Anda di halaman 1dari 7

PANDU DAN LALA

Part 01 - Awal Mula

Sinopsis:

Tak pernah ada, satu orangpun dimuka bumi ini, yang tahu kapan saatnya untuk jatuh cinta. Mereka
buta, tanpa bisa mengerti sama sekali rasa itu, sebelum merasakannya sendiri. Cinta tak bisa memilih,
Cinta juga tak bisa dipilih. Semua rasa itu, akan muncul pada waktunya.

Begitupun dengan Pandu, yang sedari kecil hidup bersama Lala, perlahan-lahan mulai merasakan
nikmatnya cinta, ketika melihat keponakannya itu beranjak remaja.

***

“Hai Om Pandu. Lagi apa?” Ucap Lala menyapa ramah ketika masuk kedalam pekarangan rumah.
“Lagi santai aja, Neng” Jawab Pandu yang merasa namanya dipanggil, buru-buru bangkit dari rebahan
dibale-bale terasnya lalu menjulurkan tangannya kearah gadis bertubuh mungil itu.
“Om. Ini aku bawain lepet. Biasa, titipan Mama” Ucap Lala yang segera mengamit tangan pamannya,
lalu menciumnya pelan. Menunjukkan ciri khas kesopanan adat bertamu, yang sering diajarkan
orangtua kepada anak-anaknya. “Aku taruh dimeja makan? Atau disini aja, Om?”
“Taruh sini aja, Neng. Gapapa. Kebetulan, Om lagi laper”
“Oke, aku ambil piring dulu ya kalo gitu”

Fara Kumala, nama panjang Lala. Keponakan kesayangan Pandu yang sering hadir di imajinasinya. Ia
adalah anak semata wayang dari pasangan Winda dan Ardhi. Tahun ini, ia baru berusia 12 tahun, dan
duduk di bangku SMP. Winda, adalah seorang penjahit konveksi yang cukup sibuk. Sedangkan Ardhi,
adalah seorang PNS yang bekerja di kota sebelah.

Lalu Pandu, adalah seorang mekanik serba bisa, yang membuka jasa service segala macam barang.
Mulai dari elektronik, pompa air, hingga ke kendaraan bermotor. Pandu, membuka usaha di
rumahnya sendiri yang terletak tak jauh dari rumah Winda. Dan karena rumah mereka berdekatan,
Lala jadi sering main kerumah Pandu, ketika ibunya sedang tak ada dirumah.

“Udah sore kali Ommm. Buruan mandi gih. Udah mau Ashar loh” Ucap Lala yang setelah mengambil
piring didapur, meletakkan lepet di bale. Setelah itu, ia ikut duduk disamping Pandu,”Seharian tidur
sampe asem gini baunya. Hihihi”
“Hmmm. Asem ya?” Tanya Pandu mengangkat kedua tangannya, mengendus ketiak berbulunya
secara bergantian,”Kok Iya sih. Agak asem. Mandiin deh Neng, kalo gitu”
“Dih. Ngapain amat? Sono noh, bareng kerbau pak Midun, kalo Om mau ikut dimandiin”
“Emang Om, Kerbau?”
“Hahahaha. Habis malasnya sama” Kekeh Lala meledek.

Lala, yang baru saja masuk ke usia remaja, memiliki wajah yang cantik. Sifatnya yang periang, suka
becanda, dan sering tertawa, membuatnya begitu disukai oleh banyak orang. Kulitnya putih,
rambutnya hitam panjang membuatnya seperti boneka hidup yang membawa keceriaan buat siapa
saja yang ada di sekitarnya.

Sepulang sekolah, Lala sering menghabiskan waktu di bale depan rumah Pandu. Karena selain bale
rumah Pandu terasa asri karena banyak pohon rindang dan aliran sungai, Pandu-pun juga sering
membantu Lala dalam menyelesaikan hampir semua PR dari sekolahnya.

