Anda di halaman 1dari 11

In the end that was the choice you made, and it doesn't matter how hard it was to

make it. It matters that you did.


Suara gemercik tirai kerang menggema di ruangan, dalam sedetik membawa lelaki
itu bergerak mundur dengan cepat. Seperti masuk dalam mesin waktu. Kepalanya
membawa ia pada senyum manis yang bibirnya selalu bergerak-gerak jika ingin
menangis, mata cokelat, dan suara tawa yang seolah juga mengajak siapapun tertawa.
Leta... bisikan itu nyaris tidak terdengar, terhembus angin yang masih
menggerakkan tirai kerang di sana dan terus menghadirkan ingatan itu.
Ga, terus siapa lagi?
Dega terhenyak, jiwanya dalam sedetik kemudian baru kembali ke raganya. Senyum
dan tawa yang tadi ada di depan matanya turut hilang.
Ga, kamu capek? Tangan pucat itu mengusap lembut lengan Dega, mengerahkan
seluruh perhatian pada lelaki di hadapannya yang sejak tadi memang terlihat lelah setelah
dikejar deadline acara pernikahannya sendiri. Berhari-hari ke sana-sini, memilih ini-itu,
dan mengambil keputusan final untuk segalanya.
Aku nggak apa-apa, tadi sampai mana kita? Dega mengusap wajahnya keras-keras
agar sadar sepenuhnya.
Oliv menutup catatan yang sejak tadi menyibukkannya. Nggak, lebih baik kamu
istirahat dulu.
Aku nggak apa-apa. Sekali lagi Dega meyakinkan.
Ya sudah, kita makan. Aku siapin makan dulu, ini kita lanjut nanti lagi. Oliv
mengusap punggung tangan Dega dengan lembut kemudian beranjak, meninggalkan
wangi green tea dari losion yang ia kenakan. Dega menarik napas dalam-dalam, cuma itu
satu-satunya obat yang bisa membuat sadar sepenuhnya.
Tubuh ramping Oliv menabrak tirai kerang itu, sejenak ia berbalik untuk
melemparkan senyum pada Dega yang masih terduduk lemas di sofa.
Belum selesai Dega menghela napas, pintu terbuka lebar. Kak Oliv! Udah selesai
undangannya?
Suara yang satu itu juga selalu mampu membuat kesadaran Dega penuh kembali.
Oliv menggeleng. Kok, kamu sudah pulang?

Iya, ada mata kuliah kosong. digantu tugas take home gitu, biasa, dosen. Aira
melempar tas ke sofa bersama beberapa diktatnya, melirik Dega dan bergegas ke dapur.
Aira kembali lagi membawa segelas air putih. Masku, kenapa?
Dega segera menenggak habis segelas air putih yang disodorkan Aira, kepalanya
terasa lebih dingin sekarang. Gadis itu duduk di sebelah Dega, potongan long jeans dan
kemeja warna peach yang dipakainya membuat Dega teringat sesuatu lagi. Rambut Aira
jatuh terurai nyaris menyentuh pinggang membuat napas Dega tertahan sejenak. Tidak
perlu banyak bahasa lagi, Aira seakan mampu membaca apa yang dirasakan Dega.
Gimana persiapan weddingnya? Aira menurunkan volume suaranya.
Dega mengangguk pelan. Aman.
Yakin?
Iya, tapi Oliv masih bingung pilih souvernir.
Kemarin katanya mau mug, nggak jadi?
Dega menggeleng. Nggak tahu, Mas nurut aja kalau masalah itu.
Aira meniup poninya yang lama-kelamaan turun menutupi pandangan, kemudian
mengacak-acak isi tasnya mencari cermin kecil yang selalu dibawanya. Tangannya
mengusap rambut berulang kali sambil memegang cermin kecil itu di depan wajah, Dega
tidak melewatkan pemandangan itu. Adik manisnya sudah berubah jadi gadis cantik.
Gimana kuliah kamu?
Aira menghentikan gerakan tangannya, pergelangan kanannya yang dilingkari gelang
etnic warna cokelat, Dega tahu betul bahwa gelang itu pemberian pemilik senyum manis
yang sejak tadi muncul diingatannya, masih dipakai sampai sekarang.
Ya, namanya juga semester pertama, Mas... Masih baik-baik aja. Aira membentuk
senyum di wajahnya.
Harus selalu baik sampai semester akhir.
Aira terkekeh. Iya, Mas... Pasti selalu baik.
Harus janji.
Kenapa?
Biar cepet lulus!
Aira tertawa lepas. Masih lama, Mas! Tangannya segera mengambil diktat dan
tasnya lalu beranjak. Dega memperhatikan adik perempuannya itu, tidak ada yang

