Anda di halaman 1dari 12

Data Buku

Judul Penulis Penerbit Tahun Terbit Cetakan ke Tebal buku : : : : : : Tenggelamnya Kapal Van der Wijck Hamka Bulan Bintang 1937 31 (April 2008) 226 Halaman

1. Tema Kasih tak sampai. Hal ini bisa terlihat dari penggalan cerita berikut ini: .mengalir keringat dingin dikeningnya sehabis surat itu dibacanya.

Menyesal dia, padahal dari dahulu sudah disangkanya juga bahwa permintaannya tidak akan terkabul, sebab negeri Minangkabau beradat, .apa yang dikerjakannya,padahal cinta adalah sebagai kemudi dari

bahtera kehidupan. Sekarang kemudi itu dicabut, kemana dia hendak berlabuh, teroleng terhempas kian kemari, daratan tak nampak, pulau kelihatan. Demikianlah nasib anak muda yang maksudnya tiada sampai.

2. Alur/plot menggunakan alurmaju mundur, karena menceritakan hal-hal yang sudah lampau atau masa lalu dan kembali lagi membahas hal yang nyata atau kembali kecerita baru dan berlanjut. 1. Pembukaan : Seorang anak muda yatim piatu bernama Zainuddin tengah bermenung di depan rumahnya, memandangi keindahan kota Mengkasar sore hari. Ia adalah putra orang buangan dari Minangkabau, Pandekar Sutan, yang membunuh mamaknya karena mamaknya tidak adil dalam urusan warisan. Ia akhirnya dibuang ke Tanah Bugis, dan di sanalah ia menikahi Daeng Habibah. Ibu Zainuddin meninggal ketika ia masih berusia 6 bulan, sementara ayahnya meninggal ketika ia anak-anak. Ia diurus oleh perempuan paruh baya bernama Mak Base. Sore itu, Zainuddin menyampaikan keinginannya pada Mak Base untuk berguru ke negeri nenek moyangnya di Minangkabau. Dengan berat hati, akhirnya Mak Base melepas anak asuh kesayangannya itu meninggalkan Mengkasar.

2. Konflik : Di Mengkasar, Zainuddin tidak dianggap sebagai orang Bugis karena ia berayah orang yang bukan orang Bugis. Sementara di Padang, dia tidak dianggap orang Minang karena ia tidak beribu orang Minang. Perantauannya ke Minang tentu saja penuh penolakan, termasuk dalam urusan cinta. 3. Klimaks : Lamaran Zainuddin kepada Hayati, gadis yang ia cintai, ditolak oleh keluarga Hayati karena urusan adat yang tidak bisa terpenuhi dalam diri Zainuddin. Ketika ia konfirmasi kepada Hayati itu sendiri pun, Hayati mengatakan bahwa menikahi Aziz, seorang pemuda kaya raya dan keturunan terpandang, adalah pilihannya sendiri. Padahal, sebelumnya Hayati pernah berjanji, bahkan bersumpah, untuk tetap mencintai Zainuddin dan Zainuddinlah yang akan jadi suaminya kelak. Tetapi, Hayati mengkhianati sumpahnya sendiri. 4. Anti-Klimaks : Zainuddin pun memilih untuk meninggalkan Padang Panjang ke Jakarta. Di Jakarta, ia mulai mengarang hikayat seperti anjuran Muluk. Ternyata, lewat hikayat-hikayatnya, namanya tersohor ke seluruh Indonesia. Ia pun pindah ke Surabaya untuk menerbitkan bukunya sendiri dan membangun Klub Anak Sumatra bernama Andalas. 2 tahun setelahnya, Hayati dan Aziz juga pindah ke Surabaya. Mereka bertemu. Tak lama kemudian, Hayati dan Aziz jatuh miskin karena Aziz kembali ke kebiasaan lamanya berjudi dan bermain perempuan. Mereka pun akhirnya menumpang di rumah Zainuddin. 5. Penyelesaian : Aziz meninggalkan Hayati ke Banyuwangi untuk mencari kerja. Ternyata Aziz bunuh diri di sana. Sebelumnya ia mengirim surat ke Zainuddin dan Hayati bahwa ia telah menyerahkan Hayati kepada Zainuddin dan meminta maaf karena ia telah merampas Hayati dari Zainuddin dulu. Tetapi, karena perasaan kecewa yang begitu besar, Zainuddin memilih untuk memulangkan Hayati ke Padang. Tapi ternyata, Zainuddin menyesal karena telah memilih keputusan tersebut setelah ia membaca surat Hayati. Ia pun berencana menyusul Hayati di Semarang. Sayangnya, kapal Van der Wijck yang ditumpangi Hayati tenggelam di Tegal. Hayati pun meninggal. Tetapi mereka masih sempat bertemu. Setahun kemudian, Zainuddin pun meninggal.

