Anda di halaman 1dari 7

CERPEN

ANISA RAHMANIA
Hari Terbersinar

"Cepat bangun, Nak! Kita harus berangkat pagi ini," suara Ibu membangunkanku dari
mimpi indahku. Dengan malas kubuka mata, sinar matahari menerobos jendela kamarku.

"Kemana kita akan pergi, Bu?" tanyaku sambil menguap.

"Kita akan mengunjungi kakekmu yang sakit. Ayo cepat bersiap, Ayah sudah menunggu di
bawah," kata Ibu sambil menarik selimutku.

Aku pun melompat dari tempat tidur dan segera mandi serta bersiap. Hari ini kami akan
pergi menjenguk Kakekku yang tinggal di desa, kudengar beliau jatuh sakit. Selesai sarapan
dan persiapan, kami bertiga segera memasuki mobil dan meluncur ke desa Kakek.

Butuh waktu sekitar 3 jam perjalanan mobil dari kota ke desa Kakek. Sepanjang perjalanan
aku asyik melihat pemandangan di luar kaca mobil. Hamparan sawah hijau dengan
penduduk yang sibuk bekerja sungguh pemandangan langka bagiku yang besar di kota.

Tak terasa kami telah memasuki wilayah desa Kakek. Jalanan desa yang sempit dan sedikit
bergelombang membuat mobil kami sedikit terguncang. Tak lama kemudian, rumah kecil
bercat putih gading mulai terlihat. Itu pasti rumah Kakek!

Begitu mobil berhenti di pelataran rumah Kakek, aku melompat keluar dan langsung masuk
ke dalam rumah mencari sosok Kakek.

"Assalamu'alaikum..." sapaku begitu membuka pintu.

"Wa'alaikumsalam, Nak Dodi rupanya! Ayo masuk-masuk," sambut Bibi Yuli, istri Kakek
yang masih terlihat bugar di usianya.

Aku pun masuk mencari Kakek dan kudapati beliau sedang terbaring lemah di kamar.
Wajahnya pucat dan kurus, sangat berbeda dengan Kakek yang kukenal selama ini. Aku
jadi sangat sedih melihat kondisinya.

"Bagaimana keadaan Bapak, Bi?" tanya Ayah pada Bibi Yuli.


"Masih lemah. Panas badannya turun naik. Untung dokter desa rutin datang memeriksa,"
jelas Bibi Yuli. Kemudian kami pun bergegas ke kamar Kakek untuk menengok.

"Assalamu'alaikum, Dek. Kok bisa sampai sini?" sapa Kakek dengan suara parau ketika
melihat kedatanganku.

"Kakek sakit, jadi kami datang menjenguk. Cepat sembuh ya, Kek," kataku lirih sambil
menggenggam tangan kurus Kakek. Rasanya sedih sekali melihat Kakek yang selalu
terlihat gagah itu kini begitu lemah tak berdaya.

Kami pun berbincang sejenak menemani Kakek. Setelah merasa cukup, Ibu mengajakku
jalan-jalan keliling desa sementara Ayah tetap menemani Kakek.

Sepanjang jalan kunikmati suasana desa yang asri. Udara yang segar, hamparan sawah yang
membentang, serta warga desa yang ramah-ramah.

Ibu mengajakku mampir ke rumah Bibi Sayem, tetangga dekat Kakek. Aku pun berkenalan
dengan keluarga Bibi Sayem serta kedua putrinya yang masih kecil, Dilla dan Zahra.

Saat berada di sana, aku merasakan kehangatan dan keramahan yang belum pernah
kurasakan di kota. Mereka menyambut dan memperlakukan kami layaknya keluarga
sendiri. Bahkan Dilla dan Zahra langsung akrab denganku. Kami bergurau dan tertawa
bersama di teras rumah yang sejuk.

Waktu terasa begitu cepat berlalu. Matahari mulai condong ke barat ketika Ibu mengajakku
pulang. Kami pamit pada Bibi Sayem dan kembali ke rumah Kakek.

