Anda di halaman 1dari 16

Bab l

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Banten merupakan sebuah provinsi di sebelah barat Pulau Jawa memiliki moto  “Iman
Taqwa”. Moto ini mengartikan bahwa seluruh masyarakat Banten adalah orang-orang yang
memiliki agama atau kepercayaan yang kuat dan mendominasi hampir seluruh kehidupan
mereka. Ibu kota Banten adalah Serang. Hari jadi provinsi Banten adalah 4 Oktober 2000.
Titik koordinat wilayah Banten adalah  5° 7' 50" - 7° 1' 11" LS dan 105° 1' 11" - 106° '12"
BT.

Untuk saat ini pemerintahan Provinsi banten dipimpin oleh Gubernur Hj. Ratu Atut
Chosiyah. Luas wilayah Banten sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
23 tahun 2000 adalah 9.160,70 km2, dengan Populasi  10.644.030 jiwa, dan kepadatan
1.161,9/km².

Demografi Banten sendiri terdiri dari  Suku bangsa Banten  dengan presentase sebesar
47% dari jumlah penduduk, Sunda dengan presentase sebesar  23% dari jumlah penduduk,
dengan presentase sebesar Jawa 12% dari jumlah penduduk, dengan presentase sebesar
Betawi 9,62% dari jumlah penduduk, Tionghoa dengan presentase sebesar  1,1% dari jumlah
penduduk, Batak dengan presentase sebesar  0,93% dari jumlah penduduk, Minangkabau
dengan presentase sebesar  0,81%, dari jumlah penduduk Lain-lain dengan presentase
sebesar  54% dari jumlah penduduk. Mereka berbahasa Sunda, Jawa Banten, Indonesia, dan
Betawi. Dan kebanyakan mereka memeluk agama Islam, karena hampir 96,6% jumlah
presentase pemeluk agama islam. Sedangkan yang beragama Kristen 1,2%, Katolik 1%,
Buddha 0,7%, dan  Hindu 0,4%.

Wilayah laut Banten merupakan salah satu jalur laut potensial selain karena batas
daerahnya. Batas daerah Banten sebelah utara adalah Laut Jawa, yang dikenal dengan potensi
perikanan yang cukup bagus bagi Jawa. Kemudian sebelah Barat berbatasan dengan Selat
Sunda, yang merupakan merupakan salah satu jalur lalu lintas laut yang strategis karena dapat
dilalui kapal besar yang menghubungkan Australia dan Selandia Baru dengan kawasan Asia
Tenggara misalnya Thailand, Malaysia, dan Singapura. Disebelah selatan berbatasan dengan

1
Samudera Indonesia, yang berpotensi untuk memperkaya mata pencarian penduduknya,
dengan berlayar mencari ikan besar. Dan yang terakhir di sebelah timur, yang berbatasan
dengan DKI Jakarta dan Jawa Barat.

Di samping itu Banten merupakan jalur penghubung antara Jawa dan Sumatera. Bila
dikaitkan posisi geografis dan pemerintahan maka wilayah Banten terutama daerah
Tangerang raya (Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, dan Kota Tangerang selatan)
merupakan wilayah penyangga bagi Jakarta. Secara ekonomi wilayah Banten memiliki
banyak industri. Wilayah Provinsi Banten juga memiliki beberapa pelabuhan laut yang
dikembangkan sebagai antisipasi untuk menampung kelebihan kapasitas dari pelabuhan laut
di Jakarta dan ditujukan untuk menjadi pelabuhan alternatif selain Singapura.

Iklim Banten sendiri adalah Iklim Tropis.  Daerah Banten terbagi menjadi 8 daerah
kabupaten/kota. Diantaranya adalah Kota Tangerang Selatan, Ciputat, Kota Cilegon, Kota
Serang, Kota Tangerang, Kabupaten Pandeglang Pandeglang, Kabupaten Lebak, Kabupaten
Serang, dan Kabupaten Tangerang.

