Anda di halaman 1dari 151

Sepohon Kayu Di Tengah Guru

SEPOHON KAYU DI TENGAH GURUN

Hujan gerimis mengguyur daun-daun dan reranting pohon di pinggiran jalan.


Walaupun hanya butiran-butiran lembut yang menerpa bumi sanggup mengubah
suasana. Jalan satu-satunya yang menghubungkan desa dengan desa lainnya atau
yang menuju ke arah pusat kota sangat sepi. Padahal suara dentum stum pabrik gula
sudah memberi isyarat beberapa menit yang lalu, sebagai pertanda waktu
menunjukkan pukul enam pagi.
Suasana alam pedesaan masih begitu terasa, walaupun Desa Sekar Putih tidak
begitu jauh dari pusat kota. Dengan pemandangan segerombolan burung pipit yang
melompat-lompat di antara reranting pohon turi, dari satu pohon ke pohon yang
lainnya ramai sekali. Sementara, di sisi kanan jalan terhampar luas padi menghijau
berbatas tembok-tembok perumahan dan di kiri jalan terhampar luas juga padi yang
sedikit mulai menguning berbatas pohon-pohon kamboja yang terbentang di
sepanjang pinggiran sungai. Serta jalan desa yang membelah areal persawahan
dengan latar belakang Gunung Penanggungan yang sedikit tertutup kabut tipis
merupakan panorama yang paling indah di pagi hari, walau hujan gerimis.
Berbeda sekali, pemandangan di sudut perkampungan yang menuju ke arah
pusat kota. Desa Candi Keres yang berbatasan dengan Desa Sekar Putih, ramai
sekali. Apalagi menjelang pagi atau sore hari sebelum stum pabrik gula dibunyikan.
Jalan simpang tiga dipenuhi sepeda motor yang berjajar di pinggiran jalan. Belum

1
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

lagi pedagang asongan yang sengaja menggelar dagangannya di depan pintu gerbang
pabrik walau hanya satu jam sebelum dan sesudah stum pabrik dibunyikan. Dan,
para karyawan pabrik yang akan masuk dan yang pulang berjubel jadi satu di pintu
gerbang pabrik. Sehingga arus kendaraan yang melewati jalan itu sedikit mengalami
kemacetan. Terpaksa pengguna jalan harus bersabar dan ekstra hati-hati menerobos
jalan yang menyempit dengan hiruk pikuknya masyarakat di sekitar pintu gerbang
pabrik.
Seperti inilah yang dialami Bu Santi bila berangkat kerja ke kantor dengan
bapaknya yang setia mengantar dan menjemputnya tiap hari selalu terimbas
kemacetan, apalagi berangkat agak kesiangan. Maklum musim giling baru beberapa
minggu dibuka. Antrian truk-truk pengangkut tebu berjajar di sisi jalan mulai pintu
gerbang pabrik sampai ratusan meter. Mereka menanti proses penimbangan yang
dibuka dua puluh empat jam.
Bu Santi hanya bisa geleng-geleng kepala dan berkali-kali menengok jam
yang melingkar di tangan kirinya.
“Pak, Santi terlambat!” Katanya sambil memandangi pengendara-pengendara
yang duduk di atas sepedanya hampir menutupi seperempat badan jalan.
“Sabar Nduk1 !”
“Lihat Pak, sepeda sampai bersap empat, duduk seenaknya saja sepertinya
nggak punya salah. Itu kan mengganggu pengendara lain.”
“Benar! Kita punya kepentingan, mereka juga punya kepentingan hanya
mereka tidak tahu dan kurang menyadari atas kepentingan orang lain sehingga
mereka seenaknya saja bahkan tak menyadari atas kesalahannya.”
“Aduh … repot Pak kalau begini!”
“Iya Nduk ! Kita orang timur yang dikenal tenggang rasanya yang tinggi.
Melihat sesuatu selalu dengan perasaan. Jadi perasaan itu ada di atas segala-galanya.
Tapi tidak semua orang memperlakukan hal yang sama buat orang lain. Kita harus
bersabar dan menerima kenyataan ini.”
“Pak, Santi kurang menerima dengan pandangan dan konsep hidup orang
timur. Hal ini kan bisa dicarikan jalan keluarnya dengan melakukan pendekatan
dengan pihak-pihak yang terkait. Dan masalah konsep hidup orang timur perlu
dibenahi. Diubah Pak! Sudah tidak relevan lagi dengan gaya hidup sekarang ini, biar
nanti tidak bermunculan masyarakat-masyarakat yang kecewa, grundel2 di belakang.
Benar kan Pak?”
“He em!” Bapak Bu Santi hanya mengangguk sambil menggaruk-garuk
kepalanya. Dia sangat setuju dengan pendapat anaknya itu, tapi rasa-rasanya sulit
untuk dilakukannya.
“Tidak mudah Nduk! Butuh waktu! Melalui kamu-kamu inilah nantinya
kesadaran hidup orang timur akan berubah dengan sendirinya. Termakan oleh zaman.
Termakan oleh budaya sekunder. Tapi perlu diingat semua itu jangan sampai muncul
dampak psikhologis yang menyebabkan degradasi moral bangsa kita, yang nantinya
muncul fenomena baru yaitu krisis moral dalam skala multidimensional.”
Akhirnya, mereka terbebas dari kemacetan. Walaupun jarak kemacetan itu
hanya kurang lebih tiga ratus meter, tapi sempat memakan waktu seperempat jam. Bu

1
Sebutan untuk anak perempuan Jawa
2
kecewa

2
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Santi merasa lega walau terlambat sampai ke tempat kerja. Dia tiba di tempat
kerjanya tepat pukul 07.00 BB.WI.
“Nduk … Bapak nanti ndak bisa jemput! Bapak ngantarkan Ibu periksa ke
Surabaya. Pulang sendiri, ya?”
“Ya …Pak!”
“Hati-hati lho Nduk kalau pulang!”
Setelah Bu Santi berpamitan kepada bapaknya dia langsung masuk ke
sekolahnya melalui tempat parkir sepeda siswa. Di sana Bu Santi bertemu Pak Nardi
yang kebetulan psedang ngobrol dengan petugas satpam sekolah.
” Selamat pagi, Bu! Terlambat ya?” Godanya.
“Pagi Pak! Kesiangan dan lagi jalanan macet! Sudah lama masuknya?”
“Ndak, baru lima belas menit. Kelas Ibu dimasuki Bapak, ngasih
pengumuman try out kepada anak-anak. Katanya pelaksanaannya diundur!”
Akhirnya Bu Santi tanpa pamit berjalan tergesa-gesa menuju ruang kelas XII
Ak 1. Dia mengetuk pelan pintu kelas. Ketika kepala sekolah menoleh, Bu santi
melangkah masuk.
“Maaf Pak, saya terlambat!”
“Ya Bu! Tunggu saja sebentar di ruangan saya. Saya ada perlu dengan Bu
Santi!”
Bu Santi hanya mengangguk. Dia mundur dua langkah lalu melangkah balik
menuju ruang kepala sekolah. Pikiran Bu Santi melayang-layang. Perlu apakah
kepala sekolah dengan dirinya. Apakah tentang keterlambatan dirinya atau masalah
yang lain? Bu Santi tak mampu menerkanya.
Bu Santi duduk di kursi tamu dekat ruang kepala sekolah. Dia duduk
termenung dengan memegangi stopmaf yang ditaruh di atas pahanya. Tiba-tiba
temannya menyapanya.
“Oh … Bu Santi, terlambat ya? Tadi Ibu dicari Bapak! Tumben Ibu duduk di
sini!”
Jiwa Bu Santi seperti tersambar petir. Dia menoleh lalu melepas kaca mata
minusnya dan mengusap-usapkan ke lengan bajunya beberapa kali. Dengan
senyumnya yang manis dia menjawabnya tergopoh-gopoh.
“Iyaa! Tadi sudah ketemu Bapak, tapi disuruh nunggu di sini!” Kata Bu Santi
agak terbata-bata. “Jangan-jangan dia tahu aku dipanggil Bapak. Dan tahu em
….ach, ndak boleh berprasangka yang bukan-bukan!” Lamun Bu Santi.
Tidak lama kemudian kepala sekolah datang, langsung masuk ruangannya
sambil mempersilakan Bu Santi masuk.
“Mari Bu, masuk!”
”Iya Pak! Permisi!”
Kepala sekolah tidak langsung menyampaikan maksudnya. Dia hanya
membuka-buka buku diarynya yang ada di atas meja.
”Oh ya Bu… tolong anak-anak diberi tugas dulu! Lalu Ibu ke sini lagi!”
Bu Santi berdiri lalu dia menuju ke kelasnya. Pikirannya tambah tak karuan.
Dia berupaya membaca-baca seminggu – dua minggu ke belakang tentang kegiatan
yang ia lakukan. Apakah ada yang tidak beres atau tentang prilakunya yang
menyalahi pihak sekolah. Tapi Bu Santi tak mendapatkan jawaban apa-apa. Dia
merasa baik-baik saja selama ini. Bahkan Bu Santi mencoba memancing-mancing

3
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

informasi dari siswanya tentang dirinya, tapi dia juga tidak mendapatkan jawaban
yang memuaskan.
Setelah memberi tugas siswanya Bu Santi kembali ke ruang kepala sekolah.
“Permisi, Pak!”
“Mari … mari, Bu! Silakan duduk!”
Kepala sekolah masih asyik membaca buku diarynya. Dia kemudian
membuka loker dan mengeluarkan selembar surat.
“Bu, ini ada surat buat Ibu. Dua hari yang lalu Bapak terima dari kantor
diknas, satu buat Ibu dan satu untuk sekolah. Tapi Bapak lupa menyampaikan
langsung ke Bu Santi.”
“Ada masalah apa Pak?”
“Kurang tahu Bu! Temui saja Bu Anik Kadarwati. Ibu bisa tanya panjang
lebar perihal surat itu. Intinya, undangan mengikuti kegiatan Apresda 2010 di
Jakarta. Kabarnya di Jawa Timur hanya ada lima orang yang diundang, salah satunya
Ibu dari sekolah kita. Berangkat aja sekarang juga temui beliau. Ada jam mengajar?
Kalau ada, anak-anak beri tugas aja!”
“Ada Pak! Apa ndak bisa besuk saja Pak? Saya besuk kosong, kegiatan
MGMP untuk sementara ditiadakan. Dan lagi Pak, bapak saya sekarang ndak bisa
mengantar saya.”
“Jangan menunda-nunda kesempatan! Sekarang saja berangkat, biar Ibu
diantar Pak Nardi! Ini demi Ibu, demi sekolah kita. Tolong panggilkan Pak Nardi!”
“Baik Pak!”
Bu Santi keluar dari ruang kepala sekolah langsung mencari keberadaan Pak
Nardi di tempat parkir sepeda siswa. Dari kejauhan Pak Nardi sudah melempar
senyuman kepada Bu Santi, malah menggodanya.
“Wah ….! Guru kesayangan Bapak. Baru dapat hadiah atau diomelin. Tapi
ndak mungkin diomeli, wajah Ibu berseri-seri. Pasti dapat hadiah, “ goda Pak Nardi.
“Ndak ! Sampean dipanggil Bapak! Sekarang juga!”
“Dengan Ibu?”
“Iya!”
“Pasti Bapak akan menjodohkan aku dengan Ibu!” Godanya.
“Oh…GR! Apa dikira saya nggak mau?” Goda balik Bu Santi.
Mereka berdua tertawa. Bu Santi mencubit lengan Pak Nardi yang selalu
menggodanya, sampai Pak Nardi meringis kesakitan.
“Cubitan orang cantik itu betul-betul beda. Sakit-sakit nikmat.”
“Oh dasar ……!”
“Apa Bu? Dasar apa?”
“Sudah … sudah!”
Mereka berhenti bercanda ketika memasuki ruang kepala sekolah. Mereka
duduk di kursi yang ada di depan meja kepala sekolah.
“Le 3… antarkan Bu Santi ke diknas menemui Bu Anik, lalu sekalian
antarkan ke kanwil minta SP Dinas buat Bu Santi!”
“Pak … jangan panggil aku dengan sebutan itu! Aku kan malu dengan Bu
Santi!”
“Terus maumu apa?”
3
Panggilan/sebutan untuk anak laki-laki Jawa

4
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

“Panggil aku pak! Aku di sini kan guru. Yach … kalau di rumah Bapak boleh
panggil aku dengan sebutan itu!”
Kepala sekolah tersenyum mendengar protes dari anaknya. Dia memandang
Bu Santi, tapi Bu Santi malah menunduk, tersenyum melihat percakapan seorang
bapak yang sekaligus atasannya kepada anaknya yang juga bawahannya.
“Oh … ya, Pak Guru Nardi Saputra Dewa!”
“Nah … Bapak lagi-lagi gitu. Ini ada Bu Santi lho, Pak!”
“Yach .. sudah kupanggil Pak Le saja! Ayo berangkat antarkan Bu Santi! Hati-
hati di jalan! Ini buat bensin!”
Kepala sekolah merogoh sakunya mengeluarkan selembar lima puluh ribuan.
“Pak kurang! Tadi lho Pak yang merah!”
“Oh … dasar Pak Le, tetep saja! Nggak di rumah – di sini sama saja!”
Akhirnya kepala sekolah memberikan selembar lagi seratus ribuan.
“Ini untuk bensin plus makan. Yang itu berikan Bu Santi. Sudah berangkat
sana!”
“Makasih Pak!” Ucap mereka serempak.
Mereka berdua langsung menuju ke tempat parkir sepeda guru. Pak Nardi
terus saja senyum-senyum menggoda Bu Santi.
“Tiap hari seperti ini enak, Bu! Nggak usah capek-capek berceloteh di depan
siswa. Nbonceng cewek cantik, dapat uang saku. Gratis saja aku mau ngantarkan ke
mana saja Ibu mau. Jangankan hanya ke kanwil, ke matahari sekalipun akan kuantar,
kalau penumpangnya seperti Ibu. Seorang gadis imut-imut, bukan tipe cewek seperti
Mbok Mis si penjual bakpao di kantin sekolah. Bakpao kok jual bakpao,” gurau Pak
Nardi.
“Hush …nggak boleh! Aku pun juga semi bakpao. Aku tersinggung lho Pak!”
“Ndak! Kalau Ibu jenis apel fuji!”
“Nggak lucu!”
Pak Nardi spontan diam. Dia merasakan kalau yang diboncengnya lagi
cemberut. Dan dia langsung meminta maaf. Dia lalu menengok Bu Santi melalui
kaca spion. Bu Santi tak bereaksi apa-apa, dia hanya diam dalam boncengan Pak
Nardi.
“Ayo …. Pak jangan tolah-toleh! Ini jalan raya!”
“Siapa Bu yang tolah-toleh? Saya melihat wajah Bu Santi dari bias kaca
spion. Aku minta maaf.”
“Iya …sudah, aku maafkan!”
Ketika sampai di kantor diknas, Bu Santi langsung naik ke lantai dua mencari
orang yang dimaksud. Sementara Pak Nardi hanya menanti di kursi
tamu lobi kantor, di lantai bawah. Hampir satu jam Pak Nardi menunggunya, tapi Bu
Santi tak kunjung datang. Akhirnya Pak Nardi memutuskan untuk menengoknya di
lantai atas. Tiap pintu ruang ditengoknya. Di pintu keempat langkah Pak Nardi
terhenti, ketika melihat Bu Santi ada di dalam ruang yang sedang becakap-cakap
dengan Bu Anik Kadarwati. Belum sempat Pak Nardi melangkah pergi, Bu Anik
sudah menyapanya.
“Ada perlu Pak? Silakan masuk!” Sapanya.
“Oh ya Bu!” Jawab Pak Nardi sekenanya.
“Dengan saya?”

5
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

“Ndak Bu, cuma ngantar saja !”


“Siapa? Maksudnya Bu Santi ini?”
“Iya Bu!”
“Bapak suaminya, ya?”
Pak Nardi kebingungan. Dia harus menjawab apa. Akhirnya meluncur begitu
saja jawaban dari Pak Nardi.
“Iya Bu! Maksud saya mengantar istri saya ini!”
“Silakan duduk Pak! Kebetulan sekali. Kasihan … kasihaaaaan! Bapak Ibu
ini pastinya pasangan baru ya? Kasihan kalau harus terpisah untuk sementara waktu.
Soalnya istri Bapak harus mengikuti kegiatan Apresda di Jakarta selama seminggu,”
ulas Bu Anik.
“Sudah lama Bapak-Ibu menikah?” Tambahnya.
“Barusan, Bu!”
“Lho kok barusan! Maksudnya, Pak?”
“Maksud saya baru dua bulan Bu!” Jawab Pak Nardi.
Bu Santi hanya diam. Dia merasa geli mendengar jawaban Pak Nardi. Tapi
dia berusaha menyuguhkan penampilan yang meyakinkan supaya kebohongan
temannya itu tidak terbongkar.
“Ndak apa-apa kan, Pak? Bapak izinkan istri Bapak kan?”
“Ya Bu!”
“Bagaimana Bu Santi? Suami Ibu sudah mengizinkan, berangkat ya Bu?”
”Ya Bu, saya akan berangkat!”
“Nah, ini Surat Pengantarnya, lalu Bu Santi ke kanwil minta SP Dinasnya!
Jangan lupa rangkap lima!”
“Iya Bu! Terima kasih!”
Pak Nardi dan Bu Santi akhirnya mohon pamit dan mohon restunya dari Bu
Anik. Ketika mereka keluar ruangan, Bu Santi memukuli Pak Nardi dengan stopmaf.
Dia geli dan sedikit mangkel4 dengan ulah Pak Nardi.
“Hem …. kapok, ya! Gitu itu kalau suka bohong. Aku teringat dengan kata-
kata KH Ma’ruf Islamudin : sekali menjawab bohong, jawaban selanjutnya pun
pasti bohong.”
“Ndak apa-apa! Aku kan bisa menjawabnya dengan pas!” Kilahnya.
“Apanya? Masak nikah kok barusan. Apa dikira ditanya makan atau mandi,
jawabnya barusan? Dan lagi gemetar kan mikir cari jawaban?”
“Kok tahu?” Tanya Pak Nardi.
“Yach …. tahu saja! Dari kukuku saja terlihat sampean berkali-kali menyekah
keringat di pelipis dengan jari-jari dan membuangnya di bawah kursi. Dan, kakiku
berkali-kali juga terkena percikan keringat itu. Duingiiiin sekali!”
“Haaaa….. haaaa ……haaaa….! “ Pak Nardi tertawa lepas.
“Iya …Bu! Aku ketakutan, malu, dan mumet5 cari jawaban!” Lanjutnya.
“Nah …. menurut hasil uji kejujuran dan tes kebohongan, Bapak dapat nilai
nol. Sampean itu orang eksak, tak pandai bermain peran. Ibaratnya kambing ngajari
anjing menggonggong,” goda Bu Santi.
“Lho … kalau gitu aku kambing?”

4
Marah
5
Bingung, memutar otak …

6
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

“Siapa yang mengatakan sampean kambing? Tapi Weeed ….duus6 kok!”


“Sampean gitu Bu! Orang kok diwedus-wedusno!”7
Mereka lalu tertawa terburai di tempat parkir sepeda. Pak Nardi merasa
mendapat pengalaman baru tentang kebohongan yang telah dilakukan. Ternyata dia
menyadari atas kurang pandainya bermain peran dari hasil sandiwara yang ia
lakukan.
“Bu, kita langsung ke kanwil atau kita cari makan dulu?” Kata Pak Nardi
menawarkan diri.
“Berangkat ke kanwil saja Pak! Masih terlalu pagi untuk cari makan!”
Mereka pun berangkat ke kanwil. Dalam perjalanan Pak Nardi kadang-
kadang tertawa sendiri melihat peran yang ia lakukan tadi. Bu Santi tidak tahu
maksud Pak Nardi tertawa, hanya sesekali Bu Santi memukuli punggung Pak Nardi,
mengapa Pak Nardi tertawa sendirian. Tiba-tiba Pak Nardi memberanikan diri untuk
bertanya kepada Bu Santi.
“Bu … jangan marah ya! Aku hanya ingin tanya : Ibu ini sebenarnya sudah
punya pacar apa belum, sih?”
“Kalau belum kenapa Pak? Apa Bapak mau jadi pacar saya? Pertanyaan Pak
Nardi aneh! Getaran kata-kata yang terucap agak beda, sepertinya sama nadanya
sewaktu Bapak berhadapan dengan Bu Anik tadi!” Kupas Bu Santi.
Pak Nardi terdiam. Dia bertanya-tanya pada dirinya, apa betul kalau dirinya
ngomong tadi ada perbedaan. Menurutnya dia sudah menatanya dengan baik, mana
waktu mengambil nafas dan mana dia harus ngomong. Pak Nardi heran, mengapa Bu
Santi tahu kalau dirinya dalam menanyakan sesuatu kepada Bu Santi tadi ada getaran
yang berbeda.
“Pak … kok malah diam! Apa tertidur? Ini di jalan lho Pak!”
“Eeee… siapa yang tidur, Bu! Aku lagi serius perhatikan arus lalu lintas!”
“Lagi-lagi bohong! Aura yang terpancar dan getaran nada yang terucap
mengatakan lain,” papar Bu Santi.
Pak Nardi lagi-lagi salah terus. Dia memang menyadari tentang getaran
dalam dirinya. Dia merasa heran kepada Bu Santi, mengapa Bu Santi selalu tahu
tentang apa yang dirasakannya. Dia akhirnya memutuskan untuk diam saja, takut
dirinya akan ditelanjangi lebih jauh lagi oleh Bu Santi, sampai akhirnya mereka tiba
di pintu gerbang kanwil.
Setelah memarkir sepedanya mereka masuk ke dalam. Mereka belum tahu
harus menemui siapa dan di ruang mana. Akhirnya Pak Nardi menanyakan ke bagian
layanan informasi. Dari sinilah akhirnya mereka ke gedung berlantai dua, ke ruang
dikmenjur. Sementara Pak Nardi menunggunya di depan ruangan. Tidak lama,
kurang lebih sepuluh menit Bu Santi keluar dengan membawa sebendel lembaran.
“Sudah Pak, ayo pulang!”
“Cepat amat, Bu! Aku saja baru duduk!”
“Memangnya kenapa? Harus lama-lama di sini?” Bantah Bu Santi.
“Ya sudah, kita tinggal cari makan! Enaknya di mana Bu?” Kata Pak Nardi
menawarkan kepada Bu Santi.

6
Wedus = kambing
7
Dikambing-kambingkan

7
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

“Di mana saja boleh, asalkan bukan ke warung atau rumah makan dengan
menu nasi basi!”
“Kalau gitu ke CITO saja sambil lihat-lihat barang elektronik!”
“Boleh! Tapi bagaimana dengan seragam kita?”
“Ndak apa-apa. Ini kan seragam bebas dari sekolah swasta. Siapa yang tahu
kalau kita generasi Umar Bakri ?”
“Okey, ayo!”
Mereka pun berangkat. Dalam perjalanan Pak Nardi mengendarai sepedanya
pelan sekali. Dia sengaja mengambil jalur kiri, hampir-hampir mendekati garis batas
trotoar. Kadang-kadang dia harus berhenti karena terhalang oleh kendaraan atau
becak yang diparkir di pinggir jalan. Dalam kehati-hatiannya itu Bu Santi memberi
isyarat agar lebih cepat sedikit.
“Pak, kok pelan banget!! Jalannya terlalu ke pinggir. Ikuti saja arus yang
bergerak, kalau gini malah bahaya Pak!”
“Ya … Bu! Aku sebenarnya menikmati perjalanan yang mengasyikkan ini.
Urusan sudah selesai, tinggal kita selesaikan urusan kita.”
“Maksud Pak Nardi, urusan kita apa, Pak?”
Pak Nardi tersentak. Lagi-lagi dia merasa salah berucap. Dan lagi dia merasa
kebodohan dirinya dalam bergaul. Secara spontan Pak Nardi menjawab : “Yach …
makan toh, Bu!”
“Oala …Pak, tak kira apa?”
Kebingungan Pak Nardi semakin menyeretnya ke dalam ketidakpercayaan
atas kemampuan dirinya. Dia menjadi salah tingkah. Dia serba salah, harus memulai
dari mana dia berkata-kata. Kekikukan dirinya membuatnya semakin minder dan rasa
ketakutan yang tinggi.
“Aku memang bodoh tentang hal ini. Pengecut. Tak pandai berbasa-basi.
Padahal teman-temanku menganggap aku ini orang yang cerdas, gedrabus8 dan
supel. Tapi buktinya?” Lamun Pak Nardi.
“Nardi …. Nardi! Kamu pengecut! Banci … banci….. buanciiiii?” Lanjut
lamun Pak Nardi.
Pak Nardi tertawa sendirian. Dia membantah tudingan dirinya, sampai dia
berucap sendiri menolak tudingan itu. Tak tahunya Bu Santi mendengar apa yang
diucapkan Pak Nardi.
“Ada apa Pak tertawa? Apanya banci9? Mana?” Tanya Bu Santi yang tidak
tahu maksud yang diucapkan Pak Nardi.
“Oh itu lho Bu, lucu! Eee … orang itu lho!” Jawab Pak Nardi sekenanya.
“Mana? Ndak ada orang sama sekali, hanya ada mobil-mobil yang ada di
depan kita!”
“Itu Bu, mobil xenia di depan kita!”
“Apanya? Kacanya tertutup kaca hitam pekat tak terlihat apa pun!”
“Aku melihatnya dari kaca spionku. Sopirnya banci!” Jawab Pak Nardi
membenarkan.

8
Banyak omong dan tidak sesuai dengan kenyataan
9
Waria

8
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Jantung Pak Nardi berdetak agak kencang. Paparan kata-katanya sedikit


terpengaruh oleh kebohongannya. Sehingga nada yang terucap mengikuti irama
degub jantungnya.
“Pak, sampean ini aneh, bohong melulu!”
“Aku ndak bohong, Bu! Aku ndak banci!”
“Nah … iya kan sampean ini aneh! Siapa yang mengatakan sampean banci?”
Pak Nardi lagi-lagi terjerembab oleh diksi yang dipaparkannya. Dia berusaha
memutar otak untuk mencari kata-kata yang tepat. Nyatanya kata-katanya itu
menyudutkan dirinya sendiri.
Pak Nardi memutuskan untuk yang kedua kalinya tidak akan berkata-kata
lagi. Dia mencoba menenangkan dirinya, hingga sepeda yang dikendarainya
memasuki pelataran CITO.
Mereka masuk menyusuri stand aneka masakan. Pak Nardi memberi isyarat
kepada Bu Santi untuk memilih menu yang cocok dengan seleranya, tapi Bu Santi
malah menawarkan balik kepada Pak Nardi agar dipilihkan menu yang pas.
“Bagaimana kalau kita coba nasi goreng bakar dan minuman soft drink
soda?”
“Yach … terserah!”
“Jangan gitu Bu! Terserah itu bukan jawaban yang memuaskan! Paling tidak
ya atau tidak!”
“Ya… manut sing ngajak wae10!”
Pak Nardi akhirnya memesannya dua porsi. Mereka mengambil tempat yang
ada di pojok stand, sehingga pandangannya bisa terarah ke seluruh penjuru.
Mereka duduk berhadapan. Hampir dua puluh menit pesanannya belum juga
datang. Akhirnya Pak Nardi menghampiri pelayan menanyakan pesanannya.
Ternyata ada kekeliruan dari pihak pengelola. Pesanan Pak Nardi diberikan ke orang
yang ada di meja sebelah kasir. Terpaksa Pak Nardi menunggu beberapa menit lagi.
Pak Nardi pun kembali ke tempat duduknya. Dia memandangi serius Bu
Santi yang sedang membaca buku. Ketika Bu Santi menatap balik, Pak Nardi malah
membuang pandangannya. Dan, itu pun berulang kali tertangkap basah Bu Santi.
“Ada apa sih Pak menatapku seperti itu? Aku lama-lama jadi takut sama
sampean!” Goda Bu Santi.
“Nggak ada apa-apa! Aku hanya memandang Ibu aja. Apa nggak boleh?”
“Boleh! Tapi gak perlu pakai hati!”
“Bu, aku belum puas dengan jawaban Ibu tadi!” Kata Pak Nardi spontan.
“Yang mana? Jawabanku sing ngendi11, Pak?”
“Yang tadi lho Bu! Waktu kita sebelum nyampe12 kanwil!” Kata Pak Nardi
malu-malu.
‘Oh … tentang aku sudah punya pacar atau belum?” Kata Bu Santi
memperjelas.
“Ya!”
“Pak …. Pak! Aku ini belum punya pacar! Siapa sih yang mau sama aku?
Apa sampean mau macari13 aku?” Goda Bu Santi sambil tertawa.
10
Ikut/menurut yang mengajak saja
11
Yang mana
12
Sampai
13
Menjadi pacar

9
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Pak Nardi malah terdiam. Dia hanya memutar-mutar asbak yang ada di meja.
Bu Santi pun mendadak menghentikan tawa gelinya melihat Pak Nardi. Tiba-tiba Pak
Nardi mengungkapkan kata-kata dengan gaya khasnya. Kata-kata yang bergetar,
tersendat, dan berkali-kali dia menarik nafas panjang.
“Yach …. tentunya aku mau, Bu! Tapi bagaimana dengan orang yang
ngantarkan Ibu tiap hari? Dan, aku juga tidak sengaja beberapa kali lewat rumah Ibu,
kebetulan malam minggu, Ibu duduk mesra dengannya!” Ucap polos Pak Nardi.
Spontan Bu Santi tertawa lepas. Terpingkal-pingkal. Dia langsung menutup
buku yang ada dalam genggamannya.
“Aduh … aduh .. Pak… Pak! Sampean cemburu, ya?” Kata Bu Santi dalam
kegeliannya.
“Apa sampean nggak tahu, kalau dia itu bapak kandungku. Seorang
pensiunan. Semenjak aku kecelakaan sepeda motor empat bulan yang lalu, aku selalu
diantar-jemput bapak, dengan mobil carry lemah teles 14 yang selalu parkir di pinggir
jalan sudut sekolah. Apa sampean nggak bisa bedakan cowok yang ting-ting dan
yang prek-prek?” lanjut Bu Santi.
Pembicaraan mereka terhenti ketika pesanannya datang. Wajah Pak Nardi
merah padam. Terlihat sekali dalam tingkah lakunya, ketika dia melahap makanan
tak terasa garpu yang dipakai menyendoknya, sedangkan di tangan kirinya
memegang sendok. Kejadian ini tak disadarinya. Untuk itu Bu Santi semakin geli,
sampai dia tidak sempat melahap nasi gorengnya.
Pak Nardi merasa dipojokkan terus, dia akhirnya berkomentar lirih kepada
Bu Santi, sampai–sampai Bu Santi tak mendengarnya. Dalam tawanya Bu Santi
menyuruh agar dia mengulangi perkataannya sekali lagi.
“Bu…. Aku serius!” Ucap Pak Nardi lebih jelas yang agak terbata-bata.
“Aku mencintaimu!” Lanjutnya.
“Ach…. Aku terkapar! Kau telah menembakku. Sebutir pelor cinta telah
merobek-robek jantungku. Dalam keganasan pistol cinta mainanmu, nyatanya aku
terjerembab, bermandi darah segar, mati dalam pelukmu, wahai William Shachespere
bin Nardi Saputra Dewa. Pastinya …? Aku telah mati pura-pura! Haa…. Haaaaa!”
Celoteh Bu Santi.
Ungkapan puitis Bu Santi yang bernada sumbang cukup keras, sampai orang-
orang yang ada di meja sebelah menoleh ke arah Bu Santi. Sementara Pak Nardi
hanya menunduk, membolak-balikkan nasi gorengnya. Bu Santi baru menyadari
kalau dirinya jadi perhatian orang-orang di sekitarnya.
Seusai makan mereka berjalan balik menuju pintu keluar. Tanpa kata-kata
mereka terus saja melangkah menyelinap di antara pengunjung. Bu Santi teringat
kalau tadi Pak Nardi katanya mau melihat-lihat barang elektronik. Ketika Bu Santi
mengingatkannya, Pak Nardi malah ingin segera pulang.
Bu Santi tak lagi berkata-kata. Dia menyadari kalau Pak Nardi tersinggung
oleh ulahnya. Padahal Bu Santi bermaksud untuk bercanda saja, tapi Pak Nardi
menanggapi serius. Akhirnya Bu santi membuntuti saja ke mana Pak Nardi
melangkah. Nyatanya dia menuju ke tempat parkir sepeda.
“Pak ….. maafkan aku! Aku tak bermaksud melecehkan Bapak!” Kata Bu
Santi.
14
Warna yang mirip tanah basah

10
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

“Iya !” Jawab Pak Nardi singkat.


Mereka keluar dari tempat parkir tak ada sepatah kata pun yang terucap.
Mereka sama-sama membisu. Selama dalam perjalanan pulang tetap saja keteguhan
untuk tak berkata-kata. Sampai di belokan gang makam, mau menuju rumah Bu
Santi, tiba-tiba Pak Nardi menggugurkan kebisuan mereka.
“Bu … aku serius!”
“Aku juga , Pak! Maafkan aku tadi!”
“Sudah kumaafkan dari tadi!”
Sesampai di depan rumah Bu Santi, Pak Nardi berhenti. Dia turun dari
sepedanya, ketika orang yang dibahas selama perjalanan muncul dari pintu samping
rumah Bu Santi, dengan menenteng timba dan lap yang disampirkan dibahunya. Bu
Santi memperkenalkan Pak Nardi kepada bapaknya.
“Pak, ini Pak Nardi, teman Santi, putra bapak kepala sekolah. Tadi, Pak Nardi
diberi tugas oleh kepala sekolah untuk ngantarkan Santi ngurus surat ke kanwil..”
“Oh … ya!”
Pak Nardi maju ke depan memberi salam kepada orang tua Bu Santi.
Sementara Bu Santi langsung masuk rumah meletakkan tas yang dibawanya. Namun
helm yang masih bertengger di kepalanya dibiarkan begitu saja. Dalam
perkenalannya dengan orang tua Bu Santi, Pak Nardi beranggapan bahwa orang tua
Bu Santi adalah orang yang keras, angkuh, dan terkesan otoriter.
Tidak lama Pak Nardi mohon izin untuk pamit pulang. Orang tua Bu Santi
hanya mengangguk sambil menyambut uluran tangan Pak Nardi. Ketika Pak Nardi
sudah di atas sepeda dan memutarnya, tiba-tiba Bu Santi memanggilnya memberikan
helm yang dikenakan sedari tadi.
“Pak …ingat, Bapak harus berani bersaing dengan orang itu! Makasih ya
telah mengantar aku!” Goda Bu Santi sambil menunjuk ke arah bapaknya ketika
memberikan helmnya ke Pak Nardi.
“Ya …Bu! Sama-sama!”

***

Keesokan harinya saat stum pabrik gula mendengung keras, Pak Nardi sudah
berada di depan rumah Bu Santi. Ketika itu orang tua Bu Santi sedang membersihkan
mobil di teras rumahnya, dia mempersilakan Pak Nardi masuk. Dan, dia memanggil-
manggil Bu Santi kalau ada tamu.
“Masuk Pak! Pagi sekali! Mau ke mana? Ayo silakan duduk dulu! Bapak
mau melanjutkan ini, Santi sudah siap kok!”
“Makasih Pak!” Jawab Pak Nardi singkat.
Pak Nardi tak mengira bahwa orang yang dianggapnya angkuh, keras, dan
otoriter, nyatanya tak seperti itu. Menurutnya sangat santun, luwes, dan familier.
Tidak lama kemudian terdengar suara Bu Santi memanggil-manggil bapaknya
dari dalam untuk sarapan. Dia keluar dengan sepiring nasi dan di tangan kanan
memegang sendok yang sudah terisi, yang akan dilahapnya. Betapa terkejutnya Bu
Santi melihat orang yang sedang duduk di kursi teras yang kebetulan agak terhalang
oleh mobil bapaknya. Dia terperangah, ternyata orang yang dimaksud adalah Pak
Nardi.

11
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Bu Santi memberi salam Pak Nardi. Dia lalu minta izin untuk menemui
bapaknya sebentar. Dia berkomentar lirih menegur bapaknya, kalau bapaknya tak
memberi tahu dirinya bila ada tamu. Tapi bapaknya mengomentari balik, kalau
bapaknya sudah memanggil-manggilnya tadi. Dan dikiranya Santi sudah tahu.
Bapaknya lalu menggodanya kalau yang datang itu pacar anaknya.
Bu Santi langsung saja sewot dan mencubiti bapaknya. Tapi bapaknya hanya
tersenyum geli.
“Iya..yaa.. bapak mau sarapan! Tapi dengan yang itu ..tuuu…! Si ganteng!”
Bisik bapaknya ke Bu Santi.
“Ach .. Bapak! Lagi-lagi gitu!”
Bu Santi langsung masuk. Dia minta izin kepada Pak Nardi untuk menunggu
sebentar.
“Sudah Pak!” Kata Bu Santi kepada bapaknya.
Bapak Bu Santi langsung mempersilakan Pak Nardi untuk sarapan bersama.
Pak Nardi menolaknya dengan alasan dia sudah sarapan di rumah. Bu Santi pun
membujuknya agar Pak Nardi mau. Akhirnya Pak Nardi meluluskan permintaan Bu
Santi.
Waktu makan pagi bersama dengan orang tua Bu Santi, Pak Nardi terlihat
kikuk sekali. Dia sebenarnya sudah sarapan pagi di rumah, tapi dia tak kuasa
menolak ajakan Bu Santi. Terpaksa dia menuruti saja ajakan Bu Santi, walaupun dia
berkali-kali menyampaikan alasannya yang tak dihiraukan Bu Santi.
“Ayo ..Pak, kapan lagi bisa makan bersama dengan keluarga saya. Ini
permulaan lho!” Jelas Bu Santi.
“Iyaaa .. Pak, ini rizki tak boleh ditolak. Dan lagi ini masakan asli Santi!”
Tambah bapaknya.
Pak Nardi mengangguk-angguk. Dia hanya mengomentari kalau masakannya
enak. Bu Santi yang ikut nimbrung15 di meja makan sesekali menyodorkan lauk ke
piring Pak Nardi, tapi Pak Nardi berkali-kali juga menggeser piringnya menjauhi
uluran tangan Bu Santi.
Seusai sarapan pagi Bu Santi cepat-cepat mengajak Pak Nardi untuk
berangkat ke sekolah, karena jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh. Mereka
pun berpamitan kepada orang tua Bu Santi.
Dalam perjalanan mereka terburu-buru. Mereka menerobos kemacetan yang
biasa dilalui Bu Santi. Untuk Pak Nardi sudah biasa dengan pemandangan seperti itu,
bahkan dia sangat mahir mencari celah-celah yang bisa ia terobos. Hanya lima menit
saja Pak Nardi sudah lepas dari kemacetan. Ternyata jalan selanjutnya beda banget.
Tak begitu ramai. Pada saat inilah Pak Nardi teringat akan kata-kata Bu Santi ketika
dia di meja makan tadi. Perkataan itulah yang mengganjal dalam pikirannya. Dia
berusaha mencari jawab, tapi lagi-lagi mengalami jalan buntu oleh
ketidakpahamannya.
“Bu … boleh aku tanya?”
“Boleh! Tanya apa?”
“Itu lho, tadi Ibu mengatakan ‘baru permulaan’. Apa maksudnya?”
“Sampean lupa ya kata-kataku kemarin! Aku serius!” Jawab Bu Santi asal-
asalan.
15
Ikut masuk dalam kelompok/kesatuan

12
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

“Tentang pengganti bapak Bu Santi, maksudnya?”


“Iya…!”
“Jadi… ceritanya aku tadi diuji?”
“Iya … Bapak masih dapat nilai di bawah batas minimal KKM! Tidak lebih!”
“Berarti aku belum lulus, Bu?”
“Belum. Masih banyak tugas yang harus diselesaikan!” Papar Bu Santi.
“Siap Bu! Aku akan rajin belajar menjadi murid yang baik!”
Sesampai di sekolah mereka langsung masuk ke halaman parkir sepeda guru.
Kebetulan sekali kepala sekolah berdiri di samping pintu parkir sepeda. Bu Santi
langsung menghampirinya memberi salam.
“Apa masih ada urusan yang belum selesai, Bu?” Tanya kepala sekolah.
“Iya… Pak!” Jawab Bu Santi sekenanya.
“Makanya Pak Nardi pagi-pagi sudah minta izin untuk menjemput ibu!”
“Mari Pak!” Pamit Bu Santi.
Bu Santi buru-buru masuk ruang guru. Dia ketakutan kalau dia nantinya
diberondong pertanyaan dari kepala sekolahnya. Namun Bu Santi tak lepas dari itu,
ketika masuk ruang guru teman-teman Bu Santi sudah menghadangnya. Dia tidak
menyadari kalau teman-temannya sedari kedatangan Bu Santi yang dibonceng Pak
Nardi sudah menjadi fokus pengamatan dari balik kaca riben ruang guru.
“Selamat, Bu! Calon menantu telah disambut hangat oleh sang mertua,” goda
teman-teman Bu Santi.
“Nggak, nggak ada apa-apa kok!” Bantah Bu Santi.
Sebaliknya Pak Nardi malah tersenyum bangga ikut-ikutan menggoda Bu
Santi.
“Iya .. Pak! Bu! Bapakku tadi telah merestuinya!” Godanya.
Teman-teman Bu Santi memberi ucapan selamat dan ada juga yang memberi
ciuman kepada Bu Santi. Ketika kepala sekolah melewati ruang guru, yang
suasananya ramai sekali, beliau tadi sayup-sayup mendengar kata merestui, malah
kepala sekolah membenarkan dan menandaskan ucapannya itu.
“Iya … Bapak-Ibu! Saya merestui Bu Santi!”
Tiba-tiba teman-teman Bu Santi merasa dugaannya benar. Lalu mereka
berebut menyalami Bu Santi dan menciuminya. Kemudian kepala sekolah
melanjutkan kata-katanya.
“Mudah-mudahan Bu Santi senang, karena kemajuan sekolah kita nantinya
ada di tangannya. Nggak lama kok hanya seminggu!”
Teman-teman Bu Santi bingung. Mereka saling memandang, apa maksud dari
perkataan kepala sekolah yang baru disampaikannya. Tiba-tiba bel berbunyi tiga kali,
tanda jam pelajaran jam pertama dimulai.
“Ayo… Bapak Ibu masuk dulu! Pembicaraan kita lanjutkan nanti, waktu
istirahat. Banyak yang akan saya ceritakan tentang Bu Santi.”
Pak Nardi mendengar percakapan itu hanya tersenyum saja. Kesalahpahaman
yang berkembang dibiarkan begitu saja. Dia tidak menimpali kata-kata sedikitpun.
Dia langsung saja mengambil buku perlengkapan mengajar lalu buru-buru masuk
kelas.

13
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Teman-teman Bu Santi bingung mendengar perkataan kepala sekolahnya.


Mereka mendekati Bu Santi menanyakan kejelasan apa yang baru saja mereka
dengarkan. Malah Bu Santi cemberut, dia menyalakan Pak Nardi.
Teman-teman guru dan karyawan tata usaha yang kebetulan duduk di ruang
guru tidak mau memaksa Bu Santi untuk menjawabnya. Mereka pun bubar
melaksanakan tugasnya masing-masing. Sementara Bu Santi pun beranjak menuju ke
kelasnya, tapi dia mampir ke ruang kelas yang diajar Pak Nardi. Dia memaksa Pak
Nardi agar bertanggung jawab untuk menetralisasikan situasi. Tak tahunya teman-
teman Bu Santi selalu mengawasi gerak-geriknya. Mereka saling berbisik melihat Bu
Santi menemui Pak Nardi.
Pembelajaran di kelas berjalan seperti biasa. Bu Santi kebetulan jam pertama
mengajar di kelas X Ap 1 menerangkan kompetensi dasar apresiasi sebuah cerpen
melalui unsur intrinsik. Ketika dia memberi tugas siswanya untuk menentukan unsur
intrinsik, dia berkeliling ke setiap bangku. Tiba-tiba seorang anak yang dinilainya
paling diam di kelasnya bertanya kepadanya, apakah Bu Santi itu istri Pak Nardi?
“Bukan! Ibu itu teman Pak Nardi!”
“Tapi, Ibu kok dibonceng sama Pak Nardi?”
“Apa ndak boleh? Pak Nardi mbonceng Ibu hanya sekali aja, apa pasti Ibu
istri Pak Nardi? Belum tentu kan?”
“Yach …ndak tahu Bu! Yang tahu kan Ibu! Soalnya Elsa kemarin waktu
diajak tante ke CITO, juga tahu Ibu sedang makan dengan Pak Nardi. Elsa mau
menyapa Ibu tapi ndak boleh sama tante. Katanya takut mengganggu Ibu dan
Bapak!” Cerita Elsa.
Bu Santi kelabakan mencari jawaban. Dia mau mengelak tapi nggak bisa. Dia
mau berbohong juga tidak bisa. Tapi dia sudah menyadari bahwa dia sudah
melakukan kebohongan itu, bahwa dirinya hanya sekali saja dibonceng Pak Nardi.
Untung saja bel telah menyelamatkan Bu Santi, tapi hal ini merupakan PR yang
belum terjawabkan baginya.
Bu Santi menutup pelajarannya. Dia lalu pindah ke kelas XI Ak 3. Dalam
pembelajaran kali ini konsentrasi Bu Santi bubar. Dia tidak fokus lagi. Dia merasa
ditelanjangi oleh muridnya.
Ketika bel istirahat berbunyi semua guru dan sebagian staf tata usaha
berkumpul di ruang guru. Mereka berbisik-bisik katanya kepala sekolah akan
melanjutkan ceritanya tadi pagi. Sampai beberapa menit kepala sekolah tak kunjung
datang ke ruang guru. Akhirnya Bu Vany yang agak genit dan kelewat lembeng
sengaja berjalan melintasi ruang tamu. Kebetulan di situ ada kepala sekolah.
Akhirnya Bu Vany memberanikan diri mengingatkan kepala sekolahnya.
“Pak … katanya Bapak tadi melanjutkan cerita tentang Bu Santi. Bapak
ditunggu bapak ibu guru di ruang guru!” Kata Bu Vany.
“Oh ya, ayo!”
Kepala sekolah langsung menuju ke ruang guru. Kebetulan di ruang guru
bapak ibu sudah menunggunya, termasuk di sana ada Bu Santi. Lalu beliaunya
memulai ceritanya. Bu Santi merasa malu mendengar kepala sekolahnya selalu
menyanjung-nyanjung dirinya. Di saat itu juga, Bu Santi juga diberi kesempatan
untuk menjelaskan sedikit tentang kegiatan yang akan diikutinya.

14
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Bu Santi menyampaikan bahwa dirinya tidak tahu apa-apa tentang undangan


apresda 2010, apalagi berharap bisa diundang dalam pertemuan komunitas
penyanjung sastra yang sangat bergengsi itu. Dia menjelaskan mungkin dirinya
sering mengirim puisi atau cerpen di majalah sastra nasional, Horison, tapi tak ada
satupun yang dimuatnya. Dari faktor inilah Bu Santi menandaskan bahwa dirinya
diundangnya untuk pertemuan komunitas penyair dan cerpenis.
“Ini hanyalah faktor keberuntungan saja! Dan lagi, kesempatan untuk
bertemu dengan orang-orang yang saya kagumi dari karya-karyanya,” kata-kata Bu
Santi menutup pembicaraan.
Guru-guru baru paham dan memberi ucapan selamat, serta tak lupa mereka
memesan oleh-olehnya. Dan untuk Pak Hendra, guru senior yang kebetulan
serumpun dengan mata pelajaran yang diajarkan Bu Santi hanya titip pesan, kalau
ada yang aneh atau menarik di bidang pembelajaran Bu Santi dimohon
mendokumentasikannya.
Mereka pun beranjak ketika bel masuk istirahat berbunyi. Semua merasa
puas dengan cerita yang disampaikan oleh kepala sekolahnya maupun Bu Santi.
Pembelajaran berjalan tertib. Bu Santi masih memberikan materi yang sama di kelas
X Apk 2. Sebelum jam pelajaran berakhir hp Bu Santi bergetar. Dia melihat dan
membacanya, ternyata sms dari Pak Nardi.
“Bu, nanti saya antar pulang! Saya belajar menggantikan posisi bapak!”
“Yach … harus bertanggung jawab, berani jemput ya berani ngantar! Ha…
haaa …!”
Jam pembelajaran berakhir Bu Santi menunggu di pintu parkir. Ketika Pak
Nardi menghampirinya dan Bu Santi naik di boncengan sepeda Pak Nardi. Semua
pandangan tertuju pada mereka. Sebagian guru dan siswa yang melihatnya timbul
tanda tanya. Tapi semua itu gugur dari pernyataan yang disampaikan di ruang guru
tadi. Akhirnya mereka mengacuhkan saja peristiwa itu. Tapi ada pula yang sengaja
menghembuskan gosip atas ketidakpercayaan apa yang telah dilihatnya.
Dalam perjalanan mengantar Bu Santi pulang, Pak Nardi menawarkan diri
untuk mengajak Bu Santi jalan-jalan. Bu Santi menolaknya, karena dia harus
menjaga ibunya yang sedang dirawat inap di RS William Booth. Pak Nardi terkejut.
Dia menanyakan kapan ibu dari Bu Santi mulai dirawat inap. Bu Santi pun
menjelaskan bahwa ibunya baru kemarin masuk rumah sakit, ketika bapaknya nggak
bisa menjemputnya. Akhirnya Pak Nardi menawarkan diri untuk mengantar Bu
Santi. Bu Santi pun mengangguk, setuju kalau itu maunya Pak Nardi.
“Jam berapa?” Tanya Pak Nardi.
“Jam empat sore!”
“Kalau gitu sehabis Ashar aku ke rumah Ibu!”
Bersamaan Pak Nardi pamit ke Bu Santi, sebuah mobil sedan berhenti di
depan rumah Bu Santi. Beberapa penumpangnya turun berlari ke arah Bu Santi.
Mereka memeluk dan menciuminya. Ada yang menangis. Dan untuk yang lainnya,
terutama yang laki-laki hanya berdiri di belakang ibu-ibu, menanti giliran menyalami
Bu Santi. Sementara Pak Nardi hanya berdiri tidak jauh dari Bu Santi, menunggu
kesempatan yang baik untuk berpamitan.
Setelah keluarga Bu Santi usai melepas kerinduannya giliran Pak Nardi
mohon pamit kepada keluarga Bu Santi.

15
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Pak Nardi segera pulang ke rumahnya. Dan dia harus datang ke rumah Bu
Santi sore hari. Dalam perjalanan pulang dia selalu terbayang keberadaan diri Bu
Santi. Sampai Pak Nardi merebahkan diri di atas tempat tidurnya bayangan itu tak
pernah sirna. Akhirnya dalam kelelahannya Pak Nardi pun terlelap juga dalam
tidurnya. Tahu-tahu Pak Nardi terjaga dan menengok jam dinding yang terpasang di
atas ranjangnya menunjukkan pukul 16.30.
“Astaga!” Seru Pak Nardi menyumpah-nyumpah dirinya.
Pak Nardi bergegas ke kamar mandi dan ganti pakaian. Dia langsung
meluncur ke rumah Bu Santi. Setiba di rumah Bu Santi, Pak Nardi ditemui bapak Bu
Santi. Dan dikatakan bahwa Bu Santi diajak bareng oleh tantenya tadi siang.
Pak Nardi masih ada di hadapan orang tua Bu Santi merasa kecewa. Kecewa
pada situasi, kecewa pada dirinya sendiri. Tiba-tiba di pikiran Pak Nardi untuk
menanyakan keberadaan ibu dari Bu Santi yang dirawat inap. Dari sinilah Pak Nardi
memperoleh jawaban. Akhirnya Pak Nardi mohon pamit.
Dalam perjalanan pulang Pak Nardi mengendarai sepedanya pelan sekali. Dia
kecewa banget. Pikirannya bergejolak antara pulang ke rumah atau langsung
menyusul untuk menemui Bu Santi di rumah sakit. Tak terasa dia sudah memasuki
gang yang mengarah ke rumahnya. Tiba-tiba pikiran Pak Nardi berubah. Dia
belokkan sepedanya, lalu tancap gasnya memastikan diri untuk menemui Bu Santi.
Tidak lama. Saat adzan magrib berkumandang Pak Nardi sudah sampai di
rumah sakit. Dia langsung mencari ruang di mana Bu Santi berada. Tidak sulit,
ternyata di depan Pak Nardi tertulis ruang melati. Dia berjalan terus mencari
keberadaan kamar II A.
Pintu dibukanya pelan, lalu Pak Nardi menengok ke dalam. Ternyata sesosok
berdiri tegap dengan potongan rambut pendek, baju panjang you can see dengan
corak paduan bunga ungu, kuning, dan hijau natural, menatapnya balik. Pak Nardi
tertegun melihat penampilan Bu Santi. Dia tak menghiraukan sapaan Bu Santi. Dia
hanya memandangi Bu Santi dari atas ke bawah.
“Ayo masuk, Pak!” Sapa Bu Santi yang kedua kalinya.
Pak Nardi terjaga dari keterpesonaanya. Dia lalu masuk menyalami Bu Santi,
kebetulan waktu itu ibu dari Bu Santi masih tidur.
“Pak, ada apa kok mandangi aku seperti itu! Aku jadi takut!”
“Ndak…. ndak ada apa-apa kok, Bu! Aku hanya terpesona sama Ibu!”
“Yach …. kalau lihat orang jangan pakai mata seperti itu!”
“Bu, aku melihat Ibu tidak hanya mataku saja, tapi mata hatiku ikut bicara!”
“Sudah … sudah!”
“Belum …Bu!”
Tiba-tiba pintu terkuak, seorang lelaki muda masuk. Bu Santi
memperkenalkan Pak Nardi pada kakaknya, Wawan. Akhirnya mereka pun terlibat
dalam pembicaraan.
“Santi, kau tinggal salat dulu, mumpung ibu masih tidur!” Suruh kakaknya.
Bu Santi mengajak Pak Nardi untuk salat di mushollah. Di sana sepi sekali
hanya ada beberapa orang saja yang masih berdzikir. Bu Santi minta kepada Pak
Nardi untuk salat berjamaah, Pak Nardi pun hanya mengangguk.

16
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Saat salat magrib mereka hanya berdua saja. Selesai berdzikir Pak Nardi
menyalaminya. Betapa terkejutnya Pak Nardi, uluran tangan Pak Nardi disambut
dengan Bu Santi dengan mencium tangan Pak Nardi.
“Pak … katanya mau nggantikan bapakku! Ndak apa-apa kan aku cium
tanganmu? Doakan ibu lekas sembuh!” Permohonan Bu Santi.
“Iya … ndak apa-apa kok! Aku doakan ibu agar lekas sembuh!”
Sekembalinya mereka ke ruangan, mereka berbincang-bincang dengan kakak
Bu Santi. Dan, kebetulan ibu dari Bu Santi sudah terjaga dari tidurnya. Pak Nardi
buru-buru menyalami ibu dari Bu Santi. Sebelum ibunya menanyakan siapa yang
baru menyalaminya, Bu Santi sudah memperkenalkan Pak Nardi kepada ibunya.
Bu Santi mengajak Pak Nardi duduk di luar ruangan. Mereka ngobrol apa
saja. Di tengah pembicaraan, Pak Nardi menyampaikan kepada Bu Santi bahwa
dirinya sangat terpesona dengan penampilan Bu Santi, tapi Bu Santi selalu
mengelaknya bahwa dirinya tak memiliki kelebihan apa-apa.
“Oh ya Bu, bagaimana ke Jakartanya, padahal ibu sampean sedang sakit?”
“Yach … berangkat Pak! Bapak dan ibuku menyuruhku untuk berangkat saja.
Katanya ibu nggak apa-apa. Nggak begitu parah. Dan lagi dokter tadi mengatakan
kalau ibu dua – tiga hari lagi diperbolehkan pulang!”
“Ibu besuk nggak kerja?”
“Ya .. kerja toh Pak! Besuk pagi pulang dengan Mas Wawan!”
Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 20.00 BBWI, Pak Nardi mohon
pamit, tapi Bu Santi nencegahnya. Tak lama kemudian bapak Bu Santi datang.
“Lho …Pak Nardi! Tadi langsung ke sini?” Sapanya
“Inggih,16 Pak!”
“Bapak masuk dulu!”
“Monggo….monggo 17 Pak!”
Akhirnya Pak Nardi mau pamit pulang. Dia merasa tidak enak kalau berlama-
lama di rumah sakit. Dia minta lalu izin kepada orang tua Bu Santi. Bu Santi yang
rencananya ikut Pak Nardi pulang dicegah oleh bapaknya, agar ia izin saja tidak
masuk kerja. Bu Santi menolaknya, karena besuk ada ulangan mulai jam pertama.
“Nah, terus besuk kamu ndak terlambat, Nduk!”
“Ndak tahu Pak! Makanya aku pulang saja sekarang bareng18 Pak Nardi ?”
“Ya. . . terserah kamu, Nduk!”
“Iya Pak, Santi pulang sekarang saja!”
“Ya wis19! Pak Nardi, Bapak titip Santi, Ya! Hati-hati di jalan! Oh ya, Nduk
tolong adik-adikmu diurusi!”
“Inggih Pak! Kula nyuwun pamit20!”
Pak Nardi dan Bu Santi setelah berpamitan dan menyalami semuanya,
mereka keluar. Pak Nardi menanyai Bu Santi apa tidak pakai jaket, tapi Bu Santi
menolaknya karena tak kuat panas.
“Ayo . . . jaketku saja sampean pakai, kalau Ibu nanti sakit, saya kan yang
bingung!” Goda Pak Nardi.
16
Iya
17
Silakan …. silakan
18
Ikut sama-sama …
19
Sudah
20
Saya mohon pamit

17
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

“Ndak . . . Pak! Aku nanti takut katut21 sampean!” Bu Santi balas menggoda,
sambil mengenakan jaket Pak Nardi.
“Ndak . . . mungkin Bu! Paling-paling aku yang katut sampean!
Kenyataannya Bu Santi merasakan dinginnya hembusan angin malam, untung
saja dia dipinjami jaket Pak Nardi. Walaupun sudah memakai jaket tapi dinginnya
hembusan angin malam telah menusuk-nusuk kulitnya, menerobos jaket yang
dikenakannya.
Sementara Pak Nardi yang berada di depan merasa kedinginan. Dinginnya
angin malam dibiarkan saja olehnya, tapi dia tak berhasil mengusirnya, nyatanya
tubuh Pak Nardi berkali-kali bergidik.
Keadaan ini telah menguji kesetiaan Pak Nardi sebagai teman dekat Bu Santi.
Dia berusaha betul menahan rasa dinginnya angin malam, tapi lagi-lagi tak berhasil
sampai getaran tubuh berimbas ke sepeda yang dikendarainya. Melihat ini, Bu Santi
merasa kasihan bahwa Pak Nardi rela berkorban demi dirinya.
Bu Santi dalam boncengan sepeda Pak Nardi pikirannya melayang-layang.
Dia mulai membaca pikiran Pak Nardi, bahwa dia orang yang suka bercanda,
menggoda, jail, tapi dari sisi lain ada keseriusannya. Dan lagi Bu Santi melihat balik
dirinya sendiri, yang merasa dirinya tak patut membalas kebaikan Pak Nardi dengan
gurauan konyolnya.
“Pak, kamu satu-satunya pria yang sanggup merontokkan keangkuan hatiku,
aku merasakan betul, aku benar-benar munafik kalau aku tidak mau menerima
cintamu. Tapi karena situasi aku masih bersikukuh pada setiap perkataanku pada
semua orang, termasuk dirimu. Aku akan membalas ucapanmu bila kau nanti
menyuarakan isi hatimu sekali lagi. Dan, akan kusuarakan cintaku padamu, sampai
telingamu mendengarnya,” batin Bu Santi.
Tiba-tiba seperti ada dorongan yang tidak disadarinya, kedua tangan Bu
Santi melingkar di perut Pak Nardi. Pak Nardi terperanjat dan dia membalasnya
dengan melingkarkan jemarinya ke jemari Bu Santi.
“Pak . . . kuterima cintamu padaku!” Bisik Bu Santi merapatkan bibirnya ke
telinga Pak Kardi.
“Terima kasih, Bu! Aku telah lulus!” Ucapnya.

