Anda di halaman 1dari 5

JAKET KRAMAT

Matahari belum muncul, tapi seorang anak laki-laki berusia 16 tahun sudah siap
dengan seragam osis yang dibalut dengan almamater hitam, serta jaket kramatnya. Ada satu
cerita yang membuat jaket itu diberi julukan jaket kramat.

Kenapa di sebut jaket kramat? Ini jawabannya...

"Bun, Satria mana?" tanyanya mencari sang adik.

"Masih siap-siap, kamu tunggu aja sebentar," ujar sang ibu yang masih sibuk
mengecek kembali barang bawaannya.

"Abang, Satria ada tugas prakarya." Kalimat itu mampu membuatnya serta ibunya
berhenti bergerak dan mencerna kalimat tersebut.

"HAH?!"

"Kenapa kamu ga bilang dari kemarin?" tanyanya, kalau ga ada bundanya mungkin
udah debat lama.

"Lupa." Jawabnya tanpa rasa bersalah.

"Tugasnya buat kapan?" sekarang giliran sang ibu yang bertanya dengan lembut.

"Nanti." Helaan nafas berat terdengar jelas.

"Gimana Bun?" ia menatap sang ibu meminta jalan terang akan masalah ini.

"Sekarang masih jam 5, kamu anterin bunda kerja dulu. Nanti kamu ke sini lagi, buat
bantuin Satria. Bunda udah telat banget ini." Benar juga, mau tak mau ia harus mengantar
sang ibu terlebih dahulu. Karena jika tidak itu akan menjadi masalah.

"Kamu siapin semua alat dan bahannya, abang pulang harus udah siap!" pesannya
pada sang adik sebelum pergi mengantar ibunya.

Ia melaju cepat ke tempat ibunya bekerja, biasanya ia langsung berangkat ke sekolah.


Tapi ini malah harus pulang ke rumah lagi. Beruntung jalanan masih sepi, jadi ia bebas
kesana kemari tanpa macet.

"Assalamualaikum, Satria, udah semua?" ia buru-buru masuk ke rumah.

"Wa'alaikusalam, udah bang. Ini gimana?" Satria memberikan selembar gambar ikan
dan beberapa kertas warna yang telah ia potong kecil-kecil.

Dengan kesabaran penuh ia mulai membantu mengerjakan tugas adiknya sebelum


pukul 6 pagi. Menempel satu persatu kertas warna warni di atas gambar ikan. Jujur, ini adalah
tugas yang butuh ekstra sabar, jika tidak hasilnya pasti akan jelek dan tidak rata.
Setelah sekian lama bergelut dengan kertas dan lem, mereka akhirnya bisa berangkat
ke sekolah. Pertama, ia mengantar Satria ke sekolah dasar Pertiwi 1, baru setelah itu ia
berangkat ke sekolah. Biasanya jam segini ia sudah hampir setengah perjalanan menuju
sekolahnya.

Jarak dari rumah ke sekolah sekitar 40 km jauhnya dan ia tempuh selama satu jam,
jika pulang pergi ditotal jadi 80 km. Melalui jalanan yang ramai akan kendaraan besar baik
lintas antar kota, kabupaten, atau bahkan lintas provinsi. Sehingga tidak kecil
kemungkinannya, jika oleng sedikit langsung kena cium aspal.

Sudah lebih dari 4 kali dalam dua semester ia jatuh hampir sama alasannya,
mengantuk dan terburu-buru. Itulah, Alga Andreas Saputra. Tak jarang guru-guru
menasehatinya untuk nge-kost di depan sekolahan, tapi ia terus menolak karena jika ia nge-
kost ibunya akan kesulitan untuk bekerja. Apalagi Satria adiknya yang masih kecil dan selalu
merayu ibunya agar tidak bekerja.

Motor hitam yang sudah lecet di semua bagian, bahkan jaket yang selalu
menemaninya jatuh itu di sebut kramat oleh teman-temannya, sudah terlepas. Terik matahari
pagi tak dapat dibohongi panasnya.

Hosh Hosh Hosh

Peluh keringat membahasi kemeja putihnya, almamaternya sudah terlepas karena


panas. Baru setengah jalan sudah terkena peristiwa paling menyebalkan. Ban bocor.

Tambal ban mana yang buka jam segini?! Pikir Alga tetap berusaha mencari tukang
tambal ban.