Di Provinsi Banten terdapat suku asli, yaitu Suku Baduy. Suku Baduy Dalam
merupakan suku asli Sunda Banten yang masih menjaga tradisi anti modernisasi, baik cara
berpakaian maupun pola hidup lainnya. Perkampungan masyarakat Baduy umumnya terletak
di daerah aliran Sungai Ciujung di Pegunungan Kendeng. Daerah ini dikenal sebagai wilayah
tanah titipan dari nenek moyang, yang harus dipelihara dan dijaga baik-baik, tidak boleh
dirusak. Masyarakat Baduy memiliki tanah adat kurang lebih sekitar 5.108 hektar yang
terletak di Pegunungan Keundeng. Mereka memiliki prinsip hidup cinta damai, tidak mau
berkonflik dan taat pada tradisi lama serta hukum adat.

Kadang kala suku Baduy juga menyebut dirinya sebagai orang Kanekes, karena
berada di Desa Kanekes. Mereka berada di wilayah Kecamatan Leuwidamar. Perkampungan
mereka berada di sekitar aliran sungai Ciujung dan Cikanekes di Pegunungan Keundeng.
Atau sekitar 172 km sebelah barat ibukota Jakarta dan 65 km sebelah selatan ibu kota Serang.

2
Bab ll

Pembahasan

2.1 Asal-usul Suku Baduy

Orang Kanekes atau orang Baduy/Badui adalah suatu kelompok masyarakat adat sub-etnis
Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Populasi mereka sekitar 5.000 hingga 8.000
orang, dan mereka merupakan salah satu suku yang menerapkan isolasi dari dunia luar.
Selain itu mereka juga memiliki keyakinan tabu untuk difoto, khususnya penduduk wilayah
Baduy dalam.

Sebutan “Baduy” merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok
masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya
mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang
berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan
Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka
menyebut diri sebagai urang Kanekes atau “orang Kanekes” sesuai dengan nama wilayah
mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo

Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara
Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering
pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan
mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau
asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.

Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang
mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti,
catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai ‘Tatar Sunda’
yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda
yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor
sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini
merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang
cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk
pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah
tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai

3
perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat
terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah
Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut
tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang masih mendiami
wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan
pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan
kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas
Kanekes sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.

Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928,
menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Kanekes adalah penduduk asli daerah tersebut
yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang
Kanekes sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-orang pelarian
dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan yang dijadikan mandala’ (kawasan suci) secara resmi oleh
raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur
atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal
dengan kabuyutan Jati Sunda atau ‘Sunda Asli’ atau Sunda Wiwitan (wiwitan=asli, asal,
pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan. Raja
yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala adalah Rakeyan Darmasiksa

2.2 Nilai-nilai Suku Baduy

Nilai yang dijunjung tinggi oleh warga Baduy adalah sebagai berikut :

 Tidak menggunakan barang elektronik dan bahan kimia


 Warna baju Baduy dalam : hitam putih sedangkan Baduy luar : hitam
 Di Baduy luar ikat kepala biru, Baduy dalam iket kepalanya putih semua
 Tidak diperkenankan ada kunjungan dalam tempo waktu lama
 Menikah dengan sesama suku Baduy.Apabila menikah dengan orang Baduy luar,
maka harus keluar dan ketika menikah mengadakan syukuran/selametan di rumah dan
satu kampung dibagikan nasi serta dinikahkan oleh kepala suku
 Membangun rumah secara gotong royong
 Memangkas rambut menggunakan pisau dan disarankan memotong di bulak
balik(seperti bulan Januari, bulam Mei dianggap tidak baik)

4
 Melahirkan menggunakan dukun beranak, sedangkan Baduy luar dengan
menggunakan bidan.Apabila kondisi sangat parah maka dibawa ke rumah sakit
dengan digotongmenuju Ciboleger lalu menggunakan mobil. Apabila ketika hamil
mengalami gangguan/hal gaib, maka diwajibkan memakai ikat tangan.
 Rumah panggung Julangpak.Dibuat dengan cara diikat menggunakan pasak yang
merupakan aturan adat dan bagian bawah tidak boleh diratakan.

