Anda di halaman 1dari 13

Judul : Twins Penyembuh Luka

Genre : Religi dan Romantis

Sinopsis

Seorang gadis bernama Rhadiatun Zidna Adawiyah yang memiliki kembaran lelaki bernama
Rhadiatun Zidan Nabawi harus berjuang menghadapi penyakit leukimia. Di tengah
kesedihannya ia harus bertemu dengan Muhammad Faisal, lelaki yang fobia akan
perempuan yang juga teman Zidan dalam menuntut ilmu agama.

Sebagai adik Zidan ingin membawa kakaknya, Zidna ke jalan yang benar di sisa hidupnya.
Akhirnya Zidna luruh, hingga demi hijrah ia rela memutuskan hubungan yang ia jalin empat
tahun lamanya bersama Brian Kristian yang beragama Kristen.

Masalah pun kian menerpa ada kalanya hadir kebahagiaan di saat Zidna menuju ke jalan
yang benar. Di dalam ke terpurukkannya menyembunyikan penyakit dari semua orang
terkecuali sang adik dan Faisal, Zidna harus merasakan perihnya menjadi anak broken home.

Brian Kristian masih berusaha mendapatkan hati Zidna yang setiap kali menjauh darinya.
Teman-teman Zidna pun banyak membenci perubahan Zidna, banyak sekali kedengkian
yang mereka lakukan.

Muhammad Faisal lelaki itu berangsur-angsur sembuh dari fobianya berkat bantuan Zidan,
sedangkan Zidna semakin parah dengan penyakitnya. Hingga akhirnya puing-puing cinta
tumbuh di hati Faisal kepada Zidna. Namun, gadis itu masih dilema dengan perasaannya
dengan Brian. Kisah masa lalu Faisal pun menjadi suatu penghalang.

Tanpa disadari Brian perlahan belajar tentang agama yang dianut oleh Zidna dan tahu
tentang penyakit yang menggerogoti tubuh gadis itu. Rintangan demi rintangan banyak
mereka lalui.

Terlebih Zidna dan Zidan yang mempunyai misi untuk mengungkapkan siapa selingkuhan
ayah mereka yang membuat sang ayah lambat laun semakin kasar. Tiba saatnya terbongkar,
Zidna dan Zidan malah membawa selingkuhan ayah mereka ke jalan yang benar.
Hingga saatnya Faisal ingin mentaarufkan Zidna dan Brian ingin memeluk agama Islam dan
ingin memberitahukan ke Zidna. Namun, Zidna malah dilarikan ke rumah sakit karena
keadaannya yang sangat melemah. Setelah melakukan berbagai perawatan di hari yang
sama, dokter putus asa dan tak dapat menyelamatkan nyawa Zidna.

Brian, dia tetap pada pendiriannya meskipun Zidna telah tiada ia berniat setulus hati untuk
mualaf dengan memanggil seorang ustaz untuk datang ke rumah sakit, Brian pun
mengucapkan syahadat, sedangkan Faisal ia berusaha tabah dan tak mau menambah
kesedihan Zidan dan keluarga yang ditinggalkan.

Sebelum meninggal Zidna sempat menuliskan surat yang berisi ia ingin keluarganya akur
tanpa perkelahian seperti dulu.
Pertemuan Antara Dua Insan

"Leukimia?" Rhadiatun Zidna Adawiyah, gadis berusia 18 tahun itu meremas dada, kala
mendengar ucapan dari seorang dokter.

Dada terasa sesak ketika mengetahui ia mengidap penyakit leukimia. Leukemia adalah
kanker jaringan darah, termasuk tulang sum-sum. Leukimia banyak jenisnya, seperti
leukemia limfoblastik akut, leukemia mieloid akut, dan leukemia limfositik kronis.

Zidna mengidap penyakit leukimia limfoblastik yang sangat langka menyerang orang
dewasa. Pantas saja akhir-akhir ini ia sering kelelahan, gusi berdarah, wajah semakin pucat,
lemas, dan gejala lainnya. Setelah merasakan gejala-gejala tersebut, akhirnya gadis
berwajah oval ini diperiksa secara fisik. Setelah pemeriksaan fisik dokter pun langsung
menyatakan bahwa Zidna di-diagnosis mengidap penyakit kanker darah.

Apa penyebabnya ini? Makan selalu terjaga, lalu ... mengapa? Mengapa penyakit ini datang?
Semua pernyataan bergelut dalam pikiran Zidna. Setelah mendengar pernyataan yang
menyakitkan dan menguras banyak keperihan di hati Zidna pun pamit undur diri pada
dokter.

Dia keluar ruangan dengan perasaan hancur. Lagi dan lagi ia harus menguatkan hati. Sejurus
ini apa harus jujur pada kedua orang tuanya?

"Nana, udah selesai?" tanya seorang lelaki berwajah oval yang mengenakan jaket kulit
berwarna hitam sambil berdiri---Rhadiatun Zidan Nabawi---kembaran Rhadiatun Zidna
Adawiyah. Hanya ia seorang yang memanggil gadis yang kini terlihat lesu tersebut dengan
sebutan 'Nana'.

Rhadiatun Zidna Adawiyah dan Rhadiatun Zidan Nabawi adalah saudara kembar, meski
Zidna terlahir delapan menit terlebih dahulu dari Zidan, terkadang Zidan lebih bersikap
dewasa dalam mengambil tindakan dan menyelesaikan masalah.

Namun, Zidna juga memiliki sikap yang tak kalah dewasa. Apalagi ketika mendengar kedua
orangtuanya---Yasir Nabawi---dan---Raiyana Nurainun berkelahi sewaktu mereka kecil.
Sebisa mungkin gadis itu memeluk adiknya untuk menguatkannya karena ia tahu, setegar-
tegarnya Zidan lelaki itu tak kuat menahan tangis jika setiap hari harus mendengar
pertengkaran dari kedua orangtuanya. Dari sini mereka belajar bahwa kekayaan itu tidak
berarti, jika tak ada keharmonisan dalam keluarga.

Zidna mengatup kedua bibirnya rapat, cairan bening menggenang di pelupuk mata. Tak
kuat! Tak kuat rasanya menceritakan semuanya. Zidan sebagai kembaran meski tak tahu apa
yang dibicarakan dokter tadi di dalam sana pada kembarannya ini tiba-tiba merasakan sesak
di dada. Ada apa ini? Apa yang terjadi dengan Zidna?

"Nana ... Nana harus jujur!" Lelaki itu mengguncang tubuh Zidna yang bergeming.

"Zidan, Nana mengidap penyakit leukimia." Dengan suara serak gadis berperawakan tinggi
ini menjawab.

"Nana, bohong, 'kan? Bercanda, 'kan?" tanya Zidan setengah tak percaya.

Zidna menepis kedua tangan pemuda yang memegangnya. "Nana tak berbohong!" jelasnya
dengan nada tinggi. Bisa-bisanya lelaki di hadapannya ini menganggap semua ini lelucon.

"Argh! Sudahlah!” Zidna terlihat frustrasi ia mengacak-acak rambut lurus nan panjangnya.
Kemudian berlari tidak tentu arah.

"Nana!" teriak Zidan. "Argh! Biarlah, aku rasa dia perlu menenangkan diri. Sebaiknya aku
menunggu di parkiran."

"Apa yang harus aku lakukan? Penyakit ini, penyakit ini kenapa datang?!" Gadis berambut
lurus nan panjang itu meremas kepala. Sejurus kemudian ia memelankan langkahnya ketika
menemukan ruangan yang sangat sepi di rumah sakit ini. Kamar Jenazah.

"Apa nanti aku akan berakhir di sini?"

Zidna memegang kenop pintu. Tidak tertutup! Dengan perlahan ia membuka pintu dan
masuk. Matanya liar melihat seisi ruangan hanya diterangi cahaya dari luar.

"Apa aku nanti akan berakhir di sini? Argh! Pikiran apa ini?!” Zidna begitu frustrasi.
Prasangka buruk berkecamuk dalam pikirannya.

"Ah, aku tidak kuat. Aku ingin keluar, pergi dari sini dan berharap tak bertemu wanita.
Kenapa Ibu harus membawaku ke sini, bila ujung-ujungnya ia meninggalkanku?" Suara yang
berasal dari sudut ruangan menarik perhatian Zidna yang tengah mendongak menatap
langit-langit atap.

Derap-derap langkah Zidna yang mengendap menuju asal suara seakan menghitung
hitungan detik. Diikuti suara detak jantung. Ada rasa penasaran dan takut bercampur di
sana.

"Aaa!"

"Aaa!"

Seorang lelaki yang berada di sudut ruangan yang melihat Zidna langsung berteriak histeris
dan membelakangi Zidna sambil menutup kedua wajahnya. Gadis itu pun tak kalah terkejut
dan refleks berteriak.

"Ka--kau ke--kenapa di sini? Apa kau sama sepertiku yang memiliki penyakit mematikan?
Hingga frustrasi?" tanya Zidna hati-hati sambil melangkah mundur. Ia menduga lelaki yang
tampak gemetar ini memiliki riwayat penyakit mematikan sehingga ke kamar jenazah untuk
membayangkan dirinya berada di sini.

"Bi--bisakah kau t--tak be--berbicara? Kumohon," pinta lelaki tersebut dengan gemetar.

"Hah, apa?"

"Tolong! Tolong!" Lelaki itu berteriak sekencang mungkin membuat Zidna kembali kaget.

"Heh! Kau bisa diam?!" bentak Zidna, bertanya. Kesal ia sangat kesal melihat lelaki di
depannya ini. Untung saja penjaga tak ada yang datang. Secepat mungkin gadis itu keluar
dengan perasaan kesal, sedangkan lelaki yang ditinggalkannya menghela napas lega.

"Aku harus berwudu. Aku takut terkena racun," ucap lelaki yang mengenakan peci itu sambil
mengelap keringat dingin yang bercucuran di keningnya.

***

"Nana, kenapa kau terlihat kesal?" tanya Zidan yang tengah mengendarai mobil. Ia tampak
bingung melihat sang kakak yang tadi lesu, tetapi ketika menghampirinya di parkir tadi
malah menampakkan wajah cemberut.
"Nana kesal dengan seorang laki-laki, dia itu sangat aneh," jawab Zidna seraya menyilangkan
kedua tangan di depan dada.

Hatinya membara kala sekilas melihat wajah lelaki yang menjengkelkan tadi di kamar
jenazah. Tidak! Apa mungkin itu mayat yang hidup?

"Tidak baik seperti itu Nana. Dalam agama Islam---"

"Jangan ceramah!" potong Zidna.

"Nana, kamu sadar gak, sih? Penyakit ini teguran dari Allah 'tuk kamu. Allah ingin kamu
kembali ke jalannya."

Jleb!

Kenapa? Kenapa kata-kata itu seakan menusuk hati? Sakit sesak yang dirasakan oleh Zidna.
Hatinya ingin hidup tenang dalam jalan Allah. Namun, kenapa? Kenapa raganya selalu
membawa kemaksiatan?

"Aku, tidak rela jika akhirnya Nana dipanggil Allah dalam keadaan kemaksiatan, bukan
ketakwaan." Lagi dan lagi perkataan Zidan seakan menusuk hati.

"Nana, andai dulu kamu ikut aku belajar agama sewaktu SMP, pasti kamu tidak akan jadi
seperti ini. Pasti kamu tidak akan berpacaran dengan lelaki itu!" celoteh Zidan penuh
penyesalan.

