Anda di halaman 1dari 5

NILAI PENDIDIKAN PENGGUNAAN ALANG-ALANG DALAM AGAMA HINDU

UPACARA DI BALI
Ni Putu Suwardani
Program Pascasarjana, Universitas Hindu Indonesia, Denpasar
<psuwardani@yahoo.com>
Abstrak
Umat Hindu Bali dalam melaksanakan upacara keagamaan sering menggunakan sejenis
alang-alang (Imperatacylindrica) disebut alang-alang sebagai alat. Juga disebut lalang atau
ambengan, umumnya tumbuh liar di ladang. Bagi umat Hindu Bali, alang-alang dianggap
sakral dan karenanya digunakan untuk upakara (upacara) seperti Sirewista / Karowista, Sehet
Mingmang, Sesirat / Pemercik Tirta, Sapsapan Pemelas Tangan, Carebode, Tongkat Sawa
dan Puspa, Niasa Siwalingga, Pesiwakranan, dan Tipat Lingga dan juga sebagai bahan atap
pelinggih kuil, bahkan untuk atap sebuah hunian struktur di sebuah kompleks rumah.
Meskipun alang-alang digunakan dengan berbagai cara oleh orang Bali Umat Hindu, studi
awal menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat masih sebatas 'gugon tuwon (mulo keto)
'atau sekadar mengikuti tradisi nenek moyang. Jadi, studi akademis tentang Penggunaan
alang-alang dalam upacara keagamaan Hindu di Bali penting dilakukan. Penelitian kualitatif
ini, Berdasarkan data wawancara, observasi, dan studi dokumen, terapan secara fenomenologi
pendekatan dan teknik analisis deskriptif interpretatif menggunakan siklus Miles dan
Huberman model. Fokusnya adalah kota Denpasar dan Gianyar dan bertujuan untuk
mengeksplorasi dan menganalisis bentuk, makna filosofis, dan nilai pendidikan alang-alang
sebagai salah satunya bahan untuk upakara yadnya.
Kata kunci: nilai pendidikan, alang-alang, upacara keagamaan Hindu, Bali
1. PERKENALAN
Bali sering disebut sebagai pulau seribu pura, memberikan kesan seperti Bali tidak pernah
berhenti dari kegiatan upacara keagamaan yang biasa disebut yadnya. Dalam pertunjukan
Dalam yadnya, umat Hindu (di Bali) menggunakan sarana yang disebut upakara. Kata
'upakara' berasal Sansekerta, 'upa' yang berarti 'memiliki hubungan dengan', 'kara' yang
berarti pekerjaan tangan. Jadi, Upakara artinya segala sesuatu yang berhubungan dengan
pekerjaan tangan yang pada umumnya berbentuk bahan pengolahan seperti daun, bunga,
buah, kayu, air, dan api (PHDI, 2007). Materinya adalah disebut banten atau upakara yadnya
(Mas Putra, 2007: 6).
Banten di Bali memiliki ciri khas yang berkaitan dengan kreativitas religius itu mengandung
budaya magis, seni, dan adat yang bercirikan desa, kala, dan patra dan nista, madya, dan
uttama. Sangat banyak prasyarat untuk dipertimbangkan yang membuatnya sangat berisi
nilai-nilai pendidikan tinggi untuk dipelajari oleh mereka yang terlibat di dalamnya. Sarana
upacaranya adalah diyakini memiliki kekuatan yang terkait dengan religiusitas dan dianggap
sebagai sesuatu yang sakral oleh Hindu.
Masyarakat Hindu Bali mengenal lima jenis upacara yadnya yang disebut Panca Yadnya
yaitu Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya, Manusa Yadnya, dan Bhuta Yadnya (Tim
Penyusun Buku Panca Yadnya, 2007). Untuk melaksanakan lima jenis yadnya ada
diperlukan fasilitas atau upakara yadnya. Upakara bagi umat Hindu bukan hanya sarana
menghubungkan diri dengan sang pencipta, selain itu juga dapat menciptakan suasana yang
harmonis antar lingkungan, sesama manusia, tumbuhan, pitara (roh leluhur), dan
keharmonisan
92
Prosiding Book - Seminar Internasional
Hindu Bali, Tradisi dan Studi Antar Agama
ISBN: 978-602-52255-0-5
Universitas Hindu Indonesia, Denpasar - Bali, 2018
kehidupan lain di dunia.
Komponen penting upakara terdiri dari matram (daun), puspam (bunga), palam (buah), toyam
(air), dan dupa (dupa). Tiga dari lima komponen tersebut berasal dari tumbuhan. Itu Unsur
tumbuhan banyak digunakan sebagai sarana upakara oleh umat Hindu di Bali (Ayadnya dan
Arinasa, 2004; Sardiana, 2010: 11). Namun, pentingnya tumbuhan itu bisa dimanfaatkan
sebagai sarana upakara yadnya mungkin dianggap tidak banyak dipahami orang Hindu
(Adiputra, 2011: 5), sedangkan masyarakat Hindu Bali dalam kehidupannya tidak bisa
dipisahkan dari jenis tumbuhannya (Surata, et al., 2015: 268). Jenis-jenis tanaman untuk
Upacara yadnya disebut tanaman upacara (Supartha, 1998; Sardiana, 2010).
Satu jenis tumbuhan yang digunakan adalah alang-alang atau alang-alang atau alang-alang
yang dalam bahasa bali adalah disebut ambengan. Alang-alang merupakan jenis rimpang
berakar tahunan yang tumbuh menyebar rata di bawah tanah dan sangat mudah terbakar (Mac
Donald, et.al., 2002). Bentuk bilahnya menyerupai pedang, panjang berdaun meruncing ke
atas. Dengan bentuk seperti ini buluh sering dimitologikan sebagai senjata ampuh kematian,
begitu sering digunakan untuk melawan dunia gaib. Dalam bahasa Sansekerta jenis rumput
ini disebut 'kuça', puncak rumput disebut 'kuçagra', kuça = rumput, agra = puncak
(Wikarman, 1979: 5).
Buluh atau ambengan sering digunakan sebagai sarana upakara, khususnya pada upacara
pemurnian (Wikarman, 1972: 5). Sampai saat ini masyarakat Hindu Bali masih mempercayai
jenis ini rumput dapat digunakan untuk membersihkan aura negatif
 