”Tumben. Pulang sekolah bawain lepet kemari. Pasti kali ini, ada PR susah nih yang harus Om kerjakan
buat besok” Celetuk Pandu sambil menyantap makanan ringan di piring, melahap habis sebelum
menatap wajah keponakannya yang cengar-cengir.
“Tau aja nih, si Om. Hihihi.” Jawab Lala cengengesan. Setelah itu, ia menaikkan bawahan dasternya
hingga setinggi dada, lalu mengeluarkan buku pelajaran yang diselipkan di belakang celana dalamnya.

Agak aneh memang, kebiasaan Lala ketika membawa buku pelajarannya. Namun, itulah nilai tambah
yang Pandu dapat ketika belajar bareng bersama keponakan cantiknya itu.

“Uhhh. Lala..“ Desah Pandu yang sore itu, lagi-lagi dapat melihat keindahan tubuh Lala. Betisnya yang
mulus, pahanya yang putih, dan perutnya yang ramping terekspos jelas ketika daster mininya
tersingkap tinggi. Selain itu, dari kepolosan sikap kekanak-kanakan Lala, Pandu juga dapat melihat
lekukan pantatnya yang membulat kencang, serta lipatan celah kemaluan dari celana dalam mungil
milik keponakannya itu.

“Ini nih Om, pelajaran Bahasa Indonesia. Susah bener aku ngerjainnya” Ucap Lala segera
menjembrengkan halaman PR dari sekolahnya di atas bale. Lalu tanpa menghiraukan singkapan
dasternya, gadis mungil itu langsung naik ke atas bale lalu meringkuk disamping Pandu.

“Duuh. Itu tetek. Mungil amat yaaa” Desah Pandu yang dari posisi meringkuk Lala, dapat melihat
belahan payudara tanpa beha dari celah leher dasternya. Meskipun baru tumbuh, akan tetapi bentuk
payudaranya mulai terlihat. Ditambah dengan putih kulit Lala yang begitu mulus, makin membuat
Pandu semakin gelisah dalam duduknya.

Kadang muncul dalam benak Pandu, keinginan untuk bisa meremas payudara mungil Lala yang baru
mekar itu. Mengecup daging payudaranya yang masih begitu kenyal dan bulat, sambil menjilati
cekungan putting mungil keponakannya yang kadang masih bersembunyi dibalik lipatan kulit, “Uhh.
Putting mungilmu, Neng. Bikin gemes…” Seru Pandu dalam hati sembari membetulkan batang
penisnya yang mulai menggeliat.

“Apakah aku sudah gila? Punya birahi terhadap tubuh molek keponakan sendiri?” Tanya Pandu yang
terkadang memikirkan keanehan pada pikirannya. Karena sebagai paman yang normal, Pandu
harusnya tak memiliki pikiran mesum terhadap Lala.

Dulu, Pandu merasa biasa saja ketika melihat ketelanjangan Lala. Ia seringkali dimintain tolong oleh
Winda untuk menceboki keponakannya ketika pipis, memandikan ketika Winda sibuk, atau
memakaikan baju ketika Lala selesai mandi.

Akan tetapi,karena pertumbuhan keponakannya yang semakin dewasa, lambat laun membuat Pandu
mengalami perubahan dalam bersikap.

Sekarang, semua terasa berbeda. Tak adalagi ketenangan dihatinya ketika melihat gerak-gerik Lala.
Yang ada, gejolak nafsu yang semakin mendidih, setiap kali Pandu berada didekat keponakannya.

Mendapat senyuman Lala saja, debar jantung Pandu bisa berdetak lebih kencang daripada biasanya.
Apalagi ketika melihat kilasan aurat keponakannya yang kadang terlihat seperti sore itu, bisa
membuat syahwat Pandu langsung berkumpul di selangkangannya dengan segera.

“Uhhh. Lalaa…” Erang adik Winda itu sambil menikmati pemandangan tubuh anak kakak kandungnya.

Berkali-kali membetulkan tali dasternya yang jatuh karena kemulusan kulit pundak Lala ketika ia
membungkukkan, membuat Pandu begitu geregetan. Terlebih ketika Pandu melihat gundukan
payudara Lala yang kadang terlihat jelas dari sela ketiaknya, membuat paman Lala itu mendadak
demam karena lonjakan gairahnya.

