Anda di halaman 1dari 9

DRAMA TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK

Drama ini menceritakan kisah Zainuddin dari makassar yang ingin melihat tanah kelahiran
ayahnya dan juga belajar agama di Batipuh Padang 1930. Sesampainya di Batipuh Padang
dia menginap di rumah saudaranya bernama mak cik Jamilah. Keesokan harinya Zainuddin
diajak saudaranya pergi mengelilingi Batipuh, untuk melihat suasana alam disana. Di sela
perjalanan mereka, datang rombongan delman yang salah satunya dinaiki oleh hayati.
Hayati adalah keponakan dari penghulu adat negara Batipuh, dia seorang yatim piatu dan
dia hidup bersama adiknya Ahmad. Zainuddin bertemu dengan hayati secara tidak sengaja
saat pulang dari pengajian yang pada saat itu dalam keadaan hujan mereka berteduh di
sebuah kedai.
Zainuddin: “Hayati pulanglah dulu, pakai payung ini”
Hayati : “Tapi awak sendiri bagaimana?”
Zainuddin: “Saya laki-laki, menginap sini pun jadi”
Hayati : “Terima kasih uda, tapi dimana saya mengembalikan payung ini?”
Zainuddin: “Saya tinggal dirumah mak cik Jamilah hayati”
Hayati : “Baik uda, saya duluan, Assalamualaikum”
Zainuddin: “Waalaikumsalam”
Keesokan harinya Hayati mengembalikan payung Zainuddin yang dititipkan kepada adiknya
Ahmad, yang disertai dengan sebuah surat. Zainuddin kemudian membalas surat tersebut
dan dia berikan kepada Hayati secara langsung. Hari itu telah berlalu, tapi di hari ini tak
sengaja hayati berjumpa kembali dengan Zainuddin di pinggir sungai yang baru saja
Zainuddin menepi.
Hayati : “Darimana uda”
Zainuddin: “Saya dari tempat biasa saya menulis karangan dan hikayat, hayati”
Hayati : “Kenapa sudah 4 hari ini uda tidak terlihat”
Zainuddin: “Saya malu hayati, saya takut”
Hayati : “Tak perlu uda takut karena surat itu, surat yang indah yang membuka pintu hati
orang tapi sayang, saya tidak berbakat untuk membalas surat-surat yang indah itu”
Zainuddin: “Bukankah sudah saya terangkan, bahwa saya Cuma minta, jangan kecewakan
hati orang yang berlindung kepadamu”
Berbalas surat selalu terhantarkan sejak saat itu mereka terlihat sering berjumpa. Namun
tidak untuk adat istiadat yang telah berjalan. Karena melihat banyak fitnah datuk dari tertua
adat telah memutuskan untuk menyuruh Zainuddin untuk meninggalkan Batipuh menuju
Padang Panjang atau Bukittinggi yang di rasanya mengembalikan niat Zainuddin yang
sebenarnya ingin belajar agama, serta untuk menghindari fitnah.
Tak lupa Zainuddin berpamitan dengan hayati di tempat biasa Zainuddin menulis, hayati
mendatanginya. Hayati memberikan selendang nya sebagai tanda mata azimat dalam hidup
Zainuddin dan Hayati juga berjanji akan menunggu Zainuddin sampai kapanpun itu.
Padang panjang, 1931
Tak lama Zainudin tiba, hayati menyusul nya di Padang Panjang selama 10 hari untuk
menyaksikan lomba pacuan kuda dan pesta keramaian di sana. Di Padang Panjang hayati
akan tinggal di rumah sahabatnya khadijah.
Khadijah: “Akhirnya sampai juga dirumahku”
Hayati : “Iya ternyata lama juga perjalanannya”
Khadijah: “Nah itu bundo, Bundo hayati dah sampai”
Hayati : “Assalamualaikum Bundo, Bundo apa kabar”
Bundo : “Waalaikumsalam, Alhamdulillah Bundo baik, Ijah mana Abang kamu. Ati kamu
sudah pernah jumpa Abang Ijah?”
