Anda di halaman 1dari 4

AKU SAYANG KAMPUNGKU

Kira-kira sudah setahun lebih aku tidak bisa pulang ke kampung halamanku karena jadwal
kuliahku yang sangat padat. Kemudian aku juga mendengar kabar bahwa ada perbaikan
jembatan yang menghubungkan kota utama dan kampung halamanku sehingga rencanaku yang
lalu untuk pulang bisa dikatakan benar-benar tertunda. Baru liburan inilah aku bisa pulang ke
kampong halamanku. Hari-hari yang aku tunggu untuk pulang kekampung halamanku telah tiba.
Aku telah menyiapkan seluruh bawaan untuk pulang dengan berat yang cukup lumayan.
Kemudian aku berpamitan dengan teman-teman satu kos ku dan meminta doa restu agar aku
sampai dengan selamat. Segera aku bergegas menuju pelabuhan dengan diantar oleh salah satu
teman kosku. Sesampainya di pelabuhan, aku langsung menaiki kapal karena tiketnya telah aku
beli jauh-jauh hari. Aku harus menunggu sekitar tiga puluh menit hingga seluruh penumpang
kapal naik ke kapal. Kemudian barulah kapalku berangkat. Perjalanan ini menghabiskan waktu
hampir sehari. Karena diriku mulai merasa suntuk, aku gunakan saja untuk tidur didalam dek
kapal.

Tak terasa waktu telah berlalu, kapalku akhirnya sampai ditempat tujuan. Kapal yang aku naiki
ini berlabuh di kota utama dimana nanti aku masih harus menaiki angkutan umum untuk
menyeberangi jembatan yang menghubungkan kota utama dengan memakan waktu dua jam.
Selama perjalanan menyeberangi jembatan tersebut, perasaanku menjadi semakin rindu dengan
kampung halamanku. Ingin rasanya segera bertemu orang tuaku, saudaraku, dan orang-orang
disana. Akhirnya aku pun sampai dikampung halamanku. Aku langsung spontan memeluk
keluargaku karena aku sangat rindu mereka. Kemudian aku pun memutuskan untuk istirahat
lebih awal karena besok aku ingin sekali melihat-lihat sekitar kampung.

Pagi hari yang telah kutunggu telah tiba, aku segera mandi lalu mengenakan pakaian yang rapih.
Kemudian ku ajak adikku Jaka untuk berkeliling kampung. Dengan berjalan kaki, kulangkahkan
kaki kami untuk melihat-lihat suasana kampung. Aku menjuluki kampung ini sebagai Kampung
Ramah karena seluruh orang di kampung ini ramah, murah senyum, dan enak di ajak berbincang-
bincang. Baru beberapa langkah berjalan, aku sudah disambut ramah oleh Kepala Kampung atau
biasa kami panggil Pak Kades dikampungku.

“Eh nak Soni sudah pulang toh? Kapan datangnya?” Tanya Pak Kades kepadaku.

“Iya Pak Kades, kemarin saya sampai rumah” Jawab ku kepada Pak Kades.

“Kalian berdua mau kemana? Hati-hati cuaca lagi mendung, takut hujan deras” Tanya Pak Kades
lagi.

“Mau muter-muter kampung pak, soalnya saya kangen ngeliat suasana di kampung ini” Jawabku
lagi kepada Pak kades.

Kemudian Pak Kades mempersilahkan kami melanjutkan kegiatan kami. Tidak jauh dari tempat
kami bertemu Pak Kades, aku melihat pemandangan yang aneh. Kulihat pohon-pohon rimbun
yang dulu aku gunakan untuk bermain dengan teman-temanku telah tiada. Bahkan kini
digantikan dengan rumah-rumah baru. Lalu adikku menjelaskan padaku bahwa selama aku
kuliah, semakin banyak penduduk dari luar masuk ke kampung kami untuk tinggal dan membuka
usaha baru sehingga pohon-pohon yang dahulunya dipergunakan untuk bermain kini telah
berubah menjadi perumahan di kampung kami. Aku sedikit kecewa namun aku paham bahwa itu
digunakan untuk tujuan yang positif. Namun, aku merasa keadaan di kampung kami jadi agak
panas. Mungkin dikarenakan pohon-pohon tersebut berkurang dari kampung kami.

