onderafdeling Boeton Laiwoi
dengan pusat Pemerintahannya di Bau-Bau.
Yang perlu diketahui bahwa Onderafdeling secara konsepsional merupakan suatu
wilayah administratif setingkat kawedanan yang diperintah oleh seorang (wedana bangsa
Belanda) yang disebut Kontroleur (istilah ini kemudian disebut Patih) pada masa
pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Sebuah onderafdeling terdiri atas beberapa
landschap yang dikepalai oleh seorang hoofd dan beberapa distrik (kedemangan) yang
dikepalai oleh seorang districthoofd atau kepala distrik setingkat asisten wedana.
Status Onderafdeling diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda kepada daerah-
daerah yang memiliki kekuasaan asli dan kedaulatan yang dihormati bahkan oleh
pemerintah Hindia Belanda sendiri. Pengakuan kekuasaan ini diberikan karena daerah-
daerah tersebut bukanlah daerah jajahan Belanda namun sebagai daerah yang memiliki
jalinan hubungan dengan Belanda.

vii
Dalam beberapa anggapan bahwa Onderafdeling merupakan jajahan kiranya
tidaklah benar, karena dalam kasus Onderafdeling Boeton Laiwoi terdapat hubungan
dominasi yang agak besar oleh Belanda sebagai pihak yang super power pada masa itu
dengan Kesultanan dan Kerajaan di Sulawesi Tenggara khususnya Kesultanan Buton,
sehingga diberikanlah status Onderafdeling Boeton Laiwoi.
Afdeling Kolaka pada waktu itu berada di bawah Onderafdeling Luwu (Sulawesi
Selatan), kemudian dengan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1952 Sulawesi Tenggara
menjadi satu Kabupaten, yaitu Kabupaten Sulawesi Tenggara dengan ibu Kotanya
Baubau. Kabupaten Sulawesi Tenggara tersebut meliputi wilayah-wilayah bekas
Onderafdeling Boeton Laiwui serta bekas Onderafdeling Kolaka dan menjadi bagian dari
Provinsi Sulawesi Selatan Tenggara dengan Pusat Pemerintahannya di Makassar ( Ujung
Pandang ).
Masa Orde Lama 1964. Selanjutnya dengan Undang-Undang No. 29 Tahun 1959,
Kabupaten Sulawesi Tenggara yang dimekarkan menjadi empat kabupaten, yaitu:
 Kabupaten Buton
 Kabupaten Kendari,
 Kabupaten Kolaka, dan
 Kabupaten Muna.
Keempat Daerah Tingkat II tersebut merupakan bagian dari Provinsi Sulawesi
Selatan dan Tenggara. Betapa sulitnya komunikasi perhubungan pada waktu itu antara
Daerah Tingkat II se Sulawesi Selatan Tenggara dengan pusat Pemerintahan Provinsi di
Ujung Pandang, sehingga menghambat pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan maupun
pelaksanaan tugas pembangunan. Disamping itu gangguan DI/TII pada saat itu sangat
menghambat pelaksanaan tugas-tugas pembangunan utamanya dipedesaan.
Daerah Sulawesi Tenggara terdiri dari wilayah daratan dan kepulauan yang cukup
luas, mengandung berbagai hasil tambang yaitu aspal dan nikel, maupun sejumlah bahan
galian lainya. Demikian pula potensi lahan pertanian cukup potensial untuk
dikembangkan. Selain itu terdapat pula berbagai hasil hutan berupa rotan, damar serta
berbagai hasil hutan lainya. Atas pertimbangan ini tokoh – tokoh masyarakat Sulawesi
Tenggara, membentuk Panitia Penuntut Daerah Otonom Tingkat I Sulawesi Tenggara.

viii
Tugas Panitia tersebut adalah memperjuangkan pembentukan Daerah Otonom
Sulawesi Tenggara pada Pemerintah Pusat di Jakarta. Berkat Rahmat Tuhan Yang Maha
Esa, cita-cita rakyat Sulawesi Tenggara tercapai dengan keluarnya Perpu No. 2 Tahun
1964 Sulawesi Tenggara di tetapkan menjadi Daerah Otonom Tingkat I dengan
ibukotanya Kendari.
Realisasi pembentukan Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara dilakukan pada
tanggal 27 April 1964, yaitu pada waktu dilakukannya serah terima wilayah kekuasaan
dari Gubernur Kepala Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tenggara, Kolonel Inf.A.A Rifai
kepada Pejabat Gubernur Kepala Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara, J. Wajong.Pada
saat itu Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara mulai berdiri sendiri terpisah dari
Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan. Oleh karena itu tanggal 27 April 1964
adalah hari lahirnya Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara yang setiap tahun
diperingati.