Khadijah: “Ah kalau ada pesta dan pacuan kuda biasanya dia akan pulang. Mari kita masuk”
Aziz : “Bundo ijah” (Aziz pulang)
Khadijah: “Abang Aziz, saya sangat rindu. Pulanglah lama sikit bang”
Aziz : “Abang tak boleh pulang lama, abang pulang ingin melihat pacuan kuda”
Aziz menyadari keberadaan Hayati yang membuatnya bertanya-tanya dan kemudian
khadijah memperkenalkan sahabatnya itu
Khadijah menghampiri hayati yang berdiri terpaku ditempatnya
Khadijah: “Dari tadi terpukau abangku melihat kecantikanmu ati. Ini Abang Aziz yang kerja
dipadang. Hayati ini baru tiba dari Batipuh, bang”
Aziz : “Aaa Khadijah sering bercerita tentang hayati. Maaf baru sekarang bisa
berkenalan. Ijah kamu berdusta, Hayati jauh lebih cantik dari yang kau ceritakan”
Di lain tempat Zainuddin mempersiapkan dirinya untuk bertemu dengan hayati di tengah
acara besok. Mereka pun berangkat ke acara pacuan kuda. Begitu sampai, ramai sekali
orang di acara pacuan kuda, Hayati melihat kekanan dan kiri berharap melihat Zainuddin
disana. Dan benar saja mereka bertemu, Zainuddin mencoba menghampiri Hayati yang
bersama sahabatnya lalu Zainuddin menyapanya.
Zainuddin: “Awak? Hayati”
Hayati : “Zainuddin”
Khadijah : “Hayati siapa ini”
Hayati : “Zainuddin”
Khadijah : “Ohh Zainuddin”
Aziz : “Ijah, atii ayoo”
Khadijah :“Maaf Zainuddin. Ayo pergi banyak orang berlalu lalang”
Tiba-tiba kedatangan aziz mengajak adiknya dan Hayati untuk pergi menonton pacuan kuda
yang akan segera mulai itu seperti memisahkan pertemuan Hayati dengan Zainuddin.
Khadijah: “Ati perlombaan dah nak mulai! Cepatlah tengok kuda putih tu ati, dia akan
menang”
Aziz : “Itu kuda Abang ati”
Khadijah: “Ceria lah hayati kita datang nak tengok lomba kuda”
Hayati : “Saya datang nak jumpa Zainuddin”
Khadijah: “Kenapa muka kamu merah, ati”
Hayati : “Saya pening ijah. Maaf, saya nak balik dulu. Kau tunggulah sampai selesai”
Khadijah: “Tak boleh begitu, kita datang sama pulang pun bersama. Abang Aziz, ati tak sihat
badan”
Aziz : “Kamu sakit? Kalau begitu kita semua balik”
Hayati : “Tak mengapa, Abang Aziz saya tau jalan pulang”
Aziz : “Tak boleh itu namanya tak setia kawan”
Khadijah: “Mari kita pulang ati”
Sampainya dirumah bundo bicara jika dia terpikat dengan sikap Hayati. Bundo ingin
menjodohkan Aziz dengan Hayati, awalnya Aziz menolak karena Hayati gadis kampung yang
akan kaguk jika dibawa keluar kota. Tapi akhirnya Aziz menyetujuinya.
Lamaran pun datang, namun bukan dari Aziz saja tapi juga dari Zainudin. Namun penghulu
adat tidak menyetujui lamaran dari Zainuddin, mereka lebih memilih lamaran dari Aziz.
Hayati hanya bisa menurut saja. Balasan surat dari keluarga Hayati pun telah diterima
Zainuddin tapi ternyata isinya adalah hal tidak ia inginkan. Setelah kesepakatan keluarga,
Hayati dan Aziz menikah.
Zainuddin: “Bang Muluk, tolong selidiki siapa Aziz?”
Muluk : “Aziz dari Padang Panjang? Kaki judi mana yang tak kenal dia, ibu bapanya
terpandang karena menjadi pegawai Belanda, begitu juga Aziz”
Setelah Zainuddin mengetahui siapa Aziz sebenarnya, ia mengirimkan surat kepada Hayati
untuk mengingatkan jika itu hanyalah pernikahan demi harta dan nama baik. Hayati
menerima surat dari Zainuddin lalu ia baca dan membalasnya. Tapi balasan surat dari Hayati
sangat menyakiti hati Zainudin, sampai jiwanya goyah dan beban batinnya sangat berat.
