Anda di halaman 1dari 6

Alkisah, pada zaman dahulu kala, di daerah Indragiri, Riau, Indonesia, hiduplah seorang

janda tua bersama anak laki-lakinya bernama Tuaka. Mereka hidup berdua di sebuah gubuk
yang terletak di muara sebuah sungai (tepatnya di muara sungai Indragiri Hilir). Mereka tak
punya sanak-saudara dan harta sedikit pun. Meskipun hidup miskin, mereka tetap saling
menyayangi. Untuk hidup sehari-hari, Tuaka membantu emaknya mengumpulkan kayu api
dari hutan-hutan di sekitar tempat tinggal mereka. Ayah Tuaka sudah lama meninggal dunia,
dengan demikian emaknya harus bekerja keras menghidupi dirinya dan anak laki-lakinya,
Tuaka.
Suatu hari, Tuaka bersama emaknya pergi ke hutan untuk mencari kayu api untuk dijual
dan untuk memasak sehari-hari.
· Ibu : (membacakan syair ibarat)
· Tuaka : “Alangkah merdunya suara emak. Kalau ananda boleh tau, apa
gerangan judul dari syair itu, Mak?”
· Ibu : “Itu Syair Ibarat Khabar Kiamat dari daerah kita ni, Indragiri. Syair
tu adalah buah karya dari KH Abdurrahman Siddiq.”
· Tuaka : “Suatu saat, ajari ananda tentang syair tersebut ya, Mak.”
· Ibu : “Bagus jika kamu punya niatan untuk mempelajari budaya kita
tu. Nanti Mak bantu.”
· Tuaka : “Iyelah, Mak. Kalau bukan saya, salah satu pemuda daerah ni,
siapa lagi yang akan menumbuhkembangkan budaya kita ni, Mak.”
· Ibu : “Iyelah tu. Dah siap mengmpulkan kayu ni?”
· Tuaka : “Sudah, Mak.”
· Ibu : “Kalau sudah, sekarang kita kembali ke rumah.”
· Tuaka : “Iya, Mak.”

Di tengah perjalanan pulang, Tuaka dan emaknya dikejutkan oleh suara teriakan
gadis yang cukup keras. Ternyata, tak jauh dari mereka, ada dua ekor ular besar sedang
bertarung. Tampaknya mereka sedang memperebutkan sebuah benda.

· Tuaka : “Mak! Suara apa itu?”


. Suri dan Mayang : Tolong-tolong!!!!
. Ibu : ada apa nak? Mengapa kalian berteriak sangat kencang?
. Mayang : Disana ada dua ekor ular yang sangat besar, Mak!
. Suri : Mereka memperebutkan suatu benda!
· Ibu : “Tuaka, nak., ayo sembunyilah.
Tuaka dan emaknya beserta Mayang dan Suri segera berlindung di balik sebuah
pohon yang cukup besar. Dari balik pohon itu, Mereka terus menyaksikan dua ekor ular itu
saling bergumul dan belit-membelit.
· Tuaka : “Apa yang mereka perebutkan, Mak?”
· Ibu : “Mak juga tak tahu! Diamlah Tuaka, nanti mereka mengetahui
keberadaan kita,”
Tak lama kemudian, perkelahian kedua ekor ular tersebut akhirnya usai. Mereka
keluar dari balik pohon, lalu mendekat ke tempat kejadian itu. Mereka mendapati salah satu
ular sudah mati, sedangkan ular lainnya terluka. Ular yang terluka itu menggigit sebuah benda
berkilau, yang ternyata adalah sebutir permata (kemala) yang sangat indah. Ular itu tampak
kesakitan oleh luka-lukanya.
· Tuaka : “Mak, kasihan ular yang terluka itu. Mari kita tolong,”
Suri : “Tuaka lelaki idaman”
Mayang : “Suri, Tuaka itu lebih cocok denganku!’
Suri : “tentu saja aku, iyakan kanda Tuaka?”
Mayang : “dilihat darimanapun tentu saja aku”
Ibu : “tapi ibu tidak bisa memilih diantara kalian berdua, bagaimana Tuaka?
Tuaka : “Mak, jangan ikut-ikutan. Jadi bagaimana dengan ular ini?”
· Ibu : “Ya, mari kita bawa pulang, supaya kita bisa obati di rumah,”
· Tuaka : “Iya, Mak.”
Tuaka memasukkan ular itu ke dalam karung yang dibawa emaknya, lalu
membawanya pulang.
Sampai di rumah, Emak Tuaka segera mencari daun-daunan yang berkhasiat, untuk
membersihkan luka pada ular tersebut.
· Ibu : “Ini Mak sudah menumbuk daun-daunan untuk mengobati ular
ini,”
· Tuaka : “Biar Tuaka yang membubuhkan obat untuk ular ini mak,”
· Ibu : “Semoga saja ular ini cepat pulih,”
· Tuaka : “Iya, Mak.”

