Anda di halaman 1dari 2

Tok tok tok. Terdengar bunyi ketukan pintu dari depan rumah Aki Adi. “Aki Adi!

Kami ingin
mendengarkan cerita seram lagi Pak! Ayoklah Pak!” teriak anak-anak dari depan rumah
beliau. Anak- anak itu adalah Alif, Ratna, Bastian dan Asmara; mereka merupakan anak-anak
SMP yang tinggal di Desa Sukajadi dan sering mengunjungi rumah Aki Adi untuk mendengar
cerita khasnya. Tidak bisa dipungkiri, memang cerita Aki Adi itu sudah terkenal di kampung
mereka, banyak anak yang berbondong-bondong untuk mengunjungi rumah beliau untuk
mendengarkan ceritanya.

Pintu rumah pun akhirnya terbuka, “Kalian siang-siang datang kesini untuk mendengar cerita
bapak? Bukannya lebih seru kalau malem dengernya? Hahaha, bapak bercanda, sini ayo
masuk,” kata Aki Adi dengan penuh senyum dan tawa. Ia tampak tidak kaget dengan
kehadiran 4 bocah ini kerumahnya.

“Ayok Ki! Kami udah bela-belain cepet makan loh pak buat denger cerita aki. Aki gak merasa
terharu gitu?” tanya Alif dengan muka yang begitu, anak-anak lain dan Aki Adi pun terkekeh
mendengar apa yang dikatakan Alif. “Lebay lu bocah, tapi emang bener pak, kita tadi buru-
buru loh,” kata Ratna, melanjuti apa yang dikatakan Bastian.

Aki Adi pun hanya terkekeh dan mau tak mau hanya mengiyakan keinginan mereka. “Ya
sudah, aki mulai ceritanya.” Para anak-anak langsung duduk dengan tegap dan terlihat fokus
terhadap apa yang akan diceritakan Aki Adi, seolah-olah ini merupakan berita yang begitu
penting. “Jadi konon katanya, bapak sih sendiri gak pernah kesana jadi juga kurang tau, tapi
katanya Gunung Salak itu banyak cerita mistisnya. Banyak sekali. Dari nenek-nenek tua yang
ditebak sebagai Mpu dari jaman Kerajaan Padjajaran sampai pasukan tentara gaib. Banyak
kejadian di Gunung Salak yang bahkan susah dijelaskan dan sering dibilang tak masuk akal.
Katanya, disana juga ada binatang buas raksasa yang bisa dibilang gak masuk akal. Dan yang
paling seram itu misteri kampung setan yang katanya malem malem itu berisik, padahal mah
teu aya orang.”

Mulut mereka semua membulat seperti anak yang baru saja belajar membaca vokal. Tanpa
disadari, suasana sudah menjadi senja, tetapi anak-anak belum juga ingin pulang dan masih
merasa penasaran. “Ki, ki, trus kan kita tinggal dibawah kaki Gunung Salak, kok gak pernah
liat gitu pak? Kan jadi penasaran gitu,” tutur Bastian; semua lalu ikut bertanya-tanya. “Ya teu
aya atuh, kumaha éta. Kita kan di kaki gunung, itu kan di tengah-tengah gunung, jauh pisan.”

“Semua kejadian-kejadian itu memang bener,” kata Asmara dengan volume yang begitu kecil
nan halus. Semua melihat kearahnya dengan bingung; tak hanya itu, mereka juga merinding
mendengarnya. “Ah tong nyingsieunan urang, mana udah jam maghrib. Jangan
sembarangan dong!” gumam Ratna sambal mendekati badannya ke Bastian. Tentu hal yang
dikatakan Asmara cukup mengkagetkan, akan tetapi ditambahnya suasana sekitar mereka,
hal yang seharusnya tidak begitu menakutkan kini cukup membuat mereka merinding
ketakutan.