Cara mengobatinya dengan mendatangkan Hayati yang segan menemui Zainuddin. Jadi mak
cik Zainuddin mendatangkan Hayati untuk menemui Zainuddin.
Hayati : “Assalamualaikum”
Mak cik : “Waalaikumsalam, Zainuddin tengoklah siapa yang tlah datang”
Hayati : “Zainuddin Zainuddinn”
Zainuddin: “Hayati kau kah itu, kau sudah datang, kemarilah berikan tanganmu. Saya akan
pimpin kamu sepanjang hayat saya. Kamu dah jadi milik orang. Haram bagi saya untuk
menyentuhmu. Keluar kalian semua, saya tidak ada hubungan dengan mereka”
Setelah disuruh pergi oleh Zainuddin, Hayati dan Aziz pun langsung pergi meninggalkan
rumah mak cik. Setelah Hayati dan Aziz pergi, bang Muluk berbicara menasehati Zainuddin
untuk bangkit dan semangat kembali. Nasehat dari bang Muluk berhasil, Zainuddin
memperbaiki pemikirannya dan hidupnya, dia akan melupakan tentang Hayati dengan
berpindah ke pulau Jawa.
Zainuddin: “Saya akan pindah ke tanah Jawa, orang bilang peluang lebih besar disana”
Muluk : “Batavia engku? Awak kenal anak padang yang kerja disana, katanya dia berkerja
dipenerbitan koran. Awak akan surati dia, nanti kau kirimlah tulisanmu kesana. Awak ikut
engku, awak begitu mengagumi engku. Bawalah awak jadi pesuruh,jadi pelayan,dan jadi
sahabat setia”
Zainuddin: “Benarkah abang nak ikut denganku?”
Muluk : “Benar engku sebab dari engku banyak kebaikan yang akan awak contoh, awak
ingin menuntun kehidupan yang baru . Awak ingin tunduk dan kembali kejalan yang benar
Zainuddin: “Saya juga memerlukan abang”
Muluk : “Sampai mati jadi sahabat”
Zainuddin: “Sampai mati jadi sabahat” (berjabatan tangan)

Batavia, 1932
Sesampainya di Batavia Zainuddin dan Muluk langsung mencari kontrakan terlebih dahulu.
Setelahnya mereka bertemu dengan tuan Iskandar, pemilik penerbitan koran, dia mau
berkerjasama dengannya. Zainuddin merilis karangan pertamanya dengan judul Terusir.
Muluk : “Ahh engku dah jadi terkenal ya sekarang”
Zainuddin: “Janganlah begitu bang Muluk, bang Muluk pun turut membantu juga”
Muluk : “Sudah terkenal belilah baju baru engku, masa baju sobek gini masih dipakai”
Zainuddin: “Biarlah nanti kujahit dirumah ,bang Muluk”
Muluk : “Ahh jangan menjahit terus engku, bila tangan engku sakit, tidak bisa menulis,
tidak ada buku gimana?”
Zainuddin: “Kalau begitu dimana kita cari bang, abang tau tempatnya?”
Muluk : “Tu disana, mari kita kesana. Abis ni kita beli mobil, engku dah sukses masa naik
bendi terus”
Zainuddin: “Tapi saya tidak bisa setir bang Muluk”
Muluk : “ Tenang nanti awak ajar”
Zainuddin: “Bisa bang Muluk?”
(Muluk pergi)
Hayati kedatangan tamu temannya dulu saat di Batipuh Padang
Hayati: “Masuklah ras”
Laras : “iyo Hayati, rancaknyo rumahmu Hayati”
Hayati: “Terimakasih, duduk. Senang sekali hati ambo kau berkunjung ke Padang Panjang.
Sering kali terasa sepi kalau bang Aziz pergi berkerja ke Padang”
Laras : “Oh iyo untuk menghilangkan sunyi, bacalah buku ini. Ceritanyo ranca banak, sadih
menyayat hati. Tiga kali awak baca buku itu, tiga kali awak menangis”
Hayati: “Kau macam tukang obat dipasar saja”
Laras : “Si jamal dicerita itu, mirip dengan Zainuddin kau itu, ati”
Sejak kepindahannya ke Surabaya, Zainuddin menjadi sangat sukses dan karyanya terkenal
dimana-mana. Itu semua karena kerja kerasnya. Disisi lain Hayati membaca buku dari Laras,
sembari menunggu suaminya pulang.
