PENDAHULUAN
Chronic Myeloid Leukemia ( CML ) adalah suatu penyakit klonal sel induk
pluripoten yang digunakan sebagai salah satu penyakit mieloproliferatif. Penyakit
ini timbul pada tingkat sel induk pluripoten dan secara terus menerus terkait
dengan gabungan gen BCR-ABL. Chronic Myeloid Leukemia adalah bentuk
leukemia yang ditandai dengan peningkatan dan pertumbuhan yang tidak
terkendali dari sel myeloid pada sumsum tulang dan akumulasi dari sel-sel ini di
sirkulasi darah. Penyakit reactor active adalah penyakit yang ditandai oleh
proliferasi dari seri granulosit tanpa gangguan diferensiasi, sehingga pada apusan
darah tepi dapat terlihat tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai dari
promielosit sampai granulosit. Chronic Myeloid Leukemia merupakan jenis
penyakit mieloproliferatif dengan translokasi kromosom yang disebut dengan
kromosom Philadelphia.1
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi dan Etiologi
Chronic myelogenous leukemia (CML) juga dikenal sebagai chronic
myeloid adalah gangguan myeloproliferatif yang ditandai dengan peningkatan
proliferasi sel turunan granulosit tanpa penurunan kapasitas diferensiasi dari sel-
sel tersebut.4
CML adalah salah satu dari empat jenis utama dari leukemia, yaitu Acute
Myelogeous Leukemia (AML), Chronic Myelogenous Leukemia (CML), Acute
Lymphotic Leukemia (ALL), dan Chronic Lymphotic Leukemia (CLL). CML
adalah satu dari beberapa keganasan yang diketahui disebabkan oleh satu mutasi
gen spesifik. Lebih dari 90% kasus CML disebabkan oleh kelainan sitogenetik
yang disebut Philadelphia chromososme.5
2.2. Epidemiologi
CML menyusun 20% dari semua leukemia yang terdapat pada individu
dewasa. CML dapat menyerang individu yang lebih muda dalam bentuk yang
lebih agresif. 7
2
2.3. Fisiologi Sistem Hematopoiesis
Sumsum tulang atau bone marrow merupakan suatu jaringan ikat dengan
vaskularisasi yang tinggi bertempat di ruang antara trabekula jaringan tulang
spons. Tulang-tulang rangka axial, tulang-tulang melingkar pada pelvis dan
pektoral, serta di bagian epifisis proksimal tulang humerus dan femur adalah
tulang-tulang dengan sumsum tulang terbanyak di tubuh manusia. Terdapat dua
jenis sumsum tulang pada manusia, yaitu sumsum tulang merah dan sumsum
tulang kuning. Pada neonatus, seluruh sumsum tulangnya berwarna merah yang
bermakna sumsum tulang yang bersifat hemopoietik, sedangkan ketika dewasa,
sebagian besar dari sumsum tulang merahnya akan inaktif dan berubah menjadi
sumsum tulang kuning (fatty marrow). Hal ini terjadi akibat adanya pertukaran
sumsum menjadi lemak-lemak secara progresif terutama di tulang-tulang panjang.
3
Bahkan di sumsum hemopoietik sekalipun, 50% penyusunnya adalah sel-
sel lemak. Jadi pada dewasa, proses hemopoiesis hanya terpusat di tulang-tulang
rangka sentral dan ujung proksimal dari humerus dan femur.8
Sebelum sel-sel darah secara spesifik terbentuk, sel pluripoten yang berada
di sumsum tulang tersebut membentuk dua jenis stem cell, yaitu myeloid stem cell
dan lymphoid stem cell. Setiap satu stem cell diperkirakan mampu memproduksi
sekitar 106 sel darah matur setelah melalui 20 kali pembelahan sel. Myeloid stem
cell memulai perkembangannya di sumsum tulang dan kemudian membentuk
eritrosit, platelet, monosit, neutrofil, eosinofil dan basofil. Begitu juga dengan
lymphoid stem cell. Sel-sel ini memulai perkembangannya di sumsum tulang
namun proses ini dilanjutkan dan selesai di jaringan limfatik. Limfosit adalah
turunan dari sel-sel tersebut.8
4
Berikutnya, lymphoid stem cell, sel progenitor dan sebagian sel myeloid
yang belum berdiferensiasi akan menjadi sel-sel prekursor yang dikenal sebagai
blast. Sel-sel ini akan berkembang menjadi sel darah yang sebenarnya. Pada tahap
ini sel-sel prekursor sudah dapat dibedakan berdasarkan tampilan
mikroskopiknya, sedangkan sel-sel di tahap sebelumnya yaitu stem cell dan sel
progenitor hanya bisa dibedakan melalui marker yang terdapat di membran
plasmanya.8
5
Beberapa hormon yang disebut hemopoietic growth factors bertugas dalam
meregulasi proses diferensiasi dan proliferasi dari sel-sel progenitor tertentu.
Berikut adalah beberapa contohnya :
2.4. Patofisiologi
6
Gambar 2.2 Translokasi antara kromosom 22 dan 9 yang menyebabkan
pemendekan kromosom 22 (tanda panah kanan)
Faktor inisiasi dari CML masih belum diketahui, tetapi paparan terhadap
radiasi yang bersifat mengionisasi dan beberapa agen seperti benzene telah
diimplikasi dapat memicu CML.9
7
2.5. Manifestasi Klinis
Pada CML fase kronik, gejala yang biasanya ditemukan berupa lemah,
penurunan berat badan, perut terasa penuh, anoreksia, lebam-lebam atau
pendarahan, nyeri perut, dan demam; sedangkan tanda yang biasanya ditemukan
adalah splenomegali, nyeri tekan sternal, lymphadenopathy, hepatomegali,
purpura, dan pendarahan retinal.
Pada CML fase akselerasi, gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah
demam, menggigil pada malam hari, penurunan berat badan, splenomegali
menetap, nyeri tulang. Pada CML fase blast, gejala dan tanda yang biasa
ditemukan adalah limphadenopati dan kloroma.
8
Hepatomegali juga terjadi, tetapi dengan tingkat yang lebih rendah dari
splenomegali. Tanda-tanda leukostasis dan hiperviskositas dapat terjadi pada
beberapa pasien dengan jumlah sel darah putih 300.000 – 600.000/µl. Pada
funduskopi, retina dapat menunjukan tanda papiledema, obstruksi vena, dan
pendarahan.
9
Pemeriksaan hapusan darah tepi pada pasien CML menunjukan gambaran
darah leukoeritroblastik, dengan sel yang belum matang dari sumsum tulang.
Fase transisional atau akselerasi dari CML ditandai dengan kontrol jumlah
darah yang buruk bahkan dengan pengobatan myelosupresif, dengan penemuan
sel blast perifer (≥15%), promyelosit (≥30%), basofil (≥20%), dan penurunan
jumlah platelet hingga dibawah 100.000 sel/µl yang tidak berhubungan dengan
terapi.
10
Pada dua per tiga dari kasus, sel blast tersebut adalah myeloid. Tapi pada
sepertiga pasien, blast tersebut menunjukan fenotip limfoid; hal ini menunjukan
gangguan pada sel punca. Anemia ringan hingga sedang sering ditemukan pada
saat diagnostik dan biasanya bersifat normokromik dan normositik.
11
2.7. Penatalaksanaan
Secara umum, CML memiliki tiga fase klinis, yaitu fase kronik, dimana
proses penyakit dapat dikontrol dengan mudah; lalu fase akselerasi; kemudian
fase blast yang lebih agresif dan biasanya bersifat fatal. Pada ketiga fase ini,
pengobatan suportif melalui transfusi sel darah merah dan/atau platelet dapat
memperingan gejala dan meningkatkan kualitas hidup.7
Pada negara barat, 90% dari pasien didiagnosa CML pada fase kronis.
Pada pasien ini, kadar sel darah putih biasanya dikontrol dengan pengobatan.
Tujuan dari pengobatan ini adalah untuk mengontrol gejala yang disebabkan oleh
anemia, trombositopenia, leukositosis dan splenomegali. Terapi pilihan saat ini
adalah imatinib mesylate, yang merupakan inhibitor spesifik terhadap BCR/ABL
pada semua fase CML.10
12
tahun dengan terapi Hydroxyurea (Hydrea) atau Busulfan, tetapi bisa berlangsung
hingga 9,5 tahun dengan terapi interferon alfa.10
13
Busulfan jarang digunakan karena efek sampingnya dan karena ketahanan
hidup pasien yang diobati dengan hydroxyurea lebih superior dibanding busulfan.
Tetapi obat tersebut cukup berguna pada penderita usia tua yang kepatuhannya
tidak dapat ditentukan. Dosis awal yang diberikan 46 mg per hari dengan
pemeriksaan lekosit yang ketat dan obat tidak diteruskan bila lekosit mencapai 20-
30 x 109 /L, karena jumlah teresebut akan terus turun selama 23 minggu setelah
dihentikannya terapi. Ketika jumlah lekosit stabil, dosis busulfan diturunkan
(13mg/hari) atau pemberian intermiten dapat dilakukan. Berlanjutnya dan
kadangkadang aplasia yang reversibel dapat merupakan komplikasi terapi
busulfan. Toksisitas lainnya dapat berupa aspermia, amenorrhea, dan sindrom
paru lanjut yang ditandai dengan batuk, demama, infiltrat paru, dan gagal nafas.10
14
berupa nausea, pembengkakan periorbita, rash, myalgia. Hasil yang sangat baik
dimana obat tersebut memberikan remisi hematologis dan sitogenetik. Hal
tersebut diketahui setelah dilakukan pemeriksaan sitogenetik sumsum tulang
setelah 6 bulan terapi. Pasien dengan respon sitogenetik komplit memiliki
prognosa yang sangat baik dimana penyakit tersebut terkontrol sebesar 95%
dalam waktu lebih dari 2,5 tahun. Walaupun begitu, pemakaian imatinib ini masih
dianggap terapi baru, sejak para ahli memakai obat tersebut pada awal 2000,
dengan hasil jangka panjang yang masih belm dapat ditentukan.10
Terapi kuratif yang ada untuk CML adalah transplantasi sumsum tulang
allogenik. Hasil yang paling baik (angka kesuksesan 80%) diperoleh pada pasien
yang berada pada usia di bawah 40 tahun dan ditransplantasi setelah 1 tahun
terdiagnosis, dari HLA (Human Leucocyte Antigen) saudara kandung yang telah
dicocokkan2 . Sementara literatur lain menyebutkan transplantasi sumsum tulang
memberikan angka respon hematologi dan sitogenetik persisten pada yang kembar
identik sebesar 75%1 . Kebanyakan pusat spesialis mengeluarkan pasien dengan
usia yang lebih dari 50 atau 55 tahun. Sumsum tulang dikumpulkan dari donor
yang diinfuskan secara intravena pada hari ke 0. Jika semuanya berjalan baik,
fungsi sumsum tulang akan dicapai dalam waktu 3-4 minggu dan pasien
meninggalkan rumah sakit.10
15
hidroxyurea dan kombinasi dengan interferon juga diberikan pada fase akselerasi
tersebut, walaupun kombinasi terapi tersebut belum pernah diuji secara
randomisasi5 . Splenektomi kadang-kadang dapat mengoreksi trombositopenia.
Fase krisis blas dan fase akselerasi yang menetap biasanya diterapi dengan
regimen yang dirancang untuk lekemia akut. Regimen kemoterapi agresif yang
biasa dipakai untuk terapi AML (Acute Myelocitic Leukemia) telah digunakan
sebagai usaha untuk menekan kromosom Ph1. Lebih dari 50% pasien yang telah
diobati mengalami penurunan persentase metafase Ph1 positif. Studi-studi
menyarankan bahwa kombinasi cytarabine dan interferon memberikan hasil yang
lebih superior terhadap harapan hidup dibanding interferon saja. Kromosom Ph1
biasany menetap, dan durasi respon biasanya singkat (2-6 bulan), dan tidak
diperkirakan utnuk sembuh. Hanya 10-15% pasien dengan krisis blas yang
bertahan hidup lebih dari 1 tahun. Transplantasi sumsum tulang allogenik
sebaiknya ditawarkan ke pasien dengan krisis blas (dengan penyakit yang aktif
atau setelah adanya remisi) jika donor yang cocok sudah ada, karena beberapa
pasien tersebut mencapai ketahanan hidup lebih dari 5 tahun. Angka mortalitas
dan kekambuhan setelah transplantasi sumsum tulang untuk fase krisis blas lebih
tinggi dibandingkan fase kronik.10
16
BAB 3
STATUS ORANG SAKIT
Nomor Rekam Medis : 00.69.89.81
ANAMNESA PRIBADI
Umur : 65 tahun
Pekerjaan : Petani
Suku : Batak
Agama : Islam
ANAMNESA PENYAKIT
17
Telaah :Hal ini dialami OS -/+ 3 bulan sebelum masuk rumah
sakit. Benjolan semakin lama semakin membesar dan
disertai rasa nyeri. Mual dan muntah (-). Riwayat mual dan
muntah (+) -/+ 1 bulan yang lalu selama 3 hari dengan
frekuansi 2-4 x sehari dengan isi apa yang dimakan dan
diminum. Riwayat muntah darah (-). Batuk (-) sesak nafas
(-). Demam (+) dirasakan -/+ 1 bulan ini. Demam tidak
terlalu tinggi, bersifar hilang timbul dan hilang dengan obat
penurun panas. Pasien mengaku mengalami penurunan
berat badan -/+ 10 kg dalam 3 bulan terakhir tanpa disertai
penurunan nafsu makan. Wajah pucat (+) -/+ 1 bulan ini.
Lemas juga dirasakan. Riwayat perdarahan spontan (-),
lebam (-), riwayat transfusi disangkal. Riwayat terpapar
bahan kimia (+). Pasien adalah seorang petani yang aktif
menggunakan pestisida. BAB dan BAK normal. Riwayat
penyakit darah tinggi dan penyakit gula disangkal. Pasien
sebelumnya dirawat di RS Permata Madina lalu dirujuk ke
RS HAM
RPT :-
ANAMNESA ORGAN
18
Pernafasan Dahak :(-) Lain-Lain : (-)
Lain-lain :(-)
19
Sirkulasi Claudicatio Intermitten : ( - ) Lain-lain :(-)
Perifer
STATUS PRESENS
Temperatur : 36,5⁰C
Berat Badan : 50 kg
BW :
50𝑥 100%
BW = 68
20
= 73 % ( status gizi : sedang )
50/(1.68) 2
KEPALA
LEHER
THORAKS DEPAN
Inspeksi
21
Bentuk : Simetris Fusiformis
paru
Palpasi
Nyeri tekan :-
Perkusi
Paru
Peranjakan : ± 1cm
Jantung
Auskultasi
Paru
22
Suara tambahan :-
Jantung
THORAX BELAKANG
Auskultasi : Normal
ABDOMEN
Inspeksi
Bentuk : asimetris
Vena kolateral :-
Caput medusa :-
Palpasi
HATI
Pembesaran :-
23
Permukaan : tidak teraba
Nyeri tekan :-
LIMFA
GINJAL
Ballotement :-
UTERUS/OVARIUM :-
TUMOR :-
Perkusi
Pekak hati :+
Pekak beralih :-
Auskultasi
Lain-lain : (-)
PINGGANG
24
Spincter Ani : Tidak dilakukan pemeriksaan
Sarung tangan :-
Lokasi : (-)
Sianosis : (-)
Lain-lain : (-)
Edema - -
Arteri femorais ++ ++
Refleks KPR ++ ++
25
Refleks APR ++ ++
Refleks fisiologis ++ ++
Refleks patologis - -
Epitel: -/lpb
Silinder: -/lpb
26
27
RESUME
28
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Nadi : 98x/i
Pernafasan : 20x/i
Temperatur : 36,5°C
Thorax:
lapangan paru
Auskultasi : Normal
Tinja : Normal
29
SEMENTARA Penyakit kronik
Tindakan suportif :-
Medikamentosa :
30
BAB4
FOLLOW UP
31
BAB 5
DISKUSI KASUS
Teori Pasien
Epidemiologi
American Cancer Society (ACS) memperkirakan Pasien berjenis kelamin
bahwa 8820 kasus baru CML akan didiagnosis laki-laki dengan usia 65
pada tahun 2016, 4610 pada laki-laki dan 3610 tahun 7 bulan.
pada perempuan, dengan umur median adalah 66
tahun.
Manifestasi Klinis
Pada umumnya saat pertama diagnosis Manifestasi klinis yang
ditegakkan, pasien masih dalam fase kronis. terdapat pada pasien antara
Pada CML fase kronik, gejala yang biasanya lain adanya benjolan pada
ditemukan berupa lemah, penurunan berat badan, perut kiri atas yang sudah
perut terasa penuh, anoreksia, lebam-lebam atau dialami dalam 3 bulan ini
pendarahan, nyeri perut, dan demam; sedangkan yang disertai nyeri, mual,
tanda yang biasanya ditemukan adalah dan muntah. Pasien juga
splenomegali, nyeri tekan sternal, mengeluhkan adanya
lymphadenopathy, hepatomegali, purpura, dan demam yang naik turun.
pendarahan retinal. Ada penurunan berat
Pada CML fase akselerasi, gejala dan tanda yang badan yang dialami dalam
sering ditemukan adalah demam, menggigil pada 3 bulan terakhir sekitar
malam hari, penurunan berat badan, splenomegali 10kg, lemas, serta wajah
menetap, nyeri tulang. Pada CML fase blast, pucat.
gejala dan tanda yang biasa ditemukan adalah
limphadenopati dan kloroma
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan CML belum segera diperlukan IVFD NaCL 0,9 %
kecuali jumlah lekosit lebih dari 200.000/muL (Cor 2-4 flash)
32
atau adanya bukti leukostasis (priapismus, Inj. Ranitidine 50
trombosis vena, bingung, atau sesak nafas) atau mg/12 jam
adanya nyeri pada splenomegali yang diduga Levofloxacin 1x 500
suatu infark limpa. Hiperuricemia sering dijumpai gr
pada diagnosis CML dan sebaiknya diobati Bicnat 3x2 tab
dengan allopurinol 300mg/hari dan hidrasi yang Allopurinol 2x300 mg
adekuat ketika leukosit lebih dari 25.000/muL
untuk mencegah disfungsi ginjal.
33
BAB 6
KESIMPULAN
Laporan kasus dengan pasien atas nama AMS, laki-laki, usia 65 tahun,
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien
ini didiagnosis dengan Chronic Myeloid Leukimia (CML) + trombositosis aktif
+ anemia ec. Penyakit kronik Selama dirawat inap pasien diterapi dengan :
Tirah Baring
Diet Makanan biasa tinggi karbohidrat tinggi protein
IVFD NaCL 0,9 % (Cor 2-4 flash)
Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
Levofloxacin 1x 500 gr
Bicnat 3x2 tab
Allopurinol 2x300 mg
34
DAFTAR PUSTAKA
35