Sudah pukul 07:00 WIB, jelas sudah telat dan tidak akan mungkin diperbolehkan
untuk masuk dan ujung-ujungnya juga disuruh pulang. Setelah beberapa lama ia mendorong
motor, ketemulah dengan tukang tambal ban yang baru saja buka. Bapak tambal ban yang
baik itu langsung gerak cepat saat tau ada pelanggan datang.

Duduk dan menikmati angin yang ia hasilkan dari kibasan kertas ditangannya.
Sungguh melelahkan, ternyata ia sudah mendorong motornya sejauh 8 km dari tempat
kejadian ban bocornya.

1 jam ia menunggu selesai dengan perasaan santai tentunya. Pasti teman-teman dan
guru dihari ini tau, apa alasannya belum sampai sekolah pukul 7 tepat. Memaklumi? Tentu,
dia manusia paling gabut yang ada di SMA Kridatama. Dari rumahnya ada sekolah terbaik,
tapi ia memilih sekolah di daerah lain dengan jarak 40 km.

Pukul 9 pagi, ia baru sampai di sekitar sekolah. Ia titipkan sepeda motornya di masjid
terdekat, karena tidak mungkin ia masuk dengan keadaan seperti ini. Memakai kembali
almamaternya, dan mulai berjalan ke arah makam.

Jalan masuk lain setelah gerbang adalah makam, karena samping sekolah itu langsung
makam. Murid-murid yang suka bolos itu pun dengan senang hati mempelajari jalan keluar
dari makam, namun berbeda dengan Alga.
Ia tidak memanfaatkan pengetahuannya untuk hal semacam itu, ia lebih baik panjat
tembok untuk masuk dan belajar daripada panjat tembok untuk keluar dan membolos.

"Panjat tembok lagi," lirihnya sambil menatap tembok putih kotor yang selalu ia
panjat jika telat.

Bruk!

"Untung ga ada pak bon," ucapnya kemudian dengan santai jalan ke arah kantin.

Karena sebentar lagi akan istirahat, lebih baik ia mencari makan siang terlebih dahulu.
Tanggung juga masuk jam segini, pasti gurunya akan tanya panjang lebar tentang bagaimana
bisa ia masuk, padahal sudah telat sekali.

"Eh?! Bang Alga, berangkat juga lo. Gue pikir nyium aspal." Baru masuk kelas, Ucup
temannya sudah bertanya pertanyaan retoris.

"Positif thinking banget pikiran lo!" timpal Egik yang duduk di samping Ucup.

"Motor gue ban nya bocor." Keduanya membulatkan mulutnya tanpa suara.

"Kan, dia tu kalau ga nyium aspal ya ban bocor, udah itu aja alasannya." Alga
terkekeh renyah mendengar celetukan Egik.

"Tukang tambal ban mana yang buka pagi?" heran Ucup.

"Gue berangkat jam 7," jawab Alga kelewat santai.

"WHAT?!"

"Lo kesiangan nya ga bisa di terima akal sehat!" ujar Egik tak habis pikir dengan
Alga.

"Kalau gue si mending ga usah berangkat sekalian." Contoh orang tidak pantas
dicontoh itu Ucup, gatel banget pengen bolos.

"Tanggung, gue udah siap dari subuh. Masa ga jadi berangkat."

"Lah gue baru nyadar, lo bisa masuk gimana caranya?" Alga seketika bingung
memikirkan jawaban bagaimana ia masuk. Kalau bilang lompat pagar, mulut mereka tanpa
rem pasti bocor. Kalau bilang lewat gerbang itu terlalu anti mainstream.

"Ajarin dong puhh, sepuhh, ajarin dong, kita masih pemula.."

"Hanya boleh dilakukan oleh seorang profesional!" kedua wajah temannya itu
langsung cemberut.

***
Pulang sekolah jam 4 sore, Alga diantar Ucup dan juga Egik ke masjid untuk
mengambil motornya. Tiba-tiba langit mendung itu meneteskan air yang perlahan mulai
menjadi hujan yang lebar. Alga dengan sigap mengambil jas hujan yang ada di jok motornya.
Sebenarnya, bisa saja ia pulang nanti setelah huja reda. Tapi Satria susah menunggunya di
jemput dari satu jam lalu.

"Heh, lo mau balik?" tanya Ucup penuh kerisauan. Walau kadang ia mengejek
sewaktu Alga nyium aspal, ia sebenarnya juga tak tega.

