Anda di halaman 1dari 35

BAB 1

PENDAHULUAN

Chronic Myeloid Leukemia ( CML ) adalah suatu penyakit klonal sel induk
pluripoten yang digunakan sebagai salah satu penyakit mieloproliferatif. Penyakit
ini timbul pada tingkat sel induk pluripoten dan secara terus menerus terkait
dengan gabungan gen BCR-ABL. Chronic Myeloid Leukemia adalah bentuk
leukemia yang ditandai dengan peningkatan dan pertumbuhan yang tidak
terkendali dari sel myeloid pada sumsum tulang dan akumulasi dari sel-sel ini di
sirkulasi darah. Penyakit reactor active adalah penyakit yang ditandai oleh
proliferasi dari seri granulosit tanpa gangguan diferensiasi, sehingga pada apusan
darah tepi dapat terlihat tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai dari
promielosit sampai granulosit. Chronic Myeloid Leukemia merupakan jenis
penyakit mieloproliferatif dengan translokasi kromosom yang disebut dengan
kromosom Philadelphia.1

Kejadian Chronic Myeloid Leukemia mencapai 20% dari semua jenis


leukemia pada dewasa atau kedua yang terbanyak setelah leukemia limfositik
kronik. Pada umumnya menyerang dewasa dengan usia 40-50 tahun walaupun
tetap dapat ditemukan pada usia muda dan biasanya lebih progresif. Di Jepang
kejadiannya meningkat setelah peristiwa bom atom di Hirosima dan Nagasaki,
demikian juga di Rusia setelah peristiwa reaktor Chernobyl meledak.2

Dalam perjalanan penyakitnya, Chronic Myeloid Leukemia dibagi menjadi


3 fase yaitu fase kronik, fase akselerasi dan fase krisis blast. Pada umumnya, saat
pertama kali diagnosis ditegakkan pasien masih berada dalam kondisi kronik
bahkan seringkali diagnosis Chronic Myeloid Leukemia ditemukan secara
kebetulan msalnya saat persapan pra operasi dimana ditemukan leukositosis hebat
tanpa gejala infeksi. Oleh karena pentingnya diagnosis penyakit ini maka penulis
merasa penting untuk membawakan laporan kasus tentang Chronic Myeloid
Leukemia ini.3

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi dan Etiologi
Chronic myelogenous leukemia (CML) juga dikenal sebagai chronic
myeloid adalah gangguan myeloproliferatif yang ditandai dengan peningkatan
proliferasi sel turunan granulosit tanpa penurunan kapasitas diferensiasi dari sel-
sel tersebut.4

CML adalah salah satu dari empat jenis utama dari leukemia, yaitu Acute
Myelogeous Leukemia (AML), Chronic Myelogenous Leukemia (CML), Acute
Lymphotic Leukemia (ALL), dan Chronic Lymphotic Leukemia (CLL). CML
adalah satu dari beberapa keganasan yang diketahui disebabkan oleh satu mutasi
gen spesifik. Lebih dari 90% kasus CML disebabkan oleh kelainan sitogenetik
yang disebut Philadelphia chromososme.5

2.2. Epidemiologi

American Cancer Society (ACS) memperkirakan bahwa 8820 kasus baru


CML akan didiagnosis pada tahun 2016, 4610 pada laki-laki dan 3610 pada
perempuan. ACS juga memperkirakan 1070 kematian akibat CML akan terjadi
pada tahun 2016, 570 pada laki-laki dan 500 pada perempuan. ACS juga
menunjukan bahwa angka insidensi leukemia secara umum meningkat dengan
perlahan. Dari 2003 sampai 2012, angka kejadian meningkat sekitar 1,3% per
tahun.6

Menurut dataSurveillance, Epidemiology, and End Results (SEER), umur


median dari pasien dengan CML adalah 66 tahun. Tidak ada faktor resiko kausatif
CML yang dapat diidentifikasi, termasuk faktor resiko familiar. Paparan terhadap
radiasi diduga dapat memicu terjadinya CML.7

CML menyusun 20% dari semua leukemia yang terdapat pada individu
dewasa. CML dapat menyerang individu yang lebih muda dalam bentuk yang
lebih agresif. 7

2
2.3. Fisiologi Sistem Hematopoiesis

Darah memiliki peran untuk menjaga tubuh tetap dalam keadaan


homeostasis. Selain meregulasi pH, temperatur, serta mengatur transport zat-zat
dari dan ke jaringan, darah juga melakukan perlindungan dengan cara melawan
penyakit. Fungsi-fungsi ini dikerjakan secara terbagi-bagi oleh
komponenkomponen darah, yaitu plasma dan sel-sel darah. Plasma darah adalah
cairan yang berada di kompartemen ekstraselular di dalam pembuluh darah yang
berperan sebagai pelarut terhadap sel-sel darah dan substans lainnya. Sedangkan
sel darah merupakan unit yang mempunyai tugas tertentu. Sel-sel darah yang
terdiri dari eritrosit, leukosit dan trombosit dibentuk melalui suatu mekanisme
yang sama, yaitu hemopoiesis.8

Hemopoiesis adalah proses pembentukan dan perkembangan sel-sel darah.


Sebelum dilahirkan, proses ini terjadi berpindah-pindah. Pada beberapa minggu
pertama kehamilan, hemopoiesis terjadi di yolk sac. Kemudian hingga fetus
berusia 6-7 bulan, hati dan limpa merupakan organ hemopoietik utama dan akan
terus memproduksi sel-sel darah hingga sekitar dua minggu setelah kelahiran.
Selanjutnya pekerjaan ini diambil alih oleh sumsum tulang dimulai pada masa
kanak-kanak hingga dewasa.8

Sumsum tulang atau bone marrow merupakan suatu jaringan ikat dengan
vaskularisasi yang tinggi bertempat di ruang antara trabekula jaringan tulang
spons. Tulang-tulang rangka axial, tulang-tulang melingkar pada pelvis dan
pektoral, serta di bagian epifisis proksimal tulang humerus dan femur adalah
tulang-tulang dengan sumsum tulang terbanyak di tubuh manusia. Terdapat dua
jenis sumsum tulang pada manusia, yaitu sumsum tulang merah dan sumsum
tulang kuning. Pada neonatus, seluruh sumsum tulangnya berwarna merah yang
bermakna sumsum tulang yang bersifat hemopoietik, sedangkan ketika dewasa,
sebagian besar dari sumsum tulang merahnya akan inaktif dan berubah menjadi
sumsum tulang kuning (fatty marrow). Hal ini terjadi akibat adanya pertukaran
sumsum menjadi lemak-lemak secara progresif terutama di tulang-tulang panjang.