berubah di matanya, tetap seorang gadis manis yang disayanginya. Dega kembali lagi ke
tumpukan undangan pernikahannya di atas meja.
Aira!
Aira menghentikan langkahnya menuju kamar, panggilan itu terdengar darurat dan
penuh semangat, Hmm?
Dega memberi kode agar Aira mendekat, memilah salah satu undangan yang sudah
diberi pita biru di atasnya dan menyodorkannya pada Aira.
Apa, Mas?
Dega membisikkan sesuatu pada Aira, gadis itu mengangguk-angguk mengerti
sambil tersenyum lebar.
Ga, ayo makan dulu. Kamu juga, Ra... Oliv muncul masih menggunakan celemek.
Aira segera berdiri tegak, senyum lebarnya masih tersisa di wajah.
Bisa, Ra? Tanya Dega.
Aira mengacungkan ibu jarinya. Siap, bos!
Apanya yang bisa? Oliv mengerutkan kening.
Ra-ha-si-a. Aira terkekeh dan beranjak ke kamarnya.
Oliv hanya menggelengkan kepala dengan kelakukan kakak-beradik yang selalu
tidak bisa ditebak itu. Tapi, Oliv merasa memiliki segalanya di dalam rumah itu. Ibunda
Dega yang menyayanginya seperti anak sendiri, Aira yang selalu ceria, dan juga Dega
yang membuatnya selalu jatuh cinta.
*
Dentang jam berbunyi tujuh kali, sinar matahari menyusup lewat celah ventilasi dan
meninggalkan bayangan oranye di dinding kamar. Tangan Leta menarik blazer biru tua
yang sudah menggantung di sebelah cermin, mematutkannya dengan setelan senada dan
langsung beranjak keluar.
Rumah sepi, selalu begitu. Leta meraup permen yang ada di toples lalu
memasukkannya ke tas. Tidak lama, ia naik ke mobil dan bergegas. Mobil yang beberapa
bulan lalu jadi hadiah ulang tahunnya ketika orangtuanya berlibur di rumah dari Leipzig.
Semangat Leta untuk bekerja semakin menjadi, tidak lagi perlu berdesakan di angkutan
umum atau berdiri sepanjang perjalanan, walau akhirnya harus membayarnya dengan