“Gak ada kok, tenang. Kalo emang, kita juga jauh kan tinggalnya dari sana? Ya memang deket
ke salah satu jalur yang pendaki lewatin, cuman kan tetep aja masih jauh dari tempat
lokasinya,” jawab Aki sambil menekan setiap suku kata yang Ia ucapkan agar terdengar oleh
anak-anak.
“Ah gak usah ngawur!” teriak Alif kepada Asmara, “Udah pulang-pulang. Udah maghrib nih,
nanti dicariin lagi dah.” Aki hanya melihat mereka dengan heran, apalagi terhadap Asmara,
“Kok dia bisa bilang gitu ya?” gumam Aki. Tanpa disadarinya, anak-anak sedang meneriaki
namanya dari depan rumahnya, “Aki kami pulang dulu, nuhun ki.”

Aki pun duduk diatas kursi rotannya di ruang tamu, memikirkan apa yang dikatakan Asmara;
menurutnya, itu sangat janggal. Bukan hanya janggal, tapi cukup aneh, apalagi mereka tidak
tahu tentang cerita tersebut. Rangkaian pemikirannya terpotong oleh suara gerobak mie tek-
tek didepan rumahnya. Tek tek tek. Akhirnya Ia berdiri dan pergi membeli sebungkus mie
tek-tek untuk memerhentikan pemikirannya yang mulai menakutinya juga.

“Kita anter Asmara dulu yuk,” ucap Bastian sambil memberi kode kepada Alif dan Ratna.
Mengerti apa yang ingin disampaikan Bastian, mereka pun setuju dengan idenya. Sesampai
di rumah Asmara, mereka bergegas pulang.

Di perjalanan, Alif bertanya kepada mereka, “Yang dibilang Asmara. Itu sebenernya beneran
gak sih? Gw jadi takut, tapi penasaran juga jadinya. Gimana kalo kita kesana bareng-bareng
besok subuh? Sama Asmara juga. Bisa aja ada yang dia sembunyiin dari kita gitu. Tapi jujur
menurut kalian janggal gak sih yang dibilang Asmara?”

Mereka tetap diam, tidak menjawab Alif. Yang bisa mereka pikiran hanya apa yang dikatakan
Asmara. “Halo? Halo? Denger gak sih?”

“Oh iya, maap,” kata mereka berdua secara bersamaan, “Bilang apa?” tanya Ratna.

Alif hanya bisa menggeleng-geleng palanya, “Hadeh, gak jadi deh. Tapi mau gak kita
berempat kesana? Kita cari tau gitu.”

Ratna dan Bastian hanya bisa berdiri beku mendengar pertanyaan Alif, memang mereka
takut dengan cerita yang diceritakan Aki, tapi mereka juga penasaran tentang pernyataan
Asmara; rasa dilemma pun menghantui mereka.

“Oh, emm, ayo. Mana tau kita ketemu sesuatu yang kayak spektakuler atau kayak “WOW!”
gitu,” jawab Bastian, mencoba untuk mengalihkan pemikirannya. Sedangkan Ratna hanya
mengganguk setuju dengan apa yang dikatakan oleh Bastian.

Setelah semua setuju, mereka dengan buru-buru kembali kerumah masing masing untuk
membereskan barang-barang mereka. Ini bukan petualangan pertama mereka, tapi ini ada
petualangan mistis mereka yang pertama. Bastian merasa campur aduk, dengan ketakutan
yang mendominasi perasaannya. Ratna pun merasa hal yang sama; sedangkan Alif merasa
semangat tentang ide yang diberikan olehnya untuk mengeksplor tempat itu. Malam itu,
mereka memilih untuk tidur lebih pagi hari itu, agar esok hari datang lebih cepat daripada
apa yang mereka rasakan.

Tanpa disadari, pagi pun datang. Ayam di desa mulai berkokok. Kukukruyuk, kukukruyuk.

Anda mungkin juga menyukai