2.3 Ritual Suku Baduy

Ada tiga jenis ritual penting atau upacara yang biasa masayarakat Baduy lakukan setiap
tahun. Ritual ini biasanya dilakukan oleh orang Baduy pasca panen usai. Bagi masyarakat
Baduy, keberadaan ketiga ritual ini adalah merupakan salah satu kewajibanmutlak yang tidak
boleh dilupkan apalagi ditinggalkan. Sebab menurutnya, perayaan ini merupakan peninggalan
para leluhur tetua (kokolot) yang harus dilaksanakan secara turun temurun sampai kapan
pun.Dilihat dari sejarahnya, ketiga tradisi upacara ini menurut kepercayaan masyarakat
Baduy sudah berlangsung selama ratusan tahun yang lalu.Ritual suku Badut tersebut adalah :

 Ngawalu, di antara upacara keagamaan masyarakat Baduy yang bernilai sakral adalah
ngawalu. Tradisi upacara ini dikenal sebagai salah satu jenis upacara yang biasa di
lakukan dlam rangka memperingati hasil panen atau dalam bahasa mereka
“kembalinya” padi dari huma (ladang) ke Leit (lumbung). Upacara ini biasanya
dilakukan sebanyak tiga kali dalam setahun, masing-masing sekali dalam tiap-tiap
bulan kawalu. Dilihat dari jenisnya, upacara kawalu ini dikenal dalam tiga macam ;
kawalu tembeuy (awal) atau kawalu mitembeuy ; kawalu tengah (pertengahan); dan
kawalu tutug (akhir)
 Ngalaksa, upacara ngalaksa adalah upacara lanjutan pasca upacara kawalu atau
ngawalu selesai.Bentuk ritual kegiatan upacara ini biasanya di isi dengan kegiatan
atau upacara membuat laksa, yakni sejenis makanan adat semacam mie tetapi lebih
besar, atau seperti kuetiaw yang terbuat dari tepung beras.Jenis upacara ini wajib
diikuti oleh seluruh masyarakat Baduy . Karena itu, keterlibatan warga sangat
dijunjung tinggi pada saat upacara ngalaksa. Keterlibabtan seluruh warga Baduy
dalam upacara ini karena salah satu kegiatan penting dari acara adat ini adalah
dijadikan sebagai tempat perhitungan jumlah jiwa penduduk Baduy atau dalam dunia

5
modern disebut dengan sensus penduduk, temasuk di dalamnya juga dilakukan
perhitunganatas jumlah bayi yang baru lahir maupun janin yang masih dalam
kandungan. Upacara ini dilakukan dengan tujuan untuk mengontrol laju
perkembangan masayarakat Baduy itu sendiri.Bagi masyarakat Baduy , dua jenis
upacara di atas sangat bernilai sakrl.Salah satu bukti ke-sakralannyaitu terlihat dari
ketatnya aturan yang harus dipatuhi.Seluruh warga Baduy tanpa terkecuali harus
mengikuti jenis upacara tersebut dan bagi masyarakat di luar Baduy dilarang untuk
menyaksikan apalagi mengikutinya, termasuk peneliti.
 Seba, Setelah proses upacara ngawalu dan ngalaksa selesai dilakukan, maka upacara
lanjutan pun segera dipersiapkan, dan bagi masyarakat Baduy, upacara ketiga ini juga
tak kalah pentingnya dengan dua jenis upacara di atas yakni sama-sama bernilai
sakral. Jenis upacara pamungkas ini biasanya disebut dengan upacara Seba.

Jika dilihat dari sisi semantik, istilah ”seba“ berasal dari kata ”nyaba“. Dalam Kamus
Bahasa Sunda, istilah ini berarti ”menyapa yang mengandung pengertian datang
dalam rangka mempersembahkan laksa disertai hasil bumi lainnya kepada penguasa
nasional“. Substansi ritual seba  ini sebenarnya adalah kegiatan silaturrahmi
pemerintahan adat Baduy kepada pemerintah nasional seperti Camat, Bupati sampai
Gubernur.

Masyarakat suku Baduy Banten sampai saat ini sangat memegang teguh tradisi
leluhur mereka termasuk ketiga ritual yang bernilai sakral ini biasa dilakukan setiap
tahun. Salah satu tujuan dari ketiga tritual tersebut adalah sebagai pengungkapan rasa
syukur mereka atas segala anugrah yang diberikan Dewata Agung termasuk di
dalamnya adalah hasil panen, serta meminta perlindungan pemerintah nasional agar
selalu menjaga dan mempertahankan eksistensi daerah mereka agar tetap aman dan
damai sampai kapan pun. 

