Anda di halaman 1dari 3

Satu Tanah Air

Sinar mentari pagi memasuki kamar pemuda laki-laki, membuat sang pemilik kamar
terganggu dan memutuskan untuk bangun dari tidurnya. Jam di dinding kamarnya sudah
menunjukkan pukul 06.30, yang berarti ia hanya punya waktu 30 menit untuk bersiap-siap dan
berangkat ke sekolah. Aheng memang biasa datang ke sekolah di waktu yang mepet, baginya itu
menjadi suatu tantangan tersendiri karena ia harus kejar-kejaran dengan waktu. “hah Udah
06.50? baru juga kelar mandi” ya setiap pagi ia selalu bangun telat dan setiap pagi juga ia selalu
repot dengan segala hal.
Jam sudah menunjukkan pukul 07.00 Aheng masih sibuk mencari topi dan dasinya,
padahal hari ini ada upacara yang berarti gerbang sekolah lebih awal daripada biasanya. “bi, dasi
sama topi Aheng kemana yak kok gaada” Tanya Aheng kepada ART nya dengan suara sedikit
teriak. “ada dilemari paling bawah” jawab sang bibi dengan suara yang tak kalah kencang.
Sekarang jam sudah menunjukkan pukul 07.05 dan Aheng sudah duduk di kendaraan yang
dibawa supir pribadinya, beruntung rumahnya dekat dari sekolah dan tidak memakan banyak
waktu. Benar saja sampai di sekolah gerbang sudah tertutup rapat, Aheng berusaha beralasan dan
merayu pak satpam agar diperbolehkan masuk gerbang “pak ayolah pak bolehin saya masuk tadi
jalan tol tuh macet pak” ujar Aheng dengan muka sok melas. “kamu fikir saya gatau dimana
rumah kamu? Jalan kaki aja cuma 10 menitan ngapain lewat tol”. Rencana Aheng gagal total kini
yang bisa ia lakukan hanya pasrah dan menunggu upacara selesai agar ia bisa masuk kelas.
Tak terasa sudah memasuki jam Istirahat “heng” panggil salah satu teman Aheng, Atuy.
“yoo bro” jawab Aheng. “gimana bro nanti jadi kaga kita tawur” Tanya Atuy. “ya jadi lah bro
nanti ketemuan di basecamp aja ya” pesan Aheng kepada Atuy. Ya ini menjadi salah satu
keburukan yang dilakukan Aheng dan teman-temannya, sekedar informasi Aheng dan teman-
temannya cukup ditakuti satu sekolah karena hal-hal yang mereka lakukan seperti tawuran,
merokok.
Jam pulang sekolah pun tiba, murid-murid disekolah itu termasuk aheng dan teman-
temannya keluar dari gerbang sekolah. Aheng bersama temannya langsung pergi ke basecamp
mereka. Mereka sengaja membuat basecamp di tempat yang agak jauh dari sekolah agar tidak
ketahuan guru, di basecamp itu lah aheng dan teman-temannya menyimpan senjata tajam seperti
pedang, golok, pisau, geer rantai. Setelah dikira semua sudah siap, mereka pun pergi ke tempat
dimana mereka berjanjian dengan musuh.
Aheng bersama kelompoknya serta kelompok yang akan dilawan Aheng, sudah bersiap-
siap diposisi mereka masing-masing. Bahkan mereka sudah sangat siap jika ada serangan
mendadak dari pihak lain, mereka sedang menunggu salah satu dari mereka memancing
keributan guna keseruan tawuran. Pihak lawan mulai memancing namun saat Aheng dan
kelompoknya siap menyerang sirine mobil polisi pun terdengar dan terdengar semakin mendekat
ke arah mereka.
Semua orang termasuk Aheng berlarian dan berusaha bersembunyi, namun sayang
sepertinya ini bukan hari keberuntungan Aheng, pasalnya Aheng dan teman-temannya
tertangkap dan dibawa ke kantor polisi. Suasana tegang menyelimuti ruangan 3x3 itu, raut wajah
dari petugas yang akan menginvestigasi mereka terlihat sangat tidak bersahabat, aheng dan
teman-temannya terlihat seperti sedang berada didepan Singa yang lapar, kalau salah sedikit saja
bisa-bisa mereka dilahap habis oleh singa.
“ada yang bisa menjelaskan apa yang terjadi tadi?” akhirnya investigator bersuara.
Hening, tidak ada yang berani menjawab investigator itu. “kenapa tidak menjawab? Tidak bisa
berbicara?” Tanya sang Investigator. “anu pak tadi kita cuma mau kumpul ngobrol-ngobrol aja
kok pak” jelas Atuy yang disetujui teman-temannya yang lain. “kalian fikir saya bekerja disini
baru satu atau dua tahun? Kalian fikir saya bodoh? Saya sudah puluhan tahun bekerja disini dan
saya faham betul apa yang akan kalian lakukan tadi” sepertinya perkataan Atuy sedikit
menyenggol perasaan sang investigator.
Sudah sekitar 10 menit suasana hening kembali menyelimuti mereka. tidak ada yang
ingin memulai pembicaraan. Salah satu orangtua dari temannya Aheng, tiba-tiba saja memasuki
ruangan investigasi sambil menangis dan memohon kepada petugas agar anaknya dibebaskan.
“pak tolong bebasin anak saya pak anak saya gak mungkin ikut-ikut tawuran pak pasti dia Cuma
dihasut teman-temannya pak” kata ibu dari salah satu teman Aheng sambil menangis.
Jujur saja Aheng merasa bersalah, walaupun sikapnya seperti itu namun baginya orangtua
tetaplah yang utama, ia tidak tega melihat ibu itu menangis tersedu-sedu sambil memohon
kepada petugas, ditambah petugas yang mengacuhkan ibu itu demi kelancaran investigasi.
Akhirnya Aheng pun memberanikan diri dan membuka suara.
“pak saya minta maaf yang sebesar-besarnya pak dan saya juga teman-teman saya berjanji tidak
akan tawuran lagi pak, kita sudah kapok pak” jelas Aheng kepada investigator.
“nak dengar ya, masa depan kalian ini masih sangat panjang, perjuangan kalian juga masih
panjang nak. Tawuran itu tidak ada artinya hanya membuang-buang waktu kalian saja kalian
juga tidak dapat apa-apa dari tawuran itu, belum lagi kalau ada korban yang meninggal rugi
kalian nak” jelas sang investigator dengan nada yang lembut karena jika dengan kekerasan
nasihatnya tidak akan masuk.
“kalian ini para penerus bangsa loh, akan jadi apa negara Indonesia jika pemudanya seperti ini,
akan jadi apa masa depan kalian jika kalian seperti ini kalian ini pemuda-pemuda cerdas, saya
yakin kalian semua sudah tau mana yang baik dan mana yang buruk, kalian harus bisa
mengamalkan isi-isi sumpah pemuda, kalian ini satu tanah air sudah seharusnya kalian bersatu
sudah seharusnya kalian saling membantu, bukan malah saling mengadu” lanjut sang
Investigator.
Sepertinya pemikiran Aheng dan teman-temannya mulai terbuka, mereka menyesali
perbuatan mereka, ditambah saat mereka keluar ruangan ada orangtua mereka yang menunggu
didepan ruangan dan siap menerima putranya kedalam pelukan.
Hari itu mereka semua dipulangkan kerumah masing-masing dengan syarat jika mereka
melakukan hal itu lagi mereka akan diproses jalur hukum. Hari itu juga menjadi hari terpanjang
bagi Aheng dan teman-temannya, dan mugkin akan menjadi sejarah dalam hidup Aheng.

Anda mungkin juga menyukai