Anda di halaman 1dari 4

Dari Firdaus Menuju Jahannam

Lisa Sariani

Namaku Sari, putri sematang wayang dalam keluargaku. Saat ini umurku
menginjak 18 tahun. Aku dipaksa menikah dengan kedua orang tuaku yang terlibat
hutang. Awalnya aku merasa hidupku habis di sini saja, seorang anak perempuan
satu-satu nya harus menikah diusianya yang masih 18 tahun. Tapi, aku tahu bahwa
kedua orang tuaku sangat menyayangiku dan sebenarnya mereka juga tidak
menginginkan hal ini terjadi padaku.

Kini tiba hari pernikahanku, aku duduk di samping seorang pemuda asing
yang tak kukenali sebelumnya. Ijab qabul pun sudah terlaksana dengan begitu
lancarnya. Pemuda asing itu menolehkan wajahnya padaku. "Subhanallah" jantungku
berdenyut kencang, darahku mengalir deras, mataku terbelalak menatap wajah
pemuda asing alias suamiku itu. Wajahnya sungguh tampan, hidungnya mancung,
bibirnya tipis, matanya berbinar, dan sedikit berewok di pipinya menambah
ketertarikan sendiri. Ia mengulurkan tangannya padaku, dan kuulurkan juga tanganku
dengan pelan.

"Sekarang kamu sudah menjadi istriku, jadi jangan pernah bosan untuk
melayaniku sebagaimana istri pada umumnya" ujar suamiku.

Malampun tiba, aku dan suamiku duduk di atas ranjang pengantin yang
berhiaskan mawar merah dan beberapa lilin putih yang masih memancarkan cahaya
indahnya.

"Sari, namaku Beni, aku adalah juragan kaya yang ayahmu maksut." Ujar
suamiku, aku hanya membalasnya dengan senyuman saja. Malam itu kami hanya
bercerita tentang perjodohan yang tak pernah disangka sebelumnya.

Dua tahun berlalu kehidupan rumah tanggaku dengan Mas Beni berjalan
harmonis, namun kami belum dikaruniai seorang anak. Hal inilah yang membuat ibu
mertuaku tak suka padaku. Suatu hari Mas Beni disuruh ibunya pulang kampung.
Kampung asli Mas Beni memang jauh di pelosok desa.

"Mas, aku ikut pulang kampung ya, aku juga ingin melihat keluarga kita di
sana". Mas Beni hanya diam membisu.
Saat pagi tiba, aku bangun dan melihat bahwa Mas Beni tidak ada di
sebelahku. Aku pergi ke kamar mandi untuk memastikan keberadaannya. Ku buka
lemari baju Mas Beni, aku menangis melihat isi lemari Mas Beni yang sudah kosong,
hanya tinggal baju kemeja yang tergantung. Tega-teganya mas Beni pergi
meninggalkanku tanpa memberitahu dan mengajakku.

Dua minggu telah berlalu tak juga ku dapat kabar dari suamiku. Kini hari-hari
sepi, apa guna harta banyak tapi sepucuk kebahagiaan telah hilang. Tiba-tiba
handponku bordering.

"Assalamualaikum Mas Beni, apa kabar Mas? kapan pulang? Sari kesepian
mas". Kataku dengan nada cepat karena bahagia Mas Beni akhirnya menelponku.

"Waalaikumsalam, alhamdulillah mas baik-baik saja, maaf ya sayang mas


tidak memberimu kabar, kemarin waktu berangkat handpon Mas hilang, dan sekarang
baru ketemu".

Akhirnya aku lega mas Beni tidak memberiku kabar bukan karena ia lupa, tapi
karna handponnya hilang.

Menjelang minggu ketiga kepergian Mas Beni aku jatuh sakit. Perutku perih
dan badanku lemas. Aku pergi kerumah sakit diantar ibuku, dan menurut hasil riset
doktar aku didiaknosa terkena kangker rahim. Hal inilah yang menyebabkan aku
tidak bisa mempunyain keturunan. Saat ku tahu bahwa aku mengidap penyakit kanker
rahim, semua anganku hancur, mimpiku menganyun dan menyusui bayi hilang,
mimpiku melihat seorang anak memakai toga dan bersanding di pelaminan hilang.
Masa depanku buram, dan terjebit waktu hidupku yang mungkin sudah tidak lama
lagi.

Tepat minggu ketiga Mas Beni akhirnya pulang. Kepulangan Mas Beni
kusambut dengan hangat, tapi ia membalasnya dengan pasi. Kuulurkan tangan ia tak
membalas, kulepaskan kemejanya ia menolak, kuhidangkan makanan ia hanya
melihat saja.

"Mas Beni kamu kenapa? kenapa mas berubah?". Tanyaku.

Mas Beni hanya menggeleng dan menutup pintu kamar dengan keras. Padahal
aku ingin memberi tahu bahwa aku sakit, dan berharap aku mendapatkan kasih
sayang darinya.
Hari demi hari telah berlalu, rambutku semakin banyak yang gugur, badanku
semakin kurus. Namun Mas Beni tetap tidak memperdulikan aku. Dia hanya berkata.

" Sari, ganti sampomu, rambutmu gugur karena salah sampo, dan banyakkan
makanmu, badanmu sudah kurus". Tentu saja hal ini membuat hatiku semakin hancur
berkeping tak berbentuk.

Aku berniat menyelidiki apa sebenarnya yang membuat Mas Beni berubah,
sampai akhirnya aku menemukan sekeping map padi yang isinya surat perjanjian
perjodohan antara Mas Beni dengan teman SMA nya yaitu Yani. Tertanda surat
tersebut dibuat oleh ibu Mas Beni dan keluarga Yani.

Aku memberanikan diri meminta kejelasan isi surat tersebut dengan Mas
Beni. Mas Beni diam membisu dan meneteskan air mata. Ia melakukan semua ini
karena paksaan dari ibunya yang tidak menyukaiku sebagai menantunya. Mas Beni
memeluk dan meminta maaf atas kelakuan ibunya yang sangat kelewatan itu. Aku
hanya bisa menangis dan merundukkan kepalaku. Dan memberanikan diri
menceritakan penyakit yang kuderita. Mas Beni sungguh tidak menyangka, pupuslah
sudah harapannya menjadi seorang ayah. Namun hal ini tak membuatnya putus asa.
Ia berjanji akan terus mencoba dan membayar mahal dokter demi kesembuhanku.

Tiga bulan sudah berlalu, aku merasakan keanehan dalam diriku, rasa malas
dan mual selalu meghampiriku. Hari-hariku tak seperti biasanya. Ternyata aku hamil,
dan usia kehamilanku sudah hampir dua bulan. Hal ini benar-benar membuatku tak
percaya dan berniat memberitahu Mas Beni atas kehamilan ini.

Sudah 10 hari Mas Beni tak pulang kerumah karena mengurus kebun kelapa
di kampungnya. Tiba-tiba terdengar kabar dari tetanggaku bahwa Mas Beni sudah
menikah lagi. Ia menikah karna paksaan dari ibunya dengan teman SMA nya Yani.
Tentu saja aku tidak mempercayainya dan berniat menyusul Mas Beni
kekampungnya.

Benar saja, sesampainya di sana aku melihat tenda biru dan janur kuning yang
melengkung di depan rumah ibunya. Aku terduduk lemah tak berdaya, karena melihat
akad nikah mereka sedang terlaksanakan. Perlahan ku dekati meja akad itu sambil
menangis tanpa kusadari darah yang mengalir di kakiku.

"Mas inikah cinta yang kamu janjikan?, inikah kesetiaan yang kamu janjikan?
Jika memang benar begitu pergilah, ceraikan aku, dan hiduplah bahagia dengan
wanita itu" kata ku.
Semua mata tertuju padaku termasuk sepasang mata ibu mertuaku yang tak
menduga akan kedatanganku.

"sekarang lanjutkan akadnya dan izinkan aku duduk disamping Mas Beni"
ujarku lagi. Akhirnya pernikah itupun berlangsung di depan mataku, air mataku terus
berderai tak sanggup menahan pedihnya hati. Cintaku terkhianati orang ketiga karena
kemauan ibu mertuaku.

Tiba-tiba mataku gelap, aku tak bisa lagi memandang indahnya dunia,
mulutku tak lagi bisa mengeluarkan secerca kata sedikitpun. Kaki bajaku tiba-tiba
melemah tak berdaya, badanku tak sanggup lagi menompang kepala. Hanya kurasa
seseorang menggenggam tanganku dan membisikkan lafadz

"Asyhaduallaailahaillallah waasyhaduannaamuhammadarrasulullah".
Badanku bergetar hebat sampai akhirnya tak kurasa apa-apa lagi.

Kulambaikan tanda kepergian


Membawa duka yang kau tuangkan
Seakan ingin kucakar langit
Mengapa cintaku begitu rumit?
Maut menjemput pemilik nyawa
Syurga dan neraka tak mungkin bersua

Anda mungkin juga menyukai