Seluruh nilai-nilai luhur yang tercermin disetiap ajaran dan peribahasa Baduy tidak
ada yang tertulis, karena orang Baduy menyakini lebih dulu cerita daripada tulisan.
Oleh karenanya, semua ajaran Baduy tercatat dalam memori para tokoh adat dan
sebagian warga sampai kini.

6
2.4 Sentral Figur Suku Baduy

Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang
mengikuti aturan negara Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang
dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa
sehingga tidak terjadi benturan. Secara nasional, penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala
desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat
tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu “Pu’un”.

Puun merupakan pemimpin tertinggi pada masyarakat Baduy.dilaksanakan oleh jaro, Dalam
melaksanakan kehidupan sehari-hari pemerintahannya dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu
jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah. Adapun tugas-tugas
mereka antara lain:

1. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan
berbagai macam urusan lainnya.

2. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada
di dalam dan di luar Kanekes.

3. .Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut
sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan.

4. Jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat
Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan
kokolot lembur atau tetua kampong.

Pada masyarakat Baduy ini dikenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional dan
sistem tradisional (adat). Dalam sistem nasional, seperti halnya dengan daerah lain di
Indonesia, setiap desa terdiri atas sejumlah kampung. Desa Kanekes ini dipimpin oleh kepala
desa yang disebut Jaro Pamerentah. Seperti kepala desa atau lurah di desa lainnya, ia berada
di bawah camat, kecuali untuk urusan adat yang tunduk kepada kepala pemerintahan
tradisional (adat) yang disebut puun. Uniknya bahwa bila kepala desa lainnya dipilih oleh
warga, tetapi untuk Kanekes ditunjuk oleh puun, baru kemudian diajukan kepada bupati
(melalui camat) untuk dikukuhkan

7
Dikarenakan masyarakat kanekes mengenal dua system pemerintahan, yaitu Sistem Nasional,
yang mengikuti atauran Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Sistem Adat yang
mengikuti adat istiadat yang dipercaya masayarakat tersebut. Kedua system tersebut
digabungkan atau diakulturasikan sedemikian rupa sehinga tidak terjadi pembenturan. Secara
Nasional penduduk kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagi Jaro
Pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pemimpin data
kanekes yang tertinggi, yaitu “puun” .

Untuk bertahan mereka diikat oleh sistem pemerintahan yang mengatur kehidupan sosio-
politik dan keagamaan. Pengaturan kehidupan keseharian warga masyarakat sepenuhnya di
bawah kendali sistem pemerintahan yang bersandar pada pikukuh karuhun yang dikenal
sebagai pamarentahan Baduy dengan ketiga puun sebagai pucuk rujukan mereka yang
berkedudukan di tiga daerah tangtu, yaitu Cibeo, Cikartawana dan Cikeusik. Praktek
kepemimpinan ketiga puun masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda sesuai dengan
kedudukan dan perannya dalam hirarki kekerabatan. Puun Cibeo yang dihubungkan oleh
garis keturunan yang paling muda bertindak sebagai pemimpin politik yang berperan
mengatur warga masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup duniawi dan Puun
Cikeusik yang ditentukan oleh garis keturunan yang paling tua berperan memimpin agama
dalam rangka mewujudkan dan mempertahankan identitas budaya, sedangkan Puun
Cikartawana kedudukannya di antara kepemimpinan agama dan politik.