Tiba-tiba angin kencang berhembus dan langit menjadi gelap. Tidak butuh waktu lama kemudian
hujan turun menghujani kampung kami. Orang-orang yang sedang berada di luar rumah
langsung berlari masuk ke dalam rumah. Aku dan adikku berlari ke warung kopi untuk berteduh.
Keunikan hujan di kampung kami adalah hujan yang menyerupai badai. Bahkan orang yang
sedang memakai payung pun, posisi payungnya bisa berbalik arah karena angin yang dihasilkan
saat hujan benar-benar sangat kencang. Selain keunikan dari hujan, kampung kami juga memiliki
keunikan sendiri. Sederas apapun hujannya, kampung kami tidak pernah mengalami banjir
meskipun daerah kami terdapat di dataran rendah. Namun keunikan tersebut telah terpatahkan.
Buktinya, ketika aku sedang berteduh, kulihat air yang seharusnya mengalir deras di selokan,
kini tidak mengalir sedikitpun. Bahkan mulai perlahan-lahan mulai tergenang dan air semakin
meluap hingga semata kaki. Bagiku kejadian ini sudah masuk ke kategori banjir.

Selama sedang berteduh, ternyata di warung kopi tersebut juga ada Pak Kades yang sedang
menikmati hangatnya segelas kopi hitam. Kemudian tiba-tiba beliau memanggil kami dan
menyuruh kami mendatangi beliau.

“Eh ada kalian berdua? Ayo duduk sini deket saya” Ujar Pak Kades.

“Baik pak Kades” Jawab kami berdua dan kami ikuti perintah beliau.

“Hmmm hujan-hujan begini enaknya minum kopi hitam hangat. Kalian berdua ngga minum kopi
hitam?” Tanya Pak Kades.

“Maaf pak, saya tidak begitu suka dengan kopi hitam. Saya lebih suka kopi susu” jawabku.

“Iya pak, kalo saya lebih suka susu. Hehehe..” Timpal adikku sambil tertawa.

Kemudian kami pun berbincang-bincang dengan Pak Kades. Beliau menceritakan perubahan-
perubahan apa saja yang telah terjadi selama aku tidak ada di kampung ini. Apa yang diceritakan
oleh Pak Kades sama persis dengan apa yang diceritakan oleh adikku. Kemudian aku pun mulai
membahas mengenai keunikan kampung kami yang telah terpatahkan.

“Saya mau nanya pak, biasanya kan kalo hujan lebat selokan kita biasanya tetap mengalir deras.
Tapi, kenapa sekarang airnya justru menggenang ya?” Tanyaku pada Pak Kades.

“Itu dia yang sebenarnya yang mau saya bahas. Menurut saya tidak mungkin bila itu hanya
sampah karena sampah di kampung kita selalu dikelola dengan baik. Oleh karena itu saya
memiliki usu untuk mengadakan kerja bakti seluruh warga di kampung ini. Namun kita memiliki
sedikit kendala bagaimana mengajak para warga.” Jawab Pak Kades.
“Kalau urusan ajak-mengajak biar saya yang mengurus Pak Kades. Nanti akan saya buat surat
edaran dan mengajak warga dari pintu ke pintu pak” Jawabku pada Pak Kades.

“Wah, terima kasih ya nak. Saya jadi terbantu kalo begini” Ujar Pak Kades.

Tidak terasa hujan yang lebat telah reda dan air yang menggenang pun perlahan-lahan surut. Lalu
kami segera berpamitan dengan Pak Kades untuk pulang ke rumah. Sesampainya dirumah kami
menceritakan kepada orang tua kami atas usul Pak Kades. Kedua orang tuaku sangat setuju
karena sudah lama kampung ini tidak diadakan kerja bakti bersama. Aku juga mengatakan bahwa
aku dan adikku akan membantu Pak Kades untuk mengajak para warga agar ikut berpartisipasi
dalam kegiatan kerja bakti tersebut.

Keesokan paginya, aku dan adikku mulai bekerja. Aku mengetik surat edaran untuk para warga
kemudian di cetak. Lalu tugas adikku adalah memperbanyak surat edaran tersebut. kemudian
kami membagi tugas kembali. Adikku membagikan surat edaran tersebut kepada warga dan aku
memberitahukan kepada warga mengenai kerja bakti melalui pintu ke pintu. Banyak warga yang
setuju dan antusias untuk berpartisipasi dalam kegiatab tersebut. Kami termasuk Pak Kades
sangat senang mendengar tersebut.

Hari dimana kegiatan kerja bakti pun telah tiba. Aku dan adikku mengenakkan kaos oblong dan
celana tiga perempat untuk bekerja bakti. Saat kulihat warga yang berpartisipasi sangat banyak,
aku pun menjadi semakin bersemangat. Seluruh bagian kampung menjadi target terutama
selokan. Untuk selokan, kami bersama-sama mengangkat pembatas besi yang ada diselokan.
Bagi yang tidak memiliki pembatas besi cukup menggunakan tongkat besi untuk merogoh
kolong selokan. Ketika kami periksa, memang tidak ada sampah dalam selokan kami namun,
banyak sekali daun-daun yang menyangkut di selokan tersebut. Aku dan seluruh warga lalu
mengambil daun itu satu persatu dan ternyata sangat banyak. Aku dan warga pun sempat
kewalahan namun hal tersebut tetap dapat kami atasi.

Setelah selesai bekerja bakti, kami dijamu makanan oleh ibu-ibu dari kampungku. Kami pun
makan bersama setelah lelah melakukan kegiatan tersebut. Aku benar-benar sangat merindukan
hal ini karena dulu pernah dilakukan kerja bakti seperti ini juga dan suasana kekeluargaannya
sangat kental. Ketika kami semua telah selesai makan, tiba-tiba kilat dan guntur saling
menyambar di kampung kami. Para warga lalu lari tunggang langgang karena mendengar hal
tersebut. Angin pun mulai berhembus kencang disertai awan hitam yang mulai menyelimuti
langit. Aku pun sudah sadar bahwa hujan seperti ini akan turun lagi. Ketika hujan turun, yang
aku rasakan justru rasa bahagia karena selokan yang telah kami bersihkan telah lancar dan tidak
menggenang.

Keesokan paginya Pak Kades datang ke rumah ku untuk mengucapkan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya. Beliau mengatakan bila tidak ada aku dan adikku maka kerja bakti tidak dapat
terlaksana. Kemudian Pak Kades menjelaskan kepada kami bahwa daun-daun yang tersangkut di
selokan berasal dari sisa-sisa pohong yang dulu ditumbangkan kemudian dibangun perumahan di
kampung ini. Mendengar hal itu aku teringat kembali dengan keadaan kampung kami yang
menjadi panas setelah dilakukan penumbangan pohon untuk dibangun perumahan kampung.
Secara spontan, aku tiba-tiba mengusulkan kepada Pak Kades untuk melakukan penanaman
pohon kembali terkait dengan keadaan kampung kami yang menjadi panas. Pak Kades pun
menyetujuinya namun, perlu dilakukan perundingan dengan warga dahulu. Aku pun
menyetujuinya dan segera aku membuat edaran akan diadakannya pertemuan antar warga untuk
merundingkan usulan penanaman pohon kembali.

Hari dimana acara pertemuan warga pun telah tiba. Aku tidak menyangka hampir seluruh warga
datang bahkan pendatang baru yang tinggal diperumahan kampung juga datang. Kami pun mulai
melakukan perundingan dengan khidmat. Kemudian mulai lah timbul perdebatan mengenai
lokasi yang akan digunakan untuk area penanaman kembali dan kendala dana untuk pembelian
bibit. Kemudian aku pun mengusulkan untuk menggunakan lapangan sepak bola yang sudah
tidak pernah terpakai lagi untuk dilakukan penanaman pohon kembali. Warga pun
menyetujuinya, kemudian mengenai dana kami pun terus memikirkannya. Bahkan aku pun
mengusulkan untuk melakukan penggalangan dana ke kota mengenai hal ini. Namun hal itu tidak
di setujui entah karena alasan apa. Akhirnya para pendatang baru memutuskan untuk menjadi
donator dalam program penanaman pohon kembali. Kami pun sangat bersyukur karena dana
yang kami kumpulkan cukup banyak untuk membeli bibit pohon. Kemudian kesepakatan pun
telah diambil dan perundingan berhasil dilakukan dengan baik.

Beberapa hari setelahnya bibit-bibit pohon telah sampai ke kampung kami. Kemudian kami pun
mulai melakukan penanaman bibit pohon bersama seluruh warga di kampung kami. Aku sangat
senang karena akhirnya rencana kami pun terwujud namun, di sisi lain aku pun juga sedih karena
besok aku harus kembali ke tempat dimana aku kuliah. Selesai melakukan kegiatan tersebut, aku
pun pulang dan segera menyiapkan barang-barang untuk kepergianku besok. Keesokan harinya
aku pun berpamitan dengan keluargaku. Aku pun kaget karena banyak warga yang mengantar
keberangkatanku terutama Pak Kades. Aku sangat bersyukur karena tinggal di kampung yang
memiliki kekeluargaan yang kental dan aku sangat sayang pada warga kampungku. Aku pun
berharap bibit-bibit pohon yang kami tanam akan tumbuh menjulang ke langit dan akan
menjadikan suasana kampungku menjadi sejuk kembali.

-SEKIAN-

Anda mungkin juga menyukai