***

Tinggal lima hari lagi keberangkatan Bu Santi ke Jakarta. Dia dipanggil oleh
kepala sekolah, ditanyai tugas-tugas yang harus dipersiapkan untuk siswa yang akan
ditinggalkan.
“Bu . . . tolong disiapkan tugas buat anak-anak! Dan mohon diberikan kepada
WKS Kurikulum!”
“Sudah Pak!”
“Oh ya, Pak Hendra ada? Kalau ada tolong suruh ke mari!”
“Ada Pak! Permisi!”
Pak Hendra, guru senior yang serumpun dengan mata pelajaran yang
diajarkan Bu Santi, datang ke ruang kepala sekolah. Dia sebelumnya menanyakan

21
Terpikat

18
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

kepada Bu Santi, ada apa dia dipanggil kepala sekolah. Bu Santi menjawabnya tidak
tahu.
“Silakan masuk Pak! Oh ya. . . Bu Santi di sini saja dulu!”
“Ada masalah apa Pak saya dipanggil ke mari?”
“Itu lho Pak Hendra, Bu Santi sebentar lagi kan akan berangkat ke Jakarta,
maksud saya ke Bogor selama seminggu. Bu Santi sudah menyiapkan tugas-tugas
buat anak-anak. Setelah saya pikir-pikir, anak di kelas akan tertib, tidak ramai, bila
kelas tersebut ada gurunya. Untuk itu saya mengharap kepada Pak Hendra untuk
mengisi jam Bu Santi, bila Pak Hendra lagi kosong!” Pinta kepala sekolah.
“Siap Pak! Saya akan melaksanakannya dengan senang hati!”
“Yach . . . kalau begitu ndak ada masalah lagi. Terima kasih, Pak!”
“Sama-sama, Pak!”
Pak Hendra dan Bu Santi keluarbruangan kepala sekolah. Bu Santi mohon
maaf sebelumnya kepada Pak Hendra, bila hal ini bukan kemauan Bu Santi, tapi
langsung dari bapak kepala sekolah. Pak Hendra manggut-manggut, hanya dia
berpesan kepada Bu Santi agar tidak lupa oleh-olehnya. Oleh-oleh untuk model
pembelajaran dan oleh-oleh yang lainnya.
“Jangan kuatir, Pak! Saya akan memberikan oleh-oleh khusus buat Bapak!”
Tegasnya.
“Yach. . . akan kutunggu oleh-olehnya! Sudah Bu, aku masuk kelas dulu!”
Ketika pembelajaran berakhir, seperti kemarin Bu Santi diantarkan pulang
Pak Nardi. Setiba di rumah Bu Santi, Pak Nardi tidak langsung balik pulang. Dia
diajak makan siang bersama di rumah Bu Santi. Pak Nardi menolaknya, tapi Bu Santi
lagi-lagi dapat menaklukkan hati Pak Nardi.
“Yach . . . sudah! Aku harus membiasakan diri, apalagi yang ngajak orang
yang sangat ku . . . .”
“Ku... apa Pak ?”
“Yach . . . kusayangi, adikku yang manis!”
“Ngrayu22 ya? Kaku! Sampean bukan tipe cowok perayu yang handal!”
“Ndak apa-apa Bu! Aku harus belajar merayu!”
Saat mereka makan, mereka berbincang-bincang asyik sekali. Mulai dari
ibunya yang sakit, tentang kepergiannya ke Jakarta, dan tentang hubungan mereka.
Mereka sudah tidak canggung lagi, bahkan Bu Santi menganggap Pak Nardi sudah
menjadi bagian dari anggota keluarganya. Dari cara Bu Santi meladeni makan Pak
Nardi tak ada bedanya meladeni orang tuanya sendiri.
“Mas. . . tambah lauknya!”
Pak Nardi dalam posisi melahap makanan yang sudah disendoknya, tiba-tiba
terbatuk-batuk mendengar perkataan Bu Santi. Bu Santi bingung.
“Kenapa Mas, tersedak ya?” Tandas Bu Santi.
Pak Nardi malah terbatuk-batuk semakin rancak. Bu Santi berdiri mengambil
air dingin dari kulkas yang ada di sebelahnya, lalu menghampiri Pak Nardi, agar
meminumnya.
“Ayo . . . diminum dulu, Mas!”
Pak Nardi menunduk hampir-hampir rambutnya menyentuh piring yang ada
di depannya. Dia tidak tahan mendengar Bu Santi menyebut dirinya dengan
22
Merayu

19
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

panggilan “mas.” Kata-kata itu terdengar asing di telingahnya, bahkan Bu Santi


mengulanginya sampai empat kali. Bu Santi tidak menyadarinya, Bu Santi malah
memegang bahu Pak Nardi dan memijit-mijitnya.
Pak Nardi menegakkan badannya. Bu Santi masih saja memijit-mijit bahu
Pak Nardi, karena tak tahan, Pak Nardi menyampaikan hal yang sebenarnya.
“Bu, aku tidak tersedak! Aku hanya kaget sekaligus heran sampean
menyebutku, mas!”
“Oh . . . nakal! Nakal!” Balas Bu Santi, sambil mencubit keras-keras lengan
Pak Nardi.
Bu Santi lalu kembali ke tempat duduknya semula. Dia melanjutkan
makannya. Dia hanya diam, tak lagi menatap Pak Nardi. Dia menyumpah-nyumpah
akan membalasnya, sebelum dia menghabiskan makanannya.
Sebaliknya Pak Nardi menyampaikan, bahwa dirinya mulai sekarang akan
memanggil Bu Santi dengan sebutan “adin”, tiba-tiba Bu Santi meringis kesakitan.
“Aduh. . . kakiku! Sakit!”
Pak Nardi berdiri menghampiri Bu Santi.
“Kakiku kejang, Mas! Sakitnya bukan main!”
“Ayo. . . coba berdiri, Din!”
“Aku nggak kuat! Sakit Mas?”
Akhirnya Pak Nardi menggendongnya, lalu merebahkannya di sofa ruang
tamu.
“Mas, ambilkan aku air dingin.”
Pak Nardi tergesa-gesa ke dalam mengambil air dingin di kulkas.
“Di kompres, Din?”
“Ambilkan washlap di atas kulkas, Mas?”
“Ya. . . sebentar!”
Pak Nardi pun bingung menabraki apa saja, sampai kelambu yang
memisahkan ruang tamu dengan ruang keluarga lepas dari penjepitnnya.
“Sampean kompres Mas!”
“Ya. . . ya! Harus dibantu dipijit-pijit biar ototnya lemas! Masih sakit, Din?”
“Suuaakiiiiiit ...Mas! Carikan air panas aja, Mas!”
“Di mana ?”
“Di dapur! Cari sendiri Mas!”
Pak Nardi kebingungan, sampai keringatnya bercucuran. Dia harus bolak-
balik keluar masuk ruang.
“Din, sudah kumasakkan air, terus gimana?” Tanyanya.
“Masukkan di botol! Cari botol di dalam kulkas! Cepat, Mas! Tunggui
airnya!” Pinta Bu Santi.
Pak Nardi pun tergesah-gesah masuk ke dalam. Sementara Bu Santi duduk,
dan bangga atas dirinya. Dia puas bisa membalas kenakalan Pak Nardi.
Bu Santi mengambil kue yang ada di meja ruang tamu. Dia menikmatinya,
sementara Pak Nardi belum juga keluar. Akhirnya Pak Nardi keluar dengan sebotol
air panas di tangan kanannya.
“Lho. . . sudah sembuh, Din? Kok sudah makan kue?” Tanya Pak Nardi
heran.
“Sudah Mas! Aku nggak sakit lagi!”

20
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

“Ooooooooooh ... jadi tadi sampean balas aku ya? Eee. . . berarti sampean
kepingin tak gendong, ya?”
“Ndak . . . ndak! Malah sampean yang nawari gendong aku, aku belum jawab
sampean sudah menggendongku!”
“Aduh Din ... aku capek banget nggendong kamu, ngalah-ngalahi nggendong
Mbok Mis Bakpao! Bingung, ketakutan campur jadi satu! Ndak tahunya hanya balas
dan ngetes aku! Tapi ndak apa-apa, itu buktinya baktiku pada orang yang paling
kusayangi!”
“Ha.. . haaaa. . ..kita satu-satu!” Ucap Bu Santi.
“Sudah Din, kita tak perlu saling balas! Nanti bisa kecewa, timbul sakit hati,
benci, dan akan muncul pertengkaran! Aku tak menginginkan itu!”
“Iya. . . ya. . . maafkan aku, Mas!”
Mereka pun menyadarinya, walaupun apa yang mereka perbuat bukan ada
unsur balas dendam, tapi hanya ingin mengetahui sifat dan karakter seseorang yang
disayanginya.
“Mas, aku nanti enaknya naik apa, ya?” Tanya Bu Santi.
“Ya . . . lihat tujuannya dan faktor keamanan serta kenyamanannya!”
“Itu Mas, tujuannya ke Cisarua – Bogor!”
“Gampang sekali itu! Bisa naik pesawat, kereta api, bus, atau pakai jasa
pengantaran!”
“Kalau jasa pengantaran itu seperti apa, Mas?”
“Jelasnya aku yang ngantarkan Adin, naik apa terserah, tapi Adin yang
bayari!”
“Mas . . . aku serius lho!”
“Yach. . . kalau naik bus, enaknya bus Lorena saja turun Tajur atau garasi
Lorena, lalu naik taksi ke Cisarua atau pakai angkutan umum murah kok
dibandingkan dengan naik taksi. Bila naik pesawat, ya turun bandara, lalu naik taksi
ke Cisarua. Bila naik kereta ruwet, masalahnya harus oper lebih dari satu angkutan.
Menurutku enak naik bus saja, bisa lihat-lihat jalur antarkota!” Papar Pak Nardi.
“Terus naiknya di mana, Mas?”
“Ya . . . dari pasar ikan!”
“Mas, aku tanya beneran lho! Aku bener-bener nggak tahu!”
“Sudah! Kalau naik bus besuk aku pesankan tiketnya! Untuk kapan?
Maksudnya Adin check in kapan?”
“Senin jam 12.00 – 16.00, sudah harus nyampe23 di hotel!”
“Nah, kalau begitu berangkat dari sini minggu, pukul 13.00 sampai sana
mungkin pukul 09.00 – 10.00!”
“Mas… kalau pesan tiket aku ikut! Aku pingin tahu!”
“Yach ... boleh!”
“Mas. . . kita nanti ndak ketemu seminggu pasti aku rindu banget24.
Seumpama Mas bisa dilipat pasti Mas akan kubawa serta!”
“Yach. . . dikira aku pisau lipat, yang sewaktu-waktu bisa motong25 lidah
Adin?”

23
Sampai
24
Sekali
25
Memotong

21
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

“Jangan marah deh, Mas! Aku sayang banget sama Mas!”


“Iya . . . tapi nggak harus gitu, Din! Lagi-lagi nggodain aku! Udah Din aku
pamit, nggak enak lama-lama di sini, kita kan belum apa-apa!”
Pak Nardi pun pulang. Walaupun matahari sudah condong ke barat, tapi
sinarnya masih begitu terasa menyentuh kulit Pak Nardi. Dia langsung mampir ke
agen biro perjalanan. Dia memesan sesuai yang mereka sepakati bersama sewaktu di
rumah Bu Santi tadi.
Keesokan harinya ketika Pak Nardi menjemput Bu Santi, ibu dari Bu Santi
sudah ada di rumah. Dia duduk bersandarkan bantal di sofa ruang tamu. Pak Nardi
menanyakan kapan ibu dari Bu Santi pulang dan bagaimana keberadaan
kesehatannya sekarang ini.
“Kemarin malam, Nak! Seharusnya ibu baru diizinkan pulang sekarang ini,
tapi dokter menawarkan pada ibu bisa pulang sekarang juga. Akhirnya ibu minta
waktu itu juga. Ibu sudah sehat tapi masih lemas!”
“Banyak istirahat, Bu! Jangan kerja dulu! Biar kesehatan Ibu benar-benar
pulih!”
“Iya ..... Nak! Ibu masih cuti! Selama Ibu sakit, Santi yang mengurusi
segalanya di rumah ini.”
“Bu... Santi berangkat dulu! Bapak ke mana Bu!” Ucap Bu Santi sambil
mencium tangan ibunya.
“Bapakmu ke Pak RT, ndak tahu ada perlu apa?”
“Bu, saya mohon pamit!”
“Oh ya Nak! Hati-hati, titip Santi ya!”
“Inggih Bu!”
Di teras rumah Pak Nardi mengeluarkan selembar tiket dan diberikan pada
Bu Santi. Bu Santi menanyakan harga tiketnya dan tempat pemberangkatannya. Pak
Nardi tidak memberikan jawaban apapun kepada Bu Santi. Dia hanya mengomentari
kalau berangkatnya nanti akan diantarkannya.

***

Minggu siang selepas dhuhur Bu Santi sudah siap di rumah menanti


kedatangan Pak Nardi. Dia sudah pamit ke semua keluarga, terutama pada kakaknya,
Wawan. Dia berharap agar kakaknya selalu memperhatikan ibunya secara ekstra.
Tak lama kemudian Pak Nardi datang di rumah Bu Santi. Dia membenahi dan
mengingatkan apa-apa yang harus dibawa Bu Santi. Termasuk Pak Nardi sudah
menyiapkan lap-topnya agar dibawa serta oleh Bu Santi, bila di sana nanti Bu Santi
memerlukannya. Dan, Pak Nardi menghitung tas bawahan yang akan dibawa Bu
Santi.
“Din. . . cukup dua tas aja yang dibawa, untuk laptop dan map-map itu
masukkan ke tas itu aja agar lebih praktis!” Saran Pak Nardi.
Tepat jam 13.00 mereka pun berangkat ke terminal, tidak lama hanya makan
waktu 35 menit mereka sudah sampai di terminal. Mereka mencari bus yang sesuai
dengan data yang ada pada tiket, Bus Lorena W 7562 R.
“Mas. . . itu busnya!”

22
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Mereka menuju bus, Pak Nardi dibantu kernet bus memasukkan barang-
barang bawaan Bu Santi. Kernet bus menyampaikan bahwa bus akan berangkat
pukul 15.00 dari tujuan. Waktu masih cukup lama, akhirnya Pak Nardi bersama Bu
Santi minta izin untuk beli minuman di cafe terminal.
“Din . . . nanti di sana, sampean hati-hati! Ingat kalau turun dari bus
nanti .....”
“Kaki dulu ya, Mas?” Potong Bu Santi.
“Jangan guyon! Aku serius! Aku takut masalahnya sampean baru ke sana,
buta telatah,26 jadi sampean kalau sudah turun dari bus, cari saja taxi, syukur-syukur
cari barengan, yang cewek saja!” Nasehat Pak Nardi.
“Cemburu ya? Kalau aku mendingan27 cari yang cowok saja biar bisa
nglindungin28 aku!”
“Yach sudah, pokoknya hati-hati!”
Waktu pemberangkatan kurang 30 menit. Mereka menuju bus ketika kernet
memberi aba-aba, agar penumpang menempati tempat duduk yang telah ditentukan.
Bu Santi pamit ke Pak Nardi. Ciuman rindu Pak Nardi telah mendarat di pipi Bu
Santi melepas kepergiannya.
“Mas . . . sampean pesan oleh-oleh apa?”
“Ndak usah Din! Hanya rindumu saja kunantikan di kedatanganmu kembali!”

***

Pembukaan acara apresda dimulai pukul 16.00, Bu Santi duduk di kursi


paling depan. Sebelum acara dimulai Bu Santi didatangi panitia untuk dijadikan
peserta kehormatan dalam penyematan tanda peserta. Dalam acara prosesi itu Bapak
Taufiq Ismail mendapat kesempatan untuk meyematkan tanda peserta ke Bu Santi.
“Dra. Santi Hapsari. Dari mana, Bu?” Kata Pak Taufiq ketika menyematkan
tanda peserta dan menyalaminya.
“Sidoarjo, Pak!”
“Lapindo punya!”
Pada akhir acara pembukaan ini salah satu narasumber, Pak Sutardji Calzoum
Bachri, membacakan karyanya yang berjudul Perjalanan Kubur di hadapan para
peserta apresda 2010 yang berjumlah kurang lebih seratus lima puluh orang. Semua
peserta dibuat terkagum-kagum oleh penataan diksi, irama, dan gaya pembacaannya,
sehingga semua peserta memberikan aplpaud29 kepada Pak Sutarji.
Ketika usai pembacaan puisi oleh Pak Sutardji Calzoum Bachri, Pak Taufiq
Ismail memberikan kesempatan kepada peserta untuk menampilkan kebolehannya
dalam acara pembukaan ini. Peserta tidak ada satu pun yang berdiri, akhirnya Pak
Taufik menunjuk Bu Santi yang kebetulan ada di depan untuk membacakan salah
satu puisi karyanya, Tirani dan Benteng.
Bu Santi menuju mimbar. Dia membawa beberapa lembar kertas yang
dikeluarkan dari tasnya. Lalu dia mendekati Pak Taufiq.
“Permisi Pak! Bolehkah saya membacakan puisi karya saya sendiri?”
26
Daerah/daerah/kawasan
27
Lebih baik
28
Melindungi
29
Tepuk tangan

23
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

“Boleh … boleh! Itu lebih bagus!”


Bu Santi memilah-milah lembar demi lembar dari puisinya. Setelah
menemukan yang menurutnya pas dan baik, kemudian ditarik dan ditaruhnya di
tumpukan paling atas. Puisi tersebut diberi judul Sepohon Kayu Di Tengah Gurun
yang ditulisnya menjelang keberangkatan Bu Santi mengikuti kegiatan apresda.
“Maaf Bapak-Ibu, saya akan membacakan karya saya, yang saya buat
sebelum keberangkatan saya ke tempat ini. Puisi ini saya tulis ketika menanti rasa
kantukku yang mendera. Puisi ini kuberi judul :
Sepohon Kayu Di Tengah Gurun

sepohon kayu di tengah gurun


hanya mampu menengadah
tak lagi melangkah
sepohon kayu di tengah gurun
hanya kepada malam titahkan asa
pada kasih yang kuasa
sepohon kayu di tengah gurun
seberkas torehan panjang mata air
mengering sudah di air mata
sepohon kayu di tengah gurun
hanya kepada malam aku meminta
hijaunya jiwa
putihnya maghfirah
sepohon kayu di tengah gurun
pupusan daun pada reranting
tetapkan mimpi di padang gersang
sepohon kayu di tengah gurun
bilakah kuberteduh di ketiak langit
di bawah bayang mentari walau semenit
pada senjaku
“Terima kasih!”

Semua peserta yang sebelumnya hingar-bingar ditambah tepuk tangan buat


Bu Santi, tiba-tiba seperti terhipnotis saja. Melihat penampilan dan gaya yang sedikit
meniru gaya Pak Sutardji, Bu Santi melangkah ke sudut mimbar. Dengan suara yang
menggema dia sanggup membungkam suasana. Semua mata tertuju padanya, sampai
pembacaan puisi selesai dibacakannya suasana masih terbawa. Tiba-tiba Pak Sutardji
berdiri memberi tepuk tangan buat Bu Santi. Gedung yang sebelumnya terasa hening,
mendadak ledakan suara tepuk tangan para peserta menggetarkan kaca-kaca jendela
ruang pertemuan.
Di akhir acara pembukaan apresda Bu Santi dipanggil Pak Sutardji. Dia
ditanyai dari mana asalnya dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pencitraan puisi.
Dia menjawab semua pertanyaan yang diajukan kepadanya. Dan, pada dasarnya Pak
Sutardji secara khusus sangat terkesan dengan penampilan Bu Santi saat
membacakan puisi.
Seusai acara pembukaan para peserta istirahat dan mereka diharuskan sudah
hadir di ruang pertemuan tepat pukul 19.00. Di waktu istirahat para peserta yang

24
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

baru malam pertamanya berada di bumi Cisarua lebih banyak menggunakan


waktunya di pelataran hotel yang cukup luas. Mereka asyik ngobrol ke sana ke mari
seusai makan malam. Begitu juga Bu Santi makan malamnya agak terlambat, dia
bersama teman sekamarnya, Ibu Ni Nyoman Lugra, peserta dari Gianyar – Bali.
Mereka sengaja mencari tempat di pojok ruangan. Ketika mereka melewati meja
makan para narasumber, Bu Santi dipanggil Pak Taufiq.
“Bu Santi …. gabung di sini saja!” Ajak Pak Taufiq.
“Terima kasih, Pak!” Balas Bu Santi.
“Ayo …. Silakan! Ndak apa-apa, Bu!”
Bu Santi melihatnya bahwa di meja tersebut telah duduk para narasumber, di
antaranya Pak Sutardji Calzoum Bachri, Pak Taufiq Ismail, Pak Danarto, Agus R.
Sarjono. Orang-orang yang selama ini hanya dikenal namanya saja melalui karya-
karyanya, tapi sekarang ini berada di depan matanya. Bu Santi bagaikan mimpi saja,
dia bisa berbincang-bincang dengan mereka dan diajak makan semeja. Ini merupakan
kesempatan yang baik pikir Bu Santi. Dan lagi, Bu Santi tak biasa menolak ajakan
seseorang yang menurutnya baik, tak terasa langkah Bu Santi mendekati kursi dan
tangan kirinya sudah meraih sandaran kursi. Tiba-tiba Pak Surtardji dan Pak Danarto
mengangguk serempak mempersilakan Bu Santi duduk. Langsung saja Bu Santi
menyeret pelan kursi yang dipegangnya, sampai dia lupa bahwa dia bersama dengan
temannya.
Mereka ngobrol bareng. Asyik sekali. Mereka yang sebelumnya sudah akrab
dalam komunitas penulis, hanya Bu Santi yang satu-satunya orang yang benar-benar
baru. Jadi Bu Santi menjadi tumpuhan pembicaraan. Apalagi usia Bu Santi masih
tergolong muda, sehingga segala macam pertanyaan mengarah padanya. Namun Bu
Santi enjau saja menjawab, kadang-kadang dia harus bercerita tentang dirinya
sendiri. Dan ini pun dirasakan Bu Santi merupakan kebanggaan tersendiri, yang tidak
akan pernah terulang kembali kesempatan seperti ini.
Bu Santi menghentikan pembicaraannya ketika bahunya ada yang
mencoleknya. Betapa terkejutnya dia ketika menolehnya ternyata Bu Ni Nyoman
Lugra yang berdiri di belakangnya. Bu Santi baru menyadari bahwa dia tadi benar-
benar lupa dan membiarkan Bu Nyoman makan sendirian.
“Bu … saya pinjam kuncinya! Saya ke kamar dulu!”
“Oh ya… maaf, Bu! Saya tadi lupa kalau bersama Ibu!”
Ketika Bu Santi memberikan kunci kamar, Bu Ni Nyoman langsung minta
izin pamit dulu. Bu Santi merasa bersalah. Dia bingung mau menyusul Bu Nyoman,
tapi alasan apa yang bagus untuk memotong pembicaraan dengan para narasumber.
Akhirnya dia melirik jam dan menyampaikan pada mereka.
“Bapak-bapak … saya minta izin dulu, sekarang sudah pukul tujuh kurang
sepuluh menit! Jadi saya harus siap-siap!”
“Siap-siap ke mana, Bu? Kegiatan sekarang ini yang seharusnya diisi oleh
Pak Sutardji ditiadakan, baru besuk pagi setelah sarapan pagi. Tadi kan sudah
diumumkan, Bu?” Kata Pak Agus R. Sarjono.
Bu Santi merasa bahwa izinnya tak bakal lolos. Dia sebenarnya masih sangat
senang ngobrol dengan mereka, hanya dia sudah terlanjur minta izin. Dia akhirnya
mencari-cari jawaban yang menurutnya logis.

25
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

“Mau ….?! Ada perlu dengan ibu tadi! Ada yang harus kami kerjakan
sekarang!” Jawab Bu Santi sekenanya. “Bodohnya aku ini! Kegiatan dicancel30
sampai aku tidak tahu,” batinnya.
“Oh ya, silakan, Bu!”
Bu Santi langsung berdiri setelah izinnya direstui. Dia langsung menuju ke
kamarnya, kebetulan jarak kamar Bu Santi dengan ruang makan tidak begitu jauh.
Ketika dia sampai di kamar, pintu dalam keadaan terkunci dan keberadaan Bu
Nyoman tidak ada di dalam. Akhirnya dia keluar mencari Bu Nyoman di ruang
pertemuan, ternyata juga tidak ditemukannya. Dia pun kembali ke kamarnya, dengan
mengitari ruang pertemuan dengan tujuan kalau di sana ada Bu Nyoman. Dia
sebelum sampai di kamarnya, tiba-tiba seseorang memanggil-manggil namanya.
Ketika dilihatnya bapak-ibu yang duduk-duduk di lapangan tennis, seseorang
melambai-lambaikan tangan ke arahnya, ternyata Bu Nyoman. Bu Santi pun
akhirnya ikut bergabung dengan mereka.
“Mari … Bu! Kita bersantai di sini!” Kata Bu Ni Nyoman.
“Ayo …sini, Bu! Kita nikmati hari pertama, malam pertama kita di bumi
Cisarua, di bawah terang bulan, di bawah ketiak langit, di bawah hati yang
memendar rindu…!”
“Pak …ndak malu sama Bu Santi!” Kata Bu Nyoman.
“Tidak! Malah aku ingin jadi seperti Bu Santi!” Ucapnya.
Bu Santi hanya tersenyum saja mendengar temannya asal Ponorogo – Jawa
Timur, yang mencoba mengaktualisasikan dirinya melalui kata-kata yang terucap
secara spontan. Semua yang ada menyadari bahwa itu hanyalah candaria saja
daripada tidur di kamar tanpa memperoleh apa-apa. Bahkan mereka saling tukar
pikiran tentang sastra, pekerjaan, keluarga, maupun cinta. Tiba-tiba hp Bu Santi
bergetar, ketika dilihatnya sms dari Pak Nardi.
“Din, aku udah kangen sekali!”
“Aku juga Mas! Belum semalam kumerebahkan diri di indahnya malam
pertama di bumi Cisarua. Dengan taburan beribu bintang dan cahaya bulan sabit
anganku menari di ujung jari, memapah rindumu, dari tataran garis phitagoras yang
mencumbu,” balas Bu Santi.
“Din … aku tak mengerti dengan bahasa tembelek31-mu itu!”
Bu Santi tidak membalas sms Pak Nardi. Pikirannya tiba-tiba terbersit ingin
memberi kabar kepada Pak Hendra, guru senior yang serumpun di sekolahnya. Dia
akan menceritakan tentang dirinya yang bertemu dan ngobrol bareng dengan
narasumber yang selama ini dikagumi. Dia yang duduk semeja sewaktu makan
bersama. Sementara Bu Santi yang duduk bergabung dengan teman-teman peserta
apresda hanya diam dan asyik memegangi hp-nya. Kadang-kadang teman-temannya
membicarakannya, malah Bu Santi hanya membalasnya dengan senyuman.
“Ayo … Bu Santi, kita ngobrol santai di sini! Apa Ibu sudah kangen dengan
yang di rumah?”
“Ndak! Saya hanya ingin ngasih kabar di rumah aja kok Pak!”
“Kangen dengan bapaknya anak-anak!”
“Ya … Pak!”

30
digagalkan
31
Kotoran ayam

26
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

“Apa keberangkatan Bu Santi tak diberi sangu 32 spesial?”


“Iya … Pak!” Jawab Bu Santi polos.
Semua teman-teman Bu Santi tertawa lepas. Mereka semua pandangannya
tertuju pada Bu Santi, malah Bu Santi heran dengan mereka. Menurutnya apakah ada
yang salah dengan jawabannya. Bu Santi langsung saja mencari tahu ke Bu Nyoman
tentang situasi yang ada. Dan Bu Nyoman membisikinya. Akhirnya Bu Santi
meluruskan apa yang telah dikatakannya sebelumnya, tapi teman-teman Bu Santi
sudah tak menggubrisnya.
“Pak …. aku masih lajang! Pacar pun aku belum punya!” Jawab Bu Santi
meredam situasi.
“Aku juga Bu!” Jawab mereka serempak kecuali Bu Nyoman yang sudah
mengetahui diri Bu Santi.
Bu Santi akhirnya mengacuhkan saja apa yang telah dipergunjingkan teman-
temannya. Dia langsung membuka hp-nya untuk menghubungi Pak Hendra. Dia
menceritakan bahwa dirinya telah ngobrol dengan orang-orang yang selama ini ia
kagumi. Dan, dia menceritakan juga bahwa dirinya telah mendapat kehormatan
untuk membacakan karyanya di depan peserta apresda.
“Wah …waaah… bagus Bu! Aku juga kepingin33 sekali lihat Pak Taufiq, Pak
Sutardji, Pak Danarto, dan yang lainnya. Oh ya Bu, jangan lupa dicatat kalau perlu
direkam apa saja yang disampaikan mereka,” kata Pak Hendra.
“Inggih Pak, jangan kawatir!”
“Oh … ya Bu, di sekolah ramai sekali membicarakan Ibu dengan Pak Nardi!
Apa benar Ibu ada hubungan serius dengan Pak Nardi? Aku sebagai famili Pak Nardi
sangat setuju bahkan merestui kalau itu memang benar!”
“Ndak ada apa-apa kok Pak! Ndak tahulah Pak!”
“Yach … ndak apa-apa Bu! Ini hanya berupa wacana saja yang beberapa hari
kutangkap dari suara-suara yang kudengar. Yang lebih tahu kan Ibu sendiri sebagai
pelakunya langsung. Perasaan hati tak mungkin bisa ditutup-tutupi walaupun dengan
segunung argumen.”
Bu Santi terdiam setelah membaca sms dari Pak Hendra. Dia bimbang ingin
menyampaikan keberadaan dirinya yang sebenarnya tentang hubungannya dengan
Pak Nardi, tapi dari sisi lain dia beranggapan bahwa masalah ini masih terlalu dini
untuk diketahui orang banyak. Dia menyadarai juga hal ini tak bisa dipungkiri bahwa
teman-temannya mampu membaca keberadaan dirinya dengan Pak Nardi, sampai dia
berasumsi bahwa dirinya ada hubungan khusus dengan Pak Nardi. Dan dalam
batinnya memang benar apa yang dihembuskan oleh teman-temannya, bahwa dirinya
memang benar-benar ada perasaan spesial kepada Pak Nardi. Akhirnya Bu Santi
memberanikan diri mengirim sms kepada Pak Hendra bahwa dirinya telah menerima
ungkapan perasaan Pak Nardi kepadanya.
“Pak Hen, memang benar apa yang dikatakan teman-teman! Apa aku salah
menolak ungkapan perasaan Pak Nardi yang begitu tulus?”
“Oh tidak, Bu! Aku juga ikut senang kok, selamat ya Bu! Jangan kawatir, aku
sebagai teman dan calon saudara Ibu aku akan membungkus rapat-rapat rahasia ini,
sampai rahasia ini menetas pada waktu yang tepat.”

32
Uang saku/pesangon
33
Ingin

27
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Bu Santi masih asyik memainkan hp-nya. Dia tidak menggubris teman-teman


komunitas peserta apresda yang menggodanya. Bahkan dia ditanyai beberapa kali tak
menjawabnya. Capai juga, akhirnya Bu Santi mengantongi hp-nya.
“Bu….mana mungkin Ibu yang secantik ini belum punya suami atau pacar?”
“Betul Pak! Aku ini masih single. Lihat ini KTP-ku,” kata Bu Santi.
Teman-teman Bu Santi yang menggodanya menghentikan candanya, karena
melihat Bu Santi yang semakin serius menjawab canda dari teman-temannya itu.
Akhirnya mereka bubar karena gerimis tiba-tiba turun.
“Bu Santi ….. maaf ya, teman-teman hanya bercanda saja sebagai awal
perkenalan dengan Ibu, kami tak punya maksud apa-apa! Kami ini orang baik-baik
kok!” kata Pak Johan peserta apresda dari Mataram.

***

Keesokan harinya sewaktu kegiatan proses kreasi penciptaan sebuah karya


sastra, Pak Taufiq membeberkan terwujudnya kumpulan puisi miliknya “Tirani dan
Benteng.” Dalam kupasannya, beliau dengan gagahnya menceritakan dirinya sebagai
pelaku sejarah, pengamat sejarah, penulis sastra, sampai jualan jarit batik antarkota.
Kadang-kadang beliau berdiri tegak dengan suara lantang meneriakkan diksi yang
menghadirkan kembali peristiwa masa lampau. Bagaimana beliau melihat,
merasakan, lalu menuliskan peristiwa itu dalam lembar-lembar dokumen. Kadang-
kadang beliau menangis sampai kata-kata yang keluar dari mulutnya agak tersendat-
sendat seirama tarikan irama tangisnya. Tiba-tiba beliau tertawa lepas walaupun air
mata masih menetes di pipinya.
Beliau berpesan kepada para peserta apresda bahwa perjuangan belum
selesai. Beliau berdiri dengan mengacung-acungkan tangan kanannya tinggi-tinggi,
lalu menuding-nuding para peserta apresda sambil berteriak dengan suara yang amat
berat meluncur dari bibirnya. Dan dalam genggamannya ditariknya selendang sutera
warna pelangi.

“yaa… kepada engkau


kutitipkan negeri ini
Indonesiaku yang tercinta
pada pundakmu
kugantung mimpi indah
pada pusaka
pada pertiwi
pada anak-anak negeri
aaaaaaaaach ……………”

Belum selesai membacakan puisinya, Pak Taufiq roboh di meja. Semua


terperangah dengan akting maut Pak Taufiq mampu membuat peserta terpesona.
Sementara Pak Sutardji dan Wan Anwar yang ada di samping Pak Taufiq, spontan
berdiri dari duduknya setelah mendengar rintihan dan pesan yang terucap dari Pak
Taufik : “ Bu Santi, lanjutkan ….!”
Semua narasumber yang ada di depan terkejut, lalu ramai-ramai membopong
Pak Taufiq keluar ruang pertemuan. Semua peserta kebingungan dengan adegan yang

28
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

diperankan Pak Taufiq yang begitu histeris telah membawa celaka. Kurang lebih lima
belas menit suasana histeris menyelimuti ruang pertemuan. Para peserta saling
bertanya dan mencoba menerka-nerka kejadian yang benar-benar di luar dugaan.
Untung saja Pak Sutardji yang masih duduk di meja narasumber langsung
menetralisasikan suasana. Dan beliau menyampaikan apa yang diucapkan Pak Taufiq
sebelum tak sadarkan diri.
“Maaf Saudara-saudara peserta apresda, kehadiran situasi pada masa
perjuangan Pak Taufiq telah hadir kembali kepada beliau, dan beliau tak sanggup
memapahnya. Yaaa … seperti itulah adanya gambaran di masa perjuangan dan
sampai sekarang perjuangan itu tak ada ujungnya. Oh ya! Pak Taufiq tadi
menyampaikan bahwa Bu Santi disuruh melanjutkan pembacaan puisi beliau. Mana
Bu Santi?” Papar Pak Sutardji.
Bu santi yang duduk di deretan tengah tiba-tiba berdiri ketika Pak Sutardji
menyebut namanya. Dia belum tahu ada apa namanya disebutnya, lalu Pak Sutardji
mengulangi kalimat yang dikatakannya. Akhirnya Bu Santi maju ke depan. Di
hadapan Pak Sutardji, Bu Santi disodori selembar kertas HVS yang berisi coretan
langsung Pak Taufiq.
“Bu … Ibu mendapat mandat dari Pak Taufiq untuk melanjutkan pembacaan
puisinya tadi!”
“Aduuuh … mengapa harus saya Pak! Saya nggak bisa, takut salah!”
“Ndak apa-apa! Ini mandat langsung dari beliau!”
“Iya … Pak! Saya minta waktu sebentar untuk mempelajarinya.”
“Silakan …. saya beri waktu lima menit!”
Bu Santi perlahan-lahan mundur ke belakang mencari tempat duduk. Ternyata
kursi di barisan depan sudah terisi semua. Dia langsung menuju tempat duduknya
semula, tiba-tiba Pak Sutardji memanggilnya untuk menduduki kursi Pak Taufiq
yang kosong. Bu Santi bingung dan canggung untuk melakukan apa yang disarankan
Pak Sutardji, tapi Pak Sutardji memaksanya. Akhirnya Bu Santi seperti ada yang
menggerakkan saja dia langsung menuju ke kursi Pak Taufiq.
Sudah cukup lama waktu yang diberikan kepadanya. Akhirnya Pak Sutardji
mempersilakannya untuk melanjutkan membacakan coretan Pak Taufiq.
“Terima kasih! Sebelumnya saya mohon maaf bila yang saya tampilkan nanti
kurang berkenan dan tidak sesuai dengan harapan Bapak-Ibu, terutama kepada Pak
Taufiq. Baik saya ulangi saja dari awal ……. :

“yaa… kepada engkau


kutitipkan negeri ini
pada pundakmu
kugantung mimpi indah
pada pusaka
pada pertiwi
pada anak-anak negeri.
kami yang semakin renta
sementara perjuangan masih belum apa-apa
zaman keburu menelanku
padahal aku masih ingin bertahta
di lorong-lorong masa.

29
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

kami yang tak lagi muda


tak lagi bisa memapah
tak lagi bisa berkata-kata
hanya sejarah kisahkan fakta.
kami yang lagi renta
menghantar apa yang bisa.
kami yang lagi renta
titipkan tongkat sejarah.
kami yang lagi renta
ingin bentangkan sayap pada jemari
mengubur kemunafikan
memendam kepalsuan
menggorok ketidakadilan.
kami yang lagi renta
biar tahu arti sebuah semangka
dengan darah rakyat yang ternoda
buat negeri ini!
terima kasih.”

Setelah membaca puisi, Bu Santi menyerahkan lembar tersebut ke Pak


Sutardji dengan dibarengi tepuk tangan para peserta. Bu Santi pun kembali ke tempat
duduknya. Dia disalami para peserta yang kebetulan duduk di deretan pinggir.
Sementara teman-teman yang lainnya tak henti-hentinya memuji Bu Santi.
Suasana ruang pertemuan masih terlihat gaduh. Tapi, ketika Pak Sutardji
angkat bicara tiba-tiba suasana seperti terhipnotis saja. hanya suara Pak Sutardji yang
begitu mantap menggema di ruang pertemuan. Beliau memuji penampilan Bu Santi,
secara fisik maupun gaya, irama, dan nadanya benar-benar sempurna. Mendengar
apa yang disampaikan Pak Sutardji, tepuk tangan para peserta kembali menggetar
ruang pertemuan buat Bu Santi. Sebaliknya Bu Santi hanya tersenyum malu sambil
menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Selanjutnya Pak Sutardji menjelaskan bagaimana proses penciptaan puisi
sampai pencitraan puisi. Para peserta dengan antusiasnya mendeskripsikan apa yang
disampaikannya. Sampai waktu yang sebenarnya milik Pak Taufiq habis. Dilanjutkan
materi kedua bagian Pak Sutardji, karena materi sudah diberikan maka Pak Sutardji
memberi tugas kepada para peserta apresda untuk mendeskripsikan apa yang ingin
dituliskan. Untuk itu Pak Sutardji memberi kebebasan kepada peserta agar dapat
mengakomulasikan suasana yang ada dengan pengalaman diri. Akhirnya Pak Sutardji
menyudahi pertemuan dan sampai ketemu nanti sore di acara Sastra adalah
manifestasi diri dan budaya.
Peserta keluar ruangan. Mereka bebas ke mana saja, ada yang langsung
disibukkan dengan tugas yang diberikan bahkan ada yang langsung masuk kamar
terhanyut dalam bantal gulingnya. Sementara Bu Santi hanya santai saja. Pikirnya
tugas yang diberikan kepadanya itu enteng sekali, pekerjaan yang sudah menjadi
kebutuhan sehari-harinya. Dia mengamati sekitar hotel, mulai dari suasana,
pepohonan, dan apa saja yang bisa dilihat dan dirasakannya. Dia lalu kembali ke
kamarnya.
Bu Nyoman di kamar langsung membuka-buka buku panduan dari Pak
Sutardji. Dia kebingungan mulai dari mana dia harus bekerja. Nyatanya materi Pak

30
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Sutardji terlalu sulit diterjemahkan secara baik oleh Bu Nyoman. Dia beberapa kali
mendesis bahwa tugas yang diberikan Pak Sutardji betul-betul sulit, sampai dia
berkomentar ke Bu Santi yang kebetulan lagi berbaring di ranjangnya.
“Bu … aku nggak bisa buat puisi. Ibu malah santai-santai, apa nggak buat
puisi?” Tanyanya.
“Yaaaa … buat Bu! Tapi nanti saja, aku lagi pingin tiduran!”
“Lho …… nanti saja? Sekarang kan sudah jam satu, kapan buatnya? Padahal
pekerjaan harus dikumpulkan jam empat !”
“Yaaaaa ….. nanti, Bu! Ibu buat saja dulu, aku masih ingin istirahat
sebentar!”
Batin Bu Nyoman merasa lega bahwa teman sekamarnya punya niatan tidak
membuatnya. Akhirnya dia memutuskan istirahat juga. Tidak begitu lama dia sudah
terbawa oleh rasa capai dan kantuknya yang berat. Sementara Bu Santi yang
berbaring lalu membetulkan posisinya untuk setengah selonjor di ranjangnya. Dua
bantal yang ditumpuknya dipakai sebagai sandaran. Dia lalu mengambil selembar
kertas dan alat tulis. Dia mulai mencoret-coretnya.
Kertas yang dibawa Bu Santi sudah penuh coretan. Betul-betul coretan yang
berupa arsiran yang memenuhi lembaran. Pada sudut arsiran tertulis : “Apa yang
meski kutulis!”
Dia menoleh ke Bu Nyoman yang sudah tertidur pulas. Lembar coretan yang
masih dalam genggamannya diremas-remas sampai menjadi bulatan kecil. Digigitnya
kuat-kuat bulatan kertas itu, sementara pikirannya masih melayang-layang apa yang
hendak ditulisnya. Padahal dia sudah memotret suasana, lingkungan sekitar, masalah
dirinya, tapi belum juga ada ide yang cocok untuk ditulisnya. Dia lemparkan bulatan
kertas itu ke bak sampah, tapi lemparan itu tidak masuk malah menggelinding di
bawah kaca rias. Tiba-tiba Bu Santi terperanjat ketika membaca tulisan yang ada di
balik sandaran kursi. Dia langsung mengambil kertas yang ada di meja samping
ranjangnya.
“Yaaa…. aku dapat ide. Alamanda ….a…la….man…da…!”
Bu Santi langsung menggoreskan penanya mengikuti arah yang ada dalam
pikirannya. Tidak begitu lama, dua puluh menit saja dua puisi telah ditulisnya. Dia
langsung saja terserang oleh rasa kantuknya yang tidak bisa ditahannya. Akhirnya dia
tertidur juga dengan pena yang masih ada di sela jemarinya dan lembaran kertas yang
menutupi dadanya.
“Kriiiing… kriiiing…!” Suara telepon membangunkan mereka. Bu Nyoman
mengangkat telepon tersebut ternyata pemberitahuan dari panitia bahwa acara
pengisian materi akan dimulai. Sementara Bu Santi membereskan kertas-kertas yang
ada di ranjangnya. Melihat Bu Santi sudah mengerjakan tugas yang diberikan Pak
Sutardji, Bu Nyoman kebingungan sambil mondar-mandir dalam ruangan. Dia
merengek minta dibuatkan puisi kepada Bu Santi. Ketika melihat kertas Bu Santi ada
dua puisi, Bu Nyoman merengek untuk minta satu puisi Bu Santi. Bu Santi pun
mengangguk. Dengan spontan Bu Nyoman menciumi pipi Bu Santi sambil berkali-
kali mengucapkan rasa terima kasihnya.
‘Bu…. makasih ya! Sebagai gantinya Ibu minta apa?”
“Minta apa ya?”

31
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

“Minta apa saja boleh, Bu! Asalkan aku bisa mengabulkan dan ada. Apa mau
dipijiti?”
“Ndak Bu, aku gak capai!”
“Yach …sebutkan Ibu minta apa?”
“Udah … aku minta diceritai tentang ngaben!”
“Okey… nanti malam! Ayo Bu Santi mandi dulu, aku mau mempelajari puisi
ini. Siapa tahu aku nanti disuruh maju, kan celaka dua kali!”
Bu Santi pun masuk kamar mandi. Sementara Bu Nyoman asyik dan bingung
menafsiri puisi yang ditulis Bu Santi. Dia membacanya sampai Bu Santi yang ada
dalam kamar mandi mendengarnya. Pembacaan yang salah penggal, irama yang
sumbang, sampai Bu Santi tersenyum sendiri. Bu Santi menyadari bahwa puisi hak
otoritas seorang penulis yang tidak dapat diterjemahkan secara pas oleh siapa pun.
Ketika Bu Santi keluar dari kamar mandi dan berbenah diri, Bu Nyoman
masih asyik membaca puisi, malah Bu Santi disuruh mengoreksinya.
“Bagaimana Bu, sudah benarkah saya membacanya?”
“Benar! Hanya titik tekan penguat diksi yang masih kurang. Puisi itu punya
jiwa, Bu! Ibu harus mampu membaca setiap karakter kata. Ayo Bu… sampean mandi
dulu, nanti kuajari cara membacanya!”
“Aku ndak mandi Bu, nanti malam saja! Aku sudah bangga dengan puisiku
ini. Eee …. maksudku puisi pemberian Ibu!”
Seusai berbenah diri mereka berangkat ke ruang pertemuan. Ternyata Pak
Taufiq, Pak Sutardji, Pak Danarto, Wan Arwar, dan Agus R. Sarjono sudah berada di
tempatnya. Peserta yang masuk langsung menyerahkan tugasnya ke Pak Wan Anwar
sesuai perintah Pak Sutardji dan hasil karya harus anonim. Hasil karya akan di ambil
tiga yang terbaik dan akan dibacakan di depan forum oleh penulisnya.
Pak Sutardji memulai memaparkan materi. Sementara Pak Wan Anwar
dibantu Pak Agus R. Sarjono memilih tiga puisi terbaik dari seratus empat puisi yang
masuk. Setengah jam berlalu, Pak Wan Arwar menyerahkan tiga puisi ke Pak
Sutardji. Pak Sutardji menyudahi pemberian materinya, beliau menimang-nimang
tiga lembar puisi tersebut.
“Baiklah, saya tunjuk puisi pertama dengan judul Hanya Kepada Malam.
Untuk itu yang merasa menulisnya agar membacakannya. Milik siapa ini?”
Mendengar puisi yang disebut Pak Sutardji, Bu Santi mencolek Bu Nyoman
yang lagi asyik ngobrol dengan temannya. Bu Nyoman langsung mencak-mencak
dan merasa tidak percaya, sampai Pak Sutardji mengulangi panggilan yang kedua
kalinya.
“Iya….. saya Pak! Gimana ini Bu, aku gak bisa?”
”Ayo maju saja Bu!” Kata Bu Santi.
Bu Nyoman maju dengan perasaan gemetar. Dia langsung menghadap ke
meja narasumber.
“Apa benar ini puisi Ibu?”
“Iya benar Pak!”
“ Tolong Bu, bacakan puisi karya Ibu ! Oh ya Ibu ini siapa ? Dari mana?”
Tanya Pak Sutardji.
“Saya Ni Nyoman Lugra dari Gianyar - Bali.”

32
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Bu Nyoman menuju podium. Dia terlihat bingung, gemetar, dan apa yang
hendak diperbuatnya. Puisi yang ia pegang ditaruhnya di atas podium. Dengan
pandangan kosong dia menatap para peserta apresda. Untung saja sekelebat dia
melihat Bu Santi yang berdiri di antara para peserta yang lagi duduk. Akhirnya, mic
yang ada di podium diambilnya, lalu dia kembali ke tengah-tengah mimbar. Ketika
Bu Nyoman menatap lagi para peserta, Bu Santi terlihat memberikan acungan jempol
kepadanya. Mulailah Bu Nyoman membacakan puisinya yang berjudul …

Hanya Kepada Malam

hanya kepada malam


aku meminta
jangan kau beri aku kelam
karna aku benci kegelapan
jangan kau beri aku hati
karna aku mudah prustasi

hanya kepada malam


aku berharap
jangan kau menebar suram
karna aku takut kesunyian
jangan pula kau cipta itu resah
karna aku mudah putus asa
hanya kepada malam
aku memohon
berilah aku setitik embun
karna proteksi angkuhnya kasih
telah membakar diri

Pembacaan puisi yang pertama oleh Bu Nyoman telah selesai. Tepuk tangan
para peserta apresda tak kalah hebatnya dari Bu Santi di acara pembukaan. Ketika
lembar puisi dikembalikan ke Pak Sutardji, Pak Sutardji memberikan acungan
jempol buat Bu Nyoman, “Bagus!” Bu Nyoman pun kembali ke tempat duduknya
dengan tubuh yang masih gemetar.
“Bagaimana Bu pembacaan puisi saya tadi?” Tanya Bu Nyoman dengan nafas
yang masih terengah-engah.
“Bagus … Bu! Saya tak mengira Ibu bisa membawakannya sebagus itu!”
Bu Nyoman langsung menciumi pipi Bu Santi sampai tetangga kanan-kirinya
minta diciumi. Bu Nyoman tak menghiraukannya pokoknya dia telah berhasil berkat
pertolongan Bu Santi.
Tiba giliran puisi kedua, Pak Danarto diberikan hak untuk memandunya.
Beliau menyebutkan judul puisi yang dipegangnya.
“Silakan, siapa yang punya Inginku ?”
Seorang peserta bapak-bapak dari barisan paling belakang maju ke depan.
Dia tenang sekali berjalan menuju mimbar.
“Siapa nama Bapak? Asalnya dari mana?”
“Saya … G. Sony Firdaus, asal Gorontalo- Sulawesi.!”
“Ya …. silakan dibaca, kami akan mendengarkannya!”

33
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Dia menerima mic dan lembar puisinya dari Pak Danarto. Dia semakin
tenang melangkah ke tengah-tengah mimbar, sampai para peserta kepingin cepat-
cepat tahu gaya pembacaan dan penataan diksinya.
“Baik, saya akan membacakan puisi saya yang berjudul Inginku!”

Inginku
“pada warna langit di malam istighosah
kuhanya bisa menghitung bintang
tanpa rembulan, dalam proteksi
kudekap cemburu yang membabi buta
pada felling yang kian mematri
salahkah jika bebintang berbisik
lewat desiran angin malam
menyindir pilar-pilar masjid, yang menegak
mencibir sinis tingkahku
untuk sebuah usaha
pada hidup setelah mati.”

Suasana ruang pertemuan tampak sunyi, tak sepatah katapun keluar dari para
peserta. Penampilan Pak G. Sony Firdaus benar-benar memikat hati para
pendengarnya. Dari performennya yang kalem tapi dalam membawakan puisinya
benar-benar garang, lincah, dan suaranya yang mantap mampu membungkam para
pendengarnya.
“Bagus … bagus …. bagus sekali! Singa yang terjaga dari tidurnya. Tak
kusangka, penampilan yang begitu kalem tapi cengkeramannya mampu menembus
ke uluh hati. Benar-benar mantep!” Ujar Pak Danarto.
Tepuk tangan para peserta spontan menggema lebih keras lagi setelah Pak
Danarto memberikan applaus kepada Pak Sony.
“Baiklah, tinggal satu puisi yang belum terbacakan. Untuk itu saya berikan
pada Pak Taufiq,” kata Agus R. Sarjono.
“Ya … terima kasih! Bapak-Ibu saya mohon maaf tadi pagi sempat membuat
heboh di ruangan ini. Oh ya, terima kasih juga buat Bu Santi, katanya tadi pagi hebat
sekali. Sayangnya saya tidak melihatnya. Mana Bu Santi?”
Bu Santi yang duduk di deretan tengah langsung berdiri. Pak Taufiq
menyampaikan kembali terima kasihnya dan Bu Santi pun membalas mengangguk.
”Baiklah, akan kupanggil penulis puisi ini. Puisi ini bagus sekali. Permainan
diksi, rima, dan ritmenya bagus. Puisi ini diberinya judul Dua Satu Lima. Silakan
maju yang merasa menulis puisi ini?” Kata Pak Taufiq.
Semua peserta saling memandang. Tak satu pun peserta yang berdiri. Melihat
hal ini Bu Nyoman langsung menyuruh Bu Santi untuk berdiri, tapi Bu Santi tidak
mau dengan alasan malu dengan peserta yang lain. Sementara Pak Taufiq
menganggap puisi yang dipegangnya itu tak bertuan, maka beliau akan menyumpah
serapah bahwa penulisnya itu tergolong orang tak bertanggung jawab. Mendengar
apa yang disampaikan Pak Taufiq Bu Santi langsung berdiri lalu maju ke depan
mimbar.
Peserta apresda tak percaya kalau penulis puisi itu adalah Bu Santi.
Dikiranya, Bu Santi mau izin ke belakang karena dia lewat agak memutar dan

34
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

menyusuri dinding ruangan. Tak tahunya di depan Bu Santi menuju ke Pak Taufiq.
Ketika Pak Taufiq memberikan lembaran puisi itu, kontan saja sambutan hangat para
peserta apresda meledak.
“Saya tak perlu memperkenalkan Ibu lagi, semua sudah tahu siapa Ibu. Saya
sudah merasa dari awal. Untuk yang ketiga kalinya kita bertemu, memang dasar
jodoh. Maksud saya Ibu sebagai pewaris dan pengembang sastra setelah generasi
kami. Sebagai hadiah, ini kuberikan buku Tirani dan Benteng yang lengkap dengan
coretanku di masa muda.!”
“Terima kasih, Pak! Saya benar-benar mendapat kehormatan dan merasa
tersanjung!”
Bu Santi mengambil mic yang ada di podium lalu dia berjalan mendekati
kursi peserta. Dia mengamati puisi yang ditulisnya tadi siang. Beberapa kali dia tarik
nafas dalam-dalam. Kemudian dia bergeser agak ke tengah mimbar.
“Baiklah akan saya bacakan puisi saya yang berjudul Dua Satu Lima :

“warna jingga mentari


kuketuk batas malam
menghitung hari mendulang harta
kususuri lorong demi lorong
karna inginku
kunaiki tangga demi tangga
mencari adamu
tibalah tatapku tajam padamu
di kamar ini !
kulepas belaian kasihku
yang selama ini kucampakkan
dari rumahku sendiri
rumah anak-anak bangsa
mendulang sains
perdalam agama
merajut kesatuan
dalam hidup kesejajaran
menuntut kebenaran
dari esa-Mu
yang tersembunyi.”

Bu Santi usai membacakan puisinya, dia menyerahkan kembali lembar puisi


itu ke Pak Taufiq Ismail. Dia langsung mendapat sambutan tepuk tangan para peserta
yang begitu memukau. Termasuk para narasumber yang tak henti-hentinya manggut-
manggut memberikan tanda kagumnya dari penampilan Bu Santi.
Tiga puisi yang terbaik sudah dibacakan oleh penulisnya. Semua baik dari
segi isi maupun penampilan pembacaanya. Untuk penentuan yang terbaik satu akan
disampaikan di malam penganugrahan karya utama. Akhirnya Pak Taufiq menutup
pertemuan sore itu.

35
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

“Baiklah Bapak-Ibu, kita sudahi saja pertemuan sore ini. Sampai ketemu lagi
nanti pukul 19.00 oleh Pak Danarto dengan karyanya Godlob. Terima kasih!”
Semua bubar. Mereka sangat lega menghirup udara bebas di luar. Hawa
Cisarua yang cukup sejuk membuat para peserta sebentar-sebentar merasa lapar.
Ketika itu Bu Santi diajak Bu Nyoman ke luar lingkungan hotel. Mereka berdua
kepingin merasakan rujak khas Bogor, tapi Bu Santi mengurungkan niatnya karena
kurang bagus makan rujak di sore atau malam hari. Akhirnya mereka membeli bakso
yang ada di halaman hotel. Karena keburu Magrib mereka pesan baksonya agar
dibungkus saja.
“Bu Santi, waktu kita tinggal tiga hari di sini. Rasanya saya sudah kangen
banget dengan putraku, Yoga, yang baru berumur tujuh bulan. Tiap jam saya selalu
teringat dengan canda dan tangisnya. Apa Bu Santi ndak kangen dengan yang di
rumah?”
“Ya.. sama Bu! Tapi aku tidak pernah memberikan sesuatu itu secara
berlebihan.”
“Dengan Pak Nardi?”
“Ya kangen, tapi …. sebentar Bu!”
Hp Bu Santi bergetar. Dua sms sekaligus masuk dalam hp-nya. Setelah
dilihatnya sms dari Pak Nardi dan Pak Hendra. Mereka menanyakan keberadaan Bu
Santi di Cisarua. Terutama Pak Nardi dengan rasa kangennya yang berlebihan sampai
diksinya membuat Bu Santi tertawa geli.
“Ada apa Bu senyum-senyum? Dari Pak Nardi ya?”
“Iya Bu! Dan dari seniorku!”
“Mas Nardi kangen sekali. Apa dikira aku enggak?”
“Ya wajar Bu, rindu kepada sang kekasih beda dengan ke orang tua!”
Bu Santi pun membalas dengan suasana hati yang sama. Untuk Pak Hendra,
Bu Santi menceritakan bahwa dirinya telah mendapat hadiah khusus dari Pak Taufiq
atas puisi ciptaannya yang masuk tiga besar. Bu Santi tak lupa menanyakan keadaan
murid-muridnya kepada Pak Hendra.
“Bu…. Bapak tahu kalau Ibu ada hubungan khusus dengan Pak Nardi. Beliau
malah tanya ke aku!”
“Bagaimana tanggapan Pak Bambang terhadapku, Pak?”
“Ndak tahu! Dia cuma tanya saja, tidak komentar apa-apa.”
Bu Santi beranggapan bahwa semua ini terlalu dini sampai orang lain tahu.
Kemungkinan ini sikap Pak Nardi yang terlalu gegabah dalam bertingkah. Dia tidak
mau kalau hubungannya yang masih seumur anak bawang mampu membuat heboh
tempat kerjanya. Apalagi Bu Santi menganggap dirinya ini hanyalah guru swasta
yang ikatan secara ketenagaan tidak begitu kuat, sewaktu-waktu kalau ada rasa tidak
suka gampang saja didepak secara halus.
Kegiatan apresda di hari keempat semua peserta diwajibkan menghasilkan
sebuah karya yang berwujud cerita pendek. Sehingga sehari penuh di hari keempat
pertemuan ditiadakan. Peserta bebas ke mana saja asalkan karya yang dihasilkan
harus masuk panitia paling lambat jam 22.00. Pada hari keenam panitia akan
menentukan dan mengumumkan cerpen-cerpen yang masuk nominasi. Dan dihari
ketujuh penganugrahan tiga cerpen dan tiga puisi terbaik apresda 2010 akan
disampaikan pada malam penutupan.

36
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Suasana di luar tampak sepi. Semua peserta lebih asyik di kamarnya masing-
masing. Namun ada saja yang berada di taman hotel, di ruang pertemuan, dan di teras
kamarnya. Walaupun mereka ada yang berkelompok-kelompok, tapi kebebasan
mereka sangat dirasakan karena masing-masing sibuk dengan tugasnya sendiri-
sendiri.
Sementara Bu Santi yang asyik merenung menjemput ide-idenya dengan
duduk selonjor di atas ranjangnya. Dia menyandarkan dirinya di punggung
ranjangnya dengan kertas-kertas yang menumpuk di atas bantal. Dia mencoba
mengangkat ide lingkungan dan gambaran masyarakat korban lapindo di daerahnya.
Dia mengambil tema yang sempat menghebohkan di wilayah pengungsian korban
Lapindo, yaitu keberadaan pondok mesra di tengah-tengah wilayah pengungsian
pasar Porong - Sidoarjo.
Bu Santi mulai membuat draf dan alur cerita yang akan digunakannya. Dia
memilah-milah dan memilih judul pondok mesra yang dianggap menarik serta
provokatif. Dia pun merasa kebingungan dengan judul yang telah ditulisnya.
Akhirnya dia minta bantuan kepada Bu Nyoman yang juga asyik dengan idenya
sendiri. Ketika dia mendapat arahan dari Bu Nyoman, Bu Santi merasa yakin bahwa
draf pertama yang dianggapnya baik. Akhirnya dengan kata basmallah dia memulai
memperbaiki draf cerpen yang akan dikembangkannya.
Dia membuka paparannya dengan sebuah puisi, yang menggambarkan
suasana para pengungsi korban Lapindo yang sedang melaksanakan salat Idul Fitri di
atas tanggul lumpur Lapindo. Dia merasakan betul situasi selama tiga tahun yang
lalu, ketika dia melihat tayangan di TV dan cerita langsung dari murid-muridnya
yang kebetulan melaksanakan salat Id di atas tanggul. Tak terasa air mata Bu Santi
membasahi pipinya dan irama sesenggukan mulai keluar perlahan sampai Bu
Nyoman menegurnya.
“Bu … ada apa menangis?”
“Ndak ada apa-apa, Bu! Aku hanya terenyuh teringat cerita muridku korban
Lapindo. Sewaktu menjalankan salat Id. Ibunya yang tak tahan menerima kenyataan
itu, ibunya menceburkan diri di kubangan lumpur Lapindo. Sementara kubangan
lumpur masih cukup panas!”
“Aduh… kasihan Bu! Saya saja yang hanya baca koran dan nonton TV
tentang Lapindo. Tak tega saya melihat penderitaan yang dipekikkan korban
Lapindo. Terus Ibunya bagaimana, Bu?”
“Yaa … badannya melepuh semua. Yang nolong ya sama-sama penderita
Lapindo. Pokoknya banyak yang stress, Bu!”
“Apakah masalah itu mau diangkat dalam cerpen Ibu?”
“Iya… tapi bukan itu, melainkan saya mengambil dari sisi lain dampak
Lapindo, yaitu tentang pemetakan area pasar baru Porong yang didiami para
pengungsi Lapindo, untuk pondok mesra.”
“Maksudnya Bu?”
“Nanti saja sampean baca kalau sudah jadi!”
Bu Nyoman penasaran dengan tema cerpen yang diangkat Bu Santi. Dia ingin
tahu jalan ceritanya, tapi Bu Santi menolaknya takut akan membunuh ide Bu
Nyoman. Malahan dia sendiri kebingungan menentukan tema cerpennya, yang

37
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

semula akan mengangkat keindahan pulau dewata, ngaben, atau ilmu leak. Setelah
mendengar paparan Bu Santi, ide Bu Nyoman hilang sama sekali.
“Aduh… Bu, ideku ndak ada yang menarik! Tolong Bu, aku carikan tema!”
Pinta Bu Nyoman.
“Ambil saja salah satu tema yang sudah ada lalu kemas dengan insiden dan
kupasan yang menarik pastilah jadinya akan bagus.”
“Kalau ngaben bagaimana, Bu?”
“Bagus! Asalkan Ibu harus pandai mengolah insiden dan kupasan bahasa agar
menarik dan tak terkesan didramatisir? Seorang penulis punya hak otorisasi dari hasil
karyanya. Masalah permainan olahan ide dan kata bergantung pada plastik bahasa
penulisnya!”
Bu Nyoman merasa mantap setelah mendengarkan paparan Bu Santi. Dia
mencoba membuat draf akhir yang akan dipaparkan dalam cerpennya. Alur itu
dikonsultasikan kepada Bu Santi. Dia merasa lega setelah Bu Santi memberi tahu
bahwa alur yang dibuat Bu Nyoman bagus sekali. Akhirnya Bu Nyoman memulai
menulis cerpennya.
Bu Santi yang merasa capai di dalam kamar, dia mengajak Bu Nyoman untuk
jalan-jalan di sekitar wilayah hotel. Dengan perasaan yang hampir sama Bu Nyoman
pun mengiyakan ajakan Bu Santi. Waktu itu masih menunjukkan pukul 10.00 cuaca
sedikit mendung, suasana pelataran hotel ramai dengan pedagang dadakan, akhirnya
mereka tidak jadi jalan-jalan keluar. Mereka hanya melihat-lihat barang dagangan
yang digelar di pelataran hotel.
“Bu … ayo lihat-lihat, untuk oleh-oleh!” Ajak Bu Santi.
“Iya… Bu! Saya juga ingin carikan anak saya kaos yang lucu-lucu.”
Mereka asyik memilih barang dagangan termasuk jajanan khas Bogor. Untuk
Bu Santi dia memilihkan oleh-oleh khusus buat Pak Nardi, Pak Hendra, dan teman-
temannya. Dia bingung apa yang harus dibelinya, akhirnya dia membeli beberapa
lusin bolpoint dan kudapan khas Bogor.
Ketika adzan dhuhur berkumandang, mereka kembali ke kamar. Mereka
sudah cukup membawa oleh-oleh. Di halaman pelataran hotel masih begitu ramai
para peserta yang lagi asyik ngobrol. Ada juga yang duduk-duduk di teras kamar
hotel, sibuk dengan tugasnya masing-masing.
Setiba di kamar hotel mereka sudah menjumpai dua kardus makan berada di
atas meja teras kamarnya. Mereka langsung menyantapnya. Suasana yang sedikit
mendung dan semakin dingin membawa kesejukan. Nafsu makan mereka telah
menghabiskan isi kardus. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 12.30 Bu Santi
minta izin untuk melaksanakan salat dhuhur. Sementara Bu Nyoman ikut masuk dan
merebahkan diri di atas ranjang.
Seusai salat Bu Santi duduk bersila di atas ranjangnya. Dia mulai merenung,
mengolah ide, dan memainkan bahasanya. Kalimat demi kalimat dia ulangi sampai
mendapatkan sebuah kesatuan bahasa yang menarik, mengalir, dan komunikatif. Tak
terasa sudah lima lembar ia selesaikan. Dia tinggal menentukan endingnya yang
benar-benar tepat. Pukul 16.00 Bu Santi sudah menyelesaikan tugasnya. Dengan
bangga dia merebahkan dirinya di atas ranjang dengan ungkapan rasa syukur dia
mengucap kalimah Allah, yang sampai di dengar Bu Nyoman yang kebetulan baru
terjaga dari tidurnya.

