Anda di halaman 1dari 12

ANALISIS NOVEL SEJARAH HASIL

GERAKAN LITERASI SEKOLAH

TENGGELAMNYA KAPAL VAN


DER WIJCK

KEVIN WIYANDI
XII MIPA 1
Analisis Novel Sejarah Hasil Gerakan Literasi Sekolah

Judul : Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck


Penulis : Buya Hamka
Tebal buku : xii + 264 halaman A5

------------------------------------------------------------------------------------------------

1. Sinopsis
Pengembaraan Zainuddin berlangsung dengan latar belakang permadani budaya yang ditenun
dari benang warisan Minang dan Bugis. Perjalanannya ke Padang Panjang, didorong oleh
harapan kuat akan pelukan kekeluargaan, bermetamorfosis menjadi sebuah kisah pedih ketika
ia menghadapi kenyataan pahit karena dianggap sebagai orang asing di tanah air pihak ayah.

Di tengah seluk-beluk pengalaman yang menyedihkan ini, Zainuddin menemukan


kesenangan yang baru dalam diri Hayati. Cinta mereka, tempat perlindungan ketulusan dan
kemurnian spiritual, memberikan perlindungan dalam komunitas di mana ia merasa terasing.
Ketika hati mereka saling terkait, mereka menghadapi tantangan norma-norma sosial yang
berusaha memisahkan mereka.

Tidak terpengaruh oleh kesenjangan sosial, Zainuddin mengambil langkah berani dengan
melamar Hayati, namun mendapat penolakan yang pahit. Kesenjangan antara dunia mereka,
yang ditentukan oleh perbedaan adat, kedudukan sosial, dan status ekonomi, membuat Hayati
memilih Aziz seorang lelaki keturunan bangsawan Minang, namun karakternya tidak sesuai
dengan kebajikan yang diharapkan dari warisan terhormatnya.

Di tengah puing-puing mimpinya yang hancur, Zainuddin memulai perjalanan ziarah


transformatif ke Tanah Jawa, ditemani orang kepercayaannya yang setia. Kejeniusan artistik
Zainuddin, yang pernah menjadi wadah untuk katarsis pribadi, mendapat pujian yang
melampaui batas-batas penderitaannya sendiri.

Namanya bergema di koridor kemakmuran, mentransformasikannya menjadi sosok


termasyhur, namun hantu cinta yang hilang masih melekat di relung hatinya. Di tengah
kekayaan yang baru didapatnya, Hayati kembali memasuki kehidupan Zainuddin.Cinta
mereka, yang diuji dan dimatangkan oleh waktu dan kesengsaraan, menghadapi perhitungan
akhir ketika narasi tragis kapal, Van der Wijck, terungkap.

2.Pengembangan alur
a) Awal cerita : Pengarang memulai cerita dengan kilas balik Pendekar Sutan (Ayah dari
Zainuddin) yang akhirnya tinggal di Mengkasar lalu menumpang di rumah seorang tua,
karena akhlaknya yang baik diambil lah sebagai menantu dikawinkan dengan anaknya yang
masih perawan bernama Daeng Habibah setelah 3 sampai 4 tahun bergaul dengan istrinya
yang setia itu dia beroleh anak laki laki bernama Zainuddin.
b) Konfliks
-Bangsa diambil dari ibu. Sebab itu, walaupun seorang anak berayah orang Minangkabau,
sebab di negeri lain bangsa diambil dari ayah, jika ibunya orang lain, walaupun orang
Tapanuli atau Bengkulu yang sedekat-dekatnya, dia dipandang orang lain juga. (Tanah Asal,
halaman 23)

Zainuddin dianggap orang asing baik di negeri Ibunya maupun negeri ayahnya.

-....Tuhanku, benar... sebenar-benarnya hamba-Mu ini kasihan kepada makhluk yang malang
itu, dan oh Tuhanku! Hamba sayang akan dia, hamba... cinta dia!

Jika cinta itu satu dosa, ampunilah dan maafkanlah! Hamba akan turut perintah-Mu, hamba
tak akan melanggar larangan, tak akan menghentikan suruhan. Akan hamba simpan. biarlah
orang lain tak tahu, tetapi izinkan hamba ya Tuhan." (Cahya Hidup, halaman 43)

Hayati takut jika mencintai Zainuddin akan menjadi dosa.

-"Ya, tapi kasihan Hayati. Engkau sendiri tahu bagaimana dia dipandang bunga di dalam
persukuannya. Dahulu dia lurus, gembira, tetapi sekarang telah pemenung dan pehiba hati.
Hatinya telah rusak binasa semenjak berkenalan dengan engkau dan kalau diperturutkan
agaknya badannya akan kurus kering, dan kalau dia terus binasa, bukankah segenap
persukuan dan perlindungan di rumah gedang kehilangan mustika?... (Pemandangan di
Dusun, halaman 62)

Datuk menyuruh kepada Zainuddin agar segera memutuskan hubungannya dengan Hayati.

-"Zainuddin telah saya suruh pergi dari Batipuh. Kalau dia hendak menuntut ilmu juga,
sebagai niatnya bermula, lebih baik dia pergi ke Padang Panjang atau Bukittinggi saja, dia
telah mau."

Meskipun dengan sepayah-payahnya Hayati menahan hatinya. namun mukanya nyata pacat
kelihatan, terlompat juga pertanyaan dari mulutnya, "Apa sebab Engku suruh dia pergi?"

"Banyak benar fitnah-fitnah orang terhadap dirinya dan dirimu sendiri."


(Pemandangan di Dusun, halaman 64)

Zainuddin baru saja sampai ke rumah bakonya. Mande Jamilah telah menyambutnya dengan
muka pucat pula. Belum selesai dia makan, Mande Jamilah telah berkata, "Lebih baik
engkau tinggalkan Batipuh ini, tinggallah di Padang Panjang. Sebab namamu disebut- sebut
orang banyak sekali. Tadi sore, Mande mendengar beberapa anak muda hendak bermaksud
jahat kepadamu."
(Pemandangan di Dusun, halaman 66)

Zainuddin diusir dari Batipuh karena fitnah fitnah yang mulai tersebar karena hubungannya
dengan Hayati.

-Kemudian itu disambungnya pula, "Heran saya dengan hatimu Hayati. Bagaimana engkau
pemurah betul membalas cinta manusia yang sekejam itu. Baginya semuanya haram,
semuanya tak boleh, semuanya terlarang. Akan jadi siapakah engkau nanti? Bagaimana
wajah perjalanan hidupmu di zaman yang akan datang, saya bingung memikirkannya.
Engkau puji kecintaan-mu itu setinggi langit. Bagi saya tak lain orang yang demikian
daripada algojo perampas. (Pacu Kuda dan Pasar Malam, halaman 99)

Engkau puji-puji kebaikan Zainuddin, saya memuji pula kebaikannya. Tetapi orang yang
demikian, di zaman sebagai sekarang ini tak dapat dipakai. Kehidupan zaman sekarang
berkehendak kepada uang dan harta cukup. Jika berniaga, perniagaannya maju, jika makan
gaji, gajinya cukup. Cinta walaupun bagaimana sucinya, semua bergantung kepada uang!

"Tidak. Khadijah!" jawab Hayati, "Pendapatmu tak betul, cinta tak bergantung kepada uang.
Kalau dua orang yang bercinta dapat bertemu, kesenangan dan ketenteraman pikirannya,
itulah uang itulah dia kekayaan, lebih dari gelang emas, dokoh berlian, pakalan cukup.
Itulah kesenangan yang tak lekang di panas, tak lapuk di hujan." (Bimbang, halaman 105)

Khadijah mulai mempengaruhi Hayati untuk menjauhi Zainuddin dengan alasan realistis
bahwa hidup sekarang perlu uang untuk bertahan.

-Kepada orang muda Zainuddin, di Padang Panjang. Surat orang muda telah kami terima
dan mafhum kami apa isinya. Tetapi karena negeri Minangkabau beradat, bulat kata dengan
mufakat maka kami panggillah kaum keluarga Hayati hendak memusyawarahkan hal
permintaan orang muda itu. Rupanya bulat belum segolong, picak belum setapik di antara
kami semuanya, artinya belum sepakat. Oleh sebab kayu yang bercabang tidak boleh
dihentakkan, maka kami tolaklah permintaan orang muda, dengan mengatakan terus terang
bahwa permintaan ini tiada dapat kami kabulkan.

Lebih dan kurang, harap supaya dimaafkan.


Datuk....
Datuk Garang, dll.

Zainuddin ditolak oleh keluarga Hayati karena alasan adat.


-Sekarang saya sudah menetapkan hukuman atas diri orang yang bersalah sekian besar.
Saya mesti mencabut jiwanya, supaya dia lekas tersingkir. Maka sebelum itu, dengan surat
ini saya berkata terus terang, bahwa Hayati saya kembalikan ke tangan Saudara, dia saya
lepaskan, tidak dalam ikatan saya lagi. Saya merasa hanya inilah sedikit pembalas budi
kepada tuan-tuan keduanya dari saya yang hina.

Saya kembalikan Hayati ke tangan Saudara, karena memang Saudaralah yang lebih berhak
atas dirinya. Hampir dua tahun kami bergaul, ternyata pergaulan kami tidak cocok, karena
dig saya dapat dengan jalan tipuan, meskipun berkulit nikah kawin. Akan lebih beruntung
Saudara mendapat dia, sebab dia seorang perempuan yang amat tinggi budinya. Dan dia
pun akan lebih puas beroleh suami yang cocok dengan aliran jiwanya. Adapun saya sendiri
telah menetapkan vonis atas diri saya….
(Surat Cerai, halaman 226-227)

Di lembar yang kedua dari salah satu surat kabar harian terbaca satu perkabaran, dikirim
oleh reporter dari Banyuwangi, demikian bunyinya:

"MEMBUNUH DIRI DI HOTEL"


(Surat Cerai, halaman 229)

Aziz menyerahkan Hayati kepada Zainuddin.

c) Klimaks
Bila teringat akan itu, dia berkata, "Tidak Hayati! Kau mesti pulang kembali ke Padang!
Biarkanlah saya dalam keadaan begini. Pulanglah ke Minangkabau! Janganlah hendak
ditumpang hidup saya, orang tak tentu asal ... Negeri Minangkabau beradat!... besok hari
Senin, ada kapal berangkat dari Surabaya ke Tanjung Priok, akan terus ke Padang! Kau
boleh menumpang dengan kapal itu ke kampungmu."
(Air Mata Penghabisan, halaman 234-235)

Hayati diusir oleh Zainuddin.

d) Penyelesaian
Sebagai seorang yang memang telah terikat pikirannya kepada surat kabar, baru saja koran-
koran itu terletak di atas meja, segera dibukanya. Di pagina pertama, dengan huruf yang
besar-besar telah bertemu perkabaran "KAPAL VAN DER WIJCK TENGGELAM.".
(Surat Hayati yang Penghabisan, halaman 249)

Tiga kali Zainuddin membacakan kalimat Syahadat itu, ditarutkannya yang mula-mula itu
dengan lidahnya, yang kedua dengan isyarat matanya, dan yang ketiga... dia sudah tak ada
lagi!
(Surat Hayati yang Penghabisan, halaman 255)
Setahun kemudian.

Oleh karena itu, Zainuddin kurang sekali menerima tetamu sejak kematian Hayati, maka
jaranglah teman-temannya yang dapat menemuinya. Kabar berita tentang keadaan dirinya,
atau sakit senangnya, tidaklah begitu diketahui orang lagi. Tiba-tiba pada suatu hari di
dalam surat-surat kabar yang terbit dalam kota Surabaya bertemu perkabaran:

"ZAINUDDIN PENGARANG YANG TERKENAL WAFAT"

"Pengarang muda yang terkenal itu, yang setelah sekian lama tidak kita baca lagi karangan-
karangannya yang sangat halus dan meresap, kemarin malam telah meninggal dunia di
rumahnya di Kaliasin. Dia telah dikuburkan di dekat seorang familinya perempuan yang
meninggal karena kecelakaan Kapal Van Der Wijck tempo hari. Banyak teman sahabatnya
yang mengantar ke kubur."

(Penutup, halaman 260)

WASIATKU

"Saya tidak ada lagi mempunyai keluarga yang akan menerima hartaku. Ada uangku
tersimpan sedikit dalam bank. Semuanya kuhadiahkan kepada sahabatku Muluk, yang telah
bertahun-tahun sesakit sesenang dengan daku. Harta benda peninggalan ayah bundaku di
Mengkasar menjadi hadiah pula untuk orang tua yang menjagainya: Daeng Masiga.

Karangan-karanganku kuserahkan kepada 'Klub Anak Sumatra. Sedapat-dapatnya


karangan-karangan itu dicetak, dan hasil keuntungannya diambil pembantu anak muda yang
telantar dalam menuju cita-citanya."
(Penutup, halaman 262)

Zainuddin mendapatkan kabar bahwa kapal yang membawa Hayati tenggelam lalu Zainuddin
menemukan Hayati di rumah sakit dalam kondisi kritis lalu meninggal, Setelah setahun
kejadian itu Zainuddin mulai tertutup akan sekitarnya dan meninggal lalu dikubur di dekat
malam Hayati, Ia juga meninggalkan wasiat untuk sahabatnya Muluk.

3. Pesan moral + amanat


Cinta tidak boleh dipaksakan, cinta yang dipaksakan pada akhirnya berujung malapetaka.
(Seperti perasaan Aziz yang makin lama makin pudar terhadap istrinya Hayati)

4. Karakter tokoh

-Zainuddin
Karakter yang menjadi pusat dalam cerita Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck memiliki sifat
yang baik hati, rajin beribadah, ikhlas membantu sesamanya.
Itu tak usah Encik susahkan, orang laki-laki semuanya gampang baginya, pukul 7 atau pukul
8 malam pun saya sanggup pula, kalau hujan ini tak teduh juga. Berangkatlah dahulu!"
(Tanah Asal, halaman 28)

Memang sejak meninggalkan Batipuh, telah banyak terbayang cita-cita dan angan-angan
yang baru dalam otak Zainuddin.Kadang-kadang terniat di hatinya hendak menjadi orang
alim, jadi ulama sehingga kembali ke kampungnya membawa ilmu…
(Di Padang Panjang, halaman 75)

-Hayati
Memiliki paras yang cantik,taat dalam beribadah, baik hati dan setia.
Ya ilahi, berilah perlindungan kepada hamba-Mu! Perasaan apakah mainannya ini, ya
Tuhanku, tunjukkan ya Tuhan, dan nyatalah sudah kelemahan dirikul
(Cahaya Hidup, halaman 43)

-Aziz
Sampah masyarakat.

-Khadijah (Sahabat Hayati)


Sahabat Hayati yang mempengaruhi Hayati untuk memilih Aziz.
Engkau puji-puji kebaikan Zainuddin, saya memuji pula baikannya. Tetapiorang yang
demikian, di zaman sebagai sekarang ni tak dapat dipakai. Kehidupan zaman sekarang
berkehendak kepada uang dan harta cukup. Jika berniaga, perniagaannya maju, ka makan
gaji gajinya cukup. Cinta walaupun bagaimana sucinya, semua bergantung kepada uang!"
(Bimbang, halaman 105)

-Muluk (Sahabat Zainuddin)


Sahabat dari Zainuddin anak dari wanita yang rumahnya ditumpangi olah Zainuddin yang
selalu menghibur Zainuddin dan selalu berada di sisi Zainuddin.
"Saya pun perlu berdamping dengan Abang, kita tidak berpisah lagi banyak pula kebaikan
dan paham yang dalam-dalam yang perlu saya ambil dari Abang Muluk"

Sampai mati menjadi sahabat," kata Muluk


(Menenpuh Hidup, halaman 180)

-Mak Base (Ibu angkat Zainudin)


Membesarkan Zainuddin seperti anaknya sendiri
"Bagaimana Mamak tidakkan bermenung bagaimana hati Mamak tidakkan berat Dari kecil
engkau kubesarkan. hidup dalam pangkuanku…
(Menuju Negeri Nenek Moyang, halaman 18)

-Mak Tengah Limah


Karakter yang mendukung Hayati dengan Zainuddin menjadi penyemangat ketika Hayati
terpuruk.
Sekarang dalam kesedihanku telah ada saya berkawan, duduk perkara yang sebenarnya
telah kunyatakan kepada mak tengahku, Mak Tengah Limah. Tapi dia pun hanya seorang
perempuan, pertolongannya hanyalah sekadar menangis pula.
(Di Padang Panjang, halaman 76)

"Bagaimana kalau dia makan hati berulam jantung sebab maksudnya tidak sampai. Berapa
banyaknya gadis-gadis yang membunuh diri lantaran tidak bertemu dengan yang
dicintainya, atau dia mati merana saja?" kata Limah
(Pertimbangan, halaman 128)

-Datuk Garang (Paman Hayati)


Orang yang menentang hubungan Zainuddin dengan Hayati
"Tak usah engkau berbicara. Rupanya engkau tidak mengerti kedudukan adat istiadat yang
diperturun penaik sejak dari ninik yang berdua, Datuk Perpatih Nan Sebatang dan Datuk
Ketemanggungan yang dibubutkan layu, yang dikisarkan mata Meskipun ayahnya orang
Batipuh, ibunya bukan orang Minangkabau…
(Pertimbangan, halaman 128)

Datuk Garang yang kurang biasa disanggah oleh yang muda- muda telah agak meradang,
terus berkata... "Wa' den labiah tahu dari kalian (Saya lebih tahu dari kamu semua)."
(Pertimbangan, halaman 129)

-Ahmad (Adik Hayati)


Adik dari Hayati. Dia menjadi saksi cinta diantara kakaknya Hayati dengan Zainuddin.
ini adiknya. Si Ahmad, baru tiga tahun bersekolah." (Cahaya Hidup, halaman 34)

"Ahmad," katanya kepada adiknya dengan tiba-tiba yang berdiri di samping dangau itu, dan
matanya pun turut balut menangis.
"Ini saya, Kak!"
"Panggil Tuan Zainuddin kembali!"
(Berkirim-kiriman Surat, halaman 58)

datanglah Ahmad adik Hayati, membawa sepucuk surat buat Zainuddin,


(Di Padang Panjang, halaman 75)

-Daeng Masiga
Tetangga dari Zainuddin yang menjaga tempat tinggalnya di Mengkasar.
Segera dibukanya, tentu saja datang dari Mak Base yang tercinta, Tetapi bukan dari Mak
Base, hanya dari Daeng Masiga, seorang tetangga yang dikenalnya betul-betul dan banyak
perhubunga dengan dia sebelum dia berangkat meninggalkan Mengkasar
(Meminang, halaman 118)
Harta benda peninggalan ayah bundaku di Mengkasar menjadi hadiah pula untuk orang tua
yang menjagainya: Daeng Masiga.
(Penutup, halaman 262)

-Pandekar Sutan
Ayah dari Zainuddin memiliki karakter yang lembut dan berbudi luhur yang baik dan pandai
melakukan banyak hal.

Apa benarkah Pandekar Sutan seorang "jago", seorang kejam dan gagah berani yang tiada
mengenal kasihan? Sebenarnya kejagoan dan kekejaman seorang itu bukanlah semuanya
lantaran tabiat sejak kecil. Sebetulnya Pandekar Sutan hanya seorang yang bertabiat lemah
lembut, lunak hati. (Anak Orang Terbuang, halaman 6)

Pandekar Sutan amat menarik hatinya, kelakuannya, keberaniannya, dan kadang-kadang


pandai berdukun, semuanya menimbulkan sukanya. (Anak Orang Terbuang, halaman 8)

-Datuk Mantari Labih (Kemenakan Pandekar Sutan)


Memiliki watak tokoh yang rakus akan harta.

Mamaknya itu, usahkan menukuk dan menambah, hanya pandai menghabiskan saja. Harta
benda, beberapa tumpak sawah, dan sebuah gong pusaka telah tergadai ke tangan orang
lain. (Tanah Orang Terbuang, halaman 4)

-Daeng Habibah (Ibu Zainuddin)


Baik hati dan lembut.

Sehingga akhirnya dia diambil menjadi menantu, dikawinkan dengan anaknya yang masih
perawan, Daeng Habibah. (Anak Orang Terbuang, halaman 8)

Jawab ibumu hanya sedikit saja, "Adakah hal semacam ini patut disebut korban? Ada-ada
saja Daeng ini." Cuma itu jawaban ibumu,Anak (Yatim Piatu, halaman 12)

5. Latar suasana (sejarah)÷

Sejarah
Adat Minangkabau
Menurut adat Minanglabau, amatlah malangnya seorang laki-laki. Jika tidak mempunyai
saudara perempuan, yang akan menjaga harta benda, sawah yang berjenjang, bandar
buatan, lumbung, berpereng rumah nan gadang.
(Anak Orang Terbuang, halaman 4)
Menurut adat Minangkabau yang mengurus harta adalah saudara perempuan.

..bahwa adat orang di Minangkabau lain sekali. Bangsa diambil daripada ibu. Sebab itu,
walaupun seorang anak berayah orang Minangkabau, sebab di negeri lain bangsa diambil
dari ayah, jika ibunya orang lain, walaupun orang Tapanuli atau Bengkulu yang sedekat-
dekatnya, dia dipandang orang lain juga. (Tanah Asal, halaman 23)

Jadi dapat dilihat bahwa menurut adat Minangkabau, seseorang dapat dikatakan orang
Minang apabila ia mempunyai garis keturunan seorang ibu yang berpenduduk asli Minang.

Latar suasana

Banyak sekali latar suasana yang dapat kita ambil dalam kisah ini di antaranya:
Mengharuhkan
Hayati menerima lamaran Zainuddin

"Hayati... kau kembalikan jiwaku! Kau izinkan aku hidup Ulurkanlah tanganmu, marilah kita
berjanji bahwa hidupku bergantung kepada hidupmu, dan hidupmu bergantung kepad
hidupku. Yang menceraikan hati kita, meskipun badan tak bertemu. ialah bila nyawa
bercerai dengan badan." (Cahaya Hidup, halaman 59)

Putus asa:
Saat menerima kabar kematian Mak Base Zainuddin naik ke kasurnya ingin mencoba
membunuh dirinya sendiri

Sudah hilang pertimbangannya, dinaikinya tempat tidurnya dicoba-cobanya mengikatkan tali


ke atas paran yang melintang supaya berakhir azab dunia yang tidak berhenti-henti atas
dirinya ini. (Meminang, halaman 120)

Marah:
-Zainuddin menyumpahi adat yang pada saat itu menjadi alasan penolakan lamarannya.

Disumpahinya dalam hatinya kepincangan adat, dikutukinya masyarakat yang terlalu rendah
itu. Tetapi dari sedikit ke sedikit terbayanglah di mukanya wajah Hayati, tiadalah pantas di
negeri Hayati dia menjatuhkan umpat dan maki, nista dan cela. Hayati hanya korban dari
kekejaman peraturan adat yang telah usang itu. (Pengharapan Yang Putus, halaman 135)

Bimbang :
Hayati bimbang harus memilih Aziz atau Zainuddin. Ia masih menyukai Zainuddin, ia juga
menyukai Aziz namun bukan seperti cinta terhadap Zainuddin
"Bimbang", itulah yang timbul selama Hayati ada di Padang Panjang Jika dia akan masuk
ke tempat tidurnya, terbayang air mata Zainuddin, terupa bujuk cumbu Khadijah, kadang-
kadang keras, kadang-kadang lunak, teringat senyum Aziz yang pandai menarik hati itu.
(Bimbang, halaman 104)

Menegangkan:
-Hayati diusir oleh Zainuddin dan akhirnya menaiki kapal Van Der Wijck.

Bila teringat akan itu, dia berkata, "Tidak Hayati! Kau mesti pulang kembali ke Padang!
Biarkanlah saya dalam keadaan begini.
Pulanglah ke Minangkabau! Janganlah hendak ditumpang hidup
saya, orang tak tentu asal... Negeri Minangkabau beradat!... besok hari Senin, ada kapal
berangkat dari Surabaya ke Tanjung Priok, akan terus ke Padang! Kau boleh menumpang
dengan kapal itu ke kampungmu." (Air Mata Penghabisan, halaman 234-235)

6. Unsur Kebahasaan

Karena novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ini termasuk novel lama, maka masih
banyak menggunakan bahasa atau kosa kata bahasa daerah asal dari pengarangnya yaitu
Melayu, dan juga sarat dengan majas. Namun masih bisa dicerna oleh pembaca.

-"Ya, tapi kasihan Hayati. Engkau sendiri tahu bagaimana dia dipandang bunga di dalam
persukuannya. Dahulu dia lurus, gembira, tetapi sekarang telah pemenung dan pehiba hati.
Hatinya telah rusak binasa semenjak berkenalan dengan engkau dan kalau diperturutkan
agaknya badannya akan kurus kering, dan kalau dia terus binasa, bukankah segenap
persukuan dan perlindungan di rumah gedang kehilangan mustika?... (Pemandangan di
Dusun, halaman 62)

-"Tidak. Khadijah!" jawab Hayati, "Pendapatmu tak betul, cinta tak bergantung kepada
uang. Kalau dua orang yang bercinta dapat bertemu, kesenangan dan ketenteraman
pikirannya, itulah uang itulah dia kekayaan, lebih dari gelang emas, dokoh berlian, pakalan
cukup. Itulah kesenangan yang tak lekang di panas, tak lapuk di hujan." (Bimbang, halaman
105)

-"Bagaimana kalau dia makan hati berulam jantung sebab maksudnya tidak sampai. Berapa
banyaknya gadis-gadis yang membunuh diri lantaran tidak bertemu dengan yang
dicintainya, atau dia mati merana saja?" kata Limah. (Pertimbangan, halaman 128)

-"Tak usah engkau berbicara. Rupanya engkau tidak mengerti kedudukan adat istiadat yang
diperturun penaik sejak dari ninik yang berdua, Datuk Perpatih Nan Sebatang dan Datuk
Ketemanggungan yang dibubutkan layu, yang dikisarkan mata Meskipun ayahnya orang
Batipuh, ibunya bukan orang Minangkabau…
(Pertimbangan, halaman 128)

-Datuk Garang yang kurang biasa disanggah oleh yang muda- muda telah agak meradang,
terus berkata... "Wa' den labiah tahu dari kalian (Saya lebih tahu dari kamu semua)."
(Pertimbangan, halaman 129)

-Pulanglah ke Minangkabau! Janganlah hendak ditumpang hidup


saya, orang tak tentu asal... Negeri Minangkabau beradat!... besok hari Senin, ada kapal
berangkat dari Surabaya ke Tanjung Priok, akan terus ke Padang! Kau boleh menumpang
dengan kapal itu ke kampungmu." (Air Mata Penghabisan, halaman 234-235)

(Ditulis oleh Kevin Wiyandi, XII MIPA-1)

Anda mungkin juga menyukai