Anda di halaman 1dari 5

Azab dan Sengsara

Nama Novel dan Pengarang


Nama Novel

: Azab dan Sengsara

Pengarang

: Merari Siregar

Angkatan

: 20-An

1. Sinopsis Novel Azab dan Sengsara

Di sebuah kota kecil, Sipirok yang berada di wilayah Tapanuli pada Pegunungan Bukit
Barisan terdapat sebuah keluarga. Keluarga tersebut terdiri dari seorang ibu yang sudah janda,
bernama Nuriah. Dia memiliki dua orang anak. Anak pertama seorang gadis, Mariamin yang
memiliki paras cantik dan berbudi pekerti halus. Anak kedua laki-laki yang berusia empat tahun.
Mereka tinggal di sebuah gubuk kecil dekat Sungai Sipirok. Mereka hidup bertiga penuh
kesengsaraan dan kesedihan. Semua dijalaninya dengan penuh keikhlasan dan kesabaran, tidak
pernah mengeluh dan putus asa. Semua permasalahan hidupnya diserahkan kepada Allah
Subhanahu
wataala.
Kisah sedihnya bermula setelah kematian ayahnya Sutan Barigin. Sebelum ayahnya meninggal
kehidupan mereka berada dalam kecukupan, tak kurang suatu apa pun. Rumah bagus, sawah
yang luas, binatang ternak juga banyak. Semua harta yang banyak itu akhirnya lenyap habis.
Harta yang habis itu diakibatkan oleh perilaku Sutan Barigin itu sendiri. Sutan barigin memiliki
sifat tamak, rakus, keras kepala, tidak peduli pada istri serta mudah kena hasutan orang lain.
Harta warisan yang seharusnya dibagikan kepada saudara yang berbeda nenek yaitu Baginda
Mulia, Sutan Barigin tidak mau membaginya. Atas hasutan Marah Sait, Sutan Barigin malah
memperkarakannya ke pengadilan. Yang paling keji Sutan Barigin tidak mau mengaku saudara
pada Baginda Mulia. Sebenarnya Baginda Mulia mengajak berdamai saja, berapapun harta
warisan yang akan diberikan Sutan Barigin kepadanya akan ia terima. Sutan Barigin tetap tidak
mau
dan
ingin
memperkarakan
saja.
Sidang perkara warisan di gelar di Sipirok, semua biaya ditanggung oleh Sutan Barigin. Sutan
Barigin kalah karena Baginda Mulia adalah saudara Barigin dan berhak separuh atas warisan
neneknya. Sutan Barigin naik banding lagi ke pengadilan yang lebih tinggi di Padang. Untuk
perkara perlu biaya yang besar, sawah dan ternak terjual habis. Yang untung adalah Marah Sait
mendapat jatah uang juga dari Sutan Barigin. Sedangkan perkara dimenangkan oleh Baginda
Mulia. Perkara dilanjutkan ke Jakarta, biaya lebih besar lagi. Sutan Barigin tetap kalah sampai
akhirnya barulah ia sadar dan menyesal tidak mau menerima saran istri dan Baginda Mulia untuk
berdamai. Sesal kemudian tidak berguna. Kesengsaraan dan kemalaratan saja yang dierima Sutan
Barigin dan anak keluarga ikut menanggung azab dan sengsara. Sampai pada nasib terakhir
Sutan Barigin terkena penyakit sampai akhirnya Tuhan mengambil nyawa orang yang tamak itu.
Kesedihan Mariamin disusul oleh kepergian kekasihnya Aminuddin ke kota Medan, hingga
hancurlah semua cita-cita dan harapan yang telah terbina sejak lama. Di Medan Aminuddin
bekerja di perkebunan tembakau. Ia mencoba menyurati Mariamin. Bahkan dalam suratnya
mengatakan
hendak
meminang
Mariamin
untuk
dijadikan
istrinya.