3. Setting/latar

a) Latar tempat

Mengkasar

Sebelah timur adalah tanah Karibosi yang luas dan dipandang suci oleh penduduk Makasar. Menurut takhayul orang tua-tua, bilamana hari akan kiamat, Kara Eng Data akan pulang kembali ditanah lapang Karibosi akan tumbuh 7 batang beringin.. .gadis-gadis seisi rumah itu, yang selama ini turun sekali sejumat diiringkan dayang-dayang banyak, sekarang telah mengepit kitab, melilitkan selendang pula, pergi menuntut ilmu. Ada yang ke Ladang Lawas, ada yang ke Gunung dan Padang Panjang Surabaya :

Diberanda sebuah rumah makan yang ramai dalam kota Surabaya, sehabis waktu maghrib, duduklah Zainuddin seorang dirinya, mengepul asap rokoknya ke udara.

b) Latar waktu Sore hari :

Diwaktu senja demikian kota Makasar kelihatan hidup. Kepanasan dan dan kepayahan orang bekerja siang, apabila telah sore diobat dengan menyaksikan matahari yang hendak terbenam. Pagi hari :

Pagi-pagi hari Senin, 19 hari bulan Oktober 1936, kapal Van der Wijck yang menjalani lin K.P.M dari Mengkasar telah berlabuh di Pelabuhan Tanjung Perak.

c) Latar Suasana Memalukan Tiba-tiba datanglah seorang opas mengusiri orang yang tegak di tepi pagar, Zainuddin turut terusir dengan orang banyak. Teman-temannya tertawa terbahak-bahak melihat kejadian itu, sedang keringat telah mengalir di dahi Hayati, mukanya merah ditekurkannya ke bumi. Menyedihkan Pukul 5 sore, kapal akan berlayar. Seketika akan berlayar, Mak Base mengantar sampai ke kapal. Mereka bertangis-tangisan karena berat sangka Mak Base bahwa Zainuddin tidak akan bertemu dia lagi. (Hal 19)

Hayati menangis, menangisi nasib sendiri dan menangisi Zainuddin, dia meniarap di ujung kaki mamaknya meminta dikasihani. (Hal 59) Beberapa menit kemudian dibukanya matanya kembali, diisyaratkannya pula Zainuddin supaya mendekatinya. Setelah dekat, dibisikkannya, " Bacakanlah ... dua kalimat suci ... di telingaku." 3 kali Zainuddin membacakan kalimat syahadat itu, diturutkannya yang mula-mula itu dengan lidahnya, yang kedua dengan isyarat matanya, dan yang ketiga dia sudah tak ada lagi! (Hal 216-217) Menyeramkan

" Apa? ... Engkau katakan saya zalim?" Kata Datuk Mantari Labih sambil melompat ke muka dan menyentak kerisnya, tiba sekali di hadapan Pandekar Sutan. Malang akan timbul, sebelum dia sempat mempermainkan keris, pisau belati Pandekar Sutan telah lebih dahulu tertancap di lambung kirinya, mengenai jantungnya.

c) Latar sosial menggambarkan tentang kehidupan sosial masyarakat Minang dan Makasar dari segi budayanya. Seorang anak muda bergelar Pendekar Sutan, kemenakan Datuk Mantari Labih, adalah Pendekar Sutan kepala waris yang tunggal dari harta peninggalan ibunya, karena dia tidak bersaudara perempuan. Menurut adat Minangkabau, amatlah malangnya seorang laki-laki jika tidak mempunyaisaudara perempuan, yang akan menjagai harta benda, sawah yang berjenjang, Bandar buatan, lumbung berlempeng, rumah, rumah nan gadang.

