Anda di halaman 1dari 9

1.

Orientasi
Di wilayah Makassar, di tepi pantai, di antara Kampung Baru dan Kampung Mariso berdiri
sebuah rumah bentuk Makassar. Di sanalah hidup seorang pemuda yatim piatu berumur 25 tahun.
Pemuda itu bernama Zainuddin. Saat ia termenung, ia teringat pesan ayahnya ketika akan
meninggal. Ayahnya mengatakan bahwa negeri aslinya bukanlah Makassar. Zainuddin tinggal
bersama bibinya yang bernama Mak Base.

Pada suatu hari, Zainuddin meminta izin Mak Base untuk pergi ke Padang Panjang, negeri asli
ayahnya.

"Mak, aku ingin sekali pergi ke Padang Panjang" kata Zainuddin.

"Untuk apa kau pergi ke sana Zainuddin?" tanya Mak Base.

"Aku ingin sekali melihat kampung halaman bapaku"

"Susah hati Mak untuk melepaskanmu pergi ke Padang Panjang Zainuddin" Kata Mak Base.

Akhirnya dengan berat hati, Mak Base melepas Zainuddin pergi.

Sampai di Padang Panjang, hari sudah malam dan Zainuddin langsung menuju dusun Batipuh,
desa bapaknya. Ia datang ke rumah saudara ayahnya yang bernama Mande Jamilah untuk menginap.
Saat Zainuddin mengetuk pintu rumah, datanglah seorang perempuan.

"Siapa yang bertamu malam-malam begini?" Tanya Mande sambil membukakan pintu.

"Saya ingin mencari Mande Jamilah"

"Saya Mande Jamilah, kamu siapa?"

"Saya Zainuddin dari Makassar, anak si Amin Pandekar Sutan"

"Masuklah"

Saat di dalam rumah Mak Mande bertanya pada Zainuddin

"Ada apa kau datang kemari, apakah ada amanat dari si Amin sebelum meninggal?"

"Tidak ada Mande, saya hanya ingin menyambung tali silaturahmi dengan kerabat bapak di dusun
Batipuh ini"

"Kalau begitu, lama Zainuddin tinggal disini?"

"Ini bisa membantu Mande (sambil memberikan segenggam uang) saya ingin melihat keindahan
tanah kelahiran bapak, saya juga ingin belajar agama"

"Jangan salah paham Zainuddin (sambil mengambil uang pemberian Zainuddin) Mande hanya takut
tak bisa menjamu tamu"

2. Pengungkapan Peristiwa
Saat pertama kali datang ke dusun Batipuh, ia begitu gembira, namun lama-lama
kebahagiaannya itu hilang karena semuanya ternyata tak seperti yang ia harapkan. Ia masih
dianggap orang asing, dianggap orang Bugis, orang Makassar. Betapa malang dirinya, karena di
negeri ibunya ia juga dianggap orang asing, orang Padang.
Saat pulang mengaji, turun hujan deras dan Zainuddin yang membawa payung pergi berteduh
di sebuah warung . Ia bertemu dengan Hayati, gadis yang ia sukai. Dua jam berlalu, hujan masih
turun dan Zainuddin melihat bahwa hayati tidak membawa payung, akhirnya ia memberikan
payungnya untuk dipakai oleh Hayati karena hari sudah semakin malam.

"Encik .......... " Hayati melihat muka Zainuddin

"Sukakah Encik saya tolong?"

"Tolong apakah Tuan?"

"Lebih baik Encik pulang lebih dahulu ke rumah, marahlah ibu Encik kelak jika terlambat pulang,
pakailah payung ini, berangkatlah sekarang juga."

"Terima kasih!" jawab Hayati.

"Janganlah ditolak pertolongan itu," kata teman Hayati dengan tiba-tiba.

"Dan tuan sendiri bagaimana?" tanya Hayati

"Tak usah Encik pikirkan, saya tidak apa-apa"

"Kemana payung ini saya kembalikan?"

"Antarkan saja ke rumah Mande Jamilah!"

"Terima kasih tuan" ujar Hayati sambil senyum.

