Anda di halaman 1dari 7

ANALISIS STRUKTURAL

NOVEL “AZAB DAN SENGSARA” KARYA MERARI SIREGAR


Oleh: Amalia Putri Akbarani (180110201063)

Biografi Pengarang
Merari Siregar merupakan seorang sastrawan berkebangsaan Indonesia
pada masa angkatan Balai Pustaka yang lahir di Sipirok, Tapanuli, Sumatera
Utara pada tanggal 13 Juli tahun 1896. Beliau meninggal di usia 44 tahun,
tepatnya pada tanggal 23 April 1941 di Kalianget, Madura, Jawa Barat. Beliau
pernah menempuh pendidikan di Kweekschool Oost en West di Gunung Sahara,
Jakarta.
Pada tahun 1923, dia pernah menempuh pendidikan di sekolah swasta
yang didirikan oleh vereeniging tot van Oost en West, yang pada saat itu
merupakan sebuah organisasi yang aktif dalam memperakiekkan politik etis
Belanda. Setelah selesai menempuh pendidikan, beliau bekerja sebagai salah satu
guru bantu di Medan. Namun, beliau pindah ke Jakarta dan bekerja di Rumah
Sakit CBZ yang saat ini menjadi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Pada sekitar tahun 1920an, beliau juga pernah menjadi pegawai bagian tata
usaha di Rumah Sakit Umum Negeri Djakarta. Terakhir, beliau bekerja di Opium
end Zouregie di Kalianget, Madura, Jawa Barat yang juga merupakan tempat ia
bekerja hingga akhir hayatnya. Pada masa hidupnya, ia telah menuliskan 4 buah
karya sastra novel yang mana Azab dan Sengsara merupakan karya roman yang
paling dikenal dan diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka pada tahun 1921.

Keadaan Masyarakat
Sejak kecil, beliau melalui masa pertumbuhannya di kampung halamannya
sendiri. Sehingga, tidak heran apabila sikap dan perbuatannya dipengaruhi oleh
kondisi masyarakat yang ada di sekitarnya pada masa itu. Saat itu, beliau sering
menjumpai kondisi masyarakatnya yang mengalami kepincangan adat, salah
satunya ialah kawin paksa. Saat beranjak dewasa, hal tersebut yang
menjadikannya tumbuh menjadi seorang Sastrawan. Beliau mulai mengubah
kebiasaan masyarakat di lingkunyannya yang pada masa itu dinilai masih kolot.
Perubahan itu beliau lakukan melalui goresan pena.

Identitas Buku
Novel ini berjudul Azab dan Sengsara yang merupakan karya seorang
sastrawan terkenal pada masa Balai Pustaka, yakni Merari Siregar. Novel ini
pertama kali diterbitkan di Jakarta oleh Balai Pustaka dan sering dilakukan cetak
ulang karena sangat laris di pasaran, yang mana terbitan ke-XVIII terjadi pada
tahun 2000. Novel ini juga dikenal sebagai novel angkatan 20-an yang memiliki
124 halaman.

Sinopsis
Novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar ini berkisah tentang
kesengsaraan seorang tokoh bernama Mariamin setelah kepergian ayahnya. Tak
berhenti disitu, kesengsaraan yang ditimpanya mulai bertambah disaat Aminuddin
yang merupakan orang terkasih Mariamin dan telah berjanji untuk menikah malah
melangsungkan pernikahan dengan perempuan lain. Namun, setelah dikhianati
oleh seseorang yang dicintainya Mariamin menikah dengan Kasibun yang
memiliki watak keras sehingga Mariamin selalu mendapat perlakuan yang kasar,
sehingga hal tersebut menambah kesengsaraannya.
Kesengsaraan yang dialami oleh Mariamin dalam pernikahannya dengan
Kasibun bertambah parah saat diketahui bahwa Kasibun memiliki penyakit yang
parah dan menular, sehingga Mariamin pun ikut terkena penyakit itu. Karena
penyakit tersebut menambah hubungan yang kurang harmonis menjadi lebih
buruk lagi dengan seringnya perlakuan kasar yang dialami oleh Mariamin karena
ulah Kasibun. Hal ini membuat hubungan rumah tangga antara Mariamin dan
Kasibun tidak bertahan lama dan berujung dengan perceraian. Karena tak sanggup
menahan berbagai cobaan dan kesengsaraan dalam hidupnya, akhirnya Mariamin
meninggal dunia.

