Anda di halaman 1dari 2

Dekap Erat Bunda

Langkah kaki Saka terburu-buru menuju gerbang sekolah. Ia tidak


memperdulikan teriakan beberapa temannya saat ia berlalu begitu saja
keluar lapangan. Pikirannya kalut, kekhawatiran itu tampak jelas di
matanya.
Saka tidak memperdulikan tas dan mobilnya yang masih ada di dalam
sekolah. Yang ada di pikirannya hanya bagaimana ia dapat cepat
sampai dirumah. Memeluk Ibunya dengan erat.
Dari spion kaca, tukang ojek yang membawa Saka dapat melihat mata
laki-laki muda itu yang mulai memerah. Berkaca-kaca menahan
tangis.
“Pak bisa cepet sedikit nggak?” Saka menepuk dua kali pundak laki-
laki paruhbaya ini. Suaranya bergetar, ia seperti sedang ketakutan.
Motor tua itu berhenti di depan sebuah gerbang rumah yang tinggi
pagarnya dua kali lipat tinggi manusia.
Setelah memberikan uang dan helm, Saka berlari kencang menuju
kamar bundanya. Lututnya melemas melihat wanita yang amat sangat
ia cintai, terbaring lemah.
Rintihan-rintihan itu bak anak panah yang menusuk dadanya secara
bertubi-tubi, sesak sekali melihat ibunya kesakitan seperti hari ini.
Dengan mata terpejam, bundanya berkali-kali memanggil namanya,
mengulang kalimat yang sama.
“Saka, jangan pergi.”
“Saka disini aja. Saka jangan kemana-mana.”
“Sakaaa.”
“Bunda takutttt.”
“Saka jangan tinggalin bunda.”

Lose Corner
“Sakaaaa, anak bunda, Saka disini aja.”
“Sakaa manaaaa?”
“Saka disini Bunda.” Suara Saka mampu menghentikan igauan
bundanya. Napas bundanya masih tersenggal-senggal seperti habis
berlari.
“Sakaaa.” Panggil Bunda lirih, suaranya melemah. “Jangan pergi.”
Dengan mata yang masih terpejam, tangan Bunda menggapai udara,
meraba wajah Saka dengan penuh cinta.
“Iya, Saka disini, nggak kemana-mana.” Saka mengusap pelan anak
rambut di dahi bundanya, menyeka peluh dan memastikan suhu tubuh
bundanya.
“Berapa derajat Sus?” tanya Saka pada Suster Ann yang sedari tadi
berdiri di sisi ranjang yang lain.
“Beberapa menit lalu 40.5 derajat Mas, sebelum Mas Saka kesini.”
Saka mengangguk, “Bunda ada yang sakit badannya?” Saka masih
mengusap dahi bundanya, igauannya sudah berhenti.
“Dingin.” Lirih wanita itu dengan lemah.
Saka mengangguk walau tidak terlihat bundanya. AC kamar sudah
dimatikan, Saka memeluk Bundanya dengan erat.
“Kalau dipeluk Saka nggak dingin lagi kan?” Bisik Saka.
“Jangan pergi, jangan tinggalin Bunda.”
Suster Ann masih berdiri disana, melihat dua manusia yang cintanya
jauh lebih dalam dari samudra, yang saling menjaga dan mencintai
satu sama lain. Ini bukan kali pertama ia melihat Saka sangat
menyayangi Bundanya.
Sebab, yang ia tahu, hidup Saka hanya untuk bundanya. Selalu.

Lose Corner

Anda mungkin juga menyukai