38
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

“Lho … Bu, sudah? Aku baru dua setengah halaman.”


“Sudah! Tapi jelek Bu! Kupasan bahasanya yang terkesan monoton dan
kurang menarik.”
“Ayo sampean lanjutkan saja, saya istirahat sebentar! Oh ya Bu bangunkan
saya jam lima kurang seperempat, kalau saya masih tertidur.”
Bu Nyoman yang mulai sibuk mengerjakan tugasnya melanjutkan
perkembangan alur ceritanya. Dia banyak merenung dibanding menulisnya. Kadang-
kadang dia menyandarkan kepalanya di tumpukan bantal yang ditatanya. Dia
beberapa kali mendesis, sepertinya kesulitan mentranverkan ide cerita ke dalam
bentuk kata-kata. Sudah setengah jam berlalu dia hanya mampu menulis setengah
halaman folio saja. Tahu-tahu Bu Santi sudah membangunkannya.
“Bu … ayo bangun sudah hampir jam lima! Sudah selesai?”
“Aduh … aduh … saya tertidur Bu! Baru dapat dua setengah halaman, saya
nggak mampu Bu!”
“Saya tak mandi dulu ya … Bu! Nanti kubantu!” Kata Bu Santi.
Bu Nyoman melanjutkan pengerjaan cerpennya. Dengan keterpaksaannya
dan tanggung jawab untuk menyelesaikan cerpennya, dia membiarkan begitu saja
penanya mendiskripsikan imajinasinya. Paparan narasi dan dialog tanpa dikoreksi
balik dia tumpahkan tanpa ragu-ragu di atas kertas folio bergaris. Enam halaman
cerita disudahi begitu saja oleh Bu Nyoman.
“Bu, sudah ini aja! Tinggal covernya. Oh ya isinya apa, Bu?”
“Ndak pakai nama penulis, hanya judul saja!”
Selepas maghrib mereka mengumpulkan cerpennya ke panitia. Ternyata di
meja panitia sudah cukup banyak cerpen yang terkumpul.

***

Malam penganugrahan pecinta dan pencipta karya sastra digelar di acara


malam perpisahan peserta apresda 2010. Panitia mulai sore hari disibukkan dengan
pembenahan-pembenahan perangkat sound system. Dan, untuk seksi acara terlihat
mondar-mandir menghubungi orang-orang yang ditunjuk dalam prosesi perpisahan
peserta apresda. Sementara peserta apresda hanya bersantai ria saja menanti acara
perpisahan dimulai. Untuk Bu Santi sudah dihubungi panitia bahwa dirinya nanti
dalam acara perpisahan diharap duduk di kursi bagian depan.
Selepas magrib lagu-lagu sudah digelar oleh panitia. Suasana ruang
pertemuan berubah secara tiba-tiba. Perangkat alat musik, walaupun hanya elekton
saja sudah terpajang di sudut ruangan. Selanjutnya, meja narasumber berubah
menjadi lebih indah dengan tatanan vas bunga dan beberapa piala yang tertata rapih.
Di belakang meja narasumber dipasang kursi bersaf tiga. Jadi, banyak pejabat yang
hadir dalam acara penutupan tersebut. Salah satunya Dirjen Dikdasmen yang akan
menutup acara perpisahan tersebut.
Jam menunjukkan pukul 19.00 acara perpisahan dimulai. Pidato demi pidato
sudah disampaikannya. Tiba saatnya acara penganugrahan tanda kehormatan pecinta
dan pencipta karya sastra dimulai. Waktu itu Pak Taufiq Ismail yang dianggap
sebagai tokoh sejarah sekaligus sastrawan menyampaikan tiga peserta yang karyanya
diunggulkan dalam penciptaan puisi, dengan urutan juara ketiga jatuh pada Drs. G

39
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Sony Firdaus, juara kedua atas nama Ni Nyoman Lugra, dan juara satu jatuh pada
Dra. Santi Hapsari.
Tiga peserta yang dipanggil maju ke depan mimbar. Untuk acara
penganugrahan ini Bapak Dirjen Dikdasmen yang diberi kehormatan untuk
menyerahkan piala, piagam penghargaan, dan tabungan pembinaan. Dalam
penganugrahan tersebut Bu Santi meneteskan air mata. Dia tak menyangka bahwa
goresannya yang hanya main-main mampu menggetarkan rasa, dengan kata yang tak
begitu banyak terucap menyapa jiwa Bu Santi.
“Saya bangga dengan Ibu, teruslah berkarya dalam tangan-tangan emas Ibu!”
“Terima kasih, Pak! Doa restu Bapak!” Balas Bu Santi sambil mencium
tangan Pak Dirjen.
Selanjutnya acara penganugrahan diselingi dengan pemaparan Bapak Dirjen
Dikdasmen tentang dunia kreativitas seorang pencetak kader bangsa. Beliau dalam
paparannya sangat mengharap bahwa guru sebagai tulang punggung dalam
memberikan warna dan corak budaya bangsa harus lebih kreatif. Setengah jam sudah
paparan yang disampaikannya. Selanjutnya acara penganugrahan cipta karya sastra,
khusus penulis cerita pendek terbaik di apresda 2010.
Dalam proses pemilihan tiga cerpen terbaik Pak Agus R. Sarjono
membacakan berita acara bahwa dari tujuh puluh lima cerpen yang masuk, empat
puluh lima yang dianggap memenuhi syarat, 28 cerpen yang dianggap gagal, dan
dua cerpen yang disinyalir plagiat. Dalam proses pemilihan tersebut panitia
menentukan tiga cerpen yang dianggap terbaik. Akhirnya panitia menyerahkan hasil
pengujian kepada pembawa acara. Dalam penganugrahan tiga cerpen terbaik ini
pembawa acara memberikan kesempatan kepada Pak Taufiq Ismail sebagai ketua
team penyaji untuk memandu penyerahan piala dan penghargaan lainnya.
Sebelumnya Pak Taufiq menyebutkan judul-judul karya terbaik yang menduduki
juara III dan II. Saat pemanggilan penulis cerpen terbaik, tiba-tiba Pak Dirjen yang
duduk di depan memberikan interupsi mengharap agar penulis cerpen terbaik
pertama membacakan hasil karyanya di acara ini.
“Baiklah, untuk cerpen terbaik pertama dalam kegitan apresda 2010 dengan
karyanya yang berjudul Pondok Mesra ! Untuk itu penulisnya dimohon maju ke
depan!” Kata Pak Taufiq.
Tiba-tiba Bu Nyoman yang ada di samping Bu Santi menjerit histeris,
sehingga semua mata yang ada dalam ruangan itu tertuju padanya.
“Bu Santi….. Bu Santi……!” Teriaknya.
Bu Santi dengan tenangnya maju ke depan. Semua peserta heran dibuatnya.
Mereka sangat kagum dengan kepribadiannya dan tentunya ketajaman imajinya.
Ketika Bu Santi sudah mengambil posisi di sebelah juara III dan II dia kembali
meneteskan air mata, bahwa ide lingkungan yang dia angkat nyatanya mampu
meraih apa yang dia harapkan.
“Terima kasih! Bapak-Ibu mudah-mudahan tidak sampai di sini saja, teruslah
berkarya. Dan, untuk Bu Santi tahu kan permintaan Pak Dirjen?”
“Paham Pak!”
Para juara kembali ke tempat duduknya masing-masing. Hanya Bu Santi
kembali ke depan, dia langsung berdiri di sebelah podium dengan bendel cerpennya.

40
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Setelah dia minta izin, dia mulai membacakan cerpennya yang berjudul Pondok
Mesra.
“Baiklah saya bacakan :

PONDOK MESRA

Allahu akbar allahu akbar allahu akbar


Laa illaha illallahu allahu akbar
Allahu akbar walillah hilkam

takbir bergemuruh di tepian tanggul


malam hingga pagi itu
siratan air mata yang terus
terus mengucur pada tubuh kuyuh
sarung-sarungmu
mukenahmu
sajadahku
tak mampu lagi menahan itu, semua
kuyup kering …
kuyup kering …
kuyup mengering lagi
di tubuh lesu

bilakah menghenti?
Bila batas tak lagi bertepi
terhampar luas bangkai
jiwa kami yang pernah ada

kutatap mimpi indah


dalam pekat lumpur liat, sirna
tak lagi kau mengutui aku
tak lagi kurasa cabaimu
semua bubar, berantakan
dalam keping harap
yang tak lagi ada jawab
hanya air mata mata air air mata
pada lukamu … dukaku …
yang terus menganga
dalam pasung lumpur abadi

Bubaran Salat Id di tepian tanggul Lapindo, penyair


gendeng melantunkan sederetan diksinya. Penyair yang kurang
mendapat perhatian kredibilitasnya, malah mampu menumpahkan
air mata pengungsi yang berdiri berjajar di tepian tanggul.
Sementara pengungsi hanya mampu memandangi rumahnya yang

41
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

tenggelam di antara hamparan lumpur panas. Jerit tangis,


sesenggukan, dan gumaman doa, tubuh limbung satu per satu.
Tubuh putih berjubah putih terbujur lemah beralas sajadah.
Banyak sekali. Dengan pemandangan ini penyair gendeng semakin
lantang meneriakkan kembali tatanan diksinya dengan dibarengi
suara takbir pengungsi. Dengan beberapa lembar di tangannya, dia
hilir mudik di antara kerumunan orang-orang yang senasib
dengannya.
“Mimpi. Mimpikah? Kematian tlah kusambut di kejauhan.
Mungkinkah? Bayang-bayang yang tak terduga tak
menenggelamkan kuda-kuda, padahal pintu-pintu telah kupisah dari
rangkanya. Asa telah memenjara, lagi ...., gemuru cacian Hawa
adalah gunung berapi yang menampar bertubi-tubi, wajah dan
tapak tanganku,” celoteh penyair gendeng.
Pak Marwan, sesepuh desa yang desanya tenggelam oleh
lumpur panas Lapindo, sibuk sekali menangani warganya yang
pingsan secara tiba-tiba. Dia tanpa kata-kata cekatan sekali
menyadarkan orang-orang yang pingsan, sambil memberikan
nasehat dan dukungan moral kepada warga. Dia pun tetap
berkonsentrasi terhadap apa yang dikatakan oleh penyair gendeng.
Seperti terhipnotis saja, Pak Marwan mengajak para pengungsi
beramai-ramai untuk datang ke tempat pengungsian Pasar Porong,
seperti yang diisyaratkan penyair gendeng.
Serentak, jemaat Salat Id yang tidak lain warga yang
terkena bencana lumpur panas berbondong-bondong ke lokasi
pengungsian. Di bawah komando penyair gendeng, rombongan
berhenti di depan kantor koramil. Mereka memblokade jalan. Di
situlah mereka mengadakan istighosah dengan duduk melingkar di
atas aspal. Tidak lama. Hanya sebentar untuk mengetahui apakah
air mata para jemaat masih ada yang tersisa.
Jemaat Salat Id setelah melaksanakan istighosah bergerak
menuju tempat pengungsian, Pasar Porong. Mereka berkeliling.
Sesampai di depan stand Pondok Mesra di kawasan pengungsian
mereka berhenti. Di sinilah penyair gendeng memegang kendali.
Dia berorasi. Dia lalu menuding-nuding papan nama yang
bertuliskan Pondok Mesra.
“Wahai saudara-saudaraku, ini tak pantas, kita cabut saja.
Kita berbulan-bulan terlantar di jalanan, di tenda-tenda dengan
makanan basi. Kita ini bagai bangkai-bangkai yang hidup,
sementara stand Pondok Mesra yang kosong in benar-benar
muspro. Bagaimana ini saudara, kita cabut saja?” pinta penyair
gendeng sambil memegang tiang papan nama Pondok Mesra.
“Percuma saja, Cak! Walau papan nama itu dijebol, aura
Pondok Mesra sudah bersemayam kuat di benak hati warga. Dan
lagi, siapa yang mau menempati stand-stand ini?” bantah warga.

42
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

“Betul … Cak! Apa nggak sungkan menempati tempat ini?


Keluar dengan ngguya-ngguyu, apa nanti nggak jadi lelucon buat
warga,” tambah warga.
Para pengungsi tertawa ger-geran, hanya anak-anak mereka
yang keheranan melihat orang tuanya tertawa.
“Maaf …Saudara-saudara! Mengapa kita harus sungkan?
Mengapa tidak berani? Tempat ini diperuntukkan buat kita. Buat
kita yang masih punya kesempatan untuk hidup. Demo, demo, lagi-
lagi demo, rapat terus nyatane rapati ngerti. Selalu nihil. Coba
dipikir, berapa saudara kita yang stres, gila, atau mati akibat
dampak psikhologis lumpur Lapindo Brantas? Sementara kita yang
masih hidup dengan perasaan yang mati ini, harus kita korbankan
juga? Tidak! Kita harus kuat!” papar penyair.
Perdebatan warga semakin seru. Mereka masih menimbang
untung ruginya menjebol papan nama Pondok Mesra. Walaupun
sorotan sinar mentari sudah mendekati ketegakan ubun-ubun,
takkan mampu membakar jiwa pengungsi yang jiwanya jauh lebih
panas. Mereka tetap berteriak lantang menuding-nuding Lapindo,
pemerintah yang mandul, sampai rangsum nasi basi yang
menghidupinya.
Ketika itu Pak Marwan mendekati penyair gendeng, entah
apa yang dibicarakannya. Terlihat penyair melemas-lemaskan
tangannya dengan membuat gambaran maya di udara. Demikian
juga Pak Marwan membalasnya dengan gerakan yang sama pula.
Akhirnya penyair gendeng mundur mengambil lembar yang
tergeletak di badukan papan nama Pondok Mesra. Dia lalu
menunjukkannya kepada Pak Marwan.
Tiba-tiba warga berteriak : “Hei … Cak! Kita cabut saja
papan nama itu! Tunggu apa lagi!”
Penyair gendeng menaiki badukan papan nama. Dia
memperhatikan warga, lalu dengan tangannya yang kekar
memegang salah satu ujung papan nama itu.
“Saudara-saudara, kita cabut saja papan nama ini! Kita
akan menempati stand-stand ini, seperti stand-stand yang lain. Kita
tidak perlu mendiskreditkan sesuatu yang sebenarnya memiliki hak
yang sama. Ini darurat!” bujuk penyair gendeng.
“Maaf … Mohan! Anda seorang penyair boleh
memposisikan tempat ini sama dengan yang lain. Tapi aura nama
itu sudah terlanjur bersemayam kuat di hati warga, bahwa tempat
ini hanya untuk orang-orang yang sudah berkeluarga dalam
memenuhi kebutuhan nafkah batinnya. Ini dari pemerintah untuk
kita. Aku di sini lurah, setuju saja apa yang dimaui warga, tapi
siapa yang mau menempati?”papar kepala desa di pengungsian.
“Bagus! Kebetulan sekali. Di sini ada pak lurah, berarti pak
lurah yang harus mendapat kehormatan pertama untuk menempati
salah satu stand ini. Bagaimana Saudara? Setuju?”

43
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Semua warga yang mendengarkan kata-kata penyair


gendeng itu serentak menjawab : ”setuju!” Penyair gendeng
spontan menendang tiang kayu papan nama Pondok Mesra.
Beberapa warga yang berada di sebelah penyair ikut membantunya.
Akhirnya papan nama itu diseret warga di jalanan yang agak luang
dan dibakarnya.
“Kini usai sudah riwayat Pondok Mesra , tinggal kita bagi
tempat ini!” kata penyair seraya berjalan mendekati pak lurah.
“Mari Pak! Bapak harus memilih salah satu ruang ini!”
Pak lurah hanya diam. Dia hanya mengikuti tarikan tangan
penyair. Ternyata pak lurah tak satu pun tempat yang ia tunjuk.
Akhirnya penyair yang memilihkannya.
“Nah .. ini Pak! Strategis! Auranya bagus! Cocok sekali
buat Bapak,” kata penyair sambil menyuruh pak lurah masuk.
Penyair gendeng keluar dari ruang sendirian. Dia sengaja
meninggalkan pak lurah sendirian di dalam ruang. Dia berjalan
tergesa-gesa dengan membela kerumunan warga. Dia menoleh ke
sana – ke mari untuk mencari bu lurah. Tak lama kemudian penyair
menemukannya. Diajaknya bu lurah menemui pak lurah.
“Bu … Pak … ini tempat buat Bapak beserta Ibu. Bapak tak
perlu berbulan-bulan tidur di tenda jalanan. Aku tahu Bapak lebih
memikirkan warga, tapi kesehatan Bapak harus diutamakan. Bapak
sangat dibutuhkan warga. Oleh karena itu Bapak harus memberi
contoh kepada warga, bahwa tempat ini sama dengan tempat
pengungsian yang lainnya,” saran penyair.
“Bu … bagaimana ini? Memang betul apa yang dikatakan
Mohan. Kita sudah berapa bulan tak pernah merasakan
kebahagiaan batin ini,” kata pak lurah lirih kepada istrinya.
Penyair sayup-sayup mendengar penggalan kata-kata pak
lurah. Dia menambahkan kata-kata persetujuan kepada bu lurah.
Belum sempat bu lurah mengiyakan, penyair itu langsung ke luar
dari ruang untuk menemui warga.
“Saudara-saudara, kita sekarang bubar! Untuk sementara
kita pulang ke tenda masing-masing. Besuk, tempat ini kita bagi,
menunggu perkembangan dan petunjuk pak lurah. Ayo .. bubar!
Masih banyak yang harus kita kerjakan.!”
Semua warga bubar secara teratur. Warga kembali ke
tempatnya masing-masing, yang tidak jauh dari stand yang baru
saja ditempati pak lurah. Tapi, beberapa warga ada yang
berkomentar, apakah pak lurah nantinya betah tinggal di bilangan
pondok mesra ini. Padahal tempat ini dianggap tabuh dan
dipandang warga dengan sebelah mata.

***

44
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Keesokan harinya warga saling mencari tahu keberadaan


pak lurah. Pagi sekali warga sudah lalu lalang di depan bekas
Pondok Mesra. Ternyata warga berkumpul, mereka semakin banyak
membentuk komunitas seperti kemarin di tempat ini. Mereka
berbincang-bincang sekenanya, sambil sesekali mencuri pandang ke
pintu stand yang ditempati pak lurah.
Tiba-tiba mereka terdiam, mendengar, dan melihat pintu
rolling door di stand pak lurah terkuak. Semua warga yang
berkumpul melihat siapa yang keluar dari tempat itu. Ternyata pak
lurah dengan baju taqwanya, bersarung putih, dan berpeci haji,
menggandeng istrinya keluar dari ruangan. Pagi itu, pak lurah
beserta istrinya mengucapkan salam kepada warganya dengan
senyum yang menampakkan keharmonisannya. Warga pun
menjawabnya dengan situasi yang terheran-heran melihat
pemandangan yang selama ini tidak pernah ia rasakan.
Waktu itu, penyair menyelinap di antara kerumunan warga,
dia bergerak ke depan dengan gaya khasnya menenteng secarik
kertas. Dia berkomentar bahwa tadi malam dia memperoleh imaj
yang dideskripsikan di kertas yang dia bawah itu. Kemudian dia
membacakannya untuk pak lurah, warga, dan dirinya.

”PONDOK MESRA”

”tatapan resah
lelaki tua perkasa
membopong hawa yang terlena

pilar-pilar pagar
menyentuh tubuh liar
pada anak cucu adam
berserak tindih di stand pasar

jerit pintu menawar


pukat gelora yang terkoyak
mati karna malu

lelaki tua perkasa


membopong hawa yang terlena
pada kuncup peluh madu beku
membongkar paksa
pondok perindu
pada kaki-kaki lapindo
yang terus merangkak maju
di kibasan sayap-sayapnya

kini …

45
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

usai sudah
keangkuan batu meluluh
di titian istana
seperti yang lainnya.”
Porong, 2007

Seusai Bu Santi membacakan cerpen Pak Taufiq memandu untuk


mengapresiasi cerpen yang telah dibacakan Bu Santi. Kesempatan pertama, Dirjen
Dikdasmen yang langsung angkat tangan ingin mengetahui kelogisan yang
dipaparkan Bu Santi dalam cerpennya.
“Bu…apa yang Ibu tulis itu realita atau fiktif belaka? Penggambaran
lingkungan dan peristiwa sepertinya banyak yang sama !”
Bu Santi memaparkan bahwa apa yang ia tulis merupakan gambaran nyata
kehidupan para korban Lumpur Lapindo. Dan dijelaskan pula bahwa tokoh dan
sedikit peristiwa yang diekspotasikan dalam cerpen tersebut disamarkan. Jadi Bu
Santi menulis cerpen tersebut hasil memotret kehidupan nyata yang dikemas dalam
bentuk fiksi.
Mendengar pemaparan Bu Santi, Bapak Dirjen Dikdasmen merasa puas.
Beliau menyarankan bahwa semua peserta apresda diharapkan bisa meniru jejak Bu
Santi. Apalagi sebagai guru Bahasa Indonesia harus mampu dibidang tulis-menulis
sebelum mengajari murid-muridnya menulis.
Selama proses presentasi Bu Santi mampu menjawab dan memaparkan apa
saja yang ditanyakan kepadanya. Dan akhir pertemuan Pak Taufiq memberikan
kupasan sekaligus penentuan benang merah dari apa yang dibahas di pertemuan ini.

***

Selepas dari acara perpisahan Bu Santi mengirim sms ke Pak Nardi, bahwa
besuk dia akan pulang. Dia menyampaikan juga bahwa ia ingin naik pesawat saja
biar cepat sampai. Dia menyampaikan perasaannya juga yang selama di Cisarua
cukup menyenangkan dan sekaligus membosankan.
“Mas…. bisakah jemput Santi di bandara besuk pukul 16.00?”
“Bisa … bisa! Aku pasti bisa!”
Bu santi di dalam kamarnya mengemasi barang-barang bawaannya. Dia
dibantu Bu Nyoman untuk mengemasi barang-barangnya, karena barang yang
dibawanya kelewat banyak, dua kali lipat dari barang ketika berangkat. Untuk dua
piala dia ikat begitu saja sebagai barang tentengan, supaya tidak patah. Setelah
dihitungnya ternyata ada satu tas besar isi pakaian, dua kardus isi makanan, satu tas
laptop, dan barang tentengan yang berisi piala.
Rencana pemberangkatan dari Cisarua ke bandara Bu Santi bersama-sama
dengan teman-temannya carter mobil. Keputusan sudah bulat, keesokan harinya
seusai dhuhur mereka sudah berkumpul di lobi hotel. Pukul 13.00 mereka berangkat
ke bandara di tengah perjalanan teman-temannya minta berhenti sejenak untuk beli
oleh-oleh. Bu Santi hanya mengantar saja. Dia tidak membeli apa-apa karena barang
bawahannya sudah terlalu banyak.

46
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Setengah jam mereka di tempat pembelanjaan. Sopir lalu mengingatkan


mereka, agar lebih cepat supaya tak ketinggalan pesawat. Mereka pun menyadari dan
tergopoh-gopoh kembali ke mobil.
“Bu… katanya cuma ngantar saja, malah Ibu yang beli?”
“Ndak tahulah Pak, cuma pengen beli tape saja buat di mobil!”
“Buat camilan di mobil sebanyak dua besek34?
“Tadinya satu, lalu dipotong-potong!”
“Iya… saya tahu yang dipilih Ibu cuma satu, tapi…segede kentongan!
“He. . . heeee !” Tawa Bu Santi, tak bisa cari alasan lagi.
Mereka bercanda tak terasa mobil sudah sampai di bandara. Mereka harus
berlari-lari menuju ruang check in, karena informasi pemberangkatan tinggal
beberapa menit lagi. Untuk Bu Santi, dia terseok-seok membawa barang bawaannya.
Dia baru merasa lega ketika dia tiba di ruang tengah ternyata apa yang dia
rencanakan sesuai dengan yang ia kerjakan.
Pemberangkatan melalui pesawat tidak begitu lama. Bu Santi menghitungnya
hanya butuh waktu satu jam lima menit. Pesawat sampai di Juanda tepat pukul 16.10
menit. Ketika Bu Santi mengambil tas bawaannya dia mengabari Pak Nardi, bahwa
dia sudah sampai di tujuan. Ternyata Pak Nardi sudah berada di pintu ruang tunggu.
Bu Santi ketika melihat dan memperhatikan satu per satu orang-orang yang
ada di pintu ternyata seorang bertopi melambaikan tangannya. Bu Santi tahu, dia
langsung berlari menghampiri Pak Nardi. Dipeluknya Pak Nardi erat-erat sampai
satpam mengingatkan Bu Santi tentang barang-barang bawaan yang ditinggalkannya
begitu saja. Untuk itu satpam memperbolehkan Pak Nardi masuk ruang membantu
Bu Santi membawa barang bawaannya.
Pak Nardi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, dia tak habis pikir
melihat barang-barang yang ada. Dia heran, lalu menanyakan ke Bu Santi apa saja
yang dibelinya. Tapi Bu Santi menjawabnya tidak membeli apa-apa hanya oleh-oleh
sedikit saja.
“Din … apa cukup semua ini di bawa dengan sepeda? Bagaimana kalau Adin
naik taksi aja?”
“Ndak… aku pengen naik sepeda saja sama Mas! Apa Mas ndak mau?”
“Yach… tentunya, mau Din! Hanya aku kasihan sama Adin!”
“Aku nggak perlu dikasihani aku hanya butuh kasih sayang, pokoknya aku
ikut sama Mas!”
Mereka pun pulang berboncengan dengan barang yang menumpuk di sepeda.
Pak Nardi yang membawa tas besar dan sebuah kardus yang dijepitnya di antara
kakinya. Sementara Bu Santi tangan kanannya memegangi piala dan tangan kirinya
memegangi kardus yang dipangku di atas paha kanannya, sementara tas lap topnya
diselempangkan di bahunya.
Mereka mengendarai sepedanya pelan sekali. Mereka asyik ngobrol melepas
kerinduannya. Ketika Bu Santi menanyakan keberangkatannya dan situasi di
sekolahnya, Pak Nardi tidak menjawab malah mengalihkan pembicaraan. Bu Santi
memahami mengapa Pak Nardi tak menjawab pertanyaannya, mungkin kerinduannya
yang mendalam tak mau terbagi dengan kupasan yang kurang berarti ataukah ada

34
Keranjang tempat kue

47
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

sesuatu yang sengaja disembunyikannya. Akhirnya Bu Santi membiarkan begitu saja,


biarlah waktu yang akan menjawabnya.
Setiba di perempatan Gedangan Pak Nardi menawarkan untuk mampir ke
warung bakso kepala sapi. Bu Santi hanya mengangguk menyetujui apa yang
ditawarkan Pak Nardi. Mereka duduk berdekatan. Bu Santi yang menyandarkan
tangannya di atas meja langsung saja Pak Nardi menyambarnya, didekapnya erat-erat
tangan Bu Santi.
“Din, sampean tambah ….”
“Tambah apa Mas?”
“Cuantik ….gemuk….dan muluuus!”
“Iya Mas aku di sana hanya makan, tidur, makan lagi, lalu tidur lagi!”
Mereka di tengah-tengah menikmati baksonya asyik berbincang-bincang. Bu
Santi memaparkan bagaimana dirinya bisa membawa dua piala. Hampir seperempat
jam Bu Santi bercerita Pak Nardi hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia
terpesona betul mendengar paparan Bu Santi. Tiba-tiba Pak Nardi sebelum beranjak
dari mejanya dia berkomentar datar.
“Din… bapak tahu hubungan kita!”
“Kok bisa Mas, padahal baru seminggu!”
“Yach ndak tahu! Bapak masih ragu dan pernah menanyaiku tapi aku tak
menjawabnya! Bapak pun tahu kalau hari ini Adin datang!”
“Mas … kira-kira siapa ya yang ngasih35 tahu?”
“Ndak tahu! Aku gak pernah cerita, mungkin saja dari jadwal kegiatan yang
ada dalam surat perjalanan dinas Adin!”
Mereka pulang. Setengah jam mereka sudah sampai di rumah Bu Santi.
Sebelum maghrib mereka sudah sampai di rumah Bu Santi. Mereka disambut oleh
bapak dan ibu dari Bu Santi yang kebetulan duduk di teras rumah. Bu Santi
menyalami bapak-ibunya dan mencium pipi ibunya yang terlihat bugar.
“Ayo …Nak masuk!”
Pak Nardi rencananya mohon izin pamit pulang tapi Bu Santi melarangnya.
Dia diajak Bu Santi masuk sementara barang-barang dibawa serta masuk ke ruang
tamu. Bu Santi langsung membuka salah satu kardus bawaannya. Dia akan
menunjukkan sesuatu kepada Pak Nardi tapi adzan maghrib keburu berkumandang.
Bu Santi mengurungkan niatnya. Dia menyarankan Pak Nardi untuk melaksanakan
salat maghrib.
Pak Nardi beranjak ke luar rumah lalu Bu Santi memburunya.
“Mau ke mana Mas?”
“Salat di mushollah, Din!”
“Di rumahku saja! Ini nantinya kan juga rumah Mas!” Bisik Bu Santi.
“Ngacau! Aku kan malu sama bapak – ibu!”
“Ndak…apa-apa kok! Biar Santi yang ngomong!”
Pak Nardi agak malu ketika melintasi orang tua Bu Santi di ruang keluarga.
Pak Nardi menuruti saja kemauan Bu Santi. Sementara Pak Nardi salat di
kamar Bu Santi, Bu Santi mandi. Seusai salat Pak Nardi kembali ke ruang tamu. Dia
ditemani bapak Bu Santi. Dia merasa kikuk, apa yang hendak diomongkan berkali-
kali inginnya terlewati begitu saja dalam diamnya. Hanya sesekali bapak Bu Santi
35
Memberi

48
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

menanyakan perihal sekolah kepadanya. Ketika Bu Santi keluar dengan membawa


minuman dan makanan, bapak Bu Santi minta izin masuk.
Bu Santi menyilakan Pak Nardi untuk mencicipi kudapan yang
dihidangkannya. Sementara Bu Santi langsung membuka kardus, dia mengambil
jaket kulit hitam. Dia membentangkan jaket tersebut di hadapan Pak Nardi.
“Ini buat Mas! Mudah-mudahan cukup sebagai tanda rasa cintaku pada Mas.
Kehangatan cintaku kubiaskan dalam jaket ini. Ke mana pun Mas pergi pakailah
jaket ini!”
“Oh ……oh… oh…. bagus banget! Tentunya mahal? Terima kasih Din! Akan
kupakai ke mana pun aku pergi, kecuali tidur dan mandi!”
“Ayo Mas dicoba!”
Pak Nardi pun menerima jaket pemberian Bu Santi. Dia memakainya.
Ternyata jaket itu cocok sekali menempel di tubuh Pak Nardi. Dia tersenyum sambil
putar-putar di hadapan Bu Santi.
“Sini …. ku-asma-i dulu jaket itu biar tidak dipakai perempuan lain selain
diriku, kalau aku pinjam tak akan terkontaminasi dengan aroma liar!”
Pak Nardi belum sempat bertanya balik apa maksud semua ini Bu Santi sudah
memegang bahu Pak Nardi. Kecupan bibir Bu Santi mendarat di pipi Pak Nardi
sambil berbisik.
“Ini hanya satu-satunya buat Mas!”
“Makasih akan kujaga dan kurawat baik-baik, Din!”
Bu Santi lalu melanjutkan membereskan barang-barang lainnya. Sampai
adzan Isya berkumandang Bu Santi belum juga usai. Akhirnya Pak Nardi mohon izin
pamit pulang.
Keesokan harinya Bu Santi siap-siap berangkat bekerja. Dia membawa piala,
oleh-oleh buat teman, dan buku-buku hasil pemberian di kegiatan Apresda. Barang-
barang tersebut sudah dimasukkan ke mobil bapaknya tiba-tiba Pak Nardi datang
menjemputnya.
“Oh… Pak Nardi, silahkan masuk! Santi mengira Pak Nardi tak
menjemputnya. Silakan masuk!”
Pak Nardi melangkah masuk tapi Bu Santi keburu keluar. Bu Santi langsung
mengajaknya untuk berangkat.
“Pak, Santi bareng Pak Nardi saja!” Katanya seraya pamit kepada bapaknya
sambil mencium tangan bapaknya.
“Iya sekarang pinter pilih yang lebih muda, bapakkan sudah tua! Kalau si dia
ndak ada bapak baru laku!
“Ah, Bapak nakal!”
Setelah berpamitan mereka berangkat ke sekolah. Dalam perjalanan Pak
Nardi tak habis-habisnya menanyai Bu Santi tentang Jakarta. Setiba di sekolah
murid-murid sudah berbaris di halaman sekolah dan beberapa guru termasuk kepala
sekolah sudah memposisikan dirinya di tempatnya masing-masing. Pak Nardi
memarkir sepedanya di pinggir pos satpam dan memasukkan barang bawaan Bu
Santi ke dalam.
Mereka berdua melintas di depan siswa menuju ke barisan guru-guru. Semua
mata baik siswa dan guru termasuk kepala sekolah memperhatikan kedatangan

49
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

mereka berdua. Setelah mereka masuk dalam barisan guru-guru upacara pun dimulai.
Saat itu kebetulan kepala sekolah yang jadi pembina upacara.
Kepala sekolah dalam sambutannya mengucapkan selamat datang kepada Bu
Santi. Dan, Bu Santi dimohon menyampaikan sedikit tentang kegiatannya yang
diikuti di Jakarta, setelah pembacaan doa selesai.
Dalam sambutannya Bu Santi hanya menceritakan bahwa dirinya sudah
bertemu dengan orang-orang yang selama ini dia bangga-banggakan. Dan sedikit
menceritakan dua piala yang dia raihnya. Sorak-sorai dan tepuk tangan kekaguman
buat Bu Santi datang dari siswa dan guru. Akhir sambutan Bu Santi menandaskan
bahwa kerja keras, disiplin, dan kreatif harus benar-benar diwujudkan demi
kemajuan diri, sekolah, dan bangsa.
Seusai upacara Bapak kepala sekolah menghimbau para guru untuk
berkumpul di ruang guru. Dalam pertemuan itu kepala sekolah memberikan
pembinaan secara rutinitas setiap hari Senin. Kepala sekolah menyampaikan bahwa
kesetiaan, dedikasi para karyawan, dan guru harus ditegakkan sebagai pengabdi dan
pembentuk kecerdasan anak bangsa.
Kepala sekolah dalam pertemuan itu memberi contoh juga apa yang telah
diraih Bu Santi. Beliau menyarankan buat semua guru bahwa di samping tugas yang
diembannya seorang guru harus lebih kreatif dan pro-aktif dalam membentuk
loyalitas diri. Sehingga dengan kemampuannya itu sekolah mampu menggait
kepercayaan masyarakat atas visi dan misi sekolah.
Akhir pertemuan itu Bu Santi memberikan oleh-oleh buat teman-temannya,
masing-masing mendapat jatah sebuah pena yang bertuliskan nama pemiliknya. Dan
untuk makanan khas Jakarta dan Bogor dihidangkan di atas meja, khusus untuk
kepala sekolah Bu Santi memberikan bingkisan khusus yang agak besar yang
diberikan langsung pada saat pertemuan itu.
“Terima kasih Bu! Ibu sempat-sempatnya memberi oleh-oleh buat teman-
teman!”
“Ndak Pak …. hanya ala kadarnya!”
Kepala sekolah meninggalkan ruang guru setelah menyampaikan bahwa
pembelajaran dimulai jam ketiga. Teman-teman Bu Santi masih asyik menikmati
jajanan mereka sambil menanyai Bu Santi bagaimana soal asmara yang sedang
berkembang. Bu Santi menjawab pertanyaan teman-teman dengan santai. Untuk
pertanyaan yang satu itu Bu Santi hanya tersenyum saja sambil memandangi wajah
Pak Nardi.
“Baik-baik saja! Biarlah waktu yang mengasuh dan membesarkan kami,”
kata Bu Santi polos.

***

Perjalanan asmara Bu Santi dengan Pak Nardi sudah memasuki bulan


keempat jalan. Keharmonisan mereka sudah terbaca oleh semua teman-temannya.
Yang dulunya hanya sebatas praduga tapi sekarang menjadi kenyataan, termasuk
kepala sekolahnya, orang tua Pak Nardi.
Kepala sekolah membiarkan saja hubungan mereka. Bahkan dia menyadari
bahwa setiap manusia punya hak dan kesempatan yang harus dilalui dalam mengisi

50
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

masa remajanya. Apalagi mereka dalam urusan pekerjaan dinilai oleh kepala sekolah,
selalu beres. Begitu juga sikap mereka di sekolah biasa-biasa saja tak semata-mata
seperti orang yang telah dimabuk cinta.
Berita ini sampai juga tercium oleh ibu Pak Nardi, mungkin saja cerita dari
ayah Pak Nardi selaku kepala sekolahnya atau dari teman-teman Pak Nardi yang
kebetulan bertemu ibu Pak Nardi, maklum rumah Pak Nardi bersebelahan dengan
sekolah. Sehingga teman-teman Pak Nardi secara sengaja atau tidak sengaja
menceritakan masalah Pak Nardi ke ibunya.
Ibu Pak Nardi yang sebelumnya merasa bangga bila anaknya menjalin
hubungan dengan seorang gadis. Apalagi gadis itu anak buah dari orang tua Pak
Nardi. Dia sangat senang kadang-kadang bercerita dengan ibu-ibu di kampungnya
bila ada yang menanyakan soal pacar Pak Nardi.
Ketika ibu-ibu bertanya balik menanyakan siapa nama pacar Pak Nardi dan
dari mana asalnya. Ibu Pak Nardi terdiam tak bisa menjelaskannya. Dia hanya
menegaskan bahwa pacar anaknya itu seorang guru, teman sekerja, dan anak buah
dari ayah Pak Nardi. Dia menambahkan bahwa orangnya cantik, kuning, baik, tapi
sedikit pesek.
Ibu-ibu spontan tersenyum ketika ibu Pak Nardi menyebutnya pesek. Dan
mereka berkomentar balik bahwa sesuatu itu ada manfaatnya kepada ibu Pak Nardi.
Dengan gurauan yang bersahabat itu ibu Pak Nardi menjawab dengan bahasa
kelakar juga.
“Benar, Bu! Asal bisa dibuat bernafas!”
Ibu-ibu termasuk ibu Pak Nardi tertawa terpingkal-pingkal. Dalam buaian
candaria ibu-ibu tak bermaksud apa-apa, hanya sebuah gurauan belaka. Tiba-tiba
seorang ibu menyampaikan sesuatu ke ibu Pak Nardi bahwa gadis, pacar Pak Nardi
itu namanya Santi. Dia itu anak Bu Dewi, yang dulunya pernah tinggal se-RT.
Semenjak suami Bu Dewi meninggal dan dia menikah lagi, dia pindah rumah.
Mendengar penjelasan Ibu Lilik, ibu Pak Nardi hanya diam. Dia hanya
berkali-kali menarik nafas panjang. Dia tidak komentar sedikitpun sampai ibu-ibu
mohon pamit.
Sepeninggal ibu-ibu, ibu Pak Nardi merenungkan apa yang telah disampaikan
ibu-ibu tadi. Ibu Pak Nardi menyadari bahwa dia terlalu gegabah dan ketinggalan
informasi, tak tahunya pacar anaknya itu putri dari Bu Dewi, yang dulunya telah
merebut pacarnya, walau sekarang suami pertama Bu Dewi sudah almarhum.
Kebencian ibu Pak Nardi akan peristiwa 25 tahun yang lalu tak akan pernah
sirna. Dia sangat terpukul telah dipermalukan di tempat umum. Dan tak kuasa
mendengar keputusan yang disampaikan pacarnya waktu itu.
Ibu Pak Nardi mendadak sakit hatinya meluap secara tiba-tiba. Kebencian
yang sudah terkubur puluhan tahun yang lalu tiba-tiba muncul kembali. Rasa sakit
hati yang muncul tergambar jelas bahwa Bu Dewi telah merebut pacarnya dan
berhasil menikah dengannya. Bayangan itu terus saja menghantuinya. Dia masih
ingat benar ketika pertemuan tiga pihak di pelataran Balai Desa. Dengan lantangnya
Bu Dewi menyatakan ingin menikah dengan Julian Sastro. Dari kenekatannya waktu
itu tangan Dewi telah melingkar di pinggul Julian Sastro Pranoto.
Saat itu Julian Sastro adalah pacar sah Dania, ibu Pak Nardi sekarang ini.
Kedua keluarga sudah saling tahu dan menyetujui hubungan mereka, hanya ikatan

51
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

secara resmi belum ada. Walau hubungan mereka sangat erat, nyatanya kandas dalam
penentuan akhir keputusan Julian Sastro Pranoto di balai desa.
Waktu itu Julian Sastro pranoto diberikan hak untuk menentukan siapa yang
akan dipilihnya. Melalui bantuan kepala desa dan keluarga kedua belah pihak, Julian
Santro Pranoto memutuskan ingin mengawini Dewi Sekar Arum.
Mendengar putusan Julian Sastro Pranoto, Daniawati terperangah lalu
menjerit histeris. Dia langsung saja berlari meninggalkan pertemuan. Dengan suara
tangis yang meledak dia terus berlari menyeberangi jalan tak tahunya mobil kijang
dari arah berlawanan menghantamnya.
Waktu itu semua yang melihat sama-sama berteriak memberi tahu Dania,
tapi Dania tak menggubrisnya. Sekilas itu, brak! Badan Dania terlempar, berguling-
guling, lalu masuk selokan.
Sementara orang-orang yang ada di balai desa berhamburan keluar. Kakak
Dania yang tahu persis peristiwa itu menjerit sekeras-kerasnya. Dan, dia setengah
berlari ke arah Dania, tapi tubuhnya oleng lalu terguling di tengah jalan.
Secepat itu kerumunan masa memenuhi jalan. Mereka mengira kakak Dania
yang tertabrak. Mereka mengangkatnya ke mobil kijang yang menabraknya.
Sementara orang-orang yang ada di balai desa berlarian mengangkat Dania dari
selokan dan memasukkan ke mobil kijang juga.
Mobil kijang itu membawa Dania dan kakaknya ke rumah sakit. Di tengah
perjalanan Dania tersadar. Dia merintih kesakitan. Dia menjerit ketika kakinya
dibetulkan bapaknya lalu tak sadar kembali.
“Hati-hati, Pak! Mungkin kakinya ada yang retak,” kata sopir kijang yang
menabraknya.
Bapak Dania tak menjawabnya. Dia hanya memperhatikan kedua putrinya
yang sama-sama pingsan.
Setiba di UGD sopir kijang langsung berlari masuk member tahu petugas, tak
lama juga petugas membawa Dania dan kakaknya ke ruang periksa.
“Mana keluarganya?” Tanya perawat.
“Saya, Pak!”
“Ini harus di foto dulu! Kemungkingan ini patah atau ada yang retak. Ikuti
saja petugas yang membawa putri Bapak!”
Sementara kakak Dania ditunggui sopir yang menabrak Dania. Setelah
dilakukan pemeriksaan kakak Dania dinyatakan tidak apa-apa, hanya
keterkejutannya saja dia pingsan. Ketika sadar dia memperhatikan sekeliling
ruangan. Dia belum tahu dan heran ada lelaki muda berdiri di sampingnya.
Sebelumnya kakak Dania bertanya, lelaki itu sudah memberikan informasi
selengkap-lengkapnya.
Kakak Dania berusaha duduk tapi lelaki itu melarangnya, menunggu Bapak
dan saudaranya datang. Lelaki itu berulang-ulang menyampaikan mohon maafnya
kepada kakak Dania.
“Maaf Mbak kejadian tadi betul-betul saya tidak tahu, tiba-tiba seorang putri
berlari dari halaman balai desa dan tahu-tahu sudah satu meter di depan mobil saya,
lalu…”.
Kakak Dania hanya diam saja. Dia hanya memandangi lelaki itu. Penyesalan
yang mendalam terlihat sekali di raut wajah lelaki itu.

52
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

“Mbak saya mohon maaf, saya akan bertanggung jawab penuh atas kejadian
tadi!”
Kakak Dania memberanikan diri bertanya siapa lelaki itu. Dia merasa kasihan
juga bahwa atas kekacauan pikiran adiknya akan menyeret orang lain ke masalah
baru.
Hampir satu jam lelaki itu menunggui kakak Dania. Tiba-tiba orang tua Dania
datang membawa maf besar. Dia memberikan maf itu ke perawat. Orang tua Dania
lalu menengok kakak Dania. Ternyata kakak Dania sudah duduk dengan lelaki itu.
Lelaki itu lalu menyambut orang tua Dania. Dia menyalami dan mencium
tangannya. Dia menyampaikan mohon maafnya. Orang tua Dania malah
mengucapkan terima kasih atas bantuannya. Dia menyampaikan bahwa Dania, tulang
betisnya mengalami keretakan.
“Pak saya akan bertanggung jawab. Saya akan mengganti seluruh biaya
pengobatan putri Bapak!”
“Sudahlah ini tanggung jawab bapak! Anak saya yang salah. Doanya saja
Mas, mudah-mudahan putri bapak lekas sembuh!”
Mereka sambil menunggu kaki Dania di spalek, mereka ngobrol di ruang
tunggu. Dari sinilah mereka saling berkenalan lebih jauh.
Setelah Dania dengan kursi roda di bawah petugas menemui orang tuanya,
lelaki itu menyalami Dania. Dania hanya membalas dengan nada dingin. Dania sadar
bahwa peristiwa ini hanyalah kembangan dari peristiwa hidup dan mati menurut
Dania. Dia rasanya ingin menjerit sekeras-kerasnya. Dia kalah. Dia telah
dipermalukan di depan umum.
Tiba-tiba Bu Dania, ibu Pak Nardi, tersadar benar dan terengah-engah setelah
mengingat kejadian di masa mudanya. Dengan wajah yang beringas dia menyumpah-
nyumpah.
“Bangsat, akan kubalas kau keparat! Dendamku yang dulu tak akan pernah
terbayar walau suamimu sudah tiada. Aku akan mengantarmu menyusul suamimu.
Eee... tidak, enaknya! Kau akan kubuat menderita, benar-benar merasakan
penderitaan!”
Ibu Pak Nardi berjalan ke ruang tamu. Dia merebahkan diri di kursi sofa
merah jambu. Pikirannya kembali melayang ke masa lalunya, kata-kata tajam
terkuak pelan dan jelas.
“Dasar perempuan murahan bisa-bisanya merebut pacar orang!”
“Siapa yang murahan? Siapa yang merebut? Kau itu perempuan brengsek…
brengsek …! Tak pecus ngurusi lelaki!”
“Hei … perlu kau tahu, itu calonku! Calon suamiku!”
“Haa…haa…haa siapa calonmu? Siapa calon suamimu? Sebelum ada tanda
janur melengkung36 siapa saja berhak memilih dan dipilih. Kau tahu Mas Julian jelas-
jelas memilihku! Aku yang pantas jadi istrinya, yang cocok mendampingi Mas Julian
sampai mati! Ingat itu baik-baik!”
Ibu Pak Nardi mendesis keras. Dengan mata sedikit melotot dan jemari
meremas bantalan kursi, dia merefleksikan kebenciannya yang memuncak. Dia
benar-benar sakit hati mengingat masa lalunya.

36
Tanda / ciri ikatan perkawinan

53
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Untung saja waktu itu Handoko, yang menabrak Dania, hampir dua hari
sekali menengok dan menghiburnya.
“Din …. coba bangkitkan kekuatanmu! Hidupmu masih panjang, tak perlu
kau menyiksa dirimu seperti ini. Aku tahu cintamu sangat tulus pada Julian, tapi dia
sendiri kan yang menggorok cintamu habis-habisan. Sadarlah, pasti Tuhan akan
memberikan sesuatu yang terbaik buat hamba-Nya,” nasehat Handoko.
“Aku tidak bisa Mas! Cintaku yang kutanam sudah berakar kuat dalam
pondasi hatiku, walau dentuman kebencianku telah melumatnya. Aku tak kuasa
melepas dari ingatanku. Aku benar-benar jatuh. Rasa-rasanya aku tak sanggup lagi
memapah jalan hidupku ke depan.”
“Lho … jangan punya pikiran sesempit itu! Dunia tidak selebar daun kelor.
Pokoknya kamu harus bangkit. Kamu harus kuat dengan cobaan itu. Apa kamu
bangga dengan kehidupanmu seperti ini?”
Ibu Pak Nardi semakin jauh menerawang ke masa lalunya. Dia tetap saja
duduk di kursi sofa. Malahan dia merebahkan dirinya dengan kaki selonjor di kursi.
Bantalan kursi yang sedari tadi dipegangnya erat dipindahkan ke atas uluh hatinya,
dengan kedua tangannya setengah melipat, menjepit bantalan kursi itu.
Dia tetap saja membiarkan pikirannya merefleksikan masa lalunya. Belanjaan
yang sudah dibelinya masih saja bertengger di atas meja. Pandangannya yang
semakin kosong dan perasaannya yang semakin kalut, dia enggan melakukan
aktivitas sebagai ibu rumah tangga. Sesekali dia meneteskan air mata, betapa
terpuruknya masa lalunya. Dia sangat menyesali atas sikap dan keputusannya di kala
itu.
Dia menyadari. Dia tidak akan seperti ini bila waktu itu menuruti nasehat
Handoko, minimal dia bisa menuntaskan kuliahnya dan menjadi pegawai kantoran.
Sehingga performent diri bisa tetap terjaga, tidak seperti sekarang ini.
“Din… aku siap antar-jemput kamu. Seberapa jauh sih tempat kuliahmu?
Kuantar kau sampai benar-benar sembuh kakimu. Kalau perlu sampai lulus pun aku
siap, asal yang kuantar mau dan kembali ceria seperti kata bapak!”
“Tidak Mas, aku sudah tidak punya semangat lagi. Biarlah aku menikmati
hari-hariku ini!”
“Jangan toh Din! Kalau kau begitu sama saja aku ikut andil mengubur masa
depanmu.”
“Nggak Mas Han, itu semua gara-garaku sampai aku hampir dua bulan penuh
hanya duduk di kursi roda ini!”
Waktu itu Dania benar-benar bersikukuh tidak akan melanjutkan kuliahnya.
Keputusannya sudah bulat, walaupun orang tuanya memaksanya, sampai-sampai
Handoko membujuknya dengan beraneka cara, tapi tetap saja Dania tidak mau.
Handoko setiap ada kesempatan selalu menyempatkan diri menengok Dania.
Apalagi setiap malam minggu tak pernah absen menemui Dania. Kadang kala
Handoko mengajaknya keluar sekedar jalan-jalan. Dia ingin mengembalikan
keceriaan Dania. Dania pun tak pernah menolaknya, walaupun setiap jalan-jalan tak
banyak kata yang terucap apalagi senyuman.
Sementara orang tua Dania membiarkan saja apa yang dilakukan Handoko.
Pokoknya orang tua Dania pasrah dan ingin anaknya cepat-cepat kembali bergairah

54
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

seperti dulu. Orang tua Dania percaya bahwa Handoko pemuda yang baik dan
mampu mengembalikan gairah putrinya sedikit demi sedikit.
Perjalanan kesembuhan Dania membawa hasil, secara fisik Dania sudah bisa
melakukan aktivitas apapun tanpa bantuan kursi roda atau kruk, hanya saja secara
kejiwaan Dania belum pulih seratus persen. Kadang dia dalam beraktivitas di rumah
sering terlihat menangis lirih. Langsung saja apa yang dia kerjakan ditinggalkan
begitu saja dan terus tengkurap di atas tempat tidurnya sampai dia kecapaian.
Sedangkan orang tua dan saudara-saudara Dania tak ada yang berani mendekatinya.
Pemandangan ini berjalan sampai di bulan kelima, hanya prosentase terus
menurun. Berkat kehadiran Handoko inilah Dania sedikit demi sedikit mulai bisa
tersenyum kadang kala candaria Handoko terbalas dengan uraian tawa Dania.
Sementara orang tua Dania membiarkan saja apa yang dilakukan Handoko,
intinya orang tua Dania berkeinginan putrinya bergairah kembali dalam hidupnya.
Orang tua Dania percaya bahwa Handoko pemuda yang baik, sopan, dan tak neko-
neko.37
Begitu juga Handoko sangat memegang teguh janji semula pertama kali
bertemu Dania. Dia akan membantu sepenuh hati. Dia rajin sekali menengok Dania.
Setiap ada kesempatan dia selalu ke rumah Dania. Apalagi malam minggu walaupun
hanya sekedar omong-omong atau jalan-jalan. Kalau pun Handoko yang lagi sibuk
maka Danialah yang sms mengharap kedatangannya.
Sampai suatu saat Handoko hampir seminggu tak menemui Dania. Dania
kebingungan membuat dirinya uring-uringan. Ditelepon Dania pun hp Handoko tak
aktif. Dia mulai tak mau bicara lagi walaupun orang tua Dania membujuknya. Orang
tua Dania tahu bahwa kegelisahan putrinya disebabkan ketidakhadiran Handoko.
Di hari kesepuluh tiba-tiba tamu suruhan keluarga Handoko datang ke rumah
Dania. Dia memberitahukan bahwa Handoko kecelakaan. Dia mengalami koma
selama lima hari, baru tadi pagi Handoko sadar dan memanggil-manggil Dania.
Dania mendengar berita itu spontan dia menjerit histeris lalu pingsan.
Sehingga keluarga Dania dibuat bingung. Keluarganya termasuk bapaknya yang lagi
jaga di toko dipanggilnya. Semua keluarga Dania mengerumuninya sampai Dania
siuman.
Dania langsung bangkit dari kerumunan keluarganya.
“Antarkan aku menemui Mas Han! Sekarang juga!”
Keluarga Dania langsung mengantarkan Dania menemui Handoko. Bapak ibu
dan kakak Dania ikut serta. Sesampai di rumah sakit Dania setengah berlari menuju
ruang di mana Handoko dirawat. Bapak ibu Dania pun mengejarnya dari belakang
termasuk orang suruhan keluarga Handoko.
Pandangan Dania tertuju pada ruangan yang di depan banyak orang
berkerumun. Dania tahu mereka mengawasi dirinya, yang salah satunya gadis kecil
yang sudah dikenali Dania. Dia itu keponakan Handoko yang pernah dua kali diajak
ke rumah Dania.
Dania langsung menerobos masuk, dijumpai Handoko terbaring tak sadarkan
diri. Dania langsung menangis ingin memeluk Handoko tapi perawat keburu
menangkap tubuh Dania.
“Maaf Mbak … pasien dalam keadaan koma!”
37
Macam-macam

55
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Tubuh Dania lemas. Dia rasanya tak bertenaga, langsung terjongkok di


pinggir tempat tidur Handoko. Dania masih dalam pengawasan perawat. Dia lalu
dihampiri seorang ibu yang sudah berumur dan Dessy, keponakan Handoko.
“Dania? Saya ibunya Handoko! Sabar Nduk … Handoko koma lagi. Tadi
ketika sadar manggil-manggil kamu, Nduk! Sabar ya … ibu sudah tahu banyak
tentangmu dari Handoko.”
Dania tidak menjawab. Dia malah menangis dalam pelukan ibu Handoko.
“Mas Han, Bu!”
Ibu Handoko semakin erat memeluk Dania. Sementara orang tua Dania dan
orang-orang yang ada di ruang hanya mengawasinya. Tiba-tiba Dessy memberi tahu
neneknya bahwa jari-jari tangan Omnya bergerak-gerak.
Seketika itu juga Dania dan ibu Handoko berdiri melihatnya. Handoko
memang sadar. Dia memanggil-manggil Dania, pelan sekali. Dania mendekat ketika
Handoko mulai membuka matanya. Dania langsung memeluknya. Tapi perawat yang
menjaganya memberi tahu bahwa Handoko masih dalam keadaan kritis. Denyut
jantungnya lemah sekali.
Dania mendekatkan telinganya ke bibir Handoko, karena Handoko berbicara
pelan sekali sampai Dania tak bisa menangkapnya.
“Din, aku sangat menyayangimu!”
“Dania juga Mas!
“Din ……”
Ternyata Handoko tak sadarkan lagi, perawat tergopoh-gopoh. Dia menyuruh
agar orang-orang yang mengerumuni Handoko disuruhnya keluar. Karena alat
pemicu jantung menunjukkan bahwa jantung Handoko tak bekerja. Perawat
mencoba memberi alat kejut jantung ke dada Handoko. Perawat mengulangnya lagi
sampai lima kali tubuh Handoko tak bereaksi apa-apa. Tanda-tanda kehidupan ketika
diperiksa perawat juga tidak ada. Akhirnya perawat memanggil orang tua Handoko.
Tatkala ibu Handoko menjerit memanggil nama Handoko. Dania merontah
langsung menerobos masuk menemui Handoko. Ibu Handoko memberi tahu bahwa
Handoko tak tertolong lagi. Dania langsung menangis sejadi-jadinya memeluk
Handoko. Dia menggerak-gerakkan tubuh Handoko.
“Mas Han …. jangan tinggalkan Dania. Jangan tinggalkan Dania…. Jangan
tinggalkan ….!” Tubuh Dania terjatuh dari tempat tidur. Dia pingsan.

***

“Tok….tok….tok!” Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan ibu Pak


Nardi. Ketika dilihatnya, ternyata suaminya yang datang. Dia ditanyai suaminya,
apakah dirinya sakit, karena wajahnya yang masih terlihat lemah, mata sembab habis
menangis dan barang-barang belanjaan masih utuh di atas meja.
“Ndak…. Pak, hanya kurang enak badan saja!” Jawab ibu Pak Nardi
mengalihkan perhatian.
Suaminya tidak menanyai lebih lanjut. Dia menyadari kalau usia menjelang
senja apa saja bisa terjadi. Dia tidak mengecek secara teliti keadaan istrinya.
Ketika sore hari di acara santai ibu Pak Nardi menanyai suaminya, apakah
Nardi putranya, serius berpacaran dengan Bu Santi. Suaminya menjawabnya itu

56
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

masih katanya dari suara-suara anak buahnya. Tiba-tiba ibu Pak Nardi dengan suara
yang mantap agar hubungan putranya itu digagalkan. Dia tidak setuju kalau putranya
itu berpacaran dengan Bu Santi.
Kebetulan sekali Sunardi, putranya, ikut nimbrung dalam perbincangan orang
tuanya. Ibunya langsung menanyai ke putranya dan Pak Nardi menjawabnya “iya”
dan dia menyatakan hubungannya sudah berjalan hampir lima bulan. Saat itu juga
ibunya melarang putranya berpacaran dengan Bu santi.
“Apa Bu alasannya aku nggak boleh pacaran dengan Bu Santi?”
“Tidak boleh! Pokoknya ibu melarang. Santi itu bukan anak baik-baik!” Kata
ibu Pak Nardi lebih keras.
“Lho Bu! Dari mana ibu tahu kalau Bu Santi itu bukan gadis baik-baik? Di
sekolah dia sangat baik, tugas yang saya berikan tak pernah tidak beres, pasti beres!
Dia baik, Bu!” Tandas suaminya.
“Tidak Pak! Pokoknya Ibu tidak setuju!”
“Bu… orang tidak setuju kan ada alasannya!”
“Nggak Pak, pokoknya ibu nggak setuju! Santi itu bukan gadis baik-baik, dari
turunan keluarga yang tidak baik. Ingat Nardi, kamu harus putus dengan Santi!” Kata
Ibu Pak Nardi lebih keras, lantas meninggalkan suaminya begitu saja.
Suaminya heran, istrinya yang hanya di rumah malah lebih tahu banyak
tentang Bu Santi dan keluarganya. Begitu juga Pak Nardi menurutnya Bu Santi dan
keluarganya itu orang-orang yang baik.
Keesokan harinya ayah Pak Nardi memperjelas pertanyaan ketidaksetujuan
istrinya atas hubungan putranya dengan Bu Santi. Malah istrinya mengajukan Bu
Santi agar dikeluarkan dari sekolah. Dan kalau suaminya sebagai kepala sekolah tak
mampu bertindak, maka ibu Pak Nardi atas nama ketua Yayasan Pendidikan akan
mengeluarkan paksa Bu Santi.
Ayah Pak Nardi semakin bingung dibuatnya, sebagai seorang pimpinan harus
bijak dalam menerapkan aturan. Di satu sisi sebagai kepala keluarga harus
memperhatikan ketentraman keluarga. Dia dengan hati-hatinya menjelaskan
permasalahan kepada istrinya malah istrinya semakin nekat dengan suara yang
meledak-ledak.
“Kalau sampean nanti nggak mampu menyelesaikan, biar aku yang akan
turun tangan. Gedung itu, sekolah itu milik keluargaku. Aku punya hak atas
segalanya!”
Ayah Pak Nardi tak menimpali kupasan istrinya. Dia langsung mohon izin
istrinya untuk berangkat ke sekolah. Sesampai di sekolah dia menyikapi kata-kata
istrinya tadi pagi. Dia mencoba mencari jawab, ada apa di balik permasalahan ini.
Hingga bel istirahat masuk dibunyikan dia hanya duduk saja di ruang kepala sekolah.
Akhirnya dia keluar dari ruangannya. Dia duduk di kursi tamu, tiba-tiba
melihat Bu Santi masuk.
“Ada apa Bu? Ibu habis menangis? Dari mana Bu?” Tanya kepala sekolah
beruntun.
“Habis dipanggil Ketua Yayasan, permisi Pak!” Jawab Bu Santi terburu-buru
sambil meninggalkan kepala sekolah.
Kepala sekolah memanggilnya kembali, agar Bu Santi masuk ke ruangannya.

57
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

“Bu, jangan masuk ruang guru dulu! Di sini saja, tentramkan hati Ibu dulu!
Ada apa sebenarnya, Bu? Bapak perlu tahu kalau bapak bisa membantunya!”
“Saya mau dikeluarkan dari sekolah ini Pak atau …,“ kata Bu Santi tak bisa
melanjutkan kata-katanya.
“Atau apa Bu?”
“Tidak boleh berhubungan lagi dengan Pak Nardi. Dan banyak kata-kata lain
yang tidak patut saya sampaikan pada Bapak. Maafkan saya, Pak!”
“Yach… Bapak sudah mengira, pasti masalah yang satu itu! Sabar saja Bu,
saya akan berupaya menyelesaikan masalah itu! Jalan yang terbaik bagi semuanya!”
“Sudah Pak, biar saya saja yang putuskan permasalahan itu. Mudah-mudahan
keputusan saya akan membuat semua pihak merasa baik. Walaupun ada sedikit rasa
sakit.”
Kepala sekolah tidak menjawabnya, dia hanya pasrah apa yang akan
diputuskan Bu Santi. Bu Santi sudah merasa lega, dia minta izin meninggalkan ruang
kepala sekolah.
Bu Santi di ruang guru didekati Pak Nardi. Kebetulan ruang guru kosong. Bu
Santi ditanyai Pak Nardi. Dia tidak menjawabnya malah dia menyibukkan diri. Pak
Nardi heran, dia salah tingkah melihat karakter Bu Santi. Akhirnya dia meninggalkan
ruang guru.
Saat itu juga Bu Santi menulis surat pendek buat Pak Nardi. Ketika pulang
seperti biasanya Pak Nardi sudah menunggunya di pintu gerbang sekolah. Saat
pulang Bu Santi lewat begitu saja di depan Pak Nardi, sampai Pak Nardi
menegurnya.
“Din, ayo kuantar!”
“Nggak Mas, aku pulang sendiri saja,” kata Bu Santi sambil mengeluarkan
kertas lipatan dan diberikan kepada Pak Nardi.
Pak Nardi menerima kertas pemberian Bu Santitanpa ada kecurigaan apapun.
Dia mengira Bu Santi hanya tak enak hati saja. Dia membukanya, betapa terkejutnya
ketika Pak Nardi membacanya.

