Anda di halaman 1dari 10

CERPEN

gadis dengan balutan seragam putih abu-abu berjalan di sepanjang koridor yang sepi, rambut terurai
dan paras yang cantik adalah ciri khas dari gadis itu.

"Asya, kantin yok." Teriak Raya dari arah belakang.

"Gas rayy" ujar Asya sembari mengikuti arah Raya ke kantin.

"Pesan apa?"

"Bakso cabenya dua sendok ya Ray," Raya melotot atas pernyataan tema gila nya.

Pagi buta gini bakso cabe segitu, apa tidak cegil banget.

"GA ADA!" ujar Raya dan meninggalkan temanya.

"lah gue salah apa?" ujar Asya sendiri dan bersandar di kepala kursi.

"nih pesenan lu," ujar Raya memberikan seporsi bakso dengan kuah bening.

"Raya, ini bakso apaan ga menggoda gini, yang merah dong." protes Asya, kan tadi pesen nya dua
sendok sambal, kenapa bening kaya air putih.

"ga ada ya, masih pagi Sya, lu itu sadar dikit." ujar Raya, Asya hanya mengaduk kuah baksonya, seleranya
menurun.
•••

selesainya Asya dan Raya menghabiskan makan, mereka berdua kembali ke kelas.

"pulang sama siapa?" tanya Raya di lorong kelas.

"nunggu bus mungkin,"

"nebeng gua aja," ujar Raya tidak meyakinkan.

"engga lu ada rapat," jawab Asya yang mengingatkan temannya bahwa nanti ada Rapat.

"lah, lu juga ada rapat Sya," ujar Raya memukul bahu Asya.

"Gua nyadar ya, engga kayak lu-"

"aduh..."

"kalo jalan di lihat-" ujar Asya mengangkat wajahnya, untuk melihat siapa yang menabraknya.

"sorry, gua buru-buru" ujar seorang cowo sambil berlalu meninggalkan Asya dan Raya.

"Dasar bang Devan Jelek!." Seru Raya berteriak ke arah sang cowo, Asya dibuat melongo, bisa-bisa teriak
di tempat umum, segera ia membungkam mulut lebar Raya.

"Dia sepupu cowo gua Sya, santai aja." jelas Raya seperti tidak ada tahu tempat.
"Lu ga tau tempat mempermalukan gua?" ujar Asya menyeret Raya menuju kelas, sudah mau copot
wajah gini ceritanya.

•••

Perjalanan berlalu dengan tenang, hingga saatnya tiba Istirahat.

"Mau pesen apa apalagi?" tanya Raya duduk di kursi pojok dekat sawah.

"mau bakso lagi, yang kali ini dua sendok ya awas aja lu kalo ga dua sendok sebelnya." ketus Asya,
sedangkan Raya hanya mengacungkan jempolnya.

tak lama Raya kembali dengan nampan yang berisi somay, dua mangkuk bakso, dua jus alpukat, pentol
darurat level 2 dan juga kebab satu bungkus.

"Raya lu udah gila apa gimana?"

"laper Sya, pelajaran akuntansi bikin laper banget, ga kuat gua jadi khilaf.

"haduh, Raya! habisin ya awas ga dihabisin."

"tempat gua ni, ngapain kalian disini?" seru Devan bersama teman-temannya.

"apaan si, kursi masih banyak! ga lihat lu bang? jawab Raya, Asya hanya melihat saja, karena itu adalah
kakak kelas jadi tidak berani ia menyolot seperti itu.
"Markas gua, cepet minggir." sahut Devan lagi, lagi dan lagi Raya tak peduli karena ini milik umum.

"mager, kalian aja ya ganti." Jawa Raya, kali ini dia seriusan sudah mager level tinggi tapi kenapa ada
pangacau modelan Devan?

"udah Dev, sebelah aja." sahut Rega dengan nada pelan.

akhirnya Devan mengalah dan lebih memilih duduk di sebalah Asya dan Raya.

Selesai Asya makan, ia memutuskan untuk membaca buku dan mendengarkan alunan musik dari
earphone nya.

Tapi ternyata ada Devan yang menglihat dari sebalah bangku, paras dan geraian rambut Asya mampu
membuat mata Devan tak kedip sama sekali.

"woi elah, kedip napa si bang. tau temen gue cakep biasa aja." sahut Raya yang mengetahui Devan
memperhatikan Asya sendari tadi.

"Dev lu kecidup Raya," bisik Rega, mereka hanya berdua teman yang lainya masih pada pesen makanan.

Devan dibuat malu atas perlakuan Raya.

•••

Sepulang sekolah, Asya menunggu di halte depan, berharap ada angkutan yang bisa membawanya
pulang, pasalnya ini sudah larut malam.
mungkin beberapa saat akan berkumandang adzan magrib, tapi bus masih saja belum lewat, saat Asya
membuka aplikasi Bus ternyata halte depan sekolah tidak di lewati karena ada proyek di area
perempatan depan.

rintikan hujan turun bersamaan dengan adzan magrib, Asya bingung harus bagaimana ia pulang, orang
rumah pasti ga mau jemput, ojek online juga engga mau ambil penumpang selalu ditolak.

klakson motor bunyi nyaring, membuat Asya menatap heran 'siapa yang belum juga pulang magrib gini?
apa masih wujud manusia?'

"cepet naik, hujannya deres ini." seru Devan di balik helm full face nya.

"ga usah nanti ngerepotin," jawab Asya, ini sudah magrib ia tak mau merepotkan orang lain.

"cepet apa gua tinggal?" dengan cepat Asya berada di sebelah Devan.

suara petir ribut di atas sana, membuat Asya meringkuk dirinyalah sendiri sembari menahan rasa dingin.

'Dia takut petir?' gumam Devan.

"pake ini, lu kedinginan."

"ga nyadar? lu juga gitu."

"gua kenal, buruan naik ntar keburu larut malem." Asya menuruti perintah Devan.
sepanjang perjalanan hanya rintikan hujan yang mampu membuat dunia mereka menerka, banyak isi
kepala yang saling bersautan.

"lu tau rumah gua?" Tanya Asya di belakang.

"Raya selalu pulang dari rumah lu gua jemput," Asya hanya mengangguk.

•••

"makasih Kak, maaf ngerepotin."

"santai aja, gua duluan." Lama kelamaan motor hitam milik Devan menjauh dan sudah tidak terlihat.

Pintu rumah terbuka menampilkan mama Dara yang dari raut wajahnya seperti akan marah.

"kenapa pulang sama cowo?" Tanya Dara duduk di sofa panjang.

"tadi hujan deras, angkutan umum ga ad-"

"Banyak alasan! mau jadi perempuan apa kamu?" potong Dara, Asya memeluk badanya sendiri rasa
dingin sudah meresap di tubuhnya, namun mamanya pasti akan memarahinya dan memukul dirinya.

setelannya Asya kembali ke kamar, bercermin di depan kaca yang mulus, terdapat beberapa bekas ruam
memar di lengan.

air mata turun dengan sendirinya, segera ia mengunci kamar dan menggelapkan kamar, Asya meringkuk
dirinya dan nangis dalam dekapan diri sendiri
•••

hari kembali pagi, Asya datang pagi untuk menghindari macetnya kota Bandung.

"dia ruang apa?" batin Asya sembari memegang jaket milik Devan.

"Nyari siapa?" Tanya seorang laki-laki dari arah belakang.

Asya melihat tubuh tegap yang semalam ia diantar, "terimakasih."

Hanya sepatah kata lalu Asya meninggalkan Devan, tak sampai disitu Devan menahan lengan Asya.

"sakit Devan jangan di pegang!" marah Asya, bekas ruam semalam belum kering ditambah dicengkeram
sama Devan.

"m-maaf, kenapa lengan mu?" Asya tak menjawab melainkan lari untuk ke kelas.

•••

berhubung dengan adanya guru rapat yang berujung semua siswa dipulangkan, Asya sudah siap dengan
tas hitam untuk menunggu sang mama menjemputnya.

