Anda di halaman 1dari 19

Lemari Ajaib presented to you by, Tim Satra Tulis VII Ibnu Rusydi.

SRRTTT.
Pintu rumah Zeida terbuka, membiarkan angin sejuk dari luar memasuki ruangan. Jam
menunjukkan pukul 04:35, waktu dimana Zeida selalu pulang dari sekolahnya. Ia langsung
membuka sepatunya dan menyimpannya di rak sepatu di dekat pintu; seperti apa yang ia
selalu lakukan.
Ia berjalan ke kamarnya, menutupkan pintu kamarnya dan bergegas untuk tidur terlantar di
tempat tidurnya. Suatu bayangan yang tidak familiar baginya menangkap perhatian Zeida dan
ia pun berdiri dari tempat tidurnya, melempar tasnya ke lantai di kaki tempat tidur.
Tatapannya bertemuan dengan sebuah lemari tua yang berada di kamarnya, bersender di
dinding. Tampaknya lemari tersebut tidak terawat dalam waktu yang cukup lama, ditunjukan
dengan semua jaring laba-laba dan debu yang menempel di lemari tersebut.
Dalam berita buruk, kakeknya Zeida telah wafat tak lama sebelum hari ini. Orangtuanya
sedang memindahkan semua barang-barang lamanya ke rumah mereka, dan lemari tersebut
sedang di simpan di kamarnya untuk waktu sementara.
“Hm.. Didalem sini ada apa, ya?” Zeida bertanya kepada dirinya sendiri, membuka pintu
dari lemari tua tersebut.
Lemarinya cukup tua, dan pintunya hampir patah dan jatuh ke kaki Zeida saat ia
membukanya. Dalam waktu ini, Zeida merasa angin dan keadaan di sekitarnya berhenti;
selagi dirinya tersedot kedalam lemari tersebut.
Di dalam lemari tersebut, beradanya dunia lain dengan hutan-hutan yang luas dan pohon-
pohon yang menjulang tinggi; menutupi langit biru cerah dari tatapan matanya. Pepohonan
tersebut sangat lebat, dan hutan-hutan yang cukup terang dengan sebagian sinar dari matahari
yang menembus daun-daun pepohonan yang cukup lebat.
“Ah.. lemari macam apaan sih ini— eh.. bentar.. LAH?? AKU ADA DIMANA??” Zeida terus
mengganti arah pandanganya kemana-mana, tak dapat fokus terhadap keadaan di sekitarnya
yang ia tak pernah lihat sebelumnya.
Zeida mengalihkan pandangannya ke sebuah badan air yang cukup kecil di dekatnya, dan.. Ia
cukup terkejut dengan persona barunya. Sekarang, ia jauh lebih tinggi daripada sebelumnya,
dan.. Yah, itu aja sih yang beda banget.
“Aku juga jadi tinggi.. Wow.. Mejik. Ngomong-ngomong, enak juga ya jadi tinggi kayak
tiang listrik begini.” Ia mengalihkan perhatiannya terhadap ketinggiannya yang telah
meningkat dengan drastis.
Aura disekitar Zeida mengalih, suara-suara kecil bel menangkap perhatiannya dan menarik
pandangannya kemana-mana. Tanpa peringatan, sebuah tangan menepuk bahunya dari
belakang.
“ALLAHUAKBAR ASTAGFIRULLAH ALAGH SIAH YA ALLAH SAHA ETA?!?!” Zeida
berteriak, merasakan seperti jiwanya hampir meninggalkan badannya.
Zeida menoleh kebelakangnya, melihat seorang peri dengan gaun indah dan mahkota yang
terbuat dari bunga. Ia.. Terlihat seperti sebuah peri, tapi peri itu gak betulan, kan? Yah..
Sekarang Zeida ada di dunia lain, jadi mungkin di dunia ini mah ada peri, ya.
“Eh — maaf, maaf.. Hehe.. Kamu berasal dari mana? Kamu bukan orang sini, ya?” Peri
itupun bertanya, suaranya yang antusias dan lembut bukanlah sesuatu yang ia pernah dengar
sebelumya. Gaun putihnya yang telah didekorasi dengan perhiasan emas dan bunga-bunga
sangat cocok dengan suaranya, menurut Zeida.
“Bukan, emangnya kenapa?” Zeida turut bertanya juga, heran mengapa seorang peri
menanyakannya pertanyaan seperti itu. Apakah ia cukup menonjol dari masyarakat di dunia
ini sampe peri tersebut dapat melihat bahwa ia bukan orang sekitar sini?
Atribut mereka juga.. Sangat berbeda. Zeida menggunakan kaos putih polos dengan celana
panjang berwarna hitam, sesuatu yang ia selalu pakai jika ia mager dan hanya ingin rebahan
di kamarnya. Sedangkan, peri tersbut menggunakan gaun yang sangat anggun dan aksesoris
yang menunjukkan bahwa ia mungkin cukup dekat dengan alam.
“Akhirnya, Jadi gini.. desa ku diserang oleh seorang penyihir.. tetapi.. sampai sekarang
belum ada tuh yang bisa ngalahin penyihir itu. Jadi.. bisakah kamu bantu aku untuk
mengalahkannya??” Peri tersebut memohon kepadanya. Menilai dari nada suara dan
ekspresinya.. Sepertinya ini merupakan masalah yang cukup berat, dan ia sepertinya sangat
membutuhkan bantuan pada saat ini.
“Waduh.. emang kalau aku bantu kamu.. aku bakal dikasih apa??” Pertanyaan tersebut
keluar dari mulut Zeida. Meskipun ia berada di dalam persona yang jauh berbeda dengan diri
aslinya, mau tidak mau, ini tetap Zeida. Zeida yang cukup menyukai imbalan jika ia akan
membantu orang.
“MASALAH IMBALAN MAH GAMPANGG!! Aku bakal kasih kamu apapun kalo kamu mau
bantu!!” Peri tersebut bersorak dengan semangat, memiliki sedikit harapan bahwa Zeida
ingin membantunya dalam permasalahan ini yang cukup besar.
“Wow, imbalan yang sangat menarik.. yaudahhh, boleeehh..” Zeida menganggukan
kepalanya, menerima permohonan peri tersebut dengan sukarela. Ia tak dapat menolak bahwa
sesuatu didalam dirinya cukup penasaran dengan apa yang ia akan dapatkan.
“Sekarang, ayo ikuti aku!!” Dengan semangat dan antusias, peri tersebut mulai berlari
mengikuti sebuah jalan yang berada di tanah dibawah mereka. Zeida masih tidak mempunyai
ide kemana mereka pergi, dan ia tidak sebodoh itu untuk hanya mengikuti seseorang yang ia
baru temui.
“Eh, kita mau kemana?? Kita aja belum kenalan, kok udah ngajak kemana-mana??” Ia
bertanya dengan waspada, dia baru daja bertemu dengan peri ini dan mereka juga belum
kenalan. Peri tersebut mulai mengurangi kecepatannya, mengganti gerakannya dari berlari
menjadi berjalan yang lebih tenang agar Zeida tak tertinggal di belakangnya.
“Oh iya ya.. hehe.. aku Khalilah, peri desa ini!! Kita akan ke desa ku yang sedang diserang, hampir
setengah desa udah hangus tau..” Khalilah.. Namanya menarik. Bagus juga, ia belum pernah
mendengar nama seperti itu.

“Khalilah.. oke.. sekarang giliranku. Aku Zeida, minimal kamu harus tau nama aku kalau
mau dibantu, ya kan?” Zeida memperkenalkan dirinya kepada teman barunya,
Mereka berjalan dan beberapa menit telah lewat, lalu Khalilah mulai memikirkan tentang apa
yang Zeida akan gunakan untuk mengalahkan Khalisha. Khalisha itu terkenal dengan betapa
sadis dan kepintaranya, tetapi... cukup boloho juga sih.
“Iya.. ngomong-ngomong, kalo misalnya kamu emang bener-bener mau ngalahin penyihir
itu, kamu mau pake senjata apa—” Khalilah terpotong, suatu suara yang Zeida tak kenal
masuk kedalam percakapan mereka.
“... butuh senjata?” Suara yang cukup berat memotong Khalilah ditengah-tengah kalimat,
Zeida hampir mengeluarkan kata-kata mutiara dari mulutnya saat ia terkejut dengan sebuah
sosok berdiri dibelakangnya. Dia keliatannya seumuran sama Zeida.. Tapi kok rambutnya
putih, sih?
“ASTAGHFIRULLAH—” Zeida berteriak. “Boleehhh” Khalilah menjawab, sepertinya
Khalilah cukup mengenal orang ini..
Kakek-kakek itu mengeluarkan sebuah pedang dengan genggaman yang terbuat dari kayu
jati, dan pedang tersebut terlihat cukup stabil untuk dipakai dalam sebuah pertarungan dengan
seorang penyihir.
“Bagus juga, makasih kek” Zeida memerhatikan pedang tersebut, memutarkannya dan
membawa perhatian terhadap semua detail yang berada di pedang yang ia baru terima.
“Kek? gw seumuran sama elu, kocak” Ekspresi terganggunya membuat Zeida ketawa
dibawah nafasnya, Khalilah mendesah dan menghentikan ejekan diantara mereka. “Udah
udah.. ayo cepat ke desa, hampir sampe loh”
Mereka melanjutkan perjalananya ke desa Khalilah, sekarang dengan teman baru. Yuan,
seorang pandai besi di desa. Pastinya Khalilah tau ini itu siapa, tapi.. Zeida hanya
memanggilnya ‘kake’ untuk sementara.
Sesampainya di desa, Zeida cukup kagum dengan rumah dan bangunan yang cukup
menjulang tinggi dan dinding-dinding yang terbuat dari batu-batu bata. Desa ini cukup sunyi,
hanya ada beberapa orang yang berada di luar dan sepertinya kebanyakan warga desa sedang
berdiam di rumahnya masing-masing. Banyak juga barang yang berserakan di lantai; sampah,
makanan, serpihan kaca dan baja, senjata yang telah rusak atau patah, perhiasan, dll.
Khalilah dan Yuan berjalan menuju dua warga yang kebetulan sedang berada diluar. Satu
sedang membereskan kekacauan di desa tersebut; mengorganisir barang-barang yang berada
di lantai, membantu warga desa yang lain ke rumahnya, dan membantu dengan banyak hal
disekitar desa.
Sedangkan, ada juga seorang warga yang hanya terdiam menyender di salah satu dinding
yang terbuat dari batu bata di desa tersebut, melihat temannya yang sedang membantu orang
lain dengan diam dan ekspresi wajah yang datar tanpa emosi yang dapat dilihat. Gantungan
kunci yang tergantung di sabuknya menarik perhatian Zeida, tetapi saat Khalilah dan Yuan
mulai mendekat ke dua orang tersebut Zeida menggeleng kepalanya dan bergegas untuk
mengikuti kedua temannya.
“Woi Rizky!! Bantuin atuh.. meni beban kamu teh..” Warga desa yang sedang beres-beres di
lantai berteriak kepada temannya, tetapi temannya hanya mengalihkan perhatiannya ke area
lain dan tidak menjawab; melipat kedua lengannya sepanjang dadanya.
“Dias!! Perkenalkan, ini Zeida!! Dia orang yang akan membantu kita mengalahkan
Khalisha!” Khalilah memperkenalkan Zeida kepada orang yang tadi sedang merapihkan
sebuah meja di depan mereka. Oh.. Jadi ini namanya Dias. Zeida melambaikan tangannya
dengan senyuman kecil.
“HALO ZEIDA!! aku Dias, Makasih ya udah mau bantu!!” Dias memperkenalkan dirinya
dengan antusias. Kesemangatannya cukup mengejutkan kepada Zeida, dia tidak akan pernah
menyangka bahwa seseorang yang desanya sedang diserang dapat menjadi se semangat ini.

Zeida dan Dias berkocok tangan, eh — i mean, shake hands.. shake itu kocok kan.. jadi
kocok tangan. Mereka berjabat tangan dan Zeida pun mengalihkan perhatiannya kepada laki-
laki yang sedang menyender ke dinding di belakang Dias. Dias menoleh kebelakangnya dan
ngesigh.
Berdirilah teman terbaiknya yang sedang menyender di dinding, dia memang selalu bersifat
seperti ini sejak kecil. Oh, iya. Ini yang dibicarain itu si Rizky. Dia tak pernah dapat
membaca ruangan dan selalu mengabaikan semua orang yang berada di sekitarnya – siapapun
itu, mereka selalu diabaikan olehnya.
“RIZKY!1!!1 SINI KAMU!!11!!!” Dias berteriak. Rizky menoleh ke arah rombongan
tersebut, mendesah dan... mungkin saja mengeluh dibawah nafasnya. Meskipun ia bukanlah
penggemar besar dalam hal-hal yang menurutnya membosankan, ia tetap berjalan ke arah
temannya.
“Apa?” Rizky bergumam, nada suaranya yang terdengar bosan dan tidak tertarik dalam
percakapan ini, ditambah dengan ekspresi wajah yang datar dan tidak menunjukkan banyak
emosi... Hmm... ini orang kayaknya kurang tertarik sama hal yang seperti ini. Zeida berpikir
kepada dirinya sendiri.
“Rizky, ini Zeida. Dia akan membantu kita mengalahkan Khalisha!! Dan Zeida, ini Rizky.
Dia orang yang biasanya tau segalanya tentang berita terbaru di desa ini!!” Khalilah
bersorak, mencoba untuk membawa sedikit kesemangatan kedalam percakapan ini.
Oh, namanya Rizky.
Rizky menoleh ke arah Khalilah, ekspresinya tidak terlalu semangat.. Sama aja kayak tadi,
sih.
“...Siapa?” Rizky bertanya, tidak memperhatikan apa yang tadi Khalilah bilang. Yuan
mendesah lagi, muak dengan kurangnya perhatian Rizky di topik ini. Ini cukup serius,
sedangkan Rizky memperlakukannya seperti sebuah topik harian yang tak penting.
Dias mengejek, melipat tangannya didepan dadanya. “Ih, orang udah dikasih tau!! Dengerin
makanya!! Ini Zeida, dia--” Dias terpotong oleh temannya, sebuah seringai sinis tertempel di
wajah Rizky.
“...Siapa nanya?” Rizky terkekeh, seringainya tak meninggalkan wajahnya. Dias terlihat
muak; terpaksa untuk menghadapi temannya ini yang cukup... melelahkan.
“Ni anak nyebelin banget dah..” Yuan memutar matanya.
Gak tau berapa tahun ini kakek kakek udah hidup.. Tapi kayaknya ini bukan pertama
kalinya deh,
Zeida hanya dapat tertawa gugup melihat teman-temannya yang terlihat muak dengan kelakar
Rizky. Suatu benda memantulkan cahaya matahari ke mata Zeida, dan tentunya barang itu
menarik perhatiannya. Sebuah gantungan kunci berwarna hijau yang berada di genggaman
tangan Rizky menarik perhatiannya,
...gantungan kuncinya keren, tapi kayaknya itu mah gak terlalu penting.
Khalilah mendesah – “Yaudahlah biarin aja. Ayo Zeida, kita cari ingfo tentang Khalisha!” ia
mengajak. Zeida hanya mengangguk, memang dia ada pilihan lain?
“Yaudah, iya-in aja sih aku mah.”
Mendengar ini, Dias bersemangat. “Ikut dong!!” Akhir-akhir ini, dia tidak dapat melakukan
apa-apa yang menyenangkan. Jadi, saat ada kesempatan untuk sebuah pertualangan, yah.. Dia
gak bakal menolak!
Melihat kesemangatan Dias, Zeida mengangguk dan berkata; “Bolehhhh.”
Yuan menabrak pembicaraan mereka yang singkat, “Bentar, kalo kita mau cari ingfo tentang
Khalisha, kita harusnya tanya ke Rizky gak sih? Katanya dia yang paling tau?”
“Oh iya ya, bener juga..” Khalilah menyetujui, dan semuanya pun menoleh ke arah Rizky
setelah Yuan berbicara. Dias menanyakan; “Rizky, ada ingfo gak tentang Khalisha? Kan
biasnya kamu yang tau segala macam ingfo” dia mengingatkan.
Rizky tak membutuhkan banyak waktu untuk meberikan informasi kepada mereka, dan ia
pun mengingat; “Khalisha? Dia biasanya berada di hutan. Dia juga punya 1 anak buah, tapi
wujudnya setan.” Rizky menjawab. Sejujurnya, informasi tersebut tidak terlalu cukup..
“...Udah?? Segitu doang??” Yuan menanyakan – dia berpikir bahwa Rizky akan mengetahui
lebih banyak dari itu.. Mungkin senjata apa yang dipakai Khalisha, dimana mereka bisa
menemukannya, kelemahannya..
“Huu si paling tau segalanya kok cuma tau segitu sih??” Dias mengejek, tidak terlalu puas
dengan informasi yang Rizky berikan kepada mereka. Rizky juga tidak terlalu puas dengan
perlakuan Dias kepadanya, minimal bilang makasih, lah.
“Apasih, nyebelin banget.” Rizky mencemooh, membuang pandangannya dari temannya.
“KAYAK SENDIRINYA ENGGAK AJ—“ Dias berteriak,
“SUUUUUTTTT” Zeida memotong perkataanya sebelum kata-kata mutiara keluar dari
mulut Dias.
“Sekarang, yang paling penting itu Zeida bisa gak pake pedang yang dikasih Yuan?”
Khalilah mencoba untuk mengalihkan pembicaraan mereka kembali kepada konflik yang
sedang terjadi dan yang harus di selesaikan.

Zeida melakukan beberapa trik dengan pedang yang diberikan Yuan, mengejutkan semuanya
yang sedang memperhatikan. Rizky melihat ini sebagai sebuah kesempatan untuk berduel,
sesuatu yang sering ia lakukan dengan warga desa lainnya. Dia tak akan menolak sebuah
tantangan. Dan dengan itu, Rizky mengeluarkan pedangnya dan melangkah kebelakang dan
memberikan ruang diantara Zeida dan ia sendiri.
“Sini bro, kita duel.” Rizky mengajak, dan.. Zeida menerima tantangannya tanpa
memikirkannya lebih lanjut.
Zeida dan Rizky menunjukkan bakat mereka dengan pedangnya. Ada beberapa panggilan
dekat dimana Khalilah cukup khawatir bahwa salah satu dari mereka akan terluka, tetapi
semuanya jatuh ke duel yang ramah dan bukan sesuatu yang terlalu serius.
Yah, belum menjadi yang terlalu serius.
“Kalo bisa kayak gitu kayaknya udah siap deh, bagus cara pake pedangnya!! Rizky itu yang
paling jago pake pedang tau di desa ini, kalo bisa kayak gitu sama sepuh pepedangan desa
ini berarti bisa ngalahin Khalisha!!” Dias bersorak. Dia telah menjadi teman Rizky untuk
waktu yang cukup lama, dan ia tau bahwa Rizky itu cukup sulit untuk dikalahkan dalam duel
seperti ini.
“Si paling jago pake pedang coy.” Yuan berkomentar, kagum dengan bakat Rizky dan juga
kemampuan Zeida saat berduel dengan salah satu orang di desa ini yang sulit dikalahkan. Dia
adalah seorang pandai besi yang terkenal, jadi dia sudah tau orang-orang yang terampil dalam
pertarungan pedang.
Zeida dan Rizky selesai berduel, berjabat tangan. Suara tepukan tangan Khalilah, Yuan, dan
Dias memenuhi suasana. Zeida menyimpan kembali pedangnya disampingnya,
mendengarkan apa yang Khalilah akan katakan.
“Segitu mah kayaknya udah cukup deh!” Khalilah berkesan. Mendengar ini, Zeida cukup
heran mengapa kemampuannya itu sudah cukup untuk mengalahkan seorang penyihir. “Hah?
Segitu doang masa udah cukup buat ngalahin penyihir?” dia bertanya,
“Penyihir yang satu ini agak boloho.” Dias menjawab pertanyaan Zeida.
“Wow.. penyihir boloho. Sekarang dia dimana?” Belum pernah dalam hidupnya ia
mendengar seorang ‘penyihir yang boloho’.
“Coba tanya Rizky—” Yuan menjawab, tetapi saat ia mencoba untuk mencari Rizky, dia
sudah tak berada di samping Zeida. “eh si Rizky kemana??”
Semuanya mencari Rizky yang hilang entah kemana. Dias tidak terlihat terlalu terkejut,
mungkin ini memang kebiasaan Rizky? Dias hanya menggelengkan kepalanya dan mendesah
sebelum melanjutkan; “Bukannya tadi dia bilang Khalisha biasanya ada di hutan ya?”
Kalo misalnya Rizky ngilang kayak gini Dias gak kaget... pasti gak jauh, ya?
“Oh iya, hayu atuh!” Khalilah menyetujui, dan mereka pun pergi keluar dari desa tersebut
menuju arah hutan diluar desa. Menurut Zeida, aura hutan ini sangat berbeda dengan saat ia
pertama kali masuk kedalamnya. Mungkin ini karena sekarang ia memiliki teman bicara?