Sesampainya di rumah kakek, kondisi Kakek terlihat lebih baik. Wajahnya tak sepucat tadi
dan beliau sudah bisa duduk sejenak di dipan. Raut wajah Ayah juga terlihat lebih lega
melihat kondisi Kakek.

"Kakek sudah merasa lebih enak, Nak?" tanya Ibu pada Kakek.
"Alhamdulillah sudah agak mendingan. Berkat doa kalian semua," jawab Kakek sambil
tersenyum.

"Syukurlah Kek, semoga lekas sembuh ya," kataku sambil memeluk Kakek. Kakek pun
mengelus kepalaku penuh kasih sayang. Hatiku terasa hangat oleh belaian itu.
Kami pun menghabiskan sore itu dengan berbincang dan bercengkerama bersama Kakek.
Mendengar celoteh riangku sepertinya membuat Kakek kembali bersemangat.

Hari semakin gelap ketika kami harus pamit pulang ke kota. Dengan berat hati aku
berpamitan pada Kakek. Kupeluk erat tubuh ringkih itu, berharap kehangatan pelukanku
bisa membuatnya lebih baik.

"Cepat sembuh ya Kek.. Aku sayang Kakek," bisikku lirih.

"Iya Nak Dodi, terima kasih sudah mau jenguk Kakek. Kakek juga sayang kamu," balas
Kakek seraya mengelus rambutku penuh kasih.

Kami pun melambaikan tangan pada Kakek dan keluarganya sebelum mobil melaju
meninggalkan pekarangan. Sepanjang perjalanan pulang aku hanya diam memandang
keluar jendela. Pikiranku melayang jauh pada keadaan Kakek.

Walau kondisi Kakek masih lemah, entah mengapa aku merasa hari ini begitu bermakna.
Aku bersyukur bisa mengunjungi Kakek dan desa tempatnya tinggal. Merasakan
kehangatan suasana desa beserta keramahan warganya.

Kuharap Kakek lekas sembuh agar aku bisa segera mengunjunginya lagi. Mungkin lain kali
aku akan mengajak teman-temanku untuk merasakan pengalaman serupa. Pengalaman
berharga yang kurasa takkan kudapatkan di mana pun selain di desa Kakek tercinta.

Keajaiban Kakek
Sudah tiga hari sejak kunjungan kami ke desa, namun pikiran ku masih tertinggal di sana.
Aku sangat merindukan Kakek dan ingin segera tahu bagaimana kondisinya saat ini.
Sepulang sekolah, aku langsung menghampiri Ayah yang sedang bersantai di teras rumah.

"Yah, apa kabar Kakek hari ini?" tanyaku penuh harap.

"Syukurlah kondisinya sudah jauh membaik, Nak. Tadi siang Bibi Yuli menelepon, katanya
demam Kakek sudah reda dan nafsu makannya mulai pulih," papar Ayah yang kontan
membuatku lega.

"Asyik, berarti Kakek sembuh donk Yah!" pekikku girang.


"Iya, mudah-mudahan seperti itu. Kakekmu kan orang yang kuat," kata Ayah sambil
mengusap kepalaku.

Malam itu aku tidur dengan perasaan bahagia. Syukurlah Kakek sudah membaik. Semoga
ia benar-benar sembuh seperti sedia kala.

Keesokan paginya di sekolah, aku menceritakan kisah kunjungan ke desa pada Gina dan
Aldo, dua sahabat karibku. Mereka tampak kagum mendengar ceritaku tentang kehidupan
di desa yang sederhana namun penuh kehangatan.

"Wah kayaknya asyik tuh main ke desa, Dot! Lain kali ajak kita dong," pinta Gina antusias.

"Iya, pasti seru main di sawah dan hutan. Boleh nggak ikut kapan-kapan?" sambung Aldo.

"Hahaha...tentu saja boleh! Nanti kalau Kakekku sudah benar-benar sehat, kita bertiga
bakal aku ajak ke sana," tawarku yang disambut sorak gembira dari mereka.

Siang itu sepulang sekolah, aku kembali menghampiri Ayah di teras.

"Bagaimana kabar terbaru dari Kakek, Yah?" tanyaku penasaran.