Beberapa hari kemudian, ular yang sudah mulai sembuh itu tiba-tiba hilang dari
keranjang. Permata yang selalu dia lindungi di dalam lingkaran badannya ditinggalkan di
dalam keranjang. Tuaka dan emaknya terheran-heran.
· Tuaka : “Mak.. Mak..” (memamnggil-manggil Emak)
· Ibu : “Iyaa, Tuaka. Ada apa?”
· Tuaka : “Mak, kemana pergi ular kemarin tu?”
· Ibu : “Apa dikeranjangnya tidak ada?”
· Tuaka : “Tak ada, Mak. Tampaknya dia sudah sembuh dan pergi. Tapi,
mengapa dia tinggalkan permata indahnya ini ya, Mak?”
· Ibu : “Ah, iya. Permatanya tidak dibawa.”
· Ibu : “Barangkali dia ingin berterimakasih kepada kita karena kita
sudah menolongnya. “
· Tuaka : “Jadi, bagaimana dengan permata ini, Mak?”
· Ibu : “Sebaiknya permata ini kita jual kepada saudagar. Agar uangnya bisa kita
gunakan untuk berjualan, dan kita tidak akan hidup miskin lagi.”
· Tuaka : “Baiklah kalau begitu, Mak. Besok pagi, Tuaka akan pergi ke
Bandar untuk menawarkan permata indah ini kepada saudagar
disana.”
Keesokan harinya, pergilah Tuaka ke Bandar. Sesampai disana, Tuaka berkeliling
kesana-kemari mencari saudagar yang berani membeli permatanya dengan harga yang tinggi.
Hampir semua saudagar di bandar itu ia tawarkan, namun tak ada yang berani membelinya.
Tuaka pun mulai putus asa. Tuaka berniat membawa pulang permata itu kepada emaknya.

· Tuaka : “Kemana lagi aku harus menawarkan permata ini. Tidak ada
satupun saudagar yang berani membeli permata ini dengan harga
tinggi.”

Di tengah perjalanan, Tuaka bertemu dengan Mayang dan Suri


Tuaka : Mayang, Suri kalian hendak kemana?
Mayang : kami hanya ingin berjalan-jalan melihat barang-barang di pasar”
Suri : sekalian mencari lelaki tampan”
Mayang : carilah keujung dunia, Suri. Biarkan kanda Tuaka bersama Mayang yang
jelita ini”
Suri : Oh tidak. Tuaka tetap milikku”
Tuaka : tenanglah, aku bukan milik siapa-siapa. Kalau begitu aku duluan, aku ingin
mencari saudagar”
Suri : Oh tidak, kita baru sebentar berjumpa”
Mayang : Oh Suri, Tuaka tidak ingin berlama-lama denganmu”

Tuaka melanjutkan perjalannya. Namun, ketika sampai di ujung bandar, tiba-tiba ia


melihat seorang saudagar yang sepertinya belum ia tawarkan.

· Tuaka : “Permisi, Makcik.”


· Saudagar : “Ya, ada apa gerangan?”
· Tuaka : “Saya datang kesini, hendak menawarkan sebuah permata indah
Kepada Makcik. Barangkali Tuan berminat, silahkan dilihat
Permata saya ini.”
· Saudagar : “Elok sekali permata ini. Aku sangat ingin memilikinya.”
· Tuaka : “Kalau begitu, apalagi yang Nyonya tunggu? Nyonya hanya tinggal
membayarnya,”
· Saudagar : “Tapi, apa permata ini asli?”
· Tuaka : “Tentu saja, Makcik. Silahkan Makcik periksa sendiri.”
· Saudagar : “Iyelah ni. Tapi uang yang aku bawa sekarang tidak cukup, Nak! Jika
kamu mau, kamu boleh ikut saya ke Temasik untuk mengambil kekurangannya.”
· Tuaka : (Termenung sejenak)
· Saudagar : “Jangan terlalu lama berfikir. Bagaimana, Nak?”
· Tuaka : “Baiklah, Nyonya. Saya akan ikut Nyonya untuk pergi ke Temasik.”
· Saudagar : “Baiklah. Kalau begitu sekarang ananda ikut saya untuk mempersiapkan
pelayaran ke Temasik.”