B. Tarian Tradisional Sulawesi Tenggara


Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki beragam kesenian yang muncul dan
berkembang sesuai dengan unsur-unsur budaya setempat. Salah satu kesenian yang
menarik dari daerah Sulawesi Tenggara adalah kesenian tari. Beragam kesenian tari yang
terdapat di daerah ini memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri yang dikemas dengan
karakter budaya masyarakatnya. Beberapa tarian tradisional yang terdapat di Sulawesi
Tenggara antara lain seperti di bawah ini.
1. Tari Malulo
Ada satu tarian tradisional yang identik dengan Sulawesi Tenggara yang disebut
tari Lula atau Malulo. Tarian ini pada awalnya merupakan tarian sakral dan penuh
filosofis. Akan tetapi, dalam perkembangannya Malulo sekarang menjadi tarian
pergaulan atau tarian rakyat yang biasanya dilakukan secara spontan pada setiap acara
baik itu acara pesta ataupun acara-acara yang dilaksanakan oleh instansi-instansi atau
organisasi.

ix
2. Tari Umoara
Tari Umoara merupakan salah satu tarian tradisional Sulawesi Tenggara berupa
tari perang yang ditarikan untuk menyambut tamu agung pada saat perkawinan para
bangsawan dan mengantar jenazah bangsawan. Tarian ini juga dipertunjukkan dalam
upacara pelantikan seorang raja. Tarian ini mempertontonkan ketangkasan, kewaspadaan
dalam menyerang musuh, dan membela diri dalam pertempuran.

3. Tari Mowindahako
Tarian ini dilaksanakan hanya bagi bangsawan atau anakia. Yaitu dilaksanakan
apabila suatu pinangan mereka sudah diterima. Hal ini dilakukan sebagai wujud rasa
senang maka diadakan tarian Mowindahako atau yang dikenal dengan nama lain yaitu
tarian membesara.

x
4. Tari Lariangi
Tari Lariangi merupakan tarian yang dipertunjukkan sebagai tari pembukaan suatu
acara pesta pertemuan sebagai penghormatan terhadap tamu yang hadir. Tarian ini
ditarikan oleh para penari wanita dan satu laki-laki. Tarian ini biasanya dilakukan oleh
para gadis keturunan bangsawan.

5. Tari Lumense
Tarian ini berasal dari Kecamatan Kabaena, Kabupaten Bombana. Makna dari
tarian ini adalah pemujaan kepada sang Dewa. Tarian ini dipersembahkan pada Upacara
penyambutan tamu pesta-pesta rakyat di Kabupaten Bombana. Kata Lumense berasal dari
kata lume dalam bahasa daerah yang berarti "terbang" dan mense yang berarti "tinggi",
sehingga lumense memiliki arti Terbang Tinggi.

xi
6. Tari Moida-ida
Tarian ini diiringi dengan nyanyian, sementara sekelompok orang berkumpul
membentuk lingkaran dan masing-masing berpegangan pada seutas tali sehingga
membentuk cincin.

7. Tari Balumpa
Tari Balumpa adalah tarian tradisional rakyat Buton dan Wakatobi Binongko,
Sulawesi Tenggara untuk mengucapkan selamat datang kepada tamu agung. Tari
Balumpa merupakan tarian yang mencerminkan kegembiraan masyarakat nelayan Buton
dan Wakatobi Binongko dalam menghadapi terjangan ombak demi menghidupi keluarga.

xii
8. Tari Dinggu
Tari Dinggu merupakan tarian tradisional rakyat yang menggambarkan sifat
kegotongroyongan masyarakat Tolaki pada saat musim panen padi. Tarian ini biasanya
ditampilkan oleh penari laki-laki dan wanita dengan mengenakan busana petani pada
zaman dahulu. Menurut sejarah, tarian ini berawal dari kebiasaan masyarakat Tolaki yang
melakukan panen padi dengan cara bergotong-royong, mulai dari memetik padi hingga
membawa hasil panenan padi sampai di rumah. Setelah panen selesai dan terkumpul
semua, diadakan sebuah acara modinggu, yaitu bersama-sama menumbuk padi hasil
panen yang dilakukan oleh muda-mudi.