Dari segi pemerintahan tradisional, masyarakat Baduy bercorak kesukuan yang disebut
kapuunan, karena puun menjadi pimpinan tertinggi. Puun di wilayah Baduy ini terdapat tiga
Cikartawana. Puun-puun ini merupakan tritunggal, karena selain berkuasa di wilayahnya
masing-masing, juga secara bersama-sama memegang kekuasaan pemerintah tradisional
masyarakat Baduy. Walaupun merupakan satu kesatuan kekuatan, ketiga puun tersebut juga
mempunyai wewenang tugas yang berlainan. Wewenang kapuunan Cikeusik menyangkut
urusan keagamaan dan ketua pengadilan adat, yang menentukan pelaksanaan upacara-upacara
(seren tahun, kawalu, dan seba), dan memutuskan hukuman bagi pelanggar adat. Wewenang
kapuunan Cibeo menyangkut pelayanan kepada warga dan tamu ke kawasan Baduy,
termasuk pada urusan administratur tertib wilayah, pelintas batas dan berhubungan dengan
daerah luar. Sedangkan wewenang kapuunan Cikartawana menyangkut urusan pembinaan
warga, kesejahteraan, keamanan, atau sebagai badan pelaksana langsung di lapangan yang
memonitor permasalahan yang berhubungan dengan kawasan Baduy.

8
2.5 Simbol-simbol Suku Baduy

2.5.1 Alat-Alat Produksi

 Golok/Bedog

Golok atau bedog menjadi atribut sehari-hari lelaki Baduy. Ada dua macam Golok yang
dibuat dan digunakan oleh orang Baduy, yaitu golok polos dan golok pamor. Golok polos
dibuat dengan proses yang biasa, menggunakan besi baja bekas per pegas kendaraan
bermotor yang ditempa berulang-ulang. Golok ini digunakan oleh orang Baduy untuk
menebang pohon, mengambil bambu, dan keperluan lainnya. Golok Baduy yang telah
diyakini kekuatannya yaitu golok yang berpamor. Golok pamor memiliki urat-urat atau motif
gambar yang menyerupai urat kayu dari pangkal hingga ujung golok pada kedua
permukaannya. Proses pembuatannya lebih lama dan memerlukan pencampuran besi dan baja
yang khusus. Kekuatan dan ketajaman golok pamor melebihi golok polos biasa, di samping
memiliki kharisma tersendiri bagi yang menyandangnya.Golok buatan orang Baduy-Dalam
berbeda dengan buatan orang Baduy-Luar. Secara jelas perbedaannya terletak pada sarangka
dan perah-nya, baik yang berpamor maupun tidak. Golok terbuat dari bahan baja dan besi
bekas dari per pegas kendaraan bermotor. Pembuatannya dengan cara menempa besi baja
tersebut hingga pipih dan tajam dengan pemanasan api arang.Reka hias golok diterakan pada
bagian sarangka (wadah) dan perah (pegangan). Motif hiasnya berupa garis-garis yang
geometris mengikuti alur dan arah sarangka dan perah tersebut, dengan menggunakan alat
pisau pangot, atau pisau raut dan gergaji kecil.Bahan untuk membuat sarangka ialah kayu
Reunghas, dan perahnya dari bahan kayu duren atau kayu jenis lain yang lebih keras.
Pengikat atau penguat sarangka digunakan bahan tanduk sapi atau kerbau yang telah diraut
terlebih dahulu. Tanduk sapi atau kerbau kadang-kadang digunakan pula untuk perah golok
(berdasarkan pesanan).

 Kujang

Kujang adalah alat untuk keperluan bercocok tanam di huma, misalnya untuk nyacar,
ngored, dan dibuat. Benda seperti ini di daerah Sunda yang lain sering dinamakan arit.
Kujang dibuat dari bahan besi dan baja yang ditempa. Alat ini disebut kujang karena
berbentuk mirip kujang sebagai senjata khas Pajajaran dan kini menjadi simbol daerah
Jawa Barat.Istilah kujang ditujukan untuk bentuk seperti kujang dengan bagian bawah
(tangkai)nya seperti golok , dan alat ini banyak digunakan oleh orang Baduy Dalam.

9
Sedangkan bagi orang Baduy Luar biasanya menggunakan istilah kored (alat untuk
pekerjaan ngored/membersihkan rerumputan di huma).

 Kapak Beliung

Baliung adalah alat untuk menebang pohon besar atau sebagai salah satu perkakas untuk
membangun rumah. Di daerah lain disebut juga kapak. Gagangnya terbuat dari kayu yang
agak panjang (30-35 cm). Tenaga dan daya tekan Baliung harus lebih besar daripada golok,
dan karena itu dibuat dari besi baja yang lebih besar dan tebal pada bagian pangkal (yang
tumpulnya).