Sinar matahari tetap menembus daun-daun yang lebat di atas pohon, tetapi di area sini langit
biru dapat lebih terlihat dan hutannya pun menjadi lebih cerah. Rombongan tersebut terbawa
percakapan dengan Dias menceritakan apa yang suka terjadi di desa dan pengalamannya
dengan Rizky, Khalilah menceritakan semua hal yang spektakuler yang ia pernah saksikan di
dunia ini, Yuan terkadang memberi tahu tentang semua pedang dan senjata yang ia telah buat,
selagi Zeida hanya terdiam dan mendengar teman-temannya.
Waduh.. Mereka keren banget pengalamannya, yang aku biasa banget..
Pada akhirnya, percakapan mereka pun kembali ke topik tentang Khalisha, sang penyihir
boloho yang tadinya dibicarakan seluruh warga desa saat Yuan berkomentar; “Kayaknya
gampang banget deh nemuin tempatnya, biasanya Khalisha suka... berlebih lebihan.”
Mereka terus berjalan menyusuri hutan tersebut dan akhirnya mereka menemukan sebuah
pagar hitam di akhir jalur sempit tersebut. “Maksud kamu yang ‘berlebih lebihan’ itu dibalik
gerbang yang dijaga oleh... setan biru?” Zeida menanyakan, menunjukkan telunjuknya ke
pagar hitam dan setan biru yang sedang duduk dipinggir nya. Melihat itu, Dias cukup
tercengang. Meskipun ia telah menghabiskan seluruh hidupnya di dunia ini, baru pertama
kalinya ia telah melihat seekor setan biru. “Baru tau setan bisa biru aih..” Dias mengucap.
“Yaudah atuh, ayok masuk!! Jangan buang-buang waktu!!” Teriakan antusias Khalilah
diikuti oleh pergerakannya yang berlari langsung kearah pagar tersebut, diikuti oleh Dias dan
Zeida yang mengejarnya, sedangkan Yuan hanya berjalan dibelakang mereka dengan tenang.
“Itu.. Bukannya yang ngejaga pager??” Tanya Zeida selagi menunjuk ke arah setan biru
tersebut dengan diam diam. “Setannya lagi makan batagor, maklumin aja. Pasti capek
ngebantu penyihir. Udah mah penyihirna boloho deui..” Dias bergumam, volume suaranya
cukup kecil agar setan bitu tersebut tidak melihat mereka. “Ayo cepet. Keburu dia ngeliat
kita.” Ucap Yuan selagi bergegas mendorong teman-teman di depannya untuk berjalan lebih
cepat.
Keenakan makan batagor gak sih, setan tadi? Kita lewat aja gak liat.
Akhirnya mereka pun masuk kedalam arena Khalisha. Arenanya cukup kosong juga, hanya
beberapa kardus di pinggir, pedang rusak yang terbelah dua, dan juga tanaman yang
membanjiri arena tersebut. Tapi, Khalisha tidak terlihat oleh satupun orang dari rombongan
mereka.
“Lah.. kirain bakal ada lebih banyak barang disini, kok kosong banget?” Zeida berkomentar,
menoleh ke kanan dan kiri melihat-lihat disekeliling arena itu. Sepertinya ini bukan tempat
untuk mengalahkan Khalisha, area ini cukup kosong dan hampir terlihat terbuang. Sesi
melihat-lihatnya terpotong dengan suara Khalilah yang menanyakan; “Kamu beneran udah
siap, Zei?”
Sebelum ia dapat menjawab, Yuan memotongnya di tengah tengah. “Nanti aku bakal bantu
kok.” Dia mengucap. Dias juga menyampaikan apa yang sedang ada dipikirannya kepada
teman-temannya, “Aku nunggu dipinggir aja, maaf aku gabisa bantu di dalem arena..” Dias
meminta maaf. Tak lama setelah itu, Khalilah pun menerobos setelah Dias berbicara. “Aku
ikut Dias, soalnya aku juga gak bisa pake pedang.. Hehe..” Sebuah tawa kecil keluar dari
mulut Khalilah dan ia menggaruk belakang kepalanya.
“Rizky gak kesini? Masa dia sendirian di desa?” Yuan bertanya kepada Dias, dan ia
menjawab tanpa ragu-ragu. “Dahlah, biarin aja tu anak. Beban. Apalagi kalo dibawa kesini,
makin beban lagi.” Dias langsung menjawab.
Rombongan mereka melanjutkan berjalan terus menerus lebih dalam ke arena tersebut,
Waduh.. Gede banget ini arena, kapan sih sampenya? Dah capek..
Akhirnya, mereka pun sampai kedalam arena yang mereka belum lihat. Sebuah sosok dengan
topi penyihir hitam yang lancip dan jubah hitam dan merah, di temani oleh sebuah sapu lidi
disampingnya adalah petunjuk jelas bahwa inilah Khalisha yang mereka cari.
“Huff... nyampe juga dah kesini.. capek banget..” Khalilah mengeluh selagi menangkap
nafasnya, “Ternyata capek juga yah..” Dias juga setuju. Selagi mereka mengeluh dengan
betapa lelahnya mereka setelah perjalanan tersebut, Zeida tetap menatap ke arah penyihir
yang berdiri di tengah arena.
“...itu yang namanya Khalisha teh?” Zeida bertanya, menunjukkan telunjuknya ke arah
sosok tersebut. Beberapa detik lewat tanpa suara apapun, sebelum Khalisha mulai berbicara.
“Evil laugh...kalo kalian bisa mengalahkanku, desa kalian bebas. Kalo kalian kalah, kalian
jadi.. apaya.. jadi anak buah ku.” Khalisha tertawa, melangkah maju dan membawa sapu
lidinya di tangan kanan.
“Hayok, mending nyerah dulu daripada nyesel.” Zeida mengucapkan dan mengeluarkan
pedangnya, melangkah lebih dekat ke penyihir itu yang berada di tengah arena. “Huuuu
apasih, si paling selalu menang duel!!” Khalisha berteriak, kesal dengan ucapan Zeida yang
ia tangkap sebagai kesombongannya.
Dias dan Khalilah hanya menonton dari belakang dengan rasa takut dan keringat dingin
menetes sedikit demi sedikit. Yuan hanya memantau dari samping, tangan dibelakang
punggungnya selagi memantau dan mengoreksi gerak-gerik Zeida.
Pertemuan diantara dua pedang yang mewakili kubu baik dan kubu buruk tentu dapat di sebut
salah satu pertempuran yang paling menegangkan bagi para warga desa. Siapakah yang akan
keluar dan membawa kemenangan? Dan, siapakah yang akan lari dari arena dengan
kekalahan dan rasa malu?
Suara terpukul, terseret, dan tergeseknya pedang dan sapu lidi itu dengan satu sama lain
melebihi arena tersebut – dapat juga melebihi satu hutan itu. Berapa kalinya Zeida hampir
mengalahkan Khalisha dengan hembusan pedangnya, tak dapat terhitung oleh siapapun yang
sedang menonton. Mereka terus menerus bertarung tanpa adanya kata ‘menyerah’. Khalisha
terjatuh, ia bangkit lagi. Ini terus menerus berlanjut hingga Zeida menjatuhkan Khalisha dan
ia tanpa sengaja melempar senjata miliknya cukup jauh.
Zeida berjalan balik ke teman-temannya yang berada dipinggir dan ia pun disambut oleh
sorakan Dias dan tepukan tangan dari Khalilah dan Yuan.
“EAAAA sang penakluk penyihir boloho!! KEREN!!” Dias bersorak, diikuti oleh tertawanya
Khalilah dan Yuan. “Array yang ngelawan aku yang gemeteran..” Khalilah berkomentar
sehabis menertawakan Dias. Rasa senang dan lega melebihi ketiga orang itu yang tadinya
menonton dari pinggir, meskipun bukan mereka yang bertaruh dengan penyihir itu.