Buat Mas Nardi


Sebelumnya Santi minta maaf. Mulai detik ini Mas nggak
usah dekati Santi lagi. Semua ini demi kebaikan Mas dan
Santi, biarlah masa lalu yang kita bangun bersama sirna.
Biarlah waktu yang mengasuh diri kita sendiri. Apa yang
mereka maui, apa yang mereka inginkan.
Maafkan Santi, Mas … bila semua ini terkesan mendadak dan
harus berakhir seperti ini.
Tak usah dibalas, telepon, ataupun sms.
Makasih.
Sidoarjo, 27 Agustus 2011
Dariku,

Santi

58
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Setelah membaca surat pemberian Bu Santi, Pak Nardi terbengong-bengong


sendirian di pintu pagar sekolah. Dia sedari tadi hanya duduk di atas sepeda
motornya. Dia berusaha menebak bahwa Bu Santi sudah dapat bocoran dari apa yang
diharapkan oleh ibunya.
Pak Nardi berupaya membuka dan membacanya sekali lagi. Ternyata inti dari
surat Bu Santi tetap sama. Pak Nardi langsung merasa pusing. Dia memutuskan
untuk menyusul ke rumah Bu Santi, tapi tidak berani. Akhirnya Pak Nardi
mengurungkan niatnya lalu ia pulang ke rumahnya.
Dia langsung masuk kamar. Mendengar bapak ibunya bersitegang membahas
Bu Santi, dia keluar memastikan apa yang dibicarakan orang tuanya.
“Santi harus keluar atau aku yang keluar dari rumah ini, Pak!”
“Yach … jangan begitu Bu! Apakah tidak ada jalan yang lebih baik. Saya di
sini orang tua, kepala rumah tangga. Tapi di sekolah saya pimpinan melakukan
sesuatu harus punya dasar yang kuat. Tidak semudah itu mengeluarkan guru”
“Tidak! Bapak selalu membela Santi. Gadis brengsek38 seperti itu apa yang
Bapak unggulkan? Turunan dari orang nggak waras, perampok, nggak laku kalau
nggak merampas milik orang!”
Suaminya semakin tidak mengerti semua tuduhan yang disampaikan istrinya
kepada Bu Santi. Begitu juga Pak Nardi yang maju mundur mau menengahi orang
tuanya. Dan yang paling tidak disukai Pak Nardi, mengapa ibunya terlalu serius
membicarakan Bu Santi. Apa salahnya Bu Santi, sampai bapaknya kena juga
dampratan dari ibunya.
Ketika ibu Pak Nardi berjalan ke ruang tamu dia menjumpai Pak Nardi
sedang duduk-duduk membaca koran. Dia menuding-nuding Pak Nardi.
“Ini juga! Kamu harus putus dengan Santi. Jangan sampai dilanjutkan. Kamu
kalau masih sayang ibu jauhi Santi. Kalau perlu bantu bapakmu mengeluarkan gadis
brengsek itu dari sekolah. Kalau tidak kamu yang harus keluar dari rumah ini!” Kata-
kata keras dari ibu Pak Nardi.
“Permasalahannya apa Bu? Tidak ada angin tidak ada hujan Ibu langsung
berteriak seperti ini? Apa salahku? Dan lagi, apa yang dilakukan Bu Santi, sampai
separah ini ?”
“Diam kamu! Kamu sudah besar beraninya menantang ibu! Dia itu
bajingan39, anak sundel40, ibunya itu yang merampas …..” teriak ibu Pak Nardi
sambil menangis keras.
Pak Nardi seketika itu tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun. Dia
merasa heran mengapa ibunya segarang itu. Padahal selama ini kepada bapaknya
atau anak-anaknya tidak pernah sekeras itu. Akhirnya Pak Nardi menemui ibunya di
kamarnya, yang masih menangis keras. Dia minta maaf kepada ibunya walau
permintaan maafnya itu tidak dijawabnya.
Pak Nardi keluar perlahan dari kamar ibunya menuju kamarnya sendiri. Dia
memutuskan untuk pergi ke rumah Bu Santi untuk mencari jawab, tapi niatnya
diurungkan karena akan menambah keruwetan saja. Apalagi Bu Santi baru memberi
surat tadi siang, yang isinya begitu jelas dan tegas. Dia mengeluarkan surat itu dari

38
Tidak beres/becus
39
Penjahat
40
Pelacur

59
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

dompetnya. Dia membacanya sekali lagi, betapa terkejutnya tiba-tiba ibunya


nyelonong masuk ke kamarnya sampai dompet yang dipegangnya terjatuh.
“Hai…. Nardi, apa kamu tak tahu Santi itu bukan gadis baik-baik. Dia pernah
menghilang beberapa hari dengan laki-laki, di Bali sana. Apa yang dilakukan kalau
bukan yang satu itu? Kau jangan sampai jadi korbannya yang kesekian kalinya.”
“Bu … jangan menuduh yang bukan-bukan! Bu Santi bukan gadis murahan.
Itu hanya fitnah yang ingin merusak nama baik Bu Santi”.
“Tidak! Itu benar! Darah akan tetap meneteskan darah. Darah-darah sundel!”
Pak Nardi tak tahan mendengar kata-kata ibunya, dia langsung naik ke kamar
pribadinya di lantai dua. Dia merebahkan diri. Dia semakin bingung, marah, dan apa
yang harus diperbuat. Pandangannya yang kosong menerawang jauh yang dirinya tak
sanggup menafsirinya, sampai dia tertidur.
Saat jam menunjukkan pukul 19.30 Pak Nardi dibangunkan bapaknya.
“Le, ayo bangun! Mari kita selesaikan masalah ini di meja makan! Lebih
cepat lebih baik, Le!”
“Iya…. Pak!”
Di meja makan mereka bertiga berdiam diri, hanya bapaknya terbatuk-batuk
kecil untuk angkat bicara tapi dari mana dia harus memulai. Untung saja Pak Nardi
memulai dengan kata-kata basa basi menanyakan mana Mbok Parti tentang masakan
yang dihidangkan tapi dia salah ucap.
“Bu… mana Mbok Santi, Ibu kok yang ngladeni41?”
“Nah itu dia pikiranmu sudah diracuni Santi. Ini ibu yang masak bukan Santi
yang brengsek itu! Ibu tidak mau lagi dengar nama Santi disebut-sebut di rumah ini.
Sampean Pak, Santi itu keluarkan saja dari sekolah!” Kata ibu Pak Nardi agak tinggi.
“Iya Bu! Aku sebagai pimpinan di lembaga mengambil tindakan harus
berdasarkan landasan dan alasan yang logis. Aku tidak bisa mencampuradukan
urusan pekerjaan dengan kepentingan. Seumpama itu aku turuti kemauan ibu, sama
saja aku ini pemimpin yang dhalim, yang seenaknya saja mengambil polesi. Dia itu
tanpa cacat soal pekerjaan, bahkan lebih-lebih jiwanya hanya untuk sekolah yang
kita miliki itu Bu!” Papar bapak Pak Nardi.
“Baik, kalau begitu biar aku saja yang turun tangan, sebagai ketua yayasan
aku berhak atas sekolah dan isinya!” Kata ibu Pak Nardi semakin keras.
Pak Nardi hanya diam saja. Dia tak berani mengeluarkan pendapat, percuma
pendapat apapun akan mentah, bahkan akan membuat amarah ibunya yang lebih
hebat lagi. Dia hanya asyik makan dadar jagung 42 kesukaannya
“Itu kemauan Ibu, terus terang aku tak bisa melaksanakannya karena
bertentangan dengan hati nuraniku, lebih baik aku saja yang keluar. Biar aku
ngurusin sawah saja!”
Tanpa ada jawab, bapak Pak Nardi meninggalkan meja makan menuju ruang
tamu. Tak lama ibunya menyusul tapi langsung masuk kamar. Tinggal Pak Nardi
sendiri di meja makan.
“Nah…. ini baru makanan yang lezat, empat sehat lima tak teridentivikasi
aura negatif,” guraunya.
Seusai makan dia beres-beres meja makan, sampai cuci piring segala.

41
Mengurusi
42
Lauk goreng yang terbuat dari jagung

60
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

“Oalaaa… Kang Nardi, kowe iku juragan nyatane cocok dadi juoongos43!”
Gumamnya sendiri.
Keesokan harinya aktivitas keluarga seperti biasa Mbok Parti sudah ada di
rumah. Sementara anggota keluarga tanpa ada kata-kata kecuali berbicara dengan
Mbok Parti. Mereka semua membisu, sampai bapak Pak Nardi dan Pak Nardi
berangkat bekerja.
Di sekolah juga demikian ketika Pak Nardi berangkat ke sekolah dengan jalan
kaki dia melihat mobil orang tua Bu Santi yang baru saja datang. Ketika Pak Nardi di
pintu gerbang dia masih omong-omong dengan satpam sekolah, Bu Santi lewat. Dia
diam saja tak menegur orang-orang yang ada di samping pintu pagar sekolah. Satpam
heran dia mengira bahwa Bu Santi tidak melihatnya.
Pak Nardi diam saja mendengar apa yang baru saja disampaikan oleh satpam.
Pak Nardi tahu, sikap Bu Santi itu disengaja karena ada Pak Nardi. Ternyata tidak di
rumah saja di tempat pekerjaan juga situasinya tak karuan.
Perasaan Pak Nardi serba salah. Suasana yang baru saja ia saksikan
merupakan awal dari permasalahan yang dikondisikan ibunya. Dia benar-benar tidak
mengerti, ada rahasia apa di balik semua ini.
Ketika dia memasuki ruang guru, teman-teman guru menyapanya.
“Pak …. ini lho, Bu Santi bawa dadar jagung, enak Pak!” Sapa Bu Vany.
Pak Nardi hanya tersenyum. Dia langsung menuju lokernya. Dia
mengeluarkan beberapa buku. Teman-temannya heran, mengapa Pak Nardi
demikian. Akhirnya teman-temannya menyuruh Bu Santi untuk menawari Pak Nardi.
Bu Santi pun menuruti agar permasalahannya tidak terbaca oleh teman-temannya.
“Pak …. mari ini dadar jagung buatanku sendiri!” Ucap Bu Santi.
“Iya, makasih!” Jawab Pak Nardi sambil jalan keluar.
Teman-temannya heran Pak Nardi tidak seperti biasanya, bila Bu Santi yang
bawa jajan, pastilah Pak Nardi yang habis banyak. Dan selalu berkomentar yang tak
habis-habisnya memuji Bu Santi.
Teman-teman Bu Santi menanyakan apakah Bu Santi ada masalah dengan
Pak Nardi. Bu Santi menjawab tidak ada. Dia sengaja berbohong agar masalah yang
sangat menyakitkan itu tidak diketahui teman-temannya. Dia sebenarnya sangat
menyayangi Pak Nardi tapi karena situasilah yang harus memisahkan mereka.
Bu Santi tidak tega melihat Pak Nardi. Dia berusaha bersikap sebaik mungkin
seperti tidak ada masalah, terutama pada Pak Nardi. Dia menyadari bahwa dirinya
dan Pak Nardi hanyalah korban dari konflik perjalanan asmara orang tuanya di masa
mudanya.
“Mungkinkah Mas Nardi sudah tahu? Itu menyangkut ibuku, ibunya, dan
suami ibuku yang pertama, yang sudah almarhum. Mengapa semua ini imbasnya
sampai ke aku dan Mas Nardi? Benar-benar tidak adil! Kasihan Mas Nardi harus
memikul beban dendam orang tuanya. Kalau aku sih sudah biasa mulai dari kecil,
derita, hujatan, cemoohan, sudah sering kuterima,” lamun Bu Santi.
“Hei …. pagi-pagi kok sudah melamun!”
“Ndak, Bu! Aku cuma membayangkan apa yang harus kuberikan kepada
anak-anak di hari ini?” Bantah Bu Santi lagi-lagi berbohong menyembunyikan hal
yang sebenarnya.
43
Kamu itu majikan tapi cocok jadi pembantu

61
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Bu Santi keluar dari ruang guru. Dia menaiki tangga menuju kelas XI Ak 1 di
lantai dua. Di balik tangga Pak Nardi sudah menanti kedatangan Bu Santi. Betapa
terkejutnya Bu Santi ketika kakinya menginjak lantai dua Pak Nardi menghadangnya
dengan kata-kata yang menyakitkan hati.
“Bu … sombong banget! Baru jadi orang terkenal saja sudah sok! Sudah
punya pengganti yang lebih hebat ya dariku?”
“Pak ….?!”
“Sudah! Aku tidak butuh komentar lagi. Aku sudah tahu semuanya!”
Bu Santi hanya berdiri terbengong-bengong mengawasi kepergian Pak Nardi.
Dia sangat kaget dan kesal tidak bisa memberi penjelasan kepada Pak Nardi.
“Mas … seandainya kau tahu betapa sayangnya diriku padamu. Cintaku…
hidupku … jiwaku hanya untukmu. Tapi mengapa setelah cintaku cintamu tumbuh
subur di hati, dendam orang tua kita menggorok paksa cinta kita. Seandainya kau
tahu Mas, betapa hancurnya hatiku. Aku tidak masalah kau mengatai aku apa saja
asal kau tahu kita ini korban dari orang tua kita,” batin Bu Santi.
“Hai … melamun lagi, yach!” Sapa teman Bu Santi.
“Oh nggak, Bu! Kelasnya masih disapu.”
Bu Santi berjalan pelan mendekati pintu kelas XI Ak 1. Ketika sudah selesai
disapu, Bu Santi masuk. Proses pembelajaran pun dimulai. Di tengah-tengah
pembelajaran hp Bu Santi berdering, ada sms yang masuk. Dia langsung
membukanya.
“Perempuan brengsek, jangan coba-coba ganggu anakku. Kau tidak pantas di
sampingnya, kau tidak ada bedanya dengan ibumu. Perempuan brengsek …
bajingan… sundel!”
Bu Santi langsung bersandar di meja guru. Dia tak kuat membaca sms dari
ibu Pak Nardi. Tak terasa air mata Bu Santi menetes. Semakin lama semakin deras
dan suara sesenggukan keluar dari mulutnya mengikuti tarikan desa nafasnya.
Hingga ketua kelas datang menghampirinya.
“Kenapa Bu? Ibu sedang sakit?”
“Iya ?!” Jawab Bu Santi sekenanya.
“Mari Bu, saya antar ke kantor!”
“Ndak usah! Ibu di sini saja, nanti Ibu akan sembuh juga. Kamu kerjakan saja
LKS latihan 9 !”
“Iya Bu!”
Bu Santi hanya duduk sambil menutupi mukanya dengan kedua tapak
tangannya. Dia berusaha menetralisasikan gejolak hatinya yang sakit. Sampai jam
pelajaran di kelas XI Ak 1 berakhir, Bu Santi tak membuka sedikit pun kedua tapak
tangannya yang menutupi wajahnya.
Anak-anak tidak ada yang berani memberi tahu Bu Santi kalau jamnya sudah
habis. Tiba-tiba Bu Santi berdiri dan memberi salam kepada anak-anak. Ketika Bu
Santi keluar dari pintu kelas dia berpapasan dengan Pak Hendra.
“Lho … Bu, kenapa?” Sapa Pak Hendra.
“Ndak ada apa-apa Pak!”
“Apa jenengan44 bertengkar dengan Pak Nardi?”
“Ndak Pak! Suatu saat saya akan bercerita kepada Bapak!”
44
Sebutan untuk orang kedua (Jawa halus)

62
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Bu Santi turun dari tangga. Dia berjalan tidak menuju ke ruang guru tapi dia
terus keluar dari sekolah, lalu dia naik MPU. Pak Satpam yang mengawasi gerak-
gerik Bu Santi dikiranya mau foto kopi tapi dia langsung masuk mobil.
Pak Satpam heran. Bu Santi tidak seperti biasanya, dari jauh saja kalau dia
bertemu dengan siapa saja selalu menyapanya. Tapi kali ini dia dengan langkah yang
agak terburu-buru, mata sembab, dia keluar begitu saja tanpa memperhatikan orang-
orang di sekitarnya.
Saat istirahat Pak Hendra mencari Bu Santi. Dicarinya sampai di ruang guru,
ruang BK, dan di kantin sekolah tapi tidak ditemukan. Ketika Pak Satpam
mengetahui Pak Hendra mencari Bu Santi, Pak Satpam memberi tahu apa yang ia
lihat tadi kepada Pak Hendra. Langsung Pak Hendra menelepon Bu Santi.
“Hallo … Bu Santi, di mana Ibu?”
“Saya di rumah Pak!”
“Ada masalah apa Bu? Terus terang saja saya ingin membantu Ibu, tentang
Pak Nardi kan?”
“Iya Pak! Bukan Pak Nardi, tapi ibunya. Saya kemarin dipanggil secara
khusus di rumahnya, tanpa sepengetahuan Bapak Kepala Sekolah. Beliau mengatai
aku yang bukan-bukan. Tadi ketika saya mengajar beliaunya kirim sms yang bernada
sama. Dan lagi, Pak Nardi jugamenuduh aku yang bukan-bukan. Pak Nardi tidak
tahu apa rencana ibunya?” Papar Bu Santi.
”Oh yaa … saya paham Bu! Saya akan cari tahu informasi dulu. Bu … yang
sabar yach! Jangan sampai Ibu terpancing dan terjebak dari situasi ini yang akhirnya
memberikan keputusan yang salah. Makasih! Kapan-kapan kita bicarakan lagi!”
Pak Hendra menuju ruang perpustakaan. Dia mencari buku-buku yang
dipakai sebagai model pembelajaran langsung. Di sana dia bertemu Bu Vany, teman
akrab Bu Santi, yang sedang asyik telepon. Ketika Pak Hendra menyapanya, Bu
Vany hanya menundukkan kepalanya dan membesarkan volume suaranya.
“Bu …. ini ada Pak Hen, sampean perlu bicara?”
“Ndak usah, tadi sudah telepon saya!”
“Siapa Bu? Bu Santi-kah? Tolong besuk suruh bawa perlengkapan rujak! Aku
punya krupuk dan tahu cukup banyak!”
Bu Vany memberi tahu Bu Santi tentang pesan Pak Hendra. Bu Santi pun
mengiyakan saja. Ketika terdengar bel istirahat sudah usai mereka beranjak dari
kursinya masing-masing.

***

Sebulan semenjak peristiwa pemanggilan Bu Santi oleh istri kepala


sekolahnya, Bu Santi mengalami tekanan batin yang berat. Dia rasanya ingin keluar
saja dari mengajar, tapi kepala sekolah dan teman-temannya melarangnya. Mereka
menyarankan agar Bu Santi kuat menghadapi masalahnya. Kata mereka keluar
bukanlah jalan yang terbaik, bisa-bisa orang yang tidak tahu malah memberi
apresiasi Bu Santi-lah yang salah. Dengan berbagai pertimbangan Bu Santi
menurutinya, walau hatinya benar-benar hancur.

63
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Keseharian Bu Santi di sekolah tak seperti biasanya. Dia lebih banyak diam.
Dia sengaja tak banyak bicara atau bertingkah, takut sikapnya akan membuat
masalah baru. Hanya teman-teman dekatnya saja yang memberi semangat.
“Bu … jangan takut! Sampean di sini diangkat melalui prosedur. Sampean di
sini bukan minta-minta, sampean digaji karena profesi. Ayolah yang biasa saja!”
“Bu Vany, aku malu! Semua teman selalu memperhatikan aku. Aku takut
membuat kesalahan.”
“Apanya Bu? Itu hanyalah perasaan Bu Santi saja. Nyatanya teman-teman tak
banyak yang tahu, hanya aku, Bu Wimba, dan Pak Hendra. Buktikan kalau Ibu bukan
perempuan seperti itu!” Nasehat Bu Vany.
Bu Santi antara percaya dan tidak menanggapi temannya itu. Terus
bagaimana dengan Pak Nardi yang kesehariannya sangat acuh. Jangankan menjawab
salam yang dilontarkan Bu Santi, melirik saja tidak. Dia benar-benar termakan fitnah
ibunya, yang secara tidak langsung ikut-ikutan menghukum Bu Santi.
“Mungkinkah dia tak akan mempengaruhi guru-guru yang lain?” Pikir Bu
Santi.
“Lho … diajak ngobrol kok malah tidur!”
“Ndak Bu, aku nggak tidur! Aku akan mendengarkan Bu Vany ngomong. Aku
sangat suka Bu Vany selalu memperhatikan aku.”
“Yach kalau begitu tatap mata saya!”
Mereka ngobrol asyik sekali. Belum lama mereka ngobrol tiba-tiba Pak
Hendra muncul dari balik pintu. Dia seperti biasanya selalu menggoda mereka, yang
dianggap teman akrab, teman yang seumur anaknya, dan sekaligus tempat curhat
yang positif. Ketika Pak Hendra mendekati Bu Vany, dia bertanya :
“Apa ada kabar baru? Buat kita, you….you ….ai ….!”
“Ada Pak! Kepala sekolah yang sering uring-uringan tanpa sebab. Tadi Pak
Nardi baru saja diomeli gara-gara salah memarkir sepedanya. Dan untuk kita aman!”
Bu Santi hanya memperhatikan saja kehadiran Pak Hendra. Dia lalu
menunduk membuka-buka bukunya. Ketika Pak Hendra mendekati dan berdiri di
sampingnya Pak Hendra mencoba berkomunikasi dengan bahasa batinnya. Dengan
tatanan diksi yang merupa dia mengakomulasikan suratan tafsir yang ia rasakan.
Sehingga aura ekspresi yang tertangkap dalam sebuah gambaran ilusi terpampang
danau luas yang kering-kerontang.
“Tatkala kutatap mata hitam
di balik lengkung kacamata
tersimpan debur ombak, kering
pada mata air
dalam tetes air mata
yang ingin menumpa
tidakkah?
bumi ingin berbagi
dalam tawarkan rasa, “ katanya.

Bu Santi tidak langsung menjawab. Dia memahami apa yang baru


disampaikan Pak Hendra. Akhirnya Pak Hendra meninggalkan Bu Santi dengan kata-
katanya lirih : “Tiada harus rintik hujan di pagi hari membentangkan pelangi!”

64
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Sementara Bu Vany yang duduk di hadapan Bu Santi yang hanya


menyaksikan mereka. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang mereka
perbincangkan. Dia merasa bahasa demit yang mereka gunakan kadangkala membuat
orang lain tersinggung, tapi perasaan jengkelnya selalu sirna setelah Bu Santi
memberikan penjelasannya.
Sepeninggal Pak Hendra, Bu Santi pun masuk kelas setelah menjelaskan
kepada Bu Vany apa yang telah diisyaratkan Pak Hendra. Bu Vany pun menyetujui
keinginan Pak Hendra, karena persahabatan dan kepedulian pada teman. Dia
berharap ikut membantu mencarikan solusinya.
Bu Santi awal mulanya merasa canggung untuk membeberkan masalah
pribadinya. Apalagi masalah yang dihadapi sekarang ini sempat menyeret Pak
Hendra sebagai famili Pak Nardi. Tapi Pak Hendra sudah berkomitmen kepada Bu
Santi bahwa hubungan keluarga tak boleh dihubung-hubungkan dengan masalah
pekerjaan dan persahabatan.
Ketika pembelajaran berlangsung di jam ketiga Bu Vany mendatangi Pak
Hendra di laboratorium komputer. Dia menyampaikan permasalahan Bu Santi apa
adanya, seperti yang diceritakan Bu Santi kepadanya. Pak Hendra terkejut.
Permasalahan yang dia dengar sampai saat ini tidak sesuai dengan cerita yang
dibeberkan Bu Vany. Pak Hendra menilai bahwa permasalahan ini tidak hanya
sekedar dendam kesumat, tapi diboncengi masalah moral. Walau masalah itu hanya
sekedar tuduhan, lepas dari benar dan salah.
Dalam membantu pemecahan masalah Bu Santi, Pak Hendra benar-benar
angkat tangan. Dia takut kalau konsep yang dia berikan nantinya akan membawa
ketidakenakan salah satu pihak. Untuk itu Pak Hendra memohon Bu Vany agar
mengajak Bu Santi untuk menemui dirinya di laboratorium sekarang juga.
Tidak lama, Bu Santi sudah ada di laboratorium komputer menemui Pak
Hendra. Pak Hendra menyampaikan apa yang ada dalam pikirannya, yang intinya
dirinya merasa ewoh-pakewoh45 dalam memberi komentarnya. Malahan dirinya balik
menanyai Bu Santi dalam menyikapi masalah ini.
“Saya Pak, tetap pada pendirian saya. Saya tidak akan melanjutkan hubungan
saya dengan Pak Nardi, walau resikonya hati saya yang mengalami kehancuran. Saya
sudah terbiasa dengan kehidupan seperti ini. Dan lagi, saya tidak terbiasa mencabut
sesuatu yang sudah saya sampaikan dan tidak akan pernah!” Tandas Bu Santi.
“Baiklah Bu! Saya sebagai teman sangat prihatin dengan permasalahan Ibu.
Mudah-mudahan ada jalan terbaik untuk Ibu!”
Bu Santi memahami apa yang disampaikan Pak Hendra. Sebagai teman
dekat, senioritas di rumpunnya, dia banyak memberikan sesuatu yang berharga dalam
memaknai hidup atau masalah yang berkaitan dengan pekerjaan. Bu Santi merasa
senang bahwa masih ada orang-orang yang peduli pada dirinya. Dari sinilah Bu Santi
tak segan-segan menyampaikan segala curhatnya tentang kisah cinta pertamanya
yang kandas sampai cinta kasihnya yang tergorok oleh dendam kesumat orang
tuanya.
Saat bel masuk istirahat dibunyikan Bu Santi mohon izin masuk ke kelas. Dia
nyelonong46 saja masuk sambil mengucapkan salam. Tak tahunya Pak Nardi ada di

45
Sulit dalam melakukan tindakan karena ada ganjalan perasaan
46
Masuk tanpa permisi

65
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

dalam kelas tersebut sedang berbincang-bincang dengan murid-muridnya. Bu Santi


langsung saja duduk di kursi guru. Dia mengeluarkan buku-buku dari tasnya sambil
melirik keberadaan Pak Nardi. Tak tahunya Pak Nardi sudah tidak ada. Dia berpikir
bahwa Pak Nardi sengaja membalasnya.
“Anak-anak mana Pak Nardi tadi?” Tanya Bu Santi.
“Keluar Bu! Pak Nardi tadi sudah pamit ke Ibu, tapi Ibu diam saja!”
“Masak? Ibu kok ndak dengar?”
Bu Santi merasa tidak enak saja kepada Pak Nardi, takut dirinya dikira
mempermainkannya. Padahal dia benar-benar tidak tahu. Dia sangat menjaga betul
tentang hubungan personal, masalah pekerjaan, sampai urusan yang berkaitan dengan
sekolah, jangan sampai apa yang dia lakukan akan berdampak kepada orang lain
merasa tersakiti, minimalnya tersinggung.
Menurut Bu Santi masalah yang menimpanya ini harus cepat-cepat
diluruskan. Jangan sampai persoalan sekecil ini akan mempengaruhi kinerjanya,
karena situasi sekarang ini lagi dalam keadaan yang mengkhawatirkan. Perasaan
tidak suka, dendam kesumat, rasa sakit hati akan mengganggu jiwa yang penuh rasa
simpati, cinta yang tulus untuk dikuburnya hidup-hidup.
“Biarlah, nanti saja! Aku akan minta maaf padanya!”
Keinginan Bu Santi sudah bulat. Dia akan minta maaf kepada Pak Nardi. Dia
akan mengalah dalam menyelesaikan masalah itu demi menjaga persahabatan dan
perasaan. Belum sempat keinginannya terealisasikan Pak Nardi sudah marah-marah
melalui sms-nya.
“Sombong! Apa bisu nggak bisa jawab salam? Terus terang aku malu dengan
anak-anak! Aku bisa lakukan lebih dari itu!”
Bu Santi merasa tidak enak, dia harus menjawab apa pastinya Pak Nardi tidak
akan pernah percaya. Akhirnya sms dari Pak Nardi itu diteruskan dikirim ke Bu
Vany. Dia tidak habis pikir masalah terus saja datang beruntun. Awalnya, dia merasa
sumber masalah utama mudah untuk diatasi, nyatanya tidak pernah selesai malahan
membonceng permasalahan-permasalahan baru yang datangnya sangat tidak
diharapkan.
Proses pembelajaran yang dilaksanakan Bu Santi lagi-lagi kacau. Dia sempat
tertekan, tak bisa konsentrasi pada materi yang diajarkan. Sebagai pelariannya Bu
Santi menugasi anak-anak untuk mengerjakan LKS. Anak-anak menolaknya dengan
alasan materi belum pernah disampaikan., sehingga mereka tidak mampu
menjawabnya. Akhirnya Bu Santi memutuskan untuk membuka arena tanya jawab
dari materi yang ada di LKS yang dianggap tidak bisa dikerjakan siswa.
Belum sempat menjawab pertanyaan hp Bu Santi bergetar kembali.
Dibukanya, ternyata sms dari Bu Vany.
“Ada apa lagi? Untuk sementara tolong hindari kontak dengan dia!”
“Sudah Bu! Nanti sore saja aku main ke rumah Ibu!” Balas sms Bu Santi.
Bu Santi melanjutkan materi tanya jawabnya sampai jam pelajaran berakhir.
Dua jam terakhir di kelas yang lain Bu Santi juga melaksanakan hal yang sama. Dia
masih diliputi perasaan yang menurutnya tidak bisa dia rasakan. Kacau, rasa
bersalah, jengkel, dan marah jadi satu dalam perasaannya.
Ketika bel pelajaran berakhir dia langsung menuju ke pintu gerbang sekolah.
Dia menunggu jemputan bapaknya. Dilihatnya dari jauh Pak Nardi duduk di atas

66
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

sepeda motornya, mengawasinya. Sampai murid-murid sudah sepi ayah Bu Santi tak
datang-datang juga. Sementara Pak Nardi tetap saja mengawasinya dari jauh. Saat itu
juga jiwa Bu Santi tersentak ingin menjelaskan permasalahan tadi ke Pak Nardi.
Kebetulan juga sepeda motor Pak Nardi mulai bergerak pelan menuju pintu
gerbang sekolah. Waktu yang tepat pikir Bu Santi saat Pak Nardi lewat di depannya,
dia akan minta maaf dan akan menjelaskan permasalahan yang sebenar-benarnya.
Tapi apa yang yang terjadi ketika Pak Nardi benar-benar melewati pintu gerbang dan
berhenti tepat di depan Bu Santi karena sepedanya terhalang oleh mobil angkutan
umum, Bu Santi hanya bisa menatapnya. Dia tak sanggup berkata-kata. Mulutnya
terasa terkunci rapat sampai Pak Nardi bergerak menjauhi dirinya.
Bu Santi rasanya ingin menjerit sekeras-kerasnya. Hatinya yang ingin
meluruskan permasalahan, tapi nyatanya tak punya kemampuan apa-apa. Dia baru
sadar ketika ayahnya menggandengnya.
“Apa Nduk yang kamu lihat? Dipanggil-panggil ndak dengar sampai bapak
turun! Ayo pulang!”
“Santi agak pusing, Pak!”
“Pusing kenapa? Tadi berangkat saja tidak ada masalah apa-apa?”
“Yach … pusing aja, Pak!”
Sesampai di rumah Bu Santi langsung masuk kamar. Pikirannya semakin
kalut, bingung, dan pusing yang tak tertahankan.
“Tot … tok … tok …!” Pintu kamar Bu Santi diketok bapaknya.
“Nduk, ayo salat dulu! Pikiran kalut, pusing karena masalah akan luntur bila
kena air wudlu!”
Bu Santi langsung bergegas membuka pintu. Dia sadar dan percaya apa yang
baru saja dikatakan bapaknya, seperti yang pernah didengarnya dari Ustad Jefri.
Seusai melaksanakan salat Bu Santi makan siang bersama bapak ibunya.
Memang benar apa yang telah dikatakan bapaknya, Bu Santi merasa dirinya agak
mendingan. Dia mulai bercerita ini dan itu tentang murid-muridnya. Ketika bapaknya
menanyakan bagaimana kabar Pak Nardi, Bu Santi mendadak terdiam. Dia terlihat
agak gelisah. Mengetahui hal ini bapaknya langsung mengalihkan perhatian tapi Bu
Santi keburu masuk ke kamarnya.
Bu Santi langsung merebahkan diri di atas ranjangnya. Pikirannya sampai
mengundang masalah yang agak terlupakan datang lagi menghadangnya.
“Tidak! Aku tidak mau terulang yang kedua kalinya. Aku akan
menyelesaikan secara baik-baik!” Batin Bu Santi.
Tiba-tiba Bu Santi bangun. Dia berjalan menuju meja belajarnya. Dia
membuka laci mejanya. Kertas dan buku dia keluarkan. Pandangannya tertuju pada
buku diary, di mana dia masih kuliah. Dibukanya buku tersebut. Lembar demi lembar
dibacanya, menginjak awal tahun 1995-an apa yang tertulis di buku hariannya
dibacanya sampai dua kali. Dia teringat benar, saat itulah Bu Santi Pertama kalinya
berkenalan dengan seorang pria. Tak tahunya dia sangat simpati dan jatuh hati
padanya.
”Mas Anggoro! Kaulah yang pertama kali mengisi hatiku. Oh … bukan …
bukan! Budi! Yach… kaulah Budi yang pertama. Tapi apalah artinya cinta monyet,
cinta yang tak sungguhan, cinta anak ingusan yang sekedar pengisi rasa kasih di
dunia kanak-kanak, yang bisa hilang begitu saja tanpa ada rasa sakit atau kecewa

67
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

yang mendalam. Dari itu, maka kaulah Mas Anggoro yang pertama yang sempat
membuat gelora hatiku bergetar hebat, tapi kau juga yang membuatku kecewa yang
amat dasyat. Itulah, pertama kalinya aku merasakan betapa hebatnya dan pahitnya
racun cinta,” batin Bu Santi.
Di kala tatapan mata Bu Santi pada paparan kisah Mas Anggoro, jiwa Bu
Santi terseret arus ke masa lalunya. Saat pertama dia duduk di badukan47 di bawah
pohon mangga area kampus, dia didatangi seorang pria yang memperkenalkan
dirinya dengan nama Anggoro. Ternyata keesokan harinya terulang kembali di
tempat yang sama dan jam yang sama pula Anggoro menemuinya.
Secara kebetulan mereka se-daerah, maka mereka awalnya pulang bersama-
sama. Hubungan mereka semakin lama semakin akrab, sehingga Anggoro selama
dua semester selalu berangkat dan pulang bersama Bu Santi
Anggoro sebagai mahasiswa tranver-an, mata kuliahnya diupayakan
dipadatkan. Belum lagi tugas-tugas dirinya sebagai pegawai pemerintahan sangat
menyita waktunya. Oleh karena itu Bu Santi menawarkan diri untuk membantunya.
Ternyata hubungan mereka berlanjut tidak hanya sekedar sahabat tapi sebagai
pasangan seorang kekasih yang lagi dimabuk kasmaran. Hari-hari Bu Santi selalu
happy, tidak hanya pertemuan yang bergitu sering tapi bagian honorarium mengalir
juga ke Bu Santi.
Bu Santi benar-benar terpikat oleh jeratan kasih Anggoro. Mereka saling
jatuh cinta, walaupun secara devinitif Anggoro belum pernah menitahkan kata cinta
kepada Bu Santi. Tapi dari sikap dan perhatiannya yang lebih dari Anggoro, Bu Santi
mampu menterjemahkan bahasa batinnya. Menurutnya, Anggoro seorang pria yang
romantis, penuh perhatian, dan baik hati. Secara performen diri Anggoro memiliki
nilai plus.
Sampai Anggoro lulus pun hubungan mereka tak pernah berubah. Hampir
tiap hari Anggoro selalu mengantar dan menjemput Bu Santi dari kampusnya.
Sampai suatu saat di malam lebaran kurang lima hari Bu Santi bersama
ibunya jalan-jalan ke plaza mall, dia bertemu dengan Anggoro bersama seorang
perempuan dengan bayi mungil yang ada dalam gendongannya. Betapa terkejutnya
Bu Santi. Dia tidak percaya, tatapan mata Bu Santi mengarah pada Anggoro dan
perempuan itu, bergantian.
“Mas Anggoro!” Sapa Bu Santi.
“Oh, Dik Santi!”
Bu Santi menyalami dan memperkenalkan diri ke perempuan yang berada di
samping Anggoro. Betapa terkejutnya Bu Santi ketika perempuan itu mengatakan
bahwa dirinya adalah istri Anggoro dan putri kecilnya yang berada dalam
gendongannya adalah putri pertamanya.
Tubuh Bu Santi seperti tersambar petir. Dia tidak percaya pada
pendengarannya, sampai dia bertanya kembali kepada perempuan itu. Ketika
perempuan itu mengatakan yang kedua kalinya Bu Santi tiba-tiba pingsan.
Kepanikan terjadi di plaza mall. Terutama ibunya yang hanya ini dan itu
tanpa memberikan pertolongan yang berarti. Akhirnya satpam yang kebetulan
melintas di area pakaian khusus wanita berlari menghampiri dan menggendong Bu
Santi untuk dibawa ke ruang penyetokan barang.
47
Bangunan dari beton untuk duduk

68
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Hampir lima belas menit Bu Santi tak sadarkan diri. Ketika Bu Santi
memperhatikan orang-orang yang mengerumuninya, hanya ibunya saja yang ia
kenal. Bu Santi menanyakan di mana keberadaan Anggoro kepada ibunya, tapi
ibunya tak menjawabnya. Ibunya paham bahwa putrinya itu pingsan akibat shock
melihat Anggoro yang selama ini dikenalnya masih bujang, nyatanya sudah
berkeluarga.
“Bu, mana Mas Anggoro?”
Ibunya mendongak sambil menjawab pertanyaan putrinya yang sudah
disampaikan yang ketiga kalinya kepadanya.
“Ibu ndak tahu.Tadi ada di sini!”
Tiba-tiba Bu Santi tersadar lamunannya ketika buku hariannya terjatuh. Air
mata yang menumpah dari sudut matanya telah membasahi pipinya. Ketika dia
mengambil buku hariannya tak tahunya tulisan yang berjajar di baris-baris kertas
buku harian telah basah oleh air matanya. Tulisan dari tinta hitam sebagian terlihat
luntur dan memudar.
Dia mengamati secara teliti tulisan yang ada di buku harian. Dia tidak mau
catatan yang demikian pondamental sirna begitu saja. Dia mencoba mengeringkan
dengan mengipasinya, seraya menutup perlahan sederetan arus masa lalunya yang
begitu menyakitkan.
“Yach… aku menyadari bahwa semua itu datangnya dari yang di atas.
Sebagai hamba-Nya yang dikodratkan dengan segala kekurangan dan kelemahan
hanya mampu menerima apa yang telah tersuratkan. Bila Yang Esa telah menitahkan
suratan takdir pada hamba-Nya, maka hamba-Nya tak lagi mampu menepisnya.
Hanya doa dan ridha-Nya yang kupinta agar diberikan kekuatan lahir batin dalam
menapaki apa yang Kau maui. Hanya kepada-Mu Esa, aku meminta teguhkan
hamba-Mu pada jalan yang Kau ridhai. Amin!” Pinta Bu Santi dalam hati.
Bu Santi berkali-kali melafatkan Asma Allah agar dirinya dijauhkan dari
jeratan takdir yang dirinya tak mampu menghadapinya.
“Yaa Allah, biarlah kuterima coba-Mu, tapi jangan azab-Mu, karena pada
pintu-Mu telah kuketuk dengan jiwa-jiwa lurusku dalam penantian maghfira-Mu,”
ucap lirih Bu Santi.
Bu Santi keluar dari kamarnya. Dia berjalan menuju padusan48 yang
bertengger di samping badukan kamar mandi. Dia mengambil air suci untuk
membasuh jiwanya yang sedang kalut. Dia akan melaksanakan sujud taubat dan
sujud syukur agar diberikan kekuatan dalam menghadapi permasalahan diri yang
membelenggunya selama ini.
Dalam sujudnya Bu Santi tak berharap lebih. Bila semua ini balak yang
menyelimuti dirinya, agar lekas sirna berkat ridha-Nya. Air mata Bu Santi terus saja
menumpah pada sajadah. Dia rela berbasah-basah dan berlama-lama dalam sujudnya.
Dengan keikhlasan dan kepasrahan diri dia menanti berkah Illahi. Tatkala suara
adzan Asyar mengumandang, menerobos kekhusukan diri Bu Santi bangkit dari
sujudnya.
Dengan mata sembab dan lembam dia berusaha menyeka sisa-sisa air
matanya dengan jemari lentiknya bila air matanya masih ada yang tersisa. Dia keluar
menemui ibunya yang lagi asyik dengan kegiatannya menyulam. Didekati ibunya,
48
Gentong yang berisi air untuk berwudlu

69
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

dengan kebiasaannya semenjak kecil bila Bu Santi dekat dengan ibunya, jemari
lentiknya tak pernah lepas dari rambut ibunya. Kadangkala ibunya merasa risih, tapi
kemanjaan seorang anak walau sudah berusia dewasa dibiarkan saja, malah hal inilah
yang dipakai media untuk kedekatan seorang anak pada orang tuanya dan sekaligus
penyelaras masalah-masalah kecil yang muncul dalam keluarga.
“Bu… kalau capai berhenti lho! Jaga kesehatan! Untuk apa semua ini?”
“Yach … untuk cucu-cucu ibu nantinya! Yang terlahir dari rahimmu dan
anak-anak Mas Wawan!”
“Kan masih lama, Bu?” Kata Bu Santi sambil mencium pipi ibunya.
“Iya Nduk! Tapi ibu sangat mendambakan itu! Jangan sampai takdir Yang
Mahakuasa mendahului keinginan ibu atau penyakit ibu yang memenggal paksa
lebih cepat dari suratan Yang Esa!”
“Bu …. jangan berkata seperti itu, bulu kudukku jadi merinding!49”
“Ndak apa-apa Nduk! Kita semua harus pasrah pada-Nya. Hidup mati
seseorang hanyalah kuasa-Nya, kita tak punya hak apa-apa. Oh ya Nduk, itu ada
sepasang sepatu bayi khusus laki-laki yang ibu sulam dengan benang khusus, yang
nantinya buat putramu, Nduk! Pasangkan pada putramu setiap Selasa Kliwon bila ibu
nanti ndak punya kesempatan lagi untuk memakaikan sendiri buat cucu ibu!”
Bu Santi bergeser dari tempat duduknya. Dia bersimpuh di depan kaki
ibunya. Diciumi lututnya sambil bergantian menatap wajah ibunya, seorang wanita
dengan garis-garis ketuaan yang semakin jelas, telah menanti jerit tangis sang cucu
pada anaknya. Bu Santi tak kuat menatapnya. Sebuah harapan yang begitu besar dari
sang calon eyang buat si calon cucu.
Mendengar suara ibunya berkata pelan, Bu Santi langsung menagis lagi. Dia
ingin ditungguinya lama-lama. Dia tidak berharap semua itu terjadi lebih cepat. Dia
menolak apa yang telah dikatakan ibunya. Dia kembali menatap ibunya tajam sambil
meraih benang dan jarum yang dipegang ibunya, ditaruhnya di atas meja lalu dia
memeluk ibunya erat-erat.
“Ibu harus tetap sehat, tegar, harus mampu melawan penyakit yang Ibu derita.
Pada siapa Santi harus mengaduh? Pada siapa Santi harus berbagi kalau Ibu tiada?
Ibu harus nunggui Santi selamanya,” pinta Bu Santi.
Keinginan Bu Santi bubar. Rencana dia akan mencari informasi tentang ibu
Pak Nardi tak terlaksana, tapi dia malah terhanyut oleh kata-kata ibunya.
“Bu … Ibu harus istirahat, jaga kondisi, dan jangan lupa minum obatnya, biar
Santi yang beresin semua ini!”
Bu Santi membersihkan rumahnya, sementara ibunya istirahat. Ketika Bu
Santi membersihkan lemari mainan, pandangan Bu Santi tertuju pada sulaman sepatu
bayi yang ada di dalam kotak kaca yang tertulis tanggal pembuatannya. Saat diingat-
ingat tahun pembuatannya, Bu Santi masih duduk di bangku SMA kelas satu.
Selama ini Bu Santi tak pernah memberi perhatian yang lebih pada benda itu.
Pokoknya sudah lama sekali benda itu berada di lemari, tapi setelah ibunya tadi
memberitahunya Bu Santi malah ingin membukanya.
“Kapan kupakaikan pada putraku?” Pikirnya.
Selepas Isya’ Bu Santi bermain ke rumah Bu Vany, seperti janjinya tadi pagi.
Ketika pintu rumah Bu Vany diketuknya, seorang lelaki membukakan pintu.
49
Ketakutan (bulu kuduk berdiri)

70
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

“Bu Vany ada, Mas?”


“Ada. Silakan Masuk!”
Ketika Bu Santi baru saja duduk Bu Vany keluar dari kamar. Dia menyalami
Bu Santi. Saat itu juga seorang gadis kecil muncul dari belakang tubuh Bu Vany. Dia
ikut-ikutan menyalami Bu Santi.
“Oh … Mama?!”
“Bukan! Ini Tante Santi, teman Mbak Vany!”
“Kayak mama ya, Mbak?”
Gadis itu langsung berlari ke belakang sambil berteriak memanggil papanya.
Dia lalu menyeret papanya untuk ditunjukkan ke Bu Santi bahwa Bu Santi mirip
dengan mamanya. Bu Santi malu, dia merasa kikuk dengan ungkapan polos gadis itu.
Begitu juga papanya hanya bisa mengangguk-angggukkan kepalanya.
Untuk menutupi rasa kekikukannya Bu Santi memanggil gadis itu untuk
duduk di sebelahnya.
“Nama adik siapa?” Tanya Bu Santi.
“Paramita Andini. Tapi teman-teman memanggilku, Vara!”
“Cantik sekali namanya, secantik orangnya!”
“Benar Tante? Papa dengan Mbak Vany selalu memanggilku Gembrot50. Vara
nggak gembrot kan Ma … ee Tante?”
“Nggak! Vara cuuuaaantik sekali!”
“Sudah, Vara duduk saja yang baik dengan Tante Santi, nggak boleh nakal!”
Sela Bu Vany.
Papa Vara masuk. Sementara Bu Vany mohon izin ikut masuk juga. Dia ke
dapur akan membuatkan minuman buat Bu Santi. Saat itu papa Vara mendekati Bu
Vany menanyakan tamu Bu Vany.
“Van, siapa tamumu itu?”
“Bu Santi. Teman Vany, Om! Teman Vany cantik kan, Om? Apa Om naksir
dia?” Goda Vany.
Saat Bu Vany di dalam Bu Santi asyik ngobrol dengan Vara, gadis cantik
yang sedikit manja. Dia bercerita banyak tentang masa kecilnya kepada Vara. Vara
begitu juga walaupun dia gadis yang manja, tapi enak diajak bicara. Dia
menyampaikan juga kalau dia dua hari lagi akan berulang tahun yang kesepuluh. Dia
berharap kalau ulang tahunnya nanti Bu Santi mau datang.
Ketika Bu Vany keluar dengan membawa minuman dan cemilan, Bu Vany
langsung menyilakan Bu Santi untuk mencicipinya kuenya. Saat itu juga Vara protes
karena dirinya tidak dapat bagian minuman.
“Mbak, mana minuman Vara?”
“Ndak usah, buat sendiri di dalam!”
“Sudah Bu, ini aja milik saya!” Kata Bu Santi sambil menggeser gelasnya ke
hadapan Vara.
“Ndak usah Tante, Tante kan tamu biar Vara buat sendiri!”
Vara masuk sambil membawa nampan yang dibawa Bu Vany. Tidak lama dia
keluar dengan membawa nampan yang berisi dua gelas minuman.
“Ini buat Vara dan yang ini buat Papa!”

50
Gemuk

71
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Bu Vany diam saja. Dia hanya melihat tingkah Vara dengan karakter yang
sedikit geregetan. Saat itu juga Vara selesai menata gelas sesuai kursi, dia lalu masuk
ke dalam. Tidak lama di dalam terdengar ribut-ribut antara Vara dan papanya. Ketika
Bu Vany menolehnya Vara sudah menggandeng paksa papanya untuk diajak duduk di
ruang tamu. Papanya hanya menuruti kemauan anak satu-satunya itu. Dia duduk
sedikit malu-malu, walaupun penyampaian maaf sudah disampaikan kepada Bu
Santi.
“Nah sekarang Vara pingin ngomong, di ulang tahun Vara yang kesepuluh
lusa Vara mengundang Tante Santi untuk mendampingi Vara sebagai pengganti
mama. Vara kan malu dengan teman-teman kalau Vara nggak punya mama? Tante
tadi kan sudah janji akan datang di ulang tahun Vara?” Kata Vara polos.
Papa Vara malu, lebih-lebih Bu Santi yang ditodong secara langsung oleh
Vara. Dia ingin menyampaikan bahwa apa yang disampaikan Vara tidak benar, tapi
tak pernah mendapat kesempatan hanya tangannya saja yang berkali-kali
diangkatnya. Akhirnya Bu Vany menyampaikan bahwa Tante Santi nanti akan datang
mendampingi Vara. Vara langsung tersenyum, dia langsung mencium pipi Bu Santi.
“Ma … eee Tante, janji ya, Vara akan menunggu!”
“Iyaaa!” Jawab Bu Santi sekenanya.
“Papa, Tante, dan Mbak Vany, semua sudah beres pasti ulang tahun Vara di
rumah makan Cianjur nanti pasti meriah. Untuk itu mari kita minum minumannya!”
Seperti terhipnotis saja semua mengikuti apa yang diisyaratkan Vara. Vara
merasa bangga. Dia lalu menyilakan papanya masuk, termasuk kepada Mbak
Vanynya.
“Vara, Tante Santi ini ada perlu dengan Mbak Vany, bukan ke Vara!” Tegas
Bu Vany.
“Tapi nggak apa-apa kan Vara nemani Tante Santi?” Kata Vara sambil
menatap wajah Bu Santi.
“Lho ini urusan ibu-ibu, anak kecil ndak boleh tahu! Dan lagi ini rahasia!
Semua nggak boleh tahu selain mbak dan Tante Santi!” Bujuk Bu Vany.
“Iya …. Iyaaa! Tapi boleh kan Vara cium Tante dulu? Sediikiiiit aja!”
Bu Santi hanya mengangguk. Dia menuruti saja kemauan Vara. Dengan
senyumannya yang khas dia rela dipeluk Vara lama-lama.
“Sudah cukup!” Kata Bu Vany.
Vara melepas perlahan dalam memeluk Bu Santi. Dia berjalan mundur sambil
menatap Bu Vany. Dia tidak suka keinginannya untuk berlama-lama dengan Bu Santi
dihentikan begitu saja oleh Bu Vany.
“Mbak … syirik!” Kata Vara.
Bu Vany tidak lagi meladeni Vara. Dia mendekat ke Bu Santi untuk
mendengarkan cerita Bu Santi masalah tadi pagi di sekolah, tapi Bu Santi kurang
bersemangat untuk menceritakan soal Pak Nardi. Justru Bu Santi lebih suka
membahas Vara yang demikian manja, centil, dan familier.

***

Saat perayaan ulang tahun Vara di rumah makan Cianjur sangat meriah.
Undangan sudah hadir dan acara pun dimulai. Vara tampak gelisah. Pandangannya

72
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

sedari tadi menerobos ke segala penjuru di mana para undangan berada. Tampak
sekali kegelisaan dia, di tengah-tengah acara dia berlari ke arah mbaknya, Bu Vany.
Dia bertanya di mana Tante Santi, walau pemandu acara memanggil-manggilnya
berulang kali tak digubrisnya.
Bu Vany memberi tahu kalau Tante Santi dalam perjalanan. Dengan
bujukannya itu Vara sedikit gembira dan mau melakukan apa yang disampaikan
pemandu acara. Sementara itu Bu Vany menghubungi Bu Santi.
“Bu, nggak datang?”
“Ke mana?”
“Ulang tahun Vara. Ditunggu! Anaknya menangis Ibu nggak datang.
Kutunggu lho, Bu! Tiga puluh menit!” Bujuknya.
Bu Santi baru sadar, dikiranya kemarin ketika Vara ngomong disangkanya
guyon tapi sungguhan. Dia akhirnya buru-buru. Boneka yang dibelinya seminggu
yang lalu diambilnya dan dibungkusnya untuk kado Vara.
Tidak lama. Sekitar dua puluh menit Bu Santi tiba di rumah makan Cianjur.
Ketika Bu Santi masuk betapa ramainya undangan yang bersuka ria. Tiba-tiba
teriakan keras memanggil-manggil namanya.
“Mama datang! Tante Santi datang!”
Bu Santi mencari asal teriakan itu. Ternyata seorang gadis berlari
menghampirinya. Dia baru tahu bahwa gadis yang mendekatinya itu Vara. Dia
langsung memeluknya, Vara lalu menggandeng Bu Santi menuju ke meja acara. Saat
pemotongan kue ulang tahun tangan kanan Vara memegang pisau dan tangan kirinya
meraih tangan Bu Santi untuk ditaruh di atas tangan kanannya. Dia seolah-olah
memotong kue bersama Bu Santi.
Betapa cerianya Vara, dia memberikan potongan kue kepada papanya dan
sepiring lagi diberikan kepada Bu Santi. Dia menyampaikan ucapan terima kasih
kepada Bu Santi. Saat dia dicium Bu Santi, dia menggandeng Bu Santi untuk
disandingkan di sebelah papanya.
Seusai pelaksanaan ulang tahun Vara mengajak Bu Santi untuk ikut serta
pulang ke rumahnya. Begitu juga Bu Vany ikut memberikan dukungan kepada Vara.
Akhirnya Bu Santi pun menuruti kemauan Vara dengan syarat kalau pulang Bu Santi
diantar.
Vara sangat survrais dengan pelaksanaan ulang tahunnya. Dengan berbagai
kado yang ditumpuk begitu saja, hanya sebuah boneka yang sedari pulang dari rumah
makan Cianjur yang selalu didekapnya. Dia sangat menyanjung nilai boneka itu,
yang tidak lain pemberian Bu Santi.
“Tante, bonekanya bagus sekali!”
Dia tidak ada niatan melihat kado yang lain, walaupun papanya dan Bu Vany
mulai membuka kado satu per satu. Ternyata ada boneka lain yang sama hanya beda
warna, itu pun walau ditunjukkan Bu Vany, Vara tak melirik sedikit pun. Dia asyik
ngobrol dengan Bu Santi.
Ketika sudah cukup malam Bu Santi minta izin pulang. Bu Santi pun diantar
oleh papa Vara, termasuk Bu Vany dan Vara ikut juga. Sesampai di rumah Bu Santi,
semua turun. Tidak begitu lama papanya mohon pamit, tapi Vara tidak mau pulang
malah ingin tidur di rumah Bu Santi. Walau papanya dan Bu Vany membujuknya

73
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Vara tetap tidak mau. Akhirnya secara terpaksa papanya mengizinkan berkat
kesediaan yang disampaikan Bu Santi.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Vara diantar pulang oleh kakak Bu Santi
dan Bu Santi. Vara merasa senang, di sepanjang perjalanan Vara menyampaikan
kepada Bu Santi kalau liburan nanti Vara ingin tidur di rumah Bu Santi lagi. Bu Santi
pun mengiyakan permintaan Vara.
“Apa Vara suka tidur di rumah tante?”
“Sangat… sangat suka Tante! Vara suka dengan cerita-cerita Tante!”
Hubungan mereka sepertinya sudah kenal lama. Kakak Bu Santi, Mas
Wawan, merasa heran melihat mereka berdua. Sesampai di rumahnya Vara pun
langsung turun dan menyalami Bu Santi sambil mencium pipi Bu Santi.
Setelah mengantar Vara, Bu Santi minta kepada kakaknya untuk
mengantarkan Bu Santi ke sekolah. Seperti hari-hari sebelumnya Bu Santi di sekolah
merasa tidak nyaman. Apalagi kalau sudah berjumpa dengan Pak Nardi. Dia jadi
salah tingkah, menyapa salah tidak menyapa tambah salah.
Saat jam keempat Bu Santi mengajar di kelas XII AP 2, pintu kelasnya
diketuk orang. Ketika dia menoleh, Pak Nardi sudah melangkah masuk. Bu Santi
ketakutan, ada masalah apa lagi dengan dirinya. Pak Nardi mendekatinya, dia
menyampaikan kepada Bu Santi kalau ibu Bu Santi sakit dan sekarang dibawa ke
rumah sakit. Pak Nardi menyampaikan bahwa dirinya disuruh mengantarkan Bu
Santi ke rumah sakit oleh kepala sekolah.
“Sakit apa, Pak? Tadi pagi ndak apa-apa!”
“Tidak tahu! Saya tadi dapat telepon dari Mas Wawan, terus saya lapor pada
Bapak dan saya disuruh mengantar Ibu. Hanya itu!” Kata Pak Nardi datar.
Dalam perjalanan menuju ke rumah sakit mereka sama-sama diam. Tak ada
sepatah katapun yang keluar dari mulut mereka. Tak tahunya sebelum sampai di
rumah sakit sepeda Pak Nardi kehabisan bensin. Dia kebingungan karena dia tidak
membawa dompet. Barulah Pak Nardi berkata menyampaikan hal yang sebenarnya.
“Maaf Bu, kehabisan bensin! Aku tak membawa dompet!”
“Ini, aku ada Pak!”
Pak Nardi pun menerima uang dari Bu Santi dengan perasaan malu-malu.
Setelah membeli bensin yang tidak jauh darinya mereka melanjutkan perjalanan ke
rumah sakit.
Pak Nardi pun ikut juga mencari keberadaan ibu Bu Santi. Di ruang UGD
mereka melihat orang-orang yang terbaring di ranjang. Tak tahunya di pojok ruang
Mas Wawan berdiri di antara tabir penyekat sal. Bu Santi dan Pak Nardi sedikit
berlari menuju Mas Wawan. Dijumpai ibunya tak sadarkan diri.
“Mas, ibu sakit apa?” Tanya Bu Santi.
“Nggak tahu! Kata bapak, ibu tiba-tiba tersengal-sengal, kejang, lalu tak
sadarkan diri sampai sekarang ini. Dugaan sementara ibu kena serangan jantung!”
Ibu Bu Santi terbaring tak sadarkan diri. Di sebelahnya dua orang perawat
sibuk memasang peralatan dan seorang dokter yang sedang mengecek kondisi
ibunya. Dan, di samping itu bapaknya yang hanya berdiri memegangi tangan ibunya.
Sementara keluarga yang lain menunggu di luar.
Dokter keluar dan diikuti bapak Bu Santi. Bu Santi akhirnya mengikuti juga
dari belakang. Di meja dokter, bapak Bu Santi diberi tahu dokter kalau ibu Bu Santi

74
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

terkena serangan jantung, tekanan darah tinggi, dan mungkin masih ada yang lain
yang belum terdeteksi.
Bu Santi pun mendengar sepotong-sepotong apa yang dikatakan dokter.
Untuk itu Bu Santi menanyakan ulang penyakit ibunya. Dokter pun setelah
menanyakan siapa Bu Santi, akhirnya dia menjelaskan kembali penyakit yang
diderita ibunya dan diharap bersabar untuk menunggu pengecekan lebih lanjut dari
laboratorium.
Sambil menunggu hasil laboratorium ibu Bu Santi di bawah perawat menuju
ruang rawat inap. Setelah dua jam kemudian Bu Santi mengambil hasil laboratorium
dan menyerahkan hasilnya ke dokter yang ada di ruang UGD. Dokter mengatakan
bahwa ibunya positif terkena serangan jantung, hipertensi, dan pengeringan sumsum
tulang belakang.
Saat Bu Santi kembali ke ruang di mana ibunya di rawat, Pak Nardi mohon
pamit.

