Anda di halaman 1dari 6

03.

Malam ini, para tetua Sailendra berkumpul. Rapat darurat.

Untuk pertama kalinya di Pertiwi, pesta perayaan kedewasaan selesai setelah dansa pertama.
Padahal biasanya, bangsawan biasanya momen seperti itu dirayakan semalaman.

Di kehidupan pertama, Diana juga tidak antusias menyambut perayaan kedewasaannya.


Membayangkan harus menari dihujani tatapan banyak orang, bersosialisasi dengan mereka
semalaman…

“Hhhh, melelahkan.”

Dulu perutnya serasa diaduk-aduk saking gugupnya. Malam ini pun, Diana tidak selera
berpesta. Meski alasannya berbeda.

“Jadi kau anak kakakku?”

Oswar Sailendra, paman tertua Diana, orang pertama yang memecah keheningan di ruang tamu.

“Ya, Paman. Mendiang ibu melahirkanku di desa Tirta, jauh dari ibu kota. Kami tinggal di sana
sejak ibu dan ayah dipisahkan.”

Sama seperti sebelumnya, Karin tampil begitu percaya diri, bahkan di depan para tetua.

“Kalau cuma warna rambut, seorang penyihir bisa mengubahnya,”bantah salah seorang bibi
Diana. “Bagaimana kalua dia penipu?”

Anggota keluarga yang lain mengangguk-angguk. Sebagian besar masih ragu. Tapi Diana
tahu, itu tidak akan bertahan lama.

***

Di ingatan Diana, dulu semua juga waspada pada Karin. Lingkaran bangsawan, tetua keluarga
Sailendra, para pekerja rumahnya. Tapi pelan-pelan, kecurigaan mereka memudar. Karin
pandai mengambil simpati orang dengan wajah cantik dan senyum cerahnya.

“Halo, apa sudah baikan? Semalam tidurmu nyaman?”

“Terima kasih!”

“Hati-hati di jalan. Terima kasih untuk kerja kerasnya.”

Gadis itu selalu tersenyum, menyapa, dan mengajak orang bicara duluan. Berbanding
terbalik dengan Diana yang mudah gugup dan pemalu, sehingga sering kali disalahpahami
sebagai orang yang dingin.

Suatu siang, setelah hampir dua minggu tinggal di kediaman Sailendra, Karin mengunjungi
Diana saat jam belajar. Sejak kecil, Diana sudah mendapat pendidikan khusus calon kepala
keluarga.
“Halo, aku mengganggu?”

Dia menengok ke dalam ruang belajar dengan senyum secerah mentari. Sama sekali tidak
terpengaruh ekspresi terkejut yang ditunjukkan Diana dan tutornya, Tuan Edbert.

Tuan Edbert adalah lulusan terbaik akademi kerajaan. Meski berasal dari keluarga bangsawan
biasa, otak cerdas membuatnya terkenal.

“Ini masih jam belajar.” Diana pura-pura membaca buku, tidak berminat bicara dengannya.

“Aku membawakan cemilan. Supaya adikku makin semangat belajarnya.”

“…”

Adik? Kenapa dia bisa mengucapkannya sewajar itu? Sampai dua minggu lalu, Diana bahkan
tidak tahu eksistensi Karin dan ibunya.

“Boleh aku duduk sebentar? Aku janji tidak akan mengganggu. Dulu, aku sering harus izin
dari sekolah karena harus mengurus ibuku yang sakit.”

“Silakan, Nona. Ilmu seharusnya terbuka bagi siapa saja yang mencarinya. Saya rasa Nona
Diana juga tidak keberatan?”

Tuan Edbert menjawab terlebih dahulu, bahkan tanpa bertanya padanya. Diana cuma
mengangguk. Rasanya tidak sopan jika berbuat sebaliknya.

“Baiklah, kita lanjutkan Nona Diana. Saya ingin tahu pendapat Anda. Apa hal terpenting yang
harus dijaga oleh seorang bangsawan?”

“Martabat dan nama baik. Menurut buku “Etika Hubungan Para Bangsawan”, nama baik
menentukan pengaruh dan akan membuka jalan untuk kita melakukan banyak hal.”

Tuan Edbert tersenyum puas dengan jawaban Diana.

“Tapi bukankah punya orang-orang yang setia dan kompeten jauh lebih menguntungkan?”

Tiba-tiba saja, Karin ikut terjun ke dalam diskusi. Perhatian Tuan Edbert teralih.

“Maksud Nona Karin?”

“Sebaik apapun reputasi seseorang, dia tidak bisa mencapai dan mempertahankannya
sendirian. Menempatkan orang yang ahli di bidangnya dan setia padanya bisa membantu
kita, bahkan ketika reputasi kita hancur.”