"Wah Kakekmu hebat, Nak! Tadi siang pamanmu yang di desa mengabari kalau Kakek
sudah bisa jalan-jalan sebentar di pekarangan rumah," ungkap Ayah yang kontan
membuatku melonjak kegirangan.

"Horeee... Kakekku sembuh!" pekikku sambil memeluk leher Ayah erat, "Terima kasih
Tuhan, terima kasih..." lirihku haru.
Air mata bahagia tak terasa menetes di pipiku. Aku sungguh bersyukur dan bahagia
mendengar kabar kesembuhan Kakek. Rasa rinduku pun kian memuncak, aku tak sabar
ingin segera bertemu Kakek.

Beberapa hari kemudian di akhir pekan, aku kembali merengek pada Ayah dan Ibu untuk
mengunjungi Kakek di desa. Mereka pun menyanggupinya karena memang merindukan
sosok Kakek.
Perjalanan ke desa kali ini terasa lebih cepat bagiku. Sepanjang perjalanan aku terus
mengoceh tentang hal-hal yang ingin kulakukan bersama Kakek nanti. Gina dan Aldo pun
turut bersamaku, janjiku pada mereka harus kutepati.

Tak butuh waktu lama bagi mobi kami untuk tiba di halaman rumah Kakek. Segera
kuloncat dari mobil dan berhambur masuk ke dalam rumah, mencari sosok yang
kurindukan.

"Kakekkk...!" teriakku saat melihat Kakek tengah duduk di ruang tamu, ditemani Bibi Yuli
dan paman Handi, putera bungsu Kakek.

"Cucuku tersayang... Sini Nak peluk Kakek," kata Kakek lembut dengan kedua lengan
terbuka. Kontan air mataku tumpah, perasaan haru dan bahagia membuncah dalam dada.
Kupeluk erat tubuh Kakek, menumpahkan segala kerinduan selama ini. Tak henti-hentinya
kuucap syukur pada Tuhan Yang Maha Esa atas kesembuhan sosok terkasih ini.

Seharian penuh kulalui dengan riang bersama keluarga dan Kakek tercinta. Kuperkenalkan
Gina dan Aldo pada Kakek, mereka tampak akrab seketika. Kami bercengkerama dan
banyak tertawa bersama Kakek. Bahkan sempat pula berkejar-kejaran di halaman rumah
layaknya anak kecil.

Menjelang sore, Gina dan Aldo pamit pulang lebih dahulu karena harus menyelesaikan
tugas sekolah. Kakek pun memberikan oleh-oleh khas desa untuk mereka.

"Terima kasih, Kakek! Hari ini sangat menyenangkan," ucap Gina sambil mencium pipi
Kakek.

"Iya Kek, kapan-kapan kami mau ke sini lagi. Boleh kan?" timpal Aldo.

"Tentu boleh, Nak. Kapanpun kalian mau main ke sini, Kakek siap menemani," sahut
Kakek ramah.

Usai mengantar Gina dan Aldo hingga depan rumah, aku kembali menghambur memeluk
Kakek erat.

"Kakek, aku sangat bahagia Kakek sudah sembuh," ujarku lirih.


"Terima kasih doa dan kasih sayangmu, Dek. Itulah yang membuat Kakek cepat pulih,"
tutur Kakek bijak seraya mengelus rambutku lembut.

Malam itu kami menginap di rumah Kakek, menikmati suasana desa yang damai dan
menenteramkan jiwa. Keesokan paginya kami pun bergegas pamit untuk kembali ke kota.

"Jaga kesehatan ya, Kek. Sering-seringlah berjemur pagi agar tetap bugar," pesanku pada
Kakek sebelum memeluknya erat.

"Siap, Kapten! Kakek pasti akan menjaga kondisi agar tetap sehat," canda Kakek sambil
memberi hormat ala tentara.

Kami pun melambai pergi meninggalkan pekarangan rumah dengan perasaan bahagia.
Syukur ya Tuhan, Kau telah mengembalikan kesehatan Kakekku tersayang. Semoga kami
semua selalu dalam lindungan dan berkah-Mu....

Anda mungkin juga menyukai