Setelah persiapan selesai, Tuaka pulang ke rumahnya untuk menceritakan masalah ini
pada emaknya.

· Tuaka : “Begitulah ceritanya, Mak. Bagaimana menurut Emak?”


· Ibu : “Apa kamu yakin akan berlayar ke negeri orang tu?”
· Tuaka : “Tuaka yakin sekali, Mak. Mak setuju kan?”
· Ibu : “Mak takpapa, Nak. Ini pasti yang terbaik untuk kehidupan kita
selanjutnya,”
· Tuaka : “Terima kasih banyak, Mak. Mohon doa restu dalam perjalanan Tuaka
ini, Mak.”
· Ibu : “Sudah pasti, Ananda. Doa dan restu Mak selalu mendampingimu.”
Akhirnya, Tuaka dan saudagar kaya itu berlayar menuju Temasik. Sepanjang
perjalanan, Tuaka tak henti-hentinya membayangkan betapa banyak uang yang akan
diperolehnya nanti.

Mayang : “hendak kemana, kanda Tuaka?”


Tuaka : “aku akan merantau untuk mencari kehidupan yang lebih baik”
Suri : “kanda Tuaka? Kenapa engkau pergi meninggalkan adinda?”
Mayang : “kanda Tuaka bosan melihat wajahmu, Suri. Kanda Tuaka, sanggupkah
kanda tidak bertemu dengan Mayang?”
Suri : “aku tidak sanggup melihat kanda Tuaka pergi”
Tuaka : “ aku harus pergi, Mak juga sudah memberikan izin. Semoga dilain waktu
kita kembali berjumpa.”

Setibanya di Temasik, sang Saudagar membayar uang pembelian permata kepada


Tuaka. Karena uang yang berlimpah tersebut, Tuaka lupa kepada Emak dan kampung
halamannya. Dia menetap di Temasik. Beberapa tahun kemudian dia telah menjadi saudagar
kaya. Dia menikah dengan seorang gadis elok rupawan. Rumah Tuaka sangatlah megah,
kapalnya pun banyak. Hidupnya bergelimang dengan kemewahan. Dia tak lagi peduli emaknya
yang miskin dan hidup sendirian, entah makan entah tidak.

Suatu ketika, Tuaka mengajak istrinya berlayar. Kapal megah Tuaka berlabuh di sebuah
daerah yang ternyata adalah kampung halaman Tuaka.
· Istri : “Indah nian pemandangan laut ni ya Kakanda,”
· Tuaka : “Ya, benar sekali Adinda. Kita sangat membutuhkan liburan
seperti ini. Menyegarkan pikiran dari kesibukan di Temasik yang
sangat memusingkan kepalaku,”
· Istri : “Wahai Nakhoda. Dimanakah gerangan kapal ini akan
berlabuh?”
· Nakhoda : “Sebentar lagi kita akan berlabuh disebuah kampong disekitar
sini, Makcik.”
· Istri : “Apa gerangan nama daerah tu, Nakhoda?”
· Nakhoda : “Disinilah kita sudah Makcik. Saya ucapkan selamat datang di Indragiri.
Kampong dengan alam yang belimpah.”
· Istri : “Belimpah? Memangnya apa yang menjadi potensi terbesar daerah ni,
Nakhoda?”
· Nakhoda : “Daerah ni punya kebon kelapa yang sangat luas membentang. Inilah yang
menjadi penghasilan masyarakat dikampong ni, Makcik.”
· Tuaka : “Sudah, sudahlah tu. Nakhoda, cepat labuhkan kapal ni.”
· Nakhoda : “Baik, Tuanku.”
Tapi ternyata, rupanya Tuaka enggan menceritakan kepada istrinya bahwa di
kampung yang mereka singgahi tersebut emaknya masih hidup di sebuah gubuk tua. Dia tak
mau istrinya mengetahui bahwa dirinya adalah anak seorang wanita yang sudah tua-rdan
miskin.
· Tuaka : (Termenung)
· Istri : “Wahai Kakanda. Mengapa gerangan engkau termenung diatas
lautan seperti ini?”
· Tuaka : “Tidak ada apa-apa wahai Adinda.”
· Istri : “Ceritakan saja padaku, Kakanda.”
· Tuaka : “Tidak ada apa-apa Adinda, jangan mengkhawatirkanku.”
Sementara itu, berita kedatangan Tuaka terdengar pula oleh Mayang dan Suri
Suri : “Kanda Tuaka sudah kembali”
Mayang : “Benarkah? Artinya kita harus bergegas menuju kesana. Mari kita beritahu
Mak dulu”
Suri : akhirnya ku bertemu dengannya lagi”
Mayang : dan pada akhirnya dia akan tetap memilihku sebagai kekasihnya. Sudahlah
mari bergegas, kita beritahu mak.