4. Sudut Pandang sudut pandang orang ketigatunggal karena menyebutkan dan menceritakan secara langsung karakter pelakunya secara gamblang. Mula-mula datang, sangatlah gembira hati Zainuddin telah sampai kenegeri yang selama ini jadi kenang-kenagannya.

Karakter
Zainuddin sopan santun

Zainuddin seorang yang terdidik lemah lembut, didikan ahli seni, ahli syair, yang lebih suka mengalah untuk kepentingan orang lain. Penolong Untuk pehindarkan muka yang kurang jernih, maka bilamana orang ke sawah, ditolongnya ke sawah, bila orang ke ladang, dia pun ikut ke ladang. Dermawan : Heran tercengang pula Mak Base mendengarkan putusan Zainuddin atas harta benda itu. Tak disangkanya akan sampai sedemikian baik budinya. Putus Asa Sudah hilang pertimbangannya, dinaikinya tempat tidurnya, dicoba-cobanya mengikatkan tali ke atas paran yang melintang, supaya berakhir azab dunia yang tidak berhenti-henti atas dirinya ini.

Aziz Kasar ..ketika akan meninggalakan rumah itu masih sempat juga Aziz menikamkan kata-kata yang tajam ke sudut hati Hayati..sial. Tidak tahu malu Dengan muka yang tebal, tak mengenal kesalahan-kesalahan yang lama, sudah dua tiga kali ia meminjam uang kepada Zainuddin.

Pandekar Sutan Seorang anak muda bergelar Pandekar Sutan, kemenakan Datuk Mantari Labih, adalah Pandekar Sutan kepala waris yang tunggal dari harta peninggalan ibunya, . . . Mau mengakui kesalahan Ketika Landrad bersidang di Padang Panjang, Pandekar Sutan mengaku terus terang atas kesalahannya, dia dibuang 15 tahun. Tangkas, jago, gagah Sebab Pandekar Sutan bergelar 'jago', itulah sebabnya dia menginjak tanah Mengkasar.

Hayati

Hayati, gadis remaja puteri, ciptaan keindahan alam, lambaian gunung Merapi, yang terkumpul padanya keindahan adat istiadatyang kokoh dan keindahan model sekarang, itulah bunga di di dalam rumah adat itu Perhatian

Saya kasihan melihat nasib anak muda itu, hanya semata-mata kasihan, sahabat Pengingkar janji

. . . , Kedua perasaan dendam yang sukar mengikis, lantaran mungkir Hayati kepada janjinya.

Ma base Mengapa jadi sebanyak ini, Mak Base? Mamak perniagakan, danberuntug. Cuma dari keuntungan itulah pembayari wang sekolahmu.Ah..dengan apakah jasa mamak ku balas ujar Zainuddin Penyayang dan perhatian " . . . , Tidak sampai hati mamak meninggalkan ayahmu mengasuhmu,

Muluk Persahabatan manusia yang didapat sesudah menempuh sengsaraadalah persahabatan yang lebih kekal dari pada yang dapat diwaktugembira. Demikianlah antaraa Zainuddin dengan Muluk. Sejak diasakit sampai sembuhnya, tidaklah pernah terpisah lagi diantara kedua orang itu. Daeng Habibah Sehingga akhirnya dia dijadikan menantu, dikawinkan dengan anaknya yang masih perawan, Daeng Habibah penyayang Maka dibarutnyalah seluruh badanmu dengan tangannya yang tinggal jangat pembalut tulang.

Majas
Simile
Dia seakan-akan stasiun dari setan dan hantu-hantu penghuni Pulau Laya-Laya yang penuh dengan kegaiban itu. (Hal 3) Seketika ia mengenalkan diri kepada bakonya, orang laksana menerima kejatuhan bintang dari langit, . . . (Hal 21) Bilamana Zainuddin duduk dalam kesunyiannya seorang diri, bagaikan dirobeknya hari supaya lekas sore, . . . (Hal 34)

Perkataan itu walaupun halus laksana buluh perindu, tetapi bagi Zainuddin sama rasanya dengan vonis yang ditunggu oleh seorang pesakitan yang menunggu hukumannya di muka hakim, . . . (Hal 43)

. . . , Bahwasannya pengharapannya bukanlah bagai batu jatuh ke lubuk, hilang tak timbultimbul lagi, . . . (Hal 45)

Negeri Padang Panjang sepi jadinya, bagai negeri dikalahkan garuda. (Hal 72) Tidak beberapa saat kemudian, fajar pun terbitlah dari jihat timur, kicau murai di pohon kayu, dan kokok ayam di kandang, laksana serunai nafiri mengelu-elukan kedatangan maharaja siang yang menang dalam perjuangan. (Hal 60)

Tercengang Zainuddin menerima pembicaraan yang ganjil itu, bagai ditembak petus tunggal rasa kepalanya. (Hal 55)

Begitulah keadaan Zainuddin yang hidup laksana layang-layang yang tak dapat angin, . . . (Hal 95)

Kerap sekali gelora ratap penyair, atau ilham lukisan penggambar hilang tak menentu, bagai air mata jatuh ke dalam pasir jika hasilnya sampai. (Hal 100)

Jika sekiranya surat yang datang dari keluarga Hayati dahulu seakan-akan letusan selaras bedil ke dadanya, maka surat dari Khadijah, laksana bom yang meletus di tentang kepalanya. (Hal 119)

Adalah nasibku sekarang laksana bangkai burung kecil yang tercampak di tepi jalan sesudah ditembak anak-anak dengan bedil angin atau seakan-akan batu kecil yang terbuang di halaman tidak dipedulikan orang. (Hal 131)

Orang pun berkerumun di hadapan rumahnya, melihat orang yang meminjaminya uang itu dengan muka manis bagai madu, tetapi hati yang kejam bagai hati serigala, . . . (Hal 179)

Personifikasi
Matahari telah hampir masuk ke dalam peraduannya. (Hal 3) Di sana sini kelihatan layar perahu-perahu telah berkembang, putih, dan sabar. (Hal 3) . . . matahari yang hendak terbenam dan mengecap hawa laut, . . . (Hal 3) Tidak, dia tidak hendak pulang, meskipun hatinya meratap teragak pulang. (Hal 9) Air mata Zainuddin menggelanggang mendengarkan hikayat itu, . . . (Hal 11) ". . . Perkawinan ini memutuskan pertalian keluarga." (Hal 12) " . . . Apalagi Puncak Singgalang dan Merapi sangat keras seruannya kepadaku rasanya," (Hal 17)

" Rasanya hidup mamak pun tak bisa diceraikan lagi dari hidupmu." (Hal 17) Dia pergi ke buritan sebelah lagi, dilihatnya matahari telah turun ke barat, menyelam ke balik lautan, dan mega merah telah mulai berarak bertatah ratna mutu manikam layaknya di tepi langit di timur dan di barat. (Hal 20)

. . . , Tak kuasa lidahnya menyebutnya dia orang Minangkabau. (Hal 22) . . . , Sungai Batang Gadis laksana bernyanyi dengan airnya yang terus mengalir. (Hal 30) Hatiku memaksaku menulis, . . . (Hal 37) Sejak kecilnya telah dirundung oleh kemalangan. (Hal 5) Surat itu rupanya diperbuat dengan jiwa, bukan dengan tangan. (Hal 39) Dari jembatan besi itu akan kelihatanlah perkawinan keindahan alam dengan teknik manusia. (Hal 4)

Sampai sekarang Hayati, masih kerap kali saya merasai dadaku sendiri, menjaga apakah hatiku masih tersimpan di dalamnya, entah sudah terbang ke langit biru agaknya, lantaran terlalu merasa beruntung. (Hal 46)

Oh itu dangau, dia seakan-akan berkata, bangku yang kita duduki seakan-akan berberita. (Hal 68)