Namun sayangnya lagi dan lagi mamanya ingkar janji, entah apa yang dilakukan mamanya, selalu saja
memiliki alasan yang membuat dirinyalah harus menaiki angkutan umum.

"udah mulai sore, bareng sini." ujar Devan diatas montor.


"Engga, duluan aja." tolak ku secara halus, tapi kenapa rintikan hujan mengguyur kota Bandung?

"tuhkan hujan, ayo cepet," mau tak mau Asya menaikinya, Asya berharap masih belum ada mamanya
pulang kerja.

di sepanjang perjalanan hanya ada kesunyian, setibanya di rumah tenyata Allah berkehendak lain
mamanya ada di pekarangan rumah.

sekujur tubuhnya sudah tak karuan, Devan yang mengetahui itu akan coba berkenalan dengan tante
Dara.

"selamat sore tante, saya Devan teman Asya, tadi di halte tiba-tiba hujan jadi Devan antar Asya pulang
saja." Asya melotot kenapa Devan bisa bilang seprti itu?

"kenapa tidak cari angkutan umum?" tanya Dara ke asya.

"ma, tadi udah engga ada angkutan umum," jawab Asya gemetar, kenapa tumbuhnya menggigil.

"Banyak alasan!" bentak Dara dihadapan Devan.

Brukkk

Asya tak sadarkan diri di depan mamanya, sedangkan Devan sudah mencoba menyadarkan Asya.

"Sandiwara apa lagi," ujar Dara lelah dengan putrinya.


"Bawa kedalam saja Devan," ujar Dara.

"Jangan kerumah sakit membuang uang saja," tambah Dara lagi, tapi Devan dengan kekeh mau
membawa kerumah sakit.

"Saya yang bayar semuanya Tante, izin kan saya memakai mobil Tante," Dara terkejut dengan
pernyataan Devan.

Pada akhirnya putrinya di bawa kerumah sakit.

saat diruang dokter, Devan dan juga Dara mendengarkan dengan seksama.

"Putri ibu tidak bertahan lama, penyakit ini jarang ditemukan di Indonesia, dan bahkan tidak ada
obatnya, dirusia penyakit ini banyak menyebar, dan bahkan banyak kematian disana" jelas dokter.

"Halah itu akal-akalan dia saja Dok." ujar Dara masih tak percaya, Devan hanya terdiam.

"maaf Bu, kenapa ada bekas ruam di banyak badan anak ibu, saya melihat itu adalah pukulan benda-
benda berat." tanya dokter.

"saya mendidik anak saya untuk kuat tidak seperti ayahnya."

dokter pun paham dan memberi saran, tetapi Dara tak menggubris ucapan dokter tersebut.

diruang Dara hanya ada keheningan, tangan Asya Bergerak.

"Udah bangun? jangan lama-lama tidurnya." ujar Devan mendekat ke arah branka Asya.
"Mama?" tanya Asya mengerjapkan mata, agar bisa melihat dengan jelas.

Dara mendekat ke arah branka, melihat kondisi sang putri.

"Ma..., makasih udah lahirin Asya. Maaf asya ngerepotin mama terus," jeda Asya.

"Ma..., engga selamanya cowo sama ma, jangan berfikir Devan seperti papa yang banyak main
perempuan, Devan orang baik yang Asya temui."

"Asya titip Devan ma, mama harus baik-baik sama Devan, kunjungi Asya selalu" ujar Asya panjang.

"Devan terimakasih, Devan kunjungi Asya di tempat baru Asya, titip mama ya Devan, titip Raya."

"Asya pamit." setelah mengucapkan banyak kata, kata terakhir mata Asya menutup. perlahan mesin
monitor menandakan garis lurus.

Devan dan Dara kaget, segera memanggilkan dokter, dokter pun mengeceknya.

Dara tersadar akan ucapan anaknya, air matanya menetes, hatinya hancur.

Rasanya ingin ia memutar semuanya

Anda mungkin juga menyukai