C. Alat Musik Tradisional Sulawesi Tenggara


Tidak hanya dikenal dengan keindahan alamnya, warisan budaya terutama pada alat
musik Sulawesi Tenggara ini turut memengaruhi budaya daerah di provinsi tersebut.
Hampir setiap alat musik tradisionalnya memiliki sejarah dan keunikan tersendiri,
diantaranya:

xiii
1. Baasi
Baasi merupakan seperangkat alat musik bambu yang terdiri dari 10 buah.
Terbuat dari bambu dan rotan. Dimainkan dengan cara ditiup.

2. Kanda Wuta
Kanda wuta adalah alat musik tradisional Sulawesi Tenggara yang terbuat dari
kayu, tanah liat, rotan dan pelepah sagu, dimainkan dengan cara dipukul, digunakan
untuk mengiringi tarian lulo. Alat musik Kanda Wuta ini sudah ada sejak abad ke-10.

3. Ladolado
Ladolado merupakan alat musik pukul yang biasanya digunakan oleh masyarakat
Sulawesi Tenggara, dan digunakan pada saat acara-acara tertentu.

xiv
4. Ore-ore Mbondu
Ore-ore mbondu adalah alat musik yang terbuat dari tembaga atau tulang yang
telah dilubangi, kemudian diberi tali. Cara memainkannya adalah dengan cara ditiup.

5. Ore-ore Nggae
Ore ore Nggae adalah alat musik yang terbuat dari bambu dan rotan. Alat musik
ini biasanya dimainkan oleh kaum wanita (gadis) mengungkapkan perasaan hatinya
terhadap seorang pria.

6. Gambus
Gambus merupakan alat musik petik tradisional yang seperti mandolin yang
berasal dari Sulawesi Tenggara. Meiliki senar yang hanya tiga senar paling banyak.

xv
7. Dimba Nggowuna (Gendang Bambu)
Dimba Nggowuna adalah alat musik tradisional yang berasal dari Sulawesi
Tenggara dan terbuat dari bambu juga rotan. Pada zaman dahulu, alat musik ini
dimainkan oleh para kaum wanita disaat mereka bekerja dirumah menenun kain.
Tujuannya dari dimainkannya alat musik ini hanyalah sebagai sarana hiburan agar
tidak terlalu jenuh.

8. Seruling Bambu
Seruling Bambu juga merupakan salah satu alat musik tradisional Sulawesi
Tenggara. Banyak sekali jenis dari seruling bambu yang ada di Sulawesi Tenggara,
ada yang ukurannya sedang, kecil, dan bahkan besar sampai menggunakan dua ruas
bambu berukurang cukup besar.

xvi
9. Kecapi
Kecapi merupakan salah satu musik instrument tradisional daerah Sulawesi
Tenggara. Bentuk dari alat musik Kecapi menyerupai bentuk perahu dan terdiri dari
dua senar. Bahan untuk membuat Kecapi yaitu ayu dan senar.

D. Lagu Daerah Sulawesi Tenggara


Beberapa lagu khas daerah asal Sulawesi Tenggara berikut ini pun
menggambarkan betapa indahnya potensi alam dan kekayaan budaya yang terdapat di
daerah tersebut.
1. Tana Wolio
Wolio merupakan suatu nama perkampungan yang merupakan salah satu
kecamatan yang terdapat di Kota BauBau. Lagu yang diciptakan oleh La Ode
Imaduddin ini menggambarkan tentang daerah Wolio itu sendiri.

xvii
2. Peia Tawa-Tawa
Lagu yang berirama gembira ini merupakan lagu ajakan untuk menarikan Tari
Lulo bersama. Tarian ini merupakan taru persahabatan yang sering dilakukan pada
acara-acara seperti pernikahan, pesta panen raya, maupun pelantikan raja.
3. Wulele Sanggula
Lagu ini sangat erat kaitannya dengan cerita rakyat yang sangat dibanggakan
masyarakat di daerah tersebut. Lagu Wulele Sanggula menceritakan tentang seorang
gadis bidadari yang turun dari kayangan.
4. Symponi Bahteramas
Lagu yang ditulis dalam lirik berbahasa Indonesia ini memberikan gambaran yang
cukup jelas tentang keindahan bumi Sulawesi Tenggara. Berbagai kekayaan alamnya
berupa bentangan laut biru, kekayaan hasil laut, dan pesona budaya di provinsi ini
sangat membanggakan masyarakat daerah tersebut.