Filosofis Alang-alang Dalam Hindu
Filosofi alang-alang dalam ajaran hindu banyak di kaitkan dengan pemuteran mandara
giri. dimana Para Dewa dan Asura bekerja sama memutar Mandara giri, dimana Hyang Ananta
Boga dan hyang Besuki melilit Mandara giri, dan sebagai penopangnya adalah Badawang Nala.
Di symbolkan dalam wujud Padmasana. Setelah keluar Amerta nya dilarikan oleh Daitya Kala
Rau (Rawi), tapi ketahuan dewi Ratih di panahlah kepalanya dengan Senjata Cakra oleh Dewa
Wisnu. Dari situ ada cerita bulan Kepangan (Bulan caplok kala rawu). Sebelum sempat diambil
oleh Ida Hyang Wisnu, sempat menetes sedikit kerumput alang-alang, terus dijilati oleh para
naga/ular sehingga ular bisa berumur panjang dan lidahnya tersayat (terbelah) oleh alang-alang.
Maka dari itu alang-alang juga di sebut tanaman panjang umur atau tanaman suci yang
merupakan menjadi bahan penting dalam beberapa upacara keagamaan hindu.
Dilihat dari kehidupannya alang-alang memiliki filosofi yaitu Akar alang-alang
memberi pelajaran bagi kita tentang pentingnya memiliki senjata bertahan hidup yang ampuh.
Meski dipandang remeh karena terkesan sebagai ”sampah”, namun alang-alang sulit
ditaklukkan karena ”senjata rahasia”nya. Banyak orang yang diremehkan bahkan dianggap
sebagai sampah masyarakat yang sulit diberantas, ternyata memberikan manfaat yang besar
bagi kehidupan lain.
Tak sedikit orang yang dianggap sampah oleh masyarakat mempunyai daya tahan
hidup yang luar biasa daripada orang mapan dan serba cukup. Mereka sudah sering ”dibakar”
oleh lingkungan yang keras. Hasil ”pembakaran” itulah yang menumbuhkan semangat hidup
untuk menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Maka kita saksikan tidak sedikit tokoh negeri
ini lahir dari kehidupan mereka yang awalnya prihatin, sangat terbatas dan kadang dicela
masyarakat. Akar alang-alang telah mengajari manusia bagaimana bertahan hidup dan tetap
memberi manfaat diantara ”celaan-celaan” yang ditujukan padanya.

