Alkisah di dalam sebuah rumah hiduplah sepasang suami istri dan anak mereka. Aisa,
gadis yang selalu bergantung pada sebuah harapan yang fana, hidup lama dalam kesendirian
memiliki keluarga yang lengkap namun seolah hanya sebatang kara. Diacuhkan oleh keluarga
yang dia anggap sebagai tempat mengadu.
Ketika itu, pada suatu malam di kediaman Atmajaya, Aisa terlihat merenung di kamarnya.
Namun, hal ini sudah menjadi rutinitas hariannya..
Aisa : “Iya Bi, sebentar lagi saya turun. Bi, apa ayah dan ibu sudah pulang?”
Bi Sella : “Belum, Non. Mungkin sebentar lagi. Baik, bibi permisi dulu ya,
Non.”
Sepeninggal sang asisten rumah tangga, Aisa pun keluar dari kamarnya dan berjalan
menuruni anak tangga menuju ruang makan.
Sesampainya di meja makan, ia pun duduk dan beralih menyantap hidangan makan malam
yang telah disiapkan. Disela aktifitas makannya, ia bergumam..
Aisa : “ Selalu saja seperti ini, tidak bisakah dua orang tua itu sedikit saja
memikirkan anak mereka.”
Tiba-tiba…
Bu Dhea : “Harusnya kamu jangan egois seperti itu Pah, sebagai pemilik
sebagian saham di perusahaan itu aku juga berhak memberikan
pendapat.
Radit Atmajaya : “Sudahlah, Ma. Pendapatmu ataupun pendapatku itu sama saja.
Bisakah kita tidak membahas hal ini di rumah.”
Radit Atmajaya : “Katakan saja apa yang kamu butuhkan, Ayah akan menyiapkannya.”
Aisa : “Terima kasih, Yah. Bisakah kalian datang untuk melihatku disana?”
Dhea : “Maaf, Nak. Ibu sibuk harus mengurus beberapa kerjasama dengan
kolega bisnis keluarga kita.”
Radit Atmajaya : “Ayah juga harus pergi keluar kota besok, Nak. Jadi mungkin tidak
sempat hadir.”
Dhea : “Jadi menurutmu untuk apa Ayah dan Ibu kerja? Ini semua untuk
keluarga kita, untuk masa depanmu juga.”
Aisa : “Iya Aku tahu, Bu. Tapi aku tidak hanya membutuhkan dorongan
secara finansial, Aku juga ingin seperti teman-temanku yang lain
diberi semangat.”