2.5.2 Senjata

Ada dua kampung di Baduy Luar yang terkenal pembuatan perkakas tajam, yaitu kampung
Batu Beulah dan Cisadane. Kedua kampung ini letaknya tidak berjauhan, dan berada di
sebelah Selatan Baduy (Kanekes). Tukang membuat perkakas tajam ini dinamakan Panday
Beusi. Yang dibuatnya antara lain Golok, Kujang, dan Baliung. Kampung yang sangat
populer goloknya yaitu dari panday beusi Batu Beulah dan Cisadane. Sejak dahulu kedua
kampung yang berdekatan ini sudah terkenal buatan goloknya yang sangat hebat (karena
kekuatan, ketajaman, dan pamornya). Bahkan tersebutlah nama seorang panday beusi Daenci
(sekarang sudah meninggal dunia) yang terkenal karena kesaktian dan kekuatan goloknya.
Kepopuleran Batu Beulah hingga kini tidak bisa dilepaskan dari nama Daenci. Anak dan cucu
Daenci merupakan generasi penerus pembuat golok Daenci. 

2.5.3 Wadah

 Lodong

Salah satu kegiatan wanita suku Baduy adalah mencari lahang untuk dijadikan gula aren.
Setiap pagi mereka membawa lodong, gelonggong bambu sepanjang 1 meter, untuk
menampung lahang (air nira) dari pohon aren yang tumbuh di sekitar kampung dan
hutan.Setelah terkumpul, digodoklah lahang itu hingga kental sebelum kemudian dicetak
menggunakan tempurung menjadi gula aren yang siap jual. Dalam sehari setidaknya dia
dapat membuat 40 tangkup gula aren. Setangkup gula aren yang dihasilkan dari dua keping
tempurung dijualnya Rp 4.000.

10
2.5.4 Pakaian dan Perhiasan

Baduy Dalam, untuk laki-laki memakai baju lengan panjang yang disebut jamang sangsang,
karena cara memakainya hanya disangsangkan atau dilekatkan di badan. Desain baju
sangsang hanya dilobangi/dicoak pada bagian leher sampai bagian dada saja. Potongannya
tidak memakai kerah, tidak pakai kancing dan tidak memakai kantong baju. Warna busana
mereka umunnya adalah serba putih. Pembuatannya hanya menggunakan tangan dan tidak
boleh dijahit dengan mesin. Bahan dasarnya pun harus terbuat dari benang kapas asli yang
ditenun.Bagian bawahnya memakai kain serupa sarung warna biru kehitaman, yang hanya
dililitkan pada bagian pinggang. Agar kuat dan tidak melorot, sarung tadi diikat dengan
selembar kain. Mereka tidak memakai celana, karena pakaian tersebut dianggap barang
tabu.Selain baju dan kain sarung yang dililitkan tadi, kelengkapan busana pada bagian kepala
menggunakan ikat kepala berwarna putih pula. Ikat kepala ini berfungsi sebagai penutup
rambut mereka yang panjang. Kemudian dipadukan dengan selendang atau hasduk yang
melingkar di lehernya. Pakaian Baduy Dalam yang bercorak serba putih polos itu dapat
mengandung makna bahwa kehidupan mereka masih suci dan belum terpengaruh budaya
luar.

Bagi suku Baduy Luar, busana yang mereka pakai adalah baju kampret berwarna hitam. Ikat
kepalanya juga berwarna biru tua dengan corak batik. Desain bajunya terbelah dua sampai ke
bawah, seperti baju yang biasa dipakai khalayak ramai. Sedangkan potongan bajunya
mengunakan kantong, kancing dan bahan dasarnya tidak diharuskan dari benang kapas
murni. Cara berpakaian suku Baduy Panamping memamg ada sedikit kelonggaran bila
dibandingkan dengan Baduy Dalam. Melihat warna, model maupun corak busana Baduy
Luar, menunjukan bahwa kehidupan mereka sudah terpengaruh oleh budaya
luar.Kelengkapan busana bagi kalangan laki-laki Baduy adalah amat penting. Rasanya busana
laki-laki belum lengkap apabila tidak memakai senjata. Bagi Baduy Dalam maupun Luar
kalau bepergian selalu membawa senjata berupa golok yang diselipkan di balik pinggangnya.
Pakaian ini biasanya masih dilengkapi pula dengan tas kain atau tas koja yang dicangklek
(disandang) di pundaknya.