Sehabis semua sorakan dan pujian dari Khalilah dan Dias, sebuah pertanyaan muncul dari
kakek-kakek yang tadinya berada di pinggir. “Jadi abis ini kita ngapain, Khalilah?” Yuan
bertanya kepada peri itu. Zeida cepat untuk membantu untuk menjawab pertanyaanya juga,
“Katanya Khalilah mau ngasih aku imbalan?” Ia menjawab dengan singkat.
“Oh iya ya, jadi—” Khalilah terpotong oleh suara musik yang keras, entah dari mana musik
itu datang. Zeida merasa seperti ini bukanlah hal yang baik. Ia hanya mempunyai firasat
bahwa segalanya akan berubah menjadi buruk dalam sedetik ini.
Dias sepertinya orang pertama untuk mengucapkan suatu hal tentang musik yang tidak
dikenal ini. “...lah, kok ada boss music?”
Orang asing yang cukup familiar dengan tiba-tiba berdiri didepan arena tadi. Bersosok tinggi,
dilengkapi dengan jubah hitam dan merah yang sama dengan tadi yang Khalisha gunakan,
dan juga.. Gantungan kunci mengkilap berwarna hijau.
“Oh, jadi kalian kira cuma sampe situ doang? Ini bukan akhir. Ngalahin Khalisha mah
gampang. Penyihir se-boloho itu masa susah ngalahinnya?” Orang asing itu berbicara.
Suaranya sangat familiar bagi keempat teman tersebut,
Gak mungkin kalo ini..
“Hah?? RIZKY?? KAMU KEMANA AJA??” Khalilah berteriak dengan ekspresi
terkejutnya, Yuan yang selalu tenang pun terkejut dengan berita ini. “RIZKY?????” Dias
juga ikut berteriak, seberapa tahun mereka menjadi teman dekat.. Ia hanya saja baru
mengetahui tentang rahasia sahabatnya sekarang.
Cukup bikin sakit hati juga, ya.
“Sigh, terkadang.. aku gak percaya kalian itu sebodoh ini.. AKU UDAH LAMA JADI
TANGAN KANANNYA KHALISHA!! MASA KALIAN SAMPE SEKARANG GAK
NYADAR SIH??” Rizky berteriak dengan lantang,
“Tapi kan—” Dias tergagap dalam ketidakpercayaannya, melihat siapa yang ia anggap
sebagai teman baiknya untuk entah berapa tahun mereka telah bersahabat; mengkhianatinya
didepan matanya. Meskipun ia tau bahwa bukan ia yang harus mengalahkan Rizky, apakah
hatimu tak akan sakit jika harus melihat sahabatmu dikalahkan?
Tetapi, Zeida langsung bertindak. Ia baru saja bertemu dengan Rizky, dan mungkin tidak
mempunyai sebuah persahabatan sekuat Dias dan Rizky untuk sekarang.
“Maju, Ki. Kalau berani.” Zeida bersikeras, mengeluarkan pedangnya, dan
melangkah maju ke arah si pengkhianat tersebut.
Di samping arena, Yuan tetap bersedia untuk membantu Zeida, sedangkan Khalilah dengan
semangatnya menonton perlawanan sekali seumur hidup. Dias, ia hanya dapat menutup
matanya dan berbalik badan dari semua kerusuhan tersebut.
Setan biru tadi yang harusnya menjaga pagar diluar akhirnya selesai dengan istirahat
sejenaknya, ditandai dengan teriakan; “RIZKY!” yang dilanjutkan dengan sebuah pedang
yang terbang melalui arena dan tepat ke tangan Rizky.
Tak tau apa yang terjadi, tetapi suasana menjadi semakin tegang saat Zeida melangkah lebih
dekat ke arah Rizky, salah satu pendekar pedang terampil di desa. Cahaya matahari tembus
melalui kanopi pepohonan, menciptakan lapisan bayangan di sekitar mereka. Dua pedang
mengkilap – siap untuk menguji keahlian mereka.
Rizky melemparkan senyuman dingin, mata tajamnya berkilat dalam sinar matahari yang
redup. Zeida, dengan tatapan tekad, menghadapinya dengan pedangnya yang bercahaya.
Pertempuran ini akan menjadi ujian sejati bagi keterampilan mereka.
Saat pertarungan dimulai, kedua pedang beradu dengan suara gemerincing yang menggema
di hutan yang sunyi. Rizky mengayunkan pedangnya dengan kecepatan dan presisi yang luar
biasa, mencoba menemukan celah dalam pertahanan Zeida. Namun, Zeida dengan lihai
menghindari setiap serangan dengan gerakan tubuh yang gesit.
Zeida, dengan serangan kilatnya sendiri, mencoba menyerang Rizky. Namun, Rizky mampu
mengantisipasi setiap gerakannya dan dengan mantap memblokir serangan-serangan itu.
Mereka berdua adalah pedang-maestro yang luar biasa, seolah bermain catur pedang di
tengah hutan yang sunyi.
Pertempuran berlangsung lama, dan keduanya semakin lelah. Tetapi mereka terus berjuang
dengan tekad yang kuat. Keringat bercucuran dari wajah mereka, dan pernafasan mereka
semakin berat. Setiap gerakan adalah upaya terakhir mereka untuk mengalahkan lawan.
Akhirnya, Zeida dapat mendorong Rizky lebih dekat ke Khalisha yang telah pingsan
sementara dilantai, tetapi rencana pertamanya telah dihancurkan oleh Rizky saat ia
mengambil senjata Khalisha yang terjatuh dilantai.
Menggunakan dua senjata itu cukup gampang, tapi menggunakan dua senjata yang berbeda
itu sulit. Rizky sulit mengendalikan pergerakannya dengan dua pedang berbeda itu, dan Zeida
pun mengambil kesempatan ini untuk merebut pedang Khalisha dari tangannya dan
melemparkannya ke Yuan.
Yuan tanpa ragu-ragu melompat kedalam arena dan membantu Zeida dalam perlawanan ini.
Sekian lamanya mereka bertiga berada di sini, akhirnya Yuan dan Zeida dapat menjatuhkan
Rizky ke lantai dan Zeida mengarahkan pedangnya ke wajah Rizky, selagi Rizky hanya dapat
terduduk di lantai dengan kaki terlantang.
“Sipaling jago pake pedang, hm?” Zeida menertawakan Rizky dibawah nafasnya. Rizky
mendengar komentarnya tersebut, dan itu hanya membuatnya lebih marah dan kesal dari
sebelumnya.
“Ish... apasih.. NYEBELIN BANGET!! EMANG BISA YA ORANG SENYEBELIN
INI??” Teriak Rizky dengan amarahnya. Meskipun ia dapat dibilang cukup kesal, dia tidak
dapat berpura-pura bahwa dia telah diserang secara tidak adil oleh Zeida. Hampir saja ia
tenang, tetapi sebuah ejekan dari samping pun terdengar.
“dA akU mAh gaK aDA yANg bIsA nGalaHIn, oRanG aKu pAliNG jAGo pAke PeDaNg dI
DeSA iNI~~” Dias mengejek, menjulurkan lidahnya sedikit dan menertawakan Rizky.
Wadidaw, ngejek sahabat sambil melet ni orang.
Khalilah ikut menertawakan perkataan Dias, sedangkan yuan hanya berdesah dengan
sendirinya di belakang mereka. “Gimana? Nyerah?” Yuan menanyakan kepada Rizky,
Sebelum Rizky dapat membuka mulutnya pun, yang harusnya meenemaninya di jalan buruk
ini; Khalisha dan setan biru tadi, mereka hanya berlari bergegas keluar dari arena tersebut
tanpa menunggu Rizky. Melihat dari burung-burung yang terbang pergi dari pepohonan, bisa
dibilang bahwa Khalisha dan setan biru batagor telah kabur jauh dari tempat itu.
“IH APA APAAN?? Ini kok aku ditinggalin sih??” Rizky plonga-plongo. Dalam refleknya, ia
menarik pedang Zeida yang tadinya diarahkan kepadanya, dan Zeida pun terjatuh kebawah,
memberikan Rizky waktu kecil untuk pergi lari dari sana dan menyelamatkan dirinya dari
rasa malu.
“Wow... paling minimal satu dari tiga orang berani untuk tetap di sini buat dikasih
hukuman..” Dias berkomentar, mengikuti Khalilah dan Yuan selagi mereka mendatangi
Zeida yang bercocor keringat setelah berlawanan dengna Rizky.
“Yah... yaudah deh. Penyihir dah kabur, desa kita sepertinya sudah bebas..” Khalilah
bercakap selagi Yuan membantu Zeida berdiri lagi di kedua kakinya. Mendengar ini cukup
menyedihkan, petualangan mereka serasa baru saja dimulai dan sekarang telah terpisah lagi.
“..akhir dari pertualangan kita dong?” Yuan menanyakan, melipat tangannya di dada selagi
menoleh ke Khalilah dan Dias. Zeida melihat gantungan kunci yang tadi selalu dibawa Rizky,
dan ia pun membungkuk kebawah dan mengambilnya.
Dias mengangguk sebagai jawaban terhadap pertanyaan Yuan, menoleh ke Khalilah yang
sedang bertanya kepada teman mereka; “Jadi... kamu mau apa, Zei?”
“Kamu.. bisa bawa aku pulang gak?”
“Bisa, nih liat!”
Lemari tua yang berada di awal tadi muncul didepan mereka bertiga. Zeida berjalan ke dalam
lemari tersebut, melihat kebelakang untuk terakhir kalinya dan ia melihat teman-teman
barunya melambaikan tangan mereka sebagai pamitan terakhir.
“Yahhh.... DADAH ZEIDAA! MAKASIH YAA!”

...

“HAH--oh..”
Zeida terbangun ditempat tidurnya, pakaiannya tidak sama lagi, dan lingkungannya pun
sudah berganti. Tergantikan pakaian yang tadi ia gunakan dalam pertualangannya dengan
baju tidur, dan sekarang ia berada di kamar tidurnya dan bukan lagi dunia lain dengan teman-
temannya.
Sesuatu yang cukup berat terletak di telapak tangannya,
Gantungan Kunci Rizky.
“Kangen dikit gak ngaruh, kan?”
Sebuah senyuman kecil terbentuk di wajahnya, memasukkan gantungan kunci tersebut
kedalam sakunya dan berdiri dari tempat tidur.
Apakah semua itu hanyalah sebuah mimpi? Apakah pertemuan tersebut akan terus berada di
pikirannya abadi hingga akhir waktu? Rasa rindu itu tak dapat diabaikan dan di lupakan
semudah itu, sekarang tak ada lagi yang menemaninya dengan rasa bahagia, tak ada yang
menjaganya dengan tenang, tak ada yang dapat berbicara dengannya sepanjang perjalanan
di hidupnya, dan.. Tak ada lagi yang dapat ia ajak untuk berlatih pedang. Semua itu,
hanyalah sebuah khayalan dalam mimpinya dan pikirannya saja.
Setelah kejadian tersebut, ia terus memegang dan membawa gantungan kunci Rizky
kemanapun ia pergi. Berharap bahwa suatu hari nanti... ia akan bertemu lagi dengannya,
bertemu lagi dengan teman-temannya yang lain.

CREDITS:
TIM AKTING wajah dibalik tokoh-tokoh Lemari Ajaib.
M. Zeida Al Gofari sebagai MC(1)
Fayruza M. Arrayan sebagai MC(2)
Khalilah Alqifaari Ferlino sebagai Peri
M. Raevan Yuan Senjaya sebagai Senku Coyyy
Dias Kayana Putra sebagai MVP Desa
Rizky Noer Ramadhan sebagai Anak Buah Baginda Ratu Khalisha Sang Penyihir Boloho
Khalisha Nur Ghania sebagai Baginda Ratu Khalisha Sang Penyihir Boloho
TIM SASTRA TULIS yang telah menulis dan merevisi skrip dari cerita.
Jihan Alisya Putri juga memainkan Narrator 1
Rania Syamsa Gumilar
Athaya Nathania Hazimah
Binar Aura Najlani Maajid
Dika Malik Robiansyah
Rakhana Aditya Alkhalifi
Reyza Khairan Akhtar
HONORABLE MENTION: Qanitah Husna Rachmanita sebagai Narrator 2

TIM MUSIK menemani drama kami dengan musik yang cocok.


Andi Keisya Fahira Hasna
Nayshilla Tazki Azzahra
Nadya Almahyra Zahra
Kirana Sarisha Aydin Khairiyah
Hanif Manah Pradaya
M. Fayza Asro
Rakhaendra Rafasya

TIM KRIYA merakit prop yang dibutuhkan untuk drama.


Qanitah Husna Rachmanita
Elsyira Adeela Althafunnisa
Anindya Al Gawi Nurzaman
Raga Hidayatullah
Firaz Raffasya Fathurrohman
Aby Rizqi Ramadhan
Alif Rizqi Rezaqi

Tapi, apa yang terjadi setelah itu semua?

“Kangen dikit gak ngaruh, kan?” Zeida berkata sebelum memasukkan gantungan kunci
tersebut kedalam sakunya. Siapa tau? Mungkin mereka akan bertemu lagi. Ia berjalan ke
dapur, mengambil sarapan selagi memikirkan tentang mimpi tersebut.“Itu semua.. beneran
cuma mimpi?” Ia mendesah, overthinking, merenung, bersedih – selagi makan batagor.
“Kangen dikit, lama lama ngaruh juga ya?”
...
“Zei.” Sebuah suara familiar berbicara,
“ASTAGHFIRULLAH—“ Zeida berteriak, sekali ini tidak mengeluarkan kata-kata mutiara.
Dan itupun langsung menarik perhatian Zeida, dan ia tanpa ragu-ragu melirik ke belakang.
Dia melihat sosok Rizky lagi, bersender di dindingnya seperti saat mereka pertama kali
bertemu.

“lah.. bentar.. RIZKY?!” Dengan mata terbelalak, Zeida merasakan kejutan yang luar biasa
saat melihat Rizky berada di dapurnya. Dia tidak pernah membayangkan bahwa saat itu akan
tiba, dan raut wajahnya mencerminkan keheranan yang murni. Sejenak, ruangan itu terasa
hening, dipenuhi oleh kejutan yang tak terduga. Zeida mencoba memproses kehadiran Rizky
di dapurnya, wajahnya yang penuh dengan ekspresi campuran antara kebingungan dan
ketidakpercayaan.
“Ya, Rizky. Lu napa si? Merenung mulu dah daritadi.” Rizky menjawab dengan wajah yang
bingung, menaikkan salah satu alisnya. “OH OH, BERARTI.. BERARTI.. berarti..
naonnya.. BERARTI ITU BUKAN CUMA MIMPI??” Zeida berteriak, bingung, tersandung
kata-katanya selagi berbicara dengan Rizky. Dalam detik itu, Zeida pun ingat bahwa
gantungan kunci milik Rizky masih berada di tangannya.
“HEI RIZKY‼ Ini gantunga— Eh— si Rizky.. kok udah ilang lagi sih— oh.. ah elah.. ternyata
cuma halusinasi. Gaje bener.” Zeida hanya berdiri disitu dengan bengong, menoleh kemana-
mana untuk mencari kemana Rizky pergi. Ia menatap gantungan kunci yang berada di
tangannya, bengong, menatap gantungan tersebut hingga ia menjadi gila.
Sebuah notifikasi dari HP-nya Zeida membangunkan Zeida. Saat ia pun akhirnya menyadari
bahwa ada yang mengirim pesan kepadanya, Fayza.
Fayza : Zei, jadi gak latihan? Lusa tanding cog
Zeida : Alagh siagh urang poho
Setelah ia membaca dan membalas pesan dari Fayza, Zeida bergegas untuk bersiap pergi ke
sekolah dan berlatih bersama teman-temannya di Kelas Cerdas P.E. Sebenarnya, sekarang
hari minggu, tetapi Kelas Cerdas Physical Education memiliki sebuah pertandingan futsal
dengan sekolah lain, jadi mereka memiliki sebuah latihan yang telah dijadwal pada hari ini.
Zeida bergegas untuk mengambil semua barang yang ia butuhkan; bola, baju ganti, botol
minum, bekal, uang saku, dll. Setelah semua barang yang Zeida butuhkan berada di tasnya,
dia bergegas keluar dari pintu itu seperti ia sedang dikejar malaikat maut, naik ke atas
sepedahnya, dan pergi ke sekolah secepatnya.
...
Sesampainya Zeida di sekolah, ia langsung memarkirkan sepdahnya didekat sepedah teman-
temannya yang lain, berlari ke lapangan futsal sintetis, menangkap nafasnya saat ia akhirnya
berdiri di samping teman-temannya. “Huff.. telat dikit gak ngaruh, kan?” Zeida terkekeh
gugup, menggaruk belakang kepalanya.
“NGARUH BOLOHO‼ MANA LU BALES WA GW LAMA BANGET LAGI‼” Fayza
berteriak, memukul kepala Zeida dengan sebuah ranting yang berada di lantai didekat
kakinya. “Aku ketiduran kehed” Zeida memutar matanya, cukup bosan dengan Fayza yang
selalu meriakinya jika ia telat. Fayza juga menabok Zeida, muak menjadi temannya.
“APASIH?!” Zeida berteriak, melihat Fayza menjulurkan lidahnya didepan muka Zeida
sebelum meninggalkannya ke area latihan dimana yang lain sedang berlatih untuk hari
tanding.
“AH SI EJA” Zeida berteriak lagi, berlari ke arah Fayza dengan amarah. Saat ia sudah
menyusul Fayza, Fayza berteriak didepan muka Zeida; “SURUH SIAPA NGESELIN?”
“KAYAK SENDIRINYA ENGGAK AJ—“ Zeida terpotong,
“SUUUUTTTTT” Kanaka memotong Zeida, menabok belakang kepalanya.
Zeida bengong melihat Kanaka, seperti ia baru saja mengerluarkan suatu kalimat yang
menyinggung Zeida hingga ia tidak dapat mengeluarkan satu kata pun. Ternyata Zeida..
memikirkan sesuatu. Kanaka.. terlihat.. familiar. Dia terlihat seperti.. Rizky.
“Zei? Cepetan ih, dari tadi meni susah. Lama nungguin kamu jadi telat latihan. Mana
dateng-dateng bengong ngeliatin aku lagi..” Kanaka mengeluh, melipat tangannya di depan
dadanya. “Sori..” Zeida meminta maaf, sebelum Fayza bergabung dalam percakapan diantara
Kanaka dan Zeida.
“Ai kita teh tanding lawan sekolah mana sih?” Fayza menanyakan,
“SMPN 3, gak denger Pa Hendi apa?” Kanaka menanyakan, sepertinya muak berteman
dengan keduanya.
Tiba-tiba, mereka melihat Rakhana berjalan ke arah mereka selagi membawa Teh Poci dan
HP-nya di kedua tangannya, berjalan dengan tenang meskipun ia adalah orang yang terakhir
datang ke sesi latihan ini.
“Ah, maaf telat dikit.” Rakhana meminta maaf, tertawa sedikit, memiliki rasa malu kecil
karena ia adalah orang yang terakhir datang ke latihan. “Ah, biasa si King mah.” Fayza
mengejek main-main, “Sekarang yang lagi main siapa ja?” Zeida menanyakan, memotong
ejekan Fayza terhadap Rakhana.
Fayza mengganti arah pandangannya ke lapangan yang penuh dengan teman-teman mereka;
sebagian kelas 7 yang berada di angkatan mereka, dan sebagian adalah kakak kelas yang
berada di Kelas Cerdas P.E juga.
“Firaz... sama anak baru yang baru masuk kelas kita itu loh.” Fayza menjawab.
“Oh iya ya, aku lupa kalian ada murid baru.” Kanaka berkomentar.
Zeida bingung, ia belum mendengar berita apa-apa tentang murid baru yang akan bergabung
dengan nya di kelas 7 Ibnu Rusydi. “Hah? Kita ada murid baru?” Zeida bertanya, bingung,
wajahnya menunjukkan apa yang berada dipikirannya.
“Iya cuy, namanya aneh, aku belum pernah denger ada cowo yang namanya kayak dia.”
Fayza berkomentar, melipat tangannya dan menghela nafas.
“Lah, kok aku gak dikasih tau Bu Iis sih?” Zeida bingung, murid kelas lain pun memiliki
pengetahuan tentang murid baru yang akan bergabung dengan kelas Zeida, tapi Zeida sendiri
pun tidak mengetahui.
“Oh, si eta.. saha sih ngaranna teh..? Si.. Naur nya?” Rakhana menanyakan,
“Boloho, namanya Noer.” Fayza menjawab pertanyaan Rakhana yang cukup bodoh.
“Dibacanya Nur gak sih? Masa dibacanya Nower?” Kanaka bergabung dalam perdebatan
tentang nama murid baru ini.
“Masa cowo namanya Nur?” Rakhana mengeluh dibawah nafasnya.
“Dia dimana dah? Aku belum liat dia samsek.” Zeida menanyakan, mungkin saja murid baru
ini masuk kedalam Kelas Cerdas yang sama dengan dia. “Gak tau juga sih, ilang-ilangan
mulu tu anak.” Fayza menjawab. Menilai dari jawaban Fayza, berarti murid baru ini adalah
salah satu anggota dari Kelas Cerdas P.E juga.
Fayza, Zeida, Kanaka, dan Rakhana mengobrol untuk beberapa jam, mengikuti latihan yang
telah di siapkan oleh Pa Hendi hingga hari itu pun berakhir.
...
Keesokan harinya pun datang, Zeida sampai di sekolah beberapa menit sebelum bel sekolah
berdering di speaker. Setelah melewati pengecekan atribut dan tas, ia langsung berlari ke
kelasnya yang berada di lantai dua. Sesampai disana, ia menaruh sepatunya di loker dan
bergegas kedalam, menyapa teman-temannya dengan ucapan salam.
Bel masuk pun berbunyi, memenuhi seluruh area sekolah dan menunjukkan bahwa sekarang
adalah waktu masuk. Wali kelas mereka pun melangkah di depan, membuka pagi hari ini.
“Oke, jadi.. Pastinya kalian udah tau kan ada murid baru dikelas kita?” Bu Iis menanyakan
kepada murid-murid Ibnu Rusydi yang sedang duduk di bangkunya masing-masing. Tangan
yang diangkat pun menarik perhatian Bu Iis, “Iya, ada apa Nanay?”
“Cowo atau cewe bu?” Nanay menanyakan. “Cowo Nay.. Nah, jadi ada yang tau gak nama
murid baru kita?” Bu Iis menjawab pertanyaan Nanay, jawabannya diikuti dengan sebuah
pertanyaan lagi kepada yang lain.
Suara tertawa menangkap perhatian setengah kelas, semua kepala mereka menoleh ke arah
Rakhana dan Alif yang sedang menertawakan satu sama lain. “ADIT TAU BU‼” Alif
berteriak, tak dapat menahan tawaannya. “Nauuurrr?” Adit menebak, sekali mengangkat
tangannya.
Satu kelas terbahak-bahak lmao kocag amat oooomaga bruakakakakak aacccummalaka!!
“RIZKY NAUURR RAMADHAN??” Fayza menertawakan. Ia memang sudah tahu nama
panjang murid baru ini, tetapi ia tak dapat menahan tawaanya terhadap apa yang tadi
Rakhana mengucapkan dengan lantang didalam kelas yang terdiam.
“Kurang tepat.. tapi.. yaudahlah. Sekarang Rizky, ayo masuk!” Bu Iis juga terkekeh dibawah
nafasnya, mengundang murid baru yang sedang berdiri diluar untuk masuk kedalam kelas
yang sedang sibuk menertawakan Rakhana.
Rizky memasuki kelas tersebut, memperhatikan keadaan di kelas ini dan murid-murid yang
akan menjadi teman barunya. Tentunya, terdapat beberapa murid yang menangkap
perhatiannya dengan langkah pertama yang ia ambil di dalam kelas, seperti; Alif yang sedang
tertawa terbahak-bahak, Aby yang hanya terdiam duduk disebelah Alif seperti ia sedang
tertekan, dan Zeida yang sedang menatapnya dengan muka yang bingung dan ekspresi
terkejut.
“Kunaon sih Zei? Asa dari kemaren maneh melototin orang wae..” Alif menanyakan kepada
Zeida setelah tawaanya telah mereda. “Gapapa.. cuma.. agak kaget aja kita ada murid baru
di tengah-tengah semester..” Zeida terkekeh gugup, mencoba untuk menutupi apa yang
sedang ia pikirkan sekarang melihat murid baru di kelasnya.
“R..IZKY?? DEMI.. APA?? MIRIP BANGET SAMA..” Zeida berteriak ke dirinya sendiri
di dalam hati,
“Jadi, semuanya.. Ini Rizky. Jangan lupa buat bikin dia nyaman di Rusydi yaa!” Bu Iis
mengingatkan dan memperkenalkan Rizky kepada teman-teman barunya. Terdengar
seseorang berteriak ke Rizky yang sedang berada di depan; “Siap-siap, ki. Anak Rusydi itu
bagaikan binatang buas yang lepas dari kandangnya.” Jihan berkomentar dari bangku paling
belakang, ditertawakan oleh temannya; Naya.
Rizky pun melangkah ke area tempat duduk laki-laki, mengambil sebuah bangku kosong
didekat Zeida. Mata Rizky tidak berkeliaran ke perempuan yang mungkin menangkap
perhatiannya, tetapi ia langsung tertarik dengan Zeida yang memiliki keringat dingin
bertetesan dari kepalanya dengan matanya yang sedang melotot ke arah Rizky, tetapi
perhatian Rizky juga tertarik dengan gantungan kunci yang berada di tas Zeida.
“..?” Rizky memiringkan kepalanya, bingung mengapa Zeida menatapnya dengan ekspresi
itu. “E..eh.. Hai..?” Zeida menyapa dengna gugup, hanya mendapatkan sebuah lambaian
tangan dari Rizky.
“Aku Zei—“ Zeida mencoba untuk memperkenalkan dirinya, hanya untuk dipotong oleh
Rizky; “Zeida?” Rizky langsung menebak, menyelesaikan kalimatnya. “Wow.. impresif. Aku
tidak perlu memperkenalkan diri lagi.” Zeida berkomentar, sebuah tawaan kecil keluar dari
mulutnya. Zeida pun langsung melihat bahwa Rizky sedang menatapi gantungan kunci yang
berada ditasnya.
“Hmm.. apakah gantugan kunci ini terlihat familiar bagimu?” Zeida menanyakan,
“Enggak.” Rizky menjawab.
“Yah..” Zeida mengeluh lagi,
“Kenapa?” Tanya Rizky.
“Gapapa kok.” Zeida menjawab.
...
Bel istirahat pun berbunyi, dan... Rizky dan Zeida sudah membuat sebuah pertemanan yang
cukup kuat untuk pertama kalinya mereka bertemu. Rizky juga sudah berteman dengan laki-
laki yang lain di kelas mereka, tetapi teman paling baiknya pada saat ini adalah Zeida.
“Ki, kantin, gaskan?” Zeida mengajak Rizky sehabis jam IPA selesai, dan Rizky pun
menjawab tanpa ragu-ragu; “Gas.” Mereka langsung berjalan ke kantin, perjalanan pendek
tersebut di temani obrolan-obrolan kecil diantar dua teman itu.
“Betewe ki, kamu kenal orang yang namanya Dias, Khalilah, atau Khalisha gak?” Zeida
menanyakan, berharap bahwa ini mungkin Rizky yang sama seperti apa yang ia mimpikan
dua hari yang lalu. Mungkin dia ingin menanyakan sesuatu yang lain..
“.. Kamu inget aku gak sih, Ki?”
Di situasi ini, sangat terlihat bahwa Zeida kurang dapat move on dari mimpinya tersebut,
mungkin karena semua pertemanan yang ia telah bentuk dengan teman-temannya hancur
begitu saja saat detik dimana ia bangun datang.
“Enggak.” Rizky menjawab pertanyaan Zeida saat ia menyakan jika Rizky ingat orang yang
bernama Khalisha, Dias, atau Khalilah.
“...” Zeida terdiam,
“Kenapa?” Rizky menanyakan, reaksi Zeida yang tiba-tiba saja terdiam dengan jawabannya
cukup membuat Rizky penasaran.
“Gapapa.” Zeida menjawab, mencoba untuk mengalihkan topik pembicaraan ini.
Kedua teman tersebut sampai di kantin, membeli jus jambu yang terisi 5 centong gula,
mungkin saja sekolah mereka mensupport diabetes, tapi apakah mereka akan langsung
mengeluh ke yayasan?
“Serem amat cog ni jus jambu gulanya 5 centong..” Zeida berkomentar, cukup takut dengan
jumlah gula yang dimasukkan ke satu gelas jus jambu.
“Iyakah? Astaga ngerinya.. agak pucet juga, zei. Emang aman buat di minum?” Rizky
menanyakan, saat ia mendaftar ke sekolah ini, sepertinya ia tak akan menduga bahwa jus
jambu mereka bisa se pucet ini.
“Amanin ajah” Zeida menyerah.
...
Keesokan harinya pun datang, dan Zeida datang lebih pagi untuk bermain bola dengan
teman-temannya, tetapi saat ia tunggu-tunggu.. Masih ada satu temannya yang belum datang
dari pagi; Rizky.
“Ja, si Iki gadateng-dateng dah” Zeida berkomentar ke temannya; Fayza, menanyakan
kemana Rizky pergi. Apakah ia izin? Sakit? Memang ada apa yang terjadi?
“Iki? Rizky? Rizky Pratama? Kelas sebelah?” Fayza bingung, mengharapkan bahwa Zeida
dapat mengklarifikasikan apa yang ia maksud.
“Bukan.. yang dikelas kita.. si itu.. si Rizky Naur— Nur— Nower— ah eta lah pokoknamah.”
Zeida tersandung kata-katanya saat mencoba untuk menyebutkan nama Rizky.
“Hah? Dikelas kita gaada murid yang namanya Rizky, Zei. Lu napa sih? Kemaren plototin
orang wae, sekarang bilang ada murid baru! Ada apa sih?” Fayza menanyakan, cukup
khawatir jika temannya ini mungkin telah menjadi gila dan memiliki halusinasi.
“Apasih ja, kan—“ Zeida muak dengan Fayza, tetapi ia memotong pembicaraan dianya
sendiri saat ia sadar bahwa gantungan kunci berwarna hijau yang awalnya dimiliki oleh
Rizky telah menghilang.
“…” Zeida terdiam, setetes rasa sesal di hatinya untuk tidak menanyakan jika Rizky masih
mengingat pertualangan atau pertemanan mereka berdua.

...that’s the thing about friends, isn’t it? the more you care about them, the more it hurts
when they go.

Anda mungkin juga menyukai