Pagi hari, saat para penduduk membawa niru dan tampian ke sawah, dan sebelum anak-anak
berangkat ke sekolah, seorang anak kecil laki-laki datang ke tempat Zainuddin, membawa payung
yang dipinjamkannya kemarin. Dia hampiri anak itu, dan anak itu pun berkata: "Kak Hayati
menyuruhku untuk mengembalikan payung ini," sambil memberikannya ke tangan Zainuddin.
Payung itu di ambil oleh Zainuddin dan anak itu memberikan pula sepucuk surat kecil
"Surat ini pula ........" katanya.
Surat itu pun di ambil Zainuddin dan dimasukkan ke dalam saku celananya. Sejak saat itu Zainuddin
dan Hayati sering berbalas surat.

3. Menuju Konflik
Kabar kedekatan mereka tersebar luas dan menjadi bahan gunjingan semua orang Minang.
Karena keluarga Hayati merupakan keturunan terpandang, maka hal itu menjadi aib bagi
keluarganya. Zainuddin dipanggil oleh mamak Hayati, dengan alasan demi masa depan Hayati,
mamak Hayati menyuruh Zainuddin pergi meninggalkan Batipuh.

Zainuddin pun mengiyakan perkataan mamak Hayati dan pergi ke Padang Panjang.
Ia diusir, meskipun dengan cara halus. Perbuatannya dicela, namanya dibusukkan. Seakan-akan
Minangkabau ini suci dari dosa. Seorang anak muda, yang berkenalan dengan seorang anak
perempuan, dengan maksud baik, dibusukkan, dipandang hina. Tidak berapa jauh jaraknya dusun
Batipuh dengan kota Padang Panjang, kota yang dingin di kaki gunung Singgalang. Tetapi bagi
Zainuddin, dusun itu telah jauh, sebab tak dapat bertemu dengan Hayati lagi. Hayati dan Zainuddin
berjanji untuk saling setia dan terus berkiriman surat.

Suatu hari, Hayati datang ke Padang Panjang untuk melihat pacuan kuda. Ia menginap di
rumah temannya bernama Khadijah. Satu peluang untuk melepas rasa rindu pun terbayang di benak
Hayati dan Zainuddin. Namun hal itu terhalang oleh adanya pihak ketiga, yaitu Aziz, kakak Khadijah
yang juga tertarik oleh kecantikan Hayati.
Saat hendak berangkat ke tempat pacuan kuda, Khadijah datang ke kamar Hayati

"Pakaian apa yang kau pakai ini, Hayati? Apakah kau ingin menjadi "lepat" dibungkus?"

Hayati yang melihat Khadijah tercengang karena pakaian yang dipakai sahabatnya itu: Kebaya
pendek yang jarang, dari poal halus, dadanya terbuka seperempat, menurut mode yang paling baru.
Sedangkan Hayati berpakaian jauh berbeda dari itu, pakaian cara kampung.

"Lebih baik kau pergi ke masjid saja Hayati, jangan ke pacuan!"

"Saya malu memakai pakaian seperti itu Khadijah, pakaian itu tidak cocok dengan diriku, aku tak
biasa."

"Itulah yang akan dibiasakan."

"Pakaian begini tak diadatkan di kampung kita."

"Dahulu yang tidak, kini inilah pakaian yang lazim."

"Saya tidak mau membuka rambut."

"Membuka rambut apakah salahnya? Bukankah panas kalau selalu ditutup saja?"

"Sebetulnya saya tidak mempunyai pakaian yang seperti itu," kata Hayati pula.

"Itu gampang pakailah pakaianku, ada dalam lemari, ambil saja kau mau."

Setelah itu, Hayati memakai pakaian milik Khadijah. Mula-mula mengalir keringat di dahinya
karena belum biasa. Berat baginya hendak membuka selendang yang telah melilit kepalanya.
Saat sampai di tempat pacuan kuda, dia langsung pergi ke dekat pagar tribune, seakan-akan ada
orang yang menunggunya. Tiba-tiba datanglah serombongan anak muda laki-laki dan perempuan
yang akan masuk ke tribune itu, berjalan sambil tertawa riang. Di antara orang sebanyak itu ada
seorang anak laki-laki yang menghampiri Hayati.

"Kau........... Hayati?"

"Zai..........nuddin ......"