Hayati : “Assalamualaikum uda, ati siapkan minum uda”
Aziz : “Tidak usah”
Hayati : “Maaf uda tadi…”
Ibu Aziz: “Kalau suamimu pulang, haruslah kau tau ati”
Aziz : “Dahlah mak tak guna bicara dengan orang yang…”
Hayati : “Yang apa uda, baru kali ini ati khilaf, biasanya ati selalu tunggu uda, waktu uda nda
pulang tanpa kabar, ati tetap tunggu sampai larut malam”
Aziz : “CUKUP, macam orang kampung saja”
(Hayati menangis dan meninggalkan mereka)
Ibu Aziz: “Beberapa hari ini dia suka baca buku, ntah buku apa yang di baca”
(Aziz menyusul Hayati untuk meminta maaf, karena telah membentaknya)
Aziz : “Beri maaf uda, uda letih sekali”
Hayati: “Jangan terlalu sering menyakiti ati, lidah uda tajam, hati ati mudah terluka”
Aziz : “Uda hanya ingi makan malam dengan tenang, sekaligus merayakan keberhasilan uda. Uda
naik pangkat ati, kita akan pindah ke Surabaya”

Aziz dan Hayati pindah ke Surabaya. Dan Zainuddin atas kerja kerasnya selama ini, dia sudah
dapat membeli rumah yang mewah di Surabaya. Saat Hayati menunggu Aziz pulang dengan
membaca buku, dia tak sengaja ketiduran. Aziz pulang dengan keadaan mabuk dan
mencurigai bila Hayati membaca buku karangan Zainuddin.
Aziz : “Ceritani macam budak bugis tu”
Hayati: “Uda jangan bilang begitu”
Aziz : “Kenapa, aku tak boleh baca buku ni”
Hayati: “Tak ada siapapun yang melarang”
Aiz : “Jangan-jangan memang orang tu pengarangnya, buku ni terbitan di Batavia. Dia
merantau kesana kan”
Hayati: “Namanya Zainuddin uda. Setauku engku Zainuddin tak pernah..”
Aziz : “Ohh engku. Masih cinta rupanya, kenapa kau tak terima”
Hayati: “Kenapa uda masih membahas hal itu. Tersiksa ati menjadi istri macam ini”
Aziz : “Diam bodoh orang kampung”
(Ati diam ditempatnya dan menangis)
Sejak pindah ke Surabaya Zainuddin mengubah namanya menjadi Tuan Shabir, dia
mengadakan opera Terusir. Tuan Shabir mengundang seluruh perantau yang ada di
Surabaya datang ke opera miliknya itu. Dan benar Aziz dan Hayati pun datang. Saat opera
dimulai Hayati tau kalau itu ada kisahnya dengan Zainuddin, dia menonton dengan air mata
mengalir. Setelah opera selesai, tuan Shabir mengundang semua penonton kerumahnya.
Zainuddin: “Tuan Aziz dan istrinya Hayati, kalian sudah lama tinggal di Surabaya?”
Aziz : “Baru tiga bulan”
Zainuddin: “Sekian lama tinggal di Surabaya, baru kali ini kita bertemu”
Aziz: : “Kami pun tak menyangka, penulis ternama yang dibicarakan dimana-mana itu
adalah sahabat kami tuan Zainu….”
Zainuddin: “Shabirr, sudah tak da nama itu lagi. Sudah tidak cocok dengan saya sekarang”
Keesokan harinya penagih hutang datang kerumah Aziz, Aziz memiliki hutang dari berjudi
dan dia juga sudah dipecat dari perusahaan. Semua barang dan rumah miliknya disita.
Tanpa malu, Aziz meminta batuan Zainuddin untuk tinggal dirumahnya, tanpa mengingat
apa yang telah dia lakukan dimasa lampau.
Zainuddin: “Jangan sungkan, semua bagian rumah ini juga milik kalian. Kecuali satu, kamar
kerja saya harap tidak dimasuki, nanti bang Muluk akan tunjjukan kamar kalian”
Aziz : “Terimakasih”
Hayati : “Terimakasih engku”
Sudah sebulan sejak Aziz dan Hayati tinggal dirumah Zainuddin dan sudah seminggu Aziz
sakit.
