Anda di halaman 1dari 6

Jarum jam sudah bergerak menuju angka tujuh, terlihat beberapa siswa dan siswi berlarian agar dapat

memasuki
gerbang sekolah menengah atas Bumantara sebelum ditutup rapat oleh pak satpam. Namun, alih-alih sampai di
sana tepat waktu, kedatangan beberapa murid yang menggunakan jas osis itu sontak menghentikan langkah
mereka. Tamat sudah, hukuman menantinya.

"Aluna!"

Seorang gadis yang tengah memegang kertas dan bolpoin yang akan ia gunakan untuk mencatat siswa-siswi yang
terlambat itu menoleh ke arah orang yang baru saja memanggilnya

"Apa?" tanya gadis bernama Aluna itu, saat seorang cowok teman satu organisasinya yang menjadi wakilnya
selama satu periode itu sudah berada di hadapannya, Alan.

"Proposal mpls kemarin tinggal Lo tanda-tangani aja, udah gue print." Alan berkata dengan nafas yang ngos-
ngosan, lalu memberikan sebuah map berisi kertas-kertas.

Aluna mengambil map tersebut. "Oke, nanti gue tanda-tangani."

Cowok bernama Alan itu mengangguk, dan melihat siswa-siswi yang terlambat. "Banyak amat yang telat,"
ujarnya

"Iya dari kemarin kebanyakan murid baru, padahal udah satu bulan mereka sekolah disini, udah dikasih
hukuman juga, tapi telat lagi." Aluna menimpali, lalu berjalan menuju jejeran mereka yang terlambat.

"Ada sebelas yang telat lun!"

Aluna mengacungi jempol dan mulai menulis dari barisan paling kanan.

"Eh! Dua belas!"

"Oke!"

"Tambah 14 lun! Ini telat sepuluh menit."

Aluna menoleh dan melihat jejeran itu semakin panjang, lalu menghela nafas lelah.

Berselang beberapa menit, akhirnya Aluna selesai mencatat nama-nama mereka yang terlambat dan saatnya
memberi hukuman serta poin.

"Yang telat sepuluh menit ikut mereka," perintah Aluna sembari menunjuk teman-temannya yang akan menuju
ke lapangan.

Sekarang dihadapannya ada sepuluh siswa yang terlambat tidak sampai sepuluh menit. "Kalian ambil sapu, terus
bersihin dari sini sampe perempatan parkiran."

Gadis pemilik surai bergelombang dibawah bahu itu mendudukkan tubuhnya sejenak di bangku yang berada di
depan pos satpam, sambil menunggu apakah ada murid lain yang terlambat.

Sudah sepuluh menit Aluna duduk di depan pos satpam ini, namun sepertinya tidak ada lagi yang akan ia jatuhi
hukuman. Akhirnya, gadis itu beranjak bersama dengan pak Agus yang juga bersiap untuk menutup gerbang.

"Udah ngga ada yang telat lagi kan, nduk?"

"Engga pak, kayaknya." Aluna menjawab dengan sedikit keraguan karena orang yang biasanya terlambat tidak
terlihat di jejeran barisan tadi.
Padahal jarum jam tangan ditangannya sudah berpindah beberapa milimeter menjadi pukul tujuh lebih tiga
puluh menit. Tidak niat sekolah jika terlambat selama itu.

Aluna melangkahkan kakinya meninggalkan pos satpam, namun belum satu meter ia melangkah, suara pak Agus
yang memanggilnya membuat gadis itu menghentikan langkah dan berbalik.

"Nduk! Ini masih ada yang telat!"

Di luar gerbang sana, terdapat seorang siswa berpenampilan acak-acakan berjalan santai menuju gerbang dengan
sebuah permen di mulutnya, bahkan Aluna tidak melihat ada sebuah tas ransel yang menggantung di punggung
siswa itu.

Aluna menghela nafas, tak habis pikir dengan adik kelasnya yang setiap hari selalu telat itu. Lantas, dihampirinya
pak Agus yang tengah berbincang dengan Panji, seorang cowok bertubuh jangkung yang satu bulan ini berhasil
membuatnya naik darah.

"Hai!"

Aluna mengabaikan sapaan Panji dan bersiap mencatat nama cowok itu untuk kesekian kalinya, tanpa bertanya
nama lengkap dan juga kelas karena sudah hafal.

Panji Januartha, sepuluh Ips 2.

Pak Agus membukakan gerbang untuk Panji. "Kok setiap hari telat, ini bangunnya jam berapa?" tanya pak
Agus, mewakili pertanyaan yang sangat ingin Aluna tanyakan kepada cowok jangkung itu.

Panji tertawa kecil. "Jam...berapa ya?" bingungnya seraya menggaruk rambutnya yang sudah sama persis seperti
orang bangun tidur.

Aluna melipat kertas dan memasukkan kertas serta bolpoin itu ke dalam saku almamaternya. Lalu, berjalan
meninggalkan Pak Agus dan Panji tanpa keluar sepatah kata. Membuat Panji seketika langsung bingung karena
ditinggal begitu saja.