Jawaban lugas Karin membuat Tuan Edbert dan para pelayan tercengang. Sementara di
kursinya, Diana merasa dikalahkan. Meski tidak sesuai buku teks, jawabannya terasa benar.

“Ah, itu… jawaban yang masuk akal. Terima kasih banyak, Nona Karin. Sepertinya Nona Diana
juga perlu banyak belajar dari Anda.”

Ada kritik tajam tersembunyi di kalimat itu. Karin tersenyum tak berdosa. Dia beralih ke
Diana dan mencengkram tangannya. “Diskusi seperti ini menyenangkan ya? Aku suka kita
bisa saling menginspirasi.”

Diana tersenyum kecut menelan kekalahan. Hari itu, cuma awal dari perubahan lainnya.

***

Diana menghempaskan sekelebat memori masa lalu itu. Kembali pada kenyataan di
hadapannya.

“Bagaimana kalau dia penipu?”

“Aku memang bisa menipu kalian. Tapi, aku tidak mungkin menipu sang Ular Suci.”

“…”

Seisi ruangan hening. Semua tahu apa maksudnya.

Yang dimaksud Karin adalah cincin kepala keluarga. Cincin yang kini masih tersimpan rapi di
kotak kaca, di tengah aula pesta kediaman Sailendra.

“Bawa masuk barang itu,”perintah Oswar kepada pelayan.

Tidak lama kemudian, cincin itu dibawa masuk. Cahaya lampu memantul membentuk kilau di
badannya yang berbentuk ular. Sebuah batu emerald bertahta di masing-masing matanya.

“Cincin Ular Suci hanya bisa digunakan oleh mereka yang memiliki darah kepala keluarga
sebelumnya,”ucap Oswar tegas. “Jika gadis ini berbohong, racun Ular Suci akan langsung
membakar jantungnya.”

Pertaruhan yang mematikan. Tapi selama ini, cincin itu yang menjaga keluarga Sailendra dari
perebutan tahta dan pengkhianatan antar anggota keluarga.

Karin tidak gentar. Dia mengulurkan tangannya, mempersilakan seseorang menyematkan


cincin itu.

“Ini akan jadi titik awal perjalanan kita. Jadi akan kubunyikan sendiri genderang perangnya.”

Diana menghampiri Karin, mengeluarkan cincin itu, dan menyematkannya ke jari telunjuk
Karin. Tatapan mereka bertemu. Sekilas, Diana bisa melihat sepercik kesombongan di sana.

Begitu cincin terpasang sempurna, kedua batu emerald bercahaya. Cahaya hijaunya
menyelimuti Karin, tanda sang roh suci mengonfirmasi semua pengakuan Karin.

Karin tersenyum puas.

“Meski ini kedua kalinya, ternyata tetap menyakitkan begitu tahu aku dan ibu bukan satu-
satunya.”

Seisi ruangan terkejut. Tapi Diana bisa melihat tatapan mereka mulai berubah. Bagi mereka,
Karin bukan lagi sekedar gadis lancang perusak pesta orang.
“Diana, bagaimana menurutmu?”tanya Oswar.

Diana menarik napas dalam. Dulu, dia tidak sanggup mengatakan apa-apa. Kali ini, dia tidak
akan diam saja.

“Sang Ular Suci sudah berkata Nona Karin adalah seorang Sailendra. Aku tidak akan
menolaknya.”

Diana menatap anggota-anggota keluarganya.

“Karena kita kedatangan satu anggota tambahan, saya akan menemui kepala pelayan untuk
menyiapkan semuanya. Permisi.”

Setelah mengatakan itu, Diana berbalik meninggalkan ruangan.

***

Keesokan harinya setelah perayaan kedewasaan, Diana memutuskan jalan-jalan ke pusat


kota untuk bersantai. Sebentar saja, dia mau menyingkir dari ketegangan di rumah.

“Setelah mati sekali, aku boleh menikmati hidup sedikit kan?”

Diana berjalan di antara orang yang lalu-lalang. Anak-anak berlarian sambil bermain riang
sementara ibu-ibu mereka sibuk belanja. Para pedagang sibuk berteriak menjajakan
dagangan mereka.

“Semua masih sedamai ini…”

Ingatan terakhirnya soal tempat itu adalah denting pedang, teriak ketakutan, darah dan api
di mana-mana.

“Ada tempat yang ingin Nona kunjungi?”tanya Mbok Nur.

Itu pertanyaan membingungkan. Dia betul-betul tidak punya tujuan sebetulnya. Diana
mengedarkan pandangannya. Sesuatu di gang sempit terpencil menarik perhatiannya.