Selain itu, Banyak kisah cerita yang menguraikan dari fungsi alang-alang dalam
agama Hindu. Seperti misalnya dalam naskah Siwa Gama, maupun dalam Adi Parwa.
Termasuk pula beberapa kisah  dari para balian, bahwa alang-alang merupakan senjata
ampuh yang mematikan yang sering digunakan berperang di alam gaib.  Seperti dikutip
dalam puragunungsalak.com, Dalam naskah Siwa Gama dikisahkan, ketika perjalanan
Bhagawan Salukat menemukan daun ilalang dalam kondisiya yang sudah kering dan
berserakan. Konon dengan kondisinya yang seperti itu, ketika bertemu dengan Bhagawan
Salukat ia pun memohon anugrah supaya dilebur dosanya. “Kasihanilah hamba Bhagawan”
kata rumput ilalang memohon. Sungguh tak tega Sang Bhagawan menyaksikan alang-alang
meratap seperti itu, dan akhirnya permohonannya yang tulus membuat hatinya terketuk
seraya memberikan anugrah sambil merafalkan mantra. “Om kuan sri sarwwa pawitram,
lingga sri ya namo namah swaha.” (Semoga kamu wajib merupakan perlambang bagi sang
sadaka dan merupakan alat pelepas-penyucian-para arwah) ucap Bhagawan Salukat.

 Dalam kisah lain mengenai alang-alang, Kitab Adi Parwa, parwa pertama dari
delapan belas parwa, khususnya dalam cerita pemutaran lautan susu (Ksirarnawa).
Diceritakan tentang kekalahan Dewi Winata, ibu dari Sang Garuda akibat kelicikan Dewi
Kandru dalam menebak kuda yang muncul pada saat pemutaran Gunung Mandara giri untuk
mendapatkan tirta amerta. Kuda yang sebenarnya muncul adalah kuda berwarna putih, namun
karena tipu daya dari Dewi Kandru dengan anaknya Sang Naga, ekor kuda yang sebelumnya
putih mulus disemburkan dengan bisanya sehingga tidak putih lagi. 

 Kekalahan tipu daya inilah yang menyebabkan Sang Winata menjadi budak. Sebagai
budak, Dewi Winata ditugaskan untuk mengasuh putra-putra dari Dewi Kandru yang
berjumlah ratusan naga. Mengasuh ratusan apalagi naga bukanlah suatu pekerjaan yang
gampang. Apalagi naga-naga tersebut sulit sekali diatur. Sang Garuda sangat bersedih
melihat ibunya seperti itu. Ia pun ingin membebaskan ibunya dari perbudakan tersebut.
Namun ada sebuah persyaratan yang harus ia lakukan sebagai ganti maksudnya tersebut. Ia
harus mencari Tirta Amerta di Gunung Somaka.