Aminuddin menyuruh ayahnya agar melamar Mariamin. Tapi ayah Aminuddin malah membawa
perempuan lain ke Medan dengan alasan Mariamin bukan jodoh Aminuddin. Pendapat itu
bersumber dari seorang dukun yang dimintai pendapat ayah Aminuddin. Dengan sangat terpaksa,
kecewa, dan menyesal Aminuddin menikah dengan perempuan yang tidak dicintainya karena
cintanya hanya kepada Mariamin. Rasa bersalah pada Mariamin ia sampaikan lewat surat serta
permohonan maaf kepada keluarganya. Semua itu bukan kehendak Aminudin untuk
meninggalkan
Mariamin.
Di Sipirok Mariamin menikah dengan Kasibun atas anjuran ibunya. Kasibun seorang laki-laki
hidung belang yang mengidap penyakit kelamin. Mariamin di bawa juga ke Medan oleh
Kasibun. Di Medan Mariamin sempat bertemu dengan Aminudin. Di Medan pula ia merasakan
penyiksaan dari Kasibun karena ia selalu menolak hasrat berahinya. Mariamin takut penyakit
Kasibun
menular
kepadanya.
Tidak kuat dengan siksaan Kasibun, Mariamin pergi meninggalkan Medan dan pulang kembali
ke Sipirok. Di Sipirok inilah berakhirnya penderitaan dan kesengsaraan Mariamin. Akhirnya
Mariamin meninggal dunia untuk mengakhiri azab dan kesengsaraan di dunia yang fana ini.

. Unsur Intrinsik
A. Tema

: Tidak selamanya kebahagiaan dapat diperoleh dengan mudah harus ada


pengorbanan
B. Penokohan (karakterisasi, perwatakan)
1) Mariamin adalah seorang gadis yang cantik, lemah lembut, berbakti kepada orang tua dan baik
hati. Karakter baik hati dan berbakti kepada orang tua dapat dilihat dari penggalan percakapan,
Makanlah Mak dahulu, nasi sudah masak, kata Mariamin seraya mengatur makanan dan sajur
jang dibawanja sendiri dari gunung untuk ibunja yang sakit itu.
2)

Aminudin adalah seorang anak yang berbudi pekerti luhur sopan santun, suka menolong,
berbakti dan sangat pintar. Berbudi pekerti luhur, jiwa penolng Aminudin dapat dilihat dari
penggalan dialog : Ia menolong mencangkul sawah Mak Mariamin.. Udin mempunyai kasihan,
itulah sebabnya ia menolong mamaknya. Mendengar itu, suaminya tinggal diam; Ia tiada marah
mendengar umpatan itu.

3)

Sutan Baringin adalah seorang yang suka membuat masalah dan takabur dengan hartanya.
Watak tidak baiknya itu dapat dilihat dari penarasian penulis sebagaimana berikut ini ; Sutan
Baringin terbilang hartawan lagi bangsawan seantero penduduk sipirok. Akan tetapi karena ia
sangat suka berperkara, maka harta yang banyak itu habis, sawah dan kerbau terjual, akan
penutup ongkos-ongkos perkara, akhir-akhir jatuh miskin, sedang yang dicarinya dalam perkara
itu tiada seberapa bila dibandingkan dengan kerugian-kerugiannya.

4)

Nuria atau ibu Mariamin adalah seorang penyayang dan baik hati. Wujud kasih sayang itu
sebagaimana dapat dilihat dari penggalan dialog berikut ini ; Anakku sudah makan? bertanya
si ibu seraya menarik tangan budak itu, lalu dipeluknya dan diciumnya berulang-ulang.

5)

Baginda Diatas atau ayah Aminuddin adalah seorang kepala kampung atau bangsawan yang
kaya raya dan disegani serta dihormati. Hal itu dibuktikan dengan penggalan narasi langsung dari
penulis sebagai berikut ; Dia (Aminudin) adalah anak kepala kampung A. Ayah Aminuddin
seorang kepala kampung yang terkenal di seantero Sipirok. Harta bendanya sangat banyak.

6)

Ibu Aminuddin mempunyai sifat yang sama seperti suaminya Baginda Diatas, dia juga
penyayang.

C. Alur (Plot)
Alur dalam novel Azab dan Sengsara ini menggunakan alur campuran, yaitu alur maju
dan alurmundur.
Konflik dimulai ketika Aminuddin mengatakan kepada Mariamin bahwa dia akan merantau ke
Medan untuk mencari pekerjaan. Mariamin yang ditinggalkan merasa sangat bersedih dan putus
asa. Ditambah lagi ibunda Mariamin sedang sakit parah. Hal ini menambah kepedihan hati
Mariamin. Namun ketika Aminuddin meminta ayahnya untuk membawa Mariamin ke Medan
untuk dinikahinya, ayahnya justru membawa gadis lain yang dianggap lebih pantas menjadi isteri
Aminuddin karena status sosial yang sederajat dengan mereka.
Konflik memuncak ketika Mariamin harus menikah dengan pria pilihan ibunya yaitu
seorang kerani bernama Kasibun. Mariamin sama sekali tidak mendapatkan kebahagiaan setelah
menikah dengan Kasibun. Ia justru harus mengalami kepahitan karena sang suami
memperlakukannya bagai binatang. Setiap hari Mariamin disiksa dan dianiaya oleh Kasibun.
Peleraian dimulai ketika Mariamin sudah tidak tahan lagi atas perlakuan Kasibun.
Kemudian ia melaporkan tindakan itu ke polisi dan Kasibun pun ditangkap dan harus membayar
denda kepada Mariamin serta harus memutuskan tali pernikahannya dengan Mariamin. Ia pun
kembali ke gubuknya di Desa Sipirok. Pada akhirnya azab dan sengsara Mariamin pun berakhir.
Anak shaleh itu menemui ajalnya. Nyawanya bercerai bercerai dengan badan. Arwah yang suci
itu naik ke tempat yang mahamulia. Azab dan sengsara dunia ini telah tinggal diatas bumi,
berkubur dengan jazad badan yang kasar itu.
D. Setting (latar):