Lala yang tak sadar, hanya bisa terus membungkuk. Menulis semua pekerjaan rumahnya tanpa curiga.
Gadis molek itu tak sedikitpun menghiraukan gelagat setan Pandu yang tak dapat ia kendalikan lagi.
“Oh. Lala. Teteknya mulus sekali, Neng. Kamu membuat Om sinting. Kamu membuat Om ngaceng,
Neng. Om sange karenamu” Erang Pandu ketika melihat pundak tali daster Lala berkali-kali turun.
Melorot dari pundak mulus Lala.

”Seksi kekali tubuh indahmu, Neng” Desah Pandu sambil membetulkan batang penisnya ketika ia
melihat lingkaran merah muda areola Lala. Beserta tonjolan putting payudaranya yang terkadang
mengintip manja dari sela-sela ketiak tak berbulunya.

“Astaga, melihatmu, bikin aku pengen coli, Neng. Ohhh” Raung Pandu yang selalu kesulitan menelan
ludah ketika melihat kepolosan Lala dalam hal berpakaian

“Ohhh. Fara Kumala. Kapan ya kira-kira, Om bisa menikmati tubuh indahmu itu?” Bisik lirih Pandu tak
sadar, ketika untuk kesekian kalinya, mencoba menelan ludah guna membasahi kerongkongannya
yang mendadak kering karena terbakar panas birahi.

“Kenapa Om?” Tanya Lala mendengar sedikit lamunan Pandu. “Om? Hallo? Om?” Panggil Lala sambil
menjentik-jentikkan jemari lentiknya di depan wajahku. “Om bilang apa?”

“Ehhh? “
“Wealah oom. Dimintain tolong kok malah melamun?”
“Aduh maap. Iya. Kenapa-kenapa?”
“Ini. PR-ku gimana? Jawabannya yang mana?” Tanya Lala lagi yang sama sekali tak menghiraukan
tatapan nanar Pandu yang sesekali turun, kearah belahan payudaranya.

“Suatu saat nanti, pasti aku bisa ngedapetin isi dastermu, neng. Iya, Pasti bisa…” Yakin Pandu sambil
membetulkan posisi penisnya yang makin tegang membesar, karena pemandangan sore dari tubuh
molek keponakannya. “Bahkan, aku yakin. Sebentar lagi, aku pasti bisa ngedapetin isi celana dalemmu,
Fara Kumalaku”

***

Suatu hari, Pandu baru saja pulang dari mengantar pesanan konveksi, untuk pelanggan Winda.
Sengaja, setelah mengantar pesanan, adik Winda itu tak langsung pulang kerumahnya. Ia memilih
duduk-duduk santai dulu di ruang keluarga Winda sambil menonton tayangan film VCD dan
menikmati kopi panas.

“Maaa. Aku pulang. Eh ada Om Pandu. Mama mana Om?” Ucap Lala yang tiba-tiba datang dari
sekolah. Masuk ke rumah, lalu mencium tangan Pandu. Setelah itu, ia celingukan mencari ibunya.
“Mamamu, sedang kerumah bu Mardhi.” Ucap Pandu yang langsung tahu, apa yang hendak Lala
tanyakan padanya. ”Sepertinya, lagi ada persiapan acara kondangan”
“Ohhh.” Jawabnya Lala singkat. Lalu ia masuk kedalam kamarnya untuk meletakkan tas sekolah di
meja belajar. Setelah itu, ia keluar kamar dan membuka baju seragam SMP-nya tanpa malu-malu di
depan hidung Pandu. Hingga menyisakan tanktop mungil berwarna putih dengan tali tipis di pundak
dan celana ketat berwarna pink.

“Mama udah lama perginya Om?” Tanya Lala yang sudah tak berseragam sekolah itu dengan nada
santai. Seolah tak mempersoalkan penampilan seksinya samasekali.
“Hmm. Baru aja sih” Jawab Pandu yang seperti terhipnotis, langsung menatap kemolekan tubuh
keponakannya tanpa berkedip sedikitpun.
“Ohhh..” Jawab Lala lagi. Singkat. Sambil membawa baju kotornya ke ruang cuci. Setelah itu, ia
membasuk kaki, membersihkan wajah, lalu kembali keruang keluarga.