3
Bahkan di sumsum hemopoietik sekalipun, 50% penyusunnya adalah sel-
sel lemak. Jadi pada dewasa, proses hemopoiesis hanya terpusat di tulang-tulang
rangka sentral dan ujung proksimal dari humerus dan femur.8

Hemositoblas atau pluripotent stem cells merupakan bagian dari sumsum


tulang yang berasal dari jaringan mesenkim. Jumlah sel ini sangat sedikit,
diperkirakan hanya sekitar 1 sel dari setiap 20 juta sel di sumsum tulang. Sel-sel
ini memiliki kemampuan untuk berkembang menjadi beberapa lineage yang
berbeda melalui proses duplikasi, kemudian berproliferasi serta berdiferensiasi
hingga akhirnya menjadi sel-sel darah, makrofag, sel-sel retikuler, sel mast dan sel
adiposa. Selanjutnya sel darah yang sudah terbentuk ini akan memasuki sirkulasi
general melalui kapiler sinusoid.8

Sebelum sel-sel darah secara spesifik terbentuk, sel pluripoten yang berada
di sumsum tulang tersebut membentuk dua jenis stem cell, yaitu myeloid stem cell
dan lymphoid stem cell. Setiap satu stem cell diperkirakan mampu memproduksi
sekitar 106 sel darah matur setelah melalui 20 kali pembelahan sel. Myeloid stem
cell memulai perkembangannya di sumsum tulang dan kemudian membentuk
eritrosit, platelet, monosit, neutrofil, eosinofil dan basofil. Begitu juga dengan
lymphoid stem cell. Sel-sel ini memulai perkembangannya di sumsum tulang
namun proses ini dilanjutkan dan selesai di jaringan limfatik. Limfosit adalah
turunan dari sel-sel tersebut.8

Selama proses hemopoiesis, sebagian sel myeloid berdiferensiasi menjadi


sel progenitor. Sel progenitor tidak dapat berkembang membentuk sel namun
membentuk elemen yang lebih spesifik yaitu colony-forming unit (CFU).
Terdapat beberapa jenis CFU yang diberi nama sesuai sel yang akan dibentuknya,
yaitu CFU-E membentuk eritrosit, CFU-Meg membentuk megakariosit, sumber
platelet, dan CFU-GM membentuk granulosit dan monosit.8

4
Berikutnya, lymphoid stem cell, sel progenitor dan sebagian sel myeloid
yang belum berdiferensiasi akan menjadi sel-sel prekursor yang dikenal sebagai
blast. Sel-sel ini akan berkembang menjadi sel darah yang sebenarnya. Pada tahap
ini sel-sel prekursor sudah dapat dibedakan berdasarkan tampilan
mikroskopiknya, sedangkan sel-sel di tahap sebelumnya yaitu stem cell dan sel
progenitor hanya bisa dibedakan melalui marker yang terdapat di membran
plasmanya.8

Gambar 2.1. Hemopoiesis

5
Beberapa hormon yang disebut hemopoietic growth factors bertugas dalam
meregulasi proses diferensiasi dan proliferasi dari sel-sel progenitor tertentu.
Berikut adalah beberapa contohnya :

1. Erythropoietin atau EPO meningkatkan jumlah prekursor sel darah


merah atau eritrosit. EPO diproduksi oleh sel-sel khusus yang terdapat
di ginjal yaitu peritubular interstitial cells.
2. Thrombopoietin atau TPO merupakan hormon yang diproduksi oleh
hati yang menstimulasi pembentukan platelet atau trombosit.
3. Sitokin adalah glikoprotein yang dibentuk oleh sel, seperti sel sumsum
tulang, sel darah, dan lainnya. Biasanya sitokin bekerja sebagai
hormon lokal, namun disini sitokin bekerja dalam menstimulasi
proliferasi selsel progenitor di sumsum tulang. Dua kelompok sitokin
yang berperan adalah colony-stimulating factors dan interleukin.

Selain contoh diatas masih banyak growth factor lainnya yang


mempengaruhi proses hemopoiesis yang berbeda-beda fungsi dan lokasi
kerjanya.8

2.4. Patofisiologi

CML adalah gangguan yang diakusisi dan melibatkan sel punca


hematopoiesis. CML ditandai dengan kelainan citogenetik berupa translokasi
resiprokal antara lengan panjang dari kromosom 22 dan 9 [t(9;22)]. Translokasi
ini menyebabkan pemendekan kromosom 22 yang kemudian diberi nama
kromosom Philadelphia (Ph1) oleh orang-orang yang mengobservasi hal tersebut
pertama kali,Nowell dan Hungerford.9

6
Gambar 2.2 Translokasi antara kromosom 22 dan 9 yang menyebabkan
pemendekan kromosom 22 (tanda panah kanan)

Translokasi tersebut merelokasi onkogen yang disebut ABL dari lengan


panjang kromosom 9 ke breakpoint cluster region (BCR) dari lengan panjang
kromosom 22. Onkogen tersebut kemudian mengenkode protein tirosin kinase.
Akibat dari fusi gen BCR/ABL memicu terbentuknya protein chimeric dengan
aktivitas tirosin kinase yang tinggi. Ekspresi protein ini menyebabkan
perkembangan fenotipe CML, melalui proses yang belum dipahami secara
penuh.9

Keberadaan pengaturan ulang BCR/ABL adalah penanda yang penting


pada CML, walaupun fusi gen ini juga ditemukan pada penyakit lainnya. Hal ini
dianggap sebagai faktor diagnostik pada pasien dengan manifestasi klinis CML.9

Faktor inisiasi dari CML masih belum diketahui, tetapi paparan terhadap
radiasi yang bersifat mengionisasi dan beberapa agen seperti benzene telah
diimplikasi dapat memicu CML.9

7
2.5. Manifestasi Klinis

Dalam perjalanan penyakitnya, CML dibagi menjadi 3 fase yaitu fase


kronik, fase akselerasi, dan fase krisis blas. Pada umumnya saat pertama diagnosis
ditegakkan, pasien masih dalam fase kronis, bahkan sering kali diagnosa CML
ditemukan secara kebetulan, misalnya saat persiapan pra operasi dimana
ditemukan leukositosis hebat tanpa gejala-gejala infeksi.Onset gejala CML
biasanya tersembunyi, dengan kebanyakan pasien berada pada fase kronik. Gejala
hematopoeisis yang hebat (demam, menggigil, nyeri tulang, kehilangan berat
badan, dan kelemahan) atau tanda dari hematopoisis ekstrameduler (splenomegali
dan perasaan tidak nyaman pada kuadran kiri atas) menyebabkan pasien mencari
pertolongan medis. Kadang-kadang, gejala yang tidak biasa seperti perdarahan,
trombosis, athralgia, infiltrasi leukemik pada area kulit, ulserasi peptik, kompresi
spinal cord, dan priapismus dapat ditemukan.

Pada CML fase kronik, gejala yang biasanya ditemukan berupa lemah,
penurunan berat badan, perut terasa penuh, anoreksia, lebam-lebam atau
pendarahan, nyeri perut, dan demam; sedangkan tanda yang biasanya ditemukan
adalah splenomegali, nyeri tekan sternal, lymphadenopathy, hepatomegali,
purpura, dan pendarahan retinal.

Pada CML fase akselerasi, gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah
demam, menggigil pada malam hari, penurunan berat badan, splenomegali
menetap, nyeri tulang. Pada CML fase blast, gejala dan tanda yang biasa
ditemukan adalah limphadenopati dan kloroma.

Splenomegali adalah salah satu temuan pemeriksaan fisik tersering pada


penderita CML. Pada lebih dari 50% pasien dengan CML, spleen beranjak lebih
dari 5 cm dibawah batas kiri tulang rusuk. Ukuran dari spleen berkorelasi dengan
jumlah granulosit darah perifer, dengan spleen yang membesar dengan signifikan
ditemukan pada pasien dengan jumlah sel darah putih yang tinggi. Spleen yang
sangat membesar biasanya penanda transformasi ke bentuk krisis blast.

8
Hepatomegali juga terjadi, tetapi dengan tingkat yang lebih rendah dari
splenomegali. Tanda-tanda leukostasis dan hiperviskositas dapat terjadi pada
beberapa pasien dengan jumlah sel darah putih 300.000 – 600.000/µl. Pada
funduskopi, retina dapat menunjukan tanda papiledema, obstruksi vena, dan
pendarahan.

2.6. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan untuk CML meliputi hitung darah lengkap dengan


diferensial, hapusan darah tepi, dan analisis sumsum tulang. Walaupun
splenomegali dan hepatomegali dapat diperiksa dengan pemeriksaan radiologis,
kelainan-kelainan ini sering menunjukkan gejala klinis yang sangat jelas sehingga
pemeriksaan radiologis tidak diperlukan.

Diagnosis CML didasarkan pada temuan histologis pada hapusan darah


tepi dan penemuan kromosom philadelphia (Ph1) pada sumsum tulang.

Kelainan laboratorium lainnya meliputi hiperurisemia, sebagai penanda


peningkatan pergantian selular pada sumsum tulang, dan peningkatan serum
protein vitamin B-12-binding (TC-I) yang dihasilkan granulosit.

2.6.1. Hitung darah lengkap dan hapusan darah tepi

Pada CML, peningkatan granulosit matang dan jumlah limfosit yang


normal (presentasi yang lebih rendah pada diferensial akibat pengenceran)
meyebabkan total sel darah putih menjadi 20.000 – 60.000 sel/µl. Peningkatan
basofil dan eosinofil yang ringan ditemukan dan lebih prominen ditemukan pada
transisi ke fase akut.

Neutrofil atau granulosit yang matang ini memiliki penurunan tingkat


apoptosis, menyebabkan akumulasi sel tersebut dengan penurunan enzim seperti
alkalin fosfatase. Menyebabkan penilaian terhadap pewarnaan alkalin fosfatase
rendah.

9
Pemeriksaan hapusan darah tepi pada pasien CML menunjukan gambaran
darah leukoeritroblastik, dengan sel yang belum matang dari sumsum tulang.

Gambar 2.3. Gambaran hapusan darah tepi pada CML

Fase transisional atau akselerasi dari CML ditandai dengan kontrol jumlah
darah yang buruk bahkan dengan pengobatan myelosupresif, dengan penemuan
sel blast perifer (≥15%), promyelosit (≥30%), basofil (≥20%), dan penurunan
jumlah platelet hingga dibawah 100.000 sel/µl yang tidak berhubungan dengan
terapi.

Gambar 2.4. Gambaran promyelosit, eosinofil, dan 3 basofil

10
Pada dua per tiga dari kasus, sel blast tersebut adalah myeloid. Tapi pada
sepertiga pasien, blast tersebut menunjukan fenotip limfoid; hal ini menunjukan
gangguan pada sel punca. Anemia ringan hingga sedang sering ditemukan pada
saat diagnostik dan biasanya bersifat normokromik dan normositik.

2.6.2. Analisis sumsum tulang

Analisis sumsum tulang biasanya menunjukkan gambaran hiperselular,


dengan peningkatan sel turunan myeloid (neutrofil, eosinofil, dan basofil) dan sel-
sel progenitornya. Megakariosit sangatlah menonjol dan dapat meningkat.
Fibrosis ringan dapat terlihat pada pewarnaan retikulin.

Gambar 2.5. Gambaran sumsum tulang pada CML

Pemeriksaan sel sumsum tulang dan bahkan darah perifer harus


menunjukkan kromosom Ph1, yang merupakan penanda utama CML yang
ditemukan pada lebih dari 90% pasien CML.

Selain itu, messenger RNA (mRNA) chimeric BCR/ABL yang merupakan


ciri khas CML dapat dideteksi dengan polymerase chain reaction (PCR).
Pemeriksaan ini sangat sensitif, dan biasanya digunakan untuk memonitor
kesembuhan.

11
2.7. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan CML belum segera diperlukan kecuali jumlah lekosit


lebih dari 200.000/muL atau adanya bukti leukostasis (priapismus, trombosis
vena, bingung, atau sesak nafas) atau adanya nyeri pada splenomegali yang
diduga suatu infark limpa. Hiperuricemia sering dijumpai pada diagnosis CML
dan sebaiknya diobati dengan allopurinol 300mg/hari dan hidrasi yang adekuat
ketika leukosit lebih dari 25.000/muL untuk mencegah disfungsi ginjal. Gout
arthritis akut jarang dijumpai.10

Terdapat tiga tujuan dari penatalaksanaan CML, yaitu:

1. Remisi hematologis (hitung darah lengkap normal) dan pemeriksaan fisik


(seperti hilangnya organomegali)
2. Remisi sitogenetik (pemeriksaan kromosomal menunjukkan 0% sel
dengan kromosom Ph1 positif)
3. Remisi molekular (pemeriksaan PCR terhadap BCR/ABL menunjukkan
hasil negatif)

Secara umum, CML memiliki tiga fase klinis, yaitu fase kronik, dimana
proses penyakit dapat dikontrol dengan mudah; lalu fase akselerasi; kemudian
fase blast yang lebih agresif dan biasanya bersifat fatal. Pada ketiga fase ini,
pengobatan suportif melalui transfusi sel darah merah dan/atau platelet dapat
memperingan gejala dan meningkatkan kualitas hidup.7

Pada negara barat, 90% dari pasien didiagnosa CML pada fase kronis.
Pada pasien ini, kadar sel darah putih biasanya dikontrol dengan pengobatan.
Tujuan dari pengobatan ini adalah untuk mengontrol gejala yang disebabkan oleh
anemia, trombositopenia, leukositosis dan splenomegali. Terapi pilihan saat ini
adalah imatinib mesylate, yang merupakan inhibitor spesifik terhadap BCR/ABL
pada semua fase CML.10

Fase kronik biasanya memiliki durasi yang bervariasi, tergantung dari


terapi maintenance yang digunakan; biasanya terapi ini berlangsung selama 2-3

12
tahun dengan terapi Hydroxyurea (Hydrea) atau Busulfan, tetapi bisa berlangsung
hingga 9,5 tahun dengan terapi interferon alfa.10

Beberapa pasien dengan CML dapat berkembang ke fase akselerasi yang


dapat bertahan selama beberpa bulan. Angaka harapan hidup pasien pada fase ini
biasanya 1 - 1,5 tahun.10

2.7.1. Fase Kronis

CML secara tradisional diobati dengan hydroxyurea atau dengan busulfan,


yang bila digunakan dapat mengurangi dan mengontrol jumlah lekosit secara terus
menerus, jumlah trombosit, dan ukuran limpa. Kedua agen tersebut memiliki
tingkatan penerimaan pasien yang tinggi dan mengendalikan manifestasi penyakit
sebanyak 90% kasus ketika digunakan pertama; yang selanjutnya, biar
bagaimanapun, obat tersebut memberikan hasil secara progresif yang lebih singkat
waktunya dan kurang sempurna menurunkan jumlah lekosit dan ukuran limpa.
Leukapheresis dapat juga digunakan dalam waktu singkat untuk menurunkan
jumlah leukosit dan trombosit dengan cepat. Selain itu kedua agen tersebut jarang
mengeliminasi kromosom Philadelphia (Ph1) dari sumsum tulang. Kembalinya
bentuk kromosom yang normal merupakan alasan dari tujuan terapi, dimana
pasien yang mencapai karyotipe yang normal memiliki harapan hidup lebih
panjang dibanding yang tidak. Tiga terapi yang berkembang berdasarkan konsep
tujuan tersebut yaitu penggunaan interferon, kemoterapi intensif, dan transplantasi
sumsum tulang.10

Hydroxyurea diberikan dengan dosis 0,5-2,5 gram/hari secara oral, bahkan


literature lain menyebutkan hingga 4 gram/hari disesuaikan berdasarkan ukuran
limpa1,2. Leukosit akan turun dalam beberapa hari, begitu pula dengan ukuran
limpa. Dosis hydroxyurea diturunkan sesuai dengan penurunan jumlah lekosit
dengan dosis pemeliharaan berkisar 1-1,5 gram/hari dan tidak diteruskan bila
jumlah lekosit berkisar 5000-10.000/muL1,3. Obat dapat diberikan sebagai dosis
tunggal maupun dosis terbagi. Efek samping jarang terjadi, diantaranya dapat
berupa rash, mukositis, ulserasi kulit, dan diare.10

13
Busulfan jarang digunakan karena efek sampingnya dan karena ketahanan
hidup pasien yang diobati dengan hydroxyurea lebih superior dibanding busulfan.
Tetapi obat tersebut cukup berguna pada penderita usia tua yang kepatuhannya
tidak dapat ditentukan. Dosis awal yang diberikan 46 mg per hari dengan
pemeriksaan lekosit yang ketat dan obat tidak diteruskan bila lekosit mencapai 20-
30 x 109 /L, karena jumlah teresebut akan terus turun selama 23 minggu setelah
dihentikannya terapi. Ketika jumlah lekosit stabil, dosis busulfan diturunkan
(13mg/hari) atau pemberian intermiten dapat dilakukan. Berlanjutnya dan
kadangkadang aplasia yang reversibel dapat merupakan komplikasi terapi
busulfan. Toksisitas lainnya dapat berupa aspermia, amenorrhea, dan sindrom
paru lanjut yang ditandai dengan batuk, demama, infiltrat paru, dan gagal nafas.10

Leukosit interferon dan rekombinan interferon alfa (r-IFN alpha) dapat


memberikan hasil remisi hematologik dan sitogenetik. Remisi hematologik yang
komplit diperoleh sekitar 75-80% pasien yang diobati dengan r-IFN alpha dan
sekitar 30-40% dari pasien yang remisi komplit atau supresi yang utama dengan
koromosom philadelphia (Ph1). Interferon gamma tidak memiliki efek teraupetik
yang signifikan. Kembalinya metafase-metafase normal setelah penggunaan r-IFN
alpha dikaitkan dengan ketahanan hidup yang lebih panjang daripada pasien tanpa
respon sitogenetik. Dosis r-IFN alpha berkisar 2 hingga 5 juta unit/m2/hari
diberikan secara sub kutan. Angka respon lebih tinggi dengan dosis obat yang
lebih tinggi juga. Efek samping akut yang paling sering (ketidaknyamanan pada
muskuloskeletal, demam, menggigil) pada kebanyakan pasien tetapi sering juga
diikuti gejala lemah, depresi, letargi, sulit konsentrasi, penurunan berat badan,
berkurangnya libido, dan alopecia ringan. Toksisitas ini lebih sering pada pasien
dengan usia lebih dari 60 tahun1 . Terapi CML yang lainnya adalah imatinib
mesylate. Obat ini dirancang untuk menghambat aktivitas tyrosine kinase dari
onkogen bcr/abl. Obat tersebut ditoleransi baik dan memberikan hasil yang
mendekati kontrol hematologi menyeluruh (98%) pada fase kronik. Terapi ini
menggantikan interferon dan hidroxyurea sebagai standar terapi. Pada pasien fase
kronik diberikan dosis 400 mg per hari secara oral. Toksisitas yang paling sering

14
berupa nausea, pembengkakan periorbita, rash, myalgia. Hasil yang sangat baik
dimana obat tersebut memberikan remisi hematologis dan sitogenetik. Hal
tersebut diketahui setelah dilakukan pemeriksaan sitogenetik sumsum tulang
setelah 6 bulan terapi. Pasien dengan respon sitogenetik komplit memiliki
prognosa yang sangat baik dimana penyakit tersebut terkontrol sebesar 95%
dalam waktu lebih dari 2,5 tahun. Walaupun begitu, pemakaian imatinib ini masih
dianggap terapi baru, sejak para ahli memakai obat tersebut pada awal 2000,
dengan hasil jangka panjang yang masih belm dapat ditentukan.10

Terapi kuratif yang ada untuk CML adalah transplantasi sumsum tulang
allogenik. Hasil yang paling baik (angka kesuksesan 80%) diperoleh pada pasien
yang berada pada usia di bawah 40 tahun dan ditransplantasi setelah 1 tahun
terdiagnosis, dari HLA (Human Leucocyte Antigen) saudara kandung yang telah
dicocokkan2 . Sementara literatur lain menyebutkan transplantasi sumsum tulang
memberikan angka respon hematologi dan sitogenetik persisten pada yang kembar
identik sebesar 75%1 . Kebanyakan pusat spesialis mengeluarkan pasien dengan
usia yang lebih dari 50 atau 55 tahun. Sumsum tulang dikumpulkan dari donor
yang diinfuskan secara intravena pada hari ke 0. Jika semuanya berjalan baik,
fungsi sumsum tulang akan dicapai dalam waktu 3-4 minggu dan pasien
meninggalkan rumah sakit.10

2.7.2. Fase akselerasi dan Krisis blast

Hilangnya kendali CML dengan agen seperti Busulfan, hydroxyurea, atau


interfeon merupakan suatu gambaran perkembangan CML ke fase akselerasi.
Kebanyakan pasien-pasien ini berkembang dengan abnormalitas sitogenetik yang
bertambah (evolusi klonal) dan meningkatnya dysplasia, bergeser ke kiri (5-29%
sel blast), eosinofilia, basofilia pada sumsum tulang. Jika proporsi sel blas pada
sumsum tulang lebih 30%, pasien dipertimbangkan masuk ke dalam fase krisis
blas (transformasi akut pada CML).10

Perubahan terapi dari busulfan ke hidroxyurea cukup berhasil dalam


jangka waktu singkat yaitu 3-6 bulan pada beberapa pasien. Peningkatan dosis

15
hidroxyurea dan kombinasi dengan interferon juga diberikan pada fase akselerasi
tersebut, walaupun kombinasi terapi tersebut belum pernah diuji secara
randomisasi5 . Splenektomi kadang-kadang dapat mengoreksi trombositopenia.
Fase krisis blas dan fase akselerasi yang menetap biasanya diterapi dengan
regimen yang dirancang untuk lekemia akut. Regimen kemoterapi agresif yang
biasa dipakai untuk terapi AML (Acute Myelocitic Leukemia) telah digunakan
sebagai usaha untuk menekan kromosom Ph1. Lebih dari 50% pasien yang telah
diobati mengalami penurunan persentase metafase Ph1 positif. Studi-studi
menyarankan bahwa kombinasi cytarabine dan interferon memberikan hasil yang
lebih superior terhadap harapan hidup dibanding interferon saja. Kromosom Ph1
biasany menetap, dan durasi respon biasanya singkat (2-6 bulan), dan tidak
diperkirakan utnuk sembuh. Hanya 10-15% pasien dengan krisis blas yang
bertahan hidup lebih dari 1 tahun. Transplantasi sumsum tulang allogenik
sebaiknya ditawarkan ke pasien dengan krisis blas (dengan penyakit yang aktif
atau setelah adanya remisi) jika donor yang cocok sudah ada, karena beberapa
pasien tersebut mencapai ketahanan hidup lebih dari 5 tahun. Angka mortalitas
dan kekambuhan setelah transplantasi sumsum tulang untuk fase krisis blas lebih
tinggi dibandingkan fase kronik.10

16
BAB 3
STATUS ORANG SAKIT
Nomor Rekam Medis : 00.69.89.81

Tanggal masuk : 05/02/2017 Dokter ruangan :


dr. Widya
Jam : 04.04 Dokter Chief of Ward :
dr. Ermawati Siregar
dr. Billy Siahaan
Ruang : RA2 3.3.3 Dokter Penanggung
Jawab Pasien :
dr.

ANAMNESA PRIBADI

Nama : Ali Makmur Siregar

Umur : 65 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Status Perkawinan : Sudah menikah

Pekerjaan : Petani

Suku : Batak

Agama : Islam

Alamat : PP Makmur Kec. Barumun Tengah

ANAMNESA PENYAKIT

Keluhan Utama :Benjolan pada perut kiri atas

17
Telaah :Hal ini dialami OS -/+ 3 bulan sebelum masuk rumah
sakit. Benjolan semakin lama semakin membesar dan
disertai rasa nyeri. Mual dan muntah (-). Riwayat mual dan
muntah (+) -/+ 1 bulan yang lalu selama 3 hari dengan
frekuansi 2-4 x sehari dengan isi apa yang dimakan dan
diminum. Riwayat muntah darah (-). Batuk (-) sesak nafas
(-). Demam (+) dirasakan -/+ 1 bulan ini. Demam tidak
terlalu tinggi, bersifar hilang timbul dan hilang dengan obat
penurun panas. Pasien mengaku mengalami penurunan
berat badan -/+ 10 kg dalam 3 bulan terakhir tanpa disertai
penurunan nafsu makan. Wajah pucat (+) -/+ 1 bulan ini.
Lemas juga dirasakan. Riwayat perdarahan spontan (-),
lebam (-), riwayat transfusi disangkal. Riwayat terpapar
bahan kimia (+). Pasien adalah seorang petani yang aktif
menggunakan pestisida. BAB dan BAK normal. Riwayat
penyakit darah tinggi dan penyakit gula disangkal. Pasien
sebelumnya dirawat di RS Permata Madina lalu dirujuk ke
RS HAM

RPT :-

RPO : Tidak jelas

ANAMNESA ORGAN

Jantung Sesak Nafas :(-) Edema :(-)

Angina Pectoris :(-) Palpitasi :(-)


Lain-lain :(-)

Saluran Batuk-batuk :(-) Asma, bronchitis: ( - )

18
Pernafasan Dahak :(-) Lain-Lain : (-)

Saluran Nafsu Makan : biasa Penurunan BB : ( + )

Pencernaan Keluhan Menelan :(-) Keluhan Defekasi: ( - )

Keluhan Perut :(-) Lain-lain :(-)

Saluran Sakit BAK :(-) BAK tersendat :(-)

Urogenital Mengandung Batu :(-) Keadaan urin : ( - )

Haid :(-) Lain-lain :(-)

Sendi dan Sakit pinggang :(-) Keterbatasan Gerak: (-)

Tulang Keluhan persendian :(-) Lain-lain :(-)

Endokrin Haus/Polidipsi : ( -) Gugup : (- )

Poliuri :(-) Perubahan Suara : ( - )

Polifagi :(-) Lain-lain :(-)

Saraf Pusat Sakit Kepala :(-) Hoyong :(-)

Lain-lain :(-)

Darah dan Pucat :(+) Perdarahan :(-)

Pembuluh Petechie :(-) Purpura :(-)

Darah Lain-lain :(-)

19
Sirkulasi Claudicatio Intermitten : ( - ) Lain-lain :(-)

Perifer

ANAMNESA FAMILI : Tidak ada yang mengeluhkan hal yang sama

PEMERIKSAAN FISIK DIAGNOSTIK

STATUS PRESENS

Keadaan Umum : Keadaan Penyakit

Sensorium : Compos Mentis Pancaran wajah: Lemah

Tekanan darah : 100/60 mmHg Sikap paksa :(-)

Nadi : 98x/menit Refleks fisiologis: ( + )

Pernafasan : 20x/menit Refleks patologis: ( -)

Temperatur : 36,5⁰C

Anemia (+ ), Ikterus (- ), Dispnoe (+ )

Sianosis (- ), Edema (-), Purpura (- )

Turgor Kulit : Baik

Keadaan Gizi : Normo weight

Berat Badan : 50 kg

Tinggi Badan : 168 cm

BW :

50𝑥 100%
BW = 68

20
= 73 % ( status gizi : sedang )

Indeks Massa Tubuh =BB/(TB) 2

50/(1.68) 2

= 17,7 ( status gizi : gizi kurang)

KEPALA

Mata : Konjungtiva palpebra inferior pucat (+ /+ ), ikterus (- /- ), pupil


isokor (+ /+ ) 3mm, refleks cahaya direk (+ /+ )/ indirek (+ /+ ).

Wajah : Dalam batas normal

Telinga : Dalam batas normal

Hidung : Dalam batas normal

Mulut : Lidah : Dalam batas normal

Gigi geligi : Dalam batas normal

Tonsil/Faring : Dalam batas normal

LEHER

Struma tidak membesar, tingkat : (-),

Pembesaran kalenjar Limfa (- ), Lokasi (- ), jumlah (- ), konsistensi (- ), mobilitas


(- ), nyeri tekan (- )

Posisi trakea : medial, TVJ : R-2 cm H2O

Kaku kuduk ( - ), lain-lain (-)

THORAKS DEPAN

Inspeksi

21
Bentuk : Simetris Fusiformis

Pergerakan :Tidak ada ketinggalan bernafas di kedua lapangan

paru

Palpasi

Nyeri tekan :-

Fremitus suara : Stem fremituskanan = kiri

Iktus : Teraba di ICS V

Perkusi

Paru

Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru

Batas Paru Hati R/A : ICS V / ICS VI

Peranjakan : ± 1cm

Jantung

Batas atas jantung : LMCSICS II

Batas kiri jantung : LMCS ICS IV-V

Batas kanan jantung : LPSD ICS IV-V

Auskultasi

Paru

Suara pernafasan : Normal

22
Suara tambahan :-

Jantung

M1>M2,P2>P1,T1>T2,A2>A1, desah sistolis (-), lain-lain (-),


Heart rate:98x/menit, reguler, intensitas: cukup

THORAX BELAKANG

Inspeksi : Simetris fusiformis

Palpasi : Stem fremituskanan = kiri

Perkusi :Sonor pada kedua lapangan paru

Auskultasi : Normal

ABDOMEN

Inspeksi

Bentuk : asimetris

Gerakan lambung/usus : tidak terlihat

Vena kolateral :-

Caput medusa :-

Palpasi

Dinding abdomen : Soepel

HATI

Pembesaran :-

23
Permukaan : tidak teraba

Pinggir : tidak teraba

Nyeri tekan :-

LIMFA

Pembesaran : + , Schuffner III, Heacket III

GINJAL

Ballotement :-

UTERUS/OVARIUM :-

TUMOR :-

Perkusi

Pekak hati :+

Pekak beralih :-

Auskultasi

Peristaltik usus : Normoperistaltik

Lain-lain : (-)

PINGGANG

Nyeri ketuk Sudut Kosto Vertebra (-)

INGUINAL : Tidak dilakukan pemeriksaan

GENITALIA LUAR : Tidak dilakukan pemeriksaan

PEMERIKSAAN COLOK DUBUR (RT)

Perineum : Tidak dilakukan pemeriksaan

24
Spincter Ani : Tidak dilakukan pemeriksaan

Ampula : Tidak dilakukan pemeriksaan

Mukosa : Tidak dilakukan pemeriksaan

Sarung tangan :-

ANGGOTA GERAK ATAS

Deformitas sendi : (-)

Lokasi : (-)

Jari tubuh : (-)

Tremor ujung jari : (-)

Telapak tangan sembab : (-)

Sianosis : (-)

Eritma Palmaris : (-)

Lain-lain : (-)

ANGGOTA GERAK BAWAH Kiri Kanan

Edema - -

Arteri femorais ++ ++

Arteri tibialis posterior ++ ++

Arteri dorsalis pedis ++ ++

Refleks KPR ++ ++

25
Refleks APR ++ ++

Refleks fisiologis ++ ++

Refleks patologis - -

PEMERIKSAAN LABORATORIUM RUTIN

Darah Kemih Tinja

Hb: 9,9 g/dL Warna: Kuning Warna: coklat

Eritrosit: 3,36 x 106/mm3 Kejernihan: Jernih Konsistensi: Lunak

Leukosit: 268.080/𝜇l Protein: - Eritrosit: 0-1

Trombosit: 843.000/𝜇l Reduksi: - Leukosit: 0-1

Ht: 29 % Bilirubin: - Amoeba/Kista: -

Eosinofil: 6,00% Urobilinogen: - Telur Cacing

Basofil: 0.00 % Ascaris: -

Neutrofil: 43,00 % Sedimen Ankylostoma: -

Limfosit: 4,00 % Eritrosit: 0-1/lpb T. Trichiura: -

Monosit: 2,00 % Leukosit: 0-1/lpb Kremi: -

Epitel: -/lpb

Silinder: -/lpb

26
27
RESUME

ANAMNESA Keluhan utama : benjolan di perut kiri atas.

Telaah : Hal ini dialami OS -/+ 3 bulan


sebelum masuk rumah sakit. Benjolan
semakin lama semakin membesar dan
disertai rasa nyeri. Mual dan muntah (-).
Riwayat mual dan muntah (+) -/+ 1 bulan
yang lalu selama 3 hari dengan frekuansi 2-4
x sehari dengan isi apa yang dimakan dan
diminum. Demam (+) dirasakan -/+ 1 bulan
ini. Demam tidak terlalu tinggi, bersifat
hilang timbul dan hilang dengan obat
penurun panas. Pasien mengaku mengalami
penurunan berat badan -/+ 10 kg dalam 3
bulan terakhir tanpa disertai penurunan nafsu
makan. Wajah pucat (+) -/+ 1 bulan ini.
Lemas juga dirasakan. Riwayat terpapar
bahan kimia (+). Pasien adalah seorang
petani yang aktif menggunakan pestisida.
Riwayat penyakit darah tinggi dan penyakit
gula disangkal. Pasien sebelumnya dirawat di
RS Permata Madina lalu dirujuk ke RS HAM

STATUS PRESENS Keadaan Umum : Sedang

Keadaan Penyakit : Sedang

Keadaan Gizi : gizi kurang

PEMERIKSAAN FISIK Sensorium : Compos Mentis

28
Tekanan darah : 100/60 mmHg

Nadi : 98x/i

Pernafasan : 20x/i

Temperatur : 36,5°C

Thorax:

Inspeksi : Simetris fusiformis

Palpasi : Stem fremituskanan = kiri

Perkusi :Sonorpada kedua

lapangan paru

Auskultasi : Normal

LABORATORIUM Darah : Anemia

RUTIN Kemih: Normal

Tinja : Normal

DIAGNOSA  CML + trombositosis aktif + anemia ec.


BANDING Penyakit kronik
 CLL + trombositosis aktif + anemia ec.
Penyakit kronik
 AML + trombositosis aktif + anemia ec.
Penyakit kronik
 ALL + trombositosis aktif + anemia ec.
Penyakit kronik
DIAGNOSA CML + trombositosis aktif + anemia ec.

29
SEMENTARA Penyakit kronik

PENATALAKSANAAN Aktivitas : Tirah baring

Diet : Makanan biasa tinggi karbohidrat tinggi


protein

Tindakan suportif :-

Medikamentosa :

 IVFD NaCL 0,9 % (Cor 2-4 flash)


 Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
 Levofloxacin 1x 500 gr
 Bicnat 3x2 tab
 Allopurinol 2x300 mg

Rencana Penjajakan Diagnostik/Tindakan Lanjutan

1. Morfologi darah tepi


2. Feses rutin
3. SI / TIBC / Reticulosit count / Ferritin
4. USG
5. BMP

30
BAB4
FOLLOW UP

31
BAB 5
DISKUSI KASUS

Teori Pasien
Epidemiologi
American Cancer Society (ACS) memperkirakan Pasien berjenis kelamin
bahwa 8820 kasus baru CML akan didiagnosis laki-laki dengan usia 65
pada tahun 2016, 4610 pada laki-laki dan 3610 tahun 7 bulan.
pada perempuan, dengan umur median adalah 66
tahun.
Manifestasi Klinis
Pada umumnya saat pertama diagnosis Manifestasi klinis yang
ditegakkan, pasien masih dalam fase kronis. terdapat pada pasien antara
Pada CML fase kronik, gejala yang biasanya lain adanya benjolan pada
ditemukan berupa lemah, penurunan berat badan, perut kiri atas yang sudah
perut terasa penuh, anoreksia, lebam-lebam atau dialami dalam 3 bulan ini
pendarahan, nyeri perut, dan demam; sedangkan yang disertai nyeri, mual,
tanda yang biasanya ditemukan adalah dan muntah. Pasien juga
splenomegali, nyeri tekan sternal, mengeluhkan adanya
lymphadenopathy, hepatomegali, purpura, dan demam yang naik turun.
pendarahan retinal. Ada penurunan berat
Pada CML fase akselerasi, gejala dan tanda yang badan yang dialami dalam
sering ditemukan adalah demam, menggigil pada 3 bulan terakhir sekitar
malam hari, penurunan berat badan, splenomegali 10kg, lemas, serta wajah
menetap, nyeri tulang. Pada CML fase blast, pucat.
gejala dan tanda yang biasa ditemukan adalah
limphadenopati dan kloroma
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan CML belum segera diperlukan  IVFD NaCL 0,9 %
kecuali jumlah lekosit lebih dari 200.000/muL (Cor 2-4 flash)

32
atau adanya bukti leukostasis (priapismus,  Inj. Ranitidine 50
trombosis vena, bingung, atau sesak nafas) atau mg/12 jam
adanya nyeri pada splenomegali yang diduga  Levofloxacin 1x 500
suatu infark limpa. Hiperuricemia sering dijumpai gr
pada diagnosis CML dan sebaiknya diobati  Bicnat 3x2 tab
dengan allopurinol 300mg/hari dan hidrasi yang  Allopurinol 2x300 mg
adekuat ketika leukosit lebih dari 25.000/muL
untuk mencegah disfungsi ginjal.

33
BAB 6
KESIMPULAN

Laporan kasus dengan pasien atas nama AMS, laki-laki, usia 65 tahun,
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien
ini didiagnosis dengan Chronic Myeloid Leukimia (CML) + trombositosis aktif
+ anemia ec. Penyakit kronik Selama dirawat inap pasien diterapi dengan :

 Tirah Baring
 Diet Makanan biasa tinggi karbohidrat tinggi protein
 IVFD NaCL 0,9 % (Cor 2-4 flash)
 Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
 Levofloxacin 1x 500 gr
 Bicnat 3x2 tab
 Allopurinol 2x300 mg

Setelah 6 hari dirawat di RSUP H. Adam Malik, pasien mengalami


perbaikan keadaan umum dan sudah pulang berobat jalan pada tanggal 10
Februari 2017. Berdasarkan standar kompetensi dokter Indonesia, penyakit ini
termasuk tingkat kemampuan 2, dimana lulusan dokter mampu membuat
diagnosis klinik terhadap penyakit tersebut dan menentukan rujukan yang paling
tepat bagi penanganan pasien selanjutnya

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Hoffbrand AV, Petite JE, Moss PAH. Hematologi. Edisi 4. Jakarta:


EGC;2005,p: 167-76
2. Melo JV. Barnes DJ. Chronic Myeloid Leukemia as a model of a disease
evolution in human cancer. Vol 7. Nature Publishing Group:2007
3. Price SA. Wilson LM. PAtofisiologi dan Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Vol 1. Jakarta: EGC; 2006
4. Chronic Myelogenous Leukemia Treatment [Internet]. National Cancer
Institute. 2017 [cited 12 February 2017]. Available from:
https://www.cancer.gov/types/leukemia/patient/cml-treatment-pdq
5. Types of Leukemia: 4 Primary Types | CTCA [Internet]. CancerCenter.com.
2017 [cited 12 February 2017]. Available from:
http://www.cancercenter.com/leukemia/types/
6. Cancer Facts & Figures 2016. American Cancer Society. Available
at http://www.cancer.org/acs/groups/content/@research/documents/document
/acspc-047079.pdf. Accessed: April 14, 2016.
7. Fadjari H. Leukemia Granulositik Kronis dalam Sudoyo AW, dkk (eds),
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II, edisi IV. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta, 2006.
8. Syahrini H. Chronic Myelogeneous Leukemia [Internet].
Repository.usu.ac.id. 2016 [cited 12 February 2017]. Available from:
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/56685.
9. Druker BJ, Sawyers CL, Kantarjian H, et al. Activity of a specific inhibitor of
the BCR-ABL tyrosine kinase in the blast crisis of chronic myeloid leukemia
and acute lymphoblastic leukemia with the Philadelphia chromosome. N Engl
J Med. 2001 Apr 5. 344(14):1038-42.
10. PDQ Adult Treatment Editorial Board. Chronic Myelogenous Leukemia
Treatment (PDQ®): Health Professional Version. March 9, 2016.

35

Anda mungkin juga menyukai