Sedangkan, busana yang dipakai di kalangan wanita Baduy, baik Kajeroan maupun
Panamping tidak menampakkan perbedaan yang mencolok. Model, potongan dan warna
pakaian, kecuali baju adalah sama. Mereka mengenakan busana semacam sarung warna biru
kehitam-hitaman dari tumit sampai dada. Busana seperti ini biasanya dikenakan untuk

11
pakaian sehari-hari di rumah. Bagi wanita yang sudah menikah, biasanya membiarkan
dadanya terbuka secara bebas, sedangkan bagi para gadis buah dadanya harus tertutup. Untuk
pakain bepergian, biasanya wanita Baduy memakai kebaya, kain tenunan sarung berwarna
biru kehitam-hitaman, karembong, kain ikat pinggang dan selendang. Warna baju untuk
Baduy Dalam adalah putih dan bahan dasarnya dibuat dari benang kapas yang ditenun
sendiri. Untuk memenuhi kebutuhan pakaiannya, masyarakat suku Baduy menenun sendiri
dan dilakukan oleh kaum wanita. Dimulai dari menanam biji kapas, kemuduan dipanen,
dipintal, ditenun sampai dicelup menurut motifnya khasnya. Penggunaan warna pakaian
untuk keperluan busana hanya menggunakan warna hitam, biru tua dan putih. Kain sarung
atau kain wanita hampir sama coraknya, yaitu dasar hitam dengan garis-garis putih,
sedangkan selendang berwana putih, biru, yang dipadukan dengan warna merah. Semua hasil
tenunan tersebut umumnya tidak dijual tetapi dipakai sendiri. Bertenun biasanya dilakukan
oleh wanita pada saat setelah panen. Jenis busana yang dikerjakan antara lain, baju, kain
sarung, kain wanita, selendang dan ikat kepala. Selain itu, ada kerajinan yang dilakukan oleh
kalangan pria di antaranya adalah membuat golok dan tas koja, yang terbuat dari kulit pohon
teureup ataupun benang yang dicelup. Dari model, potongan dan cara berbusananya saja,
secara sepintas orang akan tahu bahwa itu adalah suku Baduy. Memang, pakaian bagi suku
Baduy bukanlah sekedar untuk melindungi tubuh saja, melainkan lebih bersifat sebagai
identitas budaya yang melekatnya. Mereka percaya bahwa semuanya itu merupakan warisan
yang dituturkan oleh karuhun atau nenek moyang mereka untuk dijaga. Dari perhiasan, suku
Baduy menganggap manik-manik yang berwarna orange, merah, atau hijau, sebagai sebuah
perhiasan yang berharga. Mungkin sama sebagaimana orang modern melihat emas dan
berlian.

2.5.5 Tempat Berlindung dan Perumahan

Proses pembuatan rumah/membangun rumah selalu dikerjakan secara gotong royong, yang
menunjukkan bahwa masyarakat Baduy sangat tinggi rasa kebersamaannya. Adapun bentuk
rumah tidak semewah rumah di kota-kota yang dindingnya menggunakan pasir, semen, ditata
dengan indah, diberikan berbagai aksesoris dan hiasan dinding sesuai dengan keinginan
pemilik rumah, namun pada masyarakat Baduy rumah mereka cukup sederhana, terbuat dari
bahan-bahan seperti kayu yang berasal dari alamnya, bilik bambu, atap rumbia, genting ijuk
dan lain-lain yang jelas sangat sederhana, dengan posisi semua rumah di Baduy selalu

12
menghadap utara selatan, yang secara logika rumah menghadap utara selatan maka proses
pergantian dan penyinaran sinar matahari sangat baik, apabila pagi sinar matahari masuk dari
arah timur dan sore hari sinar matahari masuk dari arah barat, sehingga masyarakat baduy
memiliki tingkat kesehatan yang sangat tinggi apalagi dengan aktifitas mereka yang selalu
berolah raga setiap hari, namun olah raga yang mereka lakukan bukan olah raga yang pada
umumnya dilakukan, olah raga yang mereka lakukan adalah olah raga yang berkaitan dengan
aktifitas mereka sehari-hari.Tempat tinggal suku Baduy Dalam masih berupa rumah
adat/tradisional yang masih dipertahankan sampai sekarang. Rumah suku Baduy di Banten ini
memiliki makna yang dalam.