"Mengapa kau diam disini Hayati?" tanya Khadijah, sambil melihat Zainuddin dengan penglihatan
menghina "Kenapa tertegun? Dan siapakah ini?" tanya Khadijah sekali lagi.

"Inilah sahabatku, Zainuddin!"

"Oooo....ini orang yang kerap kali engkau sebut-sebut itu rupanya."

Ditariknya tangan Hayati ke dalam. Aziz pun tersenyum, kawan-kawannya yang lain tersenyum
pula. Mereka jalan terus ke dalam tribune. Zainuddin tinggal berdiri seorang diri. Jelas terdengar
olehnya anak-anak muda itu setelah jauh dari dia, tertawa terbahak-bahak, hanya Hayati seorang
yang berjalan menekurkan muka sehingga tas yang dipegangnya hampir jatuh dari tangannya.
Khadijah dan Aziz, dan kawan-kawannya yang lain tersenyum melihat Hayati.
Sambil mengeluarkan senyuman yang agak pahit artinya Khadijjah berkata, sambil melihat kepada
Zainuddin yang berdiri di tepi pagar pembatas

"Itulah rupa orang yang engkau puji-puji itu, Hayati?"

Seorang temannya berkata pula: "Rupanya alim betul kenalanmu itu!"


"Orang pikir memang begitu," kata yang seorang pula.

"Sarungnya sarung Bugis," kata yang seorang.

"Memang dia orang Makassar," kata Khadijah pula.

"O, jadi bukan orang sini?" kata yang seorang.

Tiba-tiba datanglah seorang opas mengusir orang yang berdiri di tepi pagar, karena tak boleh
terlalu dekat. Zainuddin ikut terusir dengan orang banyak. Teman-temannya tertawa terbahak-
bahak melihat kejadian itu, sedangkan keringat telah mengalir di dahi Hayati, dan mukanya merah.

"Mengapa mukamu merah Hayati?" tanya Khadijah.

"Kepalaku sangat sakit" katanya, "lebih baik kita segera pulang." kata Aziz.

Tidak lama kemudian mereka duduk dalam tribune itu dan pulang.

4. Puncak Konflik
Setelah 14 hari Hayati tinggal disana, Aziz mulai memiliki perasaan kepada Hayati dan ingin
melamar Hayati. Disaat bersamaan, Mak Base meninggal, dan mewariskan banyak harta kepada
Zainuddin. Karena itu ia akhirnya mengirim surat lamaran kepada Hayati di Batipuh. Hal itu
bersamaan pula dengan datangnya rombongan dari pihak Aziz yang juga hendak melamar Hayati.
Zainuddin tanpa menyebutkan harta kekayaan yang dimilikinya, akhirnya ditolak oleh ninik mamak
Hayati dan menerima pinangan Aziz yang di mata mereka lebih beradab.
Zainuddin tak kuasa menerima penolakan tersebut. Apalagi kata sahabatnya, Muluk, Aziz adalah
seorang yang bejat moralnya. Hayati juga merasakan kegetiran. Namun apalah dayanya di hadapan
ninik mamaknya. Setelah pernikahan Hayati, Zainuddin jatuh sakit.

Setelah dua bulan lamanya Zainuddin sakit, ia mulai melakukan aktivitas seperti biasanya.

"Saya lihat Engku pandai mengarang," ucap Muluk "Banyak buku-buku terletak di atas meja Engku,
banyak karangan-karangan dan hikayat-hikayat. Mengapa tidak engku teruskan?"

"Kalau pikiran tertutup bagaimana hendak mengarang?" keluh Zainuddin.

"Kata orang, ketika ditimpa hal-hal yang seperti inilah terbuka pikiran kita untuk membuat
karangan," jawab Muluk.

"Benar segala perkataanmu, bang Muluk, tidak ada yang salah. Tetapi itulah saya akui pula semangat
saya yang lemah yang tak dapat mencapai kemenangan di dalam perjuangan mencari mana yang
lebih benar. Tetapi saya ingat pula bahwa segala yang kejadian itu hanya sebentar, kesusahan mesti
datang menimpa, dilukai mesti berdarah, dipukul mesti sakit. Cuma sesudah luka, tentu ada pula
masa sembuhnya, sesudah pasang ada masa surutnya. Mulai waktu ini saya akan berusaha
memperbaiki jalan pikiran saya kembali. Saya tidak akan mengingat dia lagi, saya akan melupakan
dia! Ada pun kesakitan yang mengenai hati, moga-moga dapatlah disembuhkan Tuhan dengan
berangsur. Tetapi .........."