***

Ibu Bu Santi sudah tiga hari menjalani rawat inap tapi kondisinya tak ada
perubahan. Dia masih dalam keadaan tak sadarkan diri. Menurut diagnosis dokter
ibunya mengalami pendarahan otak, akibat hipertensinya. Untuk jantungnya sudah
kembali normal walaupun masih belum pulih seratus persen. Dan, masalah sumsum
tulang belakang yang mengering harus dilakukan injeksi, kalau ibunya sudah
sadarkan diri dari koma.
Dengan kondisi yang demikian ini dokter memanggil bapak Bu Santi. Dokter
mengatakan bahwa kemungkinan kecil pasien bisa diselamatkan. Dokter mengatakan
bahwa dia sudah bekerja semaksimal mungkin. Dan, di akhir pertemuan dokter
menyampaikan agar keluarga pasien lebih tabah dan bersabar, mudah-mudahan Yang
Esa memberikan mukzijat buat si pasien.
Ketika bapak Bu Santi keluar dari ruang dokter anak-anaknya dikumpulkan.
Dia menyampaikan keadaan ibunya seperti yang dikatakan dokter. Bu Santi hanya
menunduk tak kuasa menumpahkan air matanya. Orang yang dianggapnya paling
dekat yang bisa dibilang orang tua yang sekaligus teman curhat. Dia kembali ke
ibunya yang terbaring lemah. Dipeganginya tangan ibunya, dipijit-pijit pelan seraya
air mata Bu Santi menetes semakin deras. Dia tatap wajah ibunya yang masih terlihat
cantik, tabah, walau garis-garis ketuaan yang semakin jelas telah berjuang keras
menahan penyakit yang menggerogotinya selama ini.
Di hari-hari perjuangan ibunya melawan penyakitnya yang semakin parah,
Bu Santi tak beranjak sedikit pun menunggui ibunya. Bahkan makan, salat, dan
mandi pun di rumah sakit. Apalagi soal pekerjaannya sebagai guru ditinggalkan
begitu saja, intinya dia ingin merawat ibunya di hari-hari terakhirnya. Kalau dihitung
sudah tujuh hari Bu Santi tinggal di rumah sakit.
Bu Santi dalam menunggui ibunya selalu membisiki ibunya dengan kalimah-
kalimah Allah yang dia bisa. Kadang-kadang dia berkata-kata pada ibunya dengan
mendekatkan bibirnya ke telinga ibunya. Di hari ke sembilan ketika Bu Santi
membisiki ibunya tentang sulaman sepatu bayi buat putra Bu Santi, tiba-tiba pipinya
merasakan tetesan air mata. Diusapnya matanya, tapi tak ada air mata yang keluar

75
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

dari matanya. Akhirnya dia bangkit, dilihatnya wajah ibunya. Betapa terkejutnya Bu
Santi bahwa air mata tersebut keluar dari mata ibunya. Spontan dia memanggil
bapaknya yang sedang membaca Surat Yasin di samping ibunya.
“Pak, ibu sadar! Ibu menangis! Lihat Pak, ibu mengeluarkan air mata!”
Bapak Bu Santi menghentikan membacanya. Dia melihat istrinya. Ternyata
benar apa yang dikatakan anaknya. Tapi bapaknya sepertinya mendapat firasat yang
kurang baik ketika melihat perubahan wajah istrinya, lalu dia melanjutkan membaca
Surat Yasin-nya. Sementara Bu Santi mendekap ibunya erat sambil menangis di
dekat telinga ibunya.
“Ibu sadarlah! Apa Ibu tega dengan Santi. Pada siapa lagi Santi harus
berbagi? Ibu … ini Santi. Ibu … Ibu ….!”
Tiba-tiba mata ibunya terbuka. Pandangannya aneh, seperti orang bingung.
Bola matanya yang berputar-putar melihat ke kanan, kiri, dan ke atas lalu mengatup
kembali. Tubuh ibunya masih dalam pelukan Bu Santi, lengannya yang kurus
bergerak perlahan. Bu Santi terkejut, dipandanginya ibunya. Tiba-tiba alis matanya
berkerut menyambung jadi satu dan kedua pipi ibunya tersedot kuat dengan bibir
yang mengatup rapat. Seketika itu tubuh ibunya terkulai setelah kembalinya alis mata
dan pipinya pada posisi semula.
“Pak … Pak … Pak …. tolong lihat ibu?” Suara Bu Santi tergopoh-gopoh.
“Innalilllahi wainnalillahi rajiun!” Kata bapaknya setelah memeriksa desah
nafas dan denyut nadi di pergelangan tangannya istrinya.
“Nduk, ibumu sudah tiada!” Kata bapaknya sambil memeluk Bu Santi.
Bu Santi langsung menjerit histeris. Dan kakaknya, Mas Wawan, langsung
menghubungi dokter jaga yang ada di sebelah ruangan. Sementara bapaknya
menangani Bu Santi yang pingsan.
Dokter mengoreksi keberadaan ibu Bu Santi. Dia menyampaikan bahwa ibu
Bu Santi dinyatakan sudah meninggal. Setelah itu kakak Bu Santi mengurus
administrasi dan proses pemulangan jenazah ibunya. Sementara bapaknya masih
menunggui Bu Santi yang masih tak sadarkan diri. Dia sambil mengabari saudara-
saudaranya, termasuk saudara kandung istrinya.
Proses pengurusan keluarnya jenazah dari rumah sakit tidak begitu lama.
Hanya setengah jam jenazah itu sudah dinaikkan ke mobil ambulan. Sedangkan
untuk Bu Santi yang tak sadarkan diri digotong saudaranya dimasukkan di mobil
bapaknya.
Perjalanan mobil jenazah dan mobil pengawal tidak begitu lama, tiga puluh
menit saja mobil jenazah sudah sampai di rumah Bu Santi. Famili dan para pelayat
sudah menanti di rumah Bu Santi. Mereka sudah menyiapkan segalanya, sampai
masalah kembang, ugah rampi 51 yang dibutuhkan untuk prosesi pemakaman.
Proses pemakaman ibu Bu Santi tinggal menunggu kode dari keluarga. Hanya
menunggu Bu Santi yang sedari rumah sakit tak sadarkan diri. Jiwanya yang benar-
benar terpukul, sebentar dia sadar lalu tak sadarkan kembali. Untuk itu pihak
keluarga memutuskan pemberangkatan jenazah bisa dilaksaanakan. Mengingat
kebiasaan di mana Bu Santi tinggal, masyarakatnya sangat mengukuhi kalau
pemakaman jenazah itu lebih cepat akan lebih baik. Akhirnya proses itu pun
dilakukan walau Bu Santi tak bisa melihat ibunya yang terakhir kalinya.
51
Perangkat yang dibutuhkan

76
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Baru keesokan harinya Bu Santi sudah sadar sepenuhnya. Dia menanyakan


ibunya, tapi bapaknya menjawabnya kalau ibunya sudah dimakamkan. Bu Santi
sedikit kecewa kalau dirinya tidak bisa melihat kepergian ibunya yang terakhir
kalinya.
Dia menyadari bahwa manusia tak punya kekuatan apa-apa dalam
menghadapi takdir Yang Esa, kecuali harus menerimanya. Dia bangkit. Dia tidak
mau jadi beban keluarga di mana anggota keluarga juga punya perasaan yang sama,
khususnya bapaknya. Untuk itu dia mulai menatap kenyataan yang ada dengan
merelakan kepergian ibunya yang sangat dicintainya.
Dia mulai melakukan aktivitas walau hanya menerima para pelayat yang
datang dari warga sekitar dan teman-teman sekerjanya. Kadang dia menceritakan
kehidupan almahumah kalau pelayat ada yang bertanya. Waktu itu juga air matanya
mulai berbasah-basah. Dia mencoba menahan apa yang dia bisa, tapi kepedihan tak
begitu saja sirna. Dengan suara pelan dan terbata-bata dia mintakan maaf
almarhumah ibunya kepada setiap pelayat yang datang.
Untung saja sahabat karibnya, Bu Vany, yang selama tujuh hari tidur di
rumahnya. Termasuk Vara tak pernah ketinggalan, dia ikut juga. Keberadaan dialah
yang menghibur Bu Santi. Kata-katanya yang polos dan logis banyak memberikan
dukungan kekuatan secara lahiriah maupun batiniah.
“Tante, eyang tak perlu ditangisi, tapi didoai agar Tuhan Yang Mahaesa
mengampuni segala dosa-dosanya! Tante harus sabar dan terus berdoa buat eyang!”
Bu Santi tercengang mendengar saran yang baru saja disampaikan Vara. Dia
beranggapan bahwa anak sekecil itu mampu menyampaikan nasehat yang benar-
benar masuk akal. Dia lalu memeluk Vara sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Iya, Tante akan selalu berdoa buat eyang!”
“Tante, boleh nggak Vara mau ngomong sedikit pada Tante, tapi janji Tante
nggak boleh marah!”
“Iya, mau ngomong apa?”
“Tante janji dulu!”
“Tante janji! Tante sayang banget sama Vara!”
Vara mendekatkan bibirnya pada telinga Bu Santi. Dia agak gugup
menyampaikan keinginannya kepada Bu Santi. Dia lama sekali mau menyampaikan
atau menggagalkan kehendaknya. “Ayo, Vara mau ngomong apa? Tante tidak akan
pernah marah kok!”
“Tante, Vara memanggil dengan kata tante sepertinya terdengar asing,
rasanya nggak enak. Bolehkah Vara memanggil Tante dengan mama saja?” Ucap
Vara pelan.
Bu Santi menarik tubuhnya melepaskan pelukan Vara. Dia menatap tajam
mata Vara. Dia kebingungan harus menjawab apa. Akhirnya dia mengangguk dengan
melempar senyuman kepada Vara.
“Boleh, kalau itu mau Vara!”
“Terima kasih, Mama! Saya sangat sayang Mama sejak pertama kali lihat
Mama!” Kata Vara, langsung memeluk Bu Santi.

***

77
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Sepeninggal ibunya Bu Santi menggantikan posisi sebagai pengganti ibunya


dalam keluarga. Dia yang mengurusi kakaknya, bapaknya, dan adik angkatnya.
Situasi sedikit berubah yang dulunya ramai, rumah terkesan hidup, dan ceriah, tapi
sekarang terlihat ada kepincangan. Apalagi bapaknya sepeninggal ibunya jarang
bekomunikasi dalam keluarga. Bapaknya lebih suka menyendiri bahkan seharian
betah di dalam kamarnya.
Sesekali bapak Bu Santi tersenyum bila melihat tingkah Vara. Vara yang
manja dan sedikit jahil, kadang-kadang sering menggoda bapak Bu Santi untuk
dibuatnya tertawa. Memang senang juga bila Vara ada di rumah, suasana jadi hidup
kembali. Ada saja yang dia lakukan bahkan dengan bapak Bu Santi dia lebih akrab,
setiap pagi dia selalu mengajaknya jalan-jalan.
“Yang, jalan-jalan itu sehat! Murah tapi mahal!”
“Lho… murah kok mahal?”
“Iya, murah nggak pakai biaya, Yang! Mahal karena orang sulit
melakukannya, akhirnya sakit-sakitan terus dan keluar uang satu juta, lima juta,
sampai berjuta-juta!”
“Nduk … Nduk …. kamu ini bisa saja!”
“Bisa Yang! Apa-apa bisa. Vara bisa mengajak Eyang jalan-jalan, Eyang bisa
tertawa, Eyang kan bisa sehat!”
Bapak Bu Santi merasa terhibur dengan keberadaan Vara. Sering Bu Santi
menyaksikan bapaknya tertawa terpingkal-pingkal dengan Vara. Dia heran, bapaknya
yang jadi pendiam sepeninggal ibunya malah bangkit kembali dengan kehadiran
Vara. Kadang-kadang Vara yang agak lama tidak main ke rumah Bu Santi, maka
bapak Bu Santi menyuruh Bu Santi untuk menjemputnya.
Keberadaan Vara semakin hari semakin mengubah suasana keluarga Bu Santi.
Dia bukan lagi sebagai tamu, tapi dianggapnya sebagai bagian dari keluarga Bu
Santi. Pernah pada suatu hari bapak Bu Santi dalam keadaan sakit, tiba-tiba
menghilang dari rumahnya. Semua anak-anaknya bingung sampai Bu Santi mau
lapor ke polisi, tahu-tahu Vara menelepon Bu Santi bahwa eyang menjemputnya di
sekolah dan sekarang berada di warung bakso kesukaan Vara.
Anak-anaknya merasa lega bahwa bapaknya sudah ditemukan. Setelah
mereka menjemputnya bapaknya bilang bahwa dirinya kangen dengan Vara, karena
sudah dua minggu tak ke rumahnya. Mereka pun akhirnya kembali ke rumah dengan
membawa serta Vara.
Vara! Lagi-lagi Vara yang menjadi perhatian. Sudah hampir enam bulan
sepeninggal ibu Bu Santi, rumah yang dulunya sangat ramai dan hidup tiba-tiba mati
seketika, tapi sekarang hidup kembali dengan kehadiran Vara, walaupun itu masih
dibilang semu.

***

Suatu saat ketika Vara mengikuti gelar seni tari tradisional di hotel Sahid Vara
diantar oleh papanya dan Bu Santi atas permintaan Vara. Saat Vara mau tampil dia
memegang tangan Bu Santi yang disatukan dengan tangan papanya. Dia berpesan
agar tangannya jangan dilepas sebelum Vara yang melepaskannya usai Vara tampil.

78
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

“Mama …Papa ….. Vara mau tampil doakan Vara! Jangan sampa terlepas!”
Bu Santi merasa malu. Dia menarik tangannya saat Vara melangkah ke
panggung. Tiba-tiba Vara kembali melihat Bu Santi melepaskan tangannya dari
tangan papanya.
“Ayo Mama nggak nepati janji, ya!”
Spontan tangan Bu Santi meraih tangan papa Vara. Dia memegangnya, tapi
Vara malah menyalahkan papanya.
“Papa, seorang laki-laki harus bertanggung jawab melindungi seorang wanita.
Tidak seperti itu!”
“Apanya Vara?” Tanya papanya.
“Itu, tangan Papa malah dilindungi oleh tangan Mama. Terbalik Pa!”
Tak terasa Bu Santi melepaskan pegangannya. Dan saat itu juga tangan
papanya meraih tangan Bu Santi. Bu Santi merinding. Tangan kekar dan keras telah
menangkap telapak tangannya. Setelah itu Vara pun kembali ke panggung.
“Awas, jangan sampai terlepas terlepas! Yang mesra!”
Papa Vara dan Bu Santi tak bisa berkutik. Mereka seperti terhipnotis saja.
Mereka sangat menuruti kemauan Vara, karena rasa sayangnya yang berlebih. Papa
Vara kebingungan mau ngomong apa dengan Bu Santi.
“Bu, maafkan anak saya, Vara!”
“Ndak apa-apa, Pak! Saya sangat suka dengan dia. Apalagi bapak saya tak
bisa terlepas dari Vara. Dia itu sudah menjadi bagian dari keluarga saya!”
“Terima kasih, Bu! Apa boleh saya tanya sesuatu pada Ibu?”
“Boleh Pak! Tanya apa? Tentang Vara?”
“Iya … iya…!” Jawab papa Vara sekenanya.
Papa Vara bingung. Mengapa dirinya tadi menjawab iya padahal soal Vara
papanya tidak ada masalah apa-apa. Dia merasa salah menjawab, yang sebenarnya
masalah dirinya. Dia mencoba mencari sesuatu yang bisa dipakai sebagai pembuka
pembicaraan. Dia menyadari kalau dirinya itu bukan ahli tembak yang paling jitu.
“Maaf, Ibu sudah punya papa?”
“Maksudnya Pak?”
“Pasangan hidup!”
“Oh maksudnya pacar! Bapak kok bilang papa! Saya masih single, ndak
punya Pak! Siapa sih yang mau memacari saya?”
“Kata Vany, Ibu sudah punya pacar! Pak Nardi kan?”
“Itu dulu Pak, sekarang lagi sendiri!”
Papa Vara tak bisa melanjutkan pembicaraan. Dia takut dan merasa malu,
ketika melihat dirinya jauh berbeda dengan usia Bu Santi. Dia memutuskan bahwa
keponakannya saja, Vany, yang mengatur pendekatan dirinya dengan Bu Santi. Dia
tak punya keberanian, takut dikatakan orang tua yang tidak tahu diri.
“Hai Anjas, dasar pengecut kau! Dengan gadis yang masih berbau kencur saja
kau tak punya daya. Ayo tembak, mau tunggu apa lagi! Apa harus nunggu Vara lagi
yang kasih caranya? Seandainya Bu Santi bisa merasakan apa yang aku rasakan,
pastilah dia akan menjawab rasaku. Guoblok52, ya nggak bisa bleh! Anak muda itu
butuh pembuktian, pengakuan dari mulutmu! Lihat itu, Vara mau kembali. Kau

52
Goblok (Jawa) : bodoh

79
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

hanya mampu menggenggam tangannya saja. Itu pun dari perintah Vara. Ayo, cepat..
cepat katakan apa kemauan rasa hatimu yang paling dalam!” Batin papa Vara.
“Bu, seandainya aku mau mengisi kehidupan Ibu apa Ibu mau
menerimanya?”
“Apa maksudnya, Pak?”
“Nah, nyatanya kau ini guoblok kan! Dia itu gadis modern yang lebih peka
dengan diksi yang benar-benar riil. Jangan dikira nembak gadis zaman sekarang kau
samakan dengan gadis zamannya Mak Lampir! Ayo katakan yang lebih kompetitif!”
Pikirnya.
“Maksudnya, saya akan meminang Ibu, mencarikan mama buat Vara!” Kata
papa Vara memberanikan diri.
Bu Santi tak menjawab. Dia hanya tercengang mendengar apa yang baru saja
disampaikan papa Vara, sampai Vara datang membuyarkan lamunannya.
Vara menanyakan bagaimana penampilannya kepada Bu Santi.
“Mama, bagaimana penampilan Vara tadi?”
“Bagus … sangat bagus!”
Mereka terbawa dalam suasana canda bersama. Ketika acara usai, mereka
pun pulang. Vara sempat berhenti untuk dibelikan martabak buat eyangnya. Saat
mobil berhenti di depan rumah Bu Santi, Vara langsung berlari menemui eyangnya,
bapak Bu Santi.
“Yang, Vara datang!”
“Lho … cucuku cantik sekali! Mana papa dan mama?”
“Masih di luar, Yang! Ini martabak buat Eyang!”
Ketika eyang menerima pemberian Vara dia menyuruh Vara masuk, tapi Vara
tidak mau. Dia menyampaikan kepada eyangnya bahwa dirinya banyak tugas
sekolah.
“Besuk saja, Yang, malam minggu! Vara ada PR banyak sekali!”
Setelah menurunkan Bu Santi papa Vara mohon pamit ke bapak Bu Santi.
Seperti biasanya Vara tak lupa mencium pipi Bu Santi. Dalam perjalanan pulang Vara
bercerita bahwa eyangnya dan Bu Santi itu orangnya baik. Dia menanyai papanya
apakah dia juga suka. Papanya tidak bisa menjawabnya. Dia hanya menjawab “Ya.”
Sesampai di rumah Vara langsung mencari Mbak Vany.
“Mbak, malam ini Vara tidur dengan Mbak. PR-ku banyak!”
Bu Vany mengiyakan saja. Vara langsung mendekati Bu Vany. Dia
membisikinya.
“Mbak, tadi seru banget! Papa dan mama pegang-pegangan tangan. Nanti
malam saja Vara ceritai!”
Bu Vany terheran-heran. Ternyata bukan Vara saja yang suka dengan Bu
Santi, tapi omnya juga suka. Dia cepat-cepat membantu Vara mengerjakan tugas-
tugasnya. Dia penasaran, cepat-cepat ingin tahu apa yang akan diceritakan Vara.
Malam sudah cukup larut. Setelah mengajari Vara Bu Vany menunggunya di
tempat tidur. Vara masih sibuk membereskan tugas-tugasnya. Ketika usai membenahi
tugas Vara langsung ke kamar Bu Vany. Ternyata Bu Vany sudah tertidur. Vara pun
secara perlahan merebahkan diri di samping Bu Vany. Saat kaki Vara menyentuh kaki
Bu Vany, Bu Vany terbangun.
“Sudah selesai! Ayo Mbak mau diceritai apa nggak?”

80
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

“Iya mau! Mbak sudah menunggunya dari tadi!”


Vara menceritakan mulai dari awal sampai akhir tentang papanya dengan Bu
Santi. Termasuk rencana Vara yang ingin menjodohkan papanya dengan Bu Santi. Bu
Vany terheran-heran mendengar rencana Vara. Dia menilai Vara terlalu berani dan
dirinya tidak percaya kalau Bu Santi bisa diatur oleh anak yang bisa dibilang
ingusan.
“Apa bener cerita itu? Mbak masih nggak percaya, terus papamu
bagaimana?”
“Pokoknya mereka asyik banget, Mbak!”
“Yach sudah, kita sambung besuk! Ayo kita tidur biar besuk tidak kesiangan!”
Keesokan harinya seperti biasa semua anggota keluarga di rumah Vara sibuk
dengan tugasnya masing-masing. Vara berangkat ke sekolah dengan papanya.
Sedangkan Bu Vany berangkat bekerja dengan bersepeda sendiri.
Arus lalu lintas di pagi hari sangat sibuk. Untuk itu Bu Vany mengambil jalan
pintas dengan cara lewat di gang-gang perumahan. Hanya dua puluh menit saja dia
sudah sampai di pintu gerbang sekolah. Dia memasuki halaman sekolah, masih
terlihat lengang. Hanya ada beberapa siswa yang sedang melaksanakan piket
kebersihan. Ketika dia memasuki ruang guru, dilihatnya Bu Santi sudah memasang
senyuman ke Bu Vany.
“Lho pagi benar, Bu!”
“Iya. Tadi diantar Mas Wawan, bapak lagi nggak enak badan!”
“Senyam-senyum terus sepertinya survrais banget. Tadi malam nonton Vara,
ya?”
“Iya! Seneng banget. Pokoknya bahagia!”
Bu Vany mendengarkan Bu Santi menceritakan kejadian tadi malam, dia
langsung menggodanya. Tapi Bu Santi menepisnya bahwa yang lebih merasakan
kebahagiaan secara psikhologis adalah Vara.
“Iya … Vara bahagia sekali melihat papanya mendekap tangan halus seorang
bidadari!” Kata Bu Vany melanjutkan cerita Bu Santi.
Bu Santi terkejut mendengar apa yang baru saja disampaikan Bu Vany. Dia
menduga bahwa yang cerita itu bukan Vara, tapi papa Vara. Dia semakin takut kalau
yang dianggap paling rahasia diceritakan juga. Akhirnya dia balik bertanya kepada
Bu Vany, tapi pertanyaan Bu Santi itu malah mengundang kecurigaan Bu Vany.
Dengan desakan halus Bu Vany akhirnya Bu Santi mengaku semua.
“Ndak apa-apa, Bu! Kalau itu sebuah restu, sampean bakal calon tante saya.
Aku selaku keponakan Mas Anjas sangat mendukung semua itu!”
“Papa Vara cerita semua?”
“Iya … semua diceritakan kepada saya. Nyatanya survrais banget!”
“Bu, tolong jangan diceritakan ke teman-teman, aku malu!”
“Malu, kenapa Bu?”
“Tangan saya dipegang dan didekap erat-erat oleh papa Vara!”
“Nah, ketahuan ya sudah berani dekap-dekapan. Makanya aku tadi curiga,
pagi-pagi sudah senyam-senyum!”
“Lho… jadi Bu Vany nggak diceritai apa-apa oleh Vara atau papanya?”
“Ya nggak toh Bu, saya cuma mancing-mancing saja, nyatanya benar apa
yang kuduga. Kebahagiaan atau kepedihan tak mungkin bisa ditutup-tutupi.”

81
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Bu Vany menghampiri Bu Santi. Dia meraih tangan Bu Santi dan diciumnya


sambil berucap :
“Beres, Tante!”
Bu Vany meninggalkan Bu Santi karena ada kepala sekolah yang akan
menuju ke ruang guru. Dia menggoda Bu Santi kalau ada mantan calon mertua akan
datang. Dia berjalan menuju ruang perpustakaan untuk mengambil kalkulator. Dia
menyampaikan kalau istirahat ceritanya akan disambung lagi. Ketika dia baru
berjalan beberapa langkah kepala sekolah memanggilnya.
“Bu Vany, tolong nanti istirahat ke ruang saya!”
“Iya, Pak!”
Kepala sekolah berbalik setelah menyapa Bu Santi. Beliau berjalan menuju
pos caraka. Beliau berdiri di samping pos memperhatikan siswa yang datang
terlambat. Saat beliau akan berkeliling ke kelas-kelas Pak Hendra menghampirinya.
Pak Hendra mengatakan kalau dirinya akan mengikuti MGMP bersama Bu Santi.
Pak Hendra menemui Bu Santi di ruang guru. Dia akan memberi tahu Bu
Santi kalau dirinya sudah minta izin kepala sekolah. Dia menawari Bu Santi untuk
berangkat bersama dengannya. Saat Bu Santi menimbang-nimbang ajakan itu, Pak
Hendra menyampaikan adanya kabar baru yang harus diketahui Bu Santi. Kebetulan
sekali Bu Santi ingin menyampaikan sesuatu kepada Pak Hendra. Akhirnya Bu Santi
mengiyakan ajakan Pak Hendra.
Tepat pukul 08.00 Pak Hendra berangkat dengan Bu Santi ke SMKN 1.
“Maaf Bu, mobil jelek! Ini mobil jip zaman Firaun. Tapi saya jamin nggak
pernah rewel!”
“Ya …bagus Pak ada yang dinaiki daripada saya bisanya numpang terus!”
Saat seperti inilah kesempatan Bu Santi bisa menceritakan permasalahan
dirinya kepada Pak Hendra. Dia belum berani menyampaikan sesuatu kalau Pak
Hendra tidak berusaha memancing-mancing Bu Santi untuk berbicara. Ketika Pak
Hendra menanyakan soal Pak Nardi, Bu Santi hanya menggelengkan kepalanya,
tidak tahu menahu soal Pak Nardi.
Pak Hendra menggoda Bu Santi kalau Bu Santi itu ketinggalan zaman.
Akhirnya Pak Hendra memberi tahu kalau ada kabar burung yang cukup akurat
bahwa Pak Nardi akan menikah.
“Iya Bu! Dia akan menikah tiga bulan lagi! Calonnya katanya gadis desa
yang sekampung dengan ayah Pak Nardi! Tapi kabarnya ibunya kurang setuju!”
“Ya … syukurlah Pak! Biar tidak ada lagi rasa dan praduga yang bukan-
bukan!”
“Maksudnya apa Bu?”
“Ya begitu itulah Pak!”
“Oh ya …kalau Bu Santi bagaimana?”
“Nah …. itu Pak, yang sebenarnya saya butuh nasehat dari Bapak! Orangnya
sudah berumur dan dia itu duda beranak satu. Orangnya baik, mungkin seumur
dengan Bapak. Anaknya sudah lengket banget dengan saya. Dia pernah
menyampaikan niatnya kepada saya, tapi saya belum berani menjawabnya, soalnya
kematian ibu saya belum genap satu tahun. Itulah yang membuat saya bingung.
Menurut Bapak enaknya bagaimana?”

82
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

“Iya Bu, itu memang agak sulit! Kita orang timur, budaya timur, kadang-
kadang tidak sejalan dengan kepercayaan yang kita anut. Tapi kita harus pandai-
pandai mencari titik sama, titik aman agar tidak berseberangan antara kepercayaan
dan budaya. Saya saja Bu setelah mendengar cerita Ibu, dengan notabene saya yang
tidak begitu mendalam tentang keduanya, juga sulit memberikan pandangan. Tapi
setelah saya melihat Ibu dengan menggunakan mata batin saya, ada sesuatu yang
ingin saya katakan tapi saya tidak bisa. Saya nggak mau mendahului kehendak Yang
Esa, bisa-bisa saya tergolong orang musyrik. Berat lho Bu, hanya mata batinku saja
yang bisa berkata-kata. Sudah Bu ndak tahulah, lakukan saja apa yang menurut Ibu
ingin lakukan!”
“Maaf Pak! Saya tidak mengerti apa yang Bapak katakan!”
“Lebih baik begitu, Bu! Lamun sira kepengen wikan marang pawongan sing
weruh sadurunge winarah, kuwi wong kang waskita saka niteni sapadha-padhaning
tumita. Sakabehing kuwi saka pengeran kang mahakuwoso!”53
“Saya semakin tidak mengerti apa yang Bapak utarakan!”
“Yach … lebih baik begitu, Bu! Itu akan lebih aman! Jangan setengah-
setengah, seperti saya ini, di mana sesuatu itu berdiri tegak pagar penghalang yang
kadangkala mengubur diriku sendiri pada kala tertentu.”
Bu Santi bingung. Kupasan Pak Hendra yang dianggap di luar nalar dan
kemampuannya hanya akan menambah beban untuk dicerna. Bu Santi hanya ingin
menanyakan hubungan dirinya dengan om Bu Vany, lagi-lagi jawaban Pak Hendra
secara implisit tak dapat diuraikan. Bu Santi hanya butuh inaugurasi54 dari diri Pak
Hendra tentang dirinya dengan om Bu Vany.
“Ya …ya … yaaa…lakukan saja! Suka sama suka itu modal utama, saling
membutuhkan modal akan bertambah, saling pengertian lengkaplah sudah. Qobiltu
bisa diangkat segera!”
Bu Santi menyampaikan bahwa permasalahan yang masih mengganjal dalam
benaknya adalah kematian ibunya yang belum genap satu tahun. Hal inilah yang
membuat Bu Santi tak mau menjawab pinangan om Bu Vany. Walaupun om Bu Vany
sudah pernah menyampaikan bahwa dirinya sanggup menunggu sampai usai
selamatan satu tahun meninggalnya ibu Bu Santi. Dia juga pernah mengatakan
bahwa secara ghoib sudah meminta izin kepada ibu Bu Santi. Ditambah desakan
Vara kepada Bu Santi agar cepat menjadi mama bagi dirinya secara sah.
“Nah … itulah Pak Hen, yang membuat saya bingung. Usia yang beda jauh
bukanlah masalah bagi saya, tapi adat, budaya, dan norma agama yang
menghadangnya.”
Mereka sampai di SMKN 1. Ternyata teman-teman MGMP belum ada yang
datang, hanya ketuanya saja yang asyik membaca buku. Ketika Pak Hendra
menyapanya ketua MGMP menyalaminya. Dia menyampaikan bahwa untuk
pertemuan kali ini teman-temannya banyak yang minta izin, karena di sekolahnya
masing-masing ada kegiatan. Untuk itu ketua memutuskan kalau jam 09.00 yang
datang kurang dari sepuluh orang. Maka pertemuan kali ini dibubarkan.

53
Jikalau engkau ingin mengetahui seseorang yang mengerti kejadian yang belum terjadi, dia itu
tergolong orang yang tahu sebelum terjadi melalui pengamatan yang tekun dan teliti tentang
kehidupan sesama
54
Pengukuhan resmi

83
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Sebuah kesempatan buat Bu Santi yang ingin bertanya banyak hal kepada Pak
Hendra. Hanya saja Bu Santi sering mengalami kesulitan dalam memahami paparan
Pak Hendra. Jawaban dari Pak Hendra kadang-kadang menjadi pertanyan yang kedua
dari Bu Santi. Dia benar-benar mengalami kesulitan. Dia menganggap Pak Hendra
orang yang aneh, tapi wawasan dan kupasannya sering membuat teman-temannya
acungkan jempol. Dari sisi ilmu kebatinan dia paling jago, walaupuin antara
keseriusan dan gurauan sulit dibedakan.
Sampai jam 09.00 hanya tambah dua guru saja yang hadir. Ketua MGMP
akhirnya mengintruksikan untuk pertemuan kali ini diakhiri saja. Kesempatan buat
buat Bu Santi untuk menanyakan ulang sesuatu yang menjadi ganjalan dalam
hatinya. Ketika Bu Santi menanyakannya Pak Hendra malah balik bertanya mana
yang belum dijawabnya.
“Sudahlah, lakukan saja apa yang ingin Ibu lakukan! Tanya-tanya tak akan
membuka tabir Yang Esa. Saya hanya sedikit merasakan apa yang saya rasa, tapi tak
kan pernah saya katakan. Maaf ya Bu, ini soal mata batinku yang tidak boleh
sembarangan memberikan sesuatu yang membuat orang lain sedih. Apalagi soal
kuasa Yang Esa tak semua orang diberi kemampuan untuk melihatnya, jadi sulit
memberikan kepercayaan kepadanya. Pendek kata, itu hanya untuk diri sendiri atas
penglihatan pada sesuatu atau seseorang. Termasuk saya melihat Bu Santi!” Papar
Pak Hendra.
Pak Hendra merasa apa yang ditanyakan Bu Santi sudah dijawabnya semua.
Dia merasa lega apa yang selama ini dirasakan dapat disampaikan semuanya. Hanya
ada satu yang dia tidak berani menyampaikannya. Dia hanya memberikannya dengan
bahasa perlambang atau pertanda supaya Bu Santi bisa mencermati apa yang
disampaikan Pak Hendra. Semuanya nihil. Bu Santi tak mengerti apa-apa, apa yang
disampaikan Pak Hendra terlalu membingungkan.
Waktu itu dalam perjalanan pulang Pak Hendra terus mencoba memancing-
mancing pertanyaan dan jawaban agar Bu Santi memahami apa yang
disampaikannya, tapi tetap saja Bu Santi tak bisa membuka tabir kupasan Pak
Hendra. Dia sangat mengeluh karena tidak mengerti, demikian juga Pak Hendra tetap
bersikukuh tak mau menjelaskan yang sebenarnya dengan bahasa yang lugas.
Akhirnya Pak Hendra mengantar Bu Santi pulang sampai di depan rumahnya.
“Bu …besuk, lusa masih ada waktu. Ibu bisa tanya sebanyak-banyaknya.
Permisi saya langsung pamit!”
“Óh ya Pak, terima kasih!”
Pak Hendra langsung memutar mobilnya. Dia melambaikan tangannya ke Bu
Santi. Bu Santi membalasnya dengan senyuman. Dia langsung masuk kamar. Belum
lama Bu Santi masuk kamar dia dipanggil bapaknya. Bapaknya memberikan sebuah
buku yang dibungkus rapi. Bapaknya bilang kalau barang itu titipan dari papa Vara.
Bu Santi langsung membukanya. Dia berpikir ada apa papa Vara memberi buku
kepadanya padahal dia tidak pernah pinjam atau minta. Disobeknya kertas
pembungkusnya, ternyata hanya berisi sebuah buku tulis biasa. Ketika dia
membuang kertas pembungkusnya, sebuah kertas jatuh dari dalam buku yang
dipegangnya. Dia terkejut, kertas yang jatuh itu dipungutnya.

84
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Bu Santi langsung menuju ke meja belajar. Kertas yang terlipat rapi


dibukanya. Betapa terkejutnya ketika membaca peruntukan surat buatnya dan atas
nama penulis surat adalah Anjasmara.

Buat Bu Santi,
Mama Vara

Salam bahagia,
Bu, saya papa Vara sangat menanti jawaban dari Ibu. Saya sudah
konsultasikan dengan keluarga. Semua sangat setuju, lebih-lebih Vany
dan Vara maupun Umi.
Mereka sangat mendambakan kehadiran Ibu di tengah-tengah keluarga
saya. Saya sangat kagum dengan kepribadian Ibu. Terutama Vara sudah
sangat menganggap Ibu sebagai mamanya.
Untuk itu, saya tunggu jawaban Ibu secepatnya.
Terima kasih.

Dariku,

Anjasmara,
Papa Vara

Seusai membaca surat dari papa Vara, Bu Santi kebingungan. Dia tidak bisa
menjawab secepatnya. Dia beranggapan bahwa perasaan cinta tak harus dipaksa. Dia
menyadari bahwa situasi ke arah itu sudah terbangun dengan baik. Dia sendiri dan
bapaknya sudah terlanjur menganggap Vara sebagai bagian keluarganya yang tak
mungkin bisa dipisahkan. Naluri seorang ibu dan bapak sudah melekat kuat. Begitu
juga sebaliknya, Vara yang sangat akrab dan manja di keluarga Bu Santi melebihi
keluarganya sendiri.
Bu Santi merasa dilema kehidupannya sulit untuk dicari pilihan yang benar-
benar tepat. Dia sendiri sudah terlanjur sayang dengan Vara, tapi dengan papa Vara
masih belum begitu akrab. Dia kebingungan bukan berarti papa Vara seorang duda
atau umurnya yang belasan tahun di atas umurnya, tapi dia butuh waktu untuk
mengenalnya lebih dekat. Dan lagi, kematian ibu Bu Santi yang belum setahun. Untuk
itu jadi pantangan bagi adat masyarakat Jawa yang akan mengadakan pernikahan.
Saat itu bapak Bu Santi memanggilnya. Dilihatnya wajah Bu Santi sepertinya
menanggung beban, seusai membaca surat yang masih ada dalam genggamannya.
Bapaknya langsung menanyai Bu Santi, dia ingin tahu apa yang lagi dirasakan
anaknya.
“Nduk … ada masalah apa? Tolong, kalau ada sesuatu ceritakan pada
bapakmu ini! Bapakmu ini sekarang juga jadi ibumu. Jadi apa yang menjadi bebanmu
mungkin bapak bisa urun rembug55!”
“Iya Pak! Itu … papa Vara …. Pak Anjasmara, mau meminta Santi!”
“Maksudnya mau melamarmu?”
“Iya Pak!”
“Terus kamu bagaimana, Nduk?”
“Yach … itu Pak, Santi bingung. Santi belum menjawabnya!”
55
Ikut memberikan pendapat

85
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

“Yach … dipikir baik-baik, Nduk! Dia itu duda, umurnya beda jauh
denganmu, sudah punya anak, dan lagi …. ndak tahulah Nduk, keputusan terserah
padamu. Sebuah pernikahan harus dilandasi suka sama suka, bukan rasa kasihan,
balas budi, atau sesuatu yang menjadi keterpaksaan. Menurutmu bagaimana, Nduk?”
“Menurut Santi yang mau saja, tapi ibu kan belum satu tahunnya, Pak?”
“Oalaaa Nduk, kalau itu memang garismu bapak hanya merestui saja. Soal
ibumu itu kan hanya soal waktu, bisa diatur!”
“Kalau Bapak setuju Santi akan menerima pinangan papa Vara!”
“Iya bapak setuju kalau itu benar-benar pilihanmu! Mudah-mudahan
pilihanmu itu diijabahi dining pangeran kang mahaasih!”56
Bu Santi merasa lega mendapat restu dari bapaknya. Dia kembali ceria. Dia
mencium tangan bapaknya.
“Pak, doakan pilihan Santi nggak keliru. Walaupun banyak perbedaan Santi
akan menerimanya dengan ikhlas. Santi percaya suratan Yang Esa tentang Santi sudah
tergambar jelas!”
Bapak Bu Santi meneteskan air mata. Dalam batinnya dia tidak terima dan
merasa kasihan melihat anaknya yang masih mudah mendapatkan jodoh yang tidak
selayaknya pasangan yang seimbang. Tapi dia menyadari tentang kuasa Yang Esa
telah menggaris hamba-hamba-Nya secara mahabijak. Dia memeluk anaknya dan
menciumi ubun-ubun anaknya berkali-kali.
“Bapak merestui keputusan yang kamu ambil, Nduk! Apa pun resikonya
bapak hanya ingin melihat anak bapak bahagia!”
Mereka akhirnya makan siang bersama. Bu Santi merasa apa yang mengganjal
di hatinya beberapa minggu ini terselesaikan berkat bantuan wawasan orang tuanya.
Dia semakin sayang pada orang tuanya yang tinggal satu-satunya itu. Dia terlihat
asyik menyiapkan makanan. Sementara bapaknya yang duduk termenung sambil
memperhatikan anaknya itu, pikirannya melayang mengingat mendiang istrinya.
“Ada apa Pak, sedari tadi Bapak menatap Santi terus?”
“Ndak ada apa-apa, Nduk! Bapak teringat ibumu, betapa bahagianya bila
ibumu ada. Ibumu sangat mendambakan seorang cucu yang terlahir dari anak-
anaknya. Makanya dia rela membuat apa saja buat cucunya nanti, walau dia rela
bergelut dengan kondisinya yang sakit-sakitan. Dia sangat sayang pada anak-anaknya,
terutama kamu! Nyatanya Tuhan telah memanggilnya lebih dulu!”
Bu Santi langsung terduduk di kursi meja makan. Dia menangis sambil
memegangi piring yang dilap berulang-ulang.
“Sudahlah Pak, jangan mengingatkan Santi tentang ibu. Kita doakan saja biar
ibu selalu berada di sisi-Nya. Santi sangat sayang sama almarhumah ibu, bapak, dan
Mas Wawan!”
Tiba-tiba teriakan keras dari luar memanggil-manggil Bu Santi dan bapaknya.
Suara Vara yang lantang membuyarkan refleksi kehidupan Bu Santi. Vara langsung
masuk menemui eyangnya.
“Eyang … Mama…, Vara tadi ulangan dapat nilai bagus. Lho, Mama habis
menangis, ya?”
“Tidak, mama kena cabai!” Jawab Bu Santi sekenanya.
“Nggak ada sambal Mama kok bisa kena cabai?”
56
Dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Pengasih

86
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Bu Santi mencoba mengalihkan perhatian Vara. Dia memuji Vara dari kertas
ulangan yang dipeganginya, tapi Vara terus saja mengejar menanyai Bu Santi.
Akhirnya bapak Bu Santi memanggilnya.
“Vara diantar siapa? Papa atau Mbak Vany?”
“Diantar papa, Eyang?”
“Ayo papa suruh masuk, kita makan sama-sama!”
Bu Santi langsung menyusul Vara ke depan. Vara menghampiri papanya yang
masih duduk di mobil. Bu Santi pun mendekatinya.
“Pa, disuruh masuk Eyang, diajak makan bersama!” Kata Vara sambil
membuka pintu mobil.
“Mari Pak, silakan masuk!”
“Ma … jangan panggil papaku dengan sebutan pak, panggil papa biar sama
dengan Vara!”
“Mari Pa, silakan masuk!” Kata Bu Santi agak kikuk.
“Baik Ma!”
”Nah gitu kan bagus, Vara jadi seneng banget! Ayo Pa, mama digandeng!”
Vara langsung berlari masuk menemui eyangnya. Vara menciumi pipi
eyangnya dan membisikinya.
“Lihat Yang, papa mama bergandengan!”
Vara langsung menarik kursi buat papanya dan dirinya.
“Silakan Tuan dan Nyonya!”
Bapak Bu Santi terbengong-bengong. Benar apa yang dikatakan Vara, bahwa
papa Vara telah menggandeng anaknya, Bu Santi. Papa Vara menunduk dan
menyalami bapak Bu Santi. Mereka duduk semeja. Mereka makan siang bersama.
Keceriaan terwujud di meja makan berkat kehadiran Vara. Dia yang berkali-kali
membangkitkan gelak tawa orang yang melihat atau yang mendengarnya.
Di meja makan itulah papa Vara mendapat kesempatan untuk menyampaikan
keinginannya kepada keluarga Bu Santi. Bapak Bu santi hanya merestui saja, dia
menyampaikan kalau semua itu terserah yang melaksanakan yaitu anaknya. Dari
sinilah papa Vara langsung menatap Bu Santi. Dia mengulangi lagi apa yang baru saja
dijelaskan bapak Bu Santi.
Bu Santi hanya diam. Dia harus menjawab apa? Dia kebingungan ditodong
langsung oleh papa Vara di hadapan bapaknya dan Vara. Bu Santi hanya menunduk,
dia tak berucap sepatah kata pun, malah Vara yang mendekati dan membisiki Bu
Santi.
“Mama, ayo jawab sekarang! Papa berkata jujur, tulus, dan sangat mengharap
jawaban dari Mama. Apa Vara yang akan menjawab?” Bisik Vara.
“Pa, mama malu menjawab biar Vara saja yang menjawab!” Celetuk Vara.
“Hust …!”
“Bu … memang saya sudah cukup tua untuk ibu, seorang duda lagi. Mungkin
hal inilah yang membuat Ibu tidak mau atau menolak apa yang saya sampaikan. Saya
mohon maaf kalau saya agak lancang untuk itu!”
“Bukan Pa, saya akan menerima pinangan Papa! Tapi …..”
“Oh ya Bu, tapi apa?” Tanya papa Vara bersemangat.
“Tanya saja Ma sama bapak!”
“Ayo Eyang, apa yang diinginkan Mama?” Tanya Vara.

87
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

“Itu lho Nak Anjas, Santi itu juga sangat menyayangi Vara. Dan setuju dengan
pinangan Nak Anjas. Bapak pun merestui, tapi menunggu sampai pendak57 ibunya.
Dia sangat ngugemi58 hal itu. Intinya Santi menerima pinangan Nak Anjas!” Kata
bapak Bu Santi.
“Terima kasih, Pak! Terima kasih Mama! Mulai sekarang izinkan aku
memanggil Dik Santi!”
“Jangan Papa! Nggak boleh! Papa harus tetap memanggil mama saja! Iya kan
Ma?” kata Vara.
Bu Santi hanya mengangguk. Dia setuju saja apa yang disarankan Vara. Dia
belum menjawab secara resmi pinangan papa Vara, tapi secara inaugurasi jawaban itu
sudah terlontar di forum keluarga. Dia menatap papa Vara lalu berpindah ke
bapaknya. Bapaknya mengangguk sebagai tanda setuju untuk semua apa yang
dibicarakan di meja makan.
Berkenaan dengan soal keinginan papa Vara sudah terjawab, dia langsung
mohon pamit karena dia harus berangkat ke Probolinggo. Dia menyampaikan titip
Vara ke bapak Bu Santi.
“Pak, saya mohon izin dulu! Ma, aku titip Vara! Aku di sana selama tiga hari!”
“Iya, Pak!”
“Lho …. Mama bilang apa?” Teriak Vara.
Bapak Bu Santi, eyang Vara, tersenyum melihat tingkah Vara. Vara menyuruh
Bu Santi mengulangi perkataannya dengan benar.
“Iya Pa, hati-hati di jalan!”
“Nah itu, Vara suka sekali! Ayo Ma, papa diantar ke depan!” Pinta Vara sambil
menggandeng tangan Bu Santi.
“Da … Papa! Jangan lupa oleh-olehnya buat Vara dan mama. Tambah eyang,
Pa!”

***

Dua bulan setelah selamatan pendak ibunya, Bu Santi melangsungkan


pernikahannya dengan pak Anjasmara. Pelaksanaan pernikahannya cukup sederhana.
Yang hadir cukup banyak, teman-teman sekerja Bu Santi, teman bapaknya, sahabat
karib Pak Anjasmara, para tetangga Bu Santi, dan famili dari kedua belah pihak.
Ugoh rampi59 sudah dipersiapkan secara matang, kursi pelaminan ditata selayaknya
pengantin, kamar tidur yang dihiasi berbagai kembang setaman, dan tetabuhan60
sudah mengumandang sejak pagi.
Suasana tampak meriah. Pasangan pengantin membaur di atara tetamu.
Mereka bercengkerama, kadang menyuguhkan sebuah nyanyian yang diinginkan oleh
teman-teman Bu Santi. Kebetulan Bu Santi soal tarik suara tidak diragukan lagi.
Sehingga kondisi yang cukup panas di siang hari bukan jadi halangan untuk memetik
kebahagiaan, khususnya mempelai berdua.
Kesibukan di rumah Bu Santi sampai menjelang petang masih dipenuhi tamu.
Dia harus menahan rasa kantuk, penat, dan lesu menemui tamu atau saudara-
57
Peringatan atau selamatan setahunnya orang yang meninggal
58
Percaya atau mematuhi
59
perlengkapan
60
Bunyi-bunyian gamelan

88
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

saudaranya. Dia kadang digoda habis-habisan, tapi Bu Santi hanya membalasnya


dengan senyuman yang benar-benar menawan.
Saat jam menunjukkan pukul sebelas malam Bu Santi tak kuat menahan rasa
kantuknya yang semakin hebat, dia minta izin untuk istirahat. Dia membaringkan diri
di kamar ibunya, tapi saudara-saudaranya melarangnya. Dia disarankan tidur di
kamarnya yang sudah dihiasi dengan aneka bunga setaman.
Keesokan harinya sebelum subuh tiba, Bu Santi terbangun. Dijumpainya Pak
Anjas tertidur di kursi sebelah tempat tidur. Bu Santi membangunkannya.
“Pa … kok tidur di kursi?”
“Iya, aku kasihan lihat Mama tidur pulas menyilang memenuhi ranjang. Papa
takut membangunkan Mama!”
“Pa … mama kan sudah jadi milik Papa! Jadi Papa berhak atas mama.
Mengingatkan, memberitahu kalau mama salah!”
“Ndak … Mama nggak salah! Masa papa harus marah-marah pada Mama
yang tertidur pulas?”
Adzan subuh berkumandang Bu Santi sudah mendengar suara gaduh di luar
kamar. Bu Santi menyilakan suaminya untuk pindah ke tempat tidur, tapi suaminya
menolak karena mau melaksanakan salat subuh. Bu Santi ikut serta. Usai menjalankan
salat bersama Bu Santi pertama kalinya mencium tangan suaminya, begitu juga Pak
Anjas membalasnya dengan ciuman mesra yang jatuh di pipi Bu Santi.
“Ssstttt … jangan bersuara!” Bisik Pak Anjas sambil melayangkan jemarinya
menutup bibir Bu Santi.
Bu Santi merasakan kebahagiaannya telah mendapatkan jodoh yang baik,
penuh perhatian kepada dirinya. Begitu juga anak bawaan suaminya yang begitu dekat
dengan dirinya menambah kelengkapan kebahagiaan yang sempurna.
Bu Santi dalam kelanjutan rumah tangganya sudah sepakat akan ikut
suaminya. Dia akan kumpul serumah dengan temannya, Bu Vany, keponakan
suaminya, dan Vara. Rencana-rencana sudah disusun secara matang. Bu Santi ikut
bersama suaminya, untuk sementara dia harus berbagi empat hari di rumah suaminya
dan sisanya di rumah bapaknya, karena harus mengurusi bapaknya.
Selanjutnya, empat bulan setelah pernikahannya bapak Bu Santi menemui Bu
Santi. Dia menyampaikan kalau dirinya tidak bisa hidup seperti ini terus, sementara
kakaknya, Mas Wawan, jarang di rumah. Untuk itu bapaknya minta izin untuk
menikah lagi dengan alasan biar ada yang merawat dirinya dan tidak merepotkan
anak-anaknya.
Bu Santi menilai bahwa alasan bapaknya sangat masuk akal, tapi dia juga
meragukan permintaan bapaknya itu. Yang dikhawatirkan Bu Santi malah bapaknya
akan menambah masalah saja. Bapak Bu Santi bersikeras kalau pernikahannya nanti
pastilah akan membawa kebaikan dirinya maupun anak-anaknya. Akhirnya Bu Santi
meluluskan permintaan bapaknya.
Sebulan kemudian bapaknya benar-benar menikah. Pernikahannya sangat
sederhana, hanya disaksikan oleh saudara bapaknya, tetangga sebelah rumah, dan
anak-anaknya saja. Pernikahannya berjalan lancar. Istri bapaknya masih tergolong
muda, usianya di atas sembilan tahun dari Bu Santi.
Kelanjutan dari pernikahan bapaknya, ternyata istri bapaknya tidak mau
diboyong ke rumah bapaknya dengan alasan jauh dari tempat kerjanya. Sehingga

89
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

bapak Bu Santi harus berbagi juga pulang balik Sidoarjo – Malang. Hal inilah yang
dikhawatirkan Bu Santi akan benar-benar terjadi. Dia takut bapaknya yang sudah
cukup tua kondisinya tidak terjaga lagi. Apalagi bapaknya yang secara intensif harus
melakukan perawatan secara rutin tentang livernya
Bu Santi ketakutan. Dia menyarankan agar bapaknya tinggal bersama istrinya
saja di malang, tapi bapaknya menolaknya karena dia tak bisa meninggalkan
rumahnya. Ternyata bapaknya malah sering pulang balik Sidoarjo – Malang. Kadang-
kadang bapaknya sering tak dijumpai di rumahnya, padahal pagi ada siangnya sudah
tidak ditemukan. Sesuai dengan rencana awal hari Senin sampai Rabu ada di
rumahnya, nyatanya sering kosong. Bu Santi agak jarang bertemu dengan bapaknya
bila sedang main ke rumah bapaknya.
Suatu hari Bu Santi menemui bapaknya, betapa terkejutnya dia melihat
bapaknya yang kurus, pucat, dan rambutnya yang tak terawat. Dia teringat ketika
masih serumah dengan bapaknya, dia yang agak cerewet mengoreksi keberadaan
bapaknya. Rambut bapaknya terlihat agak merah sedikit saja dia memaksa bapaknya
untuk disemirkan rambutnya. Apalagi kalau bapaknya terlihat agak kurus, dia selalu
memberikan makanan yang siap di piring yang terpaksa bapaknya melahapnya.
Kadang-kadang bapaknya diperlakukan seperti anak kecil yang butuh pengawasan
ketat.
Ketika Bu Santi menanyai bapaknya, bapaknya hanya bilang kalau dirinya
sudah tua. Dan, dia menganggap itu pandangan anaknya saja yang keliru. Dia
menganggap dirinya tak ada keluhan apa-apa, dia mengatakan sehat lahir batin.
Akhirnya Bu Santi beranggapan mudah-mudahan penglihatan dirinya terhadap
bapaknya yang keliru.
Bapaknya yang sedikit menutupi keadaan yang sebenarnya tidak mau kalau
dirinya selalu merepotkan anaknya. Apalagi Bu Santi sedang hamil muda dan lagi
suaminya yang jarang di rumah jangan sampai dirinya menjadi beban tambahan buat
anaknya.
Bapaknya sangat sayang dengan Bu Santi ketimbang kakaknya. Dia baru
merasakan betapa perhatiaannya Bu Santi terhadapnya dibandingkan ibunya dulu. Dia
teringat sering marah-marah kepadanya kalau ulahnya yang sangat menjengkelkan
tak tahunya sebuah perhatian yang lebih pada dirinya. Bapaknya sempat meneteskan
air mata. Dia sadar kalau dulunya sendiri sekarang kembali sendiri lagi.
Akhirnya bapaknya menuruti apa yang disarankan oleh anaknya untuk tinggal
bersama istrinya di Malang. Sejak itu Bu Santi semakin jarang bertemu bapaknya.
Sudah cukup lama dia kangen dengan bapaknya. Tiba-tiba ada kabar dari Malang
kalau bapaknya sakit. Dia dirawat inap di rumah sakit Syaiful Anwar. Bu Santi
bingung karena suaminya ada di luar kota. Untuk itu Bu Santi mengajak kakaknya
menjenguk bapaknya.
Bu Santi bersama kakaknya mencari di mana bapaknya di rawat inap. Mereka
tak menjumpainya. Satu persatu pasien diperiksa, ternyata tak ditemukan juga. Tiba-
tiba-tiba lelaki tua yang duduk setengah berbaring di sandaran ranjang melambai-
lambaikan tangannya. Bu Santi menoleh ke kanan dan ke kiri nyatanya tak ada orang.
Bu Santi mendekatinya, mungkin kakek itu butuh bantuannya. Betapa terkejutnya Bu
Santi, kakek itu memanggil namanya. Ternyata yang disangka kakek itu nyatanya
bapaknya.

90
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

“Yaa Allah Bapak, maafkan Santi! Santi tak tahu. Bapak kok ….” Bu Santi
menangis sejadi-jadinya melihat kondisi bapaknya sekarang ini.
“Ibu mana, Pak? Bapak sakit apa? Santi kok ndak dikabari!”
“Ibumu ngambil obat! Bapak komplikasi, Nduk! Wawan, sini Le! Jaga ya
adikmu ini! Yang rukun!”
Bu Santi menangis di sebelah bapaknya. Dia tidak tega melihat bapaknya yang
kurus kering, pucat, dan perutnya yang agak membuncit. Dia tak percaya, bapaknya di
acara pernikahannya masih terlihat bugar kini bagaikan tengkorak yang berbaju. Bu
Santi hanya bisa meratapi. Dia tak kuasa menahan sesenggukan yang semakin lama
semakin berat.
Ketika ibunya datang dengan memeluk Bu Santi dari belakang, Bu Santi
menolehnya. Dia langsung menangis. Dia menanyakan bapaknya sakit apa. Ibunya
menjawabnya kalau bapaknya sakit liver, hipertensi, ginjal, dan gulanya yang agak
tinggi. Seperti yang diperkirakan Bu Santi bahwa bapaknya kecapaian. Ibunya lalu
bercerita bahwa bapaknya berkeinginan agar dirinya di rawat di Sidoarjo saja, dengan
alasan banyak saudara yang menjaganya. Mendengar penjelasan ibunya itu Bu Santi
menyetujuinya.
Saat Bu Santi berbicara dengan ibunya bapaknya merintih kesakitan. Keringat
dingin menyerang seluruh tubuh bapaknya. Butiran keringat yang cukup besar keluar
dari pori-pori wajah dan tangannya. Dia minta agar Bu Santi memijat kaki bapaknya
yang capai tak karuan. Saat itu juga tubuh bapaknya mengalami kejang, matanya
sedikit terpejam menahan sakit. Bu Santi memegangi jemari tangan bapaknya yang
mencengkeram kuat tangan Bu Santi. Tiba-tiba dari mulut bapaknya mengeluarkan
buih putih kekuning-kuningan. Bu Santi langsung berteriak memanggil perawat. Saat
itu juga cengkeraman tangan bapaknya melemas seketika, seperti orang yang sedang
menarik tambang tiba-tiba tambangnya terputus.
Bu Santi bingung. Dia ingin menangis dan menjerit sekeras-kerasnya. Ketika
perawat mengoreksinya, perawat itu mengatakan bahwa bapaknya sudah tidak
bernyawa lagi. Spontan Bu Santi, ibunya, dan Mas Wawan menangis histeris. Semua
penunggu pasien di ruangan itu mendatangi Bu Santi agar mereka tabah dan sabar.
Ketika itu Mas Wawan sebagai lelaki satu-satunya dari pihak keluarga
langsung menuju ruang perawat, dia minta petunjuk bagaimana proses pengurusan
jenazah bapaknya. Setelah semua urusan sudah beres Mas Wawan kembali ke ruangan
bapaknya. Kebetulan sekali ketika Bu Santi dan kakaknya berkumpul ibunya
mendatanginya. Ibunya mengatakan bahwa almarhum bapaknya pernah berpesan
kepadanya kalau dia nanti ditakdirkan meninggal, dia minta dimakamkan di samping
ibu Bu Santi yang sudah meninggal. Bu Santi dan Mas Wawan merasa lega, memang
itu yang mereka maui. Untuk itu Mas Wawan kembali lagi ke ruang perawat
menanyakan bagaimana bila jenazah di bawah ke Sidoarjo.
Seusai pengurusan jenazah, Mas Wawan menghubungi omnya yang ada di
Sidoarjo. Dia menyampaikan bahwa jenazah bapaknya segera diberangkatkan dari
rumah sakit menuju Sidoarjo. Mobil jenazah yang keluar dari rumah sakit hanya
ditumpangi Mas Wawan, yang menunggui bapaknya di belakang. Sementara Bu Santi
dengan ibunya berada di depan bersama sopir.
Bu Santi dari pemberangkatan jenazah sampai tiba di rumah tak henti-hentinya
menangis. Ibunya yang masih terlihat tegar memberi penguatan kejiwaan kepada Bu

91
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Santi, bahwa semua itu sudah diatur oleh Yang Mahakuasa. Bu Santi memahami apa
yang disampaikan oleh ibunya benar, hanya dirinya tak kuasa melihat kepergian
bapaknya yang begitu cepat.
Menjelang magrib mobil jenazah sudah sampai di rumah Bu Santi. Famili dan
keluarga dekat menerimanya dan mengurusnya sesuai dengan agama yang dianutnya.
Seusai isya’ jenazah bapaknya dimakamkan di samping ibunya.
Hening sudah suasana rumah Bu Santi. Selama tujuh hari mengurusi
mengurusi tahlil buat bapaknya, di rumahnya hanya ada Bu Santi, Mas Wawan, dan
keluarga saudara-saudara bapaknya.
Sementara untuk Vara tidak berani diajak ke rumah eyangnya, dia masih
ketakutan. Kebetulan Bu Vany ikut menemaninya sampai malam, walaupun tidak
tidur di rumah Bu Santi. Sementara suami Bu Santi baru hari ketiga dia baru datang
dari ruang kota.
***

Setelah pelaksanaan pengajian, tahlil, yang ke tujuh harinya Bu Santi duduk


termenung di kursi di mana bapaknya sering bersantai ria. Dia teringat bahwa
bapaknya yang sabar dan penuh perhatian kepada anak-anaknya begitu cepat
meninggalkannya. Saat itu dia didatangi suaminya, dia langsung meraih tangan
suaminya.
“Pa … orang kedua yang sangat dekat, sangat perhatian, dan selalu
membimbingku selama ini telah tiada. Mama sudah tak punya siapa-siapa lagi kecuali
Papa, Vara,dan yang ada di rahimku ini. Hidup mama sekarang hanya kupasrahkan
pada Papa…” kata Bu Santi terputus-putus.
“Sssstttt …. jangan! Hidup kita ada di tangan Yang Esa. Kita pasrahkan saja
pada-Nya, jangan pada papa. Keliru Ma! Papa hanya sekedar menjalankan daria apa
yang diamanahkan oleh Yang Esa. Hanya kepada-Nya jua kita berharap berkah-Nya!”
“Terima kasih, Pa!”
Di hari-hari berikutnya Bu Santi seperti biasanya melakukan aktivitas
kesehariannya. Dia sudah semakin menyatu di rumah keluarga Pak Anjasmara.
Terutama dengan temannya, Bu Vany, yang sekarang menjadi keponakannya sangat
memberikan perhatiaan yang lebih di samping suaminya. Kehamilan Bu Santi
semakin besar. Di usia kehamilan yang ke delapan bulan Bu Santi mengajukan izin
cuti selama tiga bulan. Permohonan izin itu dikabulkan oleh kepala sekolah dan
untuk jam mengajar Bu Santi untuk sementara diberikan kepada Pak Hendra selaku
seniornya.
Di masa Bu Santi cuti di bulan pertama, Bu Vany yang tinggal serumah
dengannya menikah. Setelah pernikahannya itu Bu Vany tak serumah lagi dengan Bu
Santi. Dia ikut suaminya, yang jaraknya tidak begitu jauh hanya lima kilometer dari
rumah Pak Anjasmara. Tapi Bu Vany seminggu sekali pasti berkunjung menengok
umi, ibu Pak Anjasmara. Kadang dia kalau ada jam kosong dia sempatkan menengok
uminya.
Bu Santi merasa senang bila Bu Vany main ke rumahnya. Bu Santi yang
menunggu kelahiran anaknya dia hanya melakukan aktivitas yang ringan-ringan saja.
Terutama Vara yang selalu dekat dengannya sangat mengharapkan kelahiran adiknya
dari rahim Bu Santi.

92
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Sesuai dengan perhitungan kehamilan Bu Santi yang genap sembilan bulan


lebih seminggu, mulai terasa tanda-tanda mau melahirkan. Dia sering meringis
kesakitan bila bayi yang dikandungnya menendang-nendang. Ternyata benar juga tiga
hari kemudian kesakitan Bu Santi semakin hebat, perasaannya ingin ke kamar mandi
saja.
Waktu itu suami Bu Santi kebetulan sedang berada di luar kota. Bu Santi
minta tolong pada Mas Wawan dan Bu Vany untuk mengantarkan dirinya ke rumah
sakit bersalin. Untung saja kakak Bu Santi dan Bu Vany cepat datang, waktu itu juga
mereka mengantarkan Bu Santi ke rumah sakit bersalin Tunas Harapan. Ketika Bu
Santi berada di ruang pemeriksaan, Bu Vany memberi tahu omnya yang ada di luar
kota.
Bu Santi yang terbaring di ranjang tinggal menunggu kelahiran anak
pertamanya. Sementara bidan rumah sakit tersebut mengimformasikan bahwa Bu
Santi akan melahirkan sudah beberapa jam lagi, karena sudah buka empat. Ternyata
sampai sore hari tanda tanda itu belum juga terbukti, sampai suaminya yang dari luar
kota sudah datang di rumah sakit tersebut. Satu jam kemudian Bu Santi benar-benar
melahirkan bayi laki-laki mungil.
Bu Santi merasa bersyukur bahwa proses kelahiran anak pertamanya cukup
lancar. Apalagi suaminya yang menunggui Bu Santi tak habis-habisnya menciuminya,
karena telah memberikan anak laki-laki. Karena rasa syukurnya dia berjanji akan
memberikan sedekah kepada para pengemis yang ada di sekitar rumah sakit.
Saat bayi mungil diserahkan oleh perawat ke Bu Santi, suami Bu Santi
memintanya. Perawat itu pun memberikan bayi tersebut ke suami Bu Santi. Suami
Bu Santi menciuminya pelan bayi mungil itu. Dia meneteskan air mata menatap bayi
mungil yang nantinya akan melanjutkan generasi turunannya. Dia sangat bersyukur
pada Yang Esa bahwa anugerah yang diberikan padanya benar-benar sebuah
kebahagiaan yang tak ternilai oleh apapun. Saat itu juga suami Bu Santi menyerahkan
bayi itu ke Bu Santi, lalu dia pamit keluar sebentar.
“Mau ke mana, Pa?”
“Aku keluar sebentar, akan kubayar nazarku pada pengemis-pengemis yang
ada di depan rumah sakit!”
“Apa Papa punya hutang?”
“Iya Ma, hutang janjiku pada mereka!”
Suami Bu Santi keluar dari rumah sakit. Dia melihat ke sana ke mari nyatanya
di sekitar halaman rumah sakit tak dijumpai satu pengemis pun. Akhirnya dia berjalan
keluar area rumah sakit. Barulah Pak Anjas melihat beberapa pengemis yang berjalan
dari toko satu ke toko yang lain. Dia menghampiri pengemis itu, diberikannya
masing-masing selembar lima puluh ribuan. Sampai pengemis yang ke sepuluh yang
sedang duduk di teras pertokoan yang sedang tutup. Dia memberikan lembaran lima
puluh ribuan seperti pengemis yang lainnya.
“Ada apa ini Pak?” Tanya pengemis itu.
“Anu Pak, ini nazar saya bila istri saya melahirkan bayi laki-laki. Dan,
Alhamdulillah sudah terpenuhi!”
“Oh ya, terima kasih, Pak! Biarlah uang pemberian Bapak ini barokah dan
anak Bapak menjadi anak yang saleh dan berguna, baiklah saya doai dulu!”

93
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Pengemis itu pun berkata-kata lirih sambil menengadakan kedua telapak


tangannya ke atas. Pak Anjas hanya mengamini saja, selesai pembacaan doa Pak
Anjas mohon pamit.
“Pak sebentar, ada sesuatu yang ingin saya sampaikan. Ini rahasia, hanya
Bapak saja yang tahu!” Kata pengemis lirih sambil mendekat ke arah Pak Anjas.
Pak Anjas mengangguk-anggukkan kepalanya, setelah itu Pak Anjas mohon
diri. Setiba di kamar istrinya dia langsung ke kamar mandi mengambil air wudlu.
Setelah itu dia mendekat ke anaknya yang baru lahir dan melakukan apa yang
disarankan pengemis itu. Istrinya merasa heran apa yang telah dilakukan suaminya.
Istrinya hanya memperhatikan apa yang telah dilakukan suaminya.

***

Kehadiran Andika Putra Bhaskara dalam keluarga Bu Santi semakin lengkap


sudah. Bayi mungil yang sehat setiap pagi tangisnya mewarnai keheningan rumah.
Seisi rumah dalam keadaan bahagia dengan kehadirannya, terutama Vara yang ingin
segera menggendongnya. mi dan mamanya melarang, khawatir kalau adiknya keseleo
atau terjatuh.
Andika semakin hari semakin lucu saja. Tubuhnya yang berisi, gerakannya
yang aktif, apalagi kalau menangis minta susu, dia langsung menjerit spontan yang
membuat Bu Santi kelabakan. Demikian juga, papanya yang jarang bertemu selalu
ingin berlama-lama di rumah bersama Andika. Walaupun dia capai sepulang dari luar
kota tak pernah ia rasakan.
Vara semenjak kelahiran adiknya, dia tak manja lagi. Dia lebih suka
menunggui adiknya, mengurusi kalau adiknya rewel atau ngompol. Hanya
kelemahannya dia tidak suka dengan kerjaan dapur. Dia sudah mulai berani menggoda
adiknya yang semakin lucu. Kadang-kadang dia merasa gemes melihat adiknya,
sehingga dia sering menggoda supaya adiknya menangis.
Ketika Andika genap berusia tujuh bulan Bu Santi mengadakan syukuran.
Sebagai masyarakat Jawa Bu Santi melaksanakan mitoni61 atau acara piton-piton62.
Dalam acara itu Andika didandani ganteng sekali. Baju yang serba merah, topi merah,
dan sepatu merah. Dia terlihat ganteng sekali. Kulitnya yang kuning dengan paduan
pakaian yang kontras terlihat serasi menempel di tubuhnya. Dia diturunkan di tikar.
Pada waktu prosesi piton-piton Andika didudukkan di atas jenang ketan dan di
samping-sampingnya diletakkan aneka mainan, sampai model miniatur perangkat
kehidupan, mulai dari kaca dengan sisir, piring dengan sendok, buku dengan spidol,
bahkan beberapa uang kertas.
Pada saat Andika turun dari tempe63 yang berisi jenang ketan dia mengambil
kaca dan sisir. Dari sinilah para tetangga yang diundang menyampaikan bahwa
Andika nanti kalau besar pandai merias diri. Walau saat itu Bu Santi menggeser buku
dan spidol ke arah Andika, malah Andika menyingkirkan benda-benda itu.
Dalam acara piton-piton papa Andika tak bisa menungguinya. Kepalanya
pusing tak karuan. Dia tak bisa bangun, bahunya yang terasa berat dan kaku,

61
Melaksanakan syukuran ,untuk anak yang berusia tujuh bulan atau yang dikenal dengan turun tanah
62
Upacara syukuran untuk anak berusia tujuh bulan
63
Nampan besar yang terbuat dari anyaman bambu

94
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

kepalanya yang terasa cekot-cekot64, dan pandangan matanya terasa tak focus. Dia
ketakutan, jangan-jangan tekanan darahnya yang menaik hebat. Nyatanya benar pak
mantri kesehatan yang tinggal bersebelahan dengan rumahnya memeriksanya, bahwa
Pak Anjas tekanan darahnya sampai 210. Dia menyarankan agar Pak Anjasmara
periksa ke dokter.
Pak Anjas sudah seminggu di rumah. Dia memberi tahu ke kantornya, bahwa
dia tidak masuk karena sakit. Tapi setelah dua hari mendapatkan asupan obat-obatan
dari dokter tekanan darahnya perlahan-lahan turun. Akhirnya dia memberanikan diri
berangkat kerja ke luar kota, walaupun kepalanya masih terasa pusing.
Bu Santi sangat mengkhawatirkan keberadaan suaminya. Sehingga dia
beberapa jam sekali menelepon suaminya, menanyakan keberadaan kesehatannya.
Suaminya mengabarkan kalau dirinya sudah baik dan dua hari lagi dia akan pulang.
Bu Santi bersyukur kalau suaminya tidak ada masalah. Dia menyarankan agar
suaminya selalu menjaga kesehatannya. Dia menambahkan untuk pola makan agar
diatur dan istirahat yang cukup. Ketika Bu Santi lagi asyik menelepon suaminya, tiba-
tiba mendengar Andika menangis. Bu Santi langsung berlari menuju kamarnya. Tak
tahunya Andika sudah berada di bibir ranjang. Dia mendekatkan hp-nya ke telinga
Andika. Seketika itu juga Andika terdiam, sepertinya dia mendengarkan suara
papanya yang lagi berbicara padanya.
Saat hp-nya ditarik Bu Santi untuk berbicara kepada suaminya, Andika
menangis lagi.
“Pa… sudah ya?”
“Mama, aku ingin cepat-cepat pulang!”
“Cuma kangen sama Andika?”
“Ya …. Mama juga!”

***

Siang itu Pak Anjas sudah siap-siap berangkat ke luar kota. Dia masih asyik
bermain dengan Andika. Ketika dia makan siang, betapa terkejutnya dia melihat
Andika berdiri dengan berpegangan kursi. Pak Anjas langsung memanggil-manggil
Bu Santi agar melihat anaknya. Sementara Bu Santi masih ada di kamar mandi.
Setelah keluar dari kamar mandi Bu Santi melihatnya. Dia sangat senang bahwa
sebentar lagi Andika pasti sudah bisa jalan.
Pak Anjas mendekati Andika lalu menggendongnya. Dia ciumi Andika
berulang-ulang sampai Andika menangis. Dia kemudian meletakkan Andika di atas
kasur yang digelar di ruang tamu. Saat itu Pak Anjas akan pamit kepada Bu Santi
kalau dia akan berangkat. Dia memohon kepada Bu Santi untuk diciumnya, tapi Bu
Santi menolaknya dengan alasan mau salat. Pak Anjas mendekati, memaksanya, tapi
Bu Santi tetap saja menolaknya. Bu Santi berkomentar nanti kalau pulang saja Pak
Anjas bisa melakukan apa saja yang dia mau. Akhirnya Pak Anjas mengurungkan
niatnya, dia langsung pamit berangkat walaupun tanpa mendapatkan ciuman mesra
dari Bu Santi.
Dua hari kemudian Bu Santi menelepon suaminya. Dia menyampaikan kalau
dirinya menyesal atas penolakan yang ia lakukan pada Pak Anjas. Dia minta maaf
64
Nyeri

95
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

berulang-ulang tapi suaminya tak menjawabnya. Bu Santi menduga kalau suaminya


marah, tapi setelah dikonfirmasikan lebih lanjut Pak Anjas tidak mau menjawab gara-
gara kekecewaannya.
Saat Pak Anjas waktunya pulang, dia tidak pulang. Bu Santi kebingungan. Dia
lngsung meneleponnya dari sekolah sewaktu dia tak mengajar. Ternyata Bu Santi baru
tahu kalau suaminya tidak marah ketika berangkat kemarin tidak diberi ciuman seperti
biasanya. Suaminya tidak datang karena tekanan darahnya yang naik, dia masih
sempat tertawa di telepon walaupun dia pusing berat.
Sore hari ketika Bu Santi sedang menyuapi Andika, Bu Santi dapat telepon
dari anak buah suaminya. Dia mengabarkan kalau Pak Anjas terjatuh di kamar mandi,
kena serangan strok, dan sekarang masuk rumah sakit. Spontan mangkok yang berisi
makanan Andika jatuh dari pegangan Bu Santi. Anak buah Pak Anjas yang sama-sama
satu daerah dengan Pak Anjas memberi tahu Bu Santi kalau dia akan mengurus
segalanya tentang Pak Anjas atas mandat yang diberikan oleh pimpinan kantornya.
Bu Santi menangis. Dia mencari Vara dan memberi tahu umi, ibu Pak Anjas.
Bu Santi menceritakan semuanya, mulai dia telepon dengan suaminya tadi pagi yang
masih bisa tertawa sampai kabar dari anak buah suaminya. Ingatan Bu Santi kembali
menyerangnya, dia merasa berdosa tak mau mengabulkan keinginan suaminya. Dari
sini uminya menyarankan agar Bu Santi menengok suaminya besuk pagi saja, karena
sekarang sudah petang.
Keesokan harinya Bu Santi sudah siap berangkat menengok suaminya. Dia
sudah menelepon Bu Vany agar menjaga Andika. Rencananya Bu Santi berangkat
akan diantar oleh Mas Wawan. Untuk itu Bu Santi hanya menunggu kedatangan Mas
Wawan. Ketika Mas Wawan datang dan mau berangkat tiba-tiba hp Bu Santi
berdering. Diangkatnya, nyatanya dari teman kantor suaminya mengabarkan bahwa
suaminya mengalami strok dan mengalami koma akibat pecahnya pembulu darah
otaknya.
Spontan tubuh Bu Santi jatuh terduduk di teras rumah. Dia tak mampu lagi
berkata apa-apa. Akhirnya uminya mengambil hp-nya dan mendengarkan siapa yang
berbicara. Uminya langsung menjerit ketika mendengar anaknya sudah tak bernyawa
lagi. Ketika uminya melihat Bu Santi, Bu Santi sudah terkulai di lantai teras
rumahnya.
Mas Wawan langsung menggendong Bu Santi dan diletakkan di kursi sofa
ruang tamu. Dia minta tolong uminya untuk mengambilkan minyak kayu putih. Dia
merawat Bu Santi sebentar sampai sadar, lalu dia menghubungi Pak RT setempat
melaporkan berita kematian Pak Anjas. Ketika dia kembali dijumpai Bu Santi
menangis di pangkuan uminya. Mas Wawan minta izin mereka kalau dirinya saja
yang menjemput jenazah Pak Anjas. Sebelum Berangkat dia menelepon kantor Pak
Anjas, pimpinannya menyampaikan agar pihak keluarga menunggu saja di rumah,
tentang segala urusan yang berkaitan dengan Pak Anjas biar teman-temannya saja
yang mengurusinya.
Teman-teman Pak Anjas menyampaikan bahwa jenazah Pak Anjas siap untuk
diberangkatkan tinggal menunggu jawaban dari pihak keluarga. Dari berita inilah,
Mas Wawan memutuskan jenazah Pak Anjas bisa diberangkatkan secepatnya.
Tidak begitu lama rumah Bu Santi sudah dipenuhi para pelayat. Para tetangga
sudah menyibukkan diri mana yang harus dikerjakan. Untuk sinoman, mereka sudah

96
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

menyiapkan perangkat kematian, mulai dari acara memandikan jenazah sampai segala
segala ugoh rampinya. Pihak keluarga tak perlu lagi direpotkan dan dibebani oleh
semuanya.
Pukul 12.15 mobil jenazah yang mengangkut Pak Anjas sudah sudah
memasuki halaman rumah Bu Santi. Para pelayat menurunkan jenazah Pak Anjas.
Dari pihak keluarga, termasuk Mas Wawan ikut serta memandikan jenazah Pak Anjas.
Mas Wawan terperanjat melihat Pak Anjas, Pak Anjas sepertinya tidur saja. Tubuhnya
yang masih bugar tanpa cedera sedikitpun, kumis yang rapi, dan kulit tak begitu
pucat, siapa sangka Pak Anjas sudah meninggal. Semua tidak percaya kematian Pak
Anjas yang benar-benar mendadak, yang membuat orang-orang yang dekat dengan
dirinya tak kuasa meneteskan air mata.
Sore hari semua dinyatakan sudah siap, prosesi pemakaman Pak Anjas
dimulai. Jenazah Pak Anjas dimasukkan dalam ambulan, para pelayat dan pihak
keluarga mengikutinya dari belakang. Pengantar jenazah mulai bergerak. Tidak begitu
lama hanya lima belas menit mobil jenazah sudah memasuki area makam.
Saat jenazah Pak Anjas dimasukkan ke liang lahat Bu Santi terlihat berada di
antara para pelayat. Waktu pengurukan, Bu Santi melintas dengan celana kuning
kecoklatan, dengan paduan kaos coklat panjang, dan berjilbap putih, menggenggam
tanah makan yang ditaruhnya di atas makam suaminya.
Dalam prosesi pemakaman Pak Anjas, teman-teman Bu Santi banyak yang
hadir. Sampai prosesi pemakaman selesai teman-temannya masih menunggui Bu Santi
di pemakaman, termasuk Pak Hendra dan Bu Vany. Mereka merasa kasihan melihat
Bu Santi, yang masih begitu muda belia dengan berbagai cobaan yang menderanya.
Orang-orang yang dianggap paling dekat dengan dirinya telah diambil-Nya, satu per
satu dari kehidupannya.

***

Bu Santi yang single parent tetap menikmati hidup apa adanya. Dia menyadari
sepenuhnya apa yang dijalani selama ini adalah suratan dari Yang Esa. Pernah suatu
hari dia menangis meratapi nasibnya, menangisi keberadaan dirinya, menangisi
keberadaan orang-orang yang serumah dengannya, ketika seorang anak laki-laki
masih kecil dengan menenteng empat kantong plastik yang diberikan kepada Bu
Santi.
“Bu ….ini zakat dari mama! Satu untuk untuk umi, satu untuk Ibu, satu untuk
Andika, dan satu untuk Mbak Vara!”
Bu Santi terbengong-bengong. Kata-kata dari anak tersebut benar-benar
menembus sampai ke relung hatinya yang paling dalam. Dibukanya satu per satu,
ternyata benar juga. Dirinya dan umi mendapat karena janda, Andika mendapat
karena yatim, begitu juga Vara. Empat kantong plastik yang dipapahnya diletakkan
begitu saja di meja makan. Dia langsung ke kamarnya, menangis meratapi nasib para
anggota keluarganya.
Sementara Andika yang semakin besar sudah mulai mengerti. Dia mulai bisa
menuntut haknya seperti anak-anak pada umumnya. Dia sering menanyakan
keberadaan papanya kepada Bu Santi. Bu Santi hanya menjawab klise bahwa papanya
kerja di tempat yang jauh. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang bisa merontokkan

97
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

ketegaran jiwa Bu Santi dalam mengarungi hidupnya. Sebagai dampak jawabannya


yang selalu membohongi Andika, dia bertanya pada dirinya sendiri sampai kapan dia
mampu menyembunyikan semua ini, sementara Andika semakin besar dan semakin
mengerti.

***

Usia Andika menginjak tiga tahun, kehidupan Bu Santi tak berubah. Dia enjoy
saja dengan predikat jandanya. Teman-temannya sering menggodanya dan bahkan ada
yang ingin menjodohkannya. Tapi Bu Santi yang belum ada hasrat ke arah itu. Dia
masih dibayang-bayangi suaminya, tipe suami yang baik, perhatian, dan sabar.
Pada suatu hari saat Bu Santi menikmati jam kosongnya, dia datang ke
perpustakaan untuk menemui Bu Vany. Kebetulan sekali di perpustakaan ada Pak
Hendra. Dia sedang buka-buka kamus Bahasa Indonesia. Saat itu pikiran Bu Santi
berubah, dia ingin ngomong-ngomong dengan Pak Hendra. Saat itulah, yang
dipendam Bu Santi bertahun-tahun dan tak pernah dibeberkan secara jelas oleh Pak
Hendra. Hari itu juga kesempatan buat Bu Santi menanyakan kembali ke Pak Hendra.
“Maaf … Pak, ada waktu? Saya ingin bertanya sesuatu!”
“Ada Bu! Tentang apa sepertinya kok serius banget! Sangat rahasiakah? Atau
semi rahasia atau online?”
“Yach… bisa dibilang rahasia, tapi tidak juga!”
“Mari Bu, ada masalah apa? Kebetulan saya ada jam kosong, baru nanti jam
7-8!”
“Itu lho Pak, masalah yang pernah saya sampaikan kalau tidak salah empat
tahun yang lalu, tentang diri saya!”
“Oh …. itu Bu! Yang mana sih, Bu?”
“Oala….Pak, saya kira sudah tahu, kok malah tanya! Itu lho Pak tentang diri
saya!”
“Oh … sudah terjawab kan? Kupasan saya waktu itu, kalau tidak salah tentang
garis Ibu! Nyatanya sudah terjawab kan?”
“Yang mana sih Pak?”
“Ya … tentang Ibu!”
Setelah mendengarkan paparan Pak Hendra lebih lanjut, Bu Santi mulai tahu.
Bu Santi malah menuding Pak Hendra tak setia kawan pada teman, tapi Pak Hendra
menangkisnya bahwa semua itu suratan Yang Esa. Dia hanya diberikan anugerah
untuk melihat, bukan untuk mengubahnya. Selanjutnya Bu Santi menanyakan
kelanjutan dirinya. Pak Hendra pun memaparkannya, karena Bu Santi ke depannya
sudah terlihat ada sinar cerah yang menggandengnya, walaupun jalan yang cukup
panjang dan luas membentang kelam. Pak Hendra menyampaikan juga bahwa di
ujung jalan panjang yang terbalut kelam di situ terpancar sinar terang. Tapi perlu
dipahami oleh Bu Santi bahwa sepanjang jalan dipenuhi jerat kubang-kubang, yang
tergambar dalam hujatan dan siksa. Akhir kupasan Pak Hendra menegaskan agar Bu
Santi lebih hati-hati dan selalu ingat akan kuasa-Nya.
Bu Santi bingung. Dia bagaikan anak kecil yang mau dininabobokan dengan
dongeng-dongeng. Dia tidak memahami sama sekali apa yang disampaikan Pak

98
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Hendra. Akhirnya dia menodong Pak Hendra agar menyampaikan dengan bahasa
yang lugas, tanpa simbol-simbol atau bahasa perumpamaan.
“Pak …. saya ingin tahu saya yang sebenarnya! Bapak jangan berbelit-belit,
terus terang saja apa yang Bapak lihat tentang diri saya. Saya ini buta perlambang,
buta wawasan!”
“Baiklah, kalau itu mau Ibu akan saya katakan yang sebenarnya, yang sesuai
dengan penglihatan mata batin saya tentang Ibu. Tapi maaf lho Bu, ini hanya suara
batin saya yang berbicara, bila itu benar semata-mata karena-Nya dan bila itu salah ya
sayalah sebagai manusia biasa tempat kesalahan!”
“Sudahlah Pak, tunjukkan apa adanya tentang diri saya! Saya akan terima
semua ini! Saya jangan diceramai begini terus!”
“Iya… iya Bu! Jodoh Ibu yang pertama sudah tiada. Itu dari mata batin saya,
yang sekarang sudah terjawab. Jodoh Ibu yang yang terakhir masih jauh, di tengah-
tengah banyak rintangan, cobaan, bahkan hujatan. Tapi Ibu akan meraihnya walaupun
harus ada jiwa-jiwa yang menjadi jembatan dalam perampasan hak. Kalau boleh saya
katakan itulah si premanawa. Itulah jodoh Ibu yang sempurna di usia senja! Maaf Bu,
ini cuma kupasan mata batin saya, mudah-mudahan apa yang saya suarakan tidak
benar! Saya hanya bisa berdoa semoga Ibu cepat menemukannya!”
Bu Santi merasa senang walaupun kupasan tentang dirinya ada sedikit yang
bernada kurang menyenangkan dalam perjalanan hidupnya. Dan ada sedikit yang tak
ia pahami. Dia berharap kepada Pak Hendra tak segan-segan memberikan petunjuk,
bila dirinya yang banyak bertanya hanyalah semata-mata karena keingintahuannya
tentang dirinya.
Mulai saat itulah kedekatan Pak Hendra dengan Bu Santi mulai terjalin.
Kedekatan yang terjalin nyatanya melahirkan sebuah bom waktu yang siap meledak
kapan saja. Suara-suara sumbang kadang-kadang sering terlantunkan yang
menyambar-nyambar pendengaran mereka. Tapi mereka mengacuhkan saja, sampai
bom itu benar-benar meledak yang meluluhlantakkan jiwa-jiwa yang nista.

***

Awal mula perkenalan Bu Santi dengan Pak Arman melalui penjagaan ebtanas
silang. Mereka menjaga bersama dalam satu ruang. Dari sinilah mereka berdua
berkenalan. Mereka semakin akrab sampai Pak Arman sering berkunjung ke rumah
Bu Santi.
Bu Santi mulai menerima sepenuhnya Pak Arman. Melalui kedekatannya
itulah Bu Santi mulai menangkap sinyal-sinyal yang digetarkan Pak Arman. Walau
secara legalitas Pak Arman tak pernah menyatakan rasa simpatinya kepada Bu Santi.
Tapi dilihat dari sikap Pak Arman, gaya, sorot mata, dan arah pembicaraan sudah
dibilang sebagai tanda-tanda yang harus dicermati oleh Bu Santi.
Hubungan Bu Santi semakin serius. Apalagi Pak Arman secara terang-
terangan dalam acara makan malam bersama Bu Santi di rumah makan Sederhana,
dia menyampaikan bahwa dirinya ingin menikahi Bu Santi. Bu Santi pun
menerimanya dengan secara tulus menyampaikan segala kekurangan dan kelebihan
dirinya. Tapi Pak Arman tak memasalahkan semua itu. Dia mengutarakan inginnya
yang begitu menggelora untuk menikahinya.

99
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Nyatanya hubungan mereka hanya seumur jagung saja. Bu Santi meronta, dia
mendamprat dirinya habis-habisan ketika dia mendengar bahwa Pak Arman sudah
beristri. Saat itu juga Bu Santi menelepon Pak Arman. Dia menanyakan kebenaran
berita itu, ternyata Pak Arman tak bisa berbohong. Dia mengatakan sebenarnya bahwa
dia sudah beristri, tapi istrinya jauh di luar pulau. Mulai saat itulah Bu Santi mundur
secara teratur menjauhi Pak Arman.
Permasalahan diri Bu Santi ini tak luput disampaikan kepada Pak Hendra. Bu
Santi yang awalnya sudah tumbuh benih-benih rasa cintanya yang mendalam pada
Pak Arman dan lagi menganggap kupasan mata batin Pak Hendra tak terbukti.
Nyatanya apa yang dikatakan Pak Hendra benar.
Bu Santi tak habis pikir, dia mulai mencoret-coret buku hariannya yang
diawali dari kesuraman diri. Dia menggores tajam nama Arman yang mulai
membangunkan tidur panjangnya, tapi dalam terjaganya dia terpaksa menidurkan diri
kembali. Dia mencoba menggores-goreskan diksinya yang ingin disampaikan ke
sahabatnya, Pak Hendra. Ternyata sulit juga walaupun dia memaksakan diri
menjemput situasi. Tatanan diksi yang tak begitu merupa dikirimkan saja ke Pak
Hendra melalui sms-nya.

”banyak kulukis jejak hujan


pada langkah dan hati
dentum demi dentum kesepian
membelenggu inginku
padahal tlah kurajut hasrat keinginan
yang sarat letupan
beradu dalam sepi
kutak rela bila sepiku meraja
untuk jejak lalu,”

”Aduh pandai juga membuat puisi! Aku sudah bisa merasakan apa yang Ibu
rasakan. Ada yang bisa saya bantu?” Jawab Pak Hendra dalam sms-nya.
Pak Hendra sangat senang dengan tatanan diksi yang ditulis Bu Santi sudah
lumayan bagus dalam mendeskripsikan dirinya. Hal ini dirasakan Pak Hendra bisa
dipakai sebagai sarana dalam memberikan kupasan jarak jauh kepada Bu Santi. Dan
yang lebih bagus lagi akan menjauhkan dari praduga serta fitnah-fitnah yang tak
bertuan.
Selanjutnya, kehidupan Bu Santi yang selalu diwarnai ketidakmulusan dalam
menemukan pasangan hidupnya. Selepas dari Pak Arman, dia mulai dalam
pengembaraan cintanya. Dia tulis sederet diksi dalam lembaran kertas yang
dipungutnya dari jalanan. Tentang dirinya.
”angin terus menderu
membeku di antara cela
diri ingin menantang
menunggu engkau diam dari erang.
di pengembaraan sunyi
tetes embun tak berbasah
pada hati yang tak kunjung berlabuh
padahal napas telah kutunggu
aku letih dibuatnya

100
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

dalam terjemahkan sunyi”

***

Ibu Santi termenung kembali ke masa lalunya ketika bersanding dengan


diary-nya. Dia menangis, teringat dua tahun yang lalu ketika dia duduk di pojok balai
pertemuan Musda , seorang lelaki baya menghampirinya.
“Sedang apa, Bu?” Tanyanya.
Ibu Santi hanya tersenyum. Lelaki baya itu mendekatinya dan
memeperkenalkan diri. Mereka terlibat dalam percakapan yang cukup akrab. Mereka
berbagi pengalaman tentang kegiatan Musda dan hal-hal lain yang tak begitu
penting. Sampai tidak ada yang akan disampaikan, lelaki baya itu memungut goresan
ibu Santi yang tergeletak di kursi kosong, samping Bu Santi. Dia lalu membacanya.
“Oh … bagus sekali puisi ini! Ibu yang menulisnya?” Tanyanya.
Ibu Santi mengangguk. Dia merasa malu bahwa goresan dengan tulisan yang
tak begitu rapi dan di sana-sini terdapat coretan tajam diksi yang dianggap kurang
bisa mewakili makna. Ibu Santi berusaha mengambil buku catatan itu, tapi lelaki
baya itu bersikeras menghalangi Bu Santi.
“Bu … biar kubacakan puisi Ibu! Aku suka sekali dengan puisi. Walau aku
bukan orang yang berkarakter seniman, tapi darah-darah yang mengalir dalam
tubuhku ada sedikit untuk itu. Ayo dengarkan, Bu!”

Indahnya Malam
dua malam kubermandi di indahnya purnama
berhias selendang bunga salju
menjingga semburat bulan perak
pada bumi songgoriti.
kelopak mahkota cempaka membuka
menawar untaian senyum
antara mentari, rembulan, dan bebintang kecilku
mengisi malam yang menghilang
dalam janji mengubur aloerotis
buat asoka yang penuhi dusta
oh … flamboyan terkubur jua untukmu.
malam pertama,
kusembunyi di ketiak gunung yang memunggung
pada cempaka bukan lagi asoka
untuk sebuah cerita
buat bulan
buat bintang
buat mentari
di setiap pagi!
malam kedua,
kupapah rembulan
demi bintang berendam di putihnya salju
pada buih semburat di tepian kolam
memancar keceriaan bintang kecilku
pada lekuk tubuh melayang jemari lentik

101
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

mengurai birunya air menjemput senja


tanpa terasa cemburu sirna.”
Songgoriti

“Bagus … bagus! Indah sekali penataan diksimu. Apa ini catatan harian
ketika di Songgoriti? Yang pasti Ibu ini seorang penyair,” katanya, setelah
membacakan puisi Bu Santi.
“Bukan! Hanya pengisi waktu kosong saja dan sekedar hobi.”
“Wah … wah … wah … tentunya Anda ini seorang yang romantis dengan
sentuhan nilai naturalis. Ibu sanggup menghidupkan kata-kata yang sarat makna. Aku
penikmat puisi, kagum dengan warna puisi Ibu!” Puji lelaki baya itu.
“Terima kasih, Pak!”
Perkenalan Bu Santi dengan lelaki baya itu terus berlanjut, tidak berakhir
sampai di sini. Setiap bulan dalam pertemuan Musda mereka selalu bersama. Lelaki
baya itu selalu menjemputnya.
Pekerjaan Bu Santi selaku guru sering terabaikan dengan adanya tugas-tugas
tambahan dari kegiatan Musda. Protes siswa dan selentingan dari teman sekerja
sering mencuat di setiap obrolan di sekolah. Tapi Bu Santi tutup mata dan sedikit
menepis keganjilan dirinya.
Pertemuan demi pertemuan berjalan lancar. Mereka tahu bahwa persahabatan
mereka sebatas keanggotaan Musda. Tidak lebih. Kedekatan mereka terjalin begitu
kental sampai panggilan akrab sering menghiasi pertemuan mereka berdua.
Keanggotaan Bu Santi sebagai anggota Musda lebih berperan setelah lelaki
baya itu dilantik menjadi ketua Musda yang baru. Kegiatan semakin padat begitu
juga persahabatan mereka semakin erat. Sehingga obrolan konyol sering meyeruak
dalam percakapan mereka.
***

“Din … tolong disiapkan rencana kerja yang akan diajukan ke dewan,”


perintah lelaki baya.
“Sudah saya persiapkan dari rumah. Termasuk aku sudah siap, Nda!” Jawab
Bu Santi.
“Apanya yang siap, Din?” Tanya balik lelaki baya itu.
“Aku siap menghadapi Bapak!” Goda Bu Santi.
“Din … Din …, kamu ini senangnya guyon65 saja. Apa tidak ada keseriusan dalam
segala hal?”
“Oh …ada, Nda! Kalau aku tentang masalah ini paling serius. Tak bisa
diundur, apalagi ditunda,” goda Bu Santi pada ketua musda yang baru dilantik itu.
“Oh … ancene guru dablek!” 66 Olok lelaki baya itu.
Mereka akrab sekali. Kadang bercerita tentang murid-muridnya yang nakal
atau perihal pekerjaannya. Tak jarang pula Bu Santi memberikan suguhan puisi-puisi
melalui telepon atau goresan di buku diarynya. Sesekali lelaki baya itu pun
membalasnya dengan tatanan diksi sebisanya.

65
Bergurau/berkelakar
66
Dasar guru nakal !

102
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

“Nda … kali ini puisimu bagus sekali! Tapi tak sebagus kepak rancak kuda
menggeliat di padang fathamorgana, yang selalu salah terjemahkan setetes embun si
merpati putih. Sudah kuduga batu tak lagi mampu menimbun dalamnya hati, karena
juntaian rasa mengakar begitu dalam di setiap pori,” ungkap Bu Santi.
“Apa maksudnya, Din?” tanya lelaki baya itu.
“Nda … sesama penyair dilarang keras bertanya, okey?” Goda Bu Santi.
“Sudahlah … aku ini bukan penyair. Aku ini siswa dungu, yang siap
mendengarkan celoteh ibu guru genit,” goda balik lelaki baya.
“Aku iki ora genit yen dablek, ya!” 67 Jawab Bu Santi.
Mereka menggelar tawa sepuas-puasnya. Ruangan khusus di gedung Musda
menjadi bergetar karenanya. Sepasang kursi tua dan meja tulis yang tak terlalu besar
dengan beberapa tumpukan buku menjadi saksi. Ketika itu jiwa Bu Santi tersentak
hebat, seperti tersiram lelehan timah panas, sewaktu lelaki baya mengapresiasi
puisinya dengan suara yang tersendat-sendat dan tidak seperti biasanya.
“Din … tatap matamu tajam sekali, setajam goresan diksimu yang terurai
pada buku diary. Aku kagum pada tatap pertama. Jatuhkan aku pada rasa ingin
tahuku lebih jauh,” ungkap lelaki baya.
Bu Santi terdiam. Dia melepas kacamatanya, lalu digosoknya dengan tissu
berulang-ulang, tapi dia tetap menyimak apa yang baru saja disampaikan oleh lelaki
baya itu. Dan lanjutnya :
“Din … ternyata puisi-puisimu itu menurutku punya kesamaan, di mana sepi
itu mulai memagut, hati ini ingin berpaut, dalam keselarasan garis fithagoras, yang
kau bentangkan di ribuan titik moribund68, hanya sekedar menyisir malam yang
hilang. Tapi bopeng malam yang kau gendong, terpaksa kau cemburui bayang, yang
nyatanya sampai batas senja kau tak mampu temui apa-apa, hanya azab yang siap
menghadang. Itu apakah kiamat sederhana, tanyamu. Itulah kupasanku menurut
naluri bersama otak kananku,” ungkap lelaki baya sambil mengamati puisi-puisi Bu
Santi.
Bu Santi terus saja menggosok-gosok kacamatanya. Dia tampak gugup ketika
lelaki baya itu menelanjangi seluruh puisi-puisinya.
“Nda … kau berhak mengadili puisi-puisiku, tapi hak otoritas pribadi ada
padaku selaku penulis,” tegas Bu Santi.
“Oh … oooh …ooooh! Aku bukan hakim yang mengadili terdakwa di kursi
tua ini, tapi paling tidak kursi tua ini jadi saksi, bahwa aku pernah menelanjangi
puisi-puisimu di tempat ini,” bantah lelaki baya dengan nada gurau.
“Ini kubacakan lagi, tentang tiga rasa :

Tiga Rasa
telah kugendong rembulan
memapah di pinggiran tebing
langkahku patah-patah, luka
bernanah karena rasa!
rasa ingin
rasa cemburu
rasa memiliki
67
Saya ini tidak genit, kalau nakal iya.
68
Gamang/kacau

103
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

yang tak mungkin bersama


dalam satu rasa.
dan itu,
terserah pada-Mu, Esa
karena terlanjur Kau berikan aku gelora
Surabaya,

Apa ini maksudnya?” Tanya lelaki baya itu.


”Maksudnya sesama penyair tak boleh tanya! Kalau ingin tahu ya dianalisis
sendiri!”
”Sampean iki kepriye toh, Bu?69 Saya ini kan buta puisi. Kupasan saya ya
menurut kemampuan saya!”
Seminggu kemudian tak ada angin tak ada hujan lelaki baya itu mengirim
sms ke Bu Santi. Dia memutuskan kalau dirinya secara terpaksa harus memutuskan
hubungannya dengan Bu Santi.
”Din, maafkan aku! Mulai detik ini kita putuskan saja hubungan kita. Aku
sudah tak mau lagi mengumbar pengembaraan rasaku, yang semakin lama semakin
jauh aku semakin terpuruk.”
Bu Santi terkejut. Ada apa dengan semua ini. Padahal sebelumnya tidak ada
masalah sekecil apapun. Hubungan dirinya dengan lelaki baya itu lancar-lancar saja.
Bahkan lelaki baya itu malah menawari Bu Santi untuk menikah di bawah tangan
dengannya, tapi Bu Santi belum pernah menanggapi tawaran itu secara serius. Hal
inilah yang membuat Bu Santi heran dan bertanya-tanya. Mungkinkah lelaki baya itu
mendapat informasi dari orang lain yang sengaja mendeskreditkan dirinya.
Pengalaman dari sebelum-sebelumnya bahwa Bu Santi selalu mengalami
kegagalan setiap menjalin hubungan dengan orang lain. Untuk itu Bu Santi
mengambil strategi untuk tidak memberi tahu hubungannya dengan lelaki baya itu
kepada Pak Hendra. Tapi menurutnya hubungannya dengan lelaki baya itu tercium
juga oleh Pak Hendra. Sehingga dia menyimpulkan bahwa mundurnya orang-orang
yang ingin mendekati dirinya bukan gara-gara ketidakcocokannya, tapi ada pihak-
pihak lain yang sengaja menciptakan situasi itu.
Kecurigaan Bu Santi tertuju pada temannya, Pak Hendra. Tuduhan itu sangat
beralasan karena setiap Bu Santi menceritakan hubungannya dengan seseorang
kepada Pak Hendra, dia selalu mengalami kegagalan. Apalagi ditambah lelaki baya
itu menyampaikan sering bertemu dengan Pak Hendra dalam hubungan bisnisnya
walaupun secara tidak langsung.
Suatu hari Bu Santi bertemu dengan Pak Hendra, yang selama dia menjalin
hubungan dengan lelaki baya itu dia selalu menghindar dari Pak Hendra. Dalam
pertemuannya dia memancing-mancing permasalahan yang berkaitan dengan lelaki
baya tapi Pak Hendra malahan terlihat bingung. Dia berkali-kali menanyakan dan
menyampaikan kalau dirinya benar-benar tidak tahu siapa orang yang dimaksud Bu
Santi.
Tiba-tiba Bu Santi tersedak, dia teringat pertama kalinya berkenalan dengan
Mr. X alias lelaki baya yang diceritakan kepada Pak Hendra, Pak Hendra tidak mau
komentar apa-apa. Walaupun dia berkali-kali ingin menyampaikan sesuatu tapi
mulutnya selalu ditutup dengan tangannya sendiri. Jadi tak begitu banyak yang dia
69
Bagaimana Ibu ini?

104
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

sampaikan. Hanya Pak Hendra setelah melepaskan tangannya dari mulutnya dia
membuka dengan diksinya yang Bu Santi tak mengerti.

“tiga darah
tiga darah
sembilan darah darah
tak kuasa menguak itu rasa
bila mukjizat tak lagi menyapa.
biarlah waktu yang bercerita
tentang adanya dari tiada”

Bu Santi yang tak pernah paham apa yang disampaikan Pak Hendra. Dia
penasaran tentang makna pembuka kata setiap kali memberi kupasan tentang dirinya.
Dia merasa kecil di hadapan Pak Hendra padahal di luar menurutnya dirinya sering
mendapat pujian atas puisi-puisi yang ditulisnya.

***
Mas Wawan melihat keadaan adiknya, Bu Santi, sangat memprihatinkan. Dia
punya ide agar adiknya keluar dari kehidupannya selama ini, dengan alasan cepat
mendapatkan jodoh. Permasalahannya, keberadaan anggota keluarga yang kurang
mendukung, sehingga adiknya sulit mendapatkan jodoh. Orang-orang yang akan
mendekatinya pastilah akan berpikir dua kali, dengan alasan keluarga jumbo, yang di
dalamnya ada empat jiwa yang menjadi beban tanggungannya. Dua orang janda dan
dua orang anak yang masih sekolah. Hal inilah yang menjadi alasan orang-orang yang
ingin mendekati Bu Santi mengurungkan niatnya.
Akhirnya Mas Wawan minta bantuan kepada saudara dari bapaknya untuk
memecahkan masalah adiknya. Ternyata semua keluarga menyetujui usulan Mas
Wawan. Akhirnya diputuskan Bu Santi dan Andika harus keluar atau pisah dari rumah
mendiang suaminya. Walaupun keputusan yang diambil akan begitu menyakitkan
bagi umi dan Vara.
Bu Santi saat itu merasa dirinya dihakimi oleh keluarga bapak ibunya. Dia
tidak tega melihat umi dan Vara yang selama ini sudah menjadi bagiannya harus
berpisah begitu saja. Akhirnya Budenya yang akan berbicara kepada mertua Bu Santi
(umi) untuk meminta Bu Santi dan Andika secara baik-baik.
Dari permasalahan itu Bu Santi mencari jalan keluar yang terbaik. Dia
mendiskusikannya dengan Bu Vany. Akhirnya diputuskan umi dan Vara akan
diboyong ke rumah Bu Vany, sementara rumah yang ditempati dulunya dikontrakkan.
Dua bulan kemudian Bu Santi pindah ke rumah barunya, hasil dari waris yang
diberikan kepadanya. Rumah mungil, indah, nyaman untuk di huni. Mudah-mudahan
di rumah yang barunya Bu Santi mendapatkan jodoh yang dikatakan sempurna, tidak
selama ini yang hidupnya menggantung antara hidup dan mati rasa, yang dapat
dikiaskan sepohon kayu yang tumbuh di tengah gurun.
Di rumah barunya, Bu Santi bersama putranya, Andika, memulai babak baru
dalam menapaki hidupnya. Di malam pertama dia bermimpi tentang dirinya yang
begitu terpuruk di masa lalunya dalam pencarian seberkas sinar yang datang dari-Nya.
Dia mencoba mereproduksi kembali mimpinya itu.

105
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Kemarau begitu kering. Daun-daun sono tahun yang berjajar di sepanjang


berguguran. Dengan terpaan angin yang cukup kuat dan kering meratakan dedaunan
itu di jalanan. Terkadang muncul pusaran angin kecil di tengah jalan yang
menerbangkan daun-daun di sekitarnya. Begitu juga jiwa dirinya yang begitu kering
kerontang diterpa hujatan karma yang datang silih berganti.
Permasalahan yang menimpa dirinya tak akan pernah kunjung berakhir. Dia
menghadapinya dengan perasaan yang penuh ketakutan. Dia jatuh, kadang terjungkal
dalam ketidakberdayaannya. Permasalahan yang satu belum sempat terpecahkan,
masalah yang lain sudah datang menghadangnya. Dia benar-benar terpuruk, ibarat
jatuh tertimpa tangga.
Dia menyadari sepenuhnya dan pantas menerimanya. “Siapa yang berani
menabur angin harus siap menuai badai,” kata-kata itu yang selalu terngiang di
benaknya. Makanya dia pasrah dan menyerahkan diri dalam menghadapi azab yang
menimpa dirinya. Dia pantas menerimanya, hanya satu yang dia inginnkan
kembalinya fitrah diri dari cincangan jiwa yang penuh cobaan.
“Akankah Tuhan mengampuni aku? Aku yang sial ini mungkinkah masih ada
setitik harapan bagiku atas berkah dari-Nya?”
“Wahai Ibu … jangan putus asa! Tuhan itu tidak tidur, mahatahu, maha
pengampun, dan maha penyayang untuk hamba-hamba-Nya yang ingin kembali
pada-Nya. Ingat Ibu, sesungguhnya Yang Esa itu sangat mencintai orang-orang yang
taubat dan mensucikan diri 70 dan lagi Yang Esa itu mencintai orang-orang yang
berserah diri pada-Nya71, ” suara yang mengiringi mimpi Bu Santi.
“Tapi? Bagaimana mungkin, aku ini terlalu nista di hadapan-Nya. Dan
bagaimana caranya aku berpulang pada-Nya? Aku ingin …aku ingin berserah diri
dari sisa hidupku ini di jalan-Nya. Aku ingin ………,” pinta Bu Santi.
“Oh Ibu … bagus! Bagus Ibu! Tinggalkan semua jalan-jalan simpangmu,
yang menyesatkan dirimu, Ibu! Aku bersyukur Ibu tersadar dari bisikan yang selama
ini menyesatkan Ibu.”
“Yach …… tapi bagaimana aku sekarang ini? Aku ini sial! Nista! Berlepot
lumpur dosa di setiap detak napasku! Aku ingin berpulang pada-Nya, seperti dulu
adanya,” pinta Bu Santi dalam mimpinya.
“Ibu … itu sangatlah mudah! Yang Esa tidak akan menuntut apa-apa pada
Ibu. Hanya keikhlasan niat Ibu, lahir dan batin, untuk berserah diri di hadapan-Nya,
dalam pemulihan fitrah diri.”
Bu Santi menunduk pasrah. Dia bersujud berlama-lama, ingin menyerahkan
diri di hadapan Yang Esa. Dia menyesali yang selama ini hanya menuruti keinginan
dan hasrat diri saja tanpa pedulikan kenyataan dan fitrah diri yang sebenarnya.
Keluarga dia kesampingkan, anak tak terurus, tugas-tugas kantor kocar-kacir, dan
ekonomi keluarga sangat berantakan. Dia menyadari bahwa laknat Yang Esa telah
dilimpahkan padanya dan dia tak kuasa menahan itu semua. Dari bulan dari tahun dia
hidup dalam kebohongan, galih lubang tutup lubang sekedar menstabilkan
perekonomian keluarga. Kenyataan yang ada hanyalah berakhir dengan rintihan yang
semakin menyudutkan dirinya.

70
Terjemahan surah Al Baqoroh : 222
71
Terjemahan Surah Ali Imron : 159

106
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Dalam keterpurukannya, Bu Santi merintih hebat menanggung beban


penderitaannya. Dia menyesal. Dia menangis dalam sujudnya. Pasrah. Harapannya
mudah-mudahan nista yang dilimpahkan kepada dirinya segera berakhir.
Bu Santi mengangkat kepalanya. Dia duduk bersimpuh dalam lelapnya. Tiba-
tiba dia menoleh ke arah pesila yang berdiri agak jauh di belakang Bu Santi. Dengan
memelas dan rasa penyesalan dia mengharap bantuan pesila itu.
“Wahai Pesila, aku harus bagaimana? Aji pamikat raga 72masih bersemayam
di tubuhku ini. Aku takut kalau itu masih menyeretku lagi. Aku butuh
pertolonganmu,” pinta Bu Santi.
“Tidak usah! Mintalah pada Yang Esa. Dia itu segala-galanya. Tempat kita
memohon. Tempat kita meminta perlindungan-Nya, sebut saja Asma Allah. Ucapkan
dua kalimah sahadat. Niscaya barang-barang itu akan keluar dari ragamu,” tutur
pesila.
“Ya … akan kulakukan! Aku ingin sembuh. Aku ingin kembali kepada
fitraku, seperti dulu.”
Bu Santi menuruti apa yang dituturkan pesila. Dia melakukan apa saja demi
kesembuhan diri. Dia bersyukur, ikhlas, dan menyadari sepenuhnya bahwa cobaan,
azab, dan kembalinya dirinya karena Yang Esa.
Hari demi hari setelah prosesi diri Bu Santi mulai tampak tenang, walau
bayang-bayang dan jejak masih tertoreh tajam dalam perjalanan hidupnya.
Kebobrokan ekonomi keluarga, mental, dan kasih sayang keluarga masih tertulis
kelukaan yang dalam.
“Aku harus bangkit dari tidurku, walau mimpi itu masih membekas tajam.
Akan kuhias rumahku lagi dengan kumandangkan ayat-ayat Allah. Dan ……oh suara
apa itu?”
Bu Santi mendengar sayup-sayup suara orang mengaji. Makin lama semakin
jelas. Suara itu seperti berputar-putar mengelilingi Bu Santi. Tambah jelas. Suara itu
mengalun tanpa rupa. Bu Santi menyimak dengan baik lantunan suara itu. Kontan
tubuh Bu Santi gemetar. Dan Bu Santi mulai menggigil ketakutan menyimak
kebesaran ayat-ayat Allah.
“Itu suara kakek, Ibu! Suara-suara yang menyerukan kebesaran asma Allah,
yang intinya bahwa Allah itu Maha pemelihara. Dan pendoa, kakek, memohon
supaya dirinya bisa mensyukuri rahmat dan nikmat yang Allah limpahkan padanya
dan kepada ayah bundanya serta memohon kesempatan untuk dirinya agar dapat
berbuat baik yang diridhai oleh Allah, lagi mendapat rahmat dan kasih sayang-Nya
untuk dimasukkan ke golongan rombongan hamba-hamba Allah yang saleh.”73
“Amin! Akan kususul, kucari datangnya suara itu. Aku ingin ada di
dalamnya. Di dalam rombongan hamba-hamba Allah yang saleh salihah.”
Bu Santi menengadah memohon berkah dari Yang Esa. Dia melangkah
perlahan dalam gelap. Semakin jauh semakin kelam. Hamparan pandang memukat
kelam. Tanpa ada yang tersisa, semua tampak hitam. Dari kejauhan mata memandang
tertangkap setitik sinar memancar. Hilang dan ada berulang-ulang. Semakin jauh Bu
Santi melangkah semakin jelas adanya sinar itu di kejauhan.

72
Jimat untuk memikat raga/tubuh orang lain
73
Penjelasan dari inti Surah An Naml : 19

107
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Dalam lorong-lorong kelam Bu Santi melangkah pasti. Dia melihat dirinya


yang melangkah seperti tanpa adanya raga, tanpa rasa, hanya kekuatan detak nafas
dan dorongan diri yang terasa. Dia teguhkan diri mengayun kakinya memburu sinar
itu.

“Hitam
kulitku hitam
mataku hitam
otakku hitam
telingaku hitam
hatiku hitam
darahku hitam
bayang-bayangku pun hitam
sampai semua yang ada padaku hitam
karna yang kususuri lorong-lorong hitam
Yang kucari?
hanyalah seberkas cahya putih-Mu
namun tiada kudapati
karna gelora yang Kau cipta, untukku
menyeret hasrat dalam keinginan
dalam kelam
menakutkan!
aku tak lagi mampu bertahan dalam kelam
nada dusta …
nada nista …
menyelimut pekat dalam hitam memukat
pada diriku
hanya doaku
dari lidah yang pasrah
menanti titik terang-Mu,” pinta Bu Santi.

Hamparan tanah yang luas tak berbatas mulai terlihat samar, walau gelap
masih begitu memukat. Bu Santi hanya terus melangkahkan kakinya untuk maju ke
depan. Ditolehnya kanan dan kiri, tak ada apa-apa, karena gelap masih menghadang
jarak pandangnya.
Semakin jauh Bu Santi melangkah, kejelasan semakin ada. Seberkas titik
sinar terlihat lebih jelas, meski masih begitu jauh. Bu Santi melangkah menyusuri
hamparan pasir, kerikil halus, dan kadang-kadang karang menyeruak di antara
timbunan pasir yang sempat ia rasakan melalui kulit telapak kakinya. Dia memeriksa
situasi sekitarnya. Tak dijumpai apa-apa. Hanya dirinya yang bergerak lamban di
antara hamparan pasir yang luas sekali dari rasa kaki yang menyentuhnya.
“Aku ini di mana? Sudah sekian jauh aku berjalan memburu sinar itu, tapi
mengapa sinar itu masih jauh juga. Sepertinya dia juga ikut berlari menjauh dari aku
yang berjalan lamban ini,” batin Bu Santi.
Bu Santi merasa putus asa. Dia belum berhasil menemui titik sinar di
kejauhan itu. Kalau dihitung sudah puluhan mil dia berjalan, tapi sinar itu hanya
sedikit lebih jelas.

108
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Di kegelapan malam Bu Santi masih terus melangkah maju. Suara alunan


orang mengaji masih terus mengalun di setiap langkah Bu Santi. Suara makin jelas
dan beriring yang diikuti oleh beberapa pengikutnya. Nada-nada syukur tetap
dikumandangkan untuk Yang Esa dari hamba-hamba Allah, yang menyadari
kebesaran asma Allah.
Bu Santi menghentikan langkahnya. Dia terus menyimak alunan sayup-sayup
suara orang mengaji. Suara-suara yang diburu oleh Bu Santi. Betapa tersentuhnya
hati Bu Santi menyimak lantunan suara itu, sepertinya suara-suara itu yang menuntun
Bu Santi untuk melangkah terus dalam pencariaannya. Tapi Bu Santi tidak
mengetahui di mana posisi keberadaan suara itu. Bu Santi benar-benar ingin tahu,
siapa yang melantunkan ayat-ayat itu. Dia juga ingin bergabung bersamanya.
Jauh sekali Bu Santi melangkah, lalu dia duduk bersimpuh di atas hamparan
pasir. Dia mencoba menangkap ayat-ayat itu. Dia tahu benar bahwa ayat itu adalah
ayat-ayat yang berisi ucapan syukur dan taubat yang dibacakan para pelantunnya.
Ayat-ayat itu dibaca berulang-ulang. Entah sudah berapa kali Bu Santi
mendengarkan. Bu Santi mencoba mengikuti lantunan ayat itu dengan gerak bibir
yang hanya dia sendiri yang mampu merasakan suara dirinya. Alangkah tenteramnya
Bu Santi merasakan apa yang dia rasakan saat itu.
“Yaa … Allah! Terangkanlah mata dan hatiku dengan nur-Mu. Dan tuntunlah
aku dengan ayat-ayat-Mu. Aku bersujud taubat dan bersujud syukur hanya pada-
Mu,” pinta Bu Santi.
“Alhamdulillah! Kuucapkan puji syukur pada Yang Esa. Karena pintamu
yang tulus, aku akan tetap berada di dekatmu, Ibu. Untuk mencari ridhanya dalam
kehidupan kelak yang lebih beberkah.”
“Hai … siapa kau? Di mana ujudmu? Dan apa tujuanmu mengikuti aku? “
Tanya Bu Santi.
Bu Santi terperanjat dalam kelam. Dia menoleh ke kanan, ke kiri, ke depan,
dan ke belakang, tapi tak menemui apa-apa. Semua yang ada hanyalah kelam.
Bu Santi membetulkan posisi duduknya. Dia bersimpuh dengan tangannya
yang meraba-raba sesuatu yang ada di sebelahnya. Nihil. Dia tak menjumpai apa-
apa, hanyalah pasir dan pasir belaka.
“Ibu … aku adalah saudaramu. Aku ada di dekatmu, yang selama ini selalu
mendampingimu dari segala langkahmu, suka maupun duka. Ke mana kau
melangkah di situ aku berada. Aku terkadang terjerembab dari prilakumu, terkadang
aku jadi penuntunmu marang lelakon kang becik lan diijabahi dining pengeran.”74
“Apa kau pesila itu?”
“Benar Ibu! Aku sekarang lebih berupa, berharga, karena kau yang memberi
semua itu. Dari rasa syukur dan ikhlas diri ibu dalam melangkah di jalan yang
diridhai Allah.”
“Di mana kau? Di mana?”
“Nggak usah tanya keberadaanku, Ibu! Aku tak jauh. Aku bersemi dalam diri
Ibu. Hati Ibu, yang menyertai diri ibu dalam langkah-langkah menuju ridha-Nya.
Teruskan langkah-Mu, Ibu! Teruskan langkahmu, Ibu! Sinar itu akan kau temukan
yang sebenarnya ujian buatmu.”

74
Perbuatan atau prilaku yang baik dan diridhai oleh Tuhan Yang Mahaesa

109
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Bu Santi bergegas bangkit dari duduknya. Dia tak takut lagi, karena dia
merasa yakin apa yang dikatakan pesila itu. Dia mulai melangkah ke mana arah
alunan suara orang mengaji. Langkahnya dipercepat. Bu Santi sambil menirukan
lafat ayat-ayat itu. Ternyata dalam langkah ibu, tak dijumpai kerikil maupun karang.
Semua yang diinjaknya adalah pasir. Semakin jauh Bu Santii melangkah semakin
halus pasir yang diinjaknya.
Dalam perjalanan Bu Santi mencari sinar itu tiada henti-hentinya dia
menirukan alunan ayat-ayat suci. Entah berapa kali Bu Santi membacanya, dia tak
pernah menghitungnya. Sesekali Bu Santi membaca takbir sampai perjalanannya
menerobos malam dan jarak tidak dia pedulikan. Hingga pasir yang ditapakinya
semakin jauh semakin halus saja pasirnya, bagaikan permadani yang digelar di
daratan lepas.
Kelam mulai memudar. Wajah-wajah langit mulai tampak samar. Lautan pasir
terhampar luas sejauh mata memandang berbatas garis langit yang mengelilingi
hamparan pasir. Bu Santi merunduk, tangannya meraih segenggam pasir. Dia terus
melangkah maju, sambil merenggangkan sedikit genggaman tangannya. Pasir sedikit
demi sedikit keluar dari celah genggamannya. Dia merasakan betapa bersihnya pasir
yang digenggamnya, sampai tangannya tak berbekas sedikitpun pasir yang tersisa di
telapak tangannya.
Bu Santi menghentikan langkahnya. Dia lalu bersimpuh dengan kedua
telapak tangannnya ditempelkan ke pasir. Dia berniat mengambil tayamum untuk
bersujud syukur dan minta petunjuk dari Yang Mahakuasa.

“Yaa … Allah!
ampuni segala dosa
terangkan mata
bersihkan hati
lapangkan langkahku
pada jalan yang Kau mau

seribu titik butir pasir


tulang berbungkus daging merengkuh lesu
tumbangkan hasrat
ingin berpeluk pada-Mu, Esa

mengapa tak Kau titahkan


kutukan rindu itu
bila maut yang ingin berpaut,
hanya bentangan kegalauan
yang sempat tawarkan
di padang gersang
kering oleh-Mu

yang kuingin
terbangun dari mimpi
azab yang begitu memukat
untuk menanti setitik embun
pada sujudku

110
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

pada-Mu”

Dalam sujudnya yang berlama-lama Bu Santi tak menyadari bahwa langit


mulai tampak jelas. Jingga merah samar semburat di warna langit yang mulai pudar.
Bu Santi menengadah memohon suatu keajaiban dari Yang Mahakuasa untuk
diberikan petunjuk.
Secara tidak sengaja Bu Santi memperhatikan pasir yang ada di hadapannya.
Dia menemukan banyak bekas tapak kaki yang mulai luntur oleh terpaan angin yang
menguburnya dengan butiran pasir. Dia mengamati tapak-tapak itu. Yang jelas dia
beranggapan bahwa tapak-tapak itu masih baru, semalam atau dua malam. Dan
pemilik tapak-tapak itu lebih dari selusin.
“Siapakah mereka? Apa tujuannya? Ternyata sebelum aku, sudah ada yang
mendahuluiku dalam pencarian sinar itu.”
“Ibu, mereka itu bukan pencari sinar itu! Tapi merekalah hamba-hamba Allah
yang membiaskan sinar yang Ibu tangkap dari kejauhan. Ini masih kelam, Ibu!
Dengan kekuatan bias aura mereka mampu menyibak kegelapan yang menyelimuti
bumi dan langit.”
“Di mana mereka? Aku ingin bersamanya.”
“Dia tidak jauh Ibu! Ikuti saja tapak-tapak itu dalam pencarian pemberkatan
diri. Sejatining sakabehe kuwi karana Pengeran kang kuwasa. Pasrah wae marang
Pengeran kang makarya jagad, dene kasil orane apa kang kita tuju kuwi saka
karsanning Pengeran.” 75
Bu Santi memahami apa yang disampaikan pesila. Dia menyadari apa yang
dilakukan merupakan suratan dari Yang Esa. Dia hanya melaksanakan apa yang telah
digariskan oleh-Nya. Dengan kesadaran yang penuh dia mencoba mengembalikan
dirinya ke jalan yang benar-benar diridlahi oleh Yang Esa.
”Yaa Allah .... mataku telah Kaubutakan. Hatiku telah Kaututup jauh dari
Nur-Mu. Langkahku tercabik-cabik dengan segala dosa yang kutumpuk di atas
gelora yang Kaulimpahkan kepadaku, sampai aku lupa diri, sampai aku terlempar
dari berkah-Mu. Yaa Allah ... kembalikan aku seperti dulu, di mana setiap saat aku
bisa mengetuk pintu-Mu,” pinta Bu Santi.
Bu Santi terjerembab di hamparan pasir berkerikil. Dia menangis histeris
dengan menggenggam kerikil yang dibasuhkan ke mukanya. Rasa pedih dan perih
mulai dirasakan Bu Santi, tapi rasa sakit itu diabaikannya. Rasa sakit yang Bu Santi
rasakan tidak sebanding dengan hatinya yang hancur. Dengan kesadaran diri yang
ingin bertaubat Bu Santi berharap dan masih ada ampunan buat dirinya dari Yang
Esa.
” Yaa Allah .... bukalah hatiku. Sinari jiwaku dengan Nur-Mu. Dengan segala
taubatku, kuingin kembali ke jalan yang Kau ridlahi. Semoga di usia awal senjaku
kuterlahir kembali dari taubatku. Yaa Allah ... bentangkan papah-Mu dalam
kembaliku pada-Mu.”
Bu Santi telah berpasrah diri di hadapan Yang Esa. Dengan segala daya dan
upayanya dia memohon ampunan dan hidayah-Nya. Dia menapaki hidup di usia
senjanya dalam penantian jodoh yang sempurna.

75
Semua itu karena Allah SWT yang Mahakuasa. Pasrahkan saja kepada Allah yang mengatur alam ini.
Seumpama berhasil tidaknya apa yang kita inginkan itu karena kehendak Allah SWT juga.

111
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

***

Ternyata mimpi Bu Santi membias dalam kehidupannya. Dia heran dan


berusaha membuka tabir mimpinya. Gambaran kehidupannya yang nyata dan suara-
suara yang menuntunnya membaur jadi satu. Dia bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
Suara-suara siapakah yang menuntunnya itu. Dan, apakah sinar yang dia cari dalam
mimpinya itu sama seperti yang digambarkan Pak Hendra sebelumnya. Menurutnya
mimpinya itu bukan hanya sekedar bunga tidur, melainkan setengahnya merupakan
realita dari kehidupannya yang nyata.
Bu Santi ketakutan. Perjalanan panjang mimpinya dalam pengembaraan diri
di tengah gurun pasir yang luas yang hanya berbatas kelam dan rasa, dia hanya bisa
merasakan bulu kuduknya berdiri. Tak mungkin! Kalau itu benar-benar nyata dia tak
berani sedikitpun berulah. Dan lagi, suara-suara siapa yang selalu mengiringinya. Bu
Santi tak mampu mengenalinya hanya kelam yang bisa dilihatnya.
Ketika itu dia hanya melangkah dan melangkah terus. Dengan pedoman
seberkas titik sinar di kejauhan dia terus melangkahkan kakinya di bawah bimbingan
suara. Kadangkala suara-suara itu saling tuding, saling menyalahkan, saling menjerit
dan merintih karena haknya telah terampas. Ketika itu Bu Santi hanya terus berjalan
tak mempedulikan suara itu, tapi suara-suara itu terus saja membuntutinya.
Percuma saja, Bu Santi tetap tak mampu menyibak tabir mimpinya.
Walaupun mimpinya itu sudah berlalu, tapi suara-suara itu masih begitu jelas dalam
ingatannya. Dia ingin sekali menyampaikan permasalahan itu ke Pak Hendra. Karena
hari Sabtu dia tak bisa bertemu langsung Pak Hendra. Akhirnya dia bertanya melalui
sms.
”Siang Pak! Saya mau tanya banyak ke Bapak tentang mimpi saya!”
Pak Hendra balik membalas sms dari Bu Santi.

“tiga darah
tiga darah
sembilan darah darah
tak kuasa menguak itu rasa
bila mukjizat tak lagi menyapa.
biarlah waktu yang bercerita
tentang adanya dari tiada”

Bu Santi membuka sms dari Pak Hendra. Kata-kata yang masuk seperti
biasanya, tatanan diksi yang dihafal betul oleh Bu Santi. Dia tidak marah, memang
seperti itulah gaya Pak Hendra yang sulit ditebak. Tapi Bu Santi percaya pasti Pak
Hendra sms kembali. Ternyata benar hp Bu Santi berdering. Nyatanya sms dari Pak
Hendra.
“Mimpi apa toh Bu? Sepertinya penting banget!”
“Saya mimpi berjalan di kegelapan. Di kejauhan tampak sinar, kecil sekali,
dan ada suara-suara yang menuntunku. Tapi saya nggak tahu di sekelilingku hanya
kelam!”
“Aduh Bu, jawabannya puaaanjang…..! Besuk saja hari Senin kita ngobrol di
perpustakaan!”

112
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

“Oh ya Pak, terima kasih! Maaf kalau saya mengganggu acara Bapak!”
Bu Santi merasa sedikit lega, pastilah nantinya Pak Hendra bisa memberikan
petunjuk tentang mimpinya. Orang yang selama ini dianggap Bu Santi memiliki
kelebihan mau menafsiri mimpinya.
Keesokan harinya, Senin, di sekolah Pak Hendra langsung menemui Bu Santi.
Dia menyapanya.

“tiga darah
tiga darah
sembilan darah darah
tak kuasa menguak itu rasa
bila mukjizat tak lagi menyapa.
biarlah waktu yang bercerita
tentang adanya dari tiada
selamat pagi, Bu!”

“Pagi Pak! Tatanan kata-kata apa sih Pak? Saya nggak ngerti! Tapi telah
kusimpan di hp-ku!”
“Ndak apa-apa Bu ndak ngerti! Tapi Ibu kan tahu, rasa-rasa itu tak pernah
sirna. Walaupun letupan lahar gunung telah memendamnya dalam. Saya tahu Bu ada
keistimewaan di balik itu. Nanti saja kita lanjutkan habis jam ketiga di perpustakaan.”
“Inggih Pak!”
Pak Hendra yang sedari tadi berdiri di sebelah meja Bu Santi langsung mundur
menuju ke mejanya. Dia mempersiapkan diri untuk ke kelas setelah bel masuk usai
upacara dibunyikan. Sementara Bu Santi kebetulan jam kosong baru nanti setelah jam
istirahat. Bu Santi yang duduk sendirian di ruang guru tiba-tiba didatangi kepala
sekolah.
“Bagaimana Bu di rumah baru sudah beradaptasi dengan lingkungan? Sudah
76
krasan ?” Tanyanya.
“Baik Pak! Andika sudah krasan sekali!”
“Maksudnya yang saya tanyakan Ibu?”
“Oh… saya di mana-mana krasan Pak!”
“Syukur Bu! Tinggal Ibu memikirkan masa depan Andika dan Ibu
khususnya!”
“Maksudnya Pak?”
“Kesempurnaan keluarga seutuhnya! Mumpung Andika masih kecil dan Ibu
masih begitu muda. Apa tidak ada niatan untuk menikah lagi? Tapi cari yang benar-
benar sempurna, lahir dan batin.”
“Ya ada, Pak! Tapi sepertinya….. siapa sih yang mau dengan saya?”
“Jangan begitu Bu! Memohon saja kepada Yang Mahakuasa, mudah-mudahan
Ibu didekatkan jodohnya. Itu demi Ibu dan Andika.”
Bu Santi tak menjawab. Dia hanya menunduk. Dalam batinnya dia ingin
cepat-cepat, seperti apa yang diinginkan kepala sekolahnya. Sambil mengingat-ingat
berapa kali dia mengalami kegagalan. Satu per satu sudah diabsennya, nyatanya sudah
terdata delapan orang mulai dari Pak Nardi sampai Mr. X.

76
Cocok/betah untuk keadaan atau tempat tinggal

113
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Bel jam ketiga usai Bu Santi mendapat sms dari Pak Hendra bahwa dirinya
ditunggu di ruang perpustakaan. Dia langsung minta izin kepala sekolah kalau dia
mau ke perpustakaan. Di sana, dijumpai Pak Hendra sedang membuka-buka kamus.
Ketika Bu Santi menghampirinya Pak Hendra langsung berkata-kata.

“tiga darah
tiga darah
sembilan darah darah
tak kuasa menguak itu rasa
bila mukjizat tak lagi menyapa.
biarlah waktu yang bercerita
tentang adanya dari tiada

Silakan Bu! Ayo kita diskusikan apa yang menjadi ganjalan Ibu?”
“Yach .. saya mulai saja, Pak! Dari mana ya?”
“Terserah Ibu!”
“Kalau begitu saya mulai saja dari puisi Bapak barusan, sering kali Bapak
sampaikan tapi saya tak pernah tahu maknanya.”
“Oh…. pasti Ibu tahu! Rasa takkan lari ke mana-mana. Jika hati ingin bicara
logika, rasa akan menungganginya. Jikalau hati mati ingin menutup diri, rasa sesal
kan membungkam diri.”
“Sudah Pak, saya tak akan pernah tahu apa yang Bapak sampaikan. Terlalu
samar! Tanya yang lain saja!”
Bu Santi langsung menanyakan perihal mimpinya. Dia menceritakan mulai
dari awal sampai akhir mimpinya. Nyatanya Pak Hendra hanya mengangguk-angguk
saja, belum ada sepatah kata yang keluar dari mulutnya. Ketika Bu Santi menegurnya
barulah Pak Hendra mengupasnya.
“Baiklah! Inti dari semua mimpi Ibu tak kan lepas dari refleksi kehidupan diri,
tapi ada setengah yang perlu saya cermati melalui mata batin saya.”
“Yang mana Pak?” Tanya Bu Santi ingin tahu.
“Yach …. rogo suci, jiwo suci, lan sukmo suci kang kadunungan sifat titah
alus lan sifate Pengeran.”77
“Ora ngerti78, Pak! Pakai Bahasa Indonesia saja!” Pinta Bu Santi.
“Yang lain saja. Intinya, dulu saya sudah pernah menyampaikan bahwa dalam
diri Ibu terdapat titik-titik. Apalagi dalam gambaran mimpi Ibu sudah demikian
jelasnya!”
“Maksudnya titik-titik apa Pak?”
“Dalam diri Ibu atau garis Ibu, nenek, dan di atasnya! Melihat dari mimpi Ibu,
ini masih belum seberapa, kalau tidak salah sudah yang ke delapan kalinya. Tinggal
satu yang ke sembilan dalam penentuan jati diri Ibu yang sebenarnya!”
Bu Santi tambah bingung. Dia menanyakan balik kupasan Pak Hendra.
Terutama kata yang ke delapan dan ke sembilan. Pak Hendra tidak menjawabnya
malah melantunkan puisinya.

77
Raga suci, jiwa suci, dan sukma suci yang di dalamnya terdapat sifat-sifat setan dan sifat-sifat dari
Tuhan
78
Tidak mengerti/paham

114
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

“tiga darah
tiga darah
sembilan darah darah
tak kuasa menguak itu rasa
bila mukjizat tak lagi menyapa.
biarlah waktu yang bercerita
tentang adanya dari tiada

mungkin ini yang ke delapan kalinya kubacakan. Pancen Bu, dadi wong urip kudu
ngati-ati, lamun Pengeran kang makaryo jagat kuwi wis nyerat, manungso padha
ora biso ngowahi!”79

“Apanya? Maksudnya Pak?”


Pak Hendra belum memberikan tanggapan selanjutnya, bel masuk istirahat
berbunyi. Bu Santi kecewa dan penasaran. Apa yang telah didiskusikan dengan Pak
Hendra tidak mendapatkan jawaban yang diinginkan, malahan Bu Santi mendapat
tambahan sederetan diksi yang selama ini baru didengarnya alias tak dimengerti.
Mereka keluar dari perpustakaan. Mereka langsung masuk ke kelasnya
masing-masing. Di kelas Bu Santi menerangkan genre puisi kontemporer. Saat
mengapresiasi puisi-puisi yang ada, salah seorang murid menanyakan keberadaan
puisi karya Danarto yang berbentuk kotak sembilan. Bu Santi langsung termenung
menatap buku siswanya tersebut. Dia kelabakan mau menjawab takut terjadi
kekeliruan. Lalu dia minta izin keluar dulu menghubungi Pak Hendra.
Bu Santi mengetuk kelas di mana Pak Hendra berada. Melihat Bu Santi yang
datang Pak Hendra langsung membacakan puisinya sampai siswanya terbengong-
bengong. Bu Santi langsung menanyakan puisi karya Danarto. Pak Hendra pun
langsung memberikan penjelasan panjang lebar. Pada akhir penjelasannya Pak Hendra
berkata lirih pada Bu Santi:
”Problem Jenengan80 itu ada di puisi itu!”
Bu Santi langsung mohon pamit setelah memperoleh penjelasan dari Pak
Hendra. Menurut pengakuan siswa jawaban yang disampaikan Bu Santi sangat bagus
dan memuaskan. Untuk itu Bu Santi merasa lega bisa menjawab pertanyaan yang
dianggapnya sulit baginya. Tapi di balik itu dia mengingat-ingat kata-kata Pak Hendra
bahwa puisi Danarto yang ditanyakan itu sama dengan dirinya.
Bu Santi merenung. Dia mencoba menafsiri kata-kata akhir Pak Hendra.
Setelah dia mendata satu per satu dalam buku hariannya, ternyata benar apa kata Pak
Hendra. Tapi apa maksud Pak Hendra sebenarnya dengan puisi Danarto itu tentang
dirinya.
Ketika jam pembelajaran berakhir Bu Santi menemui Pak Hendra. Dia
menanyakan kelanjutan tentang dirinya. Cukup panjang juga Pak Hendra menjelaskan
tapi Bu Santi tak paham-paham juga. Akhirnya Pak Hendra menyampaikan secara riil
dan dengan bahasa lugas.
“Bu, sampean ini sudah di titik final, butuh perjuangan dalam proses
penentuan diri.”
79
Memang benar Bu, jadi orang dalam menjalani hidup harus berhati-hati, kalau Tuhan sudah
menyuratkan takdir-Nya, manusia tidak bisa mengelaknya/mengubahnya.
80
Kata sapaan untuk orang kedua.
( Bhs. Jawa halus)

115
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

“Maksudnya Pak?”
“Ya… sudah sampai ke asta81 dalam pengembaraan asmara. Tinggal ke titik
sempurna di prema 82 nawa.83
“Apa itu Pak, saya nggak ngerti!”
“Ya … begitulah Bu, katanya! Di titik premanawa ini Ibu penuh perjuangan,
antara yang hak dan yang batil. Ibu bisa memperjuangkan atau memutuskan rantai itu
di penghujung premaasta.”
Bu Santi hanya mendengarkan saja kupasan Pak Hendra. Dia semakin tak
paham walaupun Pak Hendra mengatakan bahwa kajian yang disampaikannya yang
selogis-logisnya. Setelah Pak Hendra menghentikan kupasannya, dia memandangi Bu
Santi. Ditatapnya tajam mata Bu Santi, sampai Bu Santi celingukan.84 Dia akhirnya
menyampaikan suara batinnya kepada Bu Santi.
“Bu … keputusan ada di tangan Ibu. Lanjut, Ibu dalam peraihan
kesempurnaan dan keistimewahan mau pilih premanawa atau gugurkan itu? Tapi
dalam keguguran Ibu harus terima kenyataan yang ada dengan apa adanya.”
“Maksudnya Pak?”
“tiga darah
tiga darah
sembilan darah darah
tak kuasa menguak itu rasa
bila mukjizat tak lagi menyapa.
biarlah waktu yang bercerita
tentang adanya dari tiada
di premanawa akan terjadi pembalakan. Perampasan dari yang hak dalam
menegakkan keinginan. Bila itu sebuah suratan dari Yang Esa bisa nggak bisa
harus terlaksana.”

Bu Santi tak paham terhadap semua yang disampaikan Pak Hendra. Dia
tampak gelisah. Sementara Pak Hendra dengan gayanya mengupas masalah Bu Santi
sambil membuka-buka buku yang dipandanginya dengan cermat, tak memperhatikan
Bu Santi berdiri - berjalan menuju ke rak buku lalu kembali menghampiri Pak
Hendra. Saat itulah kecupan bibir Bu Santi mendarat ke pipi Pak Hendra. Saat itu juga
Bu Santi melangkah pergi meninggalkan Pak Hendra setelah mengucapkan terima
kasihnya.
Pak Hendra terbengong-bengong. Dia tak percaya peristiwa yang baru saja
terjadi begitu singkat telah membuat pikirannya berantakan. Dia baru tersadar ketika
hp-nya berdering.
“Subhanallah! Mengapa Kau hembuskan gelora pada hamba-Mu yang lemah
ini? Padahal telah kujaga titah, telah kujunjung diri, dan telah kupenggal segala
hasrat. Nyatanya gugur segala rasa. Rasa-rasa pada-Mu, Esa!” Batin Pak Hendra.
Ketika Pak Hendra membuka sms, nyatanya sms dari Bu Santi.
“Pak, maafkan aku! Aku sendiri tak tahu, mengapa tiba-tiba inginku
menodongku untuk lakukan itu!”
81
Delapan (Sansekerta)
82
Orang ahli dalam bidang ….
83
Sembilan (Sansekerta)
84
Tolah-toleh tanda malu-malu atau tidak tahu

116
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Pak Hendra membacanya berkali-kali. Dia tak habis pikir, nyatanya awal
kejadian yang baru saja terjadi telah membuka bias gelora. Tapi, dia masih ragu.
Persahabatan yang tertuliskan di hatinya dari dulu sedikit goyah. Dia yang merasakan
semua itu rasa-rasanya ingin menggugurkan monumen yang berdiri kokoh dengan
sambutan hasrat yang menanti secara tiba-tiba.
Keberanian dan kebingungan memaduh jadi satu dalam proteksi diri. Tapi
dalam proteksi itu tidak akan mampu mengubur rasa yang semakin tumbuh pesat. Dia
benar-benar tak kuasa. Dalam dirinya dia berucap apakah itu titah gelora dari Yang
Esa yang dipersembahkan padanya.
Pak Hendra tetap saja terbengong-bengong di ruang perpustakaan, sampai
pesuruh sekolah menegurnya.
“Pak Hen, apa masih ada kerjaan? Sekolah mau ditutup!”
“Oh ya Pak, sebentar!”
Pak Hendra mengakhirinya dengan mengirim sms ke Bu Santi sebelum
meninggalkan perpustakaan.

“tiga darah
tiga darah
sembilan darah darah
tak kuasa menguak itu rasa
bila mukjizat tak lagi menyapa.
biarlah waktu yang bercerita
tentang adanya dari tiada
mungkinkah gelora itu Kuasa Yang Esa
aku tak sanggup menepisnya.”

***

Seminggu kemudian Bu Santi menemui Pak Hendra di perpustakaan. Dia


menyampaikan kepada Pak Hendra bahwa dirinya selama tiga malam berturut-turut
bermimpi dikejar-kejar ular. Anehnya dari berbagai ular hanya ular putihlah yang
sempat menggigitnya. Setelah menceritakan itu Bu Santi berharap kepada Pak Hendra
agar mau menafsiri mimpinya. Dia sedikit memaksa supaya Pak Hendra cepat
menjawabnya.
“Pak …. Ayolah, apa makna mimpiku itu?”
“Iya Bu! Intinya, Ibu sekarang ini banyak yang ingin mendekati. Maksud saya
menaruh hati pada Ibu! Tapi …….,” kata Pak Hendra tak melanjutkan kata-katanya.
“Tapi …. apa Pak?” Tanya Bu Santi ingin cepat tahu.
“Tapi ada satu yang bisa meraih Ibu atau Ibu yang meraihnya! Mungkin orang
itu yang sempurna atau yang dianggap Ibu sempurna,” papar Pak Hendra.
“Iya Pak! Kemungkinan Bapak benar. Perasaanku sekarang ini lagi bergelora
begitu hebat sampai aku tak kuasa mengendalikannya. Dia itu begitu sempurna. Aku
ingin memilikinya. Tapi mengapa Yang Esa tak mempertemukan aku dulu-dulunya
dengannya. Jadi dia sekarang bukan atas nama hakku. Atau mungkin ada orang lain
lagi yang menginginkan kehadiranku di sisinya. Tapi aku tak tahu, siapa orang itu?”
Kata Bu Santi.

117
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Bu Santi setelah menyampaikan permasalahan dirinya dia menatap tajam Pak


Hendra. Dia menanti apa yang akan disampaikan Pak Hendra. Sementara Pak Hendra
yang asyik membuka-buka buku, lembaran demi lembaran, sepertinya dia tidak begitu
tertarik apa yang disampaikan Bu Santi. Dia terkesan sangat acuh sampai Bu Santi
menganggap Pak Hendra hanya main-main.

***

Suatu sore hari Bu Santi duduk sendirian di ruang tamu. Dia mengawasi
Andika sedang mandi hujan di halaman rumah bersama teman-temannya. Dia teringat
masa kecilnya di mana bapaknya sering meneriaki, tapi tak pernah digubrisnya dan
selalu berakhir dengan sebetan sapu lidi yang mengarah ke kakinya. Itupun tak pernah
membuatnya jerah. Setiap kali hujan turun di siang hari atau sore hari, setiap kali itu
juga hadiah sebetan datang ke kakinya.
Tiba-tiba pandangan Bu Santi tertuju pada Andika yang memanggil-
manggilnya. Andika ceriah sekali bersama teman-temannya. Bu Santi pun
membalasnya dengan lambaian dan senyuman. Dia merasa kasihan melihat Andika
semenjak kelahirannya tanpa adanya canda atau kemanjaan seorang papa. Walaupun
dalam keseharian Andika yang semakin mengerti tak pernah menanyakan keberadaan
papanya. Hanya pernah sekali sewaktu acara rekreasi keluarga, Andika menanyakan
papanya. Tapi ketika mamanya, Bu Santi, menjelaskan bahwa papanya lagi bekerja
jauh sekali, Andika tak mengejar jawaban dari mamanya itu.
Tatkala hujan mulai mereda Andika dipanggilnya. Dia pun langsung datang.
Dia mendekati mamanya. Dipandanginya mamanya yang berdiri di samping tiang
teras rumah.
“Mama habis nangis ya?”
Bu Santi mengelak. Dia memberi penjelasan yang mantap buat Andika.
“Ndak, mama ndak pernah nangis! Mama malah bangga dengan Andika bisa
hujan-hujan sepuasnya. Ayo, kalau sudah langsung mandi, lalu makan!”
“Lho Ma, rumahnya bocor! Kalau papa ada kan enak Ma, papa yang
betulkan!”
Bu Santi tersentak kaget. Dia heran mengapa Andika tiba-tiba
menghubungkan rumahnya yang bocor dengan papanya. Apakah dalam diri Andika
sangat mengharapkan kedatangan papanya dalam hidupnya, seperti teman-teman
lainnya, batin Bu Santi.
“Yach … kalau papa datang akan dibetulkan semua yang tidak beres!”
“Kapan Ma, papa datang?”
“Ya kapan-kapan kalau papa sudah libur!”
Bu Santi yang masih berdiri di teras rumahnya dengan pakaian basah Andika
hanya sanggup memandangi plavon rumahnya yang bocor. Tiba-tiba Andika
memanggilnya dari belakang rumah.
“Ma, handuknya mana?”
“Iya sebentar! Mama ambilkan!”
Bu Santi setengah berlari menemui Andika. Diberikannya handuk ke Andika
yang tubuhnya menggigil kedinginan. Dibalutnya tubuh Andika dengan handuk.

118
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

“Dingin? Sini mama pakaikan bajunya. Habis ini makan, minum susu, lalu
tidur!”
“Iya Ma!”
Bu Santi yang duduk berhadapan di meja makan, dia memperhatikan Andika
makan. Dia ingat benar dengan almarhum suaminya. Dia menatap tajam Andika,
mulai dari sorot mata, posisi bibir ketika berbicara dan mengunyah, sama persis
dengan almarhum suaminya.
“Mas Anjas muda…!”
“Apa Ma?”
“Ndak ada apa-apa! Kamu ini mirip sekali dengan papamu!”
“Papa …. gendut ya, Ma?”
“Iya …. Papa gendut, ganteng, dan suka bercanda!”
“Ganteng mana Ma sama Andi?”
“Sama gantengnya! Mama sangat sayang keduanya. Tapi ….?”
“Tapi apa Ma?”
“Tapi yach … tapi!”
“Iya Ma, tapi apa?”
“Tapi …. kamu masih kecil. Papa kan sudah dewasa!”
“Oh itu Ma! Kalau gitu Andi besar nanti kayak papa kan, Ma?”
“Jangan! Andika harus sampai kakek-kakek! Jangan Kau ambil Andika
mendahului aku! Jangan Kau copy paste takdirku dan papanya buat Andika! Biarkan
dia punya kesempatan meninabobokkan keturunannya sampai temurun. Yaa Allah
hanya pada-Mu aku bersembah, biarkan darah-darahku terus mengalir pada darah-
darah cucu-cangga!” Batin Bu Santi.
“Ada apa Ma kok nangis?”
“Mama nggak nangis, Sayang! Mama sayang Andika,” kata Bu Santi sambil
berjalan mendekati Andika.
Diciuminya ubun-ubun Andika. Ketika mamanya memeluknya, Andika
meronta.
“Eeeemmm Mama, apa sih Ma? Aku mau bobok!”85
Bu Santi melepaskan pelukannya. Andika langsung berlari ke kamarnya, terus
loncat ke tempat tidur. Tubuh yang terbilang gembrot langsung menarik secara
spontan pegas-pegas sping bed. Bunyi kemeriyet cukup keras sampai Bu Santi
mendengarnya.
Saat Bu Santi menutup pintu kamar Andika, hp Bu Santi berdering dua kali,
ketika dilihatnya dua sms dari Pak Hendra. Dua sms dengan kalimat yang panjang dan
saling berhubungan. Dibacanya:

“hujan rintik2 di sore hari


menyapa bumi
pada tangkai2 fuji
bila lembayung sutra
berpose dikaca langit, pecah
bopeng mega akan merupa
teriakan bisma mengusung busur
85
Tidur

119
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

melepas anak panah


pada gaung kerinduan”

Bu Santi merasa senang dan tertarik dengan permainan diksi Pak Hendra.
Kehalusan kata, rima, dan irama sarat dengan makna. Bu Santi ingin membalasnya
dengan bahasa yang sama. Dia mulai berpikir, memotret situasi yang diselaraskan
dengan apa yang ada pada dirinya. Kata demi kata tertuang dalam kertas nota yang
tergeletak di atas teve. Sesekali dia membacanya, sesekali itu juga mencoretnya,
sampai dia merasa puas dengan goresannya sebagai perwakilan isi hatinya. Dibacanya
sekali lagi lalu dikirimnya ke Pak Hendra melalui sms.

“kudengar rintik hujan merintih


saat pelangi tak beri hati
kudengar rintik hujan menitik
pada bulan kan menggantung
di batas yang tak pasti”

Bu Santi menanti balasan sms dari Pak Hendra. Sementara dia merebahkan
dirinya di atas sofa merah jambu. Dalam suasana yang cukup sejuk, ternyata dia
terlelap dalam tidurnya. Dia baru saja terjaga ketika Andika memanggil-manggilnya.
“Ma, Andika ngompol!”
“Masya Allah sudah hampir Magrib! Yach … sana Andika mandi dulu, biar
mama yang beresin!”
Bu Santi langsung membereskan kamar Andika. Saat mau mengambilkan baju
untuk Andika, dia teringat hp-nya, mungkin Pak Hendra mengirim sms ketika dia
tertidur pulas tadi. Nyatanya tidak ada. Bu Santi sangat kecewa. Dia sangat
mengharapkan balasan sms dari Pak Hendra. Kata-kata Pak Hendra yang dianggapnya
dapat membuat hatinya merasa tenteram. Dengan penataan diksinya yang mampu
memberikan nilai-nilai kehidupan, walau Bu Santi tak jarang harus bertanya-tanya
atau memutar otak untuk mengupas isinya dan selalu berakhir dengan
ketidakpahamannya.
Saat itu juga Bu Santi cepat-cepat membersihkan rumahnya, sesekali
menghentikan pekerjaannya untuk membantu memakaikan baju buat Andika. Saat Bu
Santi mengambilkan sisir buat Andika, Andika memberi tahu mamanya kalau hp-nya
bunyi. Bu Santi langsung berlari menuju ruang tamu. Diambilnya hp yang tergeletak
di meja. Setelah dilihatnya ternyata sms dari Pak Hendra. Bu Santi senang banget,
buru-buru dibukanya. Nyatanya sms kosong tanpa ada kata-kata, hanya titik-titik.
Titik-titik itu berupa titik berjumlah tiga spasi, titik berjumlah tiga lagi, spasi titik tiga
lagi, dan diakhiri tanda tanya.
Bu Santi sadar bahwa apa yang disuratkan Pak Hendra pastilah ada maknanya.
Dia mencoba menerjemahkannya dengan menggunakan tanda-tanda tersebut, tapi dia
tak berhasil. Lalu, dia berusaha menghitung jumlah titik yang ada, nyatanya
ditemukan angka 3-3-2-1 dengan komulatif 9. Setelah Bu Santi menghubung-
hubungkan dengan puisi Pak Hendra sebelumnya dia semakin bingung.
“Mengapa titik 3-3-2-1 kok tidak titik 3-3-3 ? Apa angka 2-1 itu ada
hubungannya pengambilan keputusan akhirku di premaasta dan langkah maju di
premanawa. Atau, Pak Hendra hanya main-main? Tak mungkin! Pak Hendra tak

120
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

mungkin main-main. Pastilah apa yang telah disuratkan walau hanya sekedar tanda
pastilah sesuatu yang tersirat begitu dalam maknanya. Hanya aku …..,” batin Bu
Santi.
Tiba-tiba Andika memanggilnya.
“Ma …. Andika makan lagi, ya?”
Bu Santi buru-buru menghampiri Andika. Dia mengambilkan makan Andika.
Sementara hatinya masih dipengaruhi isi sms Pak Hendra. Dia ingin balik sms
menanyakan maksud Pak Hendra, tapi setelah dipikir-pikir dia mengurungkan niatnya
atas dasar gengsi dikira tak pernah mampu memahami pikiran orang lain. Akhirnya
dia mencoba mengirim sms guyonan ke Pak Hendra dengan lambang-lambang.

“?? ??????? “
Bu Santi melanjutkan bersih-bersih. Dia merasa geli dengan sms-nya yang
telah dikirimkan ke Pak Hendra. Dia berasumsi pastilah Pak Hendra
mengomentarinya.
“Dia tidak tahu! Dikiranya dia saja yang bisa main-main. Aku juga bisa!
Pastilah Pak Hendra penasaran. Kalau sampai dia mengomentari pastilah dia
mendem86, benar-benar mendem puisi kontemporer!” Batin Bu Santi.
Belum lama Bu Santi membicarakannya, tiba-tiba Pak Hendra meneleponnya.
“Bu … puisi Ibu bagus sekali! Walau selarik tapi sarat dengan makna.
Kandungannya dalam, sedalam kehidupan sejati, sejatining urip kang kebak
hanggayuh kasampunaning urip sejati87 !”
“Nah …. benar kan kataku, mendem!“ Spontanitas kata-kata Bu Santi
meluncur sampai terdengar Pak Hendra.
“Oh tidak … anu …. Andika, Pak!” Kata Bu Santi tergagap-gagap.
“Kenapa? Mendem?”
“Oh iya, Pak! Habis makan keripik gadung! Sudah sembuh kok, Pak!” Jawab
Bu Santi berbohong.
Sehabis Pak Hendra menutup teleponnya Bu Santi tersenyum geli dengan
gurauannya yang sempat membuat Pak Hendra memberi kupasan secara serius. Tapi
setelah Bu Santi melihat kembali sms yang dikirimkannya, dia malah terobsesi
kupasan Pak Hendra. Padahal menurutnya, dia membuatnya secara asal-asalan saja.
Tapi mengapa Pak Hendra mengomentari yang akhirnya Bu Santi termakan juga oleh
goresannya sendiri.
Tiba-tiba ada sms yang masuk ke hp Bu Santi. Nyatanya sms dari Pak Hendra.
Dibacanya :

“tanda-tanda
tanya ?? ???????
sarat jua
titah Esa
kupapar sedikit rasa
apa yang kutahu
di Isro’ Mi’roj, Al Qhodar, babahan howo, Danarto

86
Mabuk
87
Sebenarnya hidup yang banyak mencari kesempurnaan hidup sejati.

121
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

pinuju kasampunaning urip88”

“Apa maksudnya ini? Aku tak tahu sama sekali. Ach … aku tak boleh mendem
juga. Tapi aku suka dengan kata-katamu, Pak! Kerinduan, kesejukan, kehangatan
telah mengguyur jiwaku! Aku semakin rindu dekapmu, walau hanya bersama diksi-
diksimu yang membelengguku!” Lamun Bu Santi.
Bu Santi tersadar ketika adzan magrib berkumandang. Dia buru-buru ke kamar
mandi.
Seusai mengerjakan salat Bu Santi masih ingin duduk lama-lama di atas
sajadahnya. Pikirannya melayang-layang, menerawang jauh di mana dirinya tak
pernah mengetahuinya. Tapi dia menyadari gejolak hatinya yang begitu
menggemburu menggoda jiwanya yang terasa hampa. Setelah dikorek balik nyatanya
dalam pikirannya tak bisa menyembunyikan apa yang selama ini menghantuinya.
“Mengapa aku tak bisa menghapusnya dari pikiranku. Semakin kupendam
dalam semakin aku merasa rindu. Apakah ini perasaan cintaku padanya? Secara jujur
hatiku berbicara, memang iya. Aku sangat mengagumimu, Pak! Tapi, mengapa Yaa
Tuhan, Kau hembuskan gelora ini begitu dasyat buat hamba-Mu yang lemah ini
sampai aku tak sanggup menepisnya. Mengapa tidak dulu-dulunya saja Kau
pertemukan aku dengannya, semasa sama-sama masih lajang. Sehingga aku tak akan
merampas kebahagian orang lain,” batin Bu Santi.
Bu Santi bangkit dari duduknya. Dia tampak gontai ketika membuka
mukenahnya. Perasaan yang dialaminya sekarang ini benar-benar mengganggunya.
Perasaan di mana dirinya tak kuasa untuk mengusir hasrat rindunya untuk bertemu
orang yang sangat dikaguminya.
Bu Santi keluar kamar. Dia melihat Andika, ternyata Andika lagi asyik
membaca majalah. Bu Santi membiarkan saja apa yang dilakukan Andika. Dia lalu
duduk bersantai di ruang tamu. Tiba-tiba keinginannya muncul ingin mengirim sms ke
Pak Hendra.
“Pak, lagi ngapain? Aku rindu dengan puisi-puisi Bapak! Sehari pun tanpa
asupan puisi Bapak, rasanya aku haus sekali!”
“Yang bener, Bu!” Balas sms Pak Hendra.
“Iya benar, Pak! Jangan panggil aku “bu”, aku kan masih single, tapi embel-
embel di belakangnya parent. Haaa… haaa…haaa ….”
“Dipanggil Jeng?”
“Ndak, aku juga gak mau sebutan itu! Kurang romantis!”
Pikiran Bu Santi melayang-layang menurut anggapannya pastilah Pak Hendra
akan memilihkan sebutan yang terbaik untuknya. Dan, dia memastikan dengan ranah
pilihan yang begitu terbatas akan membuat Pak Hendra mau tidak mau akan terjebak
untuk memilihkan sebutan buat Bu Santi seperti yang diinginkan Bu Santi.
“Panggil apa lho, Bu? Adik, adin, atau mama?”
“Okey, aku setuju semua hanya yang pertama aku kurang suka!”
“Yach… bagus juga! Adin Santi atau Mama Santi!”
Membaca sms Pak Hendra, Bu Santi senang sekali. Jiwa Bu Santi terasa
terguyur air pegunungan. Hatinya yang berbunga-bunga ingin membalas membalas
sms Pak Hendra dengan puisinya.

88
Menuju kesempurnaan hidup

122
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

“di malam tak berbintang


berbias sonar rembulan
menampar pucuk-pucuk pinus
pada rangka hati, mati
bilakah bias rembulan
mengayun-ayun angan
di rindu asa
pada phitagoras kata
yang merupa”

“Wow…. wow…. wow… cantik sekali tatanan diksimu, Din! Aku suka. Aku
ingin berada di dalamnya, tapi apa yang hendak kulakukan?” Balas Pak Hendra
melalui teleponnya.
Bu Santi dalam menerima telepon Pak Hendra hanya diam saja, sesekali
menimpali dengan tarikan nafas panjangnya. Sampai Pak Hendra mengucapkan
salamnya, Bu Santi tak membalasnya. Bu Santi tak tahu apa yang ada di dalam
pikirannya, yang jelas rasa senang dan bahagia mendengar tuturan Pak Hendra.
“Pak, kalau sampean tahu apa yang kupendam dalam di relung hatiku, betapa
terkejutnya sampean. Aku yang sedari dulu pertama kali melihat sampean, ada getaran
tersendiri yang aku tak pernah mengetahui. Tapi mengapa sekarang ini getaran itu
bertambah dasyat sampai hari-hariku tak mampu mengelak ingin bertemu sampean
atau sekedar ngobrol-ngobrol melalui sms. Aduh …Bapak, mengapa rinduku begitu
bergelora? Tapi, mengapa kalau sudah di hadapan Bapak aku jadi mati kutu? Salah
tingkah? Padahal aku butuh perhatianmu. Aku ingin bermanja-manja di dekatmu!
Mungkinkah Bapak merasakan apa yang kurasakan?” Batin Bu Santi.
Bu Santi bergeser ke kursi yang lain dengan tujuan membelakangi halaman
rumah, supaya orang-orang lewat di depan rumahnya tidak melihatnya secara
langsung. Lalu, Bu Santi memperhatikan Andika yang sedang selonjor di ruang
keluarga. Dipanggilnya Andika berulang-ulang, ternyata Andika tak membalasnya.
Ketika didekatinya nyatanya Andika tertidur lagi. Majalah yang menutupi wajah
Andika diambilnya. Dibelainya rambut Andika, saat diciumnya Andika terbangun.
“Ada apa sih Ma?”
“Ndak ada apa-apa, mama hanya pingin nyium89 Andika saja!”
“Ma, Andi pingin nasi goreng!”
“Lho… Andika kan barusan makan!”
“Lapar lagi, Ma!”
“Iya ayo, mama belikan!”
Bu Santi bersama Andika berangkat ke pertigaan jalan di mana banyak
ditemukan penjual makanan. Sesampai di depan penjual nasi goreng Andika berubah
pilihan. Dia minta dibelikan martabak saja, alasannya katanya papa dan mamanya
juga sangat suka makanan itu. Bu Santi pun menurutinya.
Sesampai di rumah Andika membagi martabaknya menjadi tiga bagian.
“Ini buat Mama, dua buat aku, dan dua ini buat …..,” kata Andika sambil
menggeser dua potong martabak menjauhi dirinya dan mamanya.
“Itu buat siapa?”
89
Mencium

123
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

“Itu buat papa, Ma! Katanya papa sangat suka martabak!”


“Papa belum pulang, Yang!”
“Ndak, pokoknya itu buat papa! Andi ndak mau makan yang itu, pokoknya
buat papa!”
Bu Santi tak tahan mendengar perkataan Andika yang polos. Dia langsung
masuk ke kamar. Sementara, martabak bagiannya dibiarkan begitu saja di atas meja.
Melihat mamanya masuk Andika langsung menyusulnya.
“Ma, kok nggak dimakan? Temani Andika, Ma! Lho, kenapa Mama nangis?
Uang Mama habis, ya?”
“Ndak, Yang! Mama agak pusing! Andika makan saja milik mama dan papa!
Sudah sana, mama istirahat dulu!”
Andika pun menuruti apa yang disampaikan mamanya. Dia keluar kembali ke
ruang tamu. Potongan martabak satu per satu dilahapnya, tinggal milik papanya.
Potongan martabak bagian papanya disimpannya di dalam kulkas. Andika mulai
merasa jenuh, dia mondar-mandir keluar masuk rumah. Apa yang ingin dikerjakannya
dia juga tidak tahu. Akhirnya teve satu-satunya yang merupakan sarana untuk mengisi
waktu dihidupkannya. Nyatanya Andika berkali-kali mengubah saluran teve, acara
yang ditontonnya tidak ada yang menarik. Untuk itu dia melirik ke sana kemari, apa
yang bisa diperbuatnya. Akhirnya mobil-mobilan yang ada di atas teve diambilnya.
Andika mulai asyik memainkan mobil-mobilannya. Merasa jenuh dia
mengotak-atik mobil-mobilannya yang tak lagi bisa jalan, karena baterainya habis.
Dia bongkar mainannya itu bagian demi bagian, karena keingintahuannya yang
menyeretnya. Nyatanya sampai ke batas titik jenuhnya dia tak dapat mengembalikan
komponen-komponennya seperti semula. Akhirnya rasa bosan dan kantuk telah
menyerangnya. Dia lalu menemui mamanya.
“Ma, Andi mau bobok!”
“Iya sana! Pipis dulu!”
Bu Santi yang sedari tadi tak bisa memejamkan matanya, dia langsung bangkit
dari tempat tidurnya. Dia membereskan mainan Andika yang sudah berantakan. Dia
hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat pemandangan itu. Dia berpikir :
“Beginikah anak yang tidak mendapatkan kasih sayang seorang papa? Kasihan kau,
Andi! Seharusnya kau berhak mendapatkan semua itu! Maafkan mama! Maafkan
papa yang tak begitu lama memanjakanmu, sementara kau belum tahu apa-apa!”
Air mata Bu Santi jatuh di mana-mana. Dia dengan sabarnya memunguti satu
per satu bangkai mobil-mobilan Andika. Dimasukkannya semua yang ada ke dalam
kardus aqua. Ketika Bu Santi melirik jam yang bertengger di atas dinding, tiba-tiba
dia ingin menelepon Pak Hendra. Dia mencoba meneleponnya karena keinginannya
yang tak bisa ditunda. Tapi apa yang akan disampaikannya dia benar-benar tidak tahu
karena hanya sekedar ingin mendengar suara Pak Hendra saja.
“Assalamu’allaikum …!”
“”Waallaikum salam warohmatullahi wabarokatu! Ada apa, Din?”
“Siapa, Pa?” Sahut Bu Hendra.
“Bu Santi, Ma!” Jawab Pak Hendra.
Bu Santi yang mendengar percakapan Pak Hendra dengan istrinya, seketika itu
juga Bu Santi mematikan hp-nya. Dia tidak suka mendengarnya. Akhirnya Pak

124
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Hendra menelepon balik ke Bu Santi, tapi Bu Santi tak mengangkatnya walau hp-nya
berdering berkali-kali.
Jam sudah menunjukkan pukul 20.45 BB.WI. Bu Santi buru-buru menutupi
pintu rumahnya. Dia lalu merebahkan diri di atas gelaran tikar di depan teve.
Pikirannya tak karuan, melayang ke mana-mana walaupun pandangannya tetap ke
layar teve. Dia tidak tahu mengapa tiba-tiba perasaannya tidak begitu menyukai istri
Pak Hendra, termasuk anak-anaknya, Si Lola, Cintya, dan Rendra. Padahal
sebelumnya tak pernah ada apa-apa. Tapi mengapa sekarang ini perasaannya tidak
begitu suka nama-nama tersebut disebut-sebut, apalagi mendengarkan suaranya secara
langsung.
Saat Bu Santi tertidur, tiba-tiba dia terbangun oleh hp-nya yang berdering.
Dibukanya:
“Halo… Din!”
“Yach …. siapa ini?”
“Aku Din! Aku lagi ngopi di warung! Kenapa tadi kok dimatikan?”
“Ndak tahu!”
“Tadi aku lagi ditanyai nyonyaku!”
“Aku nggak suka!” Jawab Bu Santi sambil mematikan hp-nya.
Hp Bu Santi berdering kembali. Ketika dilihatnya telepon dari Pak Hendra, dia
langsung mematikan dan meng-off-kan posisi hp-nya.
Bu Santi berdiri mematikan lampu ruang tamu dan menutup gordennya. Dia
langsung merebahkan dirinya di tempat tidur. Dia merasa jengkel dengan dirinya
sendiri, dengan orang-orang sekitarnya, terutama kepada Pak Hendra yang tak pernah
tahu perasaan seorang wanita.
“Aku tak suka kalau istrimu itu kau sebut-sebut di depanku. Apakah kau tak
tahu perasaan seorang wanita. Aku sangat mendambakanmu, Pak! Aku rindu berat!
Aku inginkan dirimu mengisi sisa-sisa kehidupan di awal usia senjaku. Tembak saja
aku dengan kata-kata puitismu, telah kusiapkan sekeranjang dedaunan asparagus yang
menopang setangkai bunga edelweiss,” lamun Bu Santi

***

Selama seminggu Bu Santi dan Pak Hendra tak bertegur sapa. Di tempat kerja
Bu Santi sengaja menghindar dari Pak Hendra. Hampir tiap hari sms maupun call dari
Pak Hendra tidak diangkatnya, sampai Pak Hendra menyuruh siswanya untuk
memberikan surat ke Bu Santi yang lagi mengajar di lantai atas, tapi tidak dibalasnya
juga. Pada akhirnya secara tidak sengaja kepala sekolah memanggil Bu Santi dan Pak
Hendra untuk datang ke ruang kepala sekolah. Mereka ditugaskan untuk menghadiri
seminar Metodologi Pembelajaran Sastra.
Kepala sekolah sudah menyiapkan surat tugas buat mereka, termasuk uang
saku, uang bensin, dan uang makan. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa, terutama Bu
Santi. Dia hanya menunduk sesekali mengangguk-anggukkan kepalanya mengiyakan
informasi yang diberikan kepala sekolah. Kepala sekolah berharap agar mereka hati-
hati. Untuk itu kepala sekolah menugasi Pak Hendra agar menjaga Bu Santi.
“Sudah cukup ini saja! Bapak – Ibu sekarang juga berangkat! Oh ya, tolong
anak-anak diberi tugas dulu!”

125
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Bu Santi dan Pak Hendra keluar dari ruang kepala sekolah. Bu Santi
memberika surat tugas dan beberapa amplof ke Pak Hendra.
“Bu, bareng90 saya saja! Saya ditugasi Bapak Kepala Sekolah untuk menjaga
Ibu!” Kata Pak Hendra singkat.
Bu Santi tidak menjawabnya. Dia terus berjalan menuju pintu gerbang
sekolah. Dia duduk bersama petugas caraka. Sebenarnya dia bingung, mengapa tadi
sewaktu Pak Hendra menawarinya dia tidak menjawabnya. Dia tambah bingung
ketika mobil Pak Hendra sudah bergerak mendekati pintu gerbang sekolah. Bu Santi
berusaha tidak melihatnya dan mencoba berbicara serius dengan petugas caraka. Tiba-
tiba pintu mobil dibuka.
“Bu… ayo naik!”
Bu Santi pura-pura terkejut. Dia pun lalu masuk ke mobil Pak Hendra. Mobil
baru saja bergerak beberapa puluh meter Pak Hendra membuka pembicaraan.
“Din …. maafkan aku! Mungkin aku telah menyinggung perasaanmu. Tapi
aku sendiri tidak tahu apa yang telah kulakukan sampai Adin tidak mau ngomong
denganku. Ini kesempatan yang bagus buat kita. Aku mohon sampaikan apa salahku
dan apa yang kau inginkan dariku?” Kata-kata Pak Hendra.
Bu Santi hanya diam, tapi dalam batinnya dia berucap : “Kau tidak bersalah
Pak, hanya aku saja yang terlalu perasa. Aku sangat menyukaimu, Pak! Jangan sekali-
kali kau sebut istrimu di hadapanku. Aku cemburu! Tembak saja aku dengan puisi-
puisi cintamu!”
“Din, apa kamu tidak suka dengan tingkahku atau gayaku?”
“Tidak Pak! Aku sangat suka dengan Bapak. Aku sangat mencintai Bapak!
Jangan sekali-kali menyebut istrimu di hadapanku!”
Kata-kata Bu Santi meluncur begitu saja. Dia baru sadar kalau dia sudah
mengucapkan segala perasaan yang paling dalam. Dia menunduk sambil menutupi
mukanya dengan kedua belah telapak tangannya. Tiba-tiba dia berkata liri : “Maaf
Pak, kata-kataku yang kurang sopan itu. Tapi itulah perasaanku sekarang ini pada
Bapak!”
Pak Hendra terkejut. Dia sedikit memperlambat laju mobilnya. Dia tidak
percaya apa yang telah diucapkan Bu Santi. Dia berusaha menanyakan kembali untuk
mempertegas apa yang telah diucapkan Bu Santi. Ketika Pak Hendra mengutarakan
apa yang didengarnya Bu Santi membenarkan semua yang disampaikan Pak Hendra
benar, sesuai dengan yang ada dalam isi hatinya.
Mendengar jawaban Bu Santi walaupun hanya dengan anggukan kepala, Pak
Hendra tersenyum. Dia merasa bangga. Dia langsung menghentikan mobilnya di
pinggir jalan. Ditatapnya Bu Santi walaupun Bu Santi tak melihat sedikit pun tatapan
Pak Hendra seraya berucap :
“Din … aku sayang padamu! Pernahkah kau rasakan apa yang kurasakan.
Hanya getaran diksiku yang merupa-rupa dalam menterjemahkan rasaku padamu!
Aku sayang kamu, Din!”
Bu Santi menoleh, menatap Pak Hendra. Dia melepas senyuman, memberi
jawaban persetujuan atas pernyataan Pak Hendra. Walaupun hanya seulas senyum
yang meluncur dari bibirnya. Pak Hendra pun membalasnya dengan senyuman yang
sama.
90
Ikut bersama-sama

126
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

“Terima kasih, Din!”


“Iya Pak! Ayo Pak berangkat biar tidak terlambat!”
Pak Hendra pun langsung menjalankan mobilnya. Dia merasa lega dan
bangga, karena perasaannya selama seminggu ini tak karuan. Sekarang ini mulai
terkuak dan apa yang yang dipendamnya sudah terjawab juga. Sementara Bu Santi
yang hanya duduk diam, hanya pandangannya saja yang lurus ke depan. Sesekali Pak
Hendra mencuri pandang gerak-gerik Bu Santi, tapi Bu Santi tak mempedulikannya.
Akhirnya mobil Pak Hendra memasuki gedung serba guna Unesa.
Mereka tergesa-gesa masuk gedung pertemuan, karena acara sudah dimulai.
Ketika Bu Santi masuk acara memang sudah berjalan tapi baru pengenalan para
narasumber oleh moderator. Tiba-tiba moderator mempersilakan Bu Santi untuk
duduk di barisan depan karena masih ada beberapa kursi yang kosong. Bu Santi
terkejut bukan main namanya disebut. Dia belum tahu siapa yang memanggilnya.
Ketika namanya dipanggil ulang Bu Santi baru sadar bahwa sang moderatorlah yang
memanggilnya. Akhirnya Bu Santi mengajak Pak Hendra untuk duduk di depan.
Bu Santi baru tahu kalau yang menjadi moderator itu adalah Agus R. Sarjono,
narasumber sewaktu Bu Santi mengikuti Apresiasi Sastra Daerah di Jakarta. Saat Bu
Santi mendekati kursi yang dimaksud sang moderator sedikit memperkenalkan Bu
Santi kepada para undangan tentang kelebihan-kelebihan yang dimiliki Bu Santi,
sampai Bu Santi merasa malu.
Bu Santi secara tidak langsung menjadi pusat perhatian bagi peserta seminar.
Dia merasa malu, risih, dan apa yang disampaikan moderator terlalu berlebihan
buatnya. Apalagi peserta yang hadir hampir seratus persen guru bahasa Indonesia.
Sehingga aplaus dari para peserta seminar cukup menggema buat Bu Santi.
Sewaktu isoma Bu santi diajak Pak Hendra ke kantin Unesa. Mereka pesan
minuman, sementara mereka makan makanan yang disediakan oleh panitia. Saat itu
Pak Hendra mendapat telepon dari istrinya.
“Pa… ndak pulang? Aku masakkan kesukaan Papa!”
“Oh ndak, Ma! Aku lagi ikut seminar di Surabaya! Nanti malam saja
masakanmu yang enak itu akan kuhabiskan. Makasih ya, Ma!”
Bu Santi yang langsung mendengarkan percakapan itu secara spontan
memuntahkan makanan yang sudah dikunyahnya. Dia merasa muak, benci, dan benar-
benar tidak suka mendengarnya. Dia tidak suka suara-suara itu mengganggunya. Dia
lalu keluar begitu saja meninggalkan Pak Hendra.
Pak Hendra menyusulnya, setelah membayar minumannya. Dia mencari Bu
Santi, tapi tidak ditemukan. Pak Hendra sampai mengitari gedung serba guna dan
matanya tetap mengawasi setiap ada keruman orang-orang. Karena tidak ditemukan,
Pak Hendra memutuskan untuk menunggunya di dalam gedung. Pak Hendra mencoba
meng-call-nya tapi Bu Santi tidak mau mengangkatnya. Tiba-tiba terlintas dalam
pikiran Pak Hendra : “Jangan-jangan Bu Santi pulang! Ach… ndak mungkin!”
Pak Hendra keluar. Dia mencoba mencarinya di mushollah, sekalian salat
dzuhur. Ternyata juga tidak ditemukan keberadaan Bu Santi. Pak Hendra mulai
kebingungan, penasaran, ada masalah apa sampai Bu Santi meninggalkan dirinya. Dia
mencoba mencari tahu, “Apakah tentang pembicaraanku dengan istriku tadi, dia
marah-marah,” pikirnya.

127
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Ketika Pak Hendra kembali ke gedung Bu Santi sudah dilihatnya berada di


kursinya, sendirian. Didekatinya Bu Santi, Pak Hendra batuk-batuk kecil sebagai
isyarat kalau di belakangnya ada yang datang. Saat Pak Hendra mendekatinya, Bu
Santi terlihat kesal dengan wajah agak suram.
“Din … tadi ke mana saja?”
“Aku kesel! Sakit Hati!”
“Kenapa? Kesel dengan siapa?”
“Kan aku sudah bilang, jangan sampai aku dengar atau tahu kalau sampean
lagi ngobrol dengan Mbok Dewor91!”
Mereka kemudian berdiam diri. Pak Hendra mulai menerka-nerka dan
mengerti kalau Bu Santi itu sebenarnya cemburu bila Pak Hendra berbicara dengan
istrinya. Akhirnya Pak Hendra meminta maaf kepada Bu Santi.
“Din… aku minta maaf! Aku tak akan mengulanginya lagi!”
Akhirnya Pak Hendra dan Bu Santi mengikuti kelanjutan pelaksanaan seminar
sampai selesai.

***

Perkembangan asmara Bu Santi dengan Pak Hendra sudah berjalan empat


bulan. Mereka semakin mesra, hanya di sekolah mereka saling menjaga sampai
teman-temannya tidak begitu percaya kalau isu yang berkembang benar-benar nyata.
Di balik kemesraan mereka sering terjadi percekcokan yang intinya hanya sebuah
pemenuhan perasaan, kecemburuan, rasa curiga yang bermuara pada rasa ingin
memiliki seutuhnya menuju the perfect soul mate92.
Begitu juga Andika secara kejiwaan sudah sedikit matang, mulai sering
bertanya, dan menuntut kepada mamanya. Dia sering protes, marah-marah yang
kadang-kadang membuat mamanya menangis. Kalau sudah demikian malah Andika
ikut menangis dan meminta maaf pada mamanya.
Andika walaupun sedikit manja tapi enak diajak bicara. Dia mudah akrab
dengan siapa saja, termasuk kepada Pak Hendra, yang sudah dianggap om-nya
sendiri. Dia tidak sungkan-sungkan lagi bersenda gurau atau sekedar meminta
bantuan bila Andika tak bisa mengerjakan sesuatu pada Pak Hendra.
Selepas salat magrib Bu Santi melanjutkan mengoreksi pekerjaan siswa-
siwanya. Tiba-tiba Andika mendekatinya, dia menanyakan kepada mamanya apakah
om Hendra tidak datang ke rumahnya karena besuk hari minggu. Bu Santi
menjawabnya kalau Om Hendra lagi sibuk dan banyak pekerjaan yang harus
diselesaikan. Akhirnya Andika minta jalan-jalan kepada mamanya.
“Ma, ayo jalan-jalan! Andi bosan di rumah terus!”
“Ke mana?”
“Ya, jalan-jalan saja! Nanti pulangnya ke KFC!”
“Nggak usah, mama nggak punya uang!”
“Kalau gitu jalan-jalan saja Ma, Andika akan bawa jajan dari rumah!”

91
Istri
92
Jodoh yang sempurna

128
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Bu Santi tersentak, hatinya seperti diris-iris mendengar tawaran Andika.


Spontan lembar kerja siswa diletakkan begitu saja. Dipandanginya Andika seraya
memberi isyarat persetujuan permintaan Andika.
“Ayo … Andi ganti baju dulu! Andi ingin makan di KFC?”
“Iya Ma! Enak! Andi dua kali diajak Pakpo Wawan makan di KFC!”
Bu Santi langsung menelepon Pak Hendra untuk diajak menemani Andika,
tapi beberapa kali tak diangkatnya. Bu Santi mencoba mengirim sms, ternyata
pengiriman sms gagal juga. Akhirnya Bu Santi berangkat bersama Andika.
Bu Santi memboncengnya, ke mana Andika inginkan. Mereka putar-putar
mulai dari pertokoan, pasar, sampai ke tempat-tempat permainan anak-anak, tapi
Andika tidak mau turun. Dia minta pada mamanya untuk jalan-jalan di alun-alun saja.
Bu Santi pun menurutinya. Di alun-alun Andika senang sekali. Dia berkomentar
banyak kepada mamanya tentang keinginannya tapi selalu menolak waktu mamanya
akan membelikan mainan buatnya.
“Ma …. lihat-lihat saja sudah enak. Andika sangat suka jalan-jalan seperti ini,
apalagi kalau papa ikut akan lebih enak!”
“Ayo Andika pingin apa, mama akan membelikannya!”
“Nggak Ma, Andi nggak pingin apa-apa! Nanti saja maem93 di KFC!”
“Iya nanti ke KFC, sekarang Andi mau beli apa?”
“Beli apa ya, Ma?”
“Terserah Andi! Pinginnya apa lho?”
“Nggak usah Ma, nanti uang Mama habis!”
Setelah merasa puas Andika mengajak mamanya ke KFC. Mamanya menuruti
saja apa yang dinginkan Andika. Dia sekali lagi menawarkan kepada putranya kalau
ada yang diinginkan, tapi Andika lagi-lagi menolaknya.
Perjalanan menuju KFC tidak terlalu jauh, dari alun-alun hanya butuh waktu
lima belas menit. Setiba di tempat parkir Andika menyeret mamanya untuk segera
masuk dan Andika yang memesankannya. Sementara mamanya hanya disuruh duduk
di meja pojok ruangan. Andika senang dengan apa yang bisa dilakukannya.
“Mama ... Mama ….. itu Om Hendra! Om Hendraaaa …….!” Teriak Andika.
Bu Santi membelalakkan matanya mengamati seluruh yang ada di ruang
tersebut. Belum sempat dia tahu keberadaan Pak Hendra, Andika berlari
menghampirinya. Bu Santi pun baru tahu, Pak Hendra berada di pojok ruang yang
lagi tersenyum kepadanya. Tiba-tiba hatinya bagai disambar petir ketika melihat Pak
Hendra bersebelahan dengan perempuan sebaya serta tiga anak remaja. Bu Santi
berasumsi bahwa mereka itulah anak-anak dan istri Pak Hendra, seperti yang pernah
diceritakan Pak Hendra padanya.
Bu Santi langsung buru-buru menyusul Andika. Dia tersenyum sinis pada
mereka lalu menyeret tangan Andika untuk diajak kembali ke mejanya. Melihat
kejadian ini Pak Hendra saling pandang dengan istrinya. Akhirnya istri Pak Hendra
sempat bertanya pada Pak Hendra.
“Pa, apa itu Bu Santi?”
“Iya Ma!”

93
Makan

129
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

“Kasihan ya Pa! Mungkin dia tadi malu, cemburu pada kita, atau mungkin
perasaannya saja yang menyeretnya ke dalam situasi yang serba salah! Saya kira tak
perluh! Tolong Pa dijernihkan!”
“Siapa sih Pa dia itu? Sadis banget!” Tanya Rangga.
“Itu Bu Santi, teman papa!” Jawab Pak Hendra.
“Apa Tante itu lagi berseteru dengan Papa?”
“Ndak! Mungkin saja tante itu merasa bersalah kalau anaknya tadi telah
mengganggu acara makan kita!” Jawab Pak Hendra menutup-nutupi.
“Kok sinis banget pada kita! Senyumnya itu lho, Pa!”
“Oh … anu …. itu ……?! Sudah kita lanjutkan makannya!” Jawab Pak
Hendra.
Sementara Bu Hendra yang sedari tadi memperhatikan Bu Santi memarahi dan
mencubiti telinga anaknya, merasa kasihan dan prihatin.
“Lihat itu Pa, kasihan si anak itu! Tolong Pa, sampean sana! Bantu mereka!
Aku sangat mendukung Pa, sudah waktunya buat Papa!” Bisik Bu Hendra pada Pak
Hendra.
Pak Hendra bingung. Dia berdiri, mau berangkat dan tidak. Tapi istri Pak
Hendra mendorong agar Pak Hendra cepat berangkat. Akhirnya Pak Hendra berangkat
juga.
Pak Hendra mendekati Bu Santi. Dia lalu duduk di sebelahnya, tapi Bu Santi
tak menghiraukan sapaan Pak Hendra malah terus memarahi Andika. Saat itu juga Bu
Santi menyeret tangan Andika untuk meninggalkan Pak Hendra. Sementara Andika
yang tidak tahu apa-apa hanya bisa menangis saja.
Pak Hendra terbengong-bengong di kursinya, malahan jadi tontonan gratis
bagi orang-orang di sekitarnya. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Belum sempat dia
balik ke kekuarganya Andika buru-buru masuk menemuinya.
“Om …. Mama…… Mamaaaa….!”
“Ada apa mamamu?”
“Mama… Om!” Jawab Andika sambil menarik tangan Pak Hendra.
Pak Hendra keluar mengikuti tarikan tangan Andika. Dari situlah Pak Hendra
mengetahui kalau Bu Santi tergeletak di sebelah sepedanya di tempat parkir. Pak
Hendra setengah berlari mendatangi Bu Santi. Setelah dilihatnya Pak Hendra
langsung mengangkat tubuh Bu Santi dan dibawanya ke pos satpam. Bu Santi
pingsan. Pak Hendra lalu menyuruh Andika agar memanggil keluarga Pak Hendra.
Saat Bu Santi siuman Pak Hendra mengambil kunci kontak sepeda Bu Santi di
tasnya dan menyerahkannya kepada Rangga untuk membawa sepeda Bu Santi.
Sementara Pak Hendra mengambil mobilnya. Setiba di pos Bu Santi dituntun ke
mobil oleh Pak Hendra dan Bu Hendra.
“Bu … mari kuantar pulang! Sepeda Ibu biar dibawa Rangga!” Kata Pak
Hendra.
Bu Santi tidak berkata-kata sedikit pun. Dia masih merasa pusing dan sedikit
loyo. Dalam perjalanan Bu Hendra memegangi tangan Bu Santi, dia bercerita banyak
tentang keluarganya, termasuk tentang diri Bu Santi.
Bu Santi terkejut. Antara sadar dan tidak dia merasa heran mengapa Bu
Hendra sudah mengetahui banyak tentang dirinya, padahal baru kali ini dia berjumpa
dengannya. Melalui paparan Bu Hendra, Bu Santi baru mengetahui kalau Bu Hendra

130
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

itu dapat informasi dari Pak Hendra. Akhirnya Bu Santi yang lebih banyak diam
dengan perasaan cemburunya yang masih meluap-luap sedikit demi sedikit berubah.
Sesampai di rumah Bu Santi, Pak Hendra dan Bu Hendra membimbingnya
sampai ke tempat tidur. Sementara, Andika dan Rangga ditugasi menutupi pintu
rumahnya sebelum Pak Hendra sekeluarga pamit pulang.
Semenjak kejadian itu Pak Hendra tak pernah bertemu dengan Bu Santi,
sudah hampir dua minggu tak ada kabar beritanya. Bu Santi tak pernah masuk kerja
dan tak ada keterangan untuk sekolah. Sehingga kepala sekolah memberi tugas
kepada Pak Hendra untuk meng-cancel tugas-tugas Bu Santi.
Pak Hendra sudah mencoba beberapa kali meneleponnya tapi hp Bu Santi
tidak aktif. Dia juga menanyakan ke Bu Vany tapi Bu Vany tak bisa memberi
jawaban apa-apa. Akhirnya di hari ke sembilan Pak Hendra memutuskan untuk
datang ke rumah Bu Santi, tapi di belokan gang menuju rumahnya Pak Hendra
mengurungkan niatnya karena dirasa kurang sopan.
Mengenai masalah itu Pak Hendra menceritakannya ke istrinya. Dia merasa
serba salah ketika istrinya malah mendorongnya untuk datang ke rumah Bu Santi.
Padahal dia berencana menyuruh muridnya untuk melihat keadaan Bu Santi, tapi ide
Pak Hendra tersebut dicegah oleh istrinya. Justru Pak Hendra disuruh mencari tahu
sendiri ke rumah Bu Santi, kalau tidak berani malah istrinya akan ikut menemani.
“Ma, aku takut! Aku nanti dikira ada apa-apa. Dan lagi tidak enak saja
dengan para tetangga Bu Santi!”
“Ndak apa-apa toh, Pa! Itu hanya perasaan Papa saja!”
Pak Hendra terlihat bimbang. Dia mondar-mandir di ruang tamu tapi akhirnya
dia tetap pada pendiriannya untuk tidak mendatangi rumah Bu Santi. Dia tetap
berusaha mencari tahu kabar Bu Santi dengan caranya sendiri. Melihat demikian, Bu
Hendra merencanakan secara diam-diam, tapa sepengetahuan Pak Hendra untuk
mendatangi rumah Bu Santi.
Keesokan harinya sewaktu Pak Hendra berangkat kerja Bu Hendra pergi ke
rumah Bu Santi. Ternyata rumah Bu Santi dijumpai kosong dengan halaman rumah
yang penuh dengan guguran dedaunan kering. Untungnya tetangga sebelah rumah Bu
Santi memberi tahu kalau Bu Santi sakit dan dirawat inap di rumah sakit. Bu Hendra
langsung menanyakan tempat Bu Santi dirawat inap. Ketika memperoleh data alamat
Bu Santi dirawat inap Bu Hendra langsung mohon pamit.
Saat itu juga Bu Hendra meluncur ke rumah sakit. Dia langsung saja naik ke
lantai dua menuju kamar Bu Santi. Ketika dia membuka pintu, dilihatnya Andika
sedang menangis di samping mamanya. Dia langsung masuk mendekati Andika.
“Ada apa menangis?” Tanya Bu Hendra
“Mama …..?!”
Bu Hendra mengamatinya, ternyata Bu Santi pingsan. Di atas dada Bu Santi
tergeletak sebuah lembaran folio bergaris yang penuh dengan tulisan. Diambilnya
dan cepat-cepat dimasukkan ke dalam tasnya, lalu dia membelai rambut Andika.
“Andika jaga mama dengan siapa?”
“Pakpo!”
Mana pakpo?”
“Beli obat!”

131
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Bu Hendra berharap agar Andika bersabar dan tenang. Dia langsung keluar
menghubungi perawat. Tidak lama kemudian Bu Hendra bersama perawat datang
melihat keadaan Bu Santi. Kebetulan sekali pakpo Andika juga datang membututi di
belakang perawat. Setelah diperiksanya perawat menyampaikan kalau Bu Santi
mengalami shock, dan sebentar lagi akan sadar juga.
Saat Bu Santi sadar dia menerima uluran tangan Bu Hendra. Dia masih lemas
dan belum mengetahui siapa yang lagi menyalaminya. Ketika Bu Hendra
memperkenalkan dirinya, Bu Santi baru tahu kalau yang ada di hadapannya itu Bu
Hendra. Saat itu juga Andika langsung naik ke ranjang dan memeluk mamanya. Dia
menangis. Dia tidak mau lagi mamanya pingsan. Sementara pakpo Andika yang ada
di belakang ranjang langsung menurunkan Andika dari ranjang.
Bu Hendra mendekati Bu Santi.
“Bu…jenengan94 sakit apa?” Tanya Bu Hendra.
Bu Santi tidak menjawab. Dia hanya menatap kosong cairan infus yang
tergantung di atas ranjang. Tiba-tiba dia meneteskan air mata, lalu mengatupkan
kelopak matanya. Saat itu kakak Bu Santi, Mas Wawan, mendekatinya, sementara Bu
Hendra mundur. Ketika kakak Bu Santi memanggilnya, Bu Santi mencoba membuka
matanya. Dia bersyukur kalau adiknya tidak pingsan lagi
Bu Hendra mendekati Andika dan menawarinya untuk ikut, tapi Andika
menggeleng-gelengkan kepalanya. Bu Hendra langsung ke Bu Santi untuk mohon
pamit dan memberikan support agar Bu Santi lekas sembuh.
Dalam perjalanan pulang Bu Hendra ingin sekali cepat-cepat sampai di
rumahnya dan membaca goresan Bu Santi. Dia sangat memastikan bahwa sakitnya
Bu Santi bukan sakit secara fisik, tapi jiwanya yang secara psikis mengalami
gonjangan yang cukup berat. Dia ingin membantunya. Sebagai wanita dia paham
benar bahwa ketidakstabilan jiwa seseorang kadang-kadang tersulut dari
permasalahan yang sepele saja.
Setiba di rumah Bu Hendra langsung duduk di ruang tamu. Dibukanya tas
miliknya. Dia membuka lipatan kertas HVS dan mulai membaca goresan Bu Santi :
“Ora ono papan sing tentrem kanggo lelangen, lan ngilangi roso kangen, ora
ono papan sing asri kanggo nglipur sedih ing ati, yo mung jroning atimu sing kebak
roso asihmu, batine sopo sing ora nangis, atine sopo sing ora nelangso, menyang
endi aku kudu sumingkir, saka sela-sela ning ati sing semplah, yen aku lan sliramu
kudu pisah, saiki aku mung bisa pasrah, marang gusti kang makarya jagat, kersaha
madangi marang lelakonku, ing dino-dino sesuk.95 Pak … jangan tinggalkan aku!
Aku sudah jatuh! Jatuh berkali-kali. Sakit … sakit … sakiiittt… hati ini!”
Baru separagraf Bu Hendra membaca goresan Bu Santi, dia langsung melipat
kertas itu. Dia menangis. Dia tahu apa yang dirasakan selama ini benar, bahwa Bu
Santi benar-benar terpukul dengan kejadian sepuluh hari yang lalu. Dia merasa
bersalah. Seharusnya pertemuan itu tak boleh terjadi, tapi semua itu dia sadari bahwa
94
Kamu
95
Tidak ada tempat yang cocok untuk melamun dan melupakan rasa rindu, tidak ada tempat yang nyaman
untuk menghibur hati yang sedih, ya cuma isi hatimu yang dipenuhi rasa sayangmu, jiwa siapa yang
tidak menangis, hati siapa yang tidak kecewa, ke mana aku harus pergi, dari sisi-sisi hati yang sedang
dilanda kegalauan, kalau aku dan kamu harus pisah. Sekarang saya hanya bisa pasrah ke hadapan Tuhan
yang menguasai alam semesta ini, agar dapat memberikan petunjuk untuk kehidupanku di masa
mendatang.

132
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

tanpa adanya pertemuan permasalahan pastilah tak ada jawab. Dengan demikian dia
akan menyusun rencana dalam membuka tabir semua itu. Khususnya pada diri
suaminya yang selama lima belas tahun terbelenggu situasi dari keluarga semu.
”Aku harus membantunya! Aku tidak boleh munafik! Egois! Aku telah
merampas hak-hak orang lain bertahun-tahun. Seharusnya aku sadar, itu bukan
hakku, bukan mauku, karena situasi dan ketidakberdayaanku saat itu yang
memenjarahkanku sampai aku menginjak-injak hak-hak orang lain. Maafkan aku,
Pa!”
Bu Hendra tidak sanggup lagi melanjutkan membacanya. Dia merasa prihatin
dan berulang-ulang menyalahkan dirinya sendiri. Tak terasa dirinya me-refresh96
kembali permasalahan dirinya lima belas tahun yang lalu.
”Seandainya saja Mas Hendik ........,” kata Bu Hendra tak kuasa melanjutkan
kata-katanya. Nafasnya tiba-tiba tersengal-sengal, degup jantungnya bergetar hebat,
dan air mata yang terus mengalir.
Dia masih saja duduk berbasah-basah dengan air matanya. Perasaannya yang
tak karuan membuat dia malas untuk beraktivitas, termasuk untuk sajian makan siang
buat keluarga tak diurusnya. Dia beranggapan untuk sajian makan siang sudah ada,
sisa kemarin. Sehingga dia tak perlu repot-repot menyajikan santapan makan siang
buat keluarga. Yang dia pikirkan sekarang ini bagaimana mencari solusi untuk
mengentaskan permasalahan semua itu. Untuk itu, dia menunggu suaminya untuk
menyampaikan berita yang dia dapatkan dan menunjukkan catatan yang ditulis Bu
Santi.
Sampai pukul 12.00 Bu Hendra menunggu suaminya. Dia ingin melanjutkan
membaca tulisan Bu Santi, tapi dia merasa miris melihat kupasan jiwa Bu Santi yang
semakin memiluhkan. Tiba-tiba suara sepeda motor memasuki halaman rumahnya,
ketika dilihatnya Rangga yang datang.
”Assalamu’alaikum, mau ke mana, Ma?”
”Waalaikum salam, ndak ke mana-mana! Tadi mama habis menjenguk Tante
Santi!”
”Ada apa dengan Tante Santi?”
”Sakit!”
Bu Hendra buru-buru bangkit dari duduknya. Dia menyiapkan makan siang
buat putra bungsunya. Dengan masakan sisa kemarin dia sajikan kepada Rangga. Dia
menyampaikan kalau hari ini dia tidak masak, tapi Rangga tidak memasalahkannya.
Rangga malah menyarankan kepada mamanya agar hidup hemat. Bu Hendra
mengangguk bangga dengan apa yang baru saja disampaikan anak bungsunya itu.
Didekatinya Rangga, diusapnya rambut putranya itu sambil berucap :
”Mama sangat bangga dengan dirimu, Nak!”
Rangga mendongak memandangi wajah mamanya. Dia tersenyum membalas
senyuman mamanya. Belum sampai habis Rangga makan siang, papanya datang.
Seperti biasanya Rangga langsung menghampirinya dan mencium tangan papanya.
Akhirnya papanya ikut nimbrung 97 makan bersama Rangga.
”Maaf Pa, mama tadi nggak masak!” Kata Bu Hendra.

96
Menyegarkan
97
Berkumpul dalam satu siasi

133
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

”Aduh Ma, ini saja enaknya bukan main. Masakan kesukaan papa sejak
kecil!”
Dalam acara makan Bu Hendra menyampaikan kepada suaminya kalau Bu
Santi sakit dan sedang diopname di rumah sakit. Pak Hendra terkejut kalau istrinya
malah sudah mengetahuinya. Melalui paparan istrinya, Pak Hendra baru paham dan
memuji istrinya. Ketika selesai makan Bu Hendra menyampaikan kalau dirinya ingin
berbicara berdua dengan Pak Hendra. Pak Hendra heran, ada masalah apa sampai
istrinya terlihat agak serius.
Seusai salat dhuhur Pak Hendra menemui istrinya di kamarnya. Dia
memanggil istrinya yang sedang berbaring di ranjangnya.
”Ma .... katanya ingin ngomong ?”
”Iya Pa! Sini Pa duduk di ranjang mama!”
Pak Hendra melangkah perlahan menuju ranjang Bu Hendra. Tiba-tiba Bu
Hendra turun langsung sujud di kaki Pak Hendra.
”Pa... maafkan aku! Papa... selaku suamiku, kakak ipar, mertua, orang tua
bagi anak-anakku, dan sekaligus kuanggap orang tuaku sendiri, aku mohon maaf.
Sudah bertahun-tahun aku bergantung pada Papa, sampai aku lupa tak memikirkan
Papa! Sudah waktunya Pa! Mama ikhlas! Papa harus menentukan pilihan Papa!
Mama akan membantunya sepenuh hati,” papar Bu Hendra.
”Ada apa sih, Ma? Papa belum paham! Mama dan anak-anak sudah menjadi
kewajibanku, tak perlu dirisaukan!”
”Bukan itu, Pa! Papa harus memikirkan diri Papa! Rangga sudah cukup
dewasa. Semenjak dia dalam kandungan sampai SMA kelas X sekarang ini sudah
lebih dari cukup Papa mengurusinya. Mama pun juga nggak ada masalah.”
’Maksudnya apa Ma?”
”Pa, kasihan Bu Santi! Dia itu orang yang baik, walaupun mama hanya
ketemu dua kali. Dia sangat berharap kehadiran Papa di sisinya. Aku sangat
mendukung, Pa!” Kata Bu Hendra sambil memberikan selembar kertas goresan Bu
Santi.
Pak Hendra yang duduk di ranjang hanya bisa merenung saja. Kertas goresan
Bu Santi yang diberikan oleh istrinya hanya digenggamnya saja.
”Pa ... tolong dibaca tulisan Bu Santi itu! Kertas itu tadi kuambil saat Bu
Santi tak sadarkan diri!”
Pak Hendra perlahan-lahan membuka lembar kertas itu. Dia membacanya,
tidak lama dilipatnya kembali seperti semula. Dia diam saja tanpa menunjukkan
perubahan ekspresi apa-apa. Dia bangkit dari duduknya lalu pamit keluar.
”Pa ... tolong dijenguk Bu Santi! Di balik kertas itu ada alamat Bu Santi!”
Ketika Pak Hendra keluar Bu Hendra kembali berbaring di ranjang. Belum
sempat Bu Hendra merebahkan badannya Pak Hendra masuk lagi. Dia minta izin
untuk menjenguk Bu Santi.
”Ma, aku mau nengok Bu Santi!”
”Oh ya Pa, mudah-mudahan berhasil! Hati-hati, Pa!”
Pak Hendra berangkat ke rumah sakit. Di tengah perjalanan dia bingung
harus membawa apa buat Bu Santi. Sambil mengendarai sepedanya secara perlahan
dia baru ingat kalau Bu Santi itu paling demen 98 dengan jajanan martabak. Tapi dia
98
Suka

134
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

kecewa, dia harus membeli martabak di mana di siang bolong ini. Tiba-tiba dia
tersenyum, dia tahu kalau di Ramayana departemen store ada stand yang menjual
martabak selama Ramayana buka. Dia langsung balik haluan menuju Ramayana. Dia
memesan tiga buah.
Dia langsung menuju rumah sakit. Tiba di lantai dua Pak Hendra melihat
Andika sedang bermain mobil-mobilan di depan pintu. Dipanggilnya Andika. Ketika
Andika melihatnya, Pak Hendra memberi isyarat agar Andika tak bersuara. Saat
Andika mendekat diberikannya bungkusan yang berisi martabak Ke Andika.
”Ini berikan mama! Jangan bilang kalau dari Om!”
Andika langsung berlari masuk menemui mamanya. Dia memberikan
bungkusan itu. Ketika Bu Santi membukanya, Bu Santi terkejut dengan makanan
kesukaannya ada didepannya. Dia menanyai Andika, dari mana asal kue itu. Andika
tidak menjawab, dia ingat pesan dari Pak Hendra. Ketika Bu Santi memaksanya
Andika tampak kebingungan.
”Andi nggak boleh bohong! Bohong itu dosa, kayak setan! Ayo, Andi anak
yang baik, tolong beri tahu mama dari mana kue ini?”
”Jangan bilang ya, Ma?”
”Iya ... Mama Janji!”
”Om Hendra.”
”Mana Om Hendra?”
”Di depan Ma!”
Bu Santi duduk lalu berdiri mengambil botol cairan infus. Dia berjalan ke
depan pintu kamarnya. Ternyata Pak Hendra ditemui sedang duduk membaca koran.
Dia sengaja, tapi mendengar semua percakapan Bu Santi dengan Andika. Ketika Pak
Hendra menolehnya Bu Santi tersenyum. Pak Hendra menghampiri dan
menyalaminya.
Bu Santi mencium tangan Pak Hendra. Demikian juga Pak Hendra
membalasnya dengan memapahnya ke tempat tidur.
”Din... sakit apa?”
”Aku nggak sakit, Pak!”
”Lho ... nggak sakit kok diopname dan lagi diinfus segala!”
Bu Santi terdiam. Tiba-tiba matanya berkaca-kaca. Dia teringat kejadian
sepuluh hari yang lalu. Saat itu Pak Hendra mengambil sepotong martabak dan
disuapkan ke Bu Santi. Bu Santi menolehnya, dipandanginya Pak Hendra. Pak
Hendra membalasnya dengan senyuman. Akhirnya Bu Santi melahapnya suapan Pak
Hendra.
”Pak, aku terkejut! Kaget bukan main, sampai aku jatuh sakit seperti ini!
Tahunya aku Bapak masih sendiri, seperti yang sering Bapak katakan padaku.
Nyatanya Bapak punya keluarga!”
”Ya... benar Din, apa yang kau katakan! Aku punya keluarga, tapi aku masih
jejaka. Dan, ada sepenggal cerita yang belum kau ketahui tentang aku!”
”Apa itu, Pak?”
”Kapan-kapan saja! Kedatanganku ini atas paksaan istriku!”
”Jangan sebut-sebut istrimu di depanku! Aku cemburu!”
”Baik! Dia itu adikku yang sudah kuanggap istriku!”

135
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Bu Santi terperanjat mendengar apa yang disampaikan Pak Hendra. Dia


langsung duduk menanyakan ulang apa yang disampaikan Pak Hendra. Pak Hendra
tak menghiraukan malah dia berkata yang lain.
”Din .... mereka itu orang-orang yang baik, selalu memberi semangat padaku.
Mereka itu merestui kita!”
”Maksudnya kita apa Pak?”
”Yach .... aku dan Adin!”
Bu Santi terperangah. Dia heran, apa benar yang disampaikan Pak Hendra.
Dia menghubung-hubungkan dengan awal pertemuannya dengan istri Pak Hendra
dan kemarin sempat menjenguknya di rumah sakit. Akhirnya untuk sementara dia
mempercayai saja apa yang disampaikan Pak Hendra.
”Din .... apakah aku inilah si premanawa dalam kehidupanmu?”
Bu Santi tak menjawabnya. Mereka saling terdiam. Tiba-tiba Mas Wawan
datang telah mengubah suasana. Dia menghampiri Pak Hendra lalu menyalaminya.
”Sudah lama, Pak?”
”Yach.... lumayan!”
”Saya tadi pulang ngantar istri!”
Bu Santi meraih kertas yang tergeletak di atas meja obat dan diberikannya
pada Mas Wawan.
”Permisi Pak, saya mengambil obat dulu!”
”Oh ya, silakan!”
Bu Santi ditunggui Pak Hendra terlihat ceriah sekali. Senyuman demi
senyuman mengalir renyah dari bibirnya. Dia sepertinya orang yang segar bugar,
tidak seperti pertama kali masuk rumah sakit sampai sebelum kedatangan Pak
Hendra. Andika pun merasa heran, sampai menanyai mamanya berkali-kali. Ketika
Mas Wawan datang Pak Hendra minta izin pamit pulang, tapi Bu Santi
mencegahnya. Dia ingin ditungguinya lama-lama, tapi dengan berbagai alasan dan
dikuatkan oleh Mas Wawan, Bu Santi pun meluluskannya juga. Saat Pak Hendra
keluar dari ruangan, perubahan mimik Bu Santi berubah. Dia tampak lesu, murung,
dan tak berdaya.
Di luar ruangan Mas Wawan mengucapkan terima kasih atas kunjungan Pak
Hendra. Dia berharap kepada Pak Hendra di hari-hari selanjutnya bisa membantu
kesembuhan adiknya. Pak Hendra pun tersenyum sambil memberikan anggukan
pasti.
”Terima kasih, Pak!”

***

Dalam perjalanan pulang Pak Hendra mampir ke dunia buah. Dia membeli
anggur kesukaan istrinya. Saat sampai di rumah Bu Hendra langsung menjemputnya.
Dia memberondongnya dengan berbagai pertanyaan tentang keadaan Bu Santi, tapi
Pak Hendra tak menjawabnya. Dia malah memberikan sebungkus tas kresek 99sambil
menuntun sepedanya ke teras rumah. Dia lalu berjalan masuk menuju ruang tamu.
Saat Pak Hendra duduk membuka jaketnya, Bu Hendra sengaja duduk di
depannya. Dia menanti apa yang akan disampaikan Pak Hendra. Pak Hendra batuk-
99
Tas plastik

136
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

batuk kecil lalu mulai bercerita keadaan Bu Santi. Dia menceritakan semuanya,
mulai saat kedatangannya di rumah sakit sampai dia pamit pulang. Bu Hendra hanya
diam mendengarkan apa yang diceritakan Pak Hendra. Akhir cerita, Bu Hendra
mengomentari bahwa dia merasa prihatin melihat keadaan Bu Santi. Dia
berkeinginan menjenguk Bu Santi dan ingin omong-omong dengannya kepada
suaminya. Pak Hendra pun menyetujui usulan istrinya dan merencanakan besuk,
malam minggu, akan menjenguknya.
”Terima kasih, Pa! Besuk jam berapa?” Tanya Bu Hendra sambil meraih jaket
Pak Hendra.
”Besuk, selepas magrib saja Ma! Kita bisa leluasa menjenguknya!”
Keesokan harinya Bu Hendra mempersiapkan diri untuk menjenguk Bu Santi.
Dia menanyakan kepada suaminya, sebaiknya Bu Santi dibawakan apa, tapi Pak
Hendra hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
”Pa, apa dibawakan martabak saja? Katanya Bu Santi paling suka martabak!”
”Iya boleh!”
Sehabis salat magrib Pak Hendra bersama istrinya siap-siap menjenguk Bu
Santi. Ketika Rangga diajaknya dia menolaknya karena ada temannya yang mau
datang. Akhirnya Pak Hendra bersama istrinya saja berangkat ke rumah sakit.
Sebelum menuju rumah sakit mereka mencari jajanan martabak. Untung saja di
jalanan menuju rumah sakit ada penjual martabak, sehingga mereka tak usah repot-
repot mencarinya jauh-jauh.
Saat mereka memasuki lorong rumah sakit, Pak Hendra dari kejauhan melihat
Andika menuntun mamanya yang sedang berjalan di teras ruangan. Pak Hendra
langsung memberi tahu istrinya. Bu Hendra membenarkan apa yang disampaikan
suaminya. Dia langsung mempercepat jalannya sampai Pak Hendra tertinggal
beberapa langkah di belakangnya. Ketika hampir mendekati Bu Santi, Bu Hendra
menyapanya.
”Bu Santi, Assalamuallaikum! Mau ke mana?”
”Waallaikumsalam!” Jawab Bu Santi tak percaya apa yang telah dilihatnya.
Bu Santi sedikit terkejut melihat Bu Hendra dan baru menyadari kalau yang
ada di belakangnya beberapa langkah adalah Pak Hendra.
”Oh ... Ibu! Bapak! Mari masuk!”
Bu Hendra menyalami Bu Santi.
”Sudah sehat, Bu?”
”Alhamdulillah, sudah Bu!”
Bu Hendra lalu menuntunnya ke tempat tidur. Bu Santi yang sedikit lemas
menolak untuk dibaringkan. Dia minta duduk saja di ranjang. Sementara Pak Hendra
mengawasi saja di belakang mereka. Tiba-tiba dia menanyakan keberadaan Mas
Wawan.
”Mas Wawan ndak bisa jaga. Dia sakit, Pak! Diare! Mungkin masuk angin!”
”Lho, jadi siapa yang menjaga Ibu? Dan lagi siapa yang mengambilkan obat
bila dapat resep?”
”Andika, Pak! Dan untuk yang mengambilkan obat, Mas Wawan menitipkan
petugas Clining servise di ruang ini kebetulan tetangga Mas Wawan,” jawab Bu
Santi.

137
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Bu Hendra merasa kasihan melihat Bu Santi dan Andika. Dia menawarkan


diri ke Bu Santi untuk menjaganya, tapi Bu Santi menolaknya dengan alasan sangat
merepotkan.
”Tidak usah, Bu! Terima kasih!”
Bu Hendra bergeser mendekati Pak Hendra. Dia membisikinya agar Pak
Hendra mau menjaga Bu Santi. Dia menyampaikan bahwa ini kesempatan baik buat
Pak Hendra.
”Iya ... Ma, kalau Bu Santi mau kutunggui! Kalau aku sih mau-mau saja!”
”Pasti mau, Pa! Biar mama nanti yang atur semuanya!”
Bu Santi hanya menyaksikan mereka berdua. Dia tidak tahu apa yang mereka
bicarakan, hanya Pak Hendra yang sesekali menatapnya, tapi setelah dilihatnya Pak
Hendra mengalihkan pandangannya. Saat itu Pak Hendra maju mendekatinya, dia
menawarkan diri untuk menjaganya selama Mas Wawan tidak ada.
”Bu, malam ini aku akan menjaga Ibu!”
”Nggak usah Pak! Itu sangat merepotkan Bapak! Aku pun sudah sehat, hanya
agak lemas!”
Pak Hendra langsung mundur mendekati istrinya. Dia menatap pandangan
istrinya. Saat itu juga istri Pak Hendra membisikinya.
”Paksa dia, Pa! Bagaimana caranya Bu Santi mau! Kalau tetap nggak mau,
biar mama yang memaksanya. Nanti aja, Pa!”
Akhirnya Bu Hendra mendekati Bu Santi, dia menanyakan Andika walaupun
dia sebenarnya sudah tahu bahwa Andika lagi asyik dengan mainannya di luar. Tiba-
tiba Bu Hendra menyarankan kepada suaminya agar mengajak Andika untuk
dibelikan coklat atau permen kesukaannya.
”Aduh Bu ndak usah!” Timpal Bu Santi.
”Ayolah Pa, Andika di depan!”
Pak Hendra langsung ke depan. Dia tahu apa yang akan direncanakan
istrinya. Saat Bu Hendra hanya berdua dengan Bu Santi, Bu Hendra menegaskan
bahwa dia ingin membantu Bu Santi dan suaminya, Pak Hendra. Dia juga
menceritakan semuanya, bahwa kertas coretan Bu Santi tempo hari dialah yang
sengaja mengambilnya. Dan goresan itu sudah diberikan pada suaminya. Dia
berharap agar Bu Santi sedikit agresif dalam membangun rasa pada Pak Hendra.
Bu Santi hanya diam mendengarkan Bu Hendra bercerita panjang lebar. Dia
tidak percaya apa yang telah didengarnya. Tiba-tiba dia memeluk Bu Hendra. Dia
menangis. Dia minta maaf tentang dirinya yang selama ini telah merampas hak orang
lain, rasa cemburu, dan rasa sakit hati yang tak beralasan, terutama pada Bu Hendra.
”Maafkan saya, Bu! Saya yang tak tahu diri hanyalah tahu Pak Hendra masih
bujang seperti yang sering beliau katakan padaku. Untuk itu mulai detik ini saya
akan mundur!”
”Jangan, Bu! Saya mohon bantuan Bu Santi! Ini demi Pak Hendra! Demi Ibu!
Beliau itu kuanggap orang tuaku dan orang tua bagi anak-anakku! Saya sangat
menghormatinya. Dan lagi, secara hukum manapun beliau itu tak ada ikatan apa-apa
denganku, hanya sebatas rasa dan amanah yang pernah dijatuhkan oleh mendiang
suamiku, adik kandung beliau! Dia sudah menjalankan dengan baik. Walaupun saya
serumah dan sekamar selama lima belas tahun tak pernah seranjang. Beliau sangat
menjaga amanah. Sudah waktunya saya memperhatikan beliau!” Papar Bu Hendra.

138
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Bu Santi tak bisa berkata-kata. Dia hanya menangis sambil merapatkan


tubuhnya ke pelukan Bu Hendra. Dia berusaha menggugurkan keinginannya karena
orang yang dulunya sangat dibencinya ternyata tak seperti yang ia duga, tapi Bu
Hendra menolaknya dan tetap saja mengharap ketulusan dan keputusan Bu Santi
untuk meraih hati Pak Hendra. Bu Hendra hanya meminta bahwa persaudaraan agar
tetap dijalin bersama, karena rasa yang telah dibangunnya bertahun-tahun tak mudah
dihilangkan begitu saja. Terutama bagi anak-anaknya yang pernah hidup serumah
dengan kemanjaan yang utuh. Untuk itu Bu Hendra berpesan agar Bu Santi nantinya
memberi kebebasan bagi Pak Hendra ataupun anak-anaknya untuk bersama.
”Bu... aku tak sanggup! Aku pembalak, perampas hak yang seharusnya tak
kumiliki!”
”Tidak Bu! Aku sangat berharap pada Bu Santi, hanya Ibulah yang mampu
memikat hatinya. Beliau selalu bercerita apapun kepadaku tentang Ibu!” Ungkap Bu
Hendra.
Bu Santi melepaskan pelukan Bu Hendra, setelah mendengar suara Andika di
luar ruangan. Saat Andika dan Pak Hendra masuk, mata Bu Santi masih terlihat
berkaca-kaca.
”Ada apa, Bu?” Tanya Pak Hendra.
”Ndak ada apa-apa, Pa! Bu Santi merasa pusing mendadak, Pa!” Tandas Bu
Hendra.
”Tidur aja, Bu! Mungkin Ibu terlalu lama duduk!”
Bu Santi menuruti saja saran Pak Hendra. Saat itu juga Bu Hendra memberi
tahu Pak Hendra untuk pamit pulang dan mengharap agar Pak Hendra menunggui Bu
Santi.
”Pa... Mama biar pulang sendiri saja naik taksi! Papa di sini saja nunggui Bu
Santi. Bu Santi butuh pengawasan!”
Pak Hendra lalu memandangi Bu Santi. Dia ingin kejelasan kata-kata yag
keluar dari mulut Bu Santi, tapi Bu Santi hanya diam saja. Buru-buru Bu Hendra
menyalami Bu Santi. Saat Pak Hendra mendekati Bu Santi, Bu Hendra meraih
tangan suaminya dan ditangkupkan ke atas tangan Bu Santi.
”Mama pulang, Pa! Bu ... terima kasih, lekas sembuh ya?”
Bu Hendra langsung berjalan keluar ruangan. Sementara Pak Hendra dan Bu
Santi tercengang dibuatnya, setelah sadar Bu Santi menyarankan kepada Pak Hendra
untuk mengantar Bu Hendra pulang.
”Pak .... tolong ibu diantar pulang dulu, kalau Bapak malam ini mau nunggui
aku. Aku mohon Pak! Antarkan Ibu, baru Bapak ke sini lagi!” Pinta Bu Santi.
Pak Hendra langsung keluar menyusul istrinya. Dia sedikit berlari mengejar
istrinya sampai ke halaman rumah sakit. Ketika dilihatnya Pak Hendra tak
menjumpai istrinya. Dia terus berjalan ke depan sampai di jalan raya. Di situlah Pak
Hendra baru bertemu istrinya yang lagi duduk di warung nasi goreng, yang sedang
membetulkan sandalnya.
”Ma.... kenapa?”
”Sandalku haknya lepas, Pa!”
”Ayo Ma, kuantar pulang!”
”Bu Santi, Pa?”
”Ndak apa-apa, dia yang malah nyuruh papa!”

139
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Pak Hendra berjalan balik mengambil mobilnya yang ada di parkiran rumah
sakit. Dia lalu mengantar istrinya pulang. Di tengah perjalanan dia menyampaikan
keluhannya kepada istrinya, tapi istrinya malah berharap agar suaminya mau
menunggui Bu Santi.
”Pa... ini kesempatan! Bu Santi perlu bantuan! Percayalah niat Papa yang
tulus pastilah akan mendapatkan barokah-Nya!”
”Iya .... Ma! Aku tulus, tapi apakah tak berakibat vatal bagi kehidupan kita
dan Bu Santi?”
”Tidak Pa! Justru akan mendapatkan nikmat dan hidayahnya dari Yang Esa!
Pa ..... tolonglah dibuka sedikit rasa, rasa-rasa asih, rasa kamulyaning urip kang
dumunung ana tentreming ati!”100
Pak Hendra menyetujui anjuran istrinya yang sedikit memaksanya. Setelah
mengantarkan istrinya pulang ke rumah, Pak Hendra kembali ke rumah sakit. Dia
diingatkan istrinya agar membawa jaket. Saat Bu Hendra memberikan jaket pada Pak
Hendra, dia berpesan:
”Pa ... jangan disia-siakan! Tanamkan rasa-rasa penguat buat hati Bu Santi
yang mulai bersemi!”
”Mama .... bisa aja! Udah Ma, papa berangkat! Assalamu’alaikum!”
”Waallaikumsalam! Papa harus bisa!”
Pak Hendra tersenyum mendengar kata-kata istrinya. Dia akhirnya berangkat
ke rumah sakit. Tiba-tiba di tengah perjalanan ban mobil Pak Hendra kempes. Dia
bingung karena tak membawa ban serep dan lagi dia tengok kanan-kiri jalan tak
dijumpai tukang tambal ban. Dia sempat menyumpahi dirinya sendiri setelah berkali
call Bu Santi tak diangkat-angkat juga.
”Dasar sial!”
Dia merasa jengkel dan marah pada dirinya sendiri. Akhirnya mobilnya
ditinggal begitu saja di pinggir jalan, lalu dia naik becak ke rumah sakit.

***

Saat Bu Santi berulang tahun Pak Hendra mengajaknya makan ke depot ikan
bakar spesial. Dia ingin mentraktir Bu Santi. Dia mau memberikan hadiah khusus,
yang menurutnya berupa kejutan buat Bu Santi. Dia pikir Bu Santi tak tahu kalau
hari ini hari ulang tahunnya. Saat mereka menikmati makanannya, Pak Hendra
menawari apa saja yang diinginkan oleh Bu Santi, tapi dia hanya menggeleng-
gelengkan kepalanya.
Ketika itu, Pak Hendra minta izin untuk mengambil sesuatu di mobilnya.
Tidak lama Pak Hendra kembali dengan menenteng sebuah tas kresek. Dia lalu
memberikan bungkusan itu pada Bu Santi.
Bu Santi tampak terheran-heran. Tapi setelah Pak Hendra sedikit memberikan
gambaran, Bu Santi menuruti saja untuk membuka bungkusan itu. Bu Santi pun
mulai mengeluarkan barang yang ada di dalamnya. Sebuah kado mungil telah
dipegangnya. Setelah Pak Hendra menyuruhnya untuk membukanya yang kedua
kalinya, Bu Santi perlahan-lahan membukanya. Sebuah cincin bermata satu telah
diambilnya.
100
Kemuliaan hidup berada dalam ketentraman hati

140
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

”Pak, untuk apa ini?”


”Ya ... hadiah dariku buat Ibu!” Jawab Pak Hendra bersemangat dengan
harapan Bu Santi senang di hari ulang tahunnya.
Pak Hendra mulai menceritakan bahwa dirinya ingin memberi hadiah spesial
buat teman yang selama ini sangat dirindukan. Senyuman, gurauan, dan terkadang
godaan muncul begitu saja dari bibirnya. Tiba-tiba terhenti seketika saat Bu Santi
berkata pelan sambil menimang-nimang cincin pemberian Pak Hendra.
”Pak... bukan ini yang saya minta! Berilah aku arti! Berilah aku status dalam
kehidupanku!”
Pak Hendra terdiam. Dia tak mau mengomentari kata-kata Bu Santi. Dia
paham maksud yang disampaikan Bu Santi, tapi dia pura-pura tak mengerti. Terpaksa
Bu Santi memberi kupasan yang lebih jelas dengan maksud yang hampir sama.
”Pak .... tahukah arti sebuah kedekatan? Setitik harap butuh pengakuan,
sepenggal langkah butuh terminal, dan tanya itu mungkinkah tak berjawab?” Papar
Bu Santi.
Pak Hendra tetap saja membisu. Dia hanya membolak-balik nasinya tanpa
harus melahapnya. Kebingungan Pak Hendra terbaca oleh Bu Santi, sampai akhirnya
Bu Santi ikut-ikutan membisu.
Cukup lama, suasana benar-benar dalam keheningan. Tiba-tiba Bu Santi
bersuara parau tapi jelas terdengar di telinga Pak Hendra.
”Pak .... berilah aku arti! Ubahlah statusku pada nikahmu, niscaya suara-suara
sumbang akan gugur karenanya!”
Pak Hendra langsung mendongak menatap tak percaya wajah Bu Santi. Dia
tidak menjawabnya, malah Bu Santi meneruskan mengungkapkan isi hatinya. Bu
Santi menerangkan keberaniaannya meluapkan isi hatinya itu karena dorongan
perasaannya yang begitu kuat dan dukungan dari Bu Hendra. Dia juga menegaskan
langkah final arti sebuah kedekatan rasa, apa yang meski ditunggu?
Tiba-tiba Pak Hendra berusaha mengalihkan fokus pembicaraan.
”Bu .... ayo sambil dimakan!”
”Iya...Pak! Tolong dijawab pertanyaan saya! Jadikan aku Ny. Hendra yang
sebenarnya!”
Pak Hendra semakin tak tenang. Dia berkali-kali bergeser dari tempat
duduknya.
”Baiklah Pak! Kalau Bapak tak mau menjawab pertanyaan saya, lebih baik
saya pulang saja. Terima kasih!” Ungkap Bu Santi sambil berdiri.
”Iya .... ya ... Bu! Silakan duduk dulu!”
Pak Hendra berusaha meredam perasaan Bu Santi yang semakin nekat. Dia
berkali-kali menghirup udara dalam-dalam dan membuangnya cepat-cepat dari
mulutnya.
”Bu .... aku sudah tua! Hidupku hanya untuk membesarkan tiga anak-anakku,
yach.... keponakanku sendiri, dan menjaga istri dari almarhum adik kandungku.
Oooh... kalau itu benar, pantaskah aku mendampingi Ibu yang seharusnya menjadi
putriku!” Keluh Pak Hendra.
”Pantas Pak! Bapak tidak terlalu tua buat aku. Dan lagi, perasaan suka tak
bisa dibohongi, seperti yang sering Bapak luapkan dalam diksi puitis Bapak, bila

141
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Yang Esa telah menganugerahkan gelora, maka hamba-Nya hanya sanggup


memapahnya.”
”Yach.... benar! Tiada lagi alasan aku menolaknya, tapi aku butuh waktu
untuk itu. Ada sesuatu yang belum Ibu ketahui, tentangku. Masalahku, Bu!”
”Masalah apalagi, Pak?”
”Yach .... tentangku semua!”
Pak Hendra tidak melanjutkan kata-katanya. Dia buru-buru menyudahi
makanannya, lalu berdiri berjalan ke arah kasir. Saat kembali ke Bu Santi, dia seperti
tergopoh-gopoh.
”Bu, ayo kita pulang sekarang!”
”Pak, pertanyaanku belum dijawab!”
”Gampang! Tunggu paling lambat seminggu lagi!”
Bu Santi pun meluluskan saja apa yang disampaikan Pak Hendra. Dia
akhirnya berjalan mengikuti Pak Hendra. Dalam perjalanan pulang Pak Hendra tak
berkata-kata apa-apa. Dia lebih banyak diam, walaupun Bu Santi berusaha untuk
memancing-mancingnya agar Pak Hendra mau berbicara.
***
Semenjak dia ditraktir makan di hari ulang tahunnya, Bu Santi tak pernah
bertemu Pak Hendra. Sudah hampir dua minggu kabar dari Pak Hendra tak pernah
ada, walaupun hanya sms. Lebih-lebih di sekolah yang biasanya sering ngobrol di
ruang perpustakaan juga tidak dijumpainya. Bu Santi merasa heran, ketika
ditanyakan kepada teman-teman guru Pak Hendra ada, tapi entah ke mana. Sampai
Bu Santi mengitari separuh areal sekolah juga tak ditemukannya. Akhirnya Bu Santi
putus asa untuk melanjutkan percariannya.
Di hari Minggu Bu Santi mengajak Andika untuk menjenguk Pak Hendra di
rumahnya. Saat Bu Santi memasuki halaman rumahnya, dijumpainya Pak Hendra
dengan Rangga sudah berada di atas kendaraannya. Mereka sedang bercakap-cakap
dengan istrinya. Saat Bu Santi menyalaminya Pak Hendra malahPak Hendra mohon
izin berangkat memancing ke kolam pemancingan.
Bu Santi heran, padahal kedatangannya ingin berbicara dengan Pak Hendra,
malah ditinggal keluar oleh Pak Hendra. Bu Santi diharap untuk bertemu dengan
istrinya saja. Bu Santi sangat kecewa, walaupun tidak ditunjukkan dari raut
mukanya. Dia akhirnya dengan keterpaksaannya bercerita dengan Bu Hendra.
Sudah hampir sore hari Bu Santi berada di rumah Pak Hendra. Dia makan,
salat, dan beristirahat bersama di rumah Pak Hendra. Bu Santi sudah dianggapnya
sebagai keluarga sendiri. Persaudaraan mereka semakin hari semakin akrab saja. Saat
Bu Santi bercerita semakin dalam tentang Pak Hendra, Bu Hendra sedikit terkejut.
Apa yang disampaikan Pak Hendra tak sesuai dengan yang disampaikan Bu Santi.
Pak Hendra akhir-akhir ini sering terlambat pulang ke rumah dan setiap
malam selalu keluar, dengan alasan menemui Bu Santi. Anehnya hp-nya tak pernah
dibawanya. Setelah dicross-cekckan dengan Bu Santi, Bu Hendra baru tahu kalau
suaminya tak pernah ke Bu Santi. Dia dan Bu Santi tanda tanya, ada apa dengan Pak
Hendra. Padahal sebelumnya dia tak pernah seperti ini.
Bu Santi menunggu kedatangan Pak Hendra, tapi ditungguinya sampai sore
hari tak datang-datang juga. Akhirnya Bu Santi pamit pulang.

142
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Bu Hendra mencegahnya agar Bu Santi tetap di rumahnya sampai bertemu


Pak Hendra.
”Bu.... nggak usah pulang dulu! Di sini saja! Aku ada baju, mungkin cocok
buat Ibu!”
”Aduh Bu .... nggak enak saja!”
”Nggak apa-apa! Ibu masih nggak percaya dengan saya? Kita ini calon
saudara, Bu! Terserah apa yang Ibu katakan!”
”Terima kasih, Bu! Bukan itu maksud saya! Saya sangat senang Bu, hanya
nggak enak saja! Terlalu merepotkan Ibu!”
”Ndak Bu! Jadi mau kan Ibu? Ini handuknya, baju buat Ibu dan Andika!”
Bu Santi mengiyakan saran dari Bu Hendra. Karena masih sore Bu Hendra
mengajak Bu Santi untuk istirahat dulu di kamar Bu Hendra, sementara Andika
nonton tivi. Di kamar itulah Bu Hendra bercerita tentang keanehan Pak Hendra, tapi
menurutnya Pak Hendra orang yang sangat bertanggung jawab buat keluarga.
”Bu .... ini ranjang Pak Hendra!” Kata Bu Hendra.
Bu Santi tidak mengomentari ucapan Bu Hendra. Dia hanya memandangi
ranjang Pak Hendra, sementara pikirannya melayang ke mana-mana.
Saat Bu Hendra memanggilnya, Bu Santi baru tersadar. Dia disuruh
beristirahat di ranjangnya.
Bu .... ayo kita istirahat di sini saja, di ranjangku! Kita sebentar lagi kan jadi
saudara!” Ucap Bu Hendra.
Mereka mulai asyik berbincang-bincang, kadangkala mereka saling
tersenyum dalam berbagi cerita. Tiba-tiba mereka terhenti ketika pintu kamarnya
terbuka. Kepala Pak Hendra melongok ke dalam kamar dibarengi Bu Santi dan Bu
Hendra mengangkat kepalanya dari tidurnya. Mereka saling bertatap pandang, ketika
itu juga Pak Hendra menarik kepalanya dan menutup kembali pintu kamarnya.
Bu Hendra langsung bangun menyusul suaminya. Tidak begitu lama Bu
Hendra kembali ke Bu Santi, dia mengajak Bu Santi untuk memasak ikan hasil
tangkapan Pak Hendra. Mereka lalu keluar menuju dapur. Di situlah Bu Santi
bertemu Pak Hendra yang baru keluar dari kamar mandi.
”Sore, Pak!” Sapa Bu Santi.
”Sore, Bu! Enak tidurnya, Bu?”
”Yach... begitulah Pak, lagi cerita-cerita dengan Ibu!” Jawab Bu Santi.
Akhirnya Bu Santi menyusul ke Bu Hendra di belakang rumah, yang lagi
membersihkan ikan. Bu Santi ikut nimbrung ke Bu Hendra yang lagi membersihkan
ikan.
”Bu... biar saya saja, nanti Ibu yang menggorengnya!”
”Oh ... ya Bu! Tapi saya bantu biar cepat selesai.”
Setelah semuanya sudah beres mereka makan bersama dengan ikan goreng,
sambel tomat, dan terong balado. Sementara Andika dan Rangga lebih suka makan di
depan tivi. Saat itulah kesempatan Bu Santi menanyakan keadaan Pak Hendra
tentang kelanjutan hubungannya. Bu Hendra juga ikut-ikutan memberikan penegasan
kepada suaminya, bahwa apa yang ditanyakan Bu Santi benar.
Pak Hendra tak bisa mengelak. Dia hanya mengiyakan saja apa yang dimaui
Bu Santi yang secara jelas mendapat dukungan dari istrinya.

143
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

”Baiklah Bu, saya sangat setuju apa yang Ibu katakan, tapi harus mendapat
persetujuan dari mamanya anak-anak!”
”Saya Pa, sangat merestui! Bahkan mendorong Papa agar cepat-cepat
mewujudkannya!”
Pak Hendra kebingungan, anggapannya istrinya sedikit memberikan
hambatan untuk menunda apa yang disampaikan Bu Santi, malah istrinya
mendukung ide Bu Santi. Akhirnya Pak Hendra minta waktu sampai hari Selasa,
sewaktu MGMP, dia akan menjawab apa yang dimaui Bu Santi.

***

Hari Selasa yang ditunggu-tunggu Bu Santi telah tiba. Dia mengharap


jawaban Pak Hendra tentang kepastian hubungan mereka. Nyatanya Pak Hendra tak
datang di sekolah. Bu Santi terpaksa berangkat sendirian ke tempat MGMP.
Anggapannya Pak Hendra dari rumah langsung berangkat ke tempat MGMP,
nyatanya di tempat MGMP tak dijumpai Pak Hendra.
Bu Santi merasa kesal. Dia merasa dibohongi dan dikecewakan Pak Hendra,
tapi dalam hatinya sedikit menghibur diri untuk menyikapi bahwa Pak Hendra tidak
seperti yang ia duga. Dari anggapannya itulah dia merasa lega bahwa Pak Hendra
bukan tipe lelaki yang tak bertanggung jawab. Akhirnya Bu Santi mencari tahu
dengan menelepon Bu Hendra.
”Assalamualaikum! Ini saya Bu Santi, Bu!”
”Waalaikumsalam Wr.Wb! Ada apa Bu?”
”Pak Hendra tidak ikut MGMP, Bu?”
”Lho ikut Bu, pagi-pagi sekali sudah berangkat! Katanya ke sekolah dulu,
lalu ke tempat MGMP!”
”Beliaunya tidak ada, Bu! Tadi saya ke sekolah dan sekarang ini saya di
tempat MGMP, Pak Hendra tak ada juga.”
”Oh itu Bu ditelepon aja, saya juga akan meneponnya.”
”Inggih Bu, sembah nuwun. Wassalamualaikum!”
”Waalaikumsalam!”
Bu Santi meng-call Pak Hendra beberapa kali tapi hp Pak Hendra tak
diaktifkan. Dia mulai kesal, bahwa Pak Hendra telah berbohong dan mengkhianati
janjinya sendiri. Dia melaporkan ke Bu Hendra, tapi Bu Hendra memberi jawaban
yang sama dengan apa yang telah dilakukan Bu Santi. Sebelum menutup teleponnya
Bu Santi diberi tahu Bu Hendra, kemungkinan besar Pak Hendra ke pasar burung
karena malamnya Bu Hendra sayup-sayup mendengar pembicaraan Pak Hendra
bersama Rangga, ingin membeli burung.
Bu Santi langsung minta izin pada teman-teman MGMP untuk pulang lebih
awal. Dia langsung menuju pasar burung, bila di sana dijumpai Pak Hendra. Di pasar
burung Bu Santi mengitari setiap stand. Dia tidak menjumpai keberadaan Pak
Hendra. Sekali lagi Bu Santi berputar mengitari lagi setiap stand dan memperhatikan
sepeda-sepeda yang diparkir di depan stand. Nyatanya nihil, tak dijumpainya
keberadaan Pak Hendra.
Bu Santi dengan rasa kesal keluar dari pasang burung. Dia ingin pulang, tapi
secara tidak sengaja di pintu gerbang pasar burung pandangannya tertuju pada

144
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

seseorang yang berjaket kulit warna hitam sedang menenteng kurungan101.


Ditatapnya tajam, ternyata benar orang itu adalah Pak Hendra. Dia langsung
menghampirinya dan menyapanya.
”Pak Hendra?!”
”Lho ... Bu Santi! Dari mana?”
”Mencari Bapak! Katanya Bapak mau ngomong sekarang!”
”Oh... ya .... iya!” Jawab Pak Hendra agak gugup.
Pak Hendra mengajak Bu Santi ke depot ikan bakar. Dia ingin bercerita
banyak tentang janjinya, dirinya, dan sesuatu yang dipendamnya selama ini.
Di depot ikan bakar Pak Hendra memesan dua porsi gurami goreng dan dua
es jeruk. Bu Santi yang duduk di depan Pak Hendra menyetujui saja apa yang
dipesan Pak Hendra.
”Bu.... maafkan aku! Aku tak bermaksud lari dari kenyataan, karena
keadaanlah yang memaksaku berlari-lari terus dalam angan. Aku benci diriku,
mengapa aku diberi kehidupan!”
”Apa maksudnya semua itu, Pak?” Tanya Bu Santi heran.
”Yach... aku sangat mencintai Ibu! Menyayangi Ibu sepenuh hati! Tapi aku....
aku Bu.... bukanlah orang yang sempurna, seperti yang sering kuceritakan dalam
kupasan diri Ibu, bahwa si premanawa itu bukanlah aku!”
”Apa sih, Pak? Aku tak pernah pilih-pilih. Apakah jodohku si premanawa itu
orang yang sempurna atau tidak, kalau aku sudah terlanjur mencintainya akan
kuterima apa adanya sebagai suamiku, seperti aku mencintai Bapak setulus hati.”
”Tidak bisa, Bu! Tidak bisa.... tidak bisa! Aku benci.... benci diriku sendiri!”
Ucap Pak Hendra.
Mereka tiba-tiba terhenti karena makanan yang dipesannya sudah datang. Pak
Hendra terdiam lalu menunduk. Dia terlihat matanya mulai berkaca-kaca. Sementara
Bu Santi tak mengerti apa yang dikeluhkan Pak Hendra.
Pak Hendra mempersilakan Bu Santi untuk menyantap makanannya dulu,
sementara Pak Hendra menenangkan pikirannya.
Saat mereka mulai menikmati ikan gurami goreng Bu Santi membuka
pembicaraan.
”Pak ... aku tidak memasalahkan Bapak sempurna atau tidak, hanya beri aku
arti! Nikahi aku! Niscaya Bapak sudah menjunjung derajadku sebagai ibu rumah
tangga yang sempurna!” Pinta Bu Santi.
”Iya.... Ibu, aku paham! Itulah inginku! Aku ingin menikahi Ibu, tapi aku
nggak bisa!”
Bu Santi terkejut. Jawaban Pak Hendra yang diprediksikan Bu Santi benar-
benar meleset. Dia ingin tahu alasan Pak Hendra menolaknya.
”Terus apa, apalagi Pak? Bapak menolaknya tanpa alasan yang jelas!”
”Tentangku, Ibu! Aku bukanlah orang yang sempurna!”
”Pak, aku tidak pernah memasalahkan Bapak sempurna atau tidak, hanya beri
aku arti atas nikah Bapak padaku!”
”Tidak bisa, Bu! Tidak bisa! Aku bukanlah lelaki yang seutuhnya!”

101
Tempat memelihara burung/unggas

145
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Bu Santi menegakkan posisi duduknya. Dia tidak paham apa yang dikatakan
Pak Hendra. Dia mengejar terus paparan Pak Hendra yang dirasakan sulit
diterjemahkannya.
”Pak... aku hanya ingin berilah aku arti! Itu saja! Pendek kata , nikahhi aku!”
”Tidak bisa! Aku ini lelaki tak sempurna! Aku ini .....,” ucap Pak Hendra tak
meneruskan kata-katanya.
”Kenapa tidak bisa, Pak? Semua tidak ada masalah, bahkan Bu Hendra
merestui dan mendorong aku!”
”Bukan itu, Bu! Tapi aku!”
”Iya, kenapa Bapak?”
”Aku ini lelaki tak sempurna, Bu!”
”Sudah saya katakan berkali-kali, aku tidak memasalahkan Bapak sempurna
atau tidak yang jelas Bapak mau nikahi aku!”
”Tetap tidak bisa, Bu! Pasti Ibu nantinya kecewa!”
Bu Santi semakin kesal dengan alasan-alasan Pak Hendra yang tak masuk
akal. Dia semakin tegang mengharap kesediaan Pak Hendra mau menikahinya.
Dengan kata akhir Bu Santi memaksa Pak Hendra harus menikahinya.
”Sudah Pak, kuputuskan nikahi aku secepatnya!”
”Cepat atau lambat, aku tetap nggak bisa, Bu! Aku ini lelaki tak sempurna!
Aku ......”
”Ada apa dengan Bapak?”
”Aku ini ....homo!”
Bu Santi terkejut bukan kepalang, hatinya seperti tersambar petir hingga
sendok yang dipegangnya lepas dari genggamannya.
Situasi berubah seketika, Pak Hendra hanya bisa menunduk saja. Dia
meremas-remas rambutnya, mencengkeramnya kuat-kuat dengan kedua tangannya.
Dia merasa malu, takut, dan jengkel dengan keadaan dirinya. Ia ingin menjadi lelaki
yang normal, walaupun usaha untuk mencintai seorang lawan jenis sudah ia lakukan,
tapi apa yang ia lakukan hanyalah semu. Perasaan cinta yang tidak pernah
melahirkan gelora dan rasa.
”Maafkan saya, Bu! Itulah masalahku yang sebenarnya. Hanya Ibu yang tahu,
yang lain tidak, termasuk istri dan anak-anak momonganku! Semuanya tidak tahu!
Aku mohon jangan beri tahu mereka. Mereka adalah orang-orang yang baik!”
Ungkap Pak Hendra lesu.
Bu Santi mendengar pengakuan Pak Hendra yang tulus merasa terenyuh, tapi
setelah melihat keinginannya yang gagal tak bisa menerima kenyataan itu. Dia ingin
marah, tapi pada siapa ia tumpahkan. Memang keadaanlah yang menggugurkan
segala impiannya. Dia sadar bahwa manusia berhak merencanakan, tapi Tuhanlah
yang menentukan segalanya.
”Pak.... ayo kita pulang, sudah siang!”
”Iya Bu, maafkan saya!”
Bu Santi setelah berpamitan pada Pak Hendra langsung pulang begitu saja
tanpa menunggu Pak Hendra. Dia terpukul dengan pengakuan Pak Hendra. Sesampai
di rumah, Bu Santi merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Dia menyesali nasibnya
yang benar-benar penuh kegelapan. Sampai sore hari dia tetap saja berbaring

146
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

meratapi nasibnya. Tanpa kata-kata dia terus memutar kehidupan masa lalunya
dengan tetesan air mata yang mengiringi setiap langkahnya.
Bu Santi menjerit dalam hati. Dia sakit, tapi dia menyadari semua itu sudah
suratan dari Yang Esa. Hamba-hamba-Nya hanyalah sebuah tokoh dalam cerita. Dia
menyadari atas dirinya yang mungkin sudah ditakdirkan seperti itu. Walaupun dia
sudah berusaha dengan segala cara dalam mewujudkan cinta sempurnanya, nyatanya
gagal terus. Dia tahu, memang Yang Esa telah berkehendak lain. Untuk itu, ketika dia
membasuh muka di air pancuran padusan, dia berusaha menangkap titik-titik air dan
percikan buih-buih yang dibasuhkan ke mukanya, seraya berucap:

“dengan titik-titik air


kubasuh luka di muka
dengan seribu jejak kaki di gurun
telah kulukis derita batin
sudahlah ….
cukup sudah
pengembaraan di ujung balak
hanya pada-Mu, Esa
kuteguhkan restu
dalam mengubur hati
sampai di peredupan mata”

Seusai mengambil air suci Bu Santi menggelar sajadah. Dia bersujud pada
Yang Esa bahwa keputusan yang diambilnya mudah-mudahan mendapat ridha-Nya.
Derai air mata Bu Santi tak habis-habisnya menumpa di atas sajadah. Dia lalu
duduk di atas kedua kakinya. Diusapnya sisa-sisa air matanya yang masih membasahi
kedua pelupuk matanya. Sementara dia memandangi apa saja yang ada di dalam
kamarnya. Ternyata dia terpaku pada buku diarynya yang tergeletak di atas meja
belajar, samping tempat tidur. Diraihnya buku tersebut lalu dibentangkan di atas
sajadah.
Dia mulai merenung, merenungi apa yang ingin ditulisnya.
“Banyak yang ingin kutulis saat kuucap sumpah titah langkahku, untuk-Mu
Esa, untukku, dan untuk orang-orang terkasih,” ucap Bu Santi lirih.
Saat itu juga Bu Santi mulai menggoreskan penanya ke buku diarynya.

“untuk-Mu Esa
saat kupejamkan mata
mengetuk di pintu-Mu
ku tak lagi berpaling langkah
pada teguhku
menerima apa yang Kau mau.
pekikan sumpah meraja
gugurkan segala asa
pada detik sampai kututup mata
hanya pintaku pada-Mu, Esa
tetapkan rasa
pada langkah yang kutempuh

147
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

untukku!
biarlah kicau burung
mencibir di setiap reranting
takkan lagi goyahkan dedahan
walau juntaian dedaun di hati
menawar segenggam embun
menjemput selaksa gelora
percuma?!
sumpah telah kupapah
hanya doa-doamu yang kunanti
yang pernah terdampar
di pelataran asmara purba.
tiada lagi kudengar
dendang rindu kicau burung
memburu nafas
Amien!

Bu Santi masih duduk bersila di atas sajadah. Dia masih ingin berlama-lama
mengadu pada Yang Esa. Dia menyadari atas apa yang sudah ditakdirkan pada
dirinya, bahwa apa yang telah dilaluinya ini sudah merupakan garis dari-Nya. Sebuah
usaha dan ikhtiar telah ia lalui. Dia percaya bahwa keinginan hamba-Nya itu hanyalah
sebatas impian, walaupun dia telah mengejarnya sampai ke ujung langit atau sesuatu
itu sudah ada di depan mata kalau Tuhan tak mengizinkan maka apa yang diharapkan
itu hanyalah sebatas harapan.
“Yaa Allah… cukup sudah ujian buat hamba-Mu ini. Segala usaha telah
kubentangkan di antara selaksa keinginan, tapi Kau tak pernah merestuinya.
Walaupun telah kubangun sembilan istana impian nyatanya roboh jua. Hanya pada-
Mu aku meminta berilah setetes embun pada senja di gurun ini, karena dari ridha-Mu
aku tetap berpasrah diri dalam menapaki sisa sepenggal senjaku dengan setitik
kerinduan. Amiiin!” Ucap lirih Bu Santi

Selesai

Sinopsis :
SEPOHON KAYU DI TENGAN GURUN

148
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Novel Sepohon Kayu Di Tengah Gurun menceritakan kisah cinta seorang anak
manusia yang penuh dengan lika-likunya. Cerita diawali dengan penggambaran
kehidupan tokoh sentral Bu Santi, seorang guru bahasa Indonesia yang mengajar di
sebuah SMK swasta. Dia menjalin hubungan cinta kasih dengan Pak Nardi, putra
kepala sekolahnya sekaligus pemilik yayasan pendidikan tersebut. Tapi apa, cintanya
yang masih terbilang seumur jagung tiba-tiba terpenggal secara paksa karena ibu dari
Pak Nardi tak menyetujui hubungan putranya dengan Bu Santi setelah ibunya
mengetahui latar belakang keluarga Bu Santi. Bahkan yang lebih ekstrim ibu Pak
Nardi, pemilik yayasan, ingin memecat Bu Santi dengan segala cara yang tidak etis
dan tidak rasional. Kejadian inilah yang membuat diri Bu Santi jatuh dalam
keterpurukan. Dia merasa tak betah lagi mengajar di sekolah tersebut. Dia ingin
keluar, untung saja teman-teman Bu Santi bahkan kepala sekolahnya membujuknya
agar tetap membantu di sekolah, karena sekolah tidak semudah itu mengeluarkan
guru atau karyawan.
Kisah perjalanan cinta Bu Santi selanjutnya seperti yang sebelum-sebelumnya.
Cintanya selalu kandas dan berantakan sampai dia menemukan seseorang yang bisa
dianggap sebagai orang tua, sahabat karib yang sewaktu-waktu bisa diajak curhat-an
untuk memecahkan masalah pribadinya. Benar juga dia telah menemukan orang yang
tepat, yaitu Pak Hendra. Dia itu seniorita, kebapakan, kalem, dan berkepribadian
yang menyenangkan. Nyatanya Bu Santi secara perlahan terseret juga perasaanya
yang paling dalam untuk membalas kebaikannya. Awalnya rasa ingin bertemu tiap
hari dengan tujuan menumpahkan semua permasalahan atau apa saja yang dialami
Bu Santi tiap harinya. Tapi apa, perasaan hati Bu Santi yang paling dalam tak bisa
dibujuknya kalau dia membutuhkan keberadaan Pak Hendra untuk selalu ada di
sampingnya setiap waktu. Ternyata Bu Santi tak bisa membohongi dirinya sendiri
kalau dia jatuh hati pada Pak Hendra yang notabene umurnya jauh lebih tua dari usia
dirinya.
Perasaan yang tumbuh dengan suburnya telah melahirkan kerinduan yang semakin
tak kuasa dibendungnya. Waktu terus berjalan, tiba-tiba hati Bu Santi seperti
disambar petir di siang bolong mendengar Pak Hendra sudah memiliki istri dan anak,
tidak seperti yang dia dengar selama ini menurut pengakuan diri Pak Hendra
kepadanya. Akhirnya Bu Santi secara perlahan mundur dan menarik diri dari skandal
percintaan yang dinilai kurang baik, tapi Pak Hendra malah semakin nekat
mengejarnya. Bu Santi berusaha menghindar bila bertemu Pak Hendra, walaupun
Pak Hendra tiap pagi selalu mencegatnya di depan pintu gerbang sekolah.
Suatu hari Bu Santi tak masuk kerja, hampir seminggu. Dia sengaja tak memberi
kabar pada siapapun, sampai suara-suara tanya berkembang menjadi opini publik di
antara warga sekolah tersebut. Saat itulah kepala sekolah menugasi salah satu stafnya
untuk mencari tahu kabar Bu Santi.
Kabar tak masuknya Bu Santi sampai juga ke istri Pak Hendra, malahan dia tahu
banyak tentang Bu Santi dari Pak Hendra. Dari cerita itulah, secara diam-diam istri
Pak Hendra mencari tahu ke alamat rumah Bu Santi walaupun sebenarnya dia belum
tahu Bu Santi seperti apa orangnya. Ternyata ketemu juga, tapi Bu Santi tak ada di
rumahnya. Kabar dari tetangga Bu Santi bahwa dia sedang sakit dan opname di
rumah sakit. Istri Pak Hendra langsung ke rumah sakit untuk menjenguknya.

149
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

Akhirnya ketemu juga, betapa kagetnya Bu Santi bahwa yang ada di hadapannya itu
istri Pak Hendra.
Dalam pertemuan itu istri Pak Hendra bercerita banyak tentang keluarga, dirinya,
termasuk hubungannya dirinya dengan Pak Hendra. Dia berharap agar Bu Santi mau
membujuk Pak Hendra untuk mau menikahi Bu Santi. Dari cerita itulah Bu Santi
baru paham dan berusaha membantu apa yang diinginkan istri Pak Hendra.
Waktu terus berjalan hubungan Bu Santi dengan keluarga Pak Hendra
semakin dekat saja. Suatu hari istri Pak Hendra mendesak Bu Santi agar mau
membujuk Pak Hendra mau menikahi Bu Santi. Dari amanah inilah Bu Santi meminta
Pak Hendra untuk mengadakan pertemuan empat mata dengan dirinya. Akhirnya,
dalam pertemuan itu Bu Santi menanyakan soal hubungannya dengan dirinya. Dalam
pertemuan itulah Pak Hendra merasa terpojok dan dia terpaksa mengatakan keadaan
dirinya yang sebenarnya. Bu Santi kaget bukan kepalang mendengar kata-kata Pak
Hendra yang pelan sekali dengan pandangan yang menunduk. Di akhir penyampaian,
dia berkata : “Itu sudah suratan takdir, mau tidak mau harus diterimanya dengan
rasa syukur dan ikhlas.”

150
Sepohon Kayu Di Tengah Guru

151

Anda mungkin juga menyukai