“Lagi nonton film apaan Om?” Tanya Lala dengan mata yang fokus kearah tayangan di TV. Tanpa
mempedulikan tatapan mata Pandu yang begitu buas. Seolah siap menerkam tubuh seksinya.
“Gatau” jawab Pandu spontan karena tak mampu fokus berpikir, “Kayanya film komedi”
“Loh?” Heran Lala langsung melirik kearah pamannya, “Kok kayanya?”.
“Hmmmm. Pantes” Celetuk Lala menyadari ketidak fokusan Pandu karena terus melirik kearah
tubuhnya. Setelah itu, Lala pun mencubit pipi Pandu dengan kedua tangannya, lalu memutar leher
pamannya itu kedepan. “TVnya, ada disana, Om. Bukan di tetekku. Hihihi..”
“Eh I. Iya ya?” Jawab Pandu sekenanya, “Kenapa malah Om liatin tetek kamu mulu?”

Namun, walau kepala Pandu sudah diarahkan Lala untuk menatap lurus kedepan, tetap saja, mata
birahinya secara reflek, memintanya untuk melihat kesamping. Kearah tubuh molek Lala yang makin
menggiurkan.

Dengan nafas yang makin memburu, Pandu terus saja mengamati keseksian bidadari muda bernama
Lala itu. Berkali-kali, ia menelan ludah syahwatnya, seolah membasahi gurun birahinya yang begitu
kering.

“Kampret banget nih keponakan, seksi sekali sih tubuhmu, Neng” Batin Pandu terus mengamati
gundukan gunung kembar Lala, yang tampak naik turun seiring tarikan nafasnya. Membuat penis
Pandu perlahan berdesir, makin tercetak jelas dicelana. Naik perlahan-lahan, dan mulai mengeras
dicelana dalamnya.

Lala, sebenernya tahu, jika saat itu, Pandu sedang gelisah karena melihat tubuh moleknya. Dari lirikan
matanya, tarikan nafasnya, gerak tubuhnya, Lala benar-benar paham, kalau mata pamannya, tak bisa
lepas menatap keseksiannya. Kemanapun Lala bergerak dan berada, mata Pandu terus mengawasinya.
Seperti elang yang mengincar tikus buruan. Tak melepas perhatiannya, dari tubuh Lala sedikitpun.

Hanya saja, Lala menganggap itu hanyalah sebatas rasa sayang antara paman kepada keponakan. Lala
belom sadar, jika pemikiran akan kata’sayang’ dari pamannya itu, benar-benar merubah pribadi
dirinya kelak.

“Kamu ga makan, Neng?” Tanya Pandu dengan mata yang masih tak bisa lepas dari gundukan
payudara keponakannya, “Mama udah nyiapin sop bakso dan ayam goreng tuh didapur”
”Ntar aja Om. Aku belom laper” Jawab Lala.

“Heeeh. Jangan sering-sering nunda makan ah. Nanti masuk angin loh.”
“Huuuu. Yang bakalan masuk angin tuh, Om Pandu.”
“Lah kok?”
“Iyalah, ngopi mulu tiap hari. Khan kopi sering bikin perut kembung”
“Ehhh, udah sok tahu nih yeeee”

Tiba-tiba, mereka berdua dikagetkan dengan suara kencang dari arah TV. Rupanya, adegan film yang
sedang mereka tonton itu, sedikit mengandung romance. Dan, dari adegan di film itulah, cerita
kemesuman paman - keponakan ini berawal.

Pada saat film yang mereka tonton memperlihatkan adegan ciuman, entah kenapa membuat Pandu
makin sering menatap kesamping. Kearah Lala yang sepertinya mulai fokus akan jalan ceritanya.
Beberapa kali, Pandu mendapati, Lala menelan air liurnya ketika melihat kedua pasangan film itu
semakin larut dalam perannya.

“Sepertinya, Lala mulai sange” Girang batin Pandu sedikit menyimpulkan, “Ia sepertinya mulai larut
dalam adegan romantisme film itu” Sambungnya lagi sambil mulai memberanikan diri untuk
menggenggam tangan kiri Lala. Sambil sedikit melihat reaksinya lagi.