 Sebagai anak yang berbakti kepada orang tua, lantas ia berangkat ke tempat tersebut.
Penjagaan di Gunung Somaka cukup ketat. Namun berkat restu dari ibundanya serta
perlindungan dari para Dewa, setelah melalui pertarungan yang sengit Tirta berhasil
didapatkan, selanjutnya ia menyerahkan kepada ibundanya, untuk menebus agar tidak masih
menjadi budak dari Dewi Kadru. Tirta itu berada di Kamandalu serta diikat dengan alang-
alang. Sang Garuda berpesan mulai sekarang ibunya tidak lagi menjadi budak para naga.
Selanjutnya ia menyarankan kepada para naga sebelum meminum Tirta Amerta harus mandi
terlebih dahulu. Dengan kegirangan para naga mandi dan serta meninggalkan tirta tersebut.

 Karena ditinggalkan serta tidak ada yang menjaga akhirnya tirta tersebut diambil oleh
Dewa Indra. Dengan rasa sedih akibat tirta diambil , para naga hanya bisa berpuas menjilati
titik-titik tirta yang jatuh pada daun alang-alang secara berebutan. Karena tajamnya daun
alang-alang tersebut menyebabkan lidah para naga menjadi terbelah menjadi dua hingga kini.
Begitu pula halnya daun alang-alang sampai kini diyakini diyakini sangat suci.

 Mengenai kegunaan alang-alang bagi umat Hindu sering digunakan sebagai sarana
penglukatan. Selain itu juga digunakan pada waktu upacara pawintenan, yakni dengan
membuat alang-alang sebagai Carawista (alang alang yang dibentuk dan di ikatkan di kepala)
yang digunakan untuk mengikat kepala dari orang yang mewinten.

Carawista maha diwyam, pawitram papanacanam nityam kucakram tisthati,


sidhantam prati granati…

Carawista amat suci, dan pelebur dosa nestapa, ujung rumput alang-alang yang amat
tajam, penunjang kepadanya yang bertahta dalam hati….

 Ujung alang-alang yang amat runcing itu merupakan senjata gaib, untuk melebur
dosa dan nestapa, penderitaan. Ujung yang tajam itu berperan sebagai symbol pedang dan
lambang kekekalan dan keabadian. Daunnya yang runcing melambangkan peperti perjalanan
manusia yang menghadap kepada-Nyayang bertahta didalam hati. Semakin
jelas Carawista yang terbuat dari alang-alang adalah amat suci, yang disebut dengan
istilah diwyam. Kegunaan lainnya ialah sebagai karowista, sehet (ikat) mingmang, berupa
Nyasa Ciwa Lingga.

Alang-alang dalam bahasa bali disebut dengan ambengan. Secara niskala sebagai
sarana penyucian ambengan dapat membuat segala sesuatu menjadi suci, itulah salah satu
keagungan dari ambengan. Pemasangan Carawista sebagai gelung (ikat kepala) pada orang
suci (Sulinggih) ketika menyelesaikan suatu upacara dan pada orang-orang yang sedang
diupacarai, seperti pada upacara potong gigi, mewinten, mejaya-jaya, dan upacara yang
lainnya, dimaksudkan untuk menjadikan badan suci, sehingga Hyang Widhi berkenan
bertahta di dalam diri kita. Prosesi ini dilakukan pada saat prosesi pembersihan
diri pabyakalan dan prosesi yang mengikuti selanjutnya adalah acara natab. Prosesi ini
mengandung makna ketika sudah diikatkan Carawista pertanda badan sudah suci, selanjutnya
barulah natab yang diarahkan ke dalam diri yang diupacarai. Ini mengandung makna upacara
juga dipersembahkan kepada Ida Sang HYang Widhi yang telah berkenan bertahta di dalam
hati yang telah dilakukan proses penyucian sebelumnya. Tak jauh beda halnya dengan
pemasangan Carawista pada Ciwambha (sejenis periuk sebagai tempat pembuatan tirta oleh
Sulinggih) dengan maksud agar secara niskala priuk tempat tirta dan airnya menjadi suci
diterima oleh Ciwatman yang bersifat suci. Sementara untuk aled (alas) dari air suci tersebut
juga terbuat dari rumput alang-alang yang sering disebut dengan lekeh.

Anda mungkin juga menyukai