bermacet-macetan. Leta memasang seatbelt dengan hati-hati, kukunya baru saja di cat
warna nude. Dalam sedetik, ingatannya kembali pada tahun-tahun silam ketika warna cat
di kukunya itu sama, ketika ia berdiri di dalam ruangan begitu khidmat dan tangannya itu
menggenggam tangan seseorang hingga berkeringat. Ketika doa dan pengharapan ia
curahkan seluruhnya dalam sebuah genggaman. Prosesi wisuda yang tidak akan pernah ia
lupa, bersama genggaman itu.
Ah, Pak Guru... Kamu kemana sekarang? Wow! Aku kangen tiba-tiba! Leta
berseru sendiri dan tertawa. Sejenak ia memutar kaca spion untuk bercermin, kemudian
segera menyalakan mesin mobilnya.
Masih sepi di kantor, sehingga Leta bisa sesukanya memilih tempat parkir. Tidak
lama, ia bergegas ke ruangannya, menyapa semua teman dan office boy yang ditemuinya
menuju ruangan. Leta meletakkan tas dan memakai kacamatanya, masih ada beberapa
menit sebelum pukul delapan tepat, waktunya Leta meminta secangkir tea jasmine pada
office boy. Leta percaya minum teh wangi di pagi hari bisa memberinya semangat lebih,
itulah yang Leta lakukan sejak tidak ada lagi yang bisa dijadikannya bersandar, ia
mengisi kotak semangatnya sendiri.
Aroma wangi dari automatic perfume di pojok ruangan membuat Leta semakin
terbius oleh detak jam dinding. Leta mengulum senyumnya dan melemparkan pandangan
ke jendela, dengan bebas matanya memandang Aji yang sibuk menyapa kliennya di area
parkir. Ajisaka, jika di legenda tanah jawa digambarkan sebagai seorang yang gagah dan
tidak pernah menyerah, maka tidak jauh dengan Ajisaka yang Leta kenal.
Leta tertawa sendiri hingga suara ketukan di pintu membuyarkan pikirannya.
Masuk!
Tidak ada reaksi, ketukan di pintu masih berlanjut. Leta mendengus kesal dan segera
membuka pintu. Leta terdiam sejenak untuk menyadari seseorang yang berdiri di depan
pintu ruangannya. Seorang sahabat lama yang tiba-tiba berdiri di depan pintu ruangannya
sepagi itu, kejutan.
Rara!
Letaaa... Pelukan hangat menyergap tubuh Leta.
Leta segera menarik Rara untuk masuk ke ruangan, kemudian tidak ada kata-kata
rindu yang terucap, cuma pelukan hangat yang lama. Sangat lama.

*
Ikut nggak, Ra?
Aira menenteng tas kameranya dengan hati-hati. Aduh, hari ini aku ndak bisa.
Mau kemana?
Ra-ha-si-a. Aira tertawa dan segera beranjak meninggalkan teman-temannya. Ada
misi rahasia yang dititipkan Dega padanya, Aira memastikan barang titipan itu masih di
tempatnya di selipan buku diktat. Aira memperbesar langkahnya ke area parkir karena
matahari sudah tepat di atas kepala hingga sepertinya sanggup membakar ubun-ubun, ia
akan menuju kantor Leta yang tidak terlalu jauh dari kampusnya.
Aira termenung sejenak, membayangkan perasaan Leta ketika membaca undangan
itu. Tapi, Aira yakin bahwa Leta sudah melupakan banyak hal urusan perasaan pada
Dega, hampir dua tahun Aira tidak menemui Leta lagi, tapi wajah dan senyum itu selalu
teringat oleh Aira. Senyum yang tidak mampu digantikan oleh siapapun.
Sampai di kantor Leta, kaki Aira ragu untuk turun dari mobil.
Cuma kasih undangan ini, terus udah bisik Aira pada dirinya sendiri, detak
jantungnya terasa lebih cepat.
Setelah yakin penuh, Aira melangkah turun, sepatu kets-nya yang pertama
merasakan panas. Di dalam kantor, Aira segera bertanya ruangan Leta. Aira gugup,
seperti akan bertemu orang yang membuatnya jatuh cinta. Leta lebih dari itu, Leta
memang membuat Aira jatuh cinta pada apapun yang Leta punya.
Di depan ruangan Leta, Aira berdiri sambil menimang undangan berpita itu.
Siang, Mbak... cari siapa?
Aira tersentak, seorang office boy tiba-tiba hadir di sampingnya. Letatya.
Mbak Leta lagi keluar. Ini kan, jam istirahat. Kalau mau ketemu, nanti setelah jam
satu, Mbak.
Aira mengangguk-angguk mengerti dan berpikir sejenak. Mas, saya minta tolong
kasih ini nanti sama Mbak Leta.
Dari siapa, Mbak?
Aira berpikir lagi. Kasih aja ke Mbak Leta, Mas...
Aira segera beranjak keluar kantor membawa perasaan sedikit kecewa karena tidak