"Tetapi apa lagi?" tanya Muluk.

"Saya sudah pikirkan bahwa yang lebih baik bagi diri saya dan bagi perjuangan yang akan ditempuh,
saya terpaksa pindah dari kota Padang Panjang. Saya hendak ke tanah Jawa. Di tanah Jawa nasehat
bang Muluk itu lebih mudah dijalankan dari di sini. Lagi pula kalau Padang Panjang kelihatan juga,
pikiran yang lama-lama timbul-timbul juga!"
"Sudah mantapkah keputusan Engku itu?"

"Sudah bang Muluk"

Untuk melupakan masa lalunya, Zainuddin dan Muluk pindah ke Jakarta. Di sana Zainuddin
mulai menunjukkan kepandaiannya menulis. Karyanya dikenal masyarakat dengan nama letter “Z”.
Karya Zainuddin sangat laris terjual, dan sekarang Zainuddin menjadi orang yang sukses. Untuk
melanjutkan kariernya, Zainuddin dan Muluk pindah ke Surabaya, dan di sana ia menjadi pengarang
terkenal yang dikenal sebagai hartawan yang dermawan.
Di saat bersamaan Hayati dan Aziz pindah ke Surabaya. Tiga bulan kemudian, Hayati mendapat
surat dari Klub Sumatra untuk menonton sebuah teater dari karangan "Z". Hayati sangat antusias
dan mengajak Aziz untuk nonton bersama. Waktu yang ditunggu-tunggu Hayati pun tiba, ia
menonton teater itu dengan perasaan senang. Sehabis pertunjukan, penonton bertepuk tangan
memuji jalan cerita itu. Beberapa pengurus menunggu tuan Shabir "Z" turun dari belakang layar
teater, yang dari pembukaan sampai penutup mengatur jalan cerita dengan asyik dan hati-hati
sekali. Aziz pun tertarik dengan hikayat itu, Demikian juga Hayati. Tiba-tiba munculah pengarang
muda itu dari belakang panggung teater, dia turun ke bawah, diiringi oleh pemain-pemain dan
disambut oleh pengurus-pengurus yang menunggu kedatangannya itu, dan penonton bertepuk
tangan riuh.
Zainuddin yang telah menukar namanya dengan Shabir!
Zainuddin dengan muka yang tenang dan penuh senyuman. Lenggang badannya, raut wajahnya,
semuanya telah berubah, bukan Zainuddin yang penyedih hati yang dahulu lagi, tetapi Zainuddin
yang sabar, yang tenang, cocok dengan namanya yang baru ...... Shabir!

Muka Hayati pucat sesaat, darahnya berhenti. Dia hendak melihat bagaimanakah rupa Zainuddin
sekarang. Sebab dia ingat betul bagaimana kesedihan anak muda ini ketika menjabat tangannya
yang telah berinai beberapa tahun yang lalu, yang membawa sakitnya.

"Oh ..... tuan Aziz! Dan...... Hayati! Sudah lama tinggal di kota Surabaya ini?" tanyanya sambil
membungkukkan kepalanya memberi hormat. "Baru 3 bulan" jawab Aziz!

"Sekian lama di Surabaya, baru sekali ini kita bertemu."

"Kami pun tidak menyangka," jawab Aziz

"Pengarang ternama, yang menjadi buah mulut orang lantaran tulisan-tulisannya yang berarti itu
adalah sahabat kami, tuan Z."

"Shabir!" katanya memotong pembicaraan itu. "Tidak ada lagi nama yang lama, karena kurang cocok
dengan diri saya. Nama Shabir lebih cocok, bukan?" katanya sambil tersenyum.

"Semua nama cocok buat tuan," sahut Aziz

Zainuddin, memang bukan Zainuddin yang dahulu lagi. Cahaya mukanya yang sekarang adalah lebih
jernih, pakaian yang dipakainya lebih mahal dan gagah dari dahulu. Meski pun mukanya tidak
tampan, tetapi cahaya ilmu, pengalaman, cahaya seni, semuanya telah memberinya bentuk yang
baru.
Pergaulan dalam kota Surabaya pun telah luas, terutama dalam kalangan kaum pergerakan,
dalam kalangan kaum pengarang, wartawan-wartawan, pemimpin-pemimpin rakyat. Semakin lama
watak asli Aziz semakin terlihat juga. Ia suka berjudi dan main perempuan. Kehidupan perekonomian
mereka makin menurun. Aziz bangkrut dan terpaksa harus menjual rumah. Zainuddin yang berbaik
hati mengajak mereka berdua untuk tinggal di rumahnya.
"Saudara!" kata Aziz dengan tiba-tiba kepada Zainuddin, sehabis makan pagi di ruang makan, di
hadapan istrinya.

"Baik sekali hati saudara untuk menerima kami berdua, hanya tuhan yang bisa membalaskan ini."

"Itu bukan jasa, itu hanya kewajiban seorang sahabat kepada sahabatnya. Apalagi kita hidup di
perantauan pula," kata Zainuddin,

"kita wajib membela antara satu sama lain."

"Belum pernah saya memberi kepada saudara, saya hanya selalu menerima."

"Karena belum waktunya," kata Zainuddin dengan senyum

"Sekarang saya sedang sanggup, tentu saya tolong. Kelak datang pula kesanggupan saudara, tentu
saudara tolong saya."

"Terlalu baik saudara ini."

"Yang baik hanya Tuhan," jawab Zainuddin pula.

"..... Begini saudara!" katanya, sedang perkataannya tertahan-tahan

"Sudah terlalu banyak kesalahan saya dari kecil, dari semasa muda, sampai beristri. Sudah saatnya
kesalahan itu saya bayar. Pahit balasan Tuhan yang harus saya telan! Sekarang saya tobat, saya
hendak memilih jalan yang lurus. Sebab itu, saya masih akan meminta lagi pertolongan saudara."

"Saya telah melarat sekarang. Saudara yang telah menyambut kami dalam rumah saudara sekian
lemanya. Di kota Surabaya, saya pun lebih merasa malu. Sebab itu izinkanlah saya berangkat
mencari pekerjaan lain ke luar kota Surabaya. Saya akan pergi sendiriku lebih dahulu. Saat saya
dapat pekerjaan saya akan kirim kabar, supaya istriku dapat menyusul ke sana."

"Saya tidak keberatan istri saudara tinggal di sini. Cuma yang saya ragukan, kalau kesehatan saudara
belum pulih. Kalau saudara belum sembuh betul. Lebih baik tahan dahulu sampai badan sudah
pulih." "Saya sudah pulih."

"Bagaimana Hayati? Tinggal disini saja atau pulang ke Padang?" tanya Zainuddin pula sambil
menoleh kepada Hayati. "Saya rasa lebih baik pulang dahulu, ongkos akan saya bayar, tetapkan hati.
Walau pun kelak akan kembali merantau."

"Tidak, itu tidak bisa. Malu!" jawab Aziz!

"Bagaimana Hayati?"

"Saya hanya menurut."

"Baiklah ..... kalau demikian pertimbangan yang telah diambil oleh saudara Aziz, berangkatlah!
Dimana pun negeri yang didatangi, kirimi kami surat. Beri kami kabar yang menggembirakan. Kalau
sudah dapat pekerjaan, jemputlah Hayati, atau saya mengantarkan. Cuma nasehat saya, ubahlah
haluan hidupmu saudara!"

"Saya berjanji, sahabatku!"

Besok paginya, berangkatlah Aziz menaiki kereta api yang akan berangkat menuju Banyuwangi, Aziz
diantarkan oleh Zainuddin dan Hayati ke stasiun. Satu minggu berlalu, dan Hayati mendapatkan
surat perceraian dari Aziz dan mendapatkan kabar bahwa Aziz telah meninggal. Hayati bingung
untuk tinggal dimana, jujur Hayati masih memiliki perasaan pada Zainuddin, tetapi apa daya
Zainuddin tak akan menerima Hayati yang telah membuat Zainuddin sakit hati.
Setelah berpikir panjang, akhirnya Hayati pulang ke Batipuh untuk melanjutkan hidupnya. Ia diberi
ongkos pulang oleh Zainuddin.

5. Penyelesaian
Pagi-pagi hari Senin, 19 Oktober 1936 kapal Van Der Wijck yang menuju Semarang, Tanjung
Periuk, dan ke Palembang. Penumpang-penumpang yang akan meneruskan pelayaran ke Padang
harus pindah kapal di pelabuhan Tanjung Periuk. Dengan kapal itulah Hayati akan menumpang.
Demikian putusan yang telah diambil oleh Hayati.

"Hayati! Selamat pulang. Barangkali saya sendiri tak dapat mengantarmu ke Tanjung Perak, karena
ada urusan yang akan saya selesaikan di Malang, pagi ini juga saya berangkat. Nanti kira-kira pukul 3
bolehlah engkau berangkat ke Tanjung Perak ditemani oleh abang Muluk. Dan bila engkau sampai ke
kampung, jangan lupa menyampaikan salamku kepada keluarga di sana semuanya." Hayati
memikirkan perkataan Zainuddin tadi malam.
Setelah pukul 3 petang, mereka hendak berangkat. Mata Hayati masih digenangi air mata.
"Peringatan apakah yang akan dapat kubawa dari rumah ini, bang Muluk?" tanya Hayati kepada
Muluk dengan rawannya.
Dengan tak menjawab, Muluk melangkah ke dekat Hayati dan memberikan sebuah foto "Bawa
sajalah ini, Hayati" katanya dengan perasaan sangat terharu. Diambilnya foto itu, tidak
dimasukkannya ke dalam kopernya, tetapi diletakkan dalam tasnya.

"Mengapa tidak disimpan ke dalam koper?" tanya Muluk.

"Supaya mudah mengambilnya kalau akan dilihat nanti," kata Hayati pula. Dengan menaiki taksi,
mereka berangkat ke Tanjung Perak.

Sesampai di kapal, Muluklah yang mencari tempat buat Hayati. Pukul 6 sore kapal itu telah berlayar.
Tetapi kali ini kapal berangkat pukul 9 malam.
Dan pagi-pagi pukul 7 sudah sampai di pelabuhan Semarang.
"Hayati!" kata Muluk. "Sebenarnya tak Sampai hatiku hendak melepas engkau berlayar seorang diri.
Saya pun ingin pula pulang ke kampung. Tetapi apakah dayaku, keadaan belum mengizinkan. Sebab
itu, saya minta maaf, dan janganlah terlalu berkecil hati."

Lama sekali Hayati baru dapat menjawab perkataan Muluk, lantaran air matanya terus bercucur
bagai hujan lebat. "Kuatkan hatimu, Hayati! Janganlah kau lupakan Tuhan, dia senantiasa sayang
hamba nya!"

"Insya Allah, bang Muluk!"

"Sekarang saya turun, dan ..... selamat berlayar!"

"Se ....... lamat ....... tinggal!" "Bang Muluk! Tolong sampaikan suratku ini kepada Zainuddin, dan
tolong katakan pula kepadanya, sampai kepada saat akan berpisah itu, Hayati masih ingat akan dia!"

Dengan menarik nafas panjang, surat itu disambut oleh Muluk, dan dia pun turun ke bawah.
Pukul 9 malam kapal itu pun berlayar menuju Semarang. Penumpang-penumpang dalam kapal
tersebut terdiri dari seorang kapten, 11 orang opsir, seorang markonis, seorang hofmeester, 5 klerk,
80 orang pegawai-pegawai Indonesia, kuli-kuli dan kelasi. Penumpang bangsa Eropa ada 22 orang, 5
anak-anak, dan 100 penumpang dek, termasuk Hayati. Dibukanya tas, dikeluarkannya gambar
Zainuddin dari tas itu, Hayati memandangi foto itu dengan waktu yang lama.
Setelah satu jam kapal berlayar, dia melihat lampu berkelap kelip di pelabuhan dan
bayangannya yang bagai disemaikan di dalam lautan yang luas itu.
Beberapa jam pula setelah itu, orang-orang dalam kapal telah tidur, keheningan itu hanya
dipecahkan oleh suara mesin kapal yang bekerja terus-terusan.

Jakarta, 20 Oktober. Direksi K.P.M. telah menyiarkan suatu berita kapal Van Der Wijck
berangkat dari Surabaya pukul 8 malam. Pada pukul 11.20 telah tenggelam. Dengan segala daya
upaya telah diikhtiarkan menyambungkan Radio dengan kapal itu, Tetapi tidak ada lagi kabar-kabar
datang dari Van Der Wijck. Pagi tadi 2 kapal udara telah berangkat dari Surabaya untuk memeriksa
dan menyelidiki di antara 20 sampai 35 mil sebelah Barat dari lichtschip yang dilampauinya tadi,
Kapal-kapal penolong yang lain, yaitu kapal Reael, kapal Penarik De Yong, dan Mijnenlegger Reigel,
juga telah berangkat ke tempat kecelakaan itu.

Pukul 7.45 pagi ini, pesawat Dornier memberikan laporan bahwa Van Der Wijck telah tenggelam di
tempat yang jauhnya kira-kira 22 mil di sebelah Barat Daya dari lichtschip Surabaya. Pesawat itu
melihat banyak sekali orang yang tenggelam. Dari Surabaya telah berangkat kapal buat pembantu,
dokter-dokter dan juru-rawat. Muatan kapal yang tenggelam itu ada 250 orang.
43 orang yang celaka telah dibawa oleh pesawat terbang Dornier ke Surabaya.
31 orang penumpang Indonesia telah ditolong oleh penangkap-penangkap ikan, demikian juga 8
orang Belanda. Adapun, yang lain-lain berusaha menolong sendiri dengan bermacam-macam cara.

Di Morokrambangan telah mendarat 43 orang, di antaranya 2 orang Belanda. Stuurman 1 telah


mendarat di dekat Tuban bersama dengan 20 orang yang lain.
Baru sekian berita yang dimuat dalam surat kabar yang dapat dibaca oleh Zainuddin.
Seluruh badannya gemetar. Dengan suara sangat gugup dipanggilnya Muluk, yang rupanya sedang
membaca di koran yang lain.

"Hayati celaka, bang Muluk!"

"Ya, 59 penumpang dari kapal tersebut belum bertemu!"

"Kita mesti berangkat sekarang ke Tuban!"

Belum sempat Muluk menjawab, Zainuddin telah berlari ke jalan raya, diiringi oleh Muluk, mencari
sebuah taksi yang dapat membawa mereka ke tempat kecelakaan itu.

Saat sampai di Tuban, Zainuddin langsung mencari Hayati bertanya sana-sini dan akhirnya ketemu.
Tapi Hayati sudah terbujur kaku, tidak lagi bernafas. Disaat itu juga Zainuddin jatuh pingsan.

Jenazah Hayati dan Zainuddin yang sakit, telah dibawa oleh Muluk ke Surabaya. Di sanalah Hayati di
kubur. Ramai orang mengantarkan jenazahnya, terutama orang-orang yang berasal dari Sumatera.
Setelah mayat terkubur, hiduplah yang tinggal dalam kenang-kenangan. Gambar besarnya yang
tergantung di kepala lemari buku masih tetap terlihat. Selendang pembalut kepalanya yang berbekas
darah, dan gambar Zainuddin yang telah lusuh kena air laut, semuanya tersusun di atas meja tulis
Zainuddin sebaik-baiknya.

6. Koda
Tetapi Zainuddin tidak boleh berangsur-angsur dalam kesedihan, setelah bang Muluk akan menikah
Zainuddin mulai bekerja keras lagi. Sekarang rumah Zainuddin ramai karena ditinggali oleh anak-
anak yatim piatu juga.
 Kaidah Kebahasaan
1. Menggunakan banyak kalimat bermakna lampau
- Saat ia termenung, ia teringat pesan ayahnya ketika akan meninggal.
2. Menggunakan banyak kata yang menyatakan urutan waktu
- Setelah 14 hari Hayati tinggal disana, Aziz mulai memiliki perasaan kepada Hayati
dan ingin melamar Hayati.

Anda mungkin juga menyukai