"Iya, kasian Satria nunggu kelamaan," jawabnya sambil memakai jas hujan.

"Masih ujan badai gini mau lo terjang? Hebat kata gue mah!" ucap Egik juga
mengkhawatirkan Alga jika entah bagaimana ia jatuh lagi, karena jalanan licin sekali sore ini.

"Makasih, gue emang hebat dari dulu." Setelah mengatakan itu, Alga pergi menerobos
derasnya hujan.

Jalanan yang licin serta banyak kendaraan besar membuat Alga sedikit kesulitan
untuk mempercepat gerakannya. Saat ditikungan, ia ingin menyalip satu motor. Namun, dari
arah berlawanan ada mobil yang sangat mepet ke jalur kiri. Mau tak mau Alga membelokkan
stang motor nya.

Jalanan yang licin membuat ban depan motor nya oleng seketika, rem nya mendadak
tak bisa tak kendalikan dan brukk..

Suara motor jatuh di tengah suara derasnya hujan. Alga berulangkali mengedipkan
matanya yang perih, sekujur badannya remuk. Seorang pegawai kedai kopi depan sana
langsung keluar membantu Alga, lalu meminggirkan motornya tepat di depan kedai kopi
tempat ia bekerja.

"Dek, ada yang luka?" tanya pegawai lain yang juga ikut membantu.

Alga menggeleng tidak, mungkin ada luka namun hanya luka kecil saja. Itu sudah
biasa, ini bukan kali pertama ia jatuh.

"Makasih mas, saya mau langsung aja." Kedua pegawai itu terkejut dengan perkataan
Alga.

"Nunggu reda aja dek hujannya," ujarnya.

"Kasian adik sama ibu saya mas"

"Hati-hati, ga usah ngebut jalanan licin," pesan kedua laki-laki itu. Alga tersenyum
dan mengangguk.

Basah, dingin, perih di beberapa bagian, semua ia rasakan. Itu hal biasa yang ia
rasakan jika sudah masuk musim penghujan. Didepan SD Pertiwi 1, ia langsung masuk ke
halaman sekolah mencari di mana Satria menunggunya. Setelah berpamitan dengan sang guru
wali kelas yang sempat menemani Satria, Alga memakaikan jas hujan juga.
"Kok abang disini?"

"Ayo pulang, kasian bunda udah nunggu lama." Satria mengangguk cepat.

Ia kembali menerjang hujan deras untuk sampai ke tempat kerja ibunya. Mata
menyipit guna mengurangi resiko air hujan masuk ke mata. Satria melingkarkan tangan
kecilnya ke perut abangnya. Matanya pun ikut menyipit, sambil sesekali ia meneteskan air
mata karena perih.

Tepat di depan toko swalayan terbesar kota ini, banyak orang yang sedang menunggu
di depan toko. Entah menunggu ojek online atau jemputan dan bahkan menunggu hujan reda.
Seorang wanita dengan seragam kasir tengah cemas memikirkan nasib anak-anaknya.

Memang insting seorang ibu tak pernah salah jika terjadi sesuatu pada anak-anaknya.

"Ya ampun abang, kamu ga baca pesan dari bunda?" Baru juga Alga mematikan
mesin motornya, ibunya langsung memeluknya erat dan mencium Satria beberapa kali.

"Bunda suruh kamu jemput nanti, kalau udah reda." Alga hanya diam dan tersenyum
tipis.

"Mau nanti atau sekarang sama aja bun, abang akan tetep kesini dengan keadaan kaya
gini. Kasian Satria nunggu lama."

Dengan berat hati, sang ibu ikut pulang dan bersama menerjang hujan. Karena kedua
anaknya telah basah kuyup, jika tak langsung pulang dan mandi. Mereka akan sakit.

Sesampainya di rumah, ibunya semakin terkejut melihat luka baru di siku dan lutut
putranya. Ia tau pasti sebelum menjemput Satria, Alga sudah jatuh terlebih dahulu. Prihatin
melihat anak sulungnya yang begitu peduli dengan dirinya.

Alga rela berangkat subuh agar bisa mengantar ibunya bekerja, rela keluar malam-
malam saat ibunya shift malam. Bahkan masuk sekolah telat pun, ia akan melakukan segala
cara untuk bisa masuk. Perjuangannya untuk sekolah itu tidak main-main.

Anda mungkin juga menyukai