Tema
Novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar ini memiliki tema adat
sosial masarakat tentang perjodohan. Beliau mengangkat tema ini menjadi salah
satu karyanya karena melihat bagaimana kebiasaan ini melekat di masyarakat
sekitarnya. Terlebih hal ini dilakukan oleh orang tua sendiri tanpa memikirkan
dampak yang diterima oleh anaknya. Biasanya yang kerap kali terjadi ialah anak
perempuan yang usianya masih belia dijodohkan dengan laki-laki paruh baya. Hal
ini kerap terjadi pada keluarga yang memiliki hutang besar dan tidak mampu
menebusnya, sehingga anak yang harus di korbankan. Hal ini pula yang akhirnya
menimbulkan tekanan batin yang sangat dalam.

Latar
Latar tempat yang digunakan dalam novel Azab dan Sengsara karya
Merari Siregar cukup banyak. Kutipan naskah dalam novel dibawah ini
menunjukkan beberapa lokasi tempat kejadian dalam novel.
Akan tetapi siapakah yang duduk di sana, di sebelah rusuk rumah
yang beratapijuk dekat sungai yang mengalir di tengah-tengah
kota Sipirok. (Merari Siregar, 2).
Kutipan diatas menjelaskan bahwa Sipirok yang merupakan kota kecil dan
juga sederhana merupakan tempat masyarakat yang pada saat itu terbiasa dengan
kehidupan perjodohan.
... rumah kecil tempat kediaman ibu dan anaknya itu. (Merari
Siregar, 18).
Kutipan diatas menjelaskan terdapat rumah sebagai lokasi berlindung
keluarga yang mana seorang anak dan ibunya.
Pada suatu petang, sedang mereka di sawah, Mariamin
menyiangi padinya, ... (Merari Siregar, 32).
Kutipan diatas menjelaskan latar sawah sebagai tempat Mariaamin
bekerja. Sehingga hal ini cukup menjelaskan juga bahwa kota Sipirok yang
merupakan latar tempat ini merupakan kota kecil sehingga masih kolot dengan
perkembangan jaman.
Ia sudah mendengar kabar perkawinan Mariamin itu, itulah
sebabnya ia datang ke Medan, dengan maksud hendak bersua
dengan Mariamin, sahabatnya yang tak dilupakannya itu. (Merari
Siregar, 172).
Kutipan diatas menunjukkan bahwa kota Medan juga menjadi latar atau
tempat kejadian peristiwa yang dialami dalam novel Azab dan Sengsara karya
Merari Siregar.Latar waktu juga ada dan dijelaskan dalam novel ini. Terdapat
berbagai macam latar waktu yang terjadi baik pagi, sore, ataupun malam.
Waktu pukul tujuh pagi Mariamin sudah sedia di hadapan
rumahnya menantikan Aminuddin, supaya mereka itu sama-sama
pergi ke sekolah. (Merari Siregar, 29)
Kutipan diatas menjelaskan waktu pagi hari sebagai waktu untuk
berangkat ke sekolah. Hal ini sering dilakukan oleh Mariamin dan Aminuddin
sehingga mereka terbiasa bersama dan saling memiliki perasaan suka.
Dari yang panas itu berangsur-angsur menjadi dingin, karena
matahari, raja siang itu, akan masuk ke dalam peraduannya,
kebalik Gunung Sibualbuali, yang menjadi batas dataran tinggi
Sipirok itu. (Merari Siregar, 1).
Kutipan diatas menjelaskan bahwa perpindahan antara waktu siang ke
malam hari yang merupakan waktu sore hari terjadi dalam cerita ini.
“Ah, rupanya hari sudah malam. Dari tadi saya menunggu
Akang ...” Merari Siregar, 4)
Kutipan diatas menjelaskan bahwa hari dengan cepatnya berganti ke
malam sembari menunggu.