Secara umum, bentuk rumah adat banten suku Baduy ini merupakan rumah panggung yang
hampir keseluruhan bahan bangunan rumah berasal dari bambu.

• Bangunan rumah dibuat tinggi, berbentuk panggung, mengikuti kontur/tinggi rendahnya


permukaan tanah. Pada tanah yang miring dan tidak rata permukaannya, bangunan disangga
menggunakan tumpukan batu. Batu yang dipakai adalah batu kali, berfungsi sebagai tiang
penyangga bangunan dan menahan tanah agar tidak longsor.

• Atapnya terbuat dari daun yang disebut dengan sulah nyanda. Nyanda berarti sikap
bersandar, sandarannya tidak lurus melainkan agak merebah ke belakang. Salah satu sulah
nyanda ini dibuat lebih panjang dan memiliki kemiringan yang lebih rendah pada bagian
bawah rangka atap.

• Bilik rumah dan pintu rumah terbuat dari anyaman bambu yang dianyam secara vertikal.
Teknik anyaman bambu yang dikenal dengan nama sarigsig ini hanya dibuat berdasarkan
perkiraan, tidak diukur lebih dulu. Kunci pintu rumah dibuat dengan memalangkan dua kayu
yang di dorong atau ditarik dari luar bangunan rumah.

• Ada 3 ruangan dalam bangunan rumah adat ini, yaitu ruangan yang dikhususkan untuk
ruang tidur kepala keluarga juga dapur yang disebut Imah, ruang tidur untuk anak-anak
sekaligus ruang makan yang disebut tepas dan ruang untuk menerima tamu yang disebut
sosoro.

• Seluruh bangunan rumah dibuat saling menghadap satu dengan yang lain, hanya
diperbolehkan membangun rumah menghadap ke Utara-selatan saja. Menghadap ke arah
Timur-barat tidak diperbolehkan secara adat.

13
Itulah bangunan rumah adat Banten suku Baduy, yang terkenal dengan kesederhanaan, dan
dibangun berdasarkan naluri manusia yang ingin mendapatkan perlindungan dan
kenyamanan. Rumah adat ini masih dapat anda jumpai di Banten, jika anda ingin mengetahui
dan melihat secara langsung di sana.

2.5.6 Bahasa

Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten. Untuk
berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia,
walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes
Dalam tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat-istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita
nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.

Orang Kanekes tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan adat-
istiadat mereka. Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di
desa-desa mereka. Bahkan hingga hari ini, walaupun sejak era Suharto pemerintah telah
berusaha memaksa mereka untuk mengubah cara hidup mereka dan membangun fasilitas
sekolah modern di wilayah mereka, orang Kanekes masih menolak usaha pemerintah
tersebut. Akibatnya, mayoritas orang Kanekes tidak dapat membaca atau menulis

14
Bab lll

Kesimpulan

Masyarakat Baduy dalam tidak mau dimasuki budaya dri luar sedangkan Baduy luar sudah
mau mengikuti budaya dari luar meskipun sedikit.Orang Baduy tidak mengenal poligami dan
peceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah kembali jika salah satu dari mereka
telah meninggal. Di dalam proses pernikahan suku Baduy pasangan yang akan menikah
selalu dijodohkan dan tidak ada yang namnaya pacaran. Orang tua laki-laki akan
bersilaturahmi kepada orang tua perempuan dan memperkenalkan kedua anak mereka
masing-masing. Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai sunda wiwitan
berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) ditunjukkan dengan adanya
pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang
Kanekes.Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan
yang dianut masyarakat adat kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat
sunda secara umum sebelum masuknya islam.

15
16

Anda mungkin juga menyukai