Melihat tangannya tergenggam, Lala hanya melirik. Tanpa ada prasangka lain kepada Pandu. Ia masih
fokus menonton film di hadapannya. Begitupun ketika Pandu mulai meremas, dan mencium tangan
Lala. Gadis ranum ini hanya menengok sebentar kearah pamannya, tanpa sedikitpun merasa risih atau
melarang.

“Neng suka ama filmnya?” Tanya Pandu semakin mencoba mendekatkan emosinya.
“Cewenya cantik” Jawab Lala.
“Ah… Menurut Om, ceweknya biasa aja. Masih cantikan Neng” Gombal Pandu sambil terus
mengecupi tangan keponakannya. “Bagi Om, Neng adalah bidadari dari surga..”

Mendengar pujian cap tikus dari Pandu, Lala pun tersenyum. Ia lalu mengamit tangan kanan
pamannya dan mengalungkannya kebelakang leher. Setelah itu, Lala menaikkan kedua kakinya keatas
tempat duduk dan menekuknya seperti orang kedinginan. Tak lupa, gadis polos itu memiringkan
kepala dan menyandarkan kepalanya di ketiak Pandu.

“Oh. Ini pasti Lala pengen dipeluk…” Tebak Pandu yang tanpa lama-lama, segera mendekap tubuh
mungil keponakannya erat-erat.

Dan benar, ketika Pandu memeluk tubuh Lala. Keponakannya itu semakin merapatkan diri kearahnya.
Meskipun cuaca diluaran sana terik, akan tetapi Lala merasa begitu kedinginan.

“Kena deh…” Pikir Pandu yang merasa, jika ini adalah saat yang tepat untuk bisa menjalankan rencana
mesumnya lebih lanjut. Terlebih ketika Pandu melihat Lala makin menempel kepadanya tanpa
mempedulikan bawahan dasternya yang tersingkap, membuat tangan kanan Pandu makin leluasa
Meraba kemulusan paha keponakannya.

CUP.
Tiba-tiba, Pandu mencium kening kiri Lala.

“Ehh?” Kaget Lala. Sejenak, ia menatap wajah birahi Pandu. Namun, karena tak berpikir yang
aneh-aneh, Lala kembali melihat lurus kedepan. Ke arah TV.

“Tak ada penolakan” Batin Pandu girang melihat kecuekan Lala. Setelah itu, Pandu mencoba
mengecup pipi Lala. Mencoba peruntungannya lagi.

CUP.
Lagi-lagi, tak ada penolakan sedikitpun dari Lala. Putri kakak kandung Pandu itu hanya diam. Terlihat
pasrah tanpa malu ataupun tak nyaman dengan segala kemesuman pamannya. Bahkan, alih-alih
terganggu karena kecupan dan ciuman Pandu, Lala malah semakin merapatkan diri ke tubuh Pandu.
Membiarkan pipi serta paha mulusnya menjadi sasaran empuk perlakuan mesum pamannya.

“Cantik sekali kamu Neng. Ohh. Seksi” Raung bujang lapuk itu dengan suara makin tercekat. Tercekik
oleh birahinya yang semakin meninggi.

Detak jantungnya makin tak berirama. Berdetak dengan denyut melebihi biasanya.
Pandu tak tahan, ia ingin segera berbuat lebih jauh. Ingin hati ia meremas payudara keponakannya
yang terlihat menggiurkan itu. Dengan putting kecil dan aerola mungil, yang sesekali mengintip dari
balik belahan dasternya.

Karena tak sanggup lagi menahan hasrat birahinya, Pandu lalu memegang ujung dagu Lala.
Menariknya pelan supaya kepalanya menengok menyamping. Dan dengan hanya berbekal
keberuntungan, ia mencium bibir cerah keponakannya itu tipis-tipis.

CUPPP
Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Lima detik. Sepuluh detik. Dan, lima belas detik, bibir Pandu berhasil
mendarat di bibir Lala.