Latar tempat:
1. Di sebuah gubuk di tepi sungai tepatnya di daerah Sipirok, Padang.
2. Di sebuah gubuk di tengah-tengah sawah.
3. Sungai di kota Sipirok.
4. Rumah Mariamin yang besar.
5. Di Medan (Deli) di rumah Kasibun (suami Mariamin)
6. Di kebun tempat Aminuddin bekerja
7. Kampung A yang dikepalai oleh Bapaknya Aminuddin
8. Pekuburan Mariamin di sebrang jalan kampung A
Latar waktu:
Terjadi pada senja, pagi hari, siang, dan malam hari
Latar suasana:
Menyedihkan, senang, haru, tegang.
E. Sudut Pandang
1. Orang ketiga tunggal yang ditandai dengan kata: adinda, kakanda dan anakanda
2.
F.

Orang ketiga yang di tandai dengan kata: anggi (adik), Angkang (Kakak)
Gaya dan Nada
Gaya penulisan novel ini adalah dengan menggunakan bahasa Indonesia dan dicampuri

oleh bahasa Melayu. Novel ini belum menggunakan EYD atau ejaan yang disempurnakan. Selain
itu pada setiap awal bab pengarang menggunakan penggambaran-penggambaran baik itu
mengenai alam yang menjadi latar cerita maupun penggambaran tentang tokoh-tokoh dengan
menggunakan bahasa yang indah. Misalnya Maka angin itu pun bertambahlah sedikit kerasnya
sehingga daun dan cabang-cabang kayu bergoyang-goyang perlahan-lahan sebagai menunjukkan
kegirangannya, karena cahaya yang panas itu sudah bertukar dengan hawa yang sejuk dan
nyaman rasanya.
G. Amanat
Janganlah menjadi orang yang serakah
Jangan mengambil hak milik orang lain
Tabahlah dalam menghadapi segala cobaan
UNSUR ADAT DAN KEBIASAAN DALAM NOVEL AZAB DAN SENGSARA
A.Adat dan kebiasaan yang bisa ditemukan pada novel "Azab dan Sengsara" sebagai berikut.
1. Menikahkan anak secara paksa (jodoh dipilihkan orang tua)

Aminudin dijodohkan dengan wanita bukan pilihannya


2. Harta merupakan pertimbangan dalam menjodohkan anak
Mariamin berasal dari keluarga kurang mampu maka ditolak oleh keluarga Aminudin.
3. Poligami (laki-laki dengan istri lebih dari satu)
Kasibun mengku perjaka ternyata telah beristri, dan Mariamin dijadikan isteri kedua.
4. Kebiasaan minum dan berjudi
Sutan Baringin ayah Mariamin menjadi bangkrut karena kebiasaan berjudi dan minum.
(B) Etika moral yang dapat kita temukan pada novel "Azab dan Sengsara" sebagai berikut.
1. Anak sangat berbakti kepada orang tuanya
Aminudin tak mencintai wanita pilihan orang tuanya namun tak berani menolak karena baktinya
kepada orang tuanya.
2. Isteri sangat taat kepada suaminya
Meskipun Mariamin ditipu oleh Kasibun yang mengaku perjaka, ia tetap berbakti kepada
suaminya.

Perbedaan
N
o

Novel tahun '20/'30


Menggunakan bahasa
melayu
Mengungkapkan dengan
pribahasa

Latar
perdesaan/pegungungan

Perbedaan
Novel tahun sekarang
Menggunakan bahasa Indonesia yang
baku
Mengungkapkan dengan terus terang

Latar perkotaan yang ramai

Anda mungkin juga menyukai