“Mbok, ada apa di sana ya?”

Dari tempatnya, Diana cuma melihat beberapa pria sedang menghajar orang yang sudah
terkapar di tanah.

“Entahlah, Nona. Sebaiknya kita tidak dekat-dekat.”

Diana mengedarkan pandangannya. Pengawal tidak terlihat di mana-mana. Orang-orang


yang lewat pun tidak ada yang mau ikut campur.

“Aku bosan melihat kematian.”

Diana pun mengabaikan larangan pengasuhnya. Dia berjalan ke arah gang itu.

“Berhenti! Kalian bisa membunuhnya.”


Aksi brutal itu berhenti. Tapi para berandalan itu kini mengamati Diana dengan senyum
mengejek. Di sebelah Diana, Mbok Nur berusaha menarik nona mudanya pergi.

“Mau apa Nona kecil di tempat kotor seperti ini? Kalau mau main pahlawan-pahlawanan,
cari tempat lain saja.”

“Lagian kalau mati kenapa? Sampah kayak dia nggak ada yang peduli. Kami cuma main-main
sebentar.”

Diana menggertakkan giginya. Pria yang jadi korban terkapar tak berdaya dikelilingi orang-
orang itu. Badannya berlumuran debu bercampur darah. Sepertinya dia bahkan sudah mulai
kehilangan kesadaran.

“Bagaimana kalau kubeli mainan kalian? Katakan saja berapa.”

“Wah, nona muda ini kebanyakan uang? Menarik juga.”

Berandal-berandal itu mulai mendekati Diana. Mbok Nur melirik kanan-kiri panik, mencari
pertolongan.

Salah seorang pengeroyok menatap Diana dari atas sampai bawah dengan pandangan
menjijikkan. Aroma alkohol tercium kuat dari badannya.

“Daripada uang, bagaimana kalau kau yang gantikan? Kita main bersama. Tentunya,
permainannya berbeda. Aku janji kamu akan menikmatinya.”

Kalimat itu langsung disambut tawa mesum yang lain. Pria tadi menyeringai nakal, matanya
terus tertuju ke dada Diana.

Sebelum Diana bisa merespon, terdengar derap kaki kuda diiringi jerit orang-orang.
Seseorang berbaju zirah mengendarai kuda putih dengan kencang di jalanan sibuk itu hingga
orang-orang terpaksa menyingkir. berlari menyingkir. Orang itu menghentikan kudanya tepat
di depan mereka. Diana melirik lambang kerajaan di pelananya.

“Ksatria kerajaan!”

“Siapa orang kurang ajar yang membuat keributan?”

Kalimat pertama yang diucapkan sang ksatria. Tatapannya sedingin es, dan sesuatu di dalam
sana memancarkan kesan kejam. Seolah hewan buas bertemu mangsanya. Diana sangat
hapal tatapan itu.

Dulu, di pertemuan pertama mereka, Diana juga takut setiap bertemu tatapan itu. Namun
kini, dia tahu pemiliknya .

“… Rei?” Nama itu keluar begitu saja dari mulut Diana.

“Siapa kamu? Berani-beraninya?!”

“Berandalan seperti kalian lumayan buat hiburan kecil. Kemarilah, kuladeni kalian.”
Rei melompat turun dari kudanya. Lalu mulai menghantam berandalan-berandalan yang
sebelumnya mengerumuni Diana. Satu per satu mereka tersungkur.

KLINING, KLINING!

Denting lonceng itu entah kenapa begitu menarik perhatian Diana hingga langkahnya
terhenti. Diana berbalik, seekor kucing putih menatap Diana sambil tersenyum, beberapa
meter di depannya.

“Nona?” Mbok Nur menatapnya bingung.

“Kembali lebih dulu ke mobil, Mbok. Urus pemuda itu. Aku… masih ada urusan sebentar.”

Tanpa menunggu respon Mbok, Diana berlari mengikuti suara lonceng itu.

***

“Kenapa rasanya kucing itu ingin aku mengikutinya?”

KLINING, KLINING!

Diana terus memacu langkahnya mengejar kucing itu. Dia berbelok ke area yang lebih sepi
tempat kucing itu berbelok. Tapi yang dia temui justru seorang pria muda berambut putih
yang tengah tersenyum padanya, seolah sudah menunggu kedatangannya.

“Selamat datang, Nona Diana. Apa sudah bisa beradaptasi dengan kehidupan kedua Anda?”

“?!! …. Kau tahu?”

“Saya menemui Anda untuk memberitahu bagaimana meyakinkan Ular Suci.”

Anda mungkin juga menyukai