Padahal biasanya senyuman dengan air mata itu adalah dua musuh yang tak mau berdamai. (Hal 40)

Tetapi maut tidaklah membedakan berat ringan penyakit, . . . (Hal 102) Alam itu kadang-kadang bisu dan kadang-kadang berkata, kadang-kadang muram dan kadangkadang gembira. (Hal 118)

Tua telah berangsur mendatangiku, padahal aku masih muda. (Hal 132) Hati yang perempuan terbang membumbung ke langit hijau, mencari kepuasan di dalam khayal, dan hati yang laki-laki hinggap di wajah dan pangkuan perempuan-perempuan cantik, yang Surabaya memang pasarnya. (Hal 172)

Metafora
Dia mesti hilang, mesti larat karena kehilangannya seorang, belum sebagai kepecahan telur ayam sebuah bagi orang di kampung. (Hal 9) Hayati, gadis remaja putri, ciptaan keindahan alam, lambaian Gunung Merapi, yang terkumpul padanya keindahan adat istiadat yang kokoh dan keindahan model sekarang, itulah bunga di dalam rumah adat itu. (Hal 25) . . . , Karena sudah putus harapannya hendak bertemu, bunga harum berpagar duri, . . . (Hal 62)

Bukan orang tak suka kepadanya, suka juga, tapi berlain kulit dan isi. (Hal 21)

Hiperbola
" Sempit rasanya alam saya, Mak Base, jika saya masih tetap di Mengkasar ini." (Hal 17) ". . . , hatinya rasa diiris dengan sembilu teragak pulang, . . ." (Hal 13) " Meninggalnya seakan-akan terbang ke langit saja, tidak tersangka-sangka." (Hal 14) " Dan tentu bila sampai ke sana, Tanah Mengkasar hilang untuk selama-lamanya." (Hal 17) " Artinya Engku merenggutkan jantung saya dari dada saya," (Hal 56) Setelah mendengar perkataan-perkataan yang pedih-pedih, sindiran yang menyayat jantung dari Datuk . . . (Hal 59)

Ungkapan
lebih-lebih lagi bila suka pula pergi makan angin ke jembatan, . . . (Hal 3) Makan angin = berjalan-jalan untuk sekedar mencari hawa bersih Ia teringat pesan ayahnya tatkala beliau akan menutup mata, . . . (Hal 4) Menutup mata = meninggal dunia . . . , biarlah negeri Padang dihitamkan buat selama-lamanya. (Hal 8) Dihitamkan = dihapuskan Karena mamakmu ini sudah bertahun-tahun tinggal menjadi orang gajiannya, . . . (Hal 11) Orang gajian = orang yang bekerja diberi upah; abdi (bujang, babu, dsb) Ibumulah yang telah mengajarkannya menghadapkan muka ke kiblat, . . . (Hal 12) Menghadapkan muka ke kiblat = bersembahyang Terlalu banyak korban yang engkau tempuh lantaran dagang melarat ini, Habibah... (Hal 12) Dagang melarat = perantau yang hidup menderita di negeri orang . . . , entah suka menerima Anak Pisang orang Mengkasar, entah tidak. (Hal 13) Anak pisang = anak mamak (dalam keturunan laki-laki) Sehabis makan lohor, Mak Base mengeluarkan peti kecil simpanan uang itu dari dalam almari, . . . (Hal 18) Makan lohor = sesudah lohor / dzuhur Di dalam kalangan gadis-gadis Batipuh telah menjadi buah mulut, . . . (Hal 26) Buah mulut = yang menjadi bahan pembicaraan orang Di sinilah kedua makhluk itu mempersambungkan tali jiwa, sebelum mempersambungkan mulut. (Hal 34) Tali jiwa = pangkal hidup; jantung hati; yang disayangi (dikasihi)

Sudah hampir setahun saya tinggal di negeri tumpah darah nenek moyangku ini. (Hal 37) Tumpah darah = tanah kelahiran

. . . , kalau dia terus binasa, bukankah segenap persukuan dan perlindungan di rumah gedang kehilangan mustika?

Mustika = yang terelok; yang tercantik Hai Upik, baru kemarin kau memakan garam dunia, . . . (Hal 58)

Inilah tanda mata dari tunanganku. (Hal 91) Tanda mata = cenderamata

. . . dan yang mempunyai cita-cita bermula tinggal menggigit jari. (Hal 100) Menggigit jari = kecewa

Sebatang kara di dunia! (Hal 103) Sebatang kara = sendirian di dunia ini; tidak mempunyai keluarga

Bagaimana kalau dia makan hati berulam jantung sebab maksudnya tak sampai. (Hal 109) Makan hati berulam jantung = suasana hati sangat sedih

Persahabatan yang sahabat tawarkan itu saya terima pula dengan dada terbuka, . . . (Hal 137) Dada terbuka = lapang dada; tidak menjadi gusar

Belum banyak orang yang kenal kepada buah penanya. (Hal 154) Buah pena = hasil karya tulis

Dengan muka yang tebal, tak mengenal kesalahan-kesalahan yang lama, sudah dua tiga kali ia meminjam uang kepada Zainuddin. (Hal 177-178) Muka yang tebal = tidak tahu malu

Amanat
Cinta sejati adalah cinta yang tidak memandang ras suku bangsa atau agama .Dengan mencinta dari hal yang buruk sampai yang baik,maka itulah yang disebut cinta sejati.Selain itu,kita tidak boleh mengingkari janji yang telah kita buat. Hidup ini penuh cobaan,tinggal bagaimana kita sebagai manusia menyiasatinya