“Kok? Om cium bibirku?” Tanya Lala menatap Pandu dengan pandangan sayu.
“Itu karena Om sayang kamu, Neng” Ucap Pandu sambil merangkul perut ramping Lala lebih
mendekat kearahnya.
“Ohh..” Jawab Lala sambil tersenyum. Kemudian kembali menonton TV.
“Om Sayang kamu, Neng” Ulang Pandu yang kali ini, mengusap-usap paha Lala, menikmati kemulusan
gadis muda yang begitu memikat hatinya.
Setelah mencium bibir Lala untuk pertama kalinya, Pandu makin merasa jika perasaan dan getaran
birahinya makin meluap-luap. Membuatnya semakin terlena akan pikiran mesumnya yang begitu
meledak-ledak. Penisnya pun makin menggembung. Mengeras karena pompaan darah syahwatnya
yang begitu deras mengalir didalam tubuhnya.

Melihat tak mendapat halangan yang berarti dari Lala, membuat Pandu ingin melangkah semakin jauh.
Ia ingin merasakan hal yang lebih nikmat dari tubuh keponakannya itu

“Neng, Om boleh cium bibirmu lagi?” Bisik Pandu ketelingan Lala.


“Ehh? Om mau cium lagi?”
“Iya. Pengen cium. Boleh ya?”

Lala tak menjawab. Ia hanya melirik kearah Pandu. Mengangguk tipis, lalu kembali menonton TV.
Karena duduk yang begitu rapat, dengan mudah Pandu mengamit dagu Lala. Mengarahkan ke
wajahnya dan mendaratkan bibir tebalnya ke bibir ranum keponakannya.

CUUUP
Lagi-lagi, Pandu mencium bibir Lala. Namun kali ini, ia lebih lama menikmati kelembutan bibir lembut
itu lebih lama.

Awalnya, Pandu hanya memberikan kecupan-kecupan lembut saja. Akan tetapi, lama kelamaan,
paman mesum Lala itu ingin mencoba hal yang lebih jauh lagi.

CUUPP SLUUUP.
Pandu mulai bermain lidah. Perlahan, ia menyedot-nyedot ujung bibir Lala. Lalu, sedikit demi sedikit,
ia mulai melahap bibir bawah Lala. Menggigitnya tipis, hingga kemudian ia mencoba menyelipkan
lidah basahnya masuk kerongga mulut keponakannya.

CUUUPPP. HAAAEMM.
“Tak ada penolakan sama sekali…” Girang batin Pandu, ketika merasakan kepasrahan keponakannya.
Lala hanya berdiam, sambil menyerahkan kelembutan bibir dan lidahnya, untuk dipermainkan oleh
pamannya. Putri Winda itu hanya diam, ketika secara berulang kali ia menerima gigitan gigi serta
lilitan lidah dari Pandu. Bahkan ketika Pandu mulai merabai paha dan perutnya, Lala hanya bisa diam.

“Kamu Cantik Neng…” Bisik Pandu setiap kali ia merangsang Lala.


“Oooohhh… Ooomm…” Sahut Lala tanpa tahu maksud desahanya.

Mendapat stimulus mesum yang terus menerus dari Pandu, membuat Lala merasa jika saat itu, ia
sedang diajarkan ilmu baru mengenai arti kata berciuman. Meskipun ia tahu, jika hal itu terlihat
menjijikkan, akan tetapi ketika bersama Pandu, gadis manis itu merasakan sebuah sensasi berbeda.

“Mungkin, ini rasa yang sering teman-temannya ceritakan” Pikir Lala ketika dirinya mulai terbawa
suasana. “Enak juga rasanya…” Sambung Lala yang semula hanya diam tak merespon sama sekali,
mulai sedikit sadar akan kenikmatan bermain lidah dengan lawan jenisnya.

“Lidah kamu hangat banget, Neng. Rasanya manis…” Bisik Pandu terus menyerang pemikiran
keponakannya. “Om suka rasa ludah kamuuu..”

Karena gempuran lidah Pandu yang tak henti-hentinya pada rongga mulut Lala, membuat keponakan
Pandu itu pun mulai membalas. Ia mulai membalas kecupan. Membalas gigitan bibir. Membalas lilitan
lidah. Hingga, tak lama kemudian, paman dan keponakan itu mulai serang menyerang. Mereka berdua
makin terlena, saling sedot, saling lilit, dan saling lumat.