bisa bertemu Leta, tapi ia tidak bisa menunggu lama sementara jantungnya terus
berdegup kencang. Aira memutuskan untuk ke kafe di seberang kantor Leta, ice mocca
latte mungkin bisa membuat kepalanya sedikit dingin. Aira segera masuk dan disergap
wangi kopi yang selalu bisa menenangkannya. Aira memilih duduk di pojok kafe.
Segelas ice mocca latte hadir di meja, Aira langsung mengusiknya. Pandangan Aira
menyapu seisi kafe yang lengang, hingga napasnya tertahan ketika melihat wanita dengan
rambut digelung duduk berdua di samping jendela. Wanita itu tertawa sambil
membenarkan letak kacamata, gerakan yang tidak akan Aira lupakan walau sudah lama
tidak melihatnya.
Kak Leta... bisik Aira tertahan.
Mata Aira terpaku pada sosok Leta yang terlihat cantik seperti dulu, dalam balutan
blazer biru tua dan high heels serta tawa itu. Aira tidak sanggup jika harus tiba-tiba hadir
ke hadapannya, Aira terlalu takut untuk merusak senyum di bibir Leta. Aira takut akan
ada ingatan-ingatan lain yang hadir dan menyakiti Leta. Sejenak Aira merasa sedikit
menyesal menitipkan undangan itu, memikirkan perasaan Leta ketika menerimanya.
Perlahan Aira mengambil kameranya dan membidik obyek yang dirindukannya itu,
menggenggam kameranya kuat dan bibirnya terus berbisik.
Miss you...
*
Pikiran Leta terusik sejak menerima undangan yang dititipkan lewat office boy
kantornya itu. Perempuan cantik berambut panjang yang dimaksud office boy pastilah
Aira, tidak mungkin jika Oliv. Oliv tidak akan seberani itu menghampiri Leta sampai ke
kantor. Tiba-tiba Leta jadi teringat percakapannya dulu dengan Oliv di kafe beberapa
tahun lalu. Leta tidak pernah tahu segigih dan sekuat apa Oliv walau terlihat ringkih dan
selalu pucat. Kini, di meja kerja Leta ada selembar undangan yang dikemas cantik dengan
sebuah pita di atasnya, pita yang warnanya sama seperti yang ada di meja gambar pada
ulang tahun Leta beberapa tahun lalu, meja gambar yang tidak pernah sampai ke
rumahnya.
Leta melepas kacamatanya, sudah lewat jam pulang kantor, tapi ia masih terduduk
lemas di belakang mejanya. Tiba-tiba Leta teringat janji meeting dengan Aji di luar kantor

sepulang kerja, ada project yang harus dibahas. Tapi, selembar undangan itu benar-benar
seperti tiket yang membawanya masuk ke masa lalu, sempurna. Semua slide seperti hadir
bergantian di hadapan Leta.
Nyaris dua jam Leta masih duduk dan mengusap wajahnya berulang kali, berharap
bayangan-bayangan itu segera hilang. Namun, justru semakin jelas saja. Leta memaksa
beranjak karena kantor pasti sudah sepi, dan mungkin Aji sudah pulang, jadi Leta
berencana untuk menghubungi Aji nanti lewat telepon dan meminta maaf karena
membatalkan janji begitu saja.
Leta menarik tasnya dari meja dan membawa beberapa berkas. Ketika keluar
ruangan, beberapa lampu sudah dimatikan, tinggal office boy yang merapikan dan
menyapu lantai. Leta berjalan lesu hingga menyadari lampu di ruangan sebelahnya belum
padam. Perlahan Leta mengetuk pintu.
Halo, Letatya! Pintu itu terbuka.
Kamu, belum pulang?
Aji menggeleng. Kamu lapar? Saya juga.
Leta tidak sanggup menjawab, hanya memperhatikannya melepas nametag dan
memasukkannya ke tas lalu beranjak.
Ayo!
Leta ikut beranjak, seketika slide yang berputar di atas kepalanya itu minggir. Kini,
yang Leta ingin cuma makan malam karena perutnya memang sangat lapar.
*
Pertama kali yang Aira tangkap di matanya ketika masuk rumah adalah wajah
murung Dega, sudah nyaris tiga minggu gesture itu terus yang Aira lihat. Sudah bisa
ditebak apa yang ada di atas kepala Dega, semua adalah tentang pernikahan yang tinggal
menghitung hari.
Mas... Aira mengambil tempat duduk tepat di sebelah Dega, menyandarkan
kepalanya di bahu Dega. Sejak dulu, bahu itu adalah tempat favorit Aira untuk bersandar.
Dega mengusap wajahnya, menandakan ia makin gelisah. Bahkan Dega duduk di
sofa itu masih mengenakan seragamnya. Gimana, Ra?
Apanya, Mas?