Alur
Alur yang digunakan dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari
Siregar merupakan alur campuran, yang mana menyajikan kisah maju dan juga
mundur dengan melihat kilas balik kejadian di masa lampau. Penceritaan yang
dilakukan tidak secara runtut, seperti adanya pengulangan kisah.
Sudut Pandang
Sudut pandang yang digunakan dalam penceritaan kisah Azab dan
Sengsara karya Merari Siregar merupakan sudut pandang orang ketiga yang
mengetahui berbagai macam kejadian dalam kisah cerita novel tersebut dari awal
hingga selesai.

Gaya Bahasa
Gaya Bahasa yang digunakan dalam penulisan novel Azab dan Sengsara
karya Merari Siregar ini menggunakan bahasa Melayu yang umum digunakan
pada masa itu, apalagi masyarakat kita saat itu terbiasa dan tidak asing dengan
bahasa ini dalam berita ataupun karya-karya lainnya.

Tokoh dan Penokohan


Mariamin
Baik
“Sudahlah berkurang sesaknya dada ibuku itu?” tanyanya
sambil dirabanya muka ibunya yang sakit itu. (Merari Siregar,
16).
Rajin
“Bagaimanapun lekasnya, saya sempat lagi menyiapkan
pekerjaanku yang terbengkalai ini, tak banyak lagi.” (Merari
Siregar, 32).
Ramah
... karena itulah kebiasaannya; jarang atau belumlah pernah ia
berkata marah-marah atau merengut, selamanya dengan ramah
tamah, lebih-lebih dihadapan anak muda, sahabatnya yang karib
itu. (Merari Siregar, 14).
Penyabar
Ia telah mengerti, bahwa hidupnya di dunia ini tiada lain
daripada menanggung dan menderita bermacam-macam
sengsara. (Merari Siregar, 161)
Pemaaf
Sementara itu ia mengambil surat Aminuddin dari bawah
bantalnya, lalu dibacanya perlahan-lahan. Air mukanya tak
berubah lagi, tinggal tenang saja. (Merari Siregar, 159).
Aminudin
Baik
Akan tetapi, kadang-kadang ia tiada dapat menahan hati dan
nafsunya, yakni nafsu yang selalu hendak memberi pertolongan
kepada kawannya. (Merari Siregar, 21).
Pandai
Dari kelas satu sampai kelas tiga, ia masuk anak yang terpandai
dikelasnya. (Merari Siregar, 21).
Berbakti
Meskipun Aminussin mula-mula menolak perkataan itu, tetapi
pada akhirnya terpaksalah ia menurut bujukan dan paksaan
orang itu semua. (Merari Siregar, 152).
Ayah Mariamin
Pemarah
Tutur yang lemah lembut itu tiada berguna lagi. Bukanlah dia
akan melembutkan hati Sutan Baringin, tetapi menerbitkan nafsu
marah saja. (Merari Siregar, 96).
Angkuh
“Diamlah engkau, apakah gunanya engkay berkata-kata itu?”
(Merari Siregar, 96)
Ibu Mariamin
Penyabar
Akan tetapi si ibu itu seorang perempuan yang sabar dan keras
hati. (Merari Siregar, 122).
Sederhana
Karena, meskipun hidupnya di dunia ini makin sengsara, hatinya
pun makin tetap juga dan imannya bertambah teguh. (Merari
Siregar, 122).
Ayah Aminudin
Bijaksana
Oleh karena itu tiadalah ingin mereka itu lagi datang ke rumah
istri mendiang Sutan Baringin menanyakan anak dara kesukaan
Aminuddin itu, sungguhpun pertalian mereka masih dekat.
(Merari Siregar, 135).
Ibu Aminudin
Baik
Kalau Mariamin telah menjadi menantunya, tentu adalah
perubahan kemeralatan orang itu, pikir ibu Aminuddin. (Merari
Siregar, 136).
Kasibun
Bengis
Kasibun yang bengis itu tak segan menampar muka Mariamin.
(Merari Siregar, 178).

Anda mungkin juga menyukai