Sesampainya dirumah Tuaka


Suri : Mak, Tuaka kembali”
Ibu : Benarkah itu?
Mayang : Mari mak!

. Emaknya bergegas menyongsong kedatangan anak lelakinya yang bertahun-


tahun tak terdengar kabar beritanya tersebut. Karena rindu tak terbendung ingin bertemu
anaknya, emak Tuaka pun berlari mendekati kapal megah Tuaka.
· Ibu : “Tuaka! Tuaka! Wahai ananda, Ibu sangat merindukanmu!”
· Istri : “Wahai Tuaka! Siapa gerangan wanita tua itu? Mengapa dia
menyebut Kakanda sebagai anaknya?”
· Ibu : (berteriak-teriak memanggil Tuaka)
Tuaka terkejut melihat emaknya berteriak memanggilnya. Dia tahu wanita dengan
pakaian compang-camping itu memang emaknya, tetapi dia tak sudi mengakuinya. Dia sangat
malu pada istrinya.
· Tuaka : “Aku tidak mengenalnya!”
· Istri : “Tapi mengapa dia..” (terputus)
· Tuaka : “Sudah ku katakan aku tidak mengenalnya!”
· Istri : “Tapi kakanda..”
· Tuaka : “Sudah, jangan percaya padanya! Dia hanya seperti orang miskin lainnya
yang memelas meminta dikasihani!”
· Istri : “Apa itu benar?”
· Tuaka : “Tentu saja. Percaya padaku!”
· Tuaka : “Pergi kau wahai wanita miskin!”
· Ibu : (menangis sesenggukan memanggil Tuaka)
· Istri : “Kalau begitu, hei kau orang tua! Jauhi kapal kami! Kami tidak sudi
tubuhmu itu mengotori kapal ini!”
· Tuaka : “Pergi!”
. Mayang : Tuaka, berani sekali kamu dengan Mak mu seperti ini.
. Suri : Tuaka bukan lelaki idaman lagi!

Emak Tuaka sangat bersedih. Sambil menangis dia meratapi anaknya yang durhaka.
· Ibu : “Ya Allah. Ampunilah dosa Tuaka karena telah durhaka
kepadaku. Berilah dia peringatan agar menyadari kesalahannya!”

Rupanya Tuhan mendengar doa Emak Tuaka. Sesaat setelah doa Emak Tuaka
terucap, tiba-tiba Tuaka berubah menjadi seekor burung elang. Begitu pula istri Tuaka, dia
berubah menjadi seekor burung punai. Emak Tuaka sangat terkejut dan sedih melihat anaknya
berubah menjadi burung. Walaupun Tuaka telah menyakiti hatinya, sebagai seorang ibu ia
sangat mencintai anaknya.
Burung elang dan burung punai tersebut terbang berputar-putar di atas muara
sungai sambil menangis. Air mata kedua burung itu menetes, membentuk sungai kecil yang
semakin lama semakin besar. Sungai itu kemudian diberi nama Sungai Tuaka. Kemudian oleh
masyarakat setempat mengganti kata “sungai” ke dalam bahasa Melayu menjadi “batang”,
sehingga nama “Sungai Tuaka” berubah menjadi “Batang Tuaka”. Sejak itu pula, daerah di
sekitar muara sungai tersebut diberi nama Batang Tuaka yang kini dikenal dengan Kecamatan
Batang Tuaka yang masuk dalam wilayah Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, Indonesia.
Masyarakat Melayu Indragiri, baik di hilir maupun hulu sungai, meyakini legenda
ini benar-benar pernah terjadi pada zaman duhulu kala di sekitar muara sungai Indragiri. Jika
ada suara jerit elang berkulik pada siang hari di sekitar muara Sungai Tuaka, masyarakat
setempat meyakini bahwa suara burung tersebut sebagai penjelmaan Tuaka yang menjerit
memohon ampun kepada emaknya

Anda mungkin juga menyukai