E. Senjata Tradisional Sulawesi Tenggara


Dalam masa penjajahan, dan kehidupan sehari-hari masyarakat Sulawesi
Tenggara senjata tidaklah dapat dipisahkan dari berbagai kegiatannya. Beberapa senjata
tradisional yang terkenal dari Sulawesi Tenggara yaitu:
1. Keris Pusaka Emas Aru Palaka
Keris pusaka emas aru palaka senjata pusaka dari raja – raja di kerajaan Buton.
Rante Mas dan Keris Pusaka Emas Aru Palaka (La Tenritatta Arung Pakka Petta
Malampe’E Gemme’na Daeng Serang Datu Marioriwawo). Kembaran Keris Pusaka
ini diberikan juga oleh Aru Palaka kepada Sultan Buton ke 9 Sultan Qaimuddin Malik
Sirullah Khalifatul Khamis.

xviii
2. Keris Meantu’u Tiworo Liya
Merupakan senjata digunakan untuk berperang jarak dekat, yang dimiliki salah
satu pembesar dimasa pemerintahan Raja Liya atau Lakina Liya berkuasa yang
bertugas mengamankan dan mengatur semua hasil tanaman rakyat atau tanaman sara
yang berada diwilayah pesisir pantai.

3. Parang Taawu (Pade Taawu)


Parang Taawu sendiri dahulu merupakan pusaka bertuah masyarakat suku
Mekongga yang mendiami wilayah kabupaten Kolaka. Pade Taawu atau Parang
Taawu pada zaman dahulu dipergunakan oleh raja-raja atau Tamalaki (Panglima
Perang) pada waktu peperangan.

xix
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sulawesi Tenggara merupakan provinsi yang memiliki berbagai kebudayaan
mulai dari segi agama, bahasa, kesenian, adat istiadat, mata pencaharian dan lain
sebagainya. Kebudayaan yang dimiliki Sulawesi Tenggara ini menjadi salah satu
kekayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang perlu tetap dijaga kelestariannya.
Dengan membuat makalah Sulawesi Tenggara ini diharapkan dapat lebih mengetahui
lebih jauh mengenai kebudayaan Jawa Barat tersebut dan dapat menambah wawasan
serta pengetahuan yang pada kelanjutannya dapat bermanfaat dalam dunia pendidikan.

B. Saran
Budaya daerah merupakan faktor utama berdirinya kebudayaan nasional, maka
segala sesuatu yang terjadi pada budaya daerah akan sangat mempengaruhi budaya
nasional. Atas dasar itulah, kita semua mempunyai kewajiban untuk menjaga,
memelihara dan melestarikan budaya baik budaya lokal atau budaya daerah maupun
budaya nasional, kaerna budaya merupakan bagian dari kepribadian bangsa.

xx
DAFTAR PUSAKA

file:///E:/ETNOPEDAGOGIK%20PADA%20MASYARAKAT%20SUKU%20MUNA.pdf

http://www.sultraprov.go.id/?
profile=history&ref=47e24c3d478701f77c44252d90bcd184#:~:text=Sejarah%20Provinsi
%20Sulawesi%20Tenggara&text=Sulawesi%20Tenggara%20awalnya%20merupakan
%20nama,UU%20No.13%20Tahun%201964.

https://www.senibudayaku.com/2018/03/tarian-tradisional-sulawesi-tenggara.html

https://www.silontong.com/2018/10/18/alat-musik-tradisional-sulawesi-tenggara/

https://borneochannel.com/alat-musik-sulawesi-tenggara/

https://akumaubelajar.com/seni-budaya/lagu-daerah-sulawesi-tenggara/

https://gpswisataindonesia.info/senjata-tradisional-sulawesi-tenggara/

xxi

Anda mungkin juga menyukai