Bahkan, tak jarang, Pandu dan Lala, mulai bertukar ludah. Saling memindahkan saliva kenikmatan
mereka berdua dari satu mulut ke mulut yang lain.
Penis Pandu meronta. Meliuk dengan liar di dalam sangkar celana dalamnya.
Pandu ngaceng. Sengaceng-ngacengnya.

Dan ketika keduanya sudah mulai larut dalam gelombang nafsu, Pandu pun meminta hal yang lebih
dari keponakannya itu.

“Om Sayang kamu, Neng” Ucap Pandu mengusap pipi Lala. Mengamit tangan keponakannya, lalu
menariknya kesamping. Menyebrangi tubuhnya. “Duduk di pangkuan Om dong. Sini..” Sambung
Pandu sambil sedikit mengangkat tubuh ramping keponakannya itu. Dan mengarahkan duduk di atas
pangkuannya.

Tanpa berpikir aneh, Lala langsung mengikuti perintah Pandu. Berdiri dengan tubuh menghadapku
lalu mengangkangi pahaku. Kemudian, duduk, tepat diatas batang penisku.

“Om mau apa?” Tanya Lala heran. Menatap kebingungan kearahku.

Karena posisi duduk Lala yang mengangkangiku, daster selutut yang ia kenakan, seketika tersingkap.
Semakin memamerkan kedua paha mulusnya yang tak bercela. Membuat belahan vaginanya dan
penisku menempel erat. Hanya terpisahkan oleh bawahan mereka berdua.

Rasanya, hangat dan empuk. Bahkan, sekilas Pandu merasa, jika celah vagina keponakannya seolah
membimbing batang penisnya, supaya bisa sejajar dengan garis kemaluannya.

“Om… Sayang kamu, Neng. Om boleh khan? Hhhh.. Hhhhh.. Peluk Neng sebentar aja?” Ucap Pandu
dengan nada terputus-putus. Karena menahan birahi tingginya.

”Ohh. Peluk” Jawab Lala dengan wajah yang mulai memerah, mungkin gugup dan malu karena
tatapan mata pamannya. Lala mengangguk, lalu buru-buru menundukkan kepala. Meskipun
hubungan Pandu dan Lala sangat dekat, akan tetapi mereka berdua belum pernah larut dalam situasi
yang begitu intim seperti ini.

Pandu, dengan nafas sengal, makin memberanikan diri. Ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang
tak tahu kapan lagi ia lakukan.

“Kok bisa ya? Kamu makin keliatan cantik seperti ini, Neng?” Goda Pandu sambil mengangkat dagu
Lala. “Bibir kamu bikin Om gemes. Bikin Om pengen gigit…” Desah Pandu yang kemudian mencium
bibir keponakannya dengan lembut.

CUPPP CUPPP.
Menerima semua kecupan dan godaan mesum Pandu, Lala pun tak lagi diam. Walau belum berani
untuk berbuat hal yang lebih agresif, akan tetapi gadis cantik itu mulai bisa membalas serangan mulut
mesum pamannya.

“Oh Lala. Om Sayaang banget ama kamu, Neng” Desah terus mengungkapkan rasa hatinya disela
kemesumannya. “Neng sayang juga gak ama Om?”

“CUUUP…” Lala melepaskan tautan bibirnya yang penuh dengan air liur. Menatap sejenak kearah
Pandu. Lalu mengangguk. Setelah itu Lala memeluk leher Pandu dan membenamkan wajah pamannya
di gundukan payudaranya.

“OH. EMPUKNYA TETEKMU NENG…” Erang Pandu dengan suara yang makin bergetar menahan birahi
yang semakin memuncak. “Kita pindah kekamar Neng aja ya?”

Lala lagi-lagi kembali tak menjawab, ia hanya mengangguk. Mengiyakan ajakan mesum Pandu dengan
mata setengah terpejam.

Buru-buru, Pandu mengunci pintu. Kemudian mematikan TV.

Anda mungkin juga menyukai