Zidna bergeming mendengar kata-kata lelaki yang kini kembali fokus ke jalanan. Mulai
tumbuh penyesalan di hatinya. Ada gejolak hati yang ingin kembali tenang. Selama ini
hatinya selalu tak tenang dan bergelayut dalam kebingungan dan kesedihan.

"Zidan, apa kesalahan Nana selama ini? Coba jelaskan!"

"Kamu meninggalkan salat dan tidak tahu menga---"

"Heh! Nana dah bisa mengaji diajarin ama guru!" tukas Zidna, kesal. Padahal ia sudah bisa
mengaji setahun yang lalu, tetapi kenapa Zidan tidak tahu?
Sekarang Zidna telah menginjak kelas XII SMA MIPA, sedangkan Zidan XII SMA MIPS.
Mereka sengaja ingin berpisah, padahal mereka berdua sedari SD hingga SMP selalu satu
kelas. Sudah saatnya mereka berjauhan kelas.

"Lah, mana aku tahu. Kamu aja gak pernah ngaji di rumah."

Wajar jika Zidan tak tahu. Di rumahnya itu seakan sunyi dalam lantunan Al-Quran jika tak
ada dirinya. Bahkan, ia belum pernah mendengar kembarannya ini mengaji. Jika di sekolah
giliran Zidna mengaji, pasti gadis itu langsung beralasan bahwa ia sedang haid.

"Udah, Zidan lanjutkan lagi." Gadis beralis tebal itu memalingkan wajahnya ke luar jendela.
Meratapi pepohonan rindang. Matanya pun tak luput melihat sepasang kekasih bermesraan
di tengah jalan.

Ada rasa rindu di hatinya, pada sang kekasih yang kini telah berkuliah.

"Kamu gak menutup aurat dan kamu pacaran!" Sangat datar Zidan berucap, tetapi terdapat
ketegasan di sana juga terdapat amarah lewat matanya karena Zidna berpacaran.

***
Hubungan Yang Berakhir

"Putus?" Brian Kristian lelaki berbadan atletik tersebut terkejut ketika mendengar
penuturan dari gadis di depannya---Zidna.

Semua tak terpikirkan oleh Brian yang bertemu dengan Zidna di taman siang ini. Ia sangka
pertemuan ini untuk menghilangkan rasa kerinduan antar sesama karena semenjak ia
berkuliah ia hampir tak sempat meluangkan waktu untuk Zidna. Namun, kenapa? Kenapa
setelah ia meluangkan waktu ia harus mendengar kata-kata yang menyakitkan dari gadis
berambut lurus ini.

Wajahnya langsung merah padam, sedangkan gadis yang mengenakan celana lenjing
berwarna biru tua dan baju tunik dengan warna senada itu tertegun dengan setengah
menunduk.

Brian mengusap wajahnya yang dipenuhi bulu-bulu halus. "Alasanmu memutuskan


hubungan yang kita jalani dari SMP ini apa?! Bukankah hubungan ini yang kamu bangga-
banggakan di depan teman-temanmu?!" tanya Brian bertubi-tubi. Amarahnya memuncak
sebab tak terima dengan keputusan gadis dengan wajah pucat dan bibir membiru tersebut.

Bukan mudah baginya menjalin hubungan bersama Zidna dari dulu. Hubungan yang telah
mereka lalui dengan penuh perjuangan sewaktu SMP. Pada masa itu Brian menginjak kelas
IX SMP, sedangkan Zidna kelas VIII SMP.

Zidna menghela napas, lalu membalas tatapan Brian. "Kita berbeda Brian," jawabnya
dengan suara serak.

"Berbeda?"

"Aku Islam dan kau ...?"

"Hanya itu?"

"Lagi pula Brian ...." Zidni menggantung ucapannya sembari menyelipkan rambut lurus nan
panjang di belakang telinganya.
"Lagi pula aku tak mau menyusahkanmu dengan berbagai penyakit yang telah mengidap di
tubuhku ini." Zidna melanjutkan perkataannya dalam hati.

Selain kanker darah Zidna juga mengidap penyakit maag dan sesak napas. Semua perlahan
menggerogoti tubuhnya. Entahlah sampai kapan dia akan memendam penyakit kanker
darah pada kedua orangtuanya. Sejurus kemudian pikirannya terjatuh di saat dia dan Zidan
berada di dalam mobil selepas dari rumah sakit. Pembicaraan pun tak kunjung habis
sepanjang jalan.

"Salahkah kalau pacaran?" tanya Zidna.

"Pacaran adalah zina. Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina adalah
perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. Arti itu aku dapatkan dari penggalan surah
Al-Isra ayat 32."

Hati Zidna mencelos seketika, sejak kapan ia akan termakan oleh ceramahan yang
dilontarkan oleh adiknya ini? Padahal dulu semua perkataan Zidan sama sekali tak ia gubris.
Apa ini sebuah hidayah yang tak disadari?

"Zidan, kenapa kata-katamu hari ini begitu pedas?"

"Nana merasa itu pedas? Padahal sudah berkali-kali aku mengatakan hal itu. Mungkin inilah
hidayah yang membuat hatimu tersentuh." Zidan berubah menjadi datar saat membahas
tentang pacaran. Dia paling membenci hal yang bernama 'pacaran'. "Nana, turuti apa
kataku. Putuskan dia!" titah Zidan.

Hal itu seketika membuat Zidna kaget. Hubungan yang ia jalin 4 tahun. Apa harus bubar?

"Kamu jangan egois. Selain pacaran itu dosa, apa Nana mau merepotkan dia dengan
penyakit yang kamu derita?"

Zidna berpikir keras. Putus atau tidak? Ia ingin sekali menghabis masa-masa hidupnya
bersama orang yang ia cinta, tetapi itu bukanlah hal yang membahagiakan karena di akhir
masa-masa hidupnya ia melakukan kemaksiatan. Menikah? Itu sangat tak mungkin. Brian
harus mengorbankan agamanya demi Zidna. Itu rasanya tak mungkin dan takkan terjadi.

"Kenapa kau diam saja?!" tanya Brian sembari mengguncang tubuh Zidna, suaranya naik
beberapa oktaf hal itu berhasil membuyarkan pikiran Zidna.
"Jangan pegang-pegang!" Zidna menepis kedua tangan Brian yang memegang kedua
pundaknya dengan kasar. Hal itu semakin membuat Brian kesal.

"Akanku jelaskan pada waktu yang tepat." Dengan cairan bening yang menggenang di
pelupuk mata Zidna berlari keluar taman setelah mengucapkan kata-kata itu.

"He! Kau tak bisa lepas tangan begitu saja!" teriak Brian. Namun, tak digubris oleh gadis
yang kini terus berlari. "Lihat saja kau!"

Semilir angin menerpa rambutnya, keharuman bunga-bunga di taman seakan tak dapat
menyembunyikan keluh kesah di dada.

"Eh! Nana. Berhenti!" Seseorang mencengkam tangan Zidna, membuat gadis tersebut
langsung menghentikan langkah dan menoleh ke arah suara.

"Huh, Zidan," ucapnya lega kala melihat kembarannya.

"Gimana? Putus?" tanya lelaki berperawakan tinggi itu sengit ketika Zidna berbalik badan
dan menghadapnya.

"Iya," jawab Zidna dengan nada lesu. Di hatinya bercampur berbagai rasa antara lega dan
sedih. Jika memang dia berjodoh dengan Brian pasti ada jalan, tetapi jika dia berjodoh
dengan kematian perlu persiapan. Zidan yang seakan merasakan apa yang kembarannya
rasakan meremas dada. Ia berusaha tersenyum.

"Sebelumnya perkenalkan dulu Na, ini Muhammad Faisal teman seperjuangan aku." Zidan
memperkenalkan lelaki yang bersembunyi di belakangnya yang tampak ketakutan. Zidna
refleks menilik ke belakang Zidan yang menampakkan seorang lelaki berbadan tinggi.

"Dia kenapa? Kenapa bersembunyi di belakangmu?" tanya gadis yang kini tengah
merasakan pusing, tetapi dia tahan.

Wajah lelaki yang kini sedang menunduk itu seakan tak asing oleh Zidna. Begitu juga dengan
Faisal, wajah gadis yang sekilas hanya ia lihat ini juga seakan tak asing di benaknya.
Mencoba membayangkan di mana ia bertemu dengan Zidna pun membuat bulu kuduk
Faisal berdiri. Faisal sama sekali tak berani membayang dan mengingat wajah perempuan.

"Siapa sebenarnya dia?" Mereka saling berucap lirih dengan kalimat yang sama. Zidan yang
melihat keduanya kebingungan pun ikut kebingungan.
"Kamu yang di kamar jenazah, itu, 'kan?!" Ketika sudah mengetahui siapa Faisal, Zidna
langsung menerka dengan nada tinggi. Bukannya menjawab lelaki berhidung mancung itu
malah semakin bergetar dan meremas baju Zidan.

"Sebelumnya Nana harus tahu bahwa Faisal ini fobia sama perempuan, apalagi mendengar
suara perempuan, tapi sudah mulai mendingan tiga bulan yang lalu. Dulu dia tidak pernah
berani bertemu dengan perempuan. Namun, sekarang dia sudah agak berani," jawab Zidan.
Lelaki di belakangnya yang setengah menunduk pun hanya mangut-mangut.

Muhammad Faisal seorang lelaki berusia 19 tahun yang memiliki fobia terhadap
perempuan. Hal ini disebabkan karena ucapan dari almarhumah ibunya---Munawaroh
Haddawiyah yang selalu ia kenang juga masa lalu hidupnya sewaktu kecil.

"Apa!?" Zidni spontan terkejut dan langsung bertanya. "Lalu semalam kau pulang sama
siapa?"

Faisal telah berkeringat dingin, jantungnya berdegup kencang. Untung saja di tempat
mereka berada sekarang sangat sepi. Rasanya ingin pingsan karena tak sanggup berlama-
lama mendengar suara Zidna.

"Zi--dan." Faisal langsung bergemetar mendengar suara Zidna yang melengking.

"Semalam aku yang menjemputnya." Bukannya Faisal yang menjawab malah Zidan.

Setelah mendengar jawaban Zidan, badan Zidna melemas, kepalanya semakin pusing. Begitu
juga dengan Faisal detak jantungnya semakin berdegup kencang dan keringat dingin
bercucuran.

Zidan yang melihat keheningan mencoba mencairkan.

"Aaa! Dah lama gak ke taman ini!" Suara dari beberapa gadis yang hendak ke arah taman
berhasil membuat Faisal kaget dan langsung jatuh pingsan. Sedetik kemudian Zidna ikut
tumbang karena kelelahan. Ketiga yang melihat dua orang pingsan tak jauh dari hadapan
mereka langsung menghampiri, sedangkan Zidan bingung harus melakukan apa.

"Mbak, bisa minta tolong bantu angkat kakak saya ke dalam mobil?" tanya Zidan sambil
setengah menunduk. Melihat ketampanan Zidan membuat para gadis tersebut terpesona.
Tentu mereka langsung membantu apa yang dipinta oleh Zidan, sedangkan Zidan
mengangkat Faisal menuju mobil yang tak jauh dari keberadaan mereka.
Biodata

Nama : Fitrah IImalia

Usia : 13 tahun.

Ayah/Ibu : Sadari/Raiyana

Tempat, Tanggal Kelahiran : Penuba, 20 Oktober 2020

Hobi : Membaca, bernyanyi, dan menulis.

Status : Pelajar

Penulis novel : NIALANG ( Cinta Segitiga) dan Misteri Gadis di Balik Topeng

Anda mungkin juga menyukai