Undangan.
Aira bangkit dan menatap mata Dega. Mas bayangin nggak perasaannya Kak Leta
waktu lihat undangan itu nanti?
Dega terhenyak, diam.
Mas, aku nggak tahu Kak Leta akan sakit hati atau nggak. Kalau dia sakit hati,
mungkin dia masih punya perasaan sama Mas Dega. Aira mengatupkan bibirnya, ada
satu pertanyaan yang mengganggu pikirannya. Mas masih sayang Kak Leta?
Dega membenarkan posisi duduknya. Kamu kenapa tanya begitu?
Aira diam, menggelengkan kepalanya pelan, tidak tahu jawaban yang tepat mengapa
pertanyaan itu muncul, padahal beberapa hari lagi acara pernikahan yang sakral itu akan
digelar. Aira segera beranjak dari hadapan Dega menuju kamarnya, meninggalkan Dega
yang juga mencari jawaban dari pertanyaan Aira.
*
Jam delapan tepat. Aji meletakkan beberapa berkas di mejanya dan memilah
beberapa lainnya untuk diserahkan pada Leta. Semua orang sudah sibuk lalu lalang, Aji
mengetuk pintu ruangan Leta. Tidak ada respon. Jarinya mengetuk ulang pintu kaca asah
itu. Masih tidak ada respon.
Aji membuka pintu dan tidak menemukan Leta di belakang meja. Biasanya di
belakang meja sana, Leta duduk dan menyibukkan diri dengan berkas-berkasnya, sambil
tangannya membenahi letak kacamata berulang kali. Jam di ruangan sudah pukul delapan
lebih lima menit, tapi tidak ada tanda-tanda Leta datang. Aji meletakkan berkas yang
sudah dibawanya di atas meja Leta, matanya menangkap sebuah kertas berpita di sana.
Sebuah undangan.
Sejenak Aji terhenyak melihat nama yang ada di dalam undangan itu, tapi cepatcepat ia beranjak dari ruangan Leta.
*
Kalau kamu melakukan hal yang baik, pasti hal baik yang lain akan datang.
Leta melepas kacamatanya dan meletakkan di meja. Aji tiba-tiba mengajaknya
makan siang ditambah dengan ice cream setelah sekian lama tidak pernah ada ajakan lagi

di antara mereka berdua. Terlalu sibuk dengan berkas-berkas yang menumpuk di ujung
meja. Seorang pramusaji datang, meletakkan ice cream di meja dan mengangkat piring
yang sudah Leta dan Aji kosongkan.
Maksud kamu... Saya dengan sabar menunggu jam makan siang, maka saya dapat
tiga scoop ice cream ini cuma-cuma? Leta tertawa dan segera mengusik gelasnya.
Aji tersenyum tipis. Kamu baik-baik aja, kan?
Baik.
Memang harusnya kamu baik-baik aja, Letatya.
Saya baik-baik aja, Ajisaka. Please...
Aji memperhatikan Leta menghabiskan ice cream-nya, sengaja acara makan siang itu
diadakan. Aji tahu mengapa Leta terlambat pagi tadi, pasti karena keadaan hatinya yang
sedang kacau setelah menerima undangan yang ia terlantarkan begitu saja di atas
mejanya. Leta di mata Aji tetap seorang yang masih belum bisa memberi sekat antara
profesionalitas dan sebuah perasaan. Kantung mata Leta jelas menghitam walau sudah
ditutupi make up, kelopak matanya yang sembab, apalagi kalau penyebabnya bukan
undangan itu.
Kamu harus selalu baik-baik aja.
Leta menghentikan sendoknya di depan bibir. Berhenti bilang gitu, Aji. Saya baikbaik aja.
Senyum tipis di bibir Aji berarti segalanya, bermakna banyak hal jika Leta bisa
melihatnya, tapi mata Leta yang sembab terlalu berat untuk terbuka lebar.
*
The day. Coretan merah itu ada di kalender gantung di kamar Leta dan itu adalah hari
ini. Leta memilih sebuah gaun warna tosca yang memiliki sedikit lengan untuk menutupi
bahunya. Mematutkan dirinya di depan cermin berulang kali, menghembuskan napas
panjang-panjang.
Hai, Pak Guru... Happy wedding! Leta berseru sendiri di depan cermin.
Kemudian ia mengerutkan keningnya, suaranya dikira kurang cocok dalam suasana
semeriah itu. Leta membayangkan tema apa yang Oliv pilih untuk gedung pernikahannya,
atau segala perniknya. Atau Dega yang memilih?

Selamat menempuh hidup baru, Pak Guru! Terlalu klasik!


Happy wedding, Pak Guru!
Leta menyerah. Suaranya tidak bisa dibuat lebih bahagia. Akhirnya, Leta memilih
untuk segera menuju ke alamat yang ada di undangan berpita biru itu. Acara akan dimulai
satu jam lagi, Leta berharap selama beberapa jam ke depan bisa mengatur napas dan
detak jantungnya agar selalu normal.
Area parkir gedung sudah ramai, Leta harus berputar-putar mencari tempat parkir.
Setelah agak lama, akhirnya Leta turun dan berjalan pelan ke pintu masuk. High heels
yang Leta kenakan membuatnya terlihat beberapa senti lebih tinggi.
Pintu masuk dihiasi bunga warna-warni dan penerima tamu yang memiliki senyum
lebar. Leta bisa melihat di dalam sana sudah banyak orang, bertema color party? Tebak
Leta, karena ia melihat begitu banyak warna di dalam sana. Leta makin memperlambat
langkahnya menuju pintu masuk, penerima tamu sudah siap menyambutnya. Namun,
Leta berhenti tepat di depan pintu, lalu ia menyingkir. Tangan Leta menimang undangan
di genggamannya.
Tiba-tiba seluruh slide itu kembali lagi, berputar-putar di depan matanya. Ketika
tangan Dega menggenggamnya, senyum itu, pelukan hangat, dan kata cinta. Seluruhnya
terasa sempurna sampai tiba-tiba Oliv datang dan merusak segalanya. Leta mencoba
untuk menepikan perasaanya pada Dega yang sebenarnya sudah cukup lama ia lupakan,
tapi hari ini adalah pernikahan Dega. Leta merasa naif jika ia mengaku tidak sakit hati.
Tapi, yang Leta rasakan bukanlah sebuah sakit hati, hanya saja masa lalu itu terlalu kuat
untuk dilupakan sepenuhnya.
Leta memejamkan matanya sejenak dan mencari kekuatan dalam dirinya. Life must
go on. Perlahan Leta membuka matanya.
Kenapa belum masuk?
Leta terhenyak, merasa terdampar di suatu tempat karena lelaki di hadapannya tibatiba datang dan berdiri tepat di hadapannya begitu dekat, dengan setelan jas hitam dan
warna kemeja senada dengan yang Leta pakai.
Kenapa belum masuk? Ulangnya.
Leta tergagap. Aji, kamu ngapain di sini?
Ayo!

Aji meraih tangan Leta dan menggandengnya masuk gedung. Para penerima tamu
tersenyum dengan tatapan iri pada mereka berdua. Leta merasa bebannya tiba-tiba
lenyap, slide itu menghilang dari hadapannya, yang ada hanya warna-warni pernik
pernikahan Dega. Setiap langkahnya masuk ke sana, Leta merasa seperti meninggalkan
sesuatu jauh di belakangnya.
-

fin -

Anda mungkin juga menyukai