Alasan dirinya selalu telat tidak hanya bangun kesiangan, tetapi agar bisa membuat Aluna naik pitam. Ada
kesenangan tersendiri bagi Panji jika berhasil membuat gadis galak itu marah pagi-pagi dan bahkan setiap hari.

"Sana, mbak Aluna udah bosen paling sama kamu." Pak Agus menyuruh Panji agar segera mengikuti Aluna.

Panji tersenyum, dan bersiap menyusul Aluna. "Duluan pak, besok ketemu lagi."

"Sak karepmu!"

Panji berlari mengejar Aluna yang sudah jauh. Kemudian, ia menyamakan langkahnya dengan Aluna ketika
sudah sejajar dengan gadis dengan tinggi sebatas bahunya itu.

"Lo bosen sama gue?" tanya Panji tiba-tiba, membuat Aluna menoleh sekilas.

Aluna tetap menatap ke depan dan menjawab, "udah tau gue bosen, kenapa telat terus?"

"Cieee kepo," goda Panji.

Aluna mendengus malas, tak mempedulikan lagi cowok jangkung disampingnya. Sejujurnya, Aluna bosan sekali
harus berurusan dengan Panji, namun bagaimana lagi ini sudah menjadi tugasnya.
"Lo tiap hari jaga gerbang?" tanya Panji, karena hari kemarin saat ia terlambat ia tidak mendapati Aluna, dan
berakhir Panji menyesal.

"Engga, ada jadwalnya."

"Jadwal Lo hari apa aja?"

"Kepo."

Seketika panas matahari menyengat kulit kedua remaja laki-laki dan perempuan itu saat sudah sampai di
hadapan hamparan rumput hijau yang sering kali digunakan saat olahraga sepak bola.

Aluna menatap Panji dengan mendongakkan kepalanya. "Udah sana, keliling lapangan tiga kali."

"Banyak amat? Perasaan yang lain satu kali tuh." Panji memprotes. "Punya dendam pribadi lu, ya?"

"Lo telat tiga puluh menit, dan mereka sepuluh menit." Aluna menjelaskan, lalu mendudukkan tubuhnya di
tempat duduk yang terletak tepat dibawah pohon rindang.

"Aturan darimana tuh? Padahal sama-sama telat." Panji masih senantiasa merasa tidak adil, cowok jangkung itu
hanya memandang lapangan tanpa minat.

"Banyak protes."

"Cepet!"

Panji menghela nafas lelah, lalu menatap Aluna yang juga menatapnya. "Kasih semangat dulu, terus beliin air
minum kalo nanti gue haus," pinta Panji

"Gak guna banget jadi ketua osis cuman duduk doang," lanjutnya.

Aluna menegakkan duduknya, dan berkata, "tambah sa—"

"Iya.. iya.. ini lari." Panji sangat yakin apa yang akan diucapkan Aluna pasti membuatnya semakin lelah
nantinya, jadi dia segera menyela. Panji bersiap untuk berlari, namun sebelum benar-benar menginjak rumput
hijau itu, ia sempat mengatakan,

"Jangan rindu, na. Gue cuman seben—"

Aluna segera memotong kalimat Panji dengan mengalihkan pandangan. "Dimas! Tolong awasin dia ya?! Lari tiga
kali!"

"Oke!"

Aluna berdiri dari duduknya setelah meminta tolong teman satu organisasi yang juga tengah mengawasi murid-
murid yang terlambat itu untuk mengawasi Panji. Lantas, gadis itu berjalan meninggalkan Panji bersama
penyesalannya.

"Yah! Aluna!!"

"Lu telat tadi, pan?"

Panji mengangguk. "Iya,"

"Setiap hari telat mulu, lo? Rumah Lo nyebrang samudra Pasifik apa?" tanya Juna, tak habis pikir dengan
temannya yang satu itu.
Panji memang sering sekali terlambat, bahkan dalam satu Minggu ia terlambat sampai tiga kali. Pak satpam dan
beberapa anggota osis yang bertugas menjaga gerbang bahkan sudah sangat hafal dengan sosok Panji, yang konon
katanya tidak pernah bangun pagi. Terbukti ketika, cowok jangkung itu selalu tidur di dalam kelas, saat
pelajaran hingga berakhir ditegur guru, dan paling parah guru tersebut menyuruh Panji untuk berdiri di depan
kelas dengan satu kaki diangkat serta kedua tangan yang menjewer telinganya.

"Panji kan punya gebetan yang jaga gerbang," ungkap Cakra, cowok yang mengenakan kacamata hitam itu
menyedot es teh manisnya.

"Siapa buset?!" tanya Radeva, merasa sudah ketinggalan berita.

"Ada," jawab Panji singkat.

Sedangkan Radeva sudah terlampau penasaran. "Lah gak asik, mainnya rahasia-rahasiaan."

"Lu juga nanti tau sendiri," lanjut Panji sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tau-tau ada seseorang
yang ia cari sedari tadi.

Ruangan luas tertutup ini sudah dipenuhi oleh para murid SMA Bumantara yang ingin mengisi perut kosong
mereka dengan berbagai makanan dan cemilan yang dijual di setiap ruko. Bahkan, ruko-ruko tersebut sekarang
sudah memiliki antrian masing-masing.