Aziz : “Engku terlalu baik pada saya, saya tidak bisa membalas kebaikan engku. Saya akan
cari pekerjaan diluar kota, dan jika tidak keberatan ijinkan Hayati untuk tinggal disini sampai
saya dapat pekerjaan”
Zainuddin: “Tapi bagaimana dengan pendapat Hayati”
Hayati : “Saya hanya menurut”
Zainuddin: “Baiklah, kemanapun kau pergi kirimkan surat kabar. Jika sudah dapat pekerjaan,
uda dapat menjeput Hayati atau saya yang mengantarkannya”
(Aziz pun pergi dan meninggalkan Hayati dirumah itu.)
Hayati: “Sudah lama saya disini bang Muluk, masihkah ada dendam dia pada saya?
Masihkah dia belum memberi maaf pada saya?”
Muluk: “Cik tuan Zainuddin itu lelaki yang tak beruntung, dia sudah tak beruntung sejak
lahir. Tapi hatinya tetap teguh karna ada wanita yang memberinya harapan dan berjanji
akan menunggunya. Tapi wanita itu malah menikah dengan lelaki lain”
Hayati: “Sudah cukup bang Muluk”
Muluk: “Sekarang dia sudah menjadi orang yang sangat baik, membantu semua orang yang
butuh bantuannya”
Lalu Muluk mengajak Hayati untuk masuk keruang kerja Zainuddin, untuk menunjukkan apa
yang disembunyikannya sampai tak ada orang yang boleh masuk keruangan itu. Ternyata
sebuah foto Hayati berukuran besar yang dipasang di dinding kamar itu dan ada tulisan
Permataku yang hilang dibawah foto itu.
Hayati : “Dia masih ingat saya bang Muluk”
Muluk : “Ingat, dia tak akan pernah lupa. Tapi sekarang Hayatinya sudah tidak ada”
Hayati : “Ada bang Muluk, dia masih ada disini bang Muluk”
Muluk : “Cinta hatinya Hayati tlah mati. Encik Hayati yang sekarang tinggal dirumahnya
adalah istri sahabatnya”
Hayati pun menangis dan lari ke kamarnya. Di sisi lain Aziz yang beralasan mencari
pekerjaan ternyata dia berdiam diri dihotel. Ia merenungkan kesalahannya, ia berencana
mengembalikan Hayati kepada Zainuddin. Aziz mengirim surat kepada Zainuddin dan Hayati,
yang berisi ia mengembalikan Hayati kepada Zainuddin dan surat perceraian untuk Hayati.
Setelah itu ia meninggal dengan bunuh diri.
Hayati: “Saya akan berterus terang engku. Akan saya panggil kembali namamu,
sebagaimana dahulu pernah saya panggilkan. Zainuddin, saya sudi menanggung setiap
cubaan yang menimpa diriku, asalkan kau sudi memaafkan segenap kesalahanku”
Zainuddin: “Maaf? Kau hancurkan segenap pucuk harapanku. Lalu kau minta maaf?”
Hayati : “Mengapa kau jawab aku sekejam itu Zainuddin, sudah hilangkah kenangan kita
dihatimu”
Zainuddin: “Iya, begitulah perempuan. Ia mengingat kekejaman orang walaupun kecil, tapi
ia lupa kekejamannya padahal begitu besarnya. Siapakah diantara kita yang kejam Hayati?
Saya kirimkan surat-surat yang meratap,merendahkan diri, memohon dikasihani. Tiba-tiba
kau balas surat itu dengan sangat kejam. Kau katakana kau miskin saya pun miskin, kau
katakana hidup tak beruntung jika tak da uang.
Hayati : “Zainuddinn”
Zainuddin: “Saya tidak kejam Hayati, saya hanya menuruti perkataanmu agar cinta awak
dihapus digantikan dengan persahabatan yang kekal. Permintaan itulah yang saya pegang
teguh sekarang.
Hayati : “Zainuddin”
Zainuddin: “Kau akan ku kirimkan ke tempat asalmu, ongkos pulangmu akan kuberi.
Demikian pun selagi saya masih hidup dan kau belum menikah lagi Insya Allah kehidupanmu
akan saya bantu”
Hayati : “Zainuddin, tidak saya tidak mau. Biarlah kau pandang saya sebagai budakmu,
saya hanya butuh dekat denganmu”
Zainuddin: “Tidak, jangan dengan saya, tanah Minangkabau beradat. Besok senin ada kapal
Van Der Wijck pulanglah ke kampungmu. Bang muluk akan mengurus semuanya, maaf saya
tidak bisa mengantarmu”
Hari senin pun tiba, waktunya Hayati pulang ke kampungnya. Hayati diantar oleh Muluk ke
pelabuhan.
Hayati: “Bang Muluk, jantung saya berdebar. Tak sedap hati saya melihat kapal ni. Kaki saya
seperti terpaku di bumi. Kenapa saya bang Muluk”
Muluk: “Tenang saja cik, itu hanya perasaan cik saja”
Hayati pun menaiki kapal dan ditemani juga dengan bang Muluk, Hayati menitipkan surat
kepada bang Muluk untuk Zainuddin.
Hayati: “ Bang Muluk, tolong sampaikan suratku ini kepada engku Zainuddin. Katakan pula
kepadanya, sampai kepada saat berpisah itu, Hayati masih ingat akan dia”
Muluk : “Baiklah encik”
Kapal pun berangkat berlayar, Hayati dengan kecemasannya akan kapal itu ia memilih
mengingat tuhan dan berlayar dengan melihat foto Zainuddin. Benar ketakutan Hayati, saat
ditengah lautan kapal mengalami masalah. Semua orang panik untuk menyelamatkan diri.
Kapal pun terbalik semua orang tenggelam, Hayati hanya pasrah ia hanya memandangi
Zinuddin sampai ia menutup matanya.
Disisi lain Zainudin menyesal telah kejam dan mengirim Hayati pulang. Ia membaca surat
dari Hayati semalaman. Keesokan harinya saat ia ingin menyusul Hayati, ia melihat surat
kabar yang berisi bahwa kapal Van Der Wijck tenggelam. Zainuddin dan Muluk langsung
pergi mencari rumah sakit yang dimana korban tenggelamnya kapan Van Der Wijck. Sampai
dirumah sakit Zainuddin dan Muluk berpencar mencari dimana keberadaan Hayati.
Muluk: “Engku engku! Cik Hayati engku”
(Zainuddin menghampiri tempat dimana Hayati)
Zainuddin: “Hayati hayatii”
Hayati: “Zainuddin kau kah itu”
Zainuddin: “ Hayati, Allah rupanya tak ijinkan kita berpisah lagi. Ini saya Zainuddin, kau akan
sehat, kita akan pulang kerumah kita di Surabaya”
Hayati: “Zainuddin, bang muluk surat surat”
Muluk: “Sudah cik sudah”
Hayati: “Zainuddin kekasihku biarlah aku lihat wajahmu. Jika aku mati, aku bahagia sebab
aku tahu kau masih mencintaiku”
Zainuddin: “Hidupku hanya untukmu seorang, Hayati”
Hayati: “Aku pulang. Bacakan kalimat suci ditelingaku. Aku cinta engkau Zainuddin, biar hati
kita dirahmati oleh tuhan bacakanlahh”
Zainuddin: “Asyhadu an laa ilaaha illallah, waasyhaduanna muhammadar rasuulullah”
(Perlahan Hayati menutup matanya dan Zainuddin menangis)
Setelah beberapa tahun kepergian Hayati, Zainuddin masih tetap mencintainya dia sering
mengunjungi makamnya. Zainudin juga sudah mulai bangkit dari kehilangan kekasih hatinya.
Foto Hayati yang dahulu tulisannya Permataku Yang Hilang diganti menjadi Permataku.
Zainuddin: “Mungkin saya kehilangan Hayati, tapi disaat kehilangan itu selalu ada bang
Muluk. Sampai mati jadi sahabat”
Muluk : “Sampai mati jadi sahabat, semoga almarhummah tenang disana”
Zainuddin : “Hayati, Hayati masih hidup bang Muluk. Dia masih hidup”
Muluk : “Sudah lah engku, yang berlalu biarlah berlalu.Berhentilah bersedih dan
mengingat cik Hayati, almarhumah dah tenang”
Zainuddin : “Hayati masih hidup bang Muluk. Dia masih hidup disini, bukuku yang
terbaru”

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai