Anda di halaman 1dari 40

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diare merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas

secara global serta mengakibatkan kematian lebih banyak pada anak usia dini

setelah periode neonatal dibandingkan etiologi lain. Satu dari sembilan

kematian pada anak disebabkan oleh diare, menjadikannya sebagai penyebab

kematian pada anak usia di bawah lima tahun terbanyak kedua di dunia.

Secara global dari semua penyebab kematian pada anak, diare menyumbang

15% atau 1.600 kematian setiap harinya pada anak usia di bawah lima tahun.

Di Afrika dan Asia Selatan, empat per lima dari semua kematian pada balita

(82%) disebabkan oleh diare (WHO, 2020).

Menurut WHO, sebanyak 842.000 kematian di negara berpenghasilan

rendah dan menengah disebabkan oleh air, kebersihan, dan sanitasi yang tidak

memadai. Jumlah ini mewakili 58% dari total kematian yang disebabkan oleh

diare dan 1,5% dari total beban penyakit. Terpisah dari faktor risiko individu,

520.000 kematian disebabkan oleh air minum yang tidak aman dan tidak

mencukupi, 297.000 kematian disebabkan oleh cuci tangan yang tidak

adekuat, dan 280.000 kematian disebabkan oleh sanitasi yang buruk. Selain

sosial ekonomi dan usia, faktor risiko penting terjadinya diare di negara

berpenghasilan rendah adalah air minum yang tidak memadai, kebersihan, dan

sanitasi yang buruk (WHO, 2020).


2

Laporan UNICEF tentang sanitasi dan air minum di seluruh dunia

menyatakan lebih dari 663 juta orang masih kekurangan akses untuk air

minum yang aman dan 159 juta orang bergantung pada air permukaan untuk

konsumsi air mereka. Di beberapa negara di dunia, kesenjangan regional

dalam akses air masih sangat besar. Sekitar 79% orang bergantung pada air

minum yang kurang layak dan 93% tergantung pada air permukaan terutama

di daerah pedesaan. Dalam situasi ini dengan kualitas air yang buruk dan

paparan risiko tinggi maka penyakit seperti diare menjadi perhatian utama

(UNICEF, 2020).

Menurut data statistik Indonesia tahun 2020 diketahui bahwa Indonesia

sangat mencerminkan pola global ini. Sebanyak 18% rumah tangga Indonesia

mengandalkan air minum mereka dari sumber air permukaan seperti mata air,

sungai, telaga, dan danau yang rentan terhadap kontaminasi (Riskesdas, 2020).

Faktor patogen yang menyebabkan terjadinya diare yaitu melalui jalur

fekal oral artinya masuk ke dalam mulut akibat mengkonsumsi minuman dan

makanan atau menggunakan benda yang tercemar oleh tinja contohnya yaitu

tangan atau wadah makanan yang dicuci dengan menggunakan air yang

tercemar. Sumber air bersih yang tercemar oleh tinja diakibatkan karena

masyarakat yang terbiasa membuang kotoran sembarangan atau jamban tidak

memenuhi syarat kesehatan, serta bangunan sumur sebagai sumber air bersih

bagi sebagian masyarakat juga tidak memenuhi syarat kesehatan, hal inilah

yang akhirnya dapat menjadi faktor penentu terjadinya diare (Simatupang,

2014).
3

Diare lebih banyak terjadi di negara berkembang dibanding dengan

negara maju. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya yaitu masih

sedikitnya air minum yang layak konsumsi, kurangnya kesadaran akan

hygiene dan sanitasi serta buruknya status gizi dan status kesehatan

masyarakat. Diperkirakan sekitar 2,5 miliar orang masih memiliki fasilitas

sanitasi yang kurang dan 1 miliar orang tidak memiliki akses terhadap air

minum yang aman (Unicef, 2018).

Proporsi kasus diare yang ditangani di Provinsi Nusa Tenggara Barat

tahun 2020 sebesar 58,9% meningkat bila dibandingkan proporsi tahun 2019

yaitu 53,2%, hal ini menunjukkan penemuan dan pelaporan harus terus

ditingkatkan kasus yang ditemukan dan ditangani di fasilitas pelayanan

kesehatan pemerintah maupun swasta belum semua terlaporkan berdasarkan

jenis kelamin proporsi kasus diare yang ditangani pada perempuan lebih

banyak dibanding laki-laki yaitu sebesar 55,8% hal ini disebabkan bahwa

perempuan lebih banyak berhubungan dengan faktor risiko diare, yang

penularannya melalui vekal oral, terutama berhubungan dengan sarana air

bersih, cara penyajian makanan dan PHBS (Dinkes Provinsi NTB, 2020).

Tingginya angka kejadian diare disebabkan oleh beberapa faktor yaitu

tidak memandainya penyediaan air bersih, air tercemar oleh tinja, kekurangan

sarana kebersihan (pembuangaan tinja yang tidak higenis), kebersihan

perorangan dan lingkungan yang jelek, penyimpanan makanan kurang matang


4

dan penyimpanan makanan masak pada suhu kamar yang tidak semestinya

(Mafazah, 2013).

Berdasarkan hasil penelitian Juariah (2012) diketahui bahwa ada

hubungan bermakna antara kesakitan diare dengan sumber air bersih, jenis air

yang diminum atau dikonsumsi, kepemilikinan jamban, jenis antai,

pencahayaan rumah dan ventilasi rumah (Juariah, 2012).

Berdasarkan data yang diperoleh dari Wilayah Kerja Puskesmas

Rensing jumlah pasien yang mengalami diare dari bulan Januari sampai

dengan September 2021 sebanyak 513 orang. Kemudian dari hasil studi

pendahuluan yang dilakukan terhadap 10 orang ibu yang memiliki balita, 7

orang (70%) diantaranya mengatakan bahwa balitanya mengalami karena

sarana air bersihnya kurang memadai dan 3 orang lainnya mengatakan bahwa

balitanya tidak mengalami diare, karena selalu mengkonsumsi air yang

sarananya cukup memadai.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian mengenai hubungan kondisi sarana air bersih dengan kejadian diare

pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Rensing Tahun 2021.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah disusun di atas, maka dapat

ditarik beberapa permasalahan yang timbul di Wilayah Kerja Puskesmas

Rensing Kecamatan Sakra Barat yaitu : tidak memandainya penyediaan air

bersih, kekurangan sarana kebersihan, kebersihan perorangan dan lingkungan

yang jelek menyebabkan banyak balita terkena diare.


5

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas penulis dapat merumuskan

masalah sebagai berikut : “Apakah Ada Hubungan Kondisi Sarana Air Bersih

dengan Kejadian Diare Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Rensing

Tahun 2021”.

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan kondisi sarana air bersih dengan

kejadian diare pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Rensing Tahun

2021.

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi kondisi sarana air bersih di Wilayah Kerja

Puskesmas Rensing Tahun 2021.

b. Mengidentifikasi kejadian diare pada balita di Wilayah Kerja

Puskesmas Rensing Tahun 2021.

c. Menganalisis hubungan kondisi sarana air bersih dengan kejadian diare

pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Rensing Tahun 2021.

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti

Diharapkan dengan adanya penelitian dapat menambah wawasan

penulis mengenai hubungan kondisi sarana air bersih dengan kejadian


6

diare pada balita agar bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari di dunia

kerja.

2. Untuk Institusi Pendidikan

Diharapkan dengan adanya penelitian ini bisa dijadikan sebagai

bahan masukan, literatur dan referensi untuk meningkatkan dan

mengembangkan ilmu pengetahuan para mahasiswa khususnya mahasiswa

Universitas Pendidikan Mandalika.

3. Bagi Siswa

Diharapkan dengan adanya penelitian dapat menambah

pengetahuan dan wawasan siswa tentang pentingnya menjaga kondisi

sarana air bersih agar terhindar dari penyakit diare.


7

BAB

KAJIAN PUSTAKA

A. Konsep Air Bersih

1. Definisi Air Bersih

Dalam peraturan menteri kesehatan RI No. 416/ MENKES/ PER/

IX/1990 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan air bersih adalah air

yang dapat digunakan untuk keperluan sehari-hari dan kualitasnya

memenuhi persyaratan dan dapat diminum apabila dimasak. Selain itu, air

bersih juga merupakan air sehat yang dipergunakan untuk kegiatan

manusia dan harus bebas dari kuman-kuman penyebab penyakit, bebas

dari bahan kimia yang dapat mencemari air bersih. Air merupakan zat

yang mutlak bagi setiap makhluk dan kebersihan air adalah syarat utama

bagi terjaminnya kesehatan.

2. Sumber Air Bersih

Menurut (Chandra, 2012), air yang diperuntukan bagi konsumsi

manusia harus berasal dari sumber yang bersih dan aman. Batasan-batasan

sumber air yang bersih dan aman tersebut, antara lain :

a. Bebas dari kontaminan atau bibit penyakit

b. Bebas dari substansi kimia yang berbahaya dan beracun

c. Tidak berasa dan berbau

d. Dapat dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan domestik dan rumah

tangga.
8

e. Memenuhi standar minimal yang ditentukan oleh WHO atau

Departemen Kesehatan RI.

Air dinyatakan tercemar bila mengandung bibit penyakit, parasit,

bahan-bahan kimia berbahaya, dan sampah atau limbah industri. Air yang

berada dari permukaan bumi ini dapat berasal dari berbagai sumber.

Berdasarkan letak sumbernya, air dapat dibagi menjadi air angkasa

(hujan), air permukaan, dan air tanah (Chandra, 2012)

a. Air Angkasa

Air angkasa atau air hujan merupakan sumber air utama di

bumi. Walau pada saat pretisipasi merupakan air yang paling bersih,

air tersebut cenderung mengalami pencemaran ketika berada di

atmosfer. Pencemaran yang berlangsung diatmosfer itu dapat

disebabkan oleh partikel debu, mikroorganisme, dan gas, misalnya,

karbon dioksida, nitrogen, dan amonia.

b. Air Permukaan

Air permukaan yang meliputi badan-badan air semacam sungai,

danau, telaga, waduk, rawa, terjun, dan sumur permukaan, sebagian

besar berasal dari air hujan yang jatuh ke permukaan bumi. Air hujan

tersebut kemudian akan mengalami pencemaran baik oleh tanah,

sampah, maupun lainnya.

c. Air tanah

Air tanah (ground water) berasal dari air hujan yang jatuh ke

permukaan bumi yang kemudian mengalami perkolasi atau penyerapan


9

ke dalam tanah dan mengalami proses filtrasi secara alamiah. Proses-

proses yang telah dialami air hujan tersebut, didalam perjalannya ke

bawah tanah, membuat tanah menjadi lebih baik dan lebih murni

dibandingkan air permukaan.

Air tanah memiliki beberpa kelebihan dibandingkan dengan

sumber lain. Pertama, air tanah biasanya bebas dari kuman penyakit

dan tidak perlu proses purifikasi atau penjernihan. Persediaan air tanah

juga cukup tersedia sepanjang tahun, saat musim kemarau sekalipun.

Sementara itu, air tanah juga memiliki beberapa kerugian atau

kelemahan dibandingkan sumber lainnya. Air tanah mengandung zat-

zat mineral dalam konsentrasi yang tinggi. Konsentrasi yang tinggi

dari zat-zat mineral semacam magnesium, kalium, dan logam berat

seperti besi.

3. Persyaratan Kuantitas dan Kualitas Air

Sifat fisik air dapat dianalisa secara visual dengan pancaindra.

Misalnya, air keruh atau berwarna dapat dilihat, air berbau dapat dicium.

Penilaian tersebut tentunya bersifat kualitatif. Misalnya, bila tercium bau

berbeda, rasa air pun akan berbeda, rasa air pun berbeda atau bila air

berwarna merah, bau yang akan tercium pun pasti sudah dapat ditebak.

Cara ini dapat digunakan untuk menganalisis air secara sederhana karena

sifat-sifat air saling berkaitan (Kusnaedi, 2010).


10

Ada beberapa persyaratan utama yang harus dipenuhi dalam sistem

penyediaan air bersih. Persyaratan tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut

(Kusnaedi, 2010):

a. Syarat Kuantitatif

Persyaratan kuantitatif dalam penyediaan air bersih adalah

ditinjau dari banyaknya air baku yang tersedia. Artinya air baku

tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan

jumlah penduduk yang akan dilayani. Selain itu, jumlah air yang

dibutuhkan sangat tergantung pada tingkat kemajuan teknologi dan

sosial ekonomi masyarakat setempat. Berdasarkan pada Peraturan

Menteri Dalam Negri Nomor 23 tahun 2006 tentang Pedoman Teknis

13 dan Tata Cara Pengaturan Tarif Air Minum, standar kebutuhan

pokok air sebesar 60 liter/orang/hari.

Penyediaan air bersih harus memenuhi kebutuhan masyarakat

karena penyediaan air bersih yang terbatas memudahkan untuk

timbulnya penyakit di masyarakat. Kebutuhan air bervariasi untuk

setiap individu dan bergantung pada keadaan iklim, standar kehidupan

dan kebiasaan masyarakat.

b. Syarat Kualitatif

Menggambarkan mutu atau kualitas dari air baku air bersih.

Persyaratan ini meliputi syarat fisik, kimia, bioligis dan radiologis.


11

1) Syarat Fisik

Secara fisik air bersih harus jernih, tidak berwarna, tidak

berbau dan tidak berasa(tawar). Warna dipersyaratankan dalam air

bersih untuk masyarakat karena pertimbangan estetika. Rasa asin,

manis, pahit, asam dan sebagainya tidak boleh terdapat dalam air

bersih untuk masyarakat. Bau yang bisa terdapat pada air adalah

bau busuk, amis, dan sebagainya. Bau dan rasa biasanya terdapat

bersama-sama dalam air. Suhu air sebaiknya sama dengan suhu

udaraatau kurang lebih 250C. Sedangkan untuk jernih atau tidaknya

air dikarenakan adanya butiran-butiran koloid daribahan tanah liat.

Semakin banyak mengandung koloid maka air semakin keruh.

2) Syarat Kimia

Air bersih tidak boleh mengandung bahan-bahan kimia

dalam jumlah yang melampaui batas. Secara kimia, air bersih tidak

boleh terdapat zat-zat yang beracun, tidak boleh ada zat-zat yang

dapat menimbulkan gangguan kesehatan, tidak mengandung zat-

zat yang melebihi kadar tertentu sehingga menimbulkan gangguan

teknis, dan tidak boleh mengandung zat kimia tertentu sehingga

dapat menimbulkan gangguan ekonomis. Salah satu peralatan

kimia air bersih adalah kesadahan.

Menurut (Chandra, 2016), air untuk keperluan air minum

dan masak hanya diperbolehkan dengan batasan kesadahan 50-150


12

mg/L. Kadar kesadahan diatas 300 mg/L sudah termasuk air sangat

keras.

3) Syarat Bakteriologis

Air bersih tidak boleh mengandung kuman-kuman patogen

dan parasitik seperti kuman-kuman typus, kolera, dysentri dan

gastroenteris. Karena apabila bakteri patogen dijumpai pada air

minum maka akan menganggu kesehatan atau timbul penyakit.

Untuk mengetahui adanya bakteri patogen dapat dilakukan dengan

pengamatan terhadap ada tidaknya bakteri E. Coli yang merupakan

bakteri indikator pencemaran air. Secara bakteriologis, total

Coliform yang diperbolehkan pada air bersih yaitu 0 koloni per 100

15 ml air bersih. Air bersih yang mengandung golongan Coli lebih

dari kadar tersebut dianggap terkontaminasi oleh kotoran manusia.

4) Syarat Radioaktif Air

Minum tidak boleh mengandung zat yang menghasilkan

bahan-bahan yang mengandung radioaktif seperti sinar alfa,

gamma, dan beta.

B. Konsep Diare

1. Pengertian Diare

Diare adalah buang air besar dengan konsistensi lembek atau cair,

bahkan dapat berupa air saja dengan frekuensi lebih sering dari biasanya

(tiga kali atau lebih) dalam satu hari (Depkes RI 2011). Diare adalah

buang air besar pada balita lebih dari 3 kali sehari disertai perubahan
13

konsistensi tinja menjadi cair dengan atau tanpa lendir dan darah yang

berlangsung kurang dari satu minggu (Juffrie dan Soenarto, 2012).

Diare adalah perubahan konsistensi tinja yang terjadi tiba-tiba

akibat kandungan air di dalam tinja melebihi normal (10ml/kg/hari)

dengan peningkatan frekuensi defekasi lebih dari 3 kali dalam 24 jam dan

berlangsung kurang dari 14 hari (Tanto dan Liwang, 2014).

Berdasarkan ketiga definisi di atas dapat disimpulkan bahwa diare

adalah buang air besar dengan bertambahnya frekuensi yang lebih dari

biasanya 3 kali sehari atau lebih dengan konsistensi cair.

2. Etiologi

Etiologi menurut Ngastiyah (2014) antara lain

a. Faktor Infeksi

1) Infeksi enternal: infeksi saluran pencernaan makanan yang

merupakan penyebab utama diare pada anak.Meliputi infeksi

eksternal sebagai berikut :

a. Infeksi bakteri: Vibrio’ E coli, Salmonella, Shigella,

Campylobacter, Yersinia, aeromonas, dan sebagainya.

b. Infeksi virus: Enterovirus (virus ECHO, Coxsacki,

Poliomyelitis) Adeno-virus, Rotavirus, astrovirus, dan lain-lain.

c. Infeksi parasit: cacing (Ascaris, Trichuris, Oxcyuris,

Strongyloides) protozoa (Entamoeba histolytica, Giardia

lamblia, Trichomonas hominis), jamur (Candida albicans)


14

2) Infeksi parenteral ialah infeksi di luar alat pencernaan makanan

seperti: otitits media akut (OMA), tonsillitis/tonsilofaringitis,

bronkopneumonia, ensefalitis, dan sebagainya. Keadaan ini

terutama terdapat pada bayi dan anak berumur di bawah 2 tahun.

b. Faktor malabsorbsi

1) Malabsorbsi karbohidrat disakarida (intoleransi laktosa, maltose

dan sukrosa), monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa,dan

galaktosa). Pada bayi dan anak yang terpenting dan tersering

(intoleransi laktosa).

2) Malabsorbsi lemak

3) Malabsornsi protein

c. Faktor makanan, makanan basi,beracun, alergi, terhadap makanan.

d. Faktor psikologis, rasa takut dan cemas (jarang, tetapi dapat terjadi

pada anak yang lebih besar).

3. Faktor Resiko

Menurut jufrri dan Soenarto (2012), ada beberapa faktor resiko diare

yaitu :

a. Faktor umur yaitu diare terjadi pada kelompok umur 6-11 bulan pada

saat diberikan makanan pendamping ASI. Pola ini menggambarkan

kombinasi efek penurunan kadar antibody ibu, kurangnya kekebalan

aktif bayi, pengenalan makanan yang mungkin terkontaminasi bakteri

tinja.
15

b. Faktor musim : variasi pola musim diare dapat terjdadi menurut letak

geografis. Di Indonesia diare yang disebabkan oleh rotavirus dapat

terjadi sepanjang tahun dengan peningkatan sepanjang musim

kemarau, dan diare karena bakteri cenderung meningkat pada musim

hujan

c. Faktor lingkungan meliputi kepadatan perumahan, kesediaan sarana air

bersih (SAB), pemanfaatan SAB, kualitas air bersih.

4. Patogenesis Diare

Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare menurut

Ngastiyah (2014) :

a. Gangguan osmotik

Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap

akan menyebabkan tekanan osmotic dalam rongga usus meninggi

sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus. Isi

rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk

mengeluarkanya sehingga timbul diare.

b. Gangguan sekresi

Akibat terangsang tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus

akan terjadi peningkatan sekresi, air dan elektrolit ke dalam rongga

usus dan selanjutnya timbul diare karena terdapat peningkatan isi

rongga usus.

c. Ganggua motilitas usus


16

Hiperperistaltik akan mengkkpuakibatkan berkurangnya

kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga timbul diare.

Sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri

tumbuh berlebihan, selanjutnya timbul diare pula.

5. Patofisiologi

Menurut Tanto dan Liwang (2006) dan Suraatmaja (2007), proses

terjadinya diare disebabkan oleh berbagai factor diantaranya

a. Faktor infeksi

Proses ini dapat diawali adanya mikroorganisme (kuman) yang

masuk ke dalam saluran pencernaan yang kemudian berkembang

dalam usus dan merusak sel mukosa usus yang dapat menurunkan

daerah permukaan usus

Selanjutnya terjadi perubahan kapasitas usus yang akhirnya

mengakibatkan gangguan fungsi usus dalam absorpsi cairan dan

elektrolit. Atau juga dikatakan adanya toksin bakteri akan

menyebabkan transpor aktif dalam usus sehingga sel mukosa

mengalami iritasi yang kemudian sekresi cairan dan elektrolit akan

meningkat.

b. Faktor malabsorpsi

Merupakan kegagalan dalam melakukan absorpsi yang

mengakibatkan tekanan osmotik meningkat sehingga terjadi

pergeseran air dan elektrolit ke rongga usus yang dapat meningkatkan

isi rongga usus sehingga terjadilah diare.


17

c. Faktor makanan

Faktor ini dapat terjadi apabila toksin yang ada tidak mampu

diserap dengan baik. Sehingga terjadi peningkatan peristaltik usus

yang mengakibatkan penurunan kesempatan untukmenyerap makan

yang kemudian menyebabkan diare.

d. Faktor psikologis

Faktor ini dapat mempengaruhi terjadinya peningkatan peristaltik

usus yang akhirnya mempengaruhi proses penyerapan makanan yang

dapat menyebabkan diare.

6. Tanda dan Gejala Diare

Tanda dan gejala awal diare ditandai dengan anak menjadi cengeng,

gelisah, suhu meningkat, nafsu makan menurun, tinja cair (lendir dan tidak

menutup kemungkinan diikuti keluarnya darah, anus lecet, dehidrasi (bila

terjadi dehidrasi berat maka volume darah berkurang, nadi cepat dan kecil,

denyut jantung cepat, tekanan darah turun, keadaan menurun diakhiri

dengan syok), berat badan menurun, turgor kulit menurun, mata dan ubun-

ubun cekung, mulut dan kulit menjadi kering (Octa dkk, 2014)

7. Pemeriksaan Penunjang atau Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang intensif perlu dilakukan untuk

mengetahui adanya diare yang disertai kompikasi dan dehidrasi. Menurut

William (2005), pemeriksaan darah perlu dilakukan untuk mengetahui

Analisa Gas Darah (AGD) yang menunjukan asidosis metabolic.

Pemeriksaan feses juga dilakukan untuk mengetahui :


18

a. Lekosit polimorfonuklear, yang membedakan antara infeksi bakteri

dan infeksi virus.

b. Kultur feses positif terhadap organisme yang merugikan.

c. Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dapat menegaskan

keberatan rotavirus dalam feses.

d. Nilai pH feses dibaah 6 dan adanya substansi yang berkurang dapat

diketahui adanya malaborbsi karbohidrat.

Menurut Cahyono (2014), terdapat beberapa pemeriksaan

laboratorium untuk penyakit diare, diantaranya :

a. Pemeriksaan darah rutin, LED (laju endap darah), atau CPR (C-

reactive protein). memberikan informasi mengenai tanda infeksi atau

inflamasi.

b. Pemeriksaan fungsi ginjal dan elektrolit untuk menilai gangguan

keseimbangan cairan dan elektrolit.

c. Pemeriksaan kolonoskopi untuk mengetahui penyebab diare.

d. Pemeriksaan CT scan bagi pasien yang mengalami nyeri perut hebat,

untuk mengetahui adanya perforasi usus.

8. Berbagai Faktor Yang Mempengaruhi Diare

Menurut Suharyono (2008), faktor yang mempengaruhi diare yaitu :

a. Faktor Gizi.

Makin buruk gizi seorang anak, ternyata makin banyak kejadian

diare.

b. Faktor sosial ekonomi.


19

Kebanyakan anak-anak yang mudah menderita diare berasal dari

keluarga besar dengan daya beli yang rendah, kondisi rumah yang

buruk, tidak punya penyediaan air bersih yang memenuhi persyaratan

kesehatan, pendidikan orang tuanya yang rendah dan sikap serta

kebiasaan yang tidak menguntungkan.

c. Faktor lingkungan.

Sanitasi lingkungan yang buruk juga akan berpengaruh terhadap

kejadian diare, interaksi antara agent penyakit, manusia dan faktor –

faktor lingkungan, yang menyebabkan penyakit perlu diperhatikan

dalam penanggulangan diare.

d. Faktor makanan yang terkontaminasi pada masa sapih.

Insiden diare pada masyarakat golongan berpendapatan rendah

dan kurang pendidikan mulai bertambah pada saat anak untuk pertama

kali mengenal makanan tambahan dan frekuensi ini akan makin lama

meningkat untuk mencapai puncak pada saat anak sama sesekali di

sapih, makanan yang terkontaminasi jauh lebih mudah mengakibatkan

diare pada anak–anak lebih tua.

e. Faktor pendidikan.

Pendidikan adalah sebuah proses pengubahan sikap dan tata

laku seseorang atau kelompok dan juga usaha mendewasakan manusia

melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Pendidikan memengaruhi

proses belajar, makin tinggi pendidikan seeorang, makin mudah orang

tersebut untuk menerima informasi. Tingkat pendidikan


20

mempengaruhi tingkat pengetahuan ibu balita dalam berperilaku dan

berupaya secara aktif guna mencegah terjadinya diare pada balita.

9. Klasifikasi Diare

Diare dibedakan menjadi diare akut, diare kronis dan persisiten.

Diare akut adalah buang air besar pada bayi atu anak-anak melebihi 3 kali

sehari, disertai dengan perubahan konsisitensi tinja menjadi cair dengan

atau tanpa lender dan darah yang berlangsung kurang dari satu minggu,

sedangkan diare kronis sering kali dianggap suatu kondisi yang sama

namun dengan waktu yang lebih lama yaitu diare melebihi satu minggu,

sebagian besar disebabkan diare akut berkepanjangan akibat infeksi, diare

persisten adalah diare yang berlangsung 15-30 hari, merupakan diare

berkelanjutan dari diare akut atau peralihan antara diare akut dan kronis

biasanya ditandai dengan penurunan berat badan dan sukar untuk naik

kembali (Amabel, 2011).


21

Sedangkan klasifikasi diare menurut (Octa,dkk 2014) ada dua yaitu

berdasarkan lamanya dan berdasarkan mekanisme patofisiologik.

a. Berdasarkan lama diare

1) Diare akut, yautu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari

2) Diare kronik, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari

dengan kehilangan berat badan atau berat badan tidak bertambah

(failure to thrive) selama masa diare tersebut.

b. Berdasarkan mekanisme patofisiologik

1) Diare sekresi

Diare tipe ini disebabkan karena meningkatnya sekresi air

dan elekrtolit dari usus, menurunnya absorbs. Ciri khas pada diare

ini adalah volume tinja yang banyak.

2) Diare osmotik

Diare osmotic adalah diare yang disebabkan karena

meningkatnya tekanan osmotik intralumen dari usus halus yang

disebabkan oleh obat-obat/zat kimia yang hiperosmotik seperti

(magnesium sulfat, Magnesium Hidroksida), mal absorbs umum

dan defek lama absorbi usus missal pada defisiensi disakarida,

malabsorbsi glukosa/galaktosa

10. Komplikasi

Menurut Maryunani (2010) sebagai akibat dari diare akan terjadi

beberapa hal sebagai berikut :


22

a. Kehilangan air (dehidrasi)

Dehidrasi terjadi karena kehilangan air (output) lebih banyak dari

pemasukan (input), merupakan penyebab terjadinya kematian pada

diare.

b. Gangguan keseimbangan asam basa (metabolik asidosis)

Hal ini terjadi karena kehilangan Na-bicarbonat bersama tinja.

Metabolisme lemak tidak sempurna sehingga benda kotor tertimbun

dalam tubuh, terjadinya penimbunan asam laktat karena adanya

anorexia jaringan. Produk metabolisme yang bersifat asam meningkat

karena tidak dapat dikeluarkan oleh ginjal (terjadi oliguria atau anuria)

dan terjadinya pemindahan ion Na dari cairan ekstraseluler ke dalam

cairan intraseluler.

c. Hipoglikemia

Hipoglikemia terjadi pada 2–3 % anak yang menderita diare,

lebih sering pada anak yang sebelumnya telah menderita Kekurangan

Kalori Protein (KKP). Hal ini terjadi karena adanya gangguan

penyimpanan atau penyediaan glikogen dalam hati dan adanya

gangguan etabol glukosa. Gejala hipoglikemia akan muncul jika kadar

glukosa darah menurun hingga 40 % pada bayi dan 50 % pada anak–

anak.

d. Gangguan gizi

Terjadinya penurunan berat badan dalam waktu singkat, hal ini

disebabkan oleh makanan sering dihentikan oleh orang tua karena


23

takut diare atau muntah yang bertambah hebat, walaupun susu

diteruskan sering diberikan dengan pengeluaran dan susu yang encer

ini diberikan terlalu lama, makanan yang diberikan sering tidak dapat

dicerna dan diabsorbsi dengan baik karena adanya hiperperistaltik.

e. Gangguan sirkulasi

Sebagai akibat diare dapat terjadi renjatan (shock) hipovolemik,

akibatnya perfusi jaringan berkurang dan terjadi hipoksia, asidosis

bertambah berat, dapat mengakibatkan perdarahan otak, kesadaran

menurun dan bila tidak segera diatasi klien akan meninggal.

Menurut Ngastiyah (2014) sebagai akibat diare baik akut maupun

kronik akan terjadi kehilangan air dan elektrolit (terjadi dehidrasi)

yang mengakibatkan gangguan keseimbangan asam basa (asidosis

metabolis, hipokalemia), gangguan gizi akibat kelaparan (masukan

kurang, pengeluaran bertambah), hipoglikemia, gangguan sirkulasi

darah.

11. Penatalaksaan dan Pengobatan Diare

Dasar pengobatan diare adalah

a. Pemberian cairan: jenis cairan, cara memberikan cairan, jumlah

pemberianya.

1) Cairan per oral.

Pada pasien dengan dehidrasi ringan dan sedang cairan

diberikan per oral berupa cairan yang berisikan NaCL dan

NaHCO3, KCL dan glukosa. Untuk diare akut dan kolera pada
24

anak di atas umur 6 bulan kadar natrium 90 mEq/L.Formula

lengkap sering disebut oralit.Cairan sederhana yang dapat dibuat

sendiri (formula tidak lengkap) hanya mengandung garam dan gula

(NaCL dan sukrosa), atau air tajin yang diberi garam dan gula

untuk pengobatan sementara di rumah sebelum dibawa berobat ke

rumah sakit/pelayanan kesehatan untuk mencegah dehidrasi lebih

jauh.

2) Cairan parental.

Sebenarnya ada beberapa jenis cairan yang diperlukan sesuai

dengan kebutuhan pasien misalnya untuk bayi atau pasien yang

MEP. Tetapi kesemuanya itu bergantung tersedianya cairan

setempat. Pada umumnya cairan ringer laktat (RL) selalu tersedia

di fasilitas kesehatan dimana saja. Mengenai pemberian cairan

seberapa banyak yang diberikan bergantung dari berat /ringanya

dehidrasi, yang diperhitungkan dengan kehilangan cairan sesuai

dengan umur dan berat badanya.

3) Pemberian cairan pasien malnutrisi energi protein (MEP) tipe

marasmik.

Kwashiorkor dengan diare dehidrasi berat, misalnya dengan

berat badan 3-10 kg, umur 1bln-2 tahun, jumlah cairan 200

ml/kg/24jam. Kecepatan tetesan 4 jam pertama idem pada pasien

MEP.Jenis cairan DG aa. 20 jam berikutnya: 150 ml/kg BB/20 jam

atau 7 ml/kg BB/jam atau 1 ¾ tetes/kg/BB/menit ( 1 ml= 15 menit)


25

atau 2 ½ tetes /kg BB/menit (1 ml=20 tetes). Selain pemberian

cairan pada pasien-pasien yang telah disebutkan masih ada

ketentuan pemberian cairan pada pasien lainya misalnya pasien

bronkopneumonia dengan diare atau pasien dengan kelainan

jantung bawaan, yang memerlukan caiaran yang berlebihan pula.

Bila kebetulan menjumpai pasien-pasien tersebut sebelum

memasang infuse hendaknya menanyakan dahulu pada dokter.

b. Dietetik (cara pemberian makanan).

Untuk anak di bawah 1 tahun dan anak di atas 1 tahun dengan

berat badan kurang dari 7 kg jenis makanan:

1) Susu (ASI dan atau susu formula yang mengandug laktosa rendah

dan asam lemak tidak jenuh, misalnya LLM, almiron atau sejenis

lainya)

2) Makanan setengah padat (bubur) atau makanan padat (nasi tim),

bila anak tidak mau minum susu karena di rumah tidak biasa.

3) Susu kusus yang disesuaikan dengan kelainan yang ditemukan

missalnya susu yang tidsk mengandung laktosa atau asam lemak

yang berantai sedang atau tidak jenuh

c. Obat-obatan. Prinsip pengobatan diare ialah menggantikan cairan yang

hilang melalui tinja dengan atau tanpa muntah, dengan cairan yang

mengandung elektrolit dan glukosa atu karbohidrat lain (gula,air tajin,

tepung beras dan sebagainya). (Ngastiyah, 2014)

d. Terapi farmakologik
26

1) Antibiotik

Menurut Suraatmaja (2007), pengobatan yang tepat terhadap

penyebab diare diberikan setelah diketahui penyebab diare dengan

memperhatikan umur penderita, perjalanan penyakit, sifat tinja.

Pada penderita diare, antibiotic boleh diberikan bila :

a) Ditemukan bakteri patogen pada pemeriksaan mikroskopik dan

atau biakan.

b) Pada pemeriksaan mikroskopis dan atau mikroskopis

ditemukan darah pada tinja.

c) Secara kinis terdapat tanda-tanda yang menyokong adanya

infeksi maternal.

d) Di daerah endemic kolera.

e) Neonatus yang diduga infeksi nosokomial

2) Obat antipiretik

Menurut Suraatmaja (2007), obat antipiretik seperti preparat

salisilat (asetosol, aspirin) dalam dosis rendah (25 mg/ tahun/ kali)

selain berguna untuk menurunkan panas akibat dehidrai atau panas

karena infeksi, juga mengurangi sekresi cairan yang keluar

bersama tinja.

3) Pemberian Zinc

Pemberianzinc selama diare terbuki mampu mengurangi lama

dan tingkat keparah diare, mengurangi frekuensi buang air besar


27

(BAB), mengurangi volume tinja, serta menurunkan kekambuhan

diare pada tiga bulan berikutnya (Lintas diare, 2011)

12. Penularan Diare

Menurut departemen Kesehatan RI (2005), kuman penyebab diare

biasanya menyebar melalui fecal oral antara lain melalui makanan atau

minuman yang tercemar tinja dan atau kontak langsung dengan tinja

penderita. Beberap perilaku yang dapat menyebabkan penyebaran kuman

enteric dan meningkatkan resiko terjadinya dire yaitu: tidak memberikan

ASI secara penuh 4-6 bulanpada pertama kehidupan, menggunakan botol

susu, menyimpan makanan masak pada suhu kamar, menggunakan air

minum yang tercemar, tidak mencuci tangan sesudah membuang tinja

anak, tidak mencuci tangan sebelum dan sesudah menyuapi anak dan tidak

membuang tinja termasuk tinja bayi yang benar.

13. Pencegahan Diare

Untuk mencegah penyebaran diare dapat dilakukan dengan cara:

a. Mencuci tangan dengan menggunakan sabun sampai bersih pada lima

waktu penting:

1) Sebelum makan.

2) Sesudah buang air besar (BAB).

3) Sebelum menyentuh balita anda.

4) Setalah membersihkan balita anda setelah buang air besar.


28

5) Sebelum proses menyediakan atau menghidangkan makan untuk

siapapun.

b. Mengkonsumsi air yang bersih dan sehat atau air yang sudah melalui

proses pengolahan. Seperti air yang sudah dimasak terlebih dahulu,

proses klorinasi.

c. Pengolahan sampah yang baik dengan cara pengalokasiannya

ditempatkan ditempat yang sudah sesuai, supaya makanan anda tidak

dicemari oleh serangan (lalat, kecoa, kutu, dll)

d. Membuang proses MCK (Mandi Cuci Kakus) pada tempatnya,

sebaiknya anda meggunakan WC/jamban yang bertangki septik atau

memiliki sepiteng (Ihramsulthan, 2010).

C. Hubungan Kondisi Sarana Air Bersih dengan Kejadian Diare

Tersedianya sarana yang bersih merupakan salah satu upaya untuk

memperbaiki derajat kesehatan masyarakat. Kesehatan lingkungan yang

diselenggarakan untuk mewujudkan lingkungan yang sehat, yaitu keadaan

yang bebas dari resiko yang membahayakan kesehatan dan keselamatan hidup

manusia. Kesehatan lingkungan meliputi penyehatan air, yakni pengamanan

dan penetapan kualitas air untuk berbagai kebutuhan dan kehidupan manusia.

Dengan demikian air yang dipergunakan untuk keperluan sehari-hari selain

memenuhi atau mencakupi dalam kuantitas juga harus memenuhi kualitas

yang telah ditetapkan. Pentingnya air berkualitas baik perlu disediakan untuk

memenuhi kebutuhan dasar dalam mencegah penyebaran penyakit menular

melalui air (Ginanjar, 2008).


29

Menurut Simatupang (2014), memperbaiki sumber air (kualitas dan

kuantitas) dan keberhasilan perorangan akan mengurangi kemungkinan

tertular oleh bakteri patogen tersebut, masyarakat yang terjangkau oleh

penyediaan air yang bersih mempunyai resiko menderita diare lebih kecil

dibanding dengan masyarakat yang tidak mendapatkan air bersih.


30

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah merupakan abstraksi yang terbentuk oleh

generalisasi dari hal-hal yang khusus. Sedangkan kerangka konsep penelitian

pada dasarnya adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang ingin di

amati atau di ukur melalui penelitian yang akan dilakukan (Notoatmojo,

2012).

Adapun kerangka konsep yang akan digunakan dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen

Kondisi Sarana
Kejadian Diare
Air Bersih

Faktor-faktor yang
mempengaruhi kejadian diare :
1. Faktor gizi
2. Faktor sosial ekonomi
3. Faktor lingkungan
4. Faktor makanan yang
terkontaminasi pada masa
sapih.
5. Faktor pendidikan

Keterangan : ________ : Variabel Yang Diteliti


------------- : Variabel Yang Tidak Diteliti

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian


31

Sumber : (Ngastiyah, 2014)

B. Hipotesis

Hipotesis penelitian adalah sebuah pernyataan tentang hubungan yang

diharapkan antara dua variabel atau lebih yang dapat diuji secara empiris.

(Notoatmodjo, 2010).

1. H1 : artinya ada hubungan kondisi sarana air bersih dengan kejadian diare

pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Rensing Tahun 2021.

2. H0 : artinya tidak ada kondisi sarana air bersih dengan kejadian diare

pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Rensing Tahun 2021.


32

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

analitik korelasi dengan bentuk cross sectional yaitu setiap subjek penelitian

hanya di observasi satu kali saja dan pengukuran terhadap variabel dilakukan

pada saat yang sama (Notoatmodjo, 2010).

Rancangan penelitian analitik korelasi dengan bentuk cross sectional

ini digunakan untuk mengetahui hubungan kondisi sarana air bersih dengan

kejadian diare pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Rensing.

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau

subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang

ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik

kesimpulannya (Sugiono, 2008).

Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu yang mempunyai

balita yang datang berkunjung ke Wilayah Kerja Puskesmas Rensing dari

bulan Januari sampai dengan September tahun 2021 sebanyak 8.900

Orang.

2. Sampel
33

Sampel penelitian adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili

seluruh populasi (Notoatmodjo, 2010).

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua ibu yang

mempunyai balita yang datang berkunjung ke Wilayah Kerja Puskesmas

Rensing dari bulan Januari sampai dengan September tahun 2021. Untuk

mencari besarnya sampel dihitung dengan menggunakan rumus

Notoatmodjo (2010) :

N
n=
1+ N (d 2 )
8 . 900
2
n= 1+.8 .900 (0,1 )

8 . 900 8 . 900
= =99
n= .1+89 , 00 90 , 00

Keterangan :

n = Besar Sampel

N = Besar Populasi

d = Nilai kritis (batas ketelitian)

Jadi besar sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

sebanyak 99 orang

C. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini rencananya akan dilaksanakan di Wilayah Kerja

Puskesmas Rensing.
34

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini rencananya akan dilaksanakan pada bulan Oktober

tahun 2021.

D. Variabel Penelitian

1. Variabel Independent

Dalam penelitian ini yang menjadi variabel independentnya adalah

kondisi sarana air bersih.

2. Variabel Dependent

Dalam penelitian ini yang menjadi variabel dependentnya adalah

kejadian diare.

E. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah definisi yang dilakukan berdasarkan

karekteristik yang diamati dari sesuatu yang didefinisikan (Notoadmojo, 2012)

Definisi Skala
No Variabel Cara Ukur Hasil Ukur Ukur
operasional data
1 Kondisi Sarana untuk Kuesioner a. Memenuhi Nominal
sarana air mendapatkan air persyaratan :
bersih bersih yang skor 3 – 4
digunakan b. Tidak
responden untuk memenuhi
keperluan sehari- persyaratan :
hari seperti : skor : 0 – 2
perpipaan, SGL,
PMA

2 Kejadian Buang air besar Register a. Mengalami Nominal


diare dengan diare
konsistensi b. Tidak
lembek atau cair, mengalami
bahkan dapat diare
berupa air saja
35

dengan frekuensi
lebih sering dari
biasanya (tiga
kali atau lebih)
dalam satu hari

F. Teknik dan Instrumen Penelitian

1. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini

adalah sistematik random sampling yang merupakan modifikasi dari

random sampling yaitu setiap populasi memiliki kesempatan yang sama

untuk di ambil sebagai sampeldengan cara membagi jumlah anggota

populasi dengan perkiraan jumlah sampel yang di inginkan,hasilnya

adalah interval sampel. Kemudian Sampel di ambil dengan cara membuat

daftar anggota populasi setelah itu di bagi dengan jumlah sampel yang di

inginkan, hasilnya sebagai interval adalah X, maka yang akan menjadi

sampel adalah kelipatan dari X tersebut. (Notoatmodjo, 2010)

N
I=
n

8. 900
I=
99

I = 90

Keterangan :

I = Interval

N = Besar populasi

n = Besar sampel
36

Bilangan 1 s.d 90 dirandom, bila keluar angka 2 maka 2 adalah

sampel pertama, sampel kedua, ketiga, keempat dan seterusnya adalah

bilangan kelipatan 2 Jadi 2, 92, 182, 272 dan seterusnya sampai

didapatkan 99 sampel.

2. Instrumen Penelitian

Menurut Arikunto (2010), instrumen penelitian adalah alat atau

fasilitas yang digunakan oleh peneliti etika dalam mengumpulkan data

agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih

cermat, lengkap dan sistematis sehingga lebih mudah diolah. Adapun

instrumen dalam penelitian ini adalah kuesioner.

G. Prosedur Penelitian

Pada penelitian ini, peneliti melakukan langkah-langkah yang akan

dijalankan melalui tiga tahap yaitu:

1. Persiapan

a. Menyusun rancangan penelitian

b. Memilih lokasi penelitian

c. Mengurus perizinan

d. Mengamati keadaan

e. Memilih dan memanfaatkan informan

f. Menyiapkan instrument penelitian

2. Lapangan

a. Memahami dan memasuki lapangan

b. Aktif dalam kegiatan (pengumpulan data)


37

3. Pengolahan data

a. Analisis data

b. Mengambil kesimpulan dan verifikasi

c. Narasi hasil analisis

H. Analisis Data

Analisa data yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :

1. Analisis Univariat

Analisa univariat dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil

penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan

distribusi dan persentase dari tiap variabel yaitu kondisi sarana air bersih

dan kejadian diare.

Analisis univariat dilakukan menggunakan rumus berikut :

(Notoatmodjo, 2010)

X
P= x 100 %
N

Keterangan :

P: Presentase

X : Jumlah kejadian pada responden

N : Jumlah seluruh responden

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga

berhubungan atau berkorelasi. Meliputi satu variabel independen (kondisi

sarana air bersih) dan variabel dependen (kejadian diare). Kemudian untuk

analisis hubungan menggunakan uji chi square, uji ini dapat digunakan
38

untuk mengetahui seberapa besar hubungan variabel x dan y. Hasil

perhitungan bila p value lebih kecil dari 0,05, maka Ho ditolak, bila p

value lebih besar maka Ho diterima. Dalam penelitian ini alasan

menggunakan chi square adalah menguji hubungan kondisi sarana air

bersih dengan kejadian diare pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas

Rensing Kecamatan.
39

DAFTAR PUSTAKA

Amabel,S.2011. diare pada anak. available : https: / / ml. scribd. com/ doc/


61043992/ Diare – pada - Anak (3/11/2015 23:22.

Bambang, 2014. Analisis Cemaran Bakteri Coliform dan Identifikasi Escherichia


Coli Pada Air Isi Ulang Dari Depot di Kota Manado.Jurnal Ilmiah
Farmasi. Manado: Universitas Sam Ratulangi.

Bartram J, Balance R. Water Quality Monitoring. A Practical Guide to the Design


and Implementation of Freshwoter Quality Studies and Monitoring
Programmes. 1996. from: http: // www. who. int/water sanitation health/
resourcesquality/wqmchap10.pdf

Center for Disease Control and Prevention (CDC), 2012. Body Mass Index:
Considerations for Practitioners.

Dinas Kesehatan Provinsi NTB, 2020. Angka Kejadian Diare. Mataram : NTB.

Entjang, 2013, Mikrobiologi & Parasitologi untuk Akademi Keperawatan,


Bandung, Citra Aditya Bakti.

Evayanti, 2014. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan. Kejadian Diare Pada


Balita. Jurnal Kesehatan Lingkungan.

Hadi, 2014. Penelitian Research. Yogyakarta: BPFE

Irawan, 2016. Metode Penelitian Survei. Bogor: In Media.

Juariah, 2012. diketahui bahwa ada hubungan bermakna antara kesakitan diare
dengan sumber air bersih, jenis air yang diminum atau dikonsumsi,
kepemilikinan jamban, jenis antai, pencahayaan rumah dan ventilasi
rumah.

Mafazah, 2013. Ketersediaan Sarana Sanitasi Dasar, Personal Hygiene Ibu Dan
Kejadian Diare. Jurnal Kesehatan Masyarakat KEMAS 8 (2) (2013) 176-
182. http://journal.unnes.ac.id/ diunggah pada 17 Oktober 2014.

Maksum. 2010. Buku Ajar Mikrobiologi Panduan Mahasiswa Farmasi dan


Kedokteran. Jakarta: EGC

Mubarak, 2009. Ilmu Keperawatan Komunitas Pengantar dan Teori. Jakarta :


Salemba Medika.

Notoatmodjo . 2012. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta


40

Ngastiyah. 2014. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: Buku Kedokteran EGC

Nursalam. 2008. Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan. Edisi II. Jakarta: Salemba Medika.

Partiana, 2015. Kualitas Bakteriologi Air Minum Isi Ulang pada Tingkat


Produsen Di Kota Badung (Tesis). Denpasar: Universitas Udayana

Permenkes RI No. 492/Menkes/Per/IV/2010

Soenarto, 2012. Diare Kronis dan Diare Persisten. Jakarta: Badan Penerbit IDA

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R & D. Bandung.


CV Alfabeta.

Suharyono, 2008, Diare Akut. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Suryana. 2013. Ekonomi Keatif, Ekonomi Baru: Mengubah Ide dan Menciptakan.


Peluang. Jakarta: Salemba Empat.

Tanto dan Liwang, 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Medika


Aesculapius.

Unicef. 2018. Ringkasan Kajian Gizi. Jakarta: Pusat Promosi Kesehatan


Kemenkes RI.

Anda mungkin juga menyukai