"Gaya banget lu udah punya gebetan, gua belom nemu-nemu." Juna menghela nafas lelah, menidurkan kepalanya
di meja kantin.

Cakra menoyor kepala Juna. "Orang lo kerjaannya tidur mulu, Jun! Gimana mau dapet cewek?"

"Kaya gue nih gak mikirin romansa," sambung Cakra dengan bangga.

"Si paling jomblo," timpal Radeva yang kini sibuk dengan ponsel genggamnya. Biasa, mengabari pacar.

"Lu romansa ngga, pelajaran apalagi. Bisa lu apa cak?" Kini, Panji melempar pertanyaan.

"Traktir kita-kita lah bre!" Juna yang menjawab, cowok itu sudah menegakkan duduknya. "Cakra kan baik hati,
dermawan dan tidak sombong."

"Gih sana, beli apa aja gue bayarin." Akhirnya, kalimat yang ditunggu-tunggu ketiga remaja laki-laki itu keluar
dari mulut Cakra.

Juna sontak berdiri dengan antusias. "Beneran?!"

"Tapi boong anjir, yakali gue traktir kalian tiap hari. Bisa bangkrut!" Cakra tak habis pikir dengan teman-
temannya, tiap hari ia dianggap sebagai mesin ATM berjalan.

"Harta lo gak akan pernah habis cak, sebelum keturunan ke tujuh, yakin gue!" papar Radeva, yang sudah
meletakkan ponselnya di atas meja.

"Heh! Mau kemana, pan?!" seru Juna saat melihat Panji tiba-tiba berdiri dari duduknya dan berjalan
meninggalkan mereka bertiga.

Cowok jangkung dengan kancing seragam yang sudah terbuka semua dan menampilkan kaos biru tuanya sebagai
dalaman itu berjalan cepat menuju salah satu antrian ruko paling panjang. Jangan mengira Panji akan memesan
makanan karena sudah tidak tahan menahan lapar, cowok itu hanya ingin menghampiri seorang gadis yang
akhir-akhir memenuhi ruang pikirnya di depan sana.
"Hai?" sapa Panji, ketika sudah sampai dihadapan seorang gadis pemilik manik mata hitam pekat itu.

"Lo lagi.. Lo lagi.. bosen gue!" Seorang gadis disampingnya yang malah berkata lebih dulu

Panji menatap teman Aluna malas. "Gua mau ketemu nana, bukan lu ya!"

Aluna menatap Ribi disampingnya. "Gue juga bosen kok, bi."

"Bosen apa bosen?" goda Ribi kepada temannya itu, membuat Panji merasa punya pendukung hingga ia
mengembangkan senyum.

"Antriannya panjang banget, biar gue aja yang antri. Lo duduk aja di sana, mau pesen apa?" tanya Panji pada
akhirnya.

Aluna gelagapan, lalu cepat-cepat menolak. "Engga usah, gue betah berdiri kok."

"Yakin?"

"Engga yakin, gue sama luna mau pesen mie ayam dua, terus es teh dua sama apalagi ya??" Ribi membalas
pertanyaan Panji dengan cepat sebelum Aluna berkata.

Aluna menyenggol lengan Ribi. "Bi!"

"Udah lah lun, dia juga yang nawarin buat antri kan?"

"Ya— tapi?"

"Udah sana, tarik aja temen lo ini." Panji berujar, membuat Ribi segera menarik Aluna agar menjauh dan
menduduki kursi tak jauh dari tempatnya ia berdiri tadi.

Aluna jadi tidak enak jika seperti ini, gadis itu hanya bisa duduk diam di kursi, memperhatikan Panji yang kini
sudah berjalan ke arahnya dengan sebuah nampan, tak lupa kedua sudut bibirnya yang terus mengembang.

Sampai kapan?

"Pesanan sudah sampai," ujar Panji sembari meletakkan sebuah nampan yang diatasnya berisi pesanan Aluna
dan Ribi.

"Makasih banyak loh, ya. Lo baik banget, tapi sayang Aluna gak sadar-sadar." Ribi mengambil satu mangkok
mie ayamnya lengkap dengan kerupuk pangsit yang sudah ia idam-idamkan sedari tadi.

Aluna kini menatap Panji yang berdiri menjulang di hadapannya. "Lo pasti ada maunya nih, mau apa?"

Panji tersenyum misterius, lalu berkata tanpa beban. "Mau lo jadi pacar gue."

"Ogah!" tolak Aluna mentah-mentah, ini sudah yang ketiga kalinya.

Panji tidak ada kapoknya, ya?

"Yaudah," putus Panji, lantas cowok jangkung itu berlalu tanpa keluar sepatah kata lagi.

Seolah-olah ucapannya barusan tak berdampak bagi Aluna yang masih senantiasa menatap punggung tegapnya
yang sudah ditelan oleh lalu lalang orang. Kemudian, gadis berambut bergelombang di bawah bahu itu mencoba
bersikap bodo amat dan mengambil semangkok mie ayamnya, lalu menyantapnya dalam diam.
To be continued...

Writer:fanesaca

Anda mungkin juga menyukai