Sinopsis

Sejak berumur 9 bulan, Zainuddin telah ditinggalkan Daeng Habibah ibunya, menyusul kemudian ayahnya yang bernama Pendekar Sutan. Zainuddin tinggal bersama bujangnya, Mak Base, Kira-kira 30 tahun yang lalu, ayahnya punya perkara dengan Datuk Mantari Labih mamaknya, soal warisan. Dalam suatu pertengkaran Datuk Mantari terbunuh. Pendekar Sutan kemudian dibuang ke Cilacap selama 15 tahun. Setelah selesai masa hukumannya, ia dikirim ke Bugis untuk menumpas pemberontakan yang melawan Belanda. Di sanalah Pendekar Sutan bertemu dengan Daeng Habibah. Untuk mencari keluarga ayahnya, Zainuddin pergi ke desa Batipuh di Padang. Di Padang ia tinggal di rumah saudara ayahnya, Made Jamilah. Sebagai seorang pemuda yang datang dari Makasar, ia merasa asing di Padang. Apalagi tanggapan saudara-saudaranya demikian. Demikian pula ketika ia dapat berkenalan dengan Hajati karena meminjamkan payungnya pada gadis itu. Hubungan antara Zainuddin dan Hajati makin hari tersiar ke seluruh dusun dan Zainuddin tetap dianggap orang asing bagi keluarga Hajati maupun orangorang di Batipuh. Untuk menjaga nama baik kedua orang muda dan keluarga mereka masing-masing, Zainuddin disuruh meninggalkan Batipuh oleh mamak Hajati. Dengan berat hati Zainuddin meninggalkan Batipuh menuju Padang Panjang. Di tengah jalan Hajati menemuinya dan mengatakan bahwa cintanya hanya untuk Zainuddin. Zainuddin menerima kabar bahwa Hajati akan pergi ke Padang Panjang untuk melihat pacuan kuda atas undangan sahabat Hajati yang bemama Chadidjah. Zainuddin hanya dapat bertemu pandang di tempat itu karena bersama orang banyak ia terusir dari pagar tribune. Pertemuan yang sekejap itu membuat Hajati mendapat ejekan dari Chadidjah. Chadijdah sendiri sebenamya bermaksud menjodohkan Hajati dengan Aziz, kakak Chadidjah sendiri. Karena merasa cukup mempunyai kekayaan warisan dari orang tuanya setelah Mak Base meninggal, Zainuddin mengirim surat lamaran pada Hajati. Temyata surat Zainuddin bersamaan dengan lamaran Aziz. Setelah diminta untuk memilih, Hajati memutuskan memilih Aziz sebagai calon suaminya. Zainuddin kemudian sakit selama dua bulan karena Hajati menolaknya. Atas bantuan dan nasehat Muluk, anak induk semangnya, Zainuddin dapat merubah pikirannya. Bersama Muluk, Zainuddin pergi ke Jakarta. Dengan nama samaran "Z", Zainuddin kemudian berhasil menjadi pengarang yang amat disukai pembacanya. la mendirikan perkumpulan tonil "Andalas", dan kehidupannya telah berubah menjadi orang terpandang karena pekerjaannya. Zainuddin melanjutkan usahanya di Surabaya dengan mendirikan penerbitan buku-buku. Karena pekeriaan Aziz dipindahkan ke Surabaya, Hayati pun mengikuti suaminya. Suatu kali, Hajati mendapat sebuah undangan dari perkumpulan sandiwara yang dipimpin dan disutradarai oleh Tuan Shabir atau "Z". Karena ajakan Hajati Aziz bersedia menonton pertunjukkan itu. Di akhir pertunjukan baru mereka ketahui bahwa Tuan Shabir atau "Z"adalah Zainuddin. Hubungan mereka tetap baik, juga hubungan Zainuddin dengan Aziz. Perkembangan selanjutnya Aziz dipecat dari tempatnya bekerja karena hutang yang menumpuk dan harus meninggalkan rumah sewanya karena sudah tiga bulan tidak membayar, bahkan barang-barangnya disita untuk melunasi hutang. Selama Aziz di Surabaya, ia telah menunjukkan sifat-sifatnya yang tidak baik. la sering keluar malam bersama perempuan jalang, berjudi, mabukmabukan, serta tak lagi menaruh cinta pada Hayati. Akibatnya, setelah mereka tidak berumah lagi. Mereka terpaksa menumpang di rumah Zainuddin. Setelah sebulan tinggal serumah, Aziz pergi ke Banyuwangi meninggalkan isterinya bersama Zainuddin. Sepeninggal Aziz, Zainuddin sendiri pun jarang pulang, kecuali untuk tidur. Suatu ketika Muluk memberi tahu pada Hajati bahwa Zainuddin masih mencintainya. Di dalam kamar kerja Zainuddin terdapat gambar Hajati sebagai bukti bahwa Zainuddin masih mencintainya. Beberapa hari kemudian diperoleh kabar bahwa Aziz telah menceraikan Hajati. Aziz meminta supaya Hayati hidup bersama Zainuddin. Dan kemudian datang pula berita dari sebuah surat kabar bahwa Aziz telah bunuh diri meminum obat tidur di sebuah hotel di Banyuwangi. Hayati meminta kesediaan Zainuddin untuk menerimanya sebagai apa saja, asalkan ia dapat bersama-sama serumah dengan Zainuddin. Permintaan itu tidak diterima baik oleh Zainuddin, ia bahkan amat marah dan tersinggung karena lamarannya dulu pemah ditolak Hajati, dan sekarang Hajati ingin menjadi isterinya. la tidak dapat menerima periakuan Hajati. Dengan kapal Van Der Wijck, Hajati pulang atas biaya Zainuddin. Namun Zainuddin kemudian berpikir lagi bahwa ia sebenamya tidak dapat hidup bahagia

tanpa Hajati. Oleh sebab itulah setelah keberangkatan Hajati ia berniat menyusul Hajati untuk dijadikan isterinya. Zainuddin kemudian menyusul naik kereta api malam ke Jakarta. Harapan Zainuddin temyata tak tercapai. Kapal Van Der Wijck yang ditumpangi Hajati tenggelam di perairan dekat Tuban. Hayati tak dapat diselamatkan. Karena luka-luka di kepala dan di kakinya akhimya ia meninggal dunia. Jenazahnya dimakamkan di Surabaya. Sepeninggal Hayati, kehidupan Zainuddin menjadi sunyi dan kesehatannya tidak terjaga. Akhimya pengarang terkenal itu meninggal dunia. Ia dimakamkan